Bencana di Ambang Mata

Page 1

JANUARI, 2009

ACEHKINI April 2009

Rp 16.000,-

www.acehkini.co.id1


2


Surat Ada Polisi, kok Jaga Malam

Penerbit PT. ACEHKINI Dewan Redaksi Yuswardi AS, Nurdin Hasan, Irfan Sofni, Adi Warsidi Redaktur Fakhrurradzie Gade Redaktur Foto Fauzan Ijazah Koordinator Liputan Maimun Saleh Wartawan Mismail Laweueng, Dedek Parta, Daspriani Y Zamzami, Rza Nasser, Jamaluddin (Banda Aceh), Imran MA (Lhokseumawe), Halim Mubary (Bireuen), Fotografer Hasbi Azhar, Chaideer Mahyuddin Keuangan Abdul Munar Penata Letak Khairul Umami Ombudsman Stanley Kolumnis Azhari Distribusi Muhammad Yusuf, Alamat Jl. Bahagia No 3, Punge Blang Cut Banda Aceh Telepon/Faksimil 0651.44416 website www.acehkini.co.id e-mail redaksi@acehkini.co.id surat/foto untuk redaksi harap dialamatkan ke:

Jl. Bahagia No.3 Punge Blang Cut, Banda Aceh atau

redaksi@acehkini.co.id ACEHKINI April 2009

Menjelang pemilu seluruh desa di Aceh diwajibkan menggelar ronda malam. Kegiatan ini mengingatkan kita pada kondisi Aceh saat berkecamuknya konflik. Giliran jaga malam menjadi momok tersendiri masyarakat di pedalaman Aceh. Pasalnya saat Aceh masih menyala, para petugas jaga malam sering menjadi sasaran pihak bertikai. Di satu sisi, maraknya aksi kriminal di Aceh pascadamai menjadi alasan pembenar untuk mengaktifkan kembali kegiatan ini. Di lain hal, menjaga keamanan suatu daerah dan lingkungan merupakan tugas dan tanggung jawab kepolisian yang telah digaji oleh negara. Apalagi untuk mengamankan pemilu kali ini, polisi juga dibantu seribu personel TNI, yang siap berpatroli di kampung-kampung. Apakah ini tidak cukup? Memang, tanpa bantuan masyarakat, aparat penegak hukum tidak dapat bekerja maksimal. tapi masyarakat juga punya pekerjaan lain yang harus dilakukan untuk mengepulkan asap dapurnya. Bisa dikatakan, praktik jaga malam telah mengurangi waktu istirahat kaum pria di Aceh, yang sehari-harinya harus menafkahkan keluarganya. Jadi menurut saya, budaya era orde baru ini sudah sepatutnya ditinggalkan. Sebab masyarakat Aceh sudah cukup jenuh dan trauma dengan berbagai kisah jaga malam. Sudah saatnya di masa damai ini, polisi benar-benar bekerja maksimal dalam menjaga keamanan masyarakat. Tentu saja masyarakat sepenuhnya mendukung dan akan selalu bekerjasama dalam membantu tugas polisi. Tapi bukan untuk ikut jaga malam. Terima kasih telah memuat komentar saya. Abdul Hadi Syamtalira Bayu

Jadi Wakil Rakyat atau Cari Kerjaan?

Pemilu kali ini beda dari sebelumnya. Selain metode pemilihan dari yang biasanya mencoblos ke mencontreng, tambah membingungkan masyarakat. KIP sebagai pelaksana pemilu juga tidak begitu gencar melakukan sosialisasi, meskipun mereka mengaku telah bekerja maksimal.

Partai yang banyak apalagi. Ditambah lagi dengan keputusan mahkamah konstitusi yang tidak menyatakan bahwa nomor urut caleg tidak menjadi patokan menjadi anggota dewan. Yang paling banyak suara dialah yang terpilih. Ini lah yang memunculkan para caleg berkompetisi lebih gencar. Bahkan sesama caleg dari partai yang sama. Masyarakat menurut saya sudah cukup lelah dengan tingkah polah anggota dewan yang tidak bisa menepati janjinya ketika duduk di kursi terhormatnya. Kebanyakan mereka lebih penting menarik modal dari pada memikirkan kepentingan rakyat. Saya ragu dengan kemampuan para caleg yang coba meraup simpati rakyat dalam pemilu kali ini. Kita tau, angka penganguran di Aceh cukup tinggi. Itu terbukti dengan banyaknya peserta CPNS yang ikut tiap tahunnya. Ditambah lagi banyak orang Aceh yang lebih banyak ngomong di warung kopi dari pada mengerjakan sesatu yang menghasilkan uang. Yang lebih parah lagi, setelah pengumuman CPNS kemarin, banyak caleg yang mengundurkan diri. Terbesit di pikiran saya apakah mereka mau jadi wakil rakyat atau mau cari kerjaan ya? Untuk itu masyarakat perlu lebih hati-hati dalam menentukan pilihannya. Â Yang penting bukan ganteng, cantik. Sudah saatnya masyarakat memilih wakilnya yang sesuai dengan sifat Rasulullah. Bukan orang yang munafik. Maulana Banda Aceh

Surat Terbuka untuk Wakapolda Aceh

Sehubungan dengan pernyataan Wakapolda Aceh, Brigjen Pol Herman Efendi yang dimuat di harian Serambi Indonesia tanggal 19 Maret 2009 yang memaparkan tentang situasi Kamtibmas (Keamaman dan Ketertiban Masyarakat) di Aceh dan mengatakan bahwa tak ada satu pun TPS (Tempat Pemungutan Suara) di Aceh yang digolongkan aman. Dalam hal ini, Wakapolda mengelompokkan semua TPS dalam tiga status yaitu kurang rawan, rawan I dan rawan II dengan tidak disertai penjelasan lebih lanjut men3


Surat genai indikator kerawanan yang dimaksud. Bagi kami, penjelasan lebih lanjut diperlukan mengingat pernyataan Wakapolda tersebut bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat, mengingat pelaksanaan pemilu tentu membutuhkan penciptaan situasi yang kondusif dengan pengamanan yang proporsional oleh institusi yang berwenang. Berkaitan dengan hal di atas, maka kami dari KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan Koalisi NGO HAM Aceh meminta kepada Wakapolda untuk: 1. Memberi penjelasan lebih lanjut kepada masyarakat Aceh mengenai fakta yang mendasari kepolisian menyimpulkan semua TPS di Aceh tidak aman sekaligus penjelasan tentang upaya-upaya yang terukur oleh kepolisian dalam mengamankannya. 2. Memastikan efektifitas pengendalian keamanan oleh kepolisian ketika tugastugas perbantuan dari TNI diterapkan dalam pengamanan pemilu di Aceh.

Demikian surat ini kami buat, atas perhatian dan kerjasama yang telah terbangun kami ucapkan terima kasih. Banda Aceh, 19 Maret 2009 KontraS Aceh Hendra Fadli (Koordinator) LBH Banda Aceh Hospinovizal Sabri (Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik) Â Koalisi NGO HAM Aceh Faisal Hadi (Direktur)

Waspadai Provokator

Menjelang Pemilihan Umum yang akan digelar pada 9 April nanti, kondisi keamanan di Aceh semakin mengkhawatirkan. Kabar mengejutkan dating dari Jeuram, Kabupaten Nagan Raya: tim sukses Partai Aceh meninggal dunia akibat digorok. Polisi belum mengetahui pelaku dan motif pembunuhan itu. Apapun alasan pembunuhan itu, jelas-jelas itu merupakan tindakan

biadab, tidak berperi kemanusian. Apalagi di saat semua pihak sedang menjaga kelangsungan perdamaian. Ini merupakan rangkaian teror. Tak hanya kepada Partai Aceh, tapi juga kepada kita semua. Beberapa waktu lalu, Bank Dunia dalam sebuah laporannya menyebutkan, kekerasan dan aksi kriminal di Aceh meningkat. Di awal tahun ini saja sudah terjadi 16 orang tewas, 47 luka-luka, dan 17 bangunan dan kendaraan rusak. Angka ini terbilang tinggi, dalam tiga bulan pembuka tahun ini. Teror, aksi kriminalitas, dan pembunuhan biadab ini tak bisa dibiarkan. Kita berharap pihak Kepolisian Aceh mampu mengungkap berbagai kasus teror yang terjadi di Bumi Seulanga ini. Tak ada kata lain, selain waspadai segala aksi provokasi yang dilakukan pihak-pihak yang tidak ingin Aceh berada dalam kedamaian. Mursalin Beureunuen, Pidie

Pengamanan Pemilu Pasukan gabungan TNI dan POLRI melakukan simulasi pengamanan pemilu di lapangan Blang Padang, Banda Aceh. 3 Maret 2009. [Fauzan Ijazah]

4


Saleuem Darurat Bandul kecepatan matic-nya naik turun, antara 50 sampai 60 kilometer perjam. Mahasiswa Fakultas Hukum Unsyiah itu, mendadak jadi pembalap. Pesan singkat yang masuk ke telepon genggam yang membuatnya gusar. “Siang ini kita harus evaluasi!” bunyi pesan itu. Pengirimnya, pemilik modal ACEHKINI. Dia sampai, rapat dimulai. Bukan sebab mendapat sanksi, sehingga Riza Naseer duduk di lantai beralas gordin. Kisah tak kebagian kursi, juga dirasa Daspriyani Y Zamzami, ia bahkan terpaksa duduk di kusen jendela. Hanya direktur dan tiga peserta rapat lain yang beruntung duduk di kursi busa. Maklum pembaca, di selasela menyiapkan edisi ini, awak redaksi juga sibuk menyiapkan kantor baru. Sebelumnya di Lueng Bata. Kini sudah di Jalan Bahagia, Punge Blang Cut. Jangankan kursi, bantal tidur awak redaksi juga hasil ‘sitaan’ rumah kakaknya Riza. Semuanya serba darurat. “Bagaimana ini, tinggal laporan utama saja. Kapan diselesaikan!” sang direktur memulai bahasan. “Maaf data tak lengkap, butuh peralihan penugasan,” jelas koordinator liputan. “Aku bantu siapkan tulisan qanun,” tegas Daspriyani. “Selebihnya, semua bahan yang telah ada kirim ke saya. Biar saya yang menulis,” tegas direktur mantap. Rapat selesai. Riza tak langsung menyambar komputer. Ia justru sibuk menatap sampah yang dibakarnya, serupa kebiasaan almarhum Pramoedya Ananta Toer, menjala inspirasi jelang menulis. Tapi siang itu, sama sekali Riza tak menulis, ia malah tertidur di lantai beralas gordin. Untuk menyelesaikan laporan utama edisi ini tak mudah. Butuh kesabaran, keahlian meyakinkan sumber dan tentunya kehati-hatian saat melaporkan. Edisi ini kami memilih isu AIDS, di tengah semua media membicarakan isu pemilu. ACEHKINI April 2009

Kami lebih mencemaskan penyebaran HIV di negeri syariat ini, dibandingkan kinerja penyelenggara pemilu. Bagaimana tidak, di tengah kesibukan khalayak menseriusi rekonstruksi Aceh, ternyata tanpa sadar virus yang mematikan kian melejit. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Aceh mencatat ada 29 kasus penyebaran virus itu di 13 kabupaten/kota. Tujuh di antaranya meninggal dunia. Kalau 29 kasus diare, tentulah biasa. Tapi 29 jiwa teridap HIV tentulah luar biasa. Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

memang ada di sekitar kita. Namun, kehadiran mereka jangan sampai melahirkan diskriminasi dan pengucilan. Penyebaran virus HIV tak seperti disangka orang. Ia hanya menular melalui hubungan intim, jarum suntik, cairan darah, dan air susu ibu.

