Bisikan Hati

Page 1

1


Daftar IsI

1. Miss Ice Cream

2

2. Kota Tua

15

3. Terima Kasih Cino

25

4. Cinta Butuh Waktu

31

5. Setiap Minggu di Tanam Budaya

40

6. Setelah Kita Putus

50

7. Aku tidak Seperti Mantanmu

61

8. Tersirat

68

9. Lima belas minggu setelah kepergian kamu

82

10. Kita (Mungkin) belum Benar benar Putus

87

11. Belajar Melepaskan

91

2


Miss I cream Ini sudah es krim kedua yang aku lahap malam ini, tak peduli aku sudah dua jam duduk di kedai ini. Pelayan tua kadang sesekali memalingkan tatapannya dari Koran pagi harinya kearah ku. Mungkin dia pikir aku kurang waras, di cuaca sedingin ini dan sedang hujan deras

Sendok

demi

sendok aku nikmati, tatapanku hanya menatap kosong pada suatu titik sembarang di sudut kedai itu. kenangan demi kenangan aku putar di pelupuk mataku, seperti komedi putar yang sedang memutar scene demi scene. Membuat hati ini campur aduk dan sedikit sesak. Me-rewind semua rutinitas gila. Tepat 3 tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama Wajahnya yang sedikit pucat dan tirus, rambut nya yang panjang, sedikit berantakan, dia tersenyum menatap ku penasaran, menunggu pendapatku tentang rasa es krim yang barusan aku cicipi. “Gimana?� tatapnya penasaran, air mukanya mulai serius melihat

3


ekspresi yang mengerutkan dahi seperti ada yang salah dengan es krim yang kumakan. “Tunggu!� jawabku sambil memutar mata seolah berfikir serius mendikripsikan Sesuatu yang sedang lumer dilidahku, lalu ku coba sesendok lagi, sok-sokan lagaku seperti tester sejati. “Enaak !!� Seru ku. Dia tersenyum kecil dan menjewer pipiku, protes melihat ekspresi ku yang menipu.. Ya, Dialah Putri. Putri dan Aku pertama kali bertemu di Ruang Kelas, Dia yang mengembalikan modul praktikumku yang tertinggal di Kelas. Disitulah kami berkenalan, dia sebenarnya seniorku di kampus, usianya terpaut dua tahun lebih tua dari umurku. Putri mengambil cuti selama satu tahun di awal perkuliahan. oleh sebab itu ia sering

meminjam

ketinggalannya.

buku

Sebagai

catatanku imbalan

untuk nya

mengejar

Putri

sering

mentaktirku es krim. Berawal dari sebuah catatan dan secorong es krim di kantin kampus-lah pertemanan kami semakin akrab. Putri adalah sosok manusia yang sangat cantik yang mempunyai hobi yang bisa dibilang menarik untuk semuruaan dia,

4


Putri adalah cewek dengan hobi membuat cake atau makanan manis. Miss ice cream adalah panggilanku untuknya. Cewek berbadan kurus, tinggi dan berkacamata ini bisa di bilang addicted dengan es krim seperti sesuatu yang tak bisa di pisahkan. Karena hobi dan mimpinya ingin mempunyai usaha di bidang kuliner itu, Putri mengambil Cooking Class khusus membuat pastry. Putri termasuk golongan cewek yang anggun dan tak banyak bicara, Terkadang Putri tidak bisa ditebak serta penuh kejutan. Sore

itu,

Putri

dengan

sengaja

mengajakku

berkunjung ke kedai es krim yang konon katanya sudah ada sejak jaman kolonial belanda. dan aku percaya itu, karena bangunan kedai itu sudah tua, interior kedai itu pun terlihat seperti di museum–museum sejarah, seperti meja kasir dan pintu yang sedikit tinggi terbuat dari kayu oak yang berpelitur, mesin kasir nya pun antik dengan type model tua, disisi sebelah kiri kedai terdapat roti-roti yang masih hangat terpajang dalam etalase tua, Demikian juga alat penimbangan kue yang sudah tua, bahkan pelayan nya pun tak ada yang muda, semua tua.

5


Putri bercerita sambil menerawang kearah langitlangit, kalo dia sering makan es krim disini ketika masih kecil bersama ibunya. Ia menceritakan kesukaannya terhadap tempat ini dan kegemaran nya makan es krim, alasan dirinya suka sekali makan es krim karena ibunya pernah mengatakan bahwa makanan yang manis itu bisa mengobati patah hati dan bad mood. Aku hanya menatap wajahnya yang masih sedikit pucat dan mendengarkannya dengan setia karena antusias dengan apa yang ia lakukaan atau ia ceritakan. “Semua orang hampir menyukai es krim bukan?” dia menatap ku lagi. Sialnya aku tertangkap mata karena menatapnya lamat-lamat, aku memalingkan wajah dan menyibukan diri dengan mengambil roti tanpa isi dan ku jejali roti itu dengan es krim. “Termasuk kamu yang rakus, makan es krim sama roti” protes nya sambil tertawa kecil melihat kelakuanku melahap roti isi es krim. “ini Enaaak, coba deh ” sambil menyodorkan roti isi eskrim kepadanya sebagai upaya mengkamufalse salah tingkahku barusan. Putri lantas mencoba mengunyahnya dengan lahap, lalu tersenyum lagi tanda setuju kalo itu kombinasi yang enak.

6


Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku dan Putri seolah pasangan kekasih romantis, yang sedang bersenda gurau. Tapi mereka salah besar. Kami tidak pacaran, tepatnya Putri punya pacar. Putri berpacaran dengan Eko. Mengenai putri dan eko aku tak tahu banyak karena Eko jarang sekali bercerita tentang hubungan mereka, setahuku mereka menjalin pertemanan semenjak mereka duduk di bangku SMA, lalu mereka saling menyukai dan berpacaran, Eko adalah Pria yang tampan, Smart Hanya itu yang ku tahun 2 Tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama. Putri tersenyum simpul penuh arti dan terlihat lebih menarik dengan dress abu-abu bermotif bunga kali ini rambutnya terurai. “Ta daaaa, Happy Birth Day� putri menyodorkan sesuatu. Aku diam terpaku tak menyangka. Sebuah surprise !! Malam itu di hari ke tiga di bulan Maret, Putri membuatkanku kue ulang tahun dengan motif bola dengan dominasi warna biru dan putih, seperti warna club kesukaanku, Chelsea. Lengkap dengan tulisan “Happy Birth Day Ragil� diatas kepingan cokelat putih yang membuat kue itu semakin cantik dan tak lupa lilin dengan 7


angka kembar dua-puluh dua tahun. “Jangan lupa berdoa dan make wish ya” Aku meniup lilin angka kembar itu, dan memejamkan mata dalam dua detik membuat permohonan. Kami merayakannya hanya berdua saja. Menikmati kue tart buatan Putri dan es Krim tentunya. “Dinda, belum telepon juga?” Putri bertanya singkat. Aku hanya menggeleng kepala. Singkat cerita, Dinda adalah pacarku. tepatnya 6 bulan yang lalu, . Dinda dan Aku bertahan pacaran hanya Enam bulan saja. Kami menjalani hubungan LDR alias Long Distance Realtionship, atau pacaran jarak jauh, Akhir-akhir ini komunikasi kami mulai terasa tidak lancar. Ditambah Dinda yang tidak pernah suka dengan aktifitasku. Terkadang itu menjadi bahan pertengkararan kami. Pada akhirnya kami memutuskan hubungan secara baik-baik. Dan Tak ada yang harus di pertahankan. putri selalu peduli dan selalu mencoba menghiburku. Seorang teman yang selalu ada untukku, diberikan surprise seperti ini adalah pertama kali dalam hidupku, ada orang lain di luar anggota keluargaku yang membuat perayaan spesial seperti ini khusus untukku hanya seorang

8


teman seperti Putri yang melakukannya. Teman? Lalu bagaimana dengan Eko? Apakah dia melakukan hal yang sama

kepadanya?

Pertanyaan-pertanyaan

ini

tiba-tiba

muncul di kepalaku, Mengapa aku ingin tahu detail bagaimana

Putri

memperlakukan

Eko?

Bukankah

sebelumnya aku tak pernah peduli? “Barusan make a wish apa?” Pertanyaan putri membangunkanku dari lamunan akibat pertanyaan–pertayaan aneh yang bermunculan dari kepalaku. “Rahasia” Aku menjawab spontan. Lalu memasang muka jahil. “Pelit” Putri pura-pura ngambek. “Anyway Putri, thank a lot, you’re my best” Aku tersenyum. aku bahagia malam ini. “Any time, Gil” balas Putri. Tersenyum simpul. Malam itu diumur ku yang bertambah, Aku menyadari seorang duduk dihadapanku seperti sebuah es krim yang dalam diamnya terlihat anggun, dalam senyumnya terasa manis, dan dalam katanya terdengar lembut. Dia yang membuatku menyadari sesuatu itu ada, tetapi sesuatu yang tak bisa aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan rumus matematika, dan tak bisa aku urai seperti senyawa kimia, dan

9


sesuatu itu tidak hanya ada, tetapi hidup dan berdetak, dan kadang membuat dada ini sesak. Segerombolan

awan

hitam,

tak

hentinya

menumpahkan air kebumi, menadakan besarnya kerinduan langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan gedung tua pun ikut terhanyut olehnya, membuahkan aroma tanah yang menyaingi aroma roti yang baru keluar dari pemanggangan sore itu. Kedai itu tak berubah sedikitpun, semua interiornya tetap tua di makan usia. Dua jam yang lalu, aku dan Putri duduk bersama di kedai ini, wajahnya sudah tak sepucat dan serius dulu, rambut nya pun tak seberantakan satu tahun yang lalu, Putri terlihat baik-baik saja bukan?, Namun tak ada sedikit pun senyum didalam air muka Putri, Dia bersikap dingin, sedingin es krim di mangkuk dan cuaca di luar. “Kenapa gak ada kabar gil?” Putri menatapku serius. Nada suaranya dingin.Aku tak sanggup memandang putri, hanya tertunduk dan diam, lidah ini kelu untuk berucap memberi alasan yang sebenarnya. “Aku sibuk put” (Aku berbohong). “Maaf put, aku memang keterlaluan” ucapku sekali lagi. Menahan air mata yang nyaris keluar.

10


Setelah

mendengar

kata

maaf

itu

langsung

mehenyakan punggungnya kesandaran kursi, seperti tak percaya hanya mendengar kata maaf dari seorang sahabat yang hanya pamitan lewat sms dan setahun kemudian tak ada kabar sedikitpun seperti menghilang di telan bumi. Aku tahu Putri pasti marah hebat kepadaku, tapi semenjak perasaan ini makin menguasai, persahabatanku dengan Putri terasa bias, tepatnya hanya aku yang merasa bias, aku tak kuasa lagi mempertahankan kepura-puraanku di depan Putri yang selalu bersikap baik kepadaku. Karena dengan sikap Putri yang seperti itu, mahluk yang bernama perasaan ini seperti di beri pupuk, dan akan terus tumbuh, walau aku susah payah memangkas nya tapi ini akan terus tumbuh tak terkendali dan akan terus membuatku merasa bahagia dan sakit dalam waktu yang bersamaan. Maka ketika kesempatan bekerja di luar kota itu datang aku tak menyiakan nya. “Tapi kau baik-baik saja kan?� Ucap nya tenang. Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat. Mulutku kembali terbuka, namun tak bersuara, lalu aku mengangguk. Kembali menunduk. aku tahu perasaan Putri sekarang campur aduk antara marah dan cemas namun

11


Putri selalu baik dan memaafkanku yang bertindak bodoh. “Lalu bagaimana denganmu Putri?� ucapku terbata.Putri tak menjawab, dia mentapku lekat-lekat, mungkin sikapku terlihat aneh dan membingungkan bagi Putri sehingga membuat penasaran, terlihat dari raut wajahnya sepertinya ia ingin menumpahkan beribu-ribu pertanyaan atas sikapku ini. Namun

putri

menyerah,

dia

menghenyakan

kembali

punggungnya kesandaran kursi. Sedikit demi sedikit suasana diantara kami pun mencair, seperti es krim di mangkuk ini pun mencair. Layaknya langit, aku pun sama, duduk berjam-jam disini sedang menumpahkan kerinduan pada kedai ini, kerinduan pada Es krim, kerinduan pada Putri. Scene potongan kejadian di pelupuk mataku sudah habis kuputar, kini aku mengembalikan fokus pandanganku tertuju ke suatu benda di atas meja, benda yg sedikit tebal dari kertas, berwarna merah, pemberian Putri dua jam yang lalu. Entahlah sudah berapuluh kali aku membolak balik benda itu, dan entahlah lah sudah berapa kali hati ini merasa terbolak balik karena melihat isinya. Sebagai teman ini adalah kabar baik untukku, namun sebagai orang yang

12


sedang tertimpa perasaan aneh ini adalah kabar buruk bagiku. Lalu dimana aku harus menempatkan diriku sendiri? Butuh setahun aku men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini untuk mendapatkan jawabnya, di mangkuk es krim yang ketiga ini aku baru dapat pemahamanya, bahwa tak pernah ada yang berubah dari sikap Putri kepadaku, dia selalu ada untukku, melindungiku, menyangiku sebagai sahabatnya. Aku-lah yang terlalu egois, tak mau ambil tindakan serta resiko untuk menyatakan nya dan malah pergi menghilang darinya yang hanya membuat Putri terluka. Hujan sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas menyatakan kerinduanya pada bumi, aku lantas beranjak dari kursi kedai itu, menuju meja kasir yang tinggi, pelayan tua itu menatapku lalu tersenyum megucapkan terimakasih, aku hanya membalas senyum sekedarnya. Perasaanku masih campur aduk dan terasa sesak. Aku melangkah gontai keluar kedai, berjalan menuju Statsiun hendak meninggalkan kota ini, dan aku berjanji, minggu depan aku kan datang lagi ke kota ini, menjadi saksi ucapan janji abadi sehidup semati antara Putri dan Eko. aku akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tidakan

13


bodoh, bahwasanya sejauh apapun kita pergi, tak akan pernah membantu melupakan orang yang kita sayangi, yang membantu hanyalah sikap menerima kenyataan. Biarlah aku menelan semua pahit dan sakit nya perasaan ini Putri, dan waktu yang akan mencernanya. Karena aku tahu, Rasa sakit ini hanya bersifat sementara, Karena secorong es krim akan menjadi obatnya, bukan?

