EXPEDISI MEMBANGUN BUDAYA KRITIS
EDISI IV | 2011
EDITORIAL
SURAT PEMBACA
Quo Vadis Idealisme Mahasiswa (?) Siapapun yang pernah belajar filsafat atau ber filsafat pasti mengenal sosok Karl Marx. Rambutnya gondrong, jenggot dan jambangnya awut-awutan. Kita tak akan pernah membayangkannya untuk tersenyum sedikit saja. Namun, Si Buta Dari Gua Plato akan me mutarbalikkan anggapan kita 180 derajat. Ya, kita akan menertawakan si pencetus manifesto komunis itu. Buku berisi kumpulan anekdot mungkin tak asing lagi buat kita. Di era 80 dan 90-an banyak bermuncul an buku-buku macam itu. Kebanyakan berbau seks atau guyonan soal pekerjaan. Selepas reformasi, bersamaan dengan runtuhnya rezim represif a la Soeharto, anek dot politik mulai dimunculkan. Namun, belum banyak anekdot yang berangkat dari sesuatu yang kita kira njelimet: filsafat. Seratus anekdot yang terkumpul dalam buku ini be rangkat dari sisi lain para pemikir, yang bias anya iden tik dengan sesuatu yang kaku dan serius. Mulai dari Socrates hingga Jaques Derrida, semua filsuf diposisi kan sebagai manusia. Mereka tak hanya berkutat pada, misalnya, apakah kebenaran itu atau apakah “ada” dan “menjadi”, namun juga kekonyolan yang berangkat dari pemikiran mereka sendiri. Sebut saja cerita tentang Friedrich Nietzsche yang akhirnya “menyusul” Tuhan setelah 50 tahun ia mengu mumkan bahwa Tuhantelah mati atau perdebatan antara Hegeliankanan dan Hegelian kiri. Belum lagi cerita ten tang adanya acara bertajuk Filsuf Idol, suatu kompetisi untuk mengukuhkan filsuf paling bijak dari yang bijak. Yang paling parah tentu saja ketika para filsuf makan bakso. Plato menganggap segala sesuatu yang ada di du nia ini merupakan tiruan dari dunia Ide. Dengan demiki an, jika tukang bakso memanggilmu, jangan beli “bakso tiruan” itu. Anekdot-anekdot macam inilah yang akan membuat kita terbahak-bahak.
Pimpinan Proyek | Mutaya Sekretaris | Sandi Bendahara | Inas Redaktur Pelaksana | Jaka Redaktur | Delvira, Inas, Jaka, Pratina, Rima Reporter| Aufa, Azka, Dendy, Efendi, Mutaya,Sandi, Septika Redaktur Foto | Indra Artistik | Azka, Andra, Jaka Produksi | Rista Iklan | Septi, Sari Sirkulasi | Rizal Alamat| Gedung Student Center Lt. 2 Karang Malang Yoyakarta 55281 email : lpm_ekspresi@yahoo.co.id Web | www.ekspresionline.com Redaksi menerima artikel, opini dan surat pembaca. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah isi
2 | EDISI IV | 2011
Anekdot yang kerapkali kita temui, yaitu mahasiswa sebagai agent of change. Namun, realitanya mahasiswa cenderung dikebiri dengan ideology do sen yang tidak jelas. Kita hanya bisa menonton dan berpagku tangan melihat nasib bangsa yang mengalami kemunduran moral. Kini, kampus bukan sebagai tempat share para intelektual muda. Namun pabriknya para sarjana dan gudangnya pengangguran. Dikarenakan tidak adanya Pendidikan yang bergaransi bagi output yang sudah matang untuk dunia kerja. Dosen sebagai mandor yang mengawasi mahasiswa nya dengan menyuruhnya untuk apa saja, aneh-aneh saja. Tahun 1998 yang lalu kita bersatu untuk mewujudkan Negara demokrasi, sekarang eksistensi mahasiswa masih dipertanyakan. Dimanakah generasi muda sekarang?Akankah kita hanya berpangku tangan dan melihat ketidakadilan di Kampus yang notabenenya Pendidikan? Apakah mahasiswa sekarang sudah tidak punya karakter? Demokrasi macam apa yang akan dibentuk bangsa ini di dalam kampus pendidikan. Apa mungkin perguruan tinggi hanya sebagai ajang komersialisasi dan peningkatan gaji? Oleh: Jito Suhono