 Melihat penyebaran HIV/AIDS di Aceh yang semakin meluas, ACEHKINI edisi ini membentuk tim khusus. Mismail Laweueng, dipercayakan memimpin proyek. Mulanya, tak mudah meyakinkan ODHA bicara. Tapi, masalah muncul setelah bahan dikumpulkan. Sang direktur ada halangan, urusan keluarga. Laporan yang katanya akan ditulis, hingga jelang deadline tak kunjung selesai. Akhirnya, segenap daya

diupayakan agar laporan “pasukan yang terbatas tetap tersaji buat Anda, pembaca setia kami. Sebut saja namanya Cahaya. Sejak beberapa tahun lalu, ia terjangkit virus HIV/AIDS, yang ditularkan suaminya. Ia dalam kecemasan dan khawatir apakah bayinya yang lahir awal Maret lalu, nantinya akan membawa penyakit yang dideritanya. 

 Kisah peliknya kehidupan ODHA juga dirasa Lestari, juga bukan nama sebenarnya. Sang suami telah lebih dulu menghadap sang Khalik akibat virus HIV/ AIDS yang menggerogoti imunitas tubuhnya. Lestari pantas saja terpukul. Ia terancam dikucilkan komunitasnya, karena menderita penyakit mematikan itu. Vonis dokter bagai kiamat bagi Lestari. Berkat dukungan keluarga dan LSM yang bergerak di bidang penanggulangan HIV/ AIDS, Lestari mulai bisa menerima kenyataan hidup. Dia terus menjalani hidup layaknya orang tanpa HIV/AIDS. Selain soal AIDS, edisi kali ini juga menurunkan laporan tentang manusia perahu etnis Rohingya dari Burma yang terdampar di Sabang dan Idi Rayeuk. Mereka lari dari Burma setelah mendapat penyiksaan junta militer Burma. Di negaranya, Rohingya tidak lagi mempunyai status kewarganegaraan.

 Di rubrik politik, ACEHKINI menurunkan laporan soal politisi perempuan yang bertarung dalam Pemilihan Umum ini. Mereka harus pandai membagi waktu: untuk keluarga dan politik.
 Agar Anda tak jenuh dengan sajian politik, kami menyuguhkan sejumlah laporan hasil perjalanan kontributor ACEHKINI. Ada laporan dari timur Indonesia dan bekas rumah Lenin di Zurich, Swiss. Selamat membaca edisi darurat! [a] 5


Surat Saleuem

No. 03/II/November 2008

Bencana di Ambang Mata Liku Street Junkie Cahaya Bersalin Cemas Sengkarut Payung AIDS

Kandas di Tanah harapan Getir Sepotong Roti Pendatang di Negeri Sendiri

07

Kolom | Maimun Saleh

08 12 14 16 18

Kolom | dr. Mohd. Andalas, Sp.OG

20 24 26 28

Hukum & Politik

33

Ekonomi & Bisnis

39

Legitnya Niaga Nada

Seni & Budaya

41

Perempuan 100 Wajah

Nanggroe

43

Pendekar Jihad Sekitar Exxon

Pelesir

45

Figura 6

FOTO | Menjemput Halimun

53

Bila Juri Telat Meniup Peluit Mimpi Perubahan Pemain Ganda

Revolusi Sebatang Cokelat Rambu Solo Menuju Puya Nabella Volary | Elviana | Indra Helmi


Kolom

Mandis Telah kau pahat sendiri lahat jauh dari ibumu. Aku paham, kau tak mengidamkan lelap di pinggir danau dengan nisan kaligrafi Arab, gemuruh tahmid, atau hujan airmata. Aku ingat, kau ingin sekali menentukan kematian dan corak kafanmu sendiri; legam tak putih seperti di negeri naga, selatan Aceh. Kematian, seperti katamu pada malam-malam tak bertepi, ”mati itu mula kehilangan. Sejak aku hilang, aku telah mati.” Jangan kira aku lupa kalimat itu. Kau ucapkan saat menanti senja seraya meniup seruling, menghembus nada bungong jeumpa di Darussalam. Termasuk terik siang, saat gas airmata menggenangi indera. Sama sekali aku tak lupa, kala fatamorgana menembus koran yang telah berubah rupa, jadi sajadah. Tentu kau bangga mati di jembatan Pante Pirak saat itu. Namun, kau justru dilayukan Human Immunodeficiency Virus. Semua tentangmu, terlalu panjang untuk dicatat. Kuanggap saja kau mendengar romansa ini, sambil memutar biji tasbih dalam kantung baju. Lalu berlalu, melintasi pematang sawah menuju rumah kecil kediaman ibumu. Di pematang tandus. Debat panjang pernah meletup. Waktu itu, kau kabarkan niatmu meninggalkan Darussalam. “Durhaka meninggalkan ibu!” bukankah sempat kukatakan itu, sebelum kau menyeberang laut. “Apalagi dia sakit.” “Aku harus pergi demi kemulian ibuku!” dalihmu seakan menunjukkan tekad sebesar Seulawah. Di sana, Jakarta nan jadah yang merenggut, kau masih bertahan pada mimpi buruk. “Hijrah,” katamu. Tapi jujur saja, aku tak percaya engkau memilih langkah nabi. Bagiku, kau sedang menanam bulus. ACEHKINI April 2009

Maimun Saleh

maimun.saleh@acehkini.co.id

Semoga pula Dia telah menghapus segala catatan, dan pekik beberapa kawan yang berkata, “kau homo!”

Sebagai tukang kisah, kutahu kau punya nyali. Tapi rupamu yang pasi itu tak bisa menutup takut, para perempuan yang diperkosa telah membalikkan cerita. Serdadu, telah memutar pahitnya menjadi korban, menjadi keiklasan dicabuli. Setahuku sejak peristiwa itu, kau raib. Perkara membangun percaya, aku juga lihat dengan mataku sendiri. Bagaimana piawainya kau ayun lidah, sampai Pidie cadas kita tembus. Almarhum panglima rimba, kulihat juga sering melempar senyum saat kau bertanya. Padahal, itu berlangsung saat kalut menjilat sekujur Aceh. Zaman keruh, di taman kesenian senyap. Tapi entah apa yang kau perbuat, kutahu orang sekali-sekali membicangkanmu. Sudah pasti bukan hanya sebab kau mendaur dentum rapai. Entahlah, jejakmu memang aneh. *** Walau murka meretas dan merambat di suwung kayu kumuh dan siap meluruhkan setiap tiang-tiang rapuh, malam itu, aku

tak bisa memaafkanmu. Suwung kayu itu bak Moradon sesak Karus kalah perang. Dan kau, Roque yang tak punya daya menyembunyikan dirimu. Kau pecundang yang meratap. Jujur kukatakan, sulit kutanggalkan peristiwa itu dalam ingatan. Namun kala ‘matahari’ mengirim kabar lama sudah kau pergi, spontan kuharap pemilik langit menyambutmu. Semoga pula Dia telah menghapus segala catatan, dan pekik beberapa kawan yang berkata, “kau homo!” Tapi aku berterimakasih, atas segala hujah sebelum tanah memanggilmu. Penting kau tahu, sejak perpisahan itu aku tak merindumu lagi hanya karena keroncongan. Jemariku juga telah kaku untuk menutup lubang nada seruling. Sementara onak yang terlanjur kau pacak, telah kucabut jauh sebelum ilalalang merengguhmu. Seperti harapmu; nisan tak bernama, maka tak kutambat namamu di sini, di majalah ini. Kisah punahnya darah putih­ mu, menjadi awal segala kisah. Aceh kini setelah bencana dahsyat dan damai bersua, terus digempur virus mematikan. Tapi masih seperti dulu, orang-orang mengutuk penderitanya. *** Telah kau pahat sendiri lahat jauh dari ibumu. Seakan tak butuh teungku bersila sambil menaruh telapaknya di nisan, kusyuk mengingatkan segala jawaban saat malaikat tiba. Aku yakin kau tahu, tanah Negeri Naga rindu memelukmu. Seperti anak-anaknya yang lain, diberinya riang pada kamboja agar membujuk angin mengirim kelopak atas pusaramu. Selamat jalan Mandis, semoga ilalang menutup rumah barumu; lahat. [a] 7


UTAMA | HIV/AIDS

8


Bencana di Ambang Mata

Pelan tapi pasti, virus mematikan itu bergentayangan antara kita. Benteng negeri bersyariat bobol sudah, seiring bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS. Bila tak segera ditangani serius, alamat bencana di ambang mata. oleh ACEHKINI April 2009