14


Kota Tua Selalu teringat dibenakku kejadian dua minggu yang lalu. Teringat akan senyuman tulus gadis itu juga kedua mata indahnya yang kugambarkan mirip dengan bulan terang di malam hari. Saat nyaris saja sebuah mobil menabrak gadis itu, dengan sigapnya aku menolong gadis yang tidak kuketahui namanya itu bak seorang pahlawan. Kejadian itu benar-benar

membuatku

gelisah

sekarang.

Ditambah

pancaran sinar dari wajah cantik gadis itu yang membuatku tambah tak karuan. Bahkan hingga saat ini, aku masih saja terus gelisah memikirkan gadis cantik itu. Hingga saat ini, saat sesuatu yang tidak terduga datang lagi kepadaku.. Kupotret bangunan-bangunan di Kota Tua sore itu, semua orang yang lewat, para pedangang yang menanti pembeli datang. Hingga sesuatu yang tidak terduga itu terjadi. Diantara banyak orang-orang lewat sambil tertawa ria, aku melihat sosok wajah yang familiar. Ya, gadis itu. Gadis yang kutolong dua minggu lalu. Dia juga sedang asik mengabadikan kejadian-kejadian menarik di Kota Tua sore itu. Kemudian terukir sebuah senyuman dibibirku, dan aku pun berlari menghampiri gadis itu. “Hey!� sapaku. Gadis itu 15


menoleh sambil tersenyum indah dengan tampang agak sedikit bingung dan ragu. “Dua minggu lalu, kita ketemu saat kamu mau ketabrak mobil. Udah inget sama aku?” tanyaku menjawab tanda tanya dipikiran gadis itu. Gadis itu kemudian tertawa sambil menganggukkan kepalanya. “So, kamu seneng photograph juga, Sar?” tanyaku setelah kami berkenalan dan aku tau nama gadis itu adalah Sarah. “Iya. Dari SMA aku udah suka photograph. Seneng aja gitu bisa ngabadiin hal-hal menarik yang kadang nggak kita sadarin” jawabnya sambil tersenyum lembut ditambah sebuah lesung pipi di pipi kanannya. Aku mengangguk. “Emm, kapan-kapan boleh kali hunting bareng. Hehe” ucapku basa-basi. “Oh, boleh-boleh! Secepatnya deh direncanain tempatnya, soalnya baru-baru ini aku juga ada rencana mau hunting gitu deh” jawabnya bersemangat. “Oke deh, pasti diusahain cepet cari tempat huntingnya, Sar” sahutku sambil mengedipkan satu mata kearahnya. Sarah tertawa kemudian dia memotret seorang ibu yang sedang menggandeng kedua anak kembarnya. “Mau es krim?” tanyaku lagi. Sarah mengangguk.

16


Semakin lama, semakin dekat aku dengan Sarah. Takdir memang tidak kemana, pertemuanku dengan Sarah benar-benar takdir yang indah. Apalagi setelah kita berdua hunting bersama di sebuah wisata air terjun di Jawa Tengah, kita berdua menjadi semakin akrab lagi. Kita berdua sudah saling berbuka cerita satu sama lain. Berbagi inspirasi, cerita, pengalaman, trik-trik memotret yang baik dan lainnya. Sampai kuketahui ternyata kedua orangtua Sarah telah lama meninggal dan sekarang dia tinggal bersama tantenya dengan hidup

yang

sederhana.

Kenang-kenangan dari kedua

orangtuanya hanya sebuah kamera yang sekarang selalu berada disisinya juga keinginan orangtuanya yang selalu ada dipikiran Sarah. Mereka ingin sekali Sarah menjadi photografer handal, terkenal dan bisa melanjutkan studi di Paris. “Mereka mau banget aku bisa ke Paris, menjadi seorang mahasiswi dan seorang photografer yang handal, Zan. Jika suatu saat aku bisa memamerkan hasil foto-fotoku di Paris, mereka pasti akan bangga banget punya anak kayak aku. Makanya itu, sampe sakarang, aku terus berlatih jadi photografer yang handal supaya bisa dapet beasiswa ke Paris dari kampusku. I ever fail, but I always try it again and

17


again�, jelas Sarah saat berbicara tentang keinginan orangtuanya. Dari situ aku mengerti, bahwa Sarah adalah seorang perempuan yang pantang menyerah demi keinginan orang yang disayanginya. Lima bulan telah berlalu dengan begitu cepat. Kedekatanku dengan Sarah semakin menjadi. Kehandalan Sarah dalam memotret suatu objek juga semakin mantap. Aku optimis, jika dia bisa mendapatkan beasiswa itu. Dengan berjalannya waktu dan kedekatan ini, timbul perasaan sayangku padanya yang lebih mendalam dari sebelumsebelumnya. Aku semakin ingin menjaga Sarah sepenuh hatiku. Aku ingin sekali melindunginya dari apapun. Aku ingin selalu ada disampingnya selalu. Menemani harinya. Tapi, aku masih belum berani mengungkapkan perasaan sayang ini padanya. Mungkin aku memang cowok pengecut yang takut ditolak cintanya dengan Sarah jika aku mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Tapi, aku memang benar-benar takut. Sampai saat ini Sarah tidak pernah memperhatikanku sampai sedetail mungkin. Dia hanya memerhatikanku sebagai temannya,

18

menurutku.


Sampai malam itu, saat aku mengajaknya ke Puncak, malam yang sangat istimewa bagiku.. “Dezan, kamu nggak mau ngomong sesuatu sama aku?” tanya Sarah tiba-tiba. seketika aku bingung menatap Sarah. Tapi Sarah membalas tatapan bingung itu dengan senyuman dan sebuah lesung pipi khasnya. “Emm, berbulanbulan kita dekat, apa kamu nggak ngerasa sesuatu yang berubah dari hati kamu?” tanya Sarah lagi sambil memandang licik kearahku. Aku hanya menaikkan satu alisku keatas, bingung. “Oke, bukannya aku kepedean sih, but I think.. you like me”, ucapan singkat yang keluar dari mulut Sarah itu telah membuat sekujur tubuhku gemetaran. Aku rasa darahku berhenti mengalir. Kemudian aku menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan hingga tiga kali, baru kemudian kujawab ucapan Sarah tadi. “No I’m not. I don’t like you, but I love you, Sarah” jawabku kemudian. Sarah terlihat kaget sejenak, dan kemudian dia tersenyum indah sekali padaku. “Dari pertama insiden itu terjadi, aku udah tertarik sama kamu. Tadinya aku berpikir mustahil akan bertemu kamu lagi tapi ternyata takdir berkata lain. Kita berdua dipertemukan kembali di sebuah tempat

19


indah dan saat suasana romantis tercipta. Sampai akhirnya kita semakin dekat dan semakin lama perasaan sayang itu terbentuk di hatiku untuk kamu, Sarah” ucapku. Tiba-tiba Sarah memelukku dengan erat, aku merasa bahuku basah. Sarah menangis. “I love you too, Dezan” ucapnya disela-sela isak tangisnya. Senyumku berkembang sambil membalas pelukan Sarah. Malam itu dirumah Sarah sangat ramai. Bertahuntahun Sarah menginginkan dan akhirnya hari itu juga dia telah mendapatkannya. Malam itu juga genap hubungan kami yang setahun. “Thanks for Allah, yang telah memberikan kasih sayangnya padaku, thanks for my friends, my belove’s aunt and thanks for my beloved, yang telah hadir disini. Aku mendapatkan beasiswa ini nggak luput dari peranan dan support dari kalian semua. Bertahun-tahun aku mengejarnya, ternyata pengejaran itu berakhir disini. Ditahun ke-6 kedua orangtuaku meninggal. Setelah nanti aku berada di paris, aku nggak akan pernah mengecewakan kalian semua terutama Tante Mira dan keluarga yang telah ngerawat aku setelah kepergian kedua orangtuaku. Aku benar-benar berterima kasih atas apa yang telah kalian lakukan padaku” ucap Sarah

20


panjang lebar dihari kebahagiaannya malam itu. Pelukan dan ciuman hangat serta tangis haru beradu menjadi satu dimalam bahagia itu. Aku yakin, kedua orangtua Sarah juga pasti merasakan kebahagiaan di Surga sana. Setelah lama berbincang, kemudian Sarah pamit permisi sambil mengajakku keluar rumah. sarah memelukku kemudian mencium pipiku. Dikeluarkannya tiket pesawat keberangkatan menuju Paris besok dari dalam saku bajunya. “See it, Honey” ucapnya sambil tersenyum padaku. “Happy anniversary one

year,

Dezan”

ucapnya

lagi

sambil

meneteskan air mata. “Kenapa?” tanyaku sambil menghapus air matanya. “Walau nanti kita nggak ketemu, kita berbeda tempat, berbeda pijakan bumi dan hamparan langit, kita akan tetap saling mencintai kan? Kamu nggak akan ninggalin aku kan? Hati kita akan terus bersatu kan?” tanya Sarah semakin terisak. Aku tersenyum, “aku cinta sama kamu selamalamanya, Sarah. Aku akan terus dan akan tetap mencintaimu sampai nanti kita akan kembali pada Tuhan. Only dead is over our”. “I wish, We can meet again and stay at the romantic place in this world, French. Paris. And at the heaven if we die” ucap Sarah sambil terus menangis. “Kita pasti akan

21


bertemu di kota romastis sedunia ini, Paris dan di Surga jika kita mati nanti” sahutku mengikuti ucapan Sarah. Aku memeluk Sarah dan menciumi keningnya. Walau berat melepasnya, tapi aku rela demi kebahagiaannya... mungkin... Acara di rumah Sarah selesai sekitar pukul 01.00. semua teman-temannya sudah pulang dan aku pun pamit pulang pada Sarah dan keluarga Tantenya. Saat setengah perjalanan, tiba-tiba handphoneku bergetar. Kupinggirkan mobil di bahu jalan yang lumayan sepi itu. “Iya, Tante, ada ap..?” ucapanku terputus. Bulu kudukku berdiri, aku merasa jantungku akan berhenti saat itu juga. Apa ini? apa yang baru kudengar ini?! handphoneku terjatuh. Aku memandang kosong kearah jalanan yang sepi. Semua badanku kaku dan gemetaran. Ini pasti mimpi! Just dream! Just shit dream!!. Suara Tante Mira masih bisa kudengar saking sepinya jalanan itu. “Hallooo?! Dezan? Dezann?! Kamu dengar kan? Sarah kecelakaan! Kamu harus cepat ke rumah sakit!”. “We can meet again and stay at the romantic place in this world, French. Paris. And at the heaven if we die”. Teringat

ucapan

Sarah

yang

masih

terdengar

jelas

ditelingaku. Ternyata pelabuhan terakhir memanglah Surga

22


bukan kota romantis sedunia seperti Paris. Kelu lidah ini melihat gadis bergaun putih, bersarung tangan putih dengan tataan rambut yang indah dan wajah yang cantik tertidur pulas disebuah peti yang berbalut kain putih dengan banyak bunga di dalamnya. Kota Paris, hanyalah sebuah kota megah yang hanya dapat dia impikan tanpa bisa diraihnya. “Setelah kamu pergi, Sarah berlari mengejar mobilmu dan meneriaki namamu, Dezan. Hingga tanpa aba-aba, terdengar decitan rem yang sangat nyaring dari sebuah mobil sedan. Dan tanpa bisa dihentikan lagi, badan logam mobil itu telah beradu dengan tulang yang berbalut daging milik Sarah hingga dia terpental jauh. Tante nggak kuat, Zan, kenapa Tante harus menyaksikan sendiri peristiwa itu? Menyaksikan sendiri keponakan yang sangat tante banggakan akhirnya harus merelakan semua impiannya sia-sia�, ucapan Tante Mira tadi membuat

tangisku

semakin

menjadi.