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jerman
Quo Vadis Idealisme Mahasiswa (?) Anekdot yang kerapkali kita temui, yaitu mahasiswa sebagai agent of change. Namun, realitanya mahasiswa cenderung dikebiri dengan ideology do sen yang tidak jelas. Kita hanya bisa menonton dan berpagku tangan melihat nasib bangsa yang mengalami kemunduran moral. Kini, kampus bukan sebagai tempat share para intelektual muda. Namun pabriknya para sarjana dan gudangnya pengangguran. Dikarenakan tidak adanya Pendidikan yang bergaransi bagi output yang sudah matang untuk dunia kerja. Dosen sebagai mandor yang mengawasi mahasiswa nya dengan menyuruhnya untuk apa saja, aneh-aneh saja. Tahun 1998 yang lalu kita bersatu untuk mewujudkan Negara demokrasi, sekarang eksistensi mahasiswa masih dipertanyakan. Dimanakah generasi muda sekarang?Akankah kita hanya berpangku tangan dan melihat ketidakadilan di Kampus yang notabenenya Pendidikan? Apakah mahasiswa sekarang sudah tidak punya karakter? Demokrasi macam apa yang akan dibentuk bangsa ini di dalam kampus pendidikan. Apa mungkin perguruan tinggi hanya sebagai ajang komersialisasi dan peningkatan gaji? Oleh: Jito Suhono Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jerman
INFO KAMPUS
Sore itu Kota Yogyakarta sedang cerah
Sore itu Kota Yogyakarta sedang cerah
Sore itu Kota Yogyakarta sedang cerah
situasi yang akhir-akhir ini jarang terjadi, sehingga saya memutuskan untuk pulang kuliah dengan berjalan kaki. Agak lain dari biasanya, rute yang saya pilih kali itu adalah berjalan dari depan Rektorat UNY di Jalan Colombo, berbelok ke kiri dan menyusuri sepanjang Jalan Affandi (dulu Jalan Gejayan). Lalu lintas ramai dan banyak toko dibangun di sepanjang jalan ini. Lantas saya merasa jalan saya agak terhambat, trotoar yang saya pijak tak leluasa lagi untuk berjalan karena ada yang berjualan dan parkir di sana. Fajar
situasi yang akhir-akhir ini jarang terjadi, sehingga saya memutuskan untuk pulang kuliah dengan berjalan kaki. Agak lain dari biasanya, rute yang saya pilih kali itu adalah berjalan dari depan Rektorat UNY di Jalan Colombo, berbelok ke kiri dan menyusuri sepanjang Jalan Affandi (dulu Jalan Gejayan). Lalu lintas ramai dan banyak toko dibangun di sepanjang jalan ini. Lantas saya merasa jalan saya agak terhambat, trotoar yang saya pijak tak leluasa lagi untuk berjalan karena ada yang berjualan dan parkir di sana. Fajar
situasi yang akhir-akhir ini jarang terjadi, sehingga saya memutuskan untuk pulang kuliah dengan berjalan kaki. Agak lain dari biasanya, rute yang saya pilih kali itu adalah berjalan dari depan Rektorat UNY di Jalan Colombo, berbelok ke kiri dan menyusuri sepanjang Jalan Affandi (dulu Jalan Gejayan). Lalu lintas ramai dan banyak toko dibangun di sepanjang jalan ini. Lantas saya merasa jalan saya agak terhambat, trotoar yang saya pijak tak leluasa lagi untuk berjalan karena ada yang berjualan dan parkir di sana. Fajar
RESENSI
Inovasi Baru PKL Oleh : Dwi Fajar Wijayanto Paijo, Den, Paiman
B