FAKHRURRADZIE GADE

FOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN-ACEHKINI

9


UTAMA | HIV/AIDS Kabar itu bak petir di siang bolong. Cahaya sama sekali tak percaya dengan hasil tes darah yang dijalani sang suami. Saat itu, dokter menyatakan suaminya, sebut saja namanya Arman, divonis mengidap virus HIV positif. Hari-hari dijalani Cahaya bagai orang putus asa. Ia kemudian menjalani tes. Hasilnya, membuat ia semakin terpuruk: Cahaya positif HIV dan AIDS. Mulanya, Cahaya marah dan menyesali hidupnya. Terlebih keluarganya shock dengan kejadian ini. Cahaya tertular virus HIV dari sang suami, yang seorang pecandu narkotika. Saat terinfeksi, Cahaya sedang mengandung anaknya. Awal Maret lalu, dia melahirkan si buah hati. Kegembiraannya atas kehadiran bayi juga direnggut rasa was-was. Kelak di usia 18 bulan, nasib bayinya dipastikan: tertular HIV/AIDS atau tidak. “Syukurlah bila tidak, tapi bila positif kami siap menerimanya,” katanya, pasrah. Cahaya merupakan potret orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Aceh, provinsi ujung barat Indonesia yang katanya telah memberlakukan syariat Islam secara kaffah. Ia merupakan ODHA yang mampu bertahan dan bangkit menjalani hidup normal. Sisa hidupnya diabdikan untuk berkecimpung di lembaga nirlaba yang bergerak pada upaya penanggulangan HIV/AIDS di Aceh. Penyebaran virus mematikan itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Data yang dilansir Dinas Kesehatan Aceh cukup membuat mata publik terbelalak. Hingga Desember tahun lalu, ada 29 kasus HIV/AIDS ditemukan di Aceh. Dibandingkan daerah lain, memang angka ini relatif kecil. Tapi, penyebaran meningkat drastis dalam empat tahun terakhir. Kepala Seksi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Aceh dr. Abdul Fatah menyebutkan, penyebaran HIV/AIDS di Aceh terbilang cepat. Pada tahun 2004, pihaknya hanya mencatat satu kasus. Namun angka itu terus merangsek naik pertahunnya. Pada 2005 tercatat dua kasus. Di tahun 2006 ditemukan tujuh kasus, tahun 2007 (sembilan kasus). Puncaknya pada 2008 yang tercatat 10 kasus. Dari data itu, hubungan seks menjadi faktor dominan penyebaran virus mematikan itu. Usai bencana gempa bumi dan tsunami melanda Aceh, akhir tahun 2004, banyak “pekerja kemanusiaan” dari berbagai belahan dunia datang ke Aceh. Bandingkan dengan keadaan sebelum tsunami, warga asing sulit bisa masuk ke Aceh. Tetapi, sekarang hampir setiap hari, kita bisa menemukan warga asing yang bekerja di berbagai lembaga internasional dan bergaul bersama warga Aceh. “Aceh sekarang menjadi wilayah open area. Jadi potensi terjadinya penyebaran HIV juga semakin besar,” kata Abdul Fatah kepada ACEHKINI, medio Maret lalu. 10

Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Aceh giat memberikan penyuluhan dan pemahaman tentang penyakit ini. Selain penyuluhan soal bahaya AIDS, Dinas Kesehatan juga berupaya menekan stigma negatif terhadap ODHA. “Selama ini ada stigma negatif terhadap penderita HIV. Padahal, HIV tidak ditularkan melalui makan bersama, bersentuhan. Bahkan tak ditularkan melalui ciuman,” ujar Fatah. Menurut dia, penyebaran HIV/AIDS di Aceh tidak ada sangkut pautnya dengan keberadaan pekerja asing pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebab, kebanyakan penderita HIV terinfeksi saat mereka berada di luar Aceh. “Setelah terinfeksi, mereka kembali ke Aceh. Dulunya mereka pernah bekerja di Batam, misalnya,” kata dia. Pernyataan ini seperti menghibur diri. Tetapi, bagaimana menjamin para pekerja asing itu tidak membawa virus mematikan itu. Apakah sebelum mereka datang ke Aceh, pernah dilakukan tes darah bahwa pekerja asing itu tak terjangkit HIV. Bukan rahasia umum lagi kalau selama ini mereka juga sering menggelar party terbatas, yang juga diikuti warga Aceh, untuk menghilangkan penatnya bekerja. Harus diakui, praktik prostitusi terselubung juga menjamur di daerah bersyariat ini. ACEHKINI sempat menelusuri jejaring dan lokasi pelacuran terselubung di Banda Aceh dan beberapa kota besar lain. Sejumlah salon kecantikan malah menyediakan servis plus bagi para lelaki hidung belang. Bisnis esek-esek ini juga menghinggapi kalangan remaja di Aceh. Inilah yang menyebabkan Aceh menjadi rentan dan berpotensi meluasnya penyebaran virus yang hingga kini belum ditemukan obat penawarnya. Praktik prostitusi dan penyebaran HIV/

AIDS ibarat sisi mata uang. Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu menyebar cepat. Hal ini tak terlepas dari bebasnya praktik prostitusi. Angka pengidap HIV/ AIDS pada 1997 yang hanya berjumlah satu orang, bergerak cepat dalam jangka 10 tahun. Awal Januari 2007, seperti dilaporkan Antara, di Mimika telah 1.181 warga

Kasus HIV/ADIS menurut Jenis Kelamin

Kasus HIV/ADIS menurut Umur

Perempuan

Laki-laki


mengidap HIV/AIDS. Mimika menyumbang 45 persen dari total kasus HIV/ADIS di Papua dan Irian Jaya Barat. Hal yang sama juga terjadi di Maluku. Gencarnya penyebaran HIV/AIDS di Mimika karena pemerintah setempat gagal dalam menanggulanginya. Selama ini, Pemerintah Mimika hanya memberikan penyuluhan bahaya HIV/AIDS bagi warga.

Namun penyuluhan ini tak disertai dengan regulasi pemerintah soal penanggulangan penyakit itu. Kasus Mimika harus menjadi pelajaran bagi Pemerintah Aceh. Penanggulangan HIV/AIDS di Aceh butuh payung hukum tersendiri. Apalagi pascatsunami Aceh men­ jadi wilayah terbuka. Baby Rivona, Ketua Medan Aceh Partnership (MAP), menye-

butkan, selama ini penanganan HIV/AIDS tak terlalu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal, jumlah penderita di Aceh terus bertambah. Karenanya, “perlu aturan khusus,” ujar Baby. Rencana aktivis peduli HIV/AIDS mendulang pro-kontra. Ketua Panitia Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Amir Helmi, mempersilahkan jika ada yang ingin mengajukan draf qanun tersebut. “Selama masalah penting dan dirasa mendesak,” ujar Amir. Ada juga pihak yang menentang rencana pembuatan qanun tersebut. Sebut saja, Khairul Amal. Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera ini, untuk menangani kasus AIDS di Aceh tidak perlu kekhususan. Baginya, cukup diatur dalam qanun kesehatan saja. Teungku Faisal Ali, Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Aceh mendukung inisiatif lahirnya qanun untuk pengidap HIV/AIDS. “Ini hal positif yang perlu didukung. Meski belum lihat draftnya, saya yakin tujuannya baik, untuk menanggulangi dan menangani masalah HIV/AIDS,” ujarnya. Menurut Faisal, HIV bukanlah masalah yang harus dihindari. Dia juga meminta ma­syarakat tak mengucilkan penderita penyakit mematikan itu. Sebab, kata dia, penyakit itu terjadi tak hanya karena perilaku si penderita, tapi bisa jadi karena ketidaksengajaan. Jumlah penderita HIV/AID yang dipapar Dinas Kesehatan ialah angka yang tercatat. Menurut prediksi WHO–badan kesehatan dunia— bila terdeteksi satu kasus, berkemungkinan 100 kasus lain terjadi. Jadi tak tertutup kemungkinan HIV positif di Aceh, yang belum diketahui, masih banyak. Nah, bila tidak segera ditangani serius, bencana baru kini mengancam di ambang mata. [a]

Jenis Kasus yang Ditemukan

Kasus HIV/ADIS dari Tahun ke Tahun

Kondisi Pengidap HIV/AIDS

HIV [4 orang]

Hidup

Mati

AIDS [25 orang

ACEHKINI April 2009

11


UTAMA | HIV/AIDS

Liku Street Junkie oleh

MAIMUN SALEH

FOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN-ACEHKINI

12


Segenap daya dicurahkan demi menjaga sesama. Penyakit itu terus menggerogoti Aceh, negeri yang diklaim telah menjalankan syariat. Klinik pun kritis, tak terurus.

Baby Rivona Nasution, berdiri persis di ambang pintu. Ia terpaku. Perempuan itu, menyapu pandang pada delapan bangsal. Tiga belas manusia lunglai, berjajar tak berdaya. ‘Ruang khusus’ di Rumah Sakit Adam Malik, Medan, itu, seakan loby room kunjungan Izrail, sang pencabut nyawa. Meski tak menyaksikan bagaimana malaikat bekerja, ia merasa kuasa Tuhan sedang mereguhnya. Virus yang mendekam dalam tubuh, belum melumat usia. “Ya Allah, bersyukur saya masih bisa berdiri di sini,” ucapnya membatin, seraya memilin sesal. Baby masih bisa bersyukur, bukan hanya tak berbaring di bangsal. Tapi, status kesehatannya, yang masih window period, artinya walau sudah diserang Human Immunodeficiency Virus (HIV), sistem kekebalan tubuhnya belum porak-poranda. Berbeda dengan penghuni ruang yang ditatapnya, semua berstatus; pasien Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Riwayat virus jadah itu mendekam dalam tubuhnya terbongkar enam tahun silam. Alangkah terkejutnya Baby, mendengar hasil cek darah; ia divonis positif terjangkit HIV. Seketika hancur harapannya untuk merintis karir yang kadung bersinar di negeri jiran. Kala itu, ia telah menjadi manajer sebuah perusahaan swasta. “Ketahuannya waktu cek darah untuk memperpanjang kontrak kerja,” jelasnya. Baby sendiri bukan ‘penganut sex bebas’. HIV menyergap tubuhnya lewat jarum suntik. 14 tahun silam, ia pecandu narkotika. Penat menjalani rutinitas sebagai sekretaris sebuah perusahaan swasta di Bali, “sejak itu aku kenal dunia hiburan.” Sampai akhirnya dia berkenalan dengan serbuk candu itu, walau berpindah-pindah kota Jakarta dan Bandung ia tak bisa jauh dari narkoba. “Gue bener-bener terjebak narkoba!” akunya. Ia pindah ke Malaysia, alasan utamanya bukan cari kerja. Melainkan ketakutan sendiri. Pasalnya, polisi menembak mati gembong narkoba yang tak lain adalah tetangganya di sebuah apartemen di Jakarta. “Waktu itu aku masih street junkie walau wanita karier,” jelasnya. Bila hanya nafkah, ia tak begitu galau. ACEHKINI April 2009