Semua

teman

menyemangatiku. “Yang kami temukan, sebuah tiket menuju Paris dan sebuah foto ini�, ucapan Inspektur polisi malam itu, membuat aku mengeluarkan foto yang terkena bercak darah dari dalam kantong plastik. Foto mesra kami berdua. Foto cantik Sarah dengan senyumannya yang selalu tulus dan

23


kedua matanya yang indah. Sama persis ketika aku pertama kali melihatnya dulu. Tapi sekarang senyuman itu akan pudar selamanya dan kedua mata itu akan tertutup tidak akan pernah terbuka lagi. Maaf jika kali ini aku tidak bisa menolongmu, Sarah. Ku relakan engkau Sarah, walau berat bagiku melepasmu kembali ke Sisi Tuhan...

24


Terima Kasih Cino

"Terkadang, suatu hubungan bisa saja tiba-tiba putus walau tanpa kata putus." "Anak kita nanti bernama Bagas, Lintang, Langit, dan Laut." Ucapnya lugu seraya menarik-narik ingus yang membuat suaranya terdengar lucu. Aku hanya membalas perkataannya dengan tawa kecil yang tidak memekikan telinga. "Matahari, Bintang, Langit, dan Laut. Sepertinya nama-nama anak kita nanti menyejukkan sekali ya. Mereka pasti jadi anak yang baik, tumpuan segala harapan kebaikan." Aku menanggapi pendapatnya, nampaknya dia sangat suka dengan ucapan yang kulontarkan tadi. Lalu, kami saling tertawa bersama. Mengganti topik nama anak menjadi topik agama dan ras. Ya, pembicaraanku dengannya selalu saja berat, selalu saja tidak seperti pembicaraan orang yang sedang berpacaran. Seringkali kami berdiskusi banyak hal, persoalan yang awalnya buta dan gelap menjadi hal yang terlihat dan terang. Itulah masa yang tidak pernah aku temukan lagi saat

25


ini, karena selalu saja masa lalu yang kita inginkan kembali, tidak akan pernah kembali. Dia seorang mahasiswi berkacamata dengan tinggi badan sekitar 160 sentimeter. Bermata sipit, berhidung cukup pesek, berkulit putih, dan wajahnya memang tercipta sangat oriental dan sangat cina. Dia kuliah di fakultas Manajemen , di salah satu universitas di daerah Yogyakarta. Dia sangat suka fotografi, tapi tak suka memotret manusia, "Aku lebih suka motret pemandangan daripada manusia. Motret manusia malah bikin grogi." Ungkapnya santai dengan tawa renyahnya. Pikirannya sangat idealis, dia punya konsep tersendiri tentang Tuhan dan agama. Dia punya konsep tersendiri tentang Agama,nya. Ya, dia selalu mengikuti jalan pikirannya, dia selalu tahu bagaimana cara melangkah mengikuti alur pikirannya. Semua berjalan begitu absurd, tapi tak dapat dipungkiri bahwa segala hal yang kita lewati memang mengalir begitu indah. Dia mengatakan bahwa dia tak pernah seyaman itu pada pria, kecuali pada saya. Ya, awalnya dia memang sangat dingin, seringkali menghilang, seringkali berbicara seenak jidatnya, tapi semua bisa terlampaui begitu

26


sukses, dia berubah, dia menjadi begitu indah. Itulah yang kami sebut cinta, mampu mengubah seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Saya adalah ciri-ciri pria yang agak sedikit penuntut. Ya, maksud saya menuntut seorang wanita yang saya cintai menjadi lebih baik, saya menuntut wanita tersebut melakukan perubahan dalam hidupnya, selama dia menghabiskan waktunya dengan saya, maka saya harus mengubahnya, maka dia harus berubah untuk saya dan untuk hubungan kita. Maka, kami harus berubah, menjadi dua orang yang saling jatuh cinta atas dasar kasih bukan atas dasar nafsu dan ketertarikan fisik. Seringkali cinta menciptakan penuntutan, penuntutan untuk mengubah pribadi menjadi lebih baik. Jujur, saya seringkali jatuh cinta pada wanita penurut yang mudah diatur. Saya sangat menghargai seorang wanita yang mau berubah untuk hal yang baik. Dia pernah jadi seseorang yang penting dalam hidup saya. Dia pernah menjadi penenang amarah saya, dia pernah menjadi penyebab dari senyum saya, tapi itu dulu, masa dimana masih ada dia, masa dimana hanya ada tawa dan senyum malu-malu yang menghiasi perjalanan kita. Dia

27


mengenalkan saya pada budayanya, dia mengenalkan saya pada dunianya, dia menjelaskan konsep Tuhan yang ia tahu pada saya. Ya, dia mengajari dan mengayomi saya, dia tahu persis bagaimana memperlakukan perasaan saya. Jelas, kami pernah bertengkar hebat. Hingga beberapa hari kami tak saling berhubungan, tapi cinta tetaplah cinta, rindu tetaplah rindu, sulit untuk disembunyikan dan dilupakan. Hingga pada suatu ketika dia menulis di note facebooknya, bercerita tentang hubungan kami yang berjudul "Untitled 16". Saya terharu membacanya, saya menyangka bahwa wanita secuek dia tidak mungkin bisa menulis sedalam itu. Saya tahu ini yang namanya cinta, selalu punya alasan untuk memaafkan. Pertengkaran kecil kami yang detailnya tidak pernah saya

lupakan,

seringkali

menggelitik

rindu

setiap

mengingatnya. "Matamu!" Ucapku kasar mengetuk keras gendang telinganya. "Sipit, Cuk!" Timpalnya dilanjut dengan tawa lepasnya.

28


"Cino nyebahi!" Aku tak mau kalah, masih saja aku menggoda perasaannya. "Jowo marai emosi!" Dia juga tak mau kalah, semonyong-monyongnya bibirnya dia lakukan hanya untuk menghujani saya dengan pertengkaran kecil yang disertai canda itu. Cino dan Jowo, seringkali menjadi perpaduan yang baik jika berada di tempat yang seharusnya. Tapi, bisa jadi malapetaka jika tak bersatu pada tempat yang seharusnya. Ah, tapi yah, sekali lagi saya katakan semua hanya kenangan, semua hanya pecahan puing-puing retak yang terpecah dari asalnya. Dia menjalani hidupnya sendiri, sayapun harus menjalani hidup saya sendiri. Memang tak pernah terpikirkan kita akan berpisah, karena semua mengalir dengan begitu indah. Tapi, ya memang semua harus berakhir, walau tanpa kata pisah dan kata putus, walau tanpa kalimat perpisahan dan kalimat mengakhiri. Terkadang, suatu hubungan bisa saja tiba-tiba putus walau tanpa kata putus. Sekarang, dia mungkin sedang berbahagia dengan pilihannya. Dan, sekarang saya bahagia dengan pilihan saya. Saya tak perlu tahu apakah dia bahagia dengan pilihannya,

29


yang saya tahu cerita kita pernah ada, walaupun memang sudah berakhir.

30


Cinta Butuh waktu

Senyumnya adalah bagian yang paling kuhapal. Setiap hari kunikmati senyum itu sebagai salah satu pasokan energiku. Kali ini pun tetap sama, ketika kupandangi ia yang sedang menulis sesuatu di kertasnya. Matanya sesekali mengarah padaku, ia menyimpulkan senyum itu lagi. Aku yang sedang menggambar sketsa wajahnya, memerhatikan setiap lekuk pahatan tangan Tuhan. Detail wajahnya tak kulewati seinci pun. Hidungnya yang tak terlalu mancung, pipi dan rahang yang tegas, dan bentuk bibirnya yang mencuri perhatian siapapun saat menatap lengkungan senyum

itu.

Aku

penggemarnya,

seseorang

yang

mencintainya tanpa banyak ucap, namun dengan tindakan yang nyata. Secara terang-terangan, aku tak pernah bilang cinta, namun selalu kutunjukkan rasa. Entah lewat sentuhan, perhatian,

dan

caraku

membangun

percakapan.

Aku

mencintainya. Terlalu mencintainya. Sampai-sampai aku tak sadar bahwa kedekatan kita semakin tak terkendalikan,

31


meskipun semua singkat, tapi rasanya cinta begitu terburuburu mengetuk pintu hatiku. Di sebuah taman, tempat kami biasa bertemu, tempat kami biasa melakukan hal sederhana yang begitu kami cintai. Ia menulis tentangku. Aku menggambar sosoknya. Setelah karya kami sama-sama selesai, kami saling menukar hasil jemari kami. Tulisannya yang indah dan gambarku yang sederhana sama-sama menyumbangkan senyum di bibirku dan bibirnya. Betapa kami sangat bahagia cukup dengan seperti. Betapa cara sederhana bisa membuat aku dan dia merasa tak butuh apa-apa lagi, selain kebersamaan dan takut akan rasa kehilangan. “Kamu pernah takut dengan rasa kehilangan?� ucapnya lirih di sela-sela gerakan jemarinya yang masih menulis sesuatu di kertas. “Pernah dan aku tak akan mau lagi merasakan perasaan itu.� jawabku secepat mungkin, jemariku masih memperbaiki gambarku yang hampir selesai. Kuperhatikan lagi bentuk wajahnya, rahang dan jambang rambutnya yang begitu kusukai. Seandainya aku punya keberanian untuk

32


menyentuh wajah itu, selancang ketika aku menyentuh batang pensil saatku menggambar. “Kalau kausudah berusaha begitu kuat, namun kautetap bertemu pada rasa kehilangan, apa yang akan kaulakukan?” Kubiarkan pertanyaannya menggantung di udara sesaat. Kuberi jeda waktu agar ia masih bertanya-tanya pada rasa penasaran dalam hatinya. Semilir angin dan goresan pensilku di kertas lebih terdengar jelas dalam keheningan kami berdua. “Apa yang akan aku lakukan?” aku mengulang pertanyaan darinya, semakin membangun rasa penasarannya yang membesar. Kening itu mengkerut ketika pertanyaannya kuulang, “Iya, apa yang akan kaulakukan jika rasa kehilangan tiba-tiba menyergapmu meskipun kamu sudah berusaha keras untuk menggenggam?” Helaan napasku terdengar santai, “Aku akan selalu bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku harus merasakan kehilangan. Setelah aku tahu jawabannya, demi apapun, aku tak akan mengulang kesalahanku lagi. Dan, aku akan

33


semakin memaknai pertemuan sebagai hal yang tak boleh disia-siakan.� Jawabanku membuat ia semakin tajam menatap wajahku, aku yang menunduk dan masih menggambar, jadi salah tingkah ditatap dengan tatapan seperti itu. Ia arahkan jemarinya ke atas kepalaku dan membelai rambutku. Aku tak tahu maksud dari sentuhan itu, entah mengapa seketika tubuhku

tak

bisa

memberi

banyak

tanggapan

atas

sentuhannya. Aku belum bisa merasakan adanya cinta dalam setiap sentuhannya. Ia kembali menulis, kuintip sedikit ternyata kertas tempat ia menulis sudah hampir penuh. Dengan matanya yang indah, ia kembali meminta perhatianku, “Aku merindukan dia.� “pria itu lagi?� tanggapku dengan cepat. Ada sesuatu yang bergerak dalam dadaku ketika ia mengucap kalimat singkat itu. Terdengar singkat memang, tapi entah mengapa rasanya aku harus butuh waktu lama agar tak merasa sakit dengan pernyataan yang seperti itu. Kali ini, aku merasa dianggap tak ada.

34


“Aku selalu bilang padamu, setiap hari, berkali-kali, tak perlu lagi kamu merindukan seseorang yang bahkan tak pernah menghargai perasaanmu!” Senyumnya terlihat getir ketika aku berbicara dengan nada tinggi. “Apakah

bagimu,

ada

kehilangan

yang

tak

menyakitkan?” “Semua kehilangan pasti menyakitkan, kita sebagai manusia hanya bisa mengobati setiap luka, sendirian atau bersama seseorang yang baru. Itu semua pilihan yang kita tentukan sendiri.” Tanpa menatap wajahku, ia kembali mengajakku bicara, “Apakah obat pengering dari luka basah bernama kehilangan?” Aku

berhenti

menggambar.

Kuketuk-ketukkan

pensilku di atas kertas dan berpikir dengan serius, “Luka pasti kering, tapi bekasnya akan selalu ada. Keikhlasan dan kepasrahanlah yang membuat bekas luka tak lagi perih.” “Lantas, apa lagi?” “Membuka hati untuk seseorang yang baru!” seruku dengan nada bersemangat, dengan senyum singkat.