erjalan jauh ternyata cukup me nguras tenaga dan membuat saya ha us. Saya hampiri PKL minuman yang ada di pertigaan dekat salah satu waralaba di Jalan Affandi. “Raja Juss” nama PKL ini. Outlet-nya ternyata tidak hanya satu tapi su dah lumayan banyak tersebar di Yogyakarta. Saya memesan jus jeruk kesukaan saya. Sambil menunggu jus selesai, saya iseng bertanya pada Atik, penjaga outlet jus ini, ma ka dia pun bercerita pada saya. Dia menge luhkan musim hujan yang berakibat pada me nurunnya pembelian jus di outlet-nya. Namun dia menyukai pekerjaannya. “Daripada harus diam di rumah dan banyak menganggur, le bih baik jadi penjual jus, Mbak,” tegas Atik. Beberapa saat kemudian ada pembeli datang dan Atik bersiap membuat jus lagi, sedangkan saya segera membayar jus dan beranjak untuk berjalan lagi. Saya menyadari pelaku bisnis tidak hanya menyerah atau stagnan pada konsep PKL yang itu-itu saja; mendirikan tenda, membangun gerobak, dan berjualan. Kota Yogyakarta mi salnya, di pojok jalan, tengah kota, pinggir taman, depan minimarket, sepanjang Jalan Malioboro, dan pada jalan-jalan utama di Yogyakarta akan terlihat banyak sekali PKL bertebaran. Selama itu adalah kawasan ramai pasti akan didatangi para PKL namun mereka akhirnya sadar bahwa inovasi memang tetap harus diupayakan. Pada suatu kesempatan yang berbeda saya bertemu dengan salah satu marketing TelaTela, I Kadek Gede Merta Yasa, atau yang bi asa disapa Kadek. Kadek menceritakan awal mula bisnis Tela-Tela ini berjalan. Mulanya
bisnis ini mencoba menawarkan pada para konsumennya berupa produk makanan olahan dari ketela. Lahirnya Tela-Tela ini adalah hasil iseng yang dilakukan oleh empat mahasiswa yang berkawan karib: Eko Yulianto, Fath Aulia Muhammad, Febri Triyanto, dan Asyari Tamimi. Iseng saja mereka mencoba mengolah singkong menjadi panganan yang sedikit berkelas. Mereka mendesain sendiri dan dengan detail segala macamnya mulai dari kemasan sampai bagaimana memasarkannya. Meski pun di dalam gerobak Tela-Tela ada penggo rengannya, gerobaknya didesain tidak begitu besar. Ini mempunyai tujuan agar gerobak dapat fleksibel ditempatkan di tempat yang sekiranya strategis. Tela-Tela adalah semacam bisnis wara laba atau franchise yang inginnya menyerupai konsep Kentucky Fried Chicken (KFC), McDonald’s (McD), atau lainnya. Siapa saja yang mau bergabung untuk bisnis Tela-Tela bisa membeli lisensi langsung dari kantor Tela-Tela. Harga buka bisnis ini antara 4 juta sampai 6 juta. “Tapi kalau di Wonosari masih 2,5 juta-an karena harga buka sesuai dengan pembacaan tim marketing terhadap pendapatan perkapita masing-masing daerah yang akan dibuka bisnis Tela-Tela,” tutur Kadek. Dia juga menjelaskan bahwa tidak ada syarat khusus dalam membeli lisensi TelaTela, yang paling penting adalah kemauan berbisnis dari calon penjual itu sendiri. Akan tetapi ketika dikonfirmasikan pada Heddy, dia tidak sepakat jika bisnis semacam ini dinamai franchise. Heddy lebih sepakat jika hal ini dibilang menyerupai saja. Menurutnya bisnis franchise adalah bisnis yang lisensinya sudah dipatenkan, dia
ragu kalau bisnis PKL di Indonesia sudah dipatenkan seperti yang dimiliki oleh KFC dan McD. Heddy menganggap bisnis seperti ini semata-mata adalah inovasi dari para pemrakarsanya. Meskipun demikian dia mengapresiasi dengan baik inovasi semacam itu. “Ini bagus dan patut untuk diapresiasi juga dikembangkan lagi karena ada pembaruan cara dagang meskipun tetap saja bisnis ini bisnis informal PKL,” ungkapnya. 2011 | EDISI IV | 3
SENRTA
4 | EDISI IV | 2011
SENTRA
2011 | EDISI IV | 5
POLLING
6 | EDISI IV | 2011
WACANA
2011 | EDISI IV | 7
TEPI
8 | EDISI IV | 2011
TEPI
2011 | EDISI IV | 9
PERSEPSI
10 | EDISI IV | 2011
PERSEPSI
2011 | EDISI IV | 11
RESENSI
12 | EDISI IV | 2011