Toh, di tanah air ia bisa memulai pekerjaan baru. Perkaranya, tak mudah ‘menutup wajah’ di tengah keluarga, sahabat dan masyarakat yang menganggap AIDS ‘penyakit kotor.’ Dari Malaysia, Baby tak kembali ke Jakarta. Ia memilih menetap di Medan. “Di sana tak banyak yang mengenal aku,” terangnya. Namun Baby, tak menutup cerita pada adik perempuannya. Atas kisahnya, ia direkomendasikan ke Medan Plus, sebuah lembaga swadaya yang berfokus pada isu AIDS. Di sana, ia seakan menemukan ‘hidup baru.’ Sebelum karib satu sama lain, ia diperkenalkan dulu dengan sakit yang menderanya. ”Aku dikasi buku dan bacaan tentang AIDS,” ujarnya. Sejak itu, dia keranjingan membaca. Aktif di setiap kegiatan. Sampai kemudian diangkat jadi staf dan trainer. Pemandangan Rumah Sakit Adam Malik, menumbuhkan tekadnya untuk menghabiskan sisa usia bersama para penderita AIDS. Untuk itu, ia bersama lima rekannya yang juga dari Medan Plus, kemudian mendirikan Perempuan Medan Tegar (Permata). Ia menampik, anggapan perempuan yang terjangkit HIV melakoni profesi ‘rental kelamin.’ Baby memberi contoh anggota Permata, mayoritas tertular virus itu dari suaminya. “Tidak ada pelacur dalam Permata,” tegasnya. Tiga tahun silam, Baby meninggalkan Permata. Sebagian rekannya tak merestui. Ia dinilai terlalu berani untuk ke Aceh. “Apa? Ke Aceh? Gila lo, Aceh gitu loh,” ujar seorang rekannya, saat pamitan. Mendengar itu, Baby tersenyum. Ia tahu benar, di benak teman-temannya, Aceh memang ‘seram’. Warga yang terjangkit, ditutupi dan untuk layanan medis di kirim ke Medan. “Hari gini mau bicara AIDS di Aceh!” cibir temannya yang lain. Bagi penderita AIDS asal Aceh, Medan hanyalah ‘kota pembuangan’. Sementara kampung halaman, peristirahatan akhir. Stigma negatif, dilekatkan pada mereka yang terjangkit. Warga menganggap AIDS sebagai aib. “Padahal banyak sekali kasus, mereka yang terjangkit orang baik-baik,” jelas Baby. Bulat tekatnya ke Aceh, bukan tak beralasan. Aceh sejak tiga tahun lalu, dikepung HIV seiring gencarnya program besar-besaran rekonstruksi pascatsunami. Tapi, tak jelas apakah ada kaitan antara banyaknya pekerja asing dan meningkatnya kasus HIV di nanggroe bersyariat ini. Namun, isu itu tidak mencuat. Konon lagi menjadi perhatian serius dari pemerintah. Padahal ia tahu betul, ada 13 orang penderita HIV/AIDS (ODHA) asal Aceh di Medan. Dari angka tersebut, hanya tiga orang lagi yang belum dijemput Izrail. Keduanya, ibu rumah tangga. Asalnya dari Lhokseu-

mawe, Takengon dan Tapak Tuan. Baby, mengunjungi satu persatu mereka di Aceh. Kondisi mereka memprihatinkan, jelang ajal tiba. “Yang di Lhokseumawe itu janda. Terinfeksi dari suami yang sudah duluan meninggal!” Ironisnya, penanganan medis tidak menyentuhnya. Padahal, sejak empat tahun lalu Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA), sudah melatih lima dokter khusus menangani kasus AIDS, begitu pula di setiap kabupaten. Baby ke Aceh dengan harapan, agar masyarakat paham AIDS dan tidak ada lagi ODHA yang dikirim ke Medan. Penanganan medis dijalankan di Aceh. Untuk itu, dia mendirikan Medan Aceh Patnership (MAP). Lembaga swadaya yang dimotori Baby ini, gencar melalukan sosialisasi AIDS ke berbagai kabupaten. Selain itu, tiga tahun lalu, ia mendorong terbentuknya NAD Support Groups (NAD SG). Organisasi itu beranggotakan para ODHA. Tujuannya, agar solidaritas sesama terus terjalin dan empati masyarakat mengalir. Untuk meluruskan pandangan masyarakat ihwal AIDS, MAP mengorganisir sejumlah jurnalis, agar bersimpati lewat pemberitaan. Belasan jurnalis yang mengikuti training, akhirnya, bersepakat membentuk Aceh Journalis for AIDS (AJFA). Organisasi ini rutin mengeluarkan buletin dan mengabarkan berbagai kisah lewat blog. Baby tak puas sampai di situ. Ia meyakinkan Aceh Patnership Help (APIH) agar membantu dana untuk Pemerintah Aceh merintis klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT), di RSUZA. Usaha yang tidak sia-sia, November 2007 klinik itu aktif. Sejak itu, ODHA bisa mengakses layanan konseling, check up dan testing HIV. Klinik itu juga menyediakan Anti Retroviral (ARV), obat penekan perkembangan virus. Agar layanan maksimal, pihak rumah sakit membentuk kelompok kerja (Pokja). Sejumlah dokter ahli, bergabung di dalamnya. Bahkan, di klinik juga ada staf administrasi. Staff tersebut yang akan menghubungkan dokter dan ODHA yang membutuhkan layanan. Sayangnya, kini klinik VCT dalam kondisi kritis. Tak lagi ada staf yang saban hari siaga melayani kunjungan pasien. Alasannya sederhana, APIH sudah berhenti menyuplai dana. Sementara pihak rumah sakit mengaku, “tidak ada anggaran,” jelas Baby. Di lain sisi, HIV terus menggerogoti Aceh. MAP mencatat, belakangan nyaris saban bulan ditemukan kasus baru. Belum lagi, ODHA asal Aceh dari berbagai penjuru tanah air dan mancanegara mulai kembali ke kampung halaman. “Kalau tidak ditangani serius, bahaya!” tegas perempuan yang sedang hamil tiga bulan itu. “Mereka harus ada layanan.” [a] 13


UTAMA | HIV/AIDS

14


Cahaya Bersalin Cemas Ikhtiar seorang ibu melindungi janin dari virus dan cemooh warga. Walau bayi selamat, cemas tak tamat. oleh

MISMAIL LAWEUENG

FOTO: HYPNOTHERAPYSERVICE.ORG.UK

Pisau-pisau bedah itu merayaP, silih berganti menyusul bius yang sudah lebih dahulu menjalar. Penuh hati-hati, paramedis Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh, mengiris perut Cahaya (bukan nama sebenarnya). Jelang senja, bayi perempuan itu menangis nyaring, disambut riang sang juru selamat yang mengepung ibunya. Persalinan selesai di ujung pisau bedah. Tak ada pilihan, selain operasi caesar. Langkah itu diambil demi Cahaya dan buah hatinya. Dalam darah Cahaya berkerumun Human Immunodeficiency Virus (HIV). Paramedis sempat gentar, hingga menggunakan sarung tangan berlapis dua. Sebagai ibu, Cahaya berharap menjamu buah hatinya dengan air susi ibu (ASI). Namun, dokter menyarankannya agar memberi susu kaleng. Saran itu terpaksa dilakukan, agar virus tak berpindah ke jabang bayi. Susu pabrik, momok tersendiri bagi Cahaya. Ia hanya bekerja di lembaga nirlaba, ACEHKINI April 2009

yang tidak lain wadah bagi penderita AIDS di Banda Aceh. Pendapatannya pas-pasan. “Harga susu mahal,” ujarnya saat ditemui ACEHKINI, awal Maret lalu. Selain perkara susu, ia juga harus rajin mengkonsumsi Anti Retroviral (ARV), obat penekan laju pertumbuhan virus. Obat yang harus ditelannya saban bulan itu, harganya selangit, mencapai Rp 350 ribu. Peliknya nasib Cahaya, terdengar Komisi Penangulangan AIDS Provinsi (KPAP) Aceh. Jelang persalinan, lembaga milik pemerintah itu turut membantu biaya. Sejawatnya, juga mewujudkan solidaritas dengan berbagai cara. Kegembiraannya atas kehadiran bayi, awal Maret lalu, juga direnggut rasa waswas. Kelak pada usia ke-18 bulan, nasib bayinya dipastikan; tertular atau tidak AIDS. “Syukurlah bila tidak, tapi bila positif kami siap menerimanya,” ujar Cahaya pasrah. Perempuan berusia 30 tahun itu, jauhjauh hari telah menyiapkan segala hal sebe-

lum persalinan. Dari dalam ruang berukuran 9 x 6 meter, di lantai dua sebuah toko di Banda Aceh, yang tak lain kantornya sendiri, ia menyusun rencana agar bayi selamat. "Proses perencanaan mutlak dibutuhkan, sehingga calon bayi tak tertular HIV selama dalam proses kehamilan hingga melahirkan," terang Cahaya. Perencanaan matang harus dilakukan karena Arman (bukan nama sebenarnya), suaminya, juga pengidap HIV. Itu sebabnya, keduanya melakukan tes viral load untuk mengetahui jumlah virus dalam darah. Katanya, jika kedua viral load tidak terdeteksi, mereka bisa melakukan hubungan suami istri tanpa pengaman. "Ini untuk membantu proses kehamilan saja dan selanjutnya, hubungan suami istri harus menggunakan kondom," ungkapnya. Agar viral load tak terdeteksi, Cahaya melakukan terapi antiretroviral (ARV). Ini dimaksudkan untuk memperkecil peluang virus mematikan itu menular ke si jabang bayi. Arman adalah suami keduanya. Dari suami sebelumnya, ia dikarunia seorang anak. Selain orang terdekatnya, tak banyak yang tahu Cahaya hidup dengan virus HIV. Ia memang sengaja merahasiakannya. Maklum, di masyarakat kita, penderita HIV masih dipandang aib. Padahal, untuk memperlancar proses persalinan, selain terapi medis, dibutuhkan dukungan dari semua pihak, terutama keluarga. “Stigma bagi ibu hamil memperbesar kemungkinan janin tertular, sebab karena merasa tertekan si ibu, bisa-bisa tak lagi menghiraukan kondisi janinnya,” ujar Cahaya. Karena stigma itu pula, ia menolak foto dirinya diabadikan wartawan majalah ini. Sebagai penderita HIV, Cahaya memang ekstra keras memelihara si jabang bayi. Sebelum dan semasa hamil, ia rajin berkunjung ke dokter: melakukan pengecekan dan menjalani terapi. Selesaikah? Belum. Pada masa usia kehamilan enam bulan, calon bayi juga diberi profilaksis agar tak tertular saat di dalam kandungan sampai proses persalinan. "Obat jenis AZT itu masih belum tersedia di Indonesia. Hanya saja tersedia dosis nevirapine yang disuntikkan pada si bayi saat dia terlahir," ujarnya. Itu pun belum menjamin si bayi tak tertular. Kepastiannya, baru didapat saat sang bayi berusia 18 bulan, lewat tes antibodi. Pengecekan dilakukan tiga kali: saat lahir, saat enam minggu dan pada usia tiga bulan. Sayangnya, biaya tes tak murah. Ironisnya lagi, hasil tes belum tentu jitu. Itu sebabnya, perlu pemeriksaan berulang kali. Namun, apapun hasilnya kelak, tak bakal membuat kasih Cahaya menyusut. “Syukur bila tidak!” [a] 15