35


“Ah, tapi bukankah semua butuh waktu? Termasuk juga soal cinta.” “Cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan?” aku mengangguk setuju, “Tapi, sampai kapan kaubutuh waktu? Sampai orang yang mencintaimu pada akhirnya memilih pergi, karena tak terlalu kuat diabaikan berkali-kali?” Aku tertawa dalam hati; menertawai diri sendiri. “Lihatlah, kamu melucu!” ia ikut tertawa sambil terus melanjutkan tulisannya, “Cinta memang butuh waktu dan waktu yang dibutuhkan cinta adalah teka-teki yang sulit diprediksi.” “Ah, kamu ini, semua hanya soal kesiapan hati.” bibirku meringis, mencoba menutupi hatiku yang mulai nyeri, “Jangan pernah takut dengan orang baru yang datang ke dalam hatimu, karena ia tak ingin banyak hal, selain membahagiakanmu.” “Aku juga berpikir begitu, tapi aku takut jika luka yang masih kubawa, akan menjadi luka baru di hati orang yang mencoba masuk ke dalam hatiku.”

36


“Bagi orang yang ingin membahagiakanmu, tak akan pernah ada luka, meskipun cinta yang ia tunjukkan begitu lambat kaurasakan.” “Tak akan pernah ada luka?” tanyanya dengan wajah tak percaya, ia menatapku sekali lagi, dengan tatapan sangat serius, kali ini. “Ketika tulus mencintai seseorang, ia melakukan banyak hal karena ia mencintaimu, bukan karena ia memikirkan apa

yang

akan

ia

dapatkan

ketika

ia

mencintaimu.” “Begitu manisnya cinta....” “Lebih manis lagi jika tak hanya satu orang yang berjuang

untuk

membahagiakan,

harus

saling

membahagiakan.” Kalimatku

membuat

ia

tersenyum

lebar.

Ia

membubuhi tanda tangan untuk mengakhiri karya tulisnya di kertas. Aku menulis namaku dan tanggal pembuatan gambar ketika aku selesai menggoreskan goresan terakhir. Setelah karya tulisnya selesai dan karya gambarku selesai. Kebiasaan itu terulang, kami saling menutup mata sebelum dia melihat gambarku dan aku membaca tulisannya.

37


Ketika karyanya ada di tanganku dan karyaku ada di tangannya, kami pada akhirnya membuka mata. Ia menikmati gambarku dengan senyum memesona, senyum yang paling kucintai dan kukagumi. Gambarku adalah sosoknya yang kujadikan sketsa di kertas A4. Aku tak melewatkan detail wajahnya

yang

indah.

Hidungnya

kugambar semirip mungkin, rahangnya yang tegas juga jambangnya yang menggemaskan, juga kugambar dengan goresan yang tegas. Ia mengucap terima kasih. Aku bisa menebak wajahnya yang terharu ketika karya itu kuberi judul Masa Depan. Giliran aku yang membaca karya tulisnya. Awalnya, kukira ia menulis tentangku, tapi ternyata aku salah. Ia menulis tentang seseorang yang bukan aku, seseorang yang hidup dalam masa lalu dan kenangannya. Hatiku teriris membaca setiap paragraf dalam tulisannya; tak ada aku di sana. Aku hanya membaca tentang sosok lain, sosok yang dulu ia ceritakan dengan wajah sedih, sosok yang begitu kubenci karena menyia-nyiakan orang yang kucintai saat ini. Karya tulis itu ia beri judul Masa Lalu.

38


Aku mengulum bibirku. Usahaku masih terlalu dangkal baginya. Cinta yang kutunjukkan ternyata belum cukup menyentuh hatinya. Ia masih terpaut pada masa lalu ketika aku sudah menganggap sosoknya sebagai masa depan. Ia masih belum melupakan masa lalunya, ketika aku secara perlahan-lahan berusaha menyembuhkan lukanya yang perih. Aku belum berhasil seutuhnya. Ah, mungkin aku masih harus terus berjalan dan berjuang lebih dalam. Aku akan terus berjuang, sampai ia juga menganggapku masa depan, seperti aku selalu menganggap dia sebagai bagian masa depanku. Cinta butuh waktu. Butuh waktu untuk membuat ia segera melupakan masa lalunya kemudian mencintaiku. Butuh waktu untuk membuat ia memahami, ada cinta yang lebih masuk akal untuk ia percayai. Cinta memang butuh waktu.

39


Setiap Minggu di Taman Budaya

Sempurna! Foto ke seratus tiga puluh lima. Dias tersenyum memandangi setiap lekuk sempurna di tubuh wanita itu. Jemarinya menyentuh layar SLR yang ia genggam, dengan pelan dan hati-hati. Seandainya, dengan tangannya, ia bisa benar-benar menyentuh wanita itu. Wanita itu sempurna. Keningnya, hidungnya, telinganya, bibirnya, seakan-akan tanpa cela. Pahatan tangan Tuhan yang mahakarya. Dias tak bicara banyak, ia hanya mampu tersenyum dan menatap, tanpa berani menyentuh juga mengeluh. Langkahnya melewati lorong tempat lukisan-lukisan terpajang di dinding. Mulai menjauh dari wanita itu. Cahaya terang dalam ruangan membiaskan bayang-bayang orang yang berjalan dan mengamati benda-benda seni. Dias turut masuk dalam keramaian yang ada, lalu-lalang penikmat seni yang melihat dengan teliti kadang juga dengan langkah terhenti. Mereka berfokus pada beberapa karya seni yang menarik dan apik. Tapi, Dias tak terlalu tertarik. Ada sesuatu

40


yang lebih penting dari pameran ini. Wanita yang ia koleksi potretnya. Sudah lama. Sejak enam bulan yang lalu. Kakinya berjalan menuju area pameran perfilman, dari sudut yang tak diketahui, Dias masih saja memerhatikan wanita itu. Ia seperti terhipnotis, jemarinya kembali memotret sosok manis, walau hanya punggung dan rambut panjangnya saja yang tertangkap kamera. Dias bersandar di dinding seakan-akan tak ingin wanita itu mengetahui kehadiran Dias. Ia sedikit menggerakan kepalanya, wanita itu masih di sana, mengagumi karya-karya yang tercipta. Wanita itu telah menganggu hari-harinya, dengan berbagai macam cara dan rupa. Dengan rindu yang memburu, dengan kangen yang mengamit resah, dengan bayang-bayang yang semakin menusuk asa. Semuanya! Dias tak pernah melewatkan dan melupakan detail siluet tubuh wanita yang hampir saja membuatnya gila. Ia menghela napas panjang, dan kembali menatap ke area perfilman. Wanita itu menghilang secara tiba-tiba. Raib tak berbekas. Dias menyapu pandangan ke segala arah. Tetap saja, tak ada. Ia berjalan cepat mengitari ruang pameran.

41


Berjibaku dengan keramaian yang ada, ia menatap setiap wajah. Namun, wanita itu tak ada. Selalu muncul dan lalu pergi secara mendadak, secara tiba-tiba dan sulit diprediksi. Ia harus menunggu satu minggu lagi, untuk bertemu dengan wanita itu. Padahal, perasaan kangen yang melubangi hatinya belum juga tertutup rapat. Dias tetap menunggu, setia untuk menunggu. Apa salahnya menunggu? Meskipun membosankan, meskipun menyakitkan, tapi Dias tetap ingin melakukan itu. Memang tak ada alasan mengapa Dias harus menunggu, ia hanya ingin menunggu dan terus menunggu. Sungguh, tak ada alasan, karena menunggu kadang memang tak perlu penjelasan juga alasan bukan? Menunggu seperti fase yang harus

dilewati

seseorang,

untuk

bertemu

dengan

kebahagiaannya. Begitu juga Dias. Entah sampai kapan, dan berakhir dengan bahagia atau luka. Dias hanya tahu menunggu, tanpa pernah tahu hal yang harus ia tuju. Hari berganti, dan ia masih menunggu. Tanpa alasan, tanpa keluhan, Dias tetap bertahan. Dias percaya bahwa dirinya bukan pengecut, yang hanya diam-diam mengagumi lalu sepenuhnya bersembunyi.

42


Ia juga yakin hal yang ia lakukan bukanlah sebuah kesalahan, apakah salahnya mengagumi seseorang dengan sangat dalam? Itulah yang Dias rasakan. Awalnya, semua tak merepotkan, namun ketika perasaan itu hadir dan terlihat semakin nyata, Dias jadi merasa resah. Ia bahkan tak tahu nama bidadari yang semakin hari semakin meresahkannya. Sungguh, Dias percaya kalau dia bukan pengecut. Dia hanya butuh waktu. Iya, waktu yang tepat. Semua akan indah pada waktunya bukan? Tapi, Dias seakan-akan tak tahu waktu yang tepat akan terjadi kapan. Wanita itu benar-benar menggerogoti nalar dan akal sehatnya. Otak Dias sulit bekerja secara maksimal saat wanita itu berjarak beberapa meter dari pandangannya, walaupun masih jauh, bahkan sangat jauh. Dias tak tahu sosok seperti apa yang dia cintai, ia hanya tahu perasaan itu ada dan semakin hari semakin membuatnya tersiksa. Setiap minggu, di Taman Budaya, selalu ada pameran yang berbeda. Dias ditugaskan sebagai fotografer yang mendokumentasikan acara tersebut. Setiap minggu, di Taman Budaya, Dias selalu menunggu-nunggu waktu itu. Karena pasti hawa yang telah merenggut habis perhatiannya akan

43


muncul secara tiba-tiba. Seperti Cinderella yang tak jelas kapan ia datang dan tak pernah diketahui kapan ia pulang. Di balik kemisteriusannya, Dias tetap jatuh cinta. Ia tak banyak bertanya, juga tak banyak mengeluh apalagi menuntut. Dia tak tahu harus berbuat apa, sampai pada akhirnya ia menatap seorang satpam yang menjadi pagar betis di pintu masuk pameran. “Jadi satpam?” lantang, suara Pak Karjo membahana, nadanya terdengar tak percaya. Pria bertubuh gempal itu berhenti menghisap rokoknya. Beliau adalah penanggung jawab pameran yang mengatur panita pelaksana pameran setiap minggu di Taman Budaya. Agak keras namun seperti orang Yogya lainnya, berhati lembut dan nyaman. Tanpa ungkapan, Dias mengangguk mantap. “Kenapa?” tatapan Pak Karjo tajam menusuk-nusuk ke arah Dias. “Saya butuh pekerjaan ini, Pak. Sangat butuh.” “Seberapa pentingkah pekerjaan satpam hingga kamu tak ingin lagi jadi fotografer?” “Sangat penting. Ini soal takdir.”

44


“Takdir? Mbok yo kamu jangan becanda tho.” “Saya serius, Pak.” “Gaji fotografer lebih banyak daripada gaji seorang satpam, Nak Dias.” “Saya tidak mengejar gaji.” jelas Dias singkat, suara renyahnya menenangkan perasaan Pak Karjo yang terkejut. “Lantas, kamu mengejar apa?” “Ada sesuatu yang lebih penting daripada gaji.” “Apa?” “Cinta.”

Malam itu langit Yogya terlihat cerah. Cahaya lampu sorot turut membantu bulan menerangi gelapnya malam. Musik perjuangan rakyat yang lirik lagunya bernilai seni tinggi sudah terdengar sejak pukul tujuh malam tadi. Ada penonton yang meramaikan panggung Taman Budaya juga meramaikan ruang pameran Taman Budaya. Dias berdiri tegak. Mantap. Ia membenarkan kerah bajunya dan topi satpam yang ia kenakan. Pentungan yang kaku berada di dekat saku celananya. Ia sangat bangga dengan pakaian itu. Penikmat pameran yang ingin memasuki

45


ruang pameran mulai ramai, tugas Dias dan kawanan satpam lainnya adalah membuat pagar betis agar antrean tak berdesak-desakan

dan

ruangan

di

dalam

pameran

berkapasitas pas, tidak terlalu penuh dan sesak. Suasana di pintu masuk pameran memang cukup ramai, maklum malam minggu. Penikmat seni yang datang juga beragam. Ada yang berambut gimbal, bertatto, bertindik anting, bercelana pendek, juga hadir dengan pakaian biasa dan

sederhana.

Bermacam-macam

penikmat

seni

diperhatikan oleh Dias, satu peratu wajah mereka mampir dalam tatapan mata Dias. Namun, wanita yang ia tunggu dan ia cari tak ada. Ia masih menunggu, hingga pukul sembilan malam, ketika antrean mulai semakin ramai oleh orang-orang yang habis menonton panggung musik tadi. Dias mulai bosan dan lelah, tubuhnya telah lunglai karena berdiri terlalu lama. Ia sempat didorong juga dikritik oleh beberapa penikmat seni yang menunggu di pintu masuk pameran. Dias masih bersabar, ia melempar pandangan ke segala arah. Hingga pada suatu ketika, seorang wanita berdiri di depannya. Mengantre dengan tenang dan santai.

46


Jantung Dias berdebar cepat. Wanita itu. Jarak Dias memandangnya kini lebih dekat, hanya beberapa sentimeter, tak lagi

bermeter-meter. Sekitar

beberapa detik, mereka bertemu mata, dan Dias seakan-akan tak bernapas. “Pamerannya masih lama ya?” ucap wanita itu dengan suara lembut, yang membuat Dias semakin tak percaya pada apa yang ia lihat. “Ma... ma... masih, Mbak.” jawab Dias terbata-bata. “Antreannya ramai juga ya?” “Iya, lumayan, Mbak.” Dias tak bisa bicara banyak, ia hanya mematung dan selebihnya tak tahu harus berbuat apa. Dias mengerti bahwa debaran jantung yang begitu kencang ini disebabkan oleh wanita yang berada di hadapannya. “Kayaknya, aku pernah lihat kamu deh, tapi di dalam gedung bukan di luar gedung.” “Ah, Mbak salah lihat mungkin.” Dias mengelak. “Iya, mungkin aku salah lihat ya.” “Mbaknya dari mana?” “Habis dari Malioboro.”

47


“Oh, sendirian?� Pertanyaan Dias adalah pertanyaan pancingan, kesempatan. Wanita itu baru ingin membuka suara, namun tibatiba seorang anak kecil mendekatinya. Perempuan kecil yang menggemaskan

itu

membawa

sebuah

kunciran

pada

pergelangan tangannya. Ia berusaha menerobos antrean di belakang hingga ke depan, mendekati wanita itu. “Mama, rambut Adek berantakan.� kata perempuan kecil dengan suaranya yang manja. Dias terbelalak, ia terdiam. Perasaannya mulai tak enak. Seperti ada ribuan panah yang merasuk dalam tubuhnya, ia semakin sulit bernapas. Detak jatungnya malah pelan. Belum sempat ia merapikan jengkal napasnya, seorang pria berkacamata tiba-tiba turut menerobos antrean, berdiri di samping wanita itu, menyikut beberapa orang yang lebih dulu berada di posisi itu. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ketika antrean dibuka dan para penikmat seni dipersilakan masuk, wanita itu tersenyum

sambil

menatap

Dias,

lalu

kemudian

meninggalkannya. Tapi, Dias tak berhenti menatap, ia masih

48


terlalu asing dengan perasaan yang baru saja ia rasakan. Mereka memasuki gedung pameran, Dias masih tak berhenti memerhatikan. Perempuan kecil yang membawa kuncir rambut digandeng lembut oleh wanita itu, sementara pria berkacamata yang berdiri tepat di sampingnya merangkul dengan mesra wanita yang telah Dias cintai selama berbulanbulan Helaan napas Dias terdengar berat, ia berjalan terhuyung-huyung.

Tak sempat memunguti hatinya yang

patah.

49


Setelah Kita Putus “Aku bisa sendiri.” aku menghempaskan tangannya dengan kasar ketika ia mencoba membersihkan ice cream di bibirku. Ia terdiam, aku sibuk menyesap benda manis yang sejak tadi menggodaku. “Kita udah beda, gak sama, semua gak bisa diubah seperti dulu lagi.” Tatapannya dingin, masih memojokkanku dengan raut wajahnya yang menyebalkan. “Kenapa ngajak ketemuan lagi?” tanyaku panas dan sinis. “Belum cukup sama yang kamu lakukan selama ini?” Ia menatapku dengan tatapan memelas, aku menangkap sinyal kesalahan di matanya. Tapi, aku tak peduli, rasa kasihanku telah habis untuknya. Aku muak menatapnya, pertemuan ini tak akan terjadi jika dia tak bersungut-sungut seperti di telepon tadi. “Aku mau meminta maaf.” ucapnya lugu namun penuh rayu. “Aku bersalah.” “Baru sadar sekarang? Kemarin kemana aja, tolol!” “Aku menyesal. Aku menyesal. Aku menyesal.” 50


“Tiga kali ada kata menyesal.” “Aku menyesal!” “Empat kali.” “Kesha…” ia memanggil namaku lembut, aku tak bisa menahan tatapanku agar tak menyorot matanya. “Apa?” “Maafin aku.” “Aku udah maafin kamu bahkan sebelum kamu minta maaf.” “Sungguh?” Aku mengangguk tanpa pikir panjang, tak ingin percakapan ini berlangsung dengan lamban. Aku ingin semuanya berakhir. Dan, semoga wajah busuk ini tak lagi kutatap. “Aku menyesal, Kesha.” “Lima kali, cukup. Aku bosan dengar kata menyesal jika kamu sendiri tak pernah mencoba untuk berubah.” “Aku harus berbuat apa agar kamu benar-benar ikhlas memaafkanku?” “Tidak perlu, semuanya sudah lewat, aku enggak perlu ingat-ingat yang lalu. Semuanya sampah!”

51


Nada bicaraku mendiamkan gerak bibirnya, ia menatapku dengan tatapan minta dikasihani. “Jangan menatapku dengan tatapan tolol seperti itu, rasa kasihanku sudah habis terhadapmu, bodoh!� Ia tak banyak bicara, hanya mendengarkan aku yang terus saja mengumpatnya dan memakinya. Tiba-tiba perasaan kesal itu muncul lagi, bayang-bayang pahit itu kembali berserakan. Aku tak bisa menahan diriku untuk tak memikirkan peristiwa itu. Saat aku mendapati dirinya berciuman dengan seorang gadis di sebuah prakiran trade center daerah Jakarta Selatan. Aku ingin semuanya berlalu dan hilang seperti angin. Sungguh, aku tak ingin mengingat cara dia menyakiti dan mengkhianatiku, tapi aku terlalu lemah. Aku tak bisa menyangkal diri, bahwa aku benar-benar mencintainya, dia sudah menjadi bagian dari napasku selama beberapa tahun terakhir. Aku tak mungkin bisa melupakan seseorang yang telah mengisi hari-hariku dengan begitu cepat. Aku butuh waktu. Tapi, semua di luar prediksiku, saat aku ingin melupakannya, dia malah hadir. Berkata maaf,

52


mengucap kata menyesal, dan segala kalimat yang mampu mencairkan hatiku yang sudah sangat beku. Aku hanya bisa membohongi diriku sendiri. Memakinya, mencemoohnya, dan menghujaninya dengan kata-kata kasar, namun sebenarnya aku tersiksa. Aku tak bisa menyakiti seseorang yang kucintai, aku lelah terus-menerus menyangkal diri sendiri. Aku mencoba menyadarkan pikiranku yang sempat goyah, kembali meletakkan akal sehatku pada kenyataanyan yang ada. Aku tak mungkin lagi menerimanya kembali, sekeras apapun dia memintaa maaf padaku. Meskipun dia harus meradang, meronta, atau berlutut di hadapanku. Setelah lama kudiamkan, dia menangis. Seluruh mata pengunjung restoran bergeser ke arah kami. Ini air mata pertamanya yang pernah kulihat, bertahun-tahun ia tak pernah menangis di hadapanku. Apakah ini juga bagian dari kebohongan? “Sudahlah, Kevin. Aku bukan gadis tolol yang bisa kaupermainkan lagi. Jauh-jauh dari pandanganku, atau perlu menghilanglah dari muka bumi ini!� “Aku akan menghilang tanpa kauminta, Kesha.�

53


“Baguslah, sadar diri!” “Dan, tidak akan pernah kembali.” “Itu lebih bagus, selamanya kalau perlu!” “Iya, selamanya.” Dia mengulang kata ‘selamanya’ dengan tatapan yang bodoh disertai mata yang sembab. Aku tak ingin membuangbuang waktuku. Aku membayar ice cream dengan uangku sendiri, meninggalkan Kevin yang masih menggigil karena perkataanku. Mampus kamu! Seruku dalam hati. Aku tertawa senang. Aku berhasil menyakitinya. Aku tak menyesal berpisah dengannya. Oh, Tuhan, jadi ini rasanya bahagia? Sempurna! Tak ada lagi komunikasi dengan Kevin. Aku tak pernah mau tahu lagi kabarnya. Telingaku tak ingin lagi mendengar namanya. Aku menjalani hari-hari seperti biasa. Aku bahkan berprestasi dalam banyak hal, tak peduli pada masa lalu yang sempat membayangiku selama ini. Tapi, aku memang tak mampu menyangkal, wajah Kevin masih saja hadir dalam malam-malam sepi ketika aku sedang mendengar lagu

54


favorite kita dulu. Have I Told You Lately That I Love You, Rod Stewart selalu pandai membawakan lagu ini dengan suara yang mendayu-dayu namun menggemaskan. Memang benar, sebuah lagu mampu melempar seseorang kembali ke masa lalunya, dan aku selalu mengalami hal itu, lagi dan lagi. Entah mengapa, hari-hariku memang terasa lebih sepi. Aku sering iri melihat teman-temanku berjalan dengan kekasihnya, dan aku hanya berjalan sendirian. Yaaaaah, belajar mandiri, itulah dua kata yang membuatku bertahan sampai saat ini. Kevin, dulu, adalah pria yang baik, namun setelah mengenal wanita jalang itu, dia berubah drastis. Aku membencinya dan sepertinya perasaanku padanya berangsurangsur mulai hilang. Siang ini, aku sudah bersiap-siap ke kampus. Belum sempat membuka pintu kamar, ponselku berdering nyaring. Aku menatap ke layar ponsel, nomor tak dikenal. Sebenarnya, aku tak ingin mengangkat panggilan tersebut, tapi entah mengapa, rasanya panggilan tersebut sangat penting. “Halo…” “Halo… Kesha?”

55


Terdengar suara wanita yang rasa-rasanya akrab di telinga. “Ini, Tante, Nak.” “Tante?” “Ibunya Kevin.” Deg. Aku lemas, rasanya sulit untuk membuka suara. Aku berusaha keras untuk menahan emosiku dan perasaanku yang mulai tak stabil. “Iya, kenapa, Tante?” “Mau nemenin Tante sebentar enggak?” “Ke mana?” “Ke suatu tempat, mungkin kamu suka?” Aku terdiam agak lama, berpikir dengan keras. Namun satu kata meluncur dari bibirku, tanpa kuduga. “Oke.” “Sebenernya Tante udah lama pengin ajak kamu ke sana.” Aku masih bingung, tak mengerti arah tujuan. Di mobil aku hanya mengangguk-angguk pelan, tak mengerti pada pembicaraannya yang ngalor-ngidul. “Kita mau kemana, Tante?”

56


“Nanti, kamu juga tahu sendiri.” Jawaban tersebut sama sekali tak membuat diriku puas. Kami melewati padang ilalang dan hamparan rumput yang menghijau. Tanah yang terlihat cukup gersang namun untungnya cuaca hari itu tak begitu panas. Beberapa menit kemudian, Ibu Kevin menggunakan kaca mata hitam dan kerundung berwarna hitam. Ia mengeluarkan kembang tujuh rupa. Aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Mobil berhenti, dan rasa ingin tahuku semakin menjadi-jadi. Kami berjalan melewati tanah yang gersang tadi, dan sejauh mata memandang ada beberapa nisan yang terlihat. Aku baru tahu di tempat seindah ini ada pemakaman. Beliau menuntunku terus berjalan, kemudian berhenti di sebuah nisan. Aku tak memerhatikan dengan jelas tulisan di nisan itu, aku hanya menatap wajah wanita yang sejak tadi genggaman tangannya semakin erat di jemariku. Wanita itu sedikit berjongkok, aku ikut berjongkok. “Sudah dua bulan, Kesha.” Aku masih diam, dan mendengarkan, karena mungkin saja mendengarkan bisa memberiku jawaban. “Dia pergi, sesuai permintaanmu.”

57


Dia siapa? Aku tak mengerti, aku masih menyimak perkataan wanita ini dengan santun dan tegas. “Kevin sakit, dia selalu sembunyikan penyakitnya darimu.” Oh, jadi Kevin sakit? Dirawat di mana dia sekarang? Baguslah, itu karma untuknya, karena telah menyakitiku. “Kamu dan Kevin sudah pacaran beberapa tahun.” Duh, sialan, mengungkit masa lalu. Masa yang tak pernah ingin kuingat. Sialan. “Kevin tahu kamu sangat mencintainya, makanya ia tak ingin kepergiannya menyakitimu.” Aku terdiam. Masih tak paham. “Ia menyewa seorang wanita, dan merencanakan segalanya yang rumit, membuat semuanya seakan-akan terjadi secara tidak sengaja.” Merencanakan? “Kevin mencium wanita itu dan kamu lewat di depan mobilnya. Momentum yang pas. Semuanya terjadi sesuai rencananya.”

58


Tatapanku tajam menyapu wajah wanita itu, matanya tak

terlalu

terlihat,

kacamata

hitam

memburamkan

tatapannya. “Kevin sengaja menyakitimu agar kamu tak pernah menyesal ketika dia pergi. Itulah wujud yang sebenarnya, bahwa dia tak ingin melihatmu terluka. Dia masih mencintaimu.” Omong kosong! Teriakku dalam hati. “Dia baik sekali, Kesha. Dan kautak menyadari bahwa

pertemuan

terakhir

kalian

adalah

saat

kaumemakinya.” Jutaan panah seperti melesat ke jantungku. Aku tak bisa bernapas. Aku menatap nisan itu. Ada namanya. Nama pria yang selama ini sempat memutarbalikkan duniaku. Kevin. “Perjuangannya memang tidak sia-sia, kautidak terlihat terluka dan menyesal. Kevin berhasil menahan air matamu, Kesha. Lihatlah, kamu tidak menangis.” Aku terdiam, tak bisa berkomentar banyak. Bibirku terlalu kelu. Aku tak menyangka perjuangan Kevin begitu besar untukku.