UTAMA | HIV/AIDS

Sengkarut Payung AIDS

HIV kian berjaya di  Aceh. Para aktivis peduli AIDS, berkumpul menyusun draft qanun. Di parlemen suara politisi tak bulat; antara restu dan mencibir. oleh

DaSPRIANI Y zamzami

FOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN -ACEHKINI

16


Kertas-kertas bertebar di atas meja. Komputer jinjing berlayar 12 inci menyembulkan hawa panas, penanda sudah berjam-jam bekerja. Di atas papan huruf laptop yang hangat itu, Baby memainkan jarinya, curahkan pikiran, seraya membolak-balikkan kertas. Baby kerja ekstra keras.Dalam waktu dekat, ia harus merampungkan rancangan draft qanun HIV/AIDS untuk diajukan ke parlemen Aceh. Draft qanun yang dirintisnya, bukan hanya untuk kepentingan para penderita, tapi juga mengikat kepedulian pemerintah dan masyarakat memberangus HIV. “Jangan lagi bicara kutukan, tapi bagaimana kita bisa menangani dan memberi perhatian kepada penderita,” ujar Manager Program Medan Aceh Partnership (MAP), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli HIV/AIDS, itu. Fasilitas medis yang tersedia selama ini, menurut Baby, tak cukup menunjukkan seriusnya komitmen Pemerintah Aceh. Pasalnya, hingga saat ini, pengetahuan masyarakat tentang menghindari dan menangani HIV/AIDS masih sangat lemah. Buktinya, masih kuatnya stigma bahwa HIV hanya menyerang pelaku asusila. Draft qanun juga untuk menyusutkan anggapan itu. ”Tidak cuma mengatur bagaimana pemerintah menyiapkan fasilitas untuk penderita, tapi juga sosialisasi dan penanganan HIV/ AIDS,” ujar Baby. Kini klinik VCT, hanya ada di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh. Diharapkan kelak juga akan ada di semua kabupaten di Aceh. Sehingga penderita di kabupaten tak perlu lagi datang ke ibukota provinsi untuk mendapat layanan medis. Jarak tempuh, menurut Baby, sangat berpengaruh pada kondisi penderita. ”Kasihan kalau mereka harus jauh datang. Itu akan membuat kondisi penderita HIV menjadi lemah, belum lagi jika obat yang dibutuhkan ternyata tidak tersedia, maka mereka harus ke provinsi lain, misalnya Medan,” urai Baby. Selama ini, sebut Baby, penanganan HIV/AIDS tidak terlalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Semua program terintegrasi dalam program dari Dinas Kesehatan. Padahal hari demi hari, diakui atau tidak, jumlah penderita di Aceh semakin bertambah. ”Untuk itu perlu ada aturan khusus. Sejumlah aktivis peduli HIV/AIDS, sedang menggodok draft rancangan qanun untuk diserahkan kepada legislatif,” jelasnya. Ketua Panitia Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Amir Helmi, mempersilahkan jika ada yang ingin mengajukan draf qanun. “Selama masalah penting dan dirasa mendesak,” ujar Amir. Hanya saja, dia mengingatkan, sebuah draft qanun baru bisa masuk ke meja paniACEHKINI April 2009

tia legislasi dan menyandang status inisiatif dewan jika naskah akademiknya sudah sempurna dan mendapat dukungan kuat dari anggota dewan. “Minimal lima orang, atau dua hingga tiga fraksi di DPR. Kalau sudah ada dukungan seperti itu, kemungkinan menjadi qanun prioritas bisa saja,” jelasnya. Hanya saja untuk 2009, pihak pemerintah daerah dan dewan sudah menetapkan 12 rancangan qanun prioritas untuk diselesaikan. Tahun ini juga, para anggota parlemen disibukkan dengan agenda kampanye pemilu legislative 9 April nanti, karena mereka ingin kembali terpilih. Di antara rancangan qanun prioritas yang sudah masuk daftar program legislasi Aceh adalah soal tata ruang, rumah ibadah. “Tapi masih mungkin bertambah jika dirasa mendesak,” ujarnya. Teungku Faisal Ali, Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Aceh mendukung inisiatif lahirnya qanun untuk pengidap HIV/AIDS. “Ini hal positif yang perlu didukung. Meski belum lihat draftnya, saya yakin tujuannya baik, untuk menanggulangi dan menangani masalah HIV/AIDS,” ujarnya. Menurut Faisal, HIV bukan masalah yang harus dihindari. Ia juga meminta masyarakat tak mengucilkan penderita penyakit mematikan itu. Sebab, kata dia, penyakit itu terjadi tak hanya karena perilaku si penderita, tapi bisa jadi karena ketidaksengajaan. “Misalnya, ada yang tertular dari jarum suntik saat memeriksa kesehatan. Jadi jangan langsung diberi stigma negatif,” ujar pengelola pesantren di Sibreh, Aceh Besar, ini. Faisal mengingatkan, dalam Islam selalu terbuka pintu memperbaiki diri. Itu sebabnya, dia mengapreasiasi upaya pembuatan rancangan qanun untuk menjamin hak-hak

pengidap HIV/AIDS seperti layaknya manusia normal. “Yang paling penting, hindari sebisa mungkin sebelum tertular,” ujarnya. Sejumlah kota besar telah punya peraturan daerah tentang penanggulangan HIV dan AIDS. Di Jakarta, disahkan pada 14 Juli 2008 lalu, setelah sebelumnya sempat dibalut kontroversi. Ketua DPRD Jakarta Ade Supriatna, ketika itu menjelaskan, peraturan itu disahkan karena penularan kian menderas. “Dengan adanya peraturan daerah, bisa dilakukan upaya penanggulangan yang optimal,” ujarnya. Khairul Amal, politisi Partai Keadilan Sejahtera, justru berseberangan pendapat dengan Faisal. Menurutnya, untuk menangani kasus AIDS tak perlu kekhususan. Baginya, cukup diatur dalam qanun kesehatan saja. “Belum perlu itu qanun AIDS,” tegasnya. Tentang mencuatnya desakan agar pemerintah mengadakan klinik VCT di setiap kabupaten, menurutnya, juga tak perlu ditetapkan lewat qanun. Cukup dengan kebijakkan pemerintah setempat. “Kalau soal diskiriminatif bukan hanya penderita AIDS, penderita kusta juga. Pandangan masyarakat tidak bisa diatur dalam qanun tapi lewat sosialisasi,” paparnya. Khairul justru menduga, meningkatkan jumlah penderita AIDS, akibat prostitusi di Aceh. Menurutnya, pelacuran berjalan diam-diam. ”Bagaimana ini diatur. Sumber penyakit di situ, ini yang harus dihilangkan dulu,” ujarnya. Jika benar ada prostitusi di Aceh seperti kata Khairul, artinya, HIV menemukan inang untuk menyerang. Kelak penyebaran dipastikan semakin drastis. Pendapat Faisal patut dipertimbangkan, sebelum semua terlambat. [a]

17


Kolom dr. MOHD. ANDALAS, Sp.OG. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Unsyiah

HIV-AIDS di Sekitar Kita Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (virus HIV dan sindroma AIDS) telah menusuk Aceh. Virus ini terus mengintai, terutama kelompok risiko tinggi. Satu demi satu kasus baru ditemui. Beberapa minggu lalu, seorang ibu dengan HIV melahirkan melalui operasi Caesar di Rumah Sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh. Menurut tim kelompok kerja HIV-AIDS RSUZA, dua ibu hamil lain dengan HIV sedang menanti giliran. Tak banyak orang mau melakukan pemeriksaan darah. Ibu-ibu tadi adalah pengecualian. Mereka dengan sadar melakukan pemeriksaan darah dan mengikuti anjuran pemerintah yakni mengonsumsi obat antiretrovirus (ARV) demi mencegah menurunnya kekebalan tubuh, serta mencegah penularan pada bayinya. Untung saja, penyakit mereka cepat terdeteksi. Jika tidak, resikonya bisa menular pada bayi, petugas kesehatan, petugas kebersihan dan terkontaminasi pada alat medis. Beberapa kasus baru HIV-AIDS di Aceh Utara, umumnya ditemukan secara kebetulan. Terutama saat yang bersangkutan melakukan donor darah. Mereka berasal dari kelompok pengguna narkoba. Bila temuan ini benar, Pemerintah Aceh melalui KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) harus lebih serius meresponnya. Hampir 50 persen kasus ini 18