59


Napasku masih tercekat, dan sekarang aku tahu rasanya.

60


Aku tidak seperti Mantanmu Bianca menatap jam tangannya berkali-kali. Detak dari jam yang melingkar manis dipergelangan tangannya sejak tadi terus menemani kesediriannya. Wajahnya cemas, bibirnya terkunci rapat, jemari tangan kirinya mengisi celahcelah

kecil

jemari

tangan

kanannya.

Sesekali

ia

menyilangkan tangan di dadanya, ia merasa kedinginan. Bianca kembali menatap jarum jam,

setelah itu ia

memerhatikan awan yang semakin gelap dan rintik hujan yang semakin deras, wajahnya cemasnya semakin terlihat jelas. “Kevin belum juga pulang.� ucapnya perlahan dalam hati. Disentuhnya plastik berisi dua bungkus nasi goreng yang ia beli di sebuah kedai makan mungil di ujung jalan, makanan itu sudah dingin, tak lagi hangat seperti awal ia datang ke tempat kost Kevin. Dua jam sudah ia menunggu, sementara Kevin tak kunjung pulang. Kevin juga tak membalas pesan singkat yang dikirim Bianca untuknya. Hujan semakin deras, Bianca semakin cemas. Bianca tetap saja melihat handphone-nya, meskipun tak ada satu pesan pun dari Kevin, meskipun Kevin tak kunjung memberi kabar.

61


Terdengar derap suara mobil dari luar pagar, seseorang keluar dari mobil itu. Pria itu berlari-lari kecil lalu membuka pagar, kini pria itu berdiri tepat di depan Bianca. Bianca tersenyum lega. “Kamu baru pulang? Sama siapa? Kehujanan ya?” tanya Bianca, masih dibalut wajah cemasnya. “Kamu ngapain di sini sih?!” ujar Kevin setengah membentak. “Aku mau bawain kamu nasi goreng. Kemarin, kamu sms ke aku katanya lagi pengen nasi goreng yang di ujung jalan itu, jadi aku beliin aja. Dimakan ya?” jelas Bianca dengan simpul senyum kecil bibirnya. Kevin mengalihkan pandangannya, ia tak mau menatap Bianca, “Cewe bego! Pulang lo! Udah malem! Hujan juga kan!” bentaknya dengan nada tinggi. Bianca hanya menatap sosok Kevin dengan wajah bingung, bentakan keras Kevin membuatnya mundur satu langkah dari posisi ia berdiri diawal. “Tadi kamu pulang sama siapa?” tanya Bianca menahan rasa sedihnya. “Sama mantanku, kenapa? Eh, aku heran deh sama kamu, seneng banget nungguin aku, kayak mantanku dong, orangnya enggak suka nunggu, kecuali kalau diminta!” jawab 62


Kevin enteng, dengan wajah seakan-akan ia tak menyakiti hati Bianca. “Oh…” ungkap Bianca menahan amarah. “Syukurlah kalau kamu bisa pulang sama dia, kamu juga enggak terlalu kehujanan. Ini nasi gorengnya, kamu makan ya. Aku mau pulang dulu.” “Bawa aja nasi gorengnya, aku tadi udah makan kok sama dia.” tungkas Kevin dengan nada enteng. “Enggak usah, kamu bawa aja. Aku pulang ya. Nanti langsung mandi dan keramas habis itu minum teh hangat supaya kamu enggak kedinginan.” tegas Bianca sambil menatap wajah Kevin dengan penuh perhatian. Kevin tetap membuang muka, sesekali Kevin menatap Bianca. Pandangannya mencuri-curi celah untuk menatap Bianca. Tapi, tetap saja dari raut wajahnya terlihat jelas bahwa Kevin tak peduli dengan Bianca. Kevin tak peduli dan tak mau tahu rasa khawatir yang Bianca simpan dalam-dalam. Padahal, rasa khawatir adalah wujud dari rasa cinta dan perhatian. Perhatian yang diabaikan layaknya rasa sakit yang diam-diam menghujam. Itulah yang dirasakan Bianca. Ia pulang dengan rasa hampa. Ia pulang dengan gerimis kecil dimatanya, gerimis itu bernama air mata. Suara mahasiswa yang berdengung membuat Bianca pusing tujuh keliling. Bianca adalah wanita plegmatis yang 63


kadang membenci keramaian. Ia hanya duduk sendirian, merasakan angin genit yang bermain dengan rambut hitamnya. Kevin berjalan di depannya namun Kevin peduli, tak mau menatap sosok Bianca yang menunggunya sejak tadi. Bianca terbangun dari bangkunya, ia berlari-lari kecil mengejar sosok Kevin, “Kamu kenapa akhir-akhir ini cuek banget?” Kevin mengarahkan pandangannya pada Bianca, “Emang kenapa? Kamu kan cuma pacarku bukan istriku, salahku kalau nyuekin kamu?” Bianca mengehentikan langkahnya, ia tertunduk seusai mendengar ucapan yang terlontar begitu saja dari bibir Kevin, “Kapan kamu menghargai aku sebagai sosok yang penting dalam hidupmu?” “Kapan? Kenapa bertanya? Bukankah aku selalu menghargai kamu?” tanya Kevin dengan nada keheranan. “Padahal, apa yang tidak kuketahui tentangmu? Semua hal tentangmu tak pernah kecil dimataku. Aku selalu menghargai kamu, menghormati posisimu, dan masih memperlakukanmu dengan baik meskipun kadang kautak menghargai aku.” jelas Bianca dengan matanya yang mulai berair. “Wanita bodoh! Jangan jadikan air matamu sebagai senjata pamungkasmu! Kamu cengeng, kamu berbeda dengan 64


mantanku. Dia jauh lebih kuat daripada kamu!” tungkas Kevin dengan nada tinggi. Ya… aku memang tidak seperti mantanmu. Aku memang tidak secantik dan setegar dia. Aku memang tidak secerdas dan semandiri dia. Aku jelas-jelas tak luar biasa seperti dia. Tapi, dia hanya masa lalumu, sedangkan aku adalah masa kini yang mungkin akan kaubawa ke masa depanmu!” Bianca menatap Kevin dengan tatapan serius. Tak pernah Kevin melihat Bianca sekeras dan seberani itu. “Kamu memang tidak seperti mantanku.” ucap Kevin singkat. “Aku memang tidak seperti mantanmu. Aku adalah aku, yang akan luar biasa dengan jalan dan pilihanku sendiri. Kenyataannya

kamu

memang

tidak

bisa

melupakan

mantanmu dan masa lalumu.” ujar Bianca memicingkan mata, tatapannya tajam menatap Kevin. “Bukan urusanmu!” “Dan, aku sangat kecewa pada diriku sendiri, kenapa aku sulit membuatmu lupa pada masa lalumu.” “Masa lalu bukan untuk dilupakan, masa lalu ada untuk dijadikan pelajaran.” Mata Bianca memerah, cahayanya yang bening tak lagi bersinar dari bola matanya, “Aku juga kecewa pada

65


diriku sendiri, kenapa aku sulit membuatmu jatuh cinta kepadaku lalu melupakan mantanmu?” Kevin tak tega menatap Bianca, naluri lelakinya keluar, selalu tak tega menatap wanita yang sedang menangis, “Sudahlah…” ucap Kevin perlahan. “Jangan menangis.” “Kita akhiri saja semua kalau memang kamu masih memikirkan masa lalumu. Kita akhiri saja semua kalau memang kaulebih merindukan masa lalumu. Kita cukupkan sampai di sini, kalau masa lalumu lebih mampu untuk membahagiakanmu.” “Maksudku bukan seperti itu, Sayang.” dengan nada sok manja, Kevin menarik lengan Bianca. “Maaf ya?” “Percuma ada kata maaf jika kau tak mau berubah. Percuma ada kata maaf jika kauterus mengulang kesalahan yang sama. Kembalilah pada

masa

lalumu,

aku

juga

tak

membutuhkan orang sepertimu dimasa depanku.” Cetus Bianca, meghempaskan lengan kevin dari lengannya. Kevin tak menyangka bahwa wanita yang beberapa bulan ini disiksanya juga mampu menyiksanya dengan cara yang menyakitkan. Hukum karma ternyata berlaku, jika seseorang menyakiti hati orang, maka akan ada saatnya hatinya juga akan tersakiti. Kevin hanya mematung menatap Bianca, menatap punggungnya hilang dari pandangannya. Jam waker melakukan tugasnya dengan baik, celotehnya 66


yang berisik membangunkan Kevin yang masih saja terantuk di ujung kantuk. Dimatikannya jam waker itu, ditariknya lagi selimut yang sejak tadi malam menghangatkan tubuhnya. Matanya menatap jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. Gerakan reflek, ia menatap handphone, tak ada pesan singkat dari Bianca. Tak ada suara ketukan pintu dari luar. Tak ada lagi wanita yang menyiapkan bubur ayam sebagai sarapan kesukannya. Tak ada sosok wanita yang meletakkan teh hangat di dekat tempat tidurnya. Tak ada lagi Bianca yang memerhatikan

sosoknya.

Ia

merasa

kesepian.

Rasa

membutuhkan dan perasaan akan kehilangan baru ia rasakan ketika ia telah kehilangan. Kevin menghela napas. Ia menarik selimut untuk menghangatkan dadanya.

Tubuhnya

masih

menggigil,

demamnya tak juga turun. Entah sudah berapa lama hujan menari-nari tadi malam, hingga dinginnya masih saja menusuk tulang. Sosok Bianca yang ia harapkan tergopohgopoh membawa obat dan segelas air putih, tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Hanya detak jam dinding yang

mendesah

perlahan

Tak ada Bianca.

67

kala

itu.


Tersirat

“Woy, Baju Merah! Woy!” Dira berbalik badan dan menghentikan langkah, “Gue?” “Iya! Elo yang namanya Dira ya?” “Iya, kenapa?” “Anu lho, Si Kevin....” “Kevin?” “Iya, anak yang sekelas sama elo!” “Dih, elo bukannya sejurusan sama gue? Elo anak psikologi juga kan? Mahasiswa baru juga?” “Gue Rama, kita satu jurusan juga, kok, tapi beda kelas. Sewaktu pertemuan pertama mahasiswa baru, elo lihat gue kan?” Dira memutar ingatannya, mencoba mencari-cari wajah Rama dan mengingat kembali pertemuan pertama mahasiswa baru, ketika ia temukan wajah Rama dalam memorinya, Dira langsung mengangguk cepat, “Iya, gue inget.” “Bagus! Gue mau cerita mengenai Kevin nih.”

68


“Ada apa dengan Kevin? Enggak ada hujan dan enggak ada angin kok elo tiba-tiba cerita tentang dia?” “Kevin suka cerita tentang lo! Dia juga sering banget bercerita tentang percakapan antara lo dan dia. Kayaknya, dia suka banget deh sama elo, Dir.” Pipi Dira memerah, “Kita cuma sering becanda di sms atau bbm, kok, enggak lebih dari itu.” Pria itu menatap wajah Dira sambil menghela napas pelan dan panjang. Dira meneliti wajah pria itu dengan cermat, nampaknya ia sangat bersemangat mengejar Dira hingga napasnya terengah-engah seperti itu. “Dia juga cerita kalau elo suka sms atau bbm dia duluan. Katanya, elo lucu, ramah, dan supel. Dia nyaman ngomong sama elo.” “Wah, gue baru tahu kalau elo deket sama Kevin.” “Dia sering main ke kosan gue, soalnya kosan dia katanya sepi. Dia enggak terlalu suka tempat yang sepi.” Dira mengangguk mengerti, “Terus, dia cerita apalagi?” “Elo penasaran? Mending kita ngobrol dekat danau itu aja, lumayan anginnya sepoi-sepoi.”

69


Langkah mereka berayun menuju salah satu bangku di dekat danau. Dalam keadaan seperti ini, sejauh mata memandang terlihat Perpustakaan kampus berdiri megah. Aliran danau yang tenang namun menggoda menciptakan gemerisik yang merdu. Terpaan angin yang sejuk memainkan rambut Rama dan Dira. Dira tak terlalu mengenal Rama, mungkin inilah kali pertama Dira bisa benar-benar bercakap dengan Rama. Hal itulah yang juga dirasakan Rama, inilah kali pertama ia bercakap dengan Dira. “Kevin cerita banyak hal mengenai elo. Dia memerhatikan setiap detail yang ada dalam diri lo.” “Wah, tapi, kok elo malah cerita-cerita ke gue sih? Harusnya, itu kan jadi rahasia antara elo dan Kevin.” “Bagi gue, ini bukan rahasia. Enggak ada gunanya disimpan diam-diam kalau dikatakan jauh lebih berarti.” “Elo serius kalau Kevin sering cerita tentang gue ke elo?” “Iya, masa gue bohong sama elo? Elo suka sama dia?” Dira terdiam.