baru. Di Indonesia, berasal dari kelompok pengguna jarum suntik saat memakai narkoba. Aceh saat ini masuk dalam mapping nasional kasus epidemik HIV-AIDS. Aceh juga termasuk daerah yang perlu disuplai obat antiretrovirus. Jika tidak, alamat menjadi neraka bagi mereka yang imunitas tubuhnya telah menurun akibat infeksi virus mematikan. Selain itu, obat antiretrovirus mahal sehingga sulit terjangkau. Hal lain yang perlu perhatian serius adalah jika si pengidap tak sadar HIV bersarang di tubuhnya. Menurut prediksi WHO – badan kesehatan dunia— bila terdeteksi satu kasus, maka berkemungkinan ada 100 kasus terjadi. Jadi, bisa saja masih banyak kasus HIV positif yang belum diketahui. Memang, prevalensi kasus HIV-AIDS perseratus ribu penduduk di Aceh masih rendah: 0,23. Setidaknya, jika dibandingkan daerah tetangga kita Sumatera Utara, yaitu 1,67. Sejarah Terjangkitnya HIV-AIDS Virus HIV-AIDS pertama diisolasi tahun 1983. Virus ini adalah suatu lentavirus subgroup dari retrovirus. Mengingat begitu cepatnya virus mematikan ini berkembang, masyarakat pemerhati dan peduli HIV-AIDS, mencanangkan Hari AIDS Sedunia saban 1 Desember. Tepatnya dimu-


lai tahun 1990 silam. Perlu diingat, HIV sebenarnya bukan virus pertama yang ditularkan melalui hubungan seks. Namun, virus ini berbeda dimensi penyebarannya. Ini dapat dilihat dari melambungnya jumlah kasus dari tahun ke tahun. Peningkatan virus AIDS di Indonesia melejit cepat. Jika pada 1987 hanya terdeteksi sembilan kasus, akhir 2006 menurut laporan Direktorat Penyakit Menular DEPKES, meningkat menjadi 11.400 kasus, meliputi 6.700 kasus HIV dan 4.700 penderita AIDS. Tahun 2003, diperkirakan antara 90.000 sampai 130.000 orang terinfeksi HIV-AIDS. Dengan menanjaknya jumlah kasus, penyuluhan tentang bahaya virus HIV harus digencarkan. Epidemik AIDS telah menjadi salah satu bencana yang merusak kesehatan dalam sejarah manusia. Sampai sekarang, virus ini masih memangsa keluarga dan warga hampir di seluruh dunia. Sebanyak 25 juta orang meninggal akibat AIDS sampai akhir tahun 2005. Selain itu, sekitar 40 juta orang saat ini hidup dengan orang-orang terinfeksi HIV. Pada 2005, diperkirakan ada 4,9 juta orang penderita baru terinfeksi, sebagian besar (95%) ada di sub sahara Afrika, Eropa Timur, atau Asia. Di Sub Sahara Afrika umumnya orang meninggal berhubungan dengan AIDS. Sangat sedikit yang meninggal karena penyakit lain. Afrika Selatan saat ini menjadi salah satu daerah dengan prevalensi tinggi masyarakatnya yang tinggal bersama orang yang terinfeksi HIV yaitu antara 4,5 sampai 6.2 juta orang. Secara nasional, distribusi kasus HIV-AIDS, DKI Jakarta di urutan teratas dengan 3.902 kasus, disusul Papua dengan 1.817 kasus dan Jatim di urutan ketiga dengan 1.104 kasus. Dari seluruh data terakhir mayoritas (hampir 50%) kasus baru berasal akibat penggunaan jarum suntik akibat narkoba. Kekebalan Tubuh Turun Dari segi medis, HIV-AIDS ini disebutkan, penyakit yang disebabkan oleh virus yang mengganggu sistem kekebalan tubuh manusia dan ditularkan lewat hubungan seks. HIV bekerja dengan menggerogoti sistem kekebalan tubuh yang dalam keadaan normal dijaga oleh sel T4. Inilah sel yang bertugas melindungi tubuh dari serangan penyakit. Bila terinfeksi, sistem daya tahan tubuh (sel T4) berkurang dan rentan penyakit. Akibatnya, jika terjadi kontak dengan suatu sumber infeksi tertentu maka mulai timbul masalah klinis, keadaan inilah yang dikenal dengan AIDS. HIV-AIDS sangat menakutkan. Sebab, seseorang yang terinfeksi, gejala klinis atau penyakitnya tidak langsung muncul. Akibatnya, mereka tak segera berobat ke dokter. Selain itu, masa inkubasi dari seseorang yang terinfeksi sampai bisa menimbulkan penyakit yang dikenal dengan AIDS (window periods) butuh waktu 2 sampai 15 tahun. Munculnya keluhan dan tanda klinis HIV sangat dipengaruhi daya tahan tubuh. Maka, sejauh kekebalan bisa dipertahankan dengan obat-obat ACEHKINI April 2009

ARV, sesesorang dapat bertahan hidup. Tapi, kantong harus tebal. Lihat saja biaya yang dibutuhkan seseorang dengan HIV, dengan CD4 kurang 350 membutuhkan dana Rp30 juta perbulan, sedang bagi seseorang dengan CD4 kurang 500 membutuhkan dana Rp18 juta perbulan. Virus Immunodeficiency sangat unik karena dia virus kompleks baru yang aneh. Setelah masuk ke pembuluh darah, dia akan menyatu dan hidup dengan sel T4 yang berfungsi membentuk antibodi. Setelah itu, virus mereplikasi menjadi virus dengan struktur genetik yang berbeda. Penularan dan Pencegahan Penularan HIV bisa melalui hubungan seksual (tanpa perlindungan sarung) baik pervaginal atau anal, transfusi darah yang mengandung virus HIV, menggunakan alat medis atau jarum suntik yang masih ada darah terinfeksi HIV, dan ibu hamil dengan HIV positif yang menularkan pada bayi. Bila darah terinfeksi HIV, menurut sebuah studi yang dilakukan selama 12 tahun pada kelompok gay di Amerika, sekitar 1 persen berkembang menjadi AIDS dalam setahun. Sebanyak 15-20 persen menjadi AIDS dalam kurun waktu 2 sampai 5 tahun dan umumnya (50 persen) berkembang menjadi AIDS dalam 10 tahun. Salah satu upaya pencegahan penyebarannya adalah dengan mendeteksi orang-orang berisiko terinfeksi HIV dengan memeriksa darah secara gratis dan rahasia. Pemeriksaan ini didapat di Voluntary Counseling Testing (VCT). VCT adalah tempat untuk konseling dan testing HIV secara sukarela. Jika terdeteksi, pencegahan bisa lebih mudah. Misalnya, seorang ibu hamil dengan HIV positif, maka petugas penolong persalinan telah melakukan persiapan sesuai aturan, karena si petugas berisiko tertular sampai 14 persen bila hanya pakai sarung tangan, dan semakin rendah risiko bila memakai dua lapis sarung tangan. Selain itu, alasan pemakaian sarung tangan ganda adalah menghindari faktor resiko bocor (1,5-4 %) sarung tangan. Resiko infeksi virus HIV pada petugas kesehatan sama tingginya dengan resiko terinfeksi virus hepatitis. Itu sebabnya, hatihatilah terhadap kedua virus ini. Prevensi Umum Mengingat ganasnya penyakit ini, ada standar komprehensif yang bisa dilakukan dalam upaya menekan terkena HIV bagi kita yang tinggal bersama orang terinfeksi atau terduga terinfeksi. Tingkatkan pengetahuan tentang risiko penularan secara seksual. Anjurkan mereka menggunakan kondom, cegah penularan ke bayi, pakai jarum sekali pakai dan melakukan konseling dengan baik. Agama menjadi salah satu benteng bagi kita untuk membendung berjangkitnya HIV. Aceh yang mayoritas muslim dan memberlakukan syariat Islam, akan relatif lebih mudah karena Islam melarang seks bebas. Selain itu, penyuluhan bahaya narkoba bagi remaja sangat baik dilakukan, demi mencegah mereka terperangkap di dalamnya. Sebab, jangan sampai Aceh menjadi Afrika.[a] 19


20


Kandas di Tanah Harapan

oleh

FAKHRURRADZIE GADE

FOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN-ACEHKINI

ACEHKINI April 2009

Tubuhnya mungil. Dia tampak gesit saat memanjat kelapa. Dua butir kelapa berhasil dipetik. Belum lagi sempat memetik yang lain, seorang tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) menyuruhnya turun. Sambil memperagakan gerakan, sang tentara menyuruh lelaki itu push up. Awalnya, lelaki berkulit legam itu hanya squad jump sekali, namun si tentara menyuruhnya mengulangi gerakan pushup. Enam kali gerakan. Lelaki itu lantas memungut kelapa dan berlalu. Dalam kerumunan, kelapa itu berpindah tangan. Seorang lelaki kurus tinggi coba mengupas dengan giginya. Sama sekali tak memakai pisau atau parang. Hanya pecahan batu. Kurang dari 15 menit, kelapa itu telah tak berkulit. Pemandangan itu terlihat, akhir Januari lalu, di Pangkalan TNI AL Sabang. Sejak 7 Januari silam, pangkalan itu dipenuhi 193 warga etnis Rohingya, yang terdampar di perairan Pulau Rondo, 20 mil dari bibir pantai Sabang. Saat diselamatkan ke darat, kondisi mereka mengenaskan: dehidrasi akut, karena kekurangan cairan akibat 10 hari terombang-ambing di laut, tanpa makanan dan minuman. Di penampungan itu, muslim Rohingya mengisi hari-hari dengan senam, bermain bola, catur, bulu tangkis, dan lompat tali. Sesekali, mereka dibebankan mengecat pagar Pangkalan TNI AL. Pagi –jika matahari terik, mereka “dijemur” di lapangan terbuka. Seorang tentara yang berjaga di pangkalan itu bilang, mereka dijemur karena kondisi mereka sangat lembab. Ini agar mereka tak mudah terserang biri-biri basah. Setelah sepuluh hari terombang-ambing di laut, mereka juga tidur berdesak-desakan di penampungan. Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) dan Angkatan Laut Sabang menyediakan dua tenda masing-masing berukuran sekitar 10 x 6 meter dan 6 x 4 meter. Untuk membunuh jenuh, relawan PMI mengatur pola hidup ‘manusia perahu’ itu. Mereka dibekali pemainan catur, ular tangga, halma, lompat tali, bulu tangkis, bola kaki, dan bola voli. Malam hari, mereka menonton film di layar proyektor yang disediakan relawan PMI Sabang. Khusus malam Jumat, mereka diharuskan membaca surat Yasin. Saat ACEHKINI bertandang ke kamp penampungan mereka, akhir Januari lalu, pengungsi etnis Rohingya sedang berlaga di lapangan hijau. Mereka menjamu tim PMI. Setelah salat Asar dan makan makanan ringan, sebelas etnis Rohingya menuju lapangan upacara TNI AL. Di sana, mereka membentuk formasi. Kaos putih bertuliskan GN-OTA dikenakan kesebelasan Rohingya. Sementara kesebelasan PMI memakai rompi berwarna biru donker dan bertuliskan PMI di bela21


kangnya. Etnis Rohingya terbilang pandai bermain bola. Dalam tempo tak sampai 15 menit, mereka berhasil membobol gawang tim PMI. Berselang sepuluh menit kemudian, gol lain diciptakan etnis Rohingya. Sore itu, Rohingya menaklukkan tim PMI dengan skor 2-0. *** Manusia perahu etnis Rohingya ini terdampar di Sabang setelah dilarung di lautan lepas oleh Angkatan Laut Thailand. Pihak otoritas negeri Gajah Putih itu menangkap, lalu menganiaya para manusia perahu. Puas menganiaya, Angkatan Laut Thailand melepaskan mereka ke laut lepas dengan boat kayu tanpa mesin. Stok makan­ an dan minuman tak mencukupi. Praktis, mereka hanya berharap pada angin yang akan membawa mereka ke daratan terdekat. “Mereka menarik kami dalam boat kayu tanpa mesin. Tak ada makanan, dan minuman,” kata Muhammad Hassan, satu dari 193 etnis Rohingya yang terdampar di Sabang. Saat diwawancarai ACEHKINI akhir Januari lalu, Hassan sedang mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Sabang akibat penyakit Tuberculosis (TBC) yang dideritanya. Hassan menceritakan kekejaman tentara Thailand saat mengusir mereka dari sebuah pulau terpencil negeri Gajah Putih itu. Saat berlabuh di selatan Thailand pada 26 Desember 2008, mereka ditangkap Angkatan Laut dan dijebloskan dalam penjara selama empat hari. Di sana, mereka mengalami penyiksaan bertubi-tubi. Ada yang dicambuk, diinjak dengan sepatu lars, dan dipukul dengan popor senapan. Usai melampiaskan kekejamannya, tentara Thailand melepaskan etnis Rohingya ke lautan lepas. Mula-mula, empat boat yang berisi 583 muslim Rohingya itu ditarik dengan kapal otoritas Thailand. Sesampai di lautan lepas, “mereka memotong tali boat kami dan membiarkan kami terombangambing di laut,” kata Hassan. Boat yang membawa mereka tak besar ukurannya. Hanya 10 x 3 meter. Boat tak bermesin itu mengangkut 200 orang. Mereka berhimpit-himpitan, nyaris tak ada ruang untuk bergerak. Selama 10 hari mereka dihanyutkan gelombang tanpa tujuan. Tujuh orang tak bertahan, meregang nyawa di lautan lepas. “The oxygen will bring us to another place,” kenang Hassan dalam bahasa Inggris terbata-bata. “Kami hanya bisa berdoa kepada Allah untuk menyelamatkan hidup kami.” Selama 10 hari “berkelana” di laut, mereka kerap menjumpai kapal yang melintasi jalur padat Selat Malaka. Hassan menyebutkan, mereka kerap meminta bantuan pada kapal yang lalu lalang, sambil melambaikan kain dan pakaian. Sayang, suara mereka tak 22

terdengar. “Saat saya melihat kapal, saya berteriak minta bantuan. Tapi tak satu pun yang membantu kami,” ujar pemuda berusia 22 tahun itu. Boat yang ditumpangi Hassan bersama 192 orang lainnya merupakan bagian dari empat boat yang dilarung Angkatan Laut Thailand ke lautan lepas. Hassan dan temannya terdampar di Sabang. Satu boat lain terdampar di Pulau Andaman, India. Sementara sisanya hingga kini tak jelas juntrungannya. Nur Muhammad, etnis Rohingya yang juga terdampar di Sabang, menyebutkan, mereka berlayar ke Thailand untuk mencari pekerjaan yang layak. Sebenarnya, persinggahan akhir mereka, Malaysia. Namun sebelum bisa menjejakkan kaki di Malaysia, mereka ditangkap tentara dan dipenjara di Ranong, Thailand Selatan. Di negeri sendiri, menurut Muhammad, mereka tak bebas bekerja. Sebelum ke Thailand, Muhammad menyeberang perbatasan secara ilegal ke Bangladesh. Di sana, dia bekerja sebagai nelayan dan mengumpulkan uang untuk membayar “tiket” boat ke Malaysia, sekitar US$430. Dia dan temannya berlayar dengan boat kayu pada 16 Desember 2008. Celakanya, sang kapten boat sama sekali tak tahu arah tujuan mereka, hingga terdamparlah di Ranong. Keberuntungan belum berpihak pada etnis Rohingya. Saat mencapai Thailand, mereka malah ditangkap tentara dan dipenjara, sebelum akhirnya dilepaskan ke laut dengan boat tanpa mesin, makanan, dan minuman. “Boat yang kami tumpangi sangat jelek,” kata pria berusia 37 tahun itu ketika ditemui di RSU Sabang, akhir Januari lalu. Dia mendapat perawatan medis akibat menderita sakit di pinggang dan luka dalam. “Air laut masuk dalam boat sampai selutut dan kami mulai membuang airnya. Kami hanya bisa berdoa pada Allah agar kami selamat,” kata Muhammad. Thailand dan Myanmar menolak bertanggungjawab atas kasus ini. Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva berjanji akan menyelidiki aksi yang dilakukan tentara Angkatan Laut terhadap warga Rohingya. Myanmar menyebutkan bahwa etnis Rohingya bukan warga mereka. Undang Undang Kewarganegaraan Burma yang disahkan pada 1982 mencabut kewarganegaraan etnis muslim minoritas Rohingya. “Etnis Rohingya tidak eksis dalam (Union of Myanmar) dan mereka bukan bagian etnis pribumi Myanmar,” kata pemerintah Myanmar kepada UNHCR, tahun lalu. Saat satu tim Departemen Luar Negeri Indonesia dan International Organization for Migration (IOM) sedang memverifikasi etnis Rohingya di Sabang, satu perahu kayu tanpa mesin yang penuh manusia kembali

ditemukan sebuah kapal nelayan di perairan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur. Mereka berjumlah 198 orang. Nasib mereka tak jauh beda dengan kelompok manusia perahu di Sabang. Ketika ditemukan, kondisi mereka sangat memprihatinkan. Menurut kesaksian Rahmad, seorang manusia perahu yang ditemukan terapung di Selat Malaka, mereka sebenarnya berjumlah 220 orang. Tetapi, 22 orang telah meninggal dunia di laut setelah terombangambing 21 hari. Mereka juga ditarik ke tengah lautan oleh serdadu Thailand setelah tiga bulan ditahan di pulau kecil Provinsi Ranong. Ke-198 manusia perahu itu kini ditampung di Kantor Camat Idi Rayeuk. *** Departemen Luar Negeri Indonesia semula bersikukuh untuk tidak melibatkan lembaga PBB yang mengurus pengungsi (UNHCR), karena beralasan warga etnis Rohingya merupakan “migran ekonomi”. Selain itu, ungkap pejabat Departemen Luar Negeri, ada “pengalaman buruk” dalam menangani manusia perahu


Pengungsi Rohingya mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Idi Rayeuk, Aceh Timur (atas). Seorang pengungsi Rohingya sedang berwudhuk di tempat penampungan di Pangkalan Angkatan Laut, Sabang (bawah). FOTO ATAS-BAWAH: JUNAIDI HANAFIAH; CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

dengan UNHCR. Pejabat Departemen Luar Negeri menyatakan, akan memulangkan warga etnis Rohingya ke negaranya. Tapi karena derasnya tekanan berbagai kalangan dalam dan luar negeri, Indonesia akhirnya mengizinkan UNHCR untuk memverifikasi 391 etnis Rohingya yang terdampar di Sabang dan Idi Rayeuk, Aceh Timur. “Kita bersedia mengikutsertakan UNHCR untuk menangani siapa yang tidak mau kembali ke negara mereka,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah, kepada International Herald Tribune. “Kita ingin melaksanakan yang terbaik untuk mencari jalan keluar kasus Rohingya.” Meski bersedia bekerja sama dengan UNHCR, pemerintah tetap tak mengizinkan pengungsi Rohingya menetap di Indonesia. Pasalnya, jika diizinkan, gelombang pengungsi etnis minoritas di Myanmar akan terus berdatangan ke Indonesia. “Negara kita bukan untuk para pengungsi,” kata dia. Pendirian pemerintah bertolak belakang dengan keinginan sejumlah kalangan di Aceh. Mereka tetap berharap agar pemerintah bersedia mengizinkan warga etnis Rohingya menetap di Aceh. Beberapa dayah sudah menyatakan kesediaan untuk menampung manusia perahu itu. Alasannya, mereka adalah saudara seiman, dan bila dikembalikan ke negaranya akan mendapat perlakuan tidak manusiawi dari junta militer Myanmar. Jauh-jauh hari, etnis Rohingya yang terdampar itu juga menolak dikembalikan ke Myanmar, negara yang mayoritas beragama Budha. “Saya lebih baik mati di sini, dibunuh oleh orang muslim,” kata Nur Muhammad. “Jika dipulangkan, saya yakin pemerintah akan membunuh kami.” Di tanah harapan, cita-cita Hassan kandas. Niat hati ingin mempunyai kehidupan lebih baik, malah berakhir terapung-apung di tengah samudera. Padahal, ia ingin mengikuti jejak sang abang yang kini menetap di Italia. “Saya tidak ingin kembali ke Myanmar. Takut, karena militer akan membunuh saya. Saya berharap agar pemerintah Indonesia mau mengirim saya ke Italia,” kata Hassan. Nafasnya tersengal-sengal. [a] ACEHKINI April 2009

23


Matahari menyalak, teriknya tepat di atas ubun. Namun Rahmad, 37 tahun, acuh pada peluh yang membasahi tubuhnya. Pria legam itu menelusuri jalan setapak, menuju Pasar Ranong, di selatan Thailand. Suaranya parau menjajakan puluhan roti yang dijinjingnya. Setahun sudah ia mengais rezeki di negeri gajah putih, demi tiga anak dan istrinya yang ditinggalkan di daerah Arakan Mogdow, Myanmar. Di kampungnya, pemerintah junta militer mengharamkan etnis Rohingnya mencari nafkah. Bahkan tak diakui sebagai warga negara. "Saya sudah merantau ke beberapa negara," jelasnya. Naas, perjalanannya terhenti pertengahan November tahun lalu. Menjelang zuhur, sebelum roti laku, sekelompok serdadu Thailand menggelandangnya ke dalam truk.

lamnya, kami hanya minum air laut, satu perahu kami ada 220 orang," kisahnya. Di perjalanan 22 karib senasib tak bertahan, mereka mengerang nyawa. Jasadnya terpaksa disemayamkan ke laut setelah disalatkan. Beruntung setelah 21 hari di lautan, jelang fajar nelayan Idi Rayeuk, Aceh Timur menemukan dan menarik perahu mereka ke Kuala Idi, pada 3 Februari lalu. *** Rahmad punya alasan kuat meninggalkan tanah leluhurnya. "Masjid kami sekarang ditutup, saya pernah dipenjara 10 tahun karena salat di masjid," katanya. "Perlakuan seperti itu sudah terjadi saat saya masih kecil. Kalau laki-laki tak boleh tinggal, perempuan tak apa," ungkapnya.