70


“Oke, diam lo cukup menjawab, kok.” Senyum

Dira

melengkung

sempurna,

ia

membayangkan bagaimana Kevin, pria yang baru-baru ini mengisi hatinya yang kosong, sangat berantusias bercerita tentang dirinya kepada sahabat karib Kevin, Rama. Dira juga mereka-reka bagaimana wajah Kevin yang sangat manis itu mengucapkan nama Dira berkali-kali. Senyum Dira semakin puas, ia merasa bahwa usahanya mendekati Kevin telah mendapatkan respon. Kevin yang Dira kira adalah cowok angkuh dan pelit respon ternyata menyimpan rahasia yang mendalam. Bagi Dira, Kevin juga menyukai Dira sedalam Dira menyukai sosok Kevin. Senyum Dira terlihat semakin puas. Sangat puas. “Tetap bikin dia tersenyum ya, kayaknya cuma elo yang berhasil mengembalikan senyumnya.” “Lho, kok segitunya sih, Rama? Emangnya ada apa dengan Kevin?” “Tadinya, dia udah lupa rasanya jatuh cinta, kehadiran elo benar-benar mengubah dia.” “Rama, thanks ya! Gue jadi tambah semangat nih buat bikin Kevin terus tersenyum.”

71


“Bagus. Sekarang, udah sore banget, elo enggak pulang?” “Keasikan cerita jadi lupa kalau gue mau pulang!” Rama tertawa geli. Dira segera pamit meninggalkan Rama. Langkah Rama tak langsung beranjak, ia memerhatikan punggung Dira yang semakin lama semakin menjauh. Napasnya berembus dengan sangat berat, “Dira, seandainya gue bisa jadi Kevin.” Dira sejak tadi menatap pintu kelas, ia berharap sosok Kevin datang sebelum mata kuliah dimulai. Tatapan Dira masih begitu serius, hingga sosok Kevin yang diharapkan terlihat muncul dari balik pintu. “Kevin!” Kevin menatap acuh tak acuh pada Dira, “Yo, Dir.” Merasa diabaikan, Dira segera mendekati Kevin menuju mejanya. “Pagi ini suntuk banget, udah sarapan?” Kevin menggeleng lemah, matanya tak lepas dari buku tebal yang berada di jemarinya. “Dira masakin Kevin nasi goreng lho,” tangan Dira mengulurkan sekotak makanan ke

meja Kevin. “Enggak

terlalu enak sih, tapi dimakan ya, Kevin.”

72


Wajah menyebalkan Kevin tak luput dari pandangan Dira, reaksi Kevin yang menyebalkan ternyata tak membuat Dira jera. Ia masih terus berusaha mengajak Kevin bicara, namun respon Kevin tetap sama; tersenyum setengahsetengah. Ketika percakapan berlangsung semakin hambar, Rama mengagetkan mereka berdua dengan suara khasnya, “Woi! Berdua aje!” Senyum Dira melengkung malu-malu, “Eh, Rama, pagi-pagi udah godain orang aja!” “Woi, Bro, untungnya elo dateng, kelas elo belum masuk emang?” “Kelas B belum masuk kok, Vin.” “Oh iya, gue mau cerita banyak nih!” ucap Kevin dengan nada bersemangat ketika melihat sosok Rama berdiri di samping mejanya. Pasti mereka mau ngomongin gue. Dira tersenyum tipis, ia sangat yakin dengan kata hatinya. “Kevin, nanti balajar bareng di Perpustakaan Pusat UI mau enggak?” Tatapan itu masih sama, tatapan tak peduli, “Jam berapa? Sama siapa aja?”

73


“Habis kelas pagi ini, berdua aja, kalau kebanyakan orang takut terlalu rame.� “Oke, gue ngikut ajadeh!� Senyum Dira terhapus, ia merasakan debaran aneh di jantungnya. Ketika Kevin menatapnya, meskipun hanya sekali lirik, tatapan itu benar-benar meruntuhkan logika dan pikirannya.

Dira

masih

beranggapan

bahkan

Kevin

sebenarnya juga menyukai Dira, namun Kevin masih menunggu waktu yang tepat untuk memberi respon kemudian mengungkapkan. Dira menutup hatinya rapat-rapat untuk orang lain, karena kunci hatinya telah dimiliki oleh Kevin. Ia sangat yakin bahwa pengabaian Kevin bukanlah hal yang sebenarnya ingin ditunjukkan Kevin, ia punya pendapat sendiri terhadap perasaan Kevin. Baginya, Kevin punya perasaan yang sama, namun Kevin masih malu-malu untuk menunjukkan perasannya. Ketika kuliah pagi usai, Dira langsung melengos pergi menuju Perpustakaan. Ia berlari menuju halte bis kuning yang akan mengantarkan dia sampai di depan halte bisa kuning Pondok Cina. Napasnya yang terengah-engah tak meluruhkan

semangatnya

untuk

74

segera

sampai

di


Perpustakaan . Sesampainya di sana, ia segera menaiki lift menuju lantai tiga, dengan sigap mencari meja yang pas untuk belajar bersama Kevin. Rasa lelahya disandarkan pada bangku yang ia duduki, dengan hati berdebar-debar ia menunggu kedatangan Kevin. Kerjaannya sejak tadi hanya menatap jam tangan biru yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu semakin berlalu. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Kevin tak datang. Hanya untuk menunggu Kevin, Dira bahkan meninggalkan jadwal mata kuliah siang. Wajah Dira terlihat semakin kecut, hatinya bertanya-tanya. Apakah Kevin memang punya perasaan yang mendalam seperti yang diceritakan Rama? Apakah Kevin menyukai Dira seperti Dira lebih dulu menyukai Kevin? Apakah semua perkataan Rama tentang perasaan Kevin pada Dira harus benar-benar dipercaya? Dira melipat tangan, ia menundukkan kepala.... menangis dalam diam. Rama yang sejak tadi menatap Dira

75


dari kejauhan, tak bisa berbuat banyak. Rama ingin berada di samping Dira, memeluknya dengan rapat, tapi rasanya tak mungkin. Ini bukan yang pertama kali bagi Dira. Ia menunggu sendirian, berjam-jam, demi sosok Kevin. Satu kali masih bisa dimaklumi, dua kali masih bisa ditolerir, tiga kali masih bisa dimaafkan, tapi tujuh kali? Dira menghela napas berat, apakah kehadiran Dira tak pernah Kevin anggap sama sekali? Pengorbanan dari menunggu memang menyakitkan, apalagi jika orang yang ditunggu tak pernah menampakan diri. Itulah rasa sakit yang Dira pendam, tak pernah ia ceritakan kepada siapapun. Ia masih menganggap Kevin adalah dunianya. Dia masih menganggap Kevin adalah sebab dari kebahagiaannya. Bisakah disebut kebahagiaan jika Kevin selalu melanggar janjinya? Benarkan perkataan Rama selama ini. Rama selalu bercerita kepada Dira bahwa Kevin sangat menyukai Dira, bahkan tergila-gila, namun hal itu tak benar-benar dirasakan Dira; justru pengabaianlah yang Dira rasakan sehari-hari. Cintanya seakan-akan bertepuk sebelah tangan. Pengakuan Rama mengenai perasaan Kevin, yang

76


katanya begitu mencintai Dira, ternyata berbeda dengan yang Dira rasakan selama ini. Inikah kesalahan Dira? Terlalu bodoh menanti seseorang yang mungkin saja tak mencintainya? Nampaknya, Dira sudah berikan segalanya. Perhatian, sikap manis, dan tentu saja cinta. Balasan apa yang Dira terima dari Kevin? Rasa sakit hati. Pantaskah Dira menuntut balas dari Kevin? Bukankah cinta tak pamrih? Bukankah cinta tak mengenal kata menuntut untuk dicintai balik? Bukankah cinta lebih mengenal ketulusan daripada imbalan? Iya, Dira paham, sangat paham. Namun... Kevin... apakah dia tak punya mata untuk melihat pengorbanan Dira? Apakah dia tak punya telinga untuk mendengar kata-kata manis dari bibir dira? Apakah Kevin tak lagi punya perasaan untuk merasakan perhatian yang Dira berikan? Dira hanya terdiam, tak bisa apa-apa, bahkan ketika Kevin tak datang untuk kesekian kalinya. Janji diingkari lagi. Ia menunggu Kevin di dekat danau hingga hujan deras. Terpaksa, Dira berteduh di bawah lorong. Ia merapatkan tangannya di depan dada, berusaha menemukan kehangatan

77


dengan memeluk tubuhnya sendiri. Hujan selalu berhasil membuat seseorang mereka-reka kembali ingatan masa lalunya, hal itu juga yang Dira lakukan ketika hujan semakin deras dan udara semakin dingin. Ia berpikir keras. Untuk apa ia berkorban demi Kevin? Kevin yang terlihat tak merespon, memberi perhatian, dan balik mencintainya. Dira tak ingin memikirkan Kevin untuk saat-saat ini, karena saat memikirkan Kevin; ia tak lagi temukan celah kebahagiaan. Di bawah hujan yang semakin deras, Rama berlarilari kecil menghampiri Dira. Ia sudah tahu sebenarnya Kevin tak akan datang dan Dira akan menunggu sendirian. Rama tak tahan melihat Dira yang justru kehilangan senyumnya ketika berusaha membuat Kevin tersenyum. “Ngelamun terus lo!” “Bukan ngelamun, ini lagi berteduh!” “Nunggu siapa?” Dira terdiam. Ia menatap Rama dengan tatapan sendu. “Enggak usah dijawab, gue selalu bilang sama elo kan, diam lo sudah cukup menjawab.” Rama menerangkan dengan wajah kusut. “Kevin enggak datang lagi?”

78


Anggukan Dira berayun pelan. “Entah sudah yang keberapa kali.” “Masih mau menunggu?” Dira tersenyum kecut. “Buat apa menunggu yang jauh agar segera kembali jika yang di dekat lo tak pernah memutuskan pergi?” Tatapan Dira heran, “Maksud lo?” “Buka mata lo.” “Udah.” “Bukan mata yang itu!” Rama menunjuk kelopak mata Dira. “Mata yang mana?” “Yang ini.” ucap Rama sambil mengarahkan jari telunjuk ke dadanya. “Gue enggak mau kalau senyum lo malah pudar ketika lo ingin membuat orang lain tersenyum.” “Gue enggak kehilangan senyum gue sendiri kok.” “Elo enggak merasa, tapi orang di sekitar lo merasakan. Ketika hati lo enggak peka, orang lainlah yang bisa saja merasakan yang sebenarnya terjadi sama lo.” “Rama.... tapi, kata elo, Kevin sayang sama gue.” mata Dira berair.

79


“Bercerita tentang Kevin adalah satu-satunya cara agar gue punya kesempatan ngobrol sama lo.” jelas Rama dengan wajah menunduk. “Perasaan Kevin yang gue ceritakan ke elo sebenarnya adalah perasaan gue, yang entah harus bagaimana gue ungkapkan ke elo.” “Jadi....” “Jadi,

kita

pulang,

sebelum

elo

menggigil

kedinginan.” Dira berusaha mengundang senyum kembali ke bibirnya, Rama merangkul Dira dengan debaran jantung berirama cepat. Jika

bisa

terus

berjalan,

haruskah

menghentikan langkah untuk menunggu? Jawabannya ada di dalam hatimu.

80

kamu


Kolaborasi Kata

81


Lima Belas Minggu setelah Kepergian Kamu

Di tengah beberapa tugas yang meminta untuk segera diselesaikan, di antara beberapa tulisan yang minta dituntaskan. Seperti aku butuh sedikit udara bebas sambil menghirup kenangan kita dulu. Dengan keisengan yang sangat niat, aku kembali membaca pesan singkat kita dulu. Tulisan-tulisan yang sengaja kusimpan agar bisa kubaca ulang ketika aku merindukanmu. Ah, hal ini memang hanya dilakukan

oleh

pengecut,

aku

tak

pernah

berani

menghubungimu lebih dulu, bahkan saat aku sedang sakitsakitnya merindukanmu. Setelah lima belas minggu, sudah banyak yang berubah. Dulu, saat mengenalmu, aku masih semester dua, sekarang sudah menjelang semester tiga. Kamu pun juga begitu. Semoga, kamu sudah lebih dewasa, tidak bersikap kekanak-kanakan seperti dulu masih bersamaku. Ngomongngomong soal kekanak-kanakan, akhir-akhir ini aku sering merasa kesepian, entah karena aku terlalu berfokus pada tugas-tugasku atau memang karena saat ini aku masih

82


sendirian. Dan, disaat sepi seperti ini, aku merindukan suara manismu juga pesan singkatmu. Percakapan di telepon, pembicaraan di pesan singkat, ataupun genggaman tanganmu rasanya memang sederhana. Tapi, semua terasa tak lagi sederhana ketika aku kehilangan kamu. Semua jadi begitu rumit setelah kamu pergi. Aku harus mengatasi malam-malam sepi, malam saat kamu tidak lagi di sini. Aku sendiri membawa luka yang kupatri dengan jemariku sendiri. Sudah tahu kamu begitu, tak pernah mau tahu apalagi memahamiku, mengapa dulu aku masih juga ingin memperjuangkanmu? Lucu, ya, kalau diingat-ingat aku pernah begitu bodoh. Pernah begitu tolol memercayai bahwa yang kautunjukan dulu adalah cinta. Ah, dasar wanita, selalu menilai yang manis, yang hangat, yang kuat berarti cinta. Siapa yang tahu wujud cinta? Bahkan, cintapun, bisa ditunjukan dalam diam, dalam bisu. Selama bersamamu, aku ini sebenarnya bisu. Ingin saja kaubawa kemanapun tanpa aku pernah mengeluh apalagi meminta. Kamu bawa aku ke dalam perasaan yang sebenarnya sangat ingin kutolak. Aku selalu takut jatuh cinta dengan yang berbeda, yang digembar-

83


gemborkan banyak orang akan berakhir dengan luka. Tapi, waktu pertama kali mengenalimu, rasanya kamu tidak akan melukaiku. Iya, wanita yang perasaannya kuat pun bisa juga berpikiran salah bukan? Aku terlalu asik mengitari planetmu, seperti bulan yang mengelilingi tapi tak benar-benar merasuki. Aku ada di sampingmu, mendoakanmu, memelukmu, merangkulmu; tapi semua

kosong.

menjagamu;

tapi,

Aku semua

mencintaimu, maya.

merindukanmu,

Bisakah

kaurasakan

kekosongan yang juga kurasakan dulu? Ketika kamu begitu asik memanggilku dengan panggilan sayang, aku tak melawan karena sudah merasa terlalu nyaman. Saat kamu merangkulku seakan aku kekasihmu, aku tak menghindar karena kurasakan sentuhan yang berbeda dari jemarimu, yang kupikir akan seterusnya atau selamanya menghangatkanku. Nyatanya, tidak begitu, semua hanya sesaat, yang kupikir bertahan lama justru begitu cepat kendas. Kamu ingat masa-masa manis itu terjadi berapa lama? Hanya satu minggu namun kenangan yang melekat masih terasa sampai sekarang, berminggu-minggu; lima belas minggu.

84


Kudengar, kamu sudah punya yang baru. Ini begitu lucu, kamu sudah bersama yang lain sementara aku masih sibuk memikirkanmu, mendoakanmu, juga membaca pesan singkatmu dahulu. Setiap orang memang berbeda dan aku tak bisa memaksakan otak dan hatiku untuk melupakanmu. Ya, izinkan aku berproses untuk bahagia dengan cara menikmati luka. Namun, miris juga rasanya, mengingat kita pernah baikbaik saja tapi sekarang tak lagi saling bersapa. Entah mau Tuhan apa, sejak mengenalmu aku juga tak ingin hadirnya cinta. Tapi, hati ini maunya berbeda, kita menjalani bersama. Dengan janji-janjimu yang kupercayai akan menjadi nyata, dengan kata-katamu yang manis namun penuh dusta. Seandainya dulu kaubilang hanya ingin jadi teman, mungkin aku tak akan ingin kaubawa melangkah sejauh ini. Kalau dari awal kaumenyadarkanku dengan perbedaan kita, pasti kita sudah saling berjauhan dari dulu, sudah saling melupakan, eh, bukan, deh, kamu yang duluan melupakan, aku tidak, tidak akan pernah mudah melupakan seseorang yang sudah menjadi bagian dalam hari-hariku, meskipun hanya satu minggu.

85


Aku merindukanmu

86


Kita (mungkin) Belum Benar-Benar Putus

Mungkin, dulu aku tak benar-benar mencintaimu, ketika jantungmu berdetak lebih cepat saat bertemu denganku, aku tak merasakan jantungku berdetak dengan hebat ketika bersamamu. Perkenalan kita begitu singkat, pertemuan kita cukup beberapa saat, lalu kaukatakan cinta, lalu ka tunjukkan rasa, lalu kaubahagia dengan cinta "instan" yang kita lalui berdua. Ya, aku bahagia, tapi tidak benarbenar bahagia, karena (mungkin) aku tak merasakan perasaan yang sama denganmu, karena (mungkin) aku asal menjawab saja ketika ka memintaku menjadi saru-satunya dalam hidupmu. Aku tak pernah mempedulikanmu! Aku tak pernah mau tahu kabarmu! Aku hanya bertingkah seolah-olah kaukekasihku, karena masih ada labirin-labirin kosong dihatiku, yang tak mampu terisi olehmu. Ya, kita bertingkah layaknya pasangan kekasih yang sangat bahagia, tapi apa yang kurasakan? Genggaman tanganmu, kosong! Pelukanmu, semu! Tutur katamu, tak penting bagiku! Senyummu, tak mampu membuat jantungku menderu menggebu! Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan,mu Bermesraan denganmu

87


tanpa

kautahu

apa

yang

kulakukan

dibelakangmu.

Sebenarnya, apa yang salah denganku? Sebenarnya, ini salahku atau salahmu? Awalnya, semua berjalan biasa saja, tapi aku mulai risih dengan tingkah bodoh dan keanehanmu! Aku tak tahan dengan semua hal bodoh yang kauperlihatkan padaku. Aku tak suka caramu mengatakan cinta dengan hal setolol itu! Kenapa kaselalu membuatku marah? Kenapa kautak pernah berusaha menumbuhkan cinta dalam hatiku? Kenapa aku tak bisa mencintaimu walaupun kutahu kautelah berkorban banyak untukku? Tapi, Tuhan memang adil, Tuhan berikanku rasa sakit untuk menyadarkanku dari kesalahanku. Kata putus yang kulontarkan dengan begitu mudahnya, tanpa tangis tapi penuh tawa ternyata tak selamanya menjadi tawa bagiku. Selang beberapa hari memang semua berjalan normal, tapi aku merasa ada mozaik yang hilang dalam hidupku; kamu yang kutinggalkan dengan sengaja dan dengan kejamnya. Pesan singkatmu, tawa renyahmu, senyummu, kata-kata cintamu, tak ada ada lagi hal-hal manis yang dulu kuanggap seperti sampah itu. Tak ada lagi kamu yang mengisi harihariku dengan lelucon bodoh dan tampang tolol itu. Tak ada

88


lagi kamu yang diam-diam mencium pipiku ketika aku sibuk dengan handphone dan laptopku. Aku merasa sendirian. Aku benar-benar merasa kehilangan. Kini, aku semakin percaya bahwa kita baru benar-benar mencintai seseorang ketika kita kehilangan sosoknya, dan hal itu kini terjadi padaku. Memang, setelah berpisah denganmu, aku dengan begitu mudahnya mendapat seseorang lagi yang berusaha mengisi hari-hariku, tapi dia tak sebodoh kamu, dia tak setolol kamu, dia tak mampu menggantikan kamu. Dia hanya berhasil mengganti statusku yang single menjadi in relationship, dia tak benar-benar mampu menggantikan kamu yang (tanpa kusadari) telah mengisi hatiku. Aku semakin mengerti

bahwa

tak

ada

seorangpun

yang

mampu

menggantikan sosokmu. Meskipun kini aku telah bersamanya, dan kaujuga telah menemukan seseorang yang baru, tapi perasaanku tak berubah sedikitpun. Aku justru sangat mencintaimu ketika kini kautelah bersamanya. Saat melihat kaudengan dia, ada rasa sakit yang menikamku dalam-dalam, ada kenangan yang diam-diam mendesakku kembali ke masa lalu, sambil berkata

89


dalam hati: "Dulu aku pernah menggenggam tanganmu, tapi sekarang dia yang mampu melakukan itu, kekasih barumu." Hanya itu yang bisa kulakukan, MENYESAL! Membiarkanmu

mencintaiku

tanpa

mempedulikan

perasaanmu, membiarkanmu memberi kejutan tanpa pernah memerhatikan usaha kerasmu, aku sadar bahwa ternyata dulu kamu benar-benar mencintaiku. Cuma itu yang bisa kulakukan, menangis diam-diam ketika kulihat barangbarang pemberianmu masih kusimpan dengan rapi. Kita memang telah berpisah, tapi perasaanku belum bisa lepas darimu. Kita memang telah putus, tapi kenanganku tentangmu belum benar-benar putus.

Aku takut kehilangan seseorang yang tak lagi kumiliki... kamu.

90


Belajar Melepaskan

Kamu mengenalkan namamu begitu saja, uluran tanganmu dan suara lembutmu berlalu tanpa pernah kuingatingat. Awalnya, semua berjalan sederhana. Kita bercanda, kita tertawa, dan kita membicarakan hal-hal manis; walaupun segala percakapan itu hanya tercipta melalui pesan singkat— BBM. Perhatian yang mengalir darimu dan pembicara manis kala itu hanya kuanggap sebagai hal yang tak perlu dimaknai dengan luar biasa. Kehadiranmu membawa perasaan lain. Hal berbeda yang kamu tawarkan padaku turut membuka mata dan hatiku dengan lebar. Aku tak sadar, bahwa kamu datang memberi perasaan aneh. Ada yang hilang jika sehari saja kamu tak menyapaku melalui dentingan chat BBM. Setiap hari ada saja topik menarik yang kita bicarakan, sampai pada akhirnya kita berbicara hal paling menyentuh cinta. Kamu bercerita tentang mantan kekasihmu dan aku bisa merasakan perasaan yang kaurasakan. Aku berusaha memahami

kerinduanmu

akan

91

perhatian

seseorang.


Sebenarnya, aku sudah memberi perhatian

itu tanpa

kauketahui. Mungkinkah perhatianku yang sering kuberikan tak benar-benar terasa olehmu? Aku mendengar ceritamu lagi.

Hatiku

bertanya-tanya,

seorang

wanita

hanya

menceritakan perasaannya pada pria yang dianggap dekat. Aku bergejolak dan menaruh harap. Apakah kausudah menganggap aku sebagai pria spesial meskipun kita tak memiliki status dan kejelasan? Senyumku mengembang dalam diam, segalanya tetap berjalan begitu saja, tanpa kusadari bahwa cinta mulai menyeretku ke arah yang mungkin saja tak kuinginkan. Saat bertemu, kita tak pernah bicara banyak. Hanya sesekali menatap dan tersenyum penuh arti. Ketika berbicara di BBM, kita begitu bersemangat, aku bisa merasakan semangat itu melalui tulisanmu. Sungguh, aku masih tak percaya segalanya bisa berjalan secepat dan sekuat ini. Aku terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini bukan cinta. Ini hanya ketertarikan sesaat karena aku merasakan sesuatu yang baru dalam hadirmu. Aku berusaha memercayai bahwa perhatianmu, candaanmu, dan caramu mengungkapkan

92


pikiranmu adalah dasar nyata pertemanan kita. Ya, sebatas teman, aku tak berhak mengharapkan sesuatu yang lebih. Aku tak pernah ingin mengingat kenangan sendirian. Aku juga tak ingin merasakan sakit sendirian. Tapi, nyatanya.... Perasaanku tumbuh semakin pesat, bahkan tak lagi terkendalikan. Siapakah yang bisa mengendalikan perasaan? Siapakah yang bisa menebak perasaan cinta bisa jatuh pada orang yang tepat ataupun salah? Aku tidak sepandai dan secerdas itu. Aku hanya manusia biasa yang merasakan kenyamanan dalam hadirmu. Aku hanya manusia yang takut kehilangan seseorang yang tak pernah aku miliki. Salahku memang jika mengartikan tindakanmu sebagai cinta. Tapi, aku juga tak salah bukan jika berharap bahwa kamu juga punya perasaan yang sama? Kamu sudah jadi sebab tawa dan senyumku, aku percaya kautak mungkin membuatku sedih dan kamu tak akan jadi sebab air mataku. Aku percaya kamulah kebahagiaan baru yang akan memberiku sinar paling terang. Aku sangat memercayaimu, sangat! Dan, itulah kebodohan yang harus kusesali.

93


Ternyata,

ketakutanku

terjawab

sudah,

kamu

menjauhiku tanpa alasan yang jelas. Kamu pergi tanpa ucapan pisah dan pamit. Aku terpukul dengan keputusan yang tak kausampaikan padaku, tapi pantaskah aku marah? Aku tak pernah jadi siapa-siapa bagimu, mungkin aku hanya persinggahan; bukan tujuan. Kalau kauingin tahu, aku sudah merancang berbagai mimpi indah yang ingin kuwujudkan bersamamu. Mungkin, suatu saat nanti, jika Tuhan izinkan, aku percaya kita pasti bisa saling membahagiakan. Aku tak punya hak untuk memintamu kembali, juga tak punya wewenang untuk memintamu segera pulang. Masih adakah yang perlu kupaksakan jika bagimu aku tak pernah jadi tujuan? Tidak munafik, aku merasa kehilangan. Dulu, aku terbiasa dengan candaan dan perhatian kecilmu, namun segalanya tiba-tiba hilang menguap, bagai asap rokok yang hilang ditelan gelapnya malam. Sesungguhnya, ini juga salahku, yang bertahan dalam diam meskipun aku punya perasaan yang lebih dalam dan kuat. Ini bukan salahmu, juga bukan kesalahannya. Tapi, tak mungkin matamu terlalu buta dan hatimu terlalu cacat untuk tahu bahwa aku mencintaimu.

94


Aku harus belajar tak peduli. Aku harus belajar memaafkan, juga merelakan.

95


96


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.