Getir Sepotong Roti.

Junta militer mengusirnya, serdadu jiran merajam. Sambil menahan perih, dia mengiba, "lebih baik mati di tangan muslim, daripada dibunuh di negara sendiri." oleh

RIZA NASSER

FOTO-foto: JUNAIDI HANAFIAH

Kedua lengannya diikat dengan seutas tali, disambung tamparan dan tendangan ke sekujur tubuh. Siksa tak berakhir di dalam truk. Rahmad dibawa ke pulau Meso, sebelah barat laut provinsi Ranong. Di pulau tak berpenduduk itu aniaya berlanjut. "Kami dipukuli pakai kayu, minum cuma diberi seteguk perhari dan makan cuma segenggam beras," kenangnya. Tiga bulan ia menahan dera. Di Meso, Rahmad tak sendirian. Ada ratusan warga Rohingya yang bernasib serupa. Dari kamp penyiksaan, lalu etnis muslim dinaikkan ke sembilan perahu. Setiap perahu berukuran 12 x 3 meter itu diisi lebih 200 orang. Sebelum sesak penumpang, serdadu Thailand mencambuk silih berganti. Luka belum mengering, kapal serdadu menyeret perahu ke Selat Malaka. Lalu, tali penghubung dipotong. "Mesin perahu dibuang ke laut, tidak ada makanan di da24

Setelah lepas dari penjara junta, usai menikahi seorang gadis Rohingnya, Rahmad memutuskan meninggalkan Myanmar. Mengembara ke beberapa negara terdekat. Di Malaysia, dia sempat menetap lima tahun, sampai mahir berbahasa Melayu. "Kalau sudah punya duit sedikit saya pulang ke kampung, itu pun curi-curi. Kalau tak ditangkap, setelah bertemu keluarga selama seminggu saya balik lagi pergi cari kerja," akunya. Cerita yang hampir serupa juga dikisahkan Nurullah, 20 tahun. Pria lajang ini, dua tahun silam telah menamatkan pendidikannya di sekolah tinggi pendidikan biologi di Bangladesh. Dia sempat menjadi guru di Myanmar. Belakangan junta meliter mengendus kegiatannya. "Saya ditangkap dan dipenjara," akunya. Melangkah ke Thailand baru dilaluinya tiga bulan. Di negara itu, dia bekerja sebagai


buruh serabutan di perahu nelayan sekitar. Saat ACEHKINI menemuinya di ruang penyakit dalam Rumah Sakit Umum Idi Rayeuk, awal Februari lalu, Nurrullah masih lemah. Di bagian tubuhnya terlihat beberapa bekas cambukan. Tapi, penyiksaan terhadap Nurullah tak separah yang dialami Muhammad

Perlakuan seperti itu sudah terjadi saat saya masih kecil. Kalau laki-laki tak boleh tinggal, perempuan tak apa...

Salim. Lajang berusia 20 tahun itu terpaksa merelakan satu ruas jari telunjuknya, dipotong militer Thailand. Perkaranya hanya hendak salat di kamp penyekapan. Luka masih mengeluarkan nanah. "Tangan dia dipotong pakai kayu," jelas Rahmad, menerjemahkan jawaban Salim dari bahasa Urdu ke bahasa Melayu. Salim, Nurullah, Rahmad dan ratusan warga Rohingnya lain berharap pemerintah Indonesia tak memulangkan mereka ke Myanmar. "Lebih baik kami mati di negara orang muslim, dari pada kami mati di negara sendiri," ucap Rahmad. *** Sejak ditemukan 'manusia perahu' yang terdampar itu, kota Idi Rayeuk lebih ramai dari sebelumnya. Kehadiran warga Rohingnya mengundang simpati. "Kami ACEHKINI April 2009

di sini kebanyakan nelayan juga, jadi kami tahu bagaimana rasanya terdampar di tempat orang," kata Hasan, seorang warga Ketapang Mameh. Ia bahkan sempat membawa dua warga Rohingya ke rumahnya. Diberinya pakaian serta makan seadanya. Hasan juga sempat mengajak keduanya berkeliling kota Idi. "Saya cuma membawa mereka potong rambut di pasar," akunya. Antusiasnya warga Idi membantu membuat petugas kecamatan kelimpungan. Sebab saat mendata selama sepekan berada di daratan Idi, ada saja pengungsi Myanmar itu yang tak berada di lokasi penampungan. "Kadang waktu kita data di rumah sakit dan di tenda, jumlahnya kurang dari 198 orang, banyak warga yang membawa pulang ke rumahnya, tapi nanti kembali lagi," jelas

Camat Idi Rayeuk, Irfan Kamal. Lain lagi dengan Nasir, 28 tahun, warga Seuneubok Kuyuen, Idi Rayeuk. Ia rela bolak-balik dari rumahnya ke tenda penampungan, hanya untuk menyerahkan telpon gengamnya ke seorang warga Rohingya. "Saya mencari nama pengungsi yang disebutkan oleh orang yang mengaku keluarga mereka di Malaysia, tidak masalah bagi saya, hanya itu yang saya bisa bantu," sebutnya tulus. Warga Idi berharap pemerintah tidak memulangkan manusia perahu itu ke negara asalnya. "Biarkan saja mereka di sini, saya siap menampung lima orang untuk meng­ urusi kebun, kasihan kalau harus disiksa lagi," harap Sulaiman, warga Keude Dua, Kecamatan Darul Ihsan. Bila harapan itu terwujud, Rahmad mungkin membalik kata, "lebih baik jadi penjaga kebun daripada pedagang roti." [a] 25


Pendatang di Negeri Ribuan etnis Rohingya mengarungi lautan, mencari tanah harapan. Perlakuan kasar dan penyiksaan diterima dari junta militer Myanmar dan tentara Thailand. Ratusan orang terdampar di Aceh, tapi pemerintah bermaksud memulangkan mereka. oleh

FAKHRURRADZIE GADE

FOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN-ACEHKINI

Muhammad Hassan terbaring lemas di ruangan 3 x 2,5 meter. Di dekatnya, ada sebuah lemari kecil. Di atasnya ada obat dan infus. Sebuah Al Quran warna kuning emas bertengger di atas lemari yang dipenuhi obat dan makanan. Di atas Quran, ada dua boat mainan kecil yang dibuat dari kertas buku. Bukan tanpa alasan pria berusia 22 tahun itu membuat boat kertas. Selama sepuluh hari, dia bersama 583 orang terombangambing di laut lepas, setelah Angkatan Laut Thailand melepas mereka di laut. Boat kayu yang ditumpangi Hasan bersama 192 re26

kannya dari etnis Rohingya, terdampar di perairan Sabang dan diselamatkan nelayan setempat, 7 Januari silam. Mereka sebelumnya dilaporkan berjumlah 200 orang. Tetapi, tujuh orang meninggal dunia karena kekurangan makanan saat terombang-ambing dalam ganasnya lautan setelah dilarung Angkatan Laut Thailand. Jenazah ketujuh orang itu telah dibuang ke laut. Awalnya, mereka hendak mencari kerja di Malaysia. Rencananya, mereka masuk ke Malaysia lewat Thailand. Sayangnya, sebelum rencana itu terwujud, mereka keburu

ditangkap Angkatan Laut Thailand. "Selama tiga hari tiga malam, kami dipenjara oleh Angkatan Laut Thailand. Kami dipukul dan disiksa," kata Hasan saat ditemui di Rumah Sakit Umum Sabang, akhir Januari lalu. Hasan mendapat perawatan medis akibat penyakit tuberkolosis (TBC) yang dideritanya. Selang 26 hari, satu rombongan lain juga terdampar di perairan Selat Malaka dan diselamatkan oleh nelayan Idi, Aceh Timur, setelah terombang-ambing sekitar tiga pekan. Jumlahnya, 198 orang. Menurut kesaksian mereka, 22 orang dalam kel-


ompok manusia perahu ini telah meninggal dunia karena kelaparan dan mayatnya telah dibuang ke laut. Mereka adalah bagian dari 1.200 orang yang diusir Thailand dan dipaksa kembali ke laut lepas. Muslim etnis minoritas Rohingya berbondong-bondong meninggalkan Myanmar untuk mencari kehidupan layak dan terbebas dari penindasan junta militer. Sejak junta militer berkuasa, etnis Rohingya makin tertindas. Mereka tak boleh menikah, menguasai tanah, dan bepergian, termasuk tak diperkenankan melaksanakan ajaran agama secara bebas. "Negara saya mayoritas penganut Budha, mereka tak suka pada muslim. Kami tidak diperbolehkan salat di masjid. Saya selalu salat di rumah, tidak ada masjid," kata Hasan dalam bahasa Inggris yang patah-patah dalam logat Benggali. Etnis Rohingya merupakan penduduk asli negara bagian Arakan di barat Myanmar. Daerah berdemografi pegunungan ini berbatasan langsung dengan India di utara, negara bagian China di timur laut, distrik Magwe dan Pegu di timur, distrik Irrawady di selatan, dan Bangladesh di barat laut. Arakan dihuni sekitar 5 juta penduduk, yang terdiri atas Rohingya yang muslim dan Rakhine/Maghs yang beragama Budha. Etnis Rohingya sudah tinggal di Arakan sejak abad ke-7 Masehi. Ini membantah pernyataan junta militer yang menyebut Rohingya sebagai pendatang yang dibawa Ing-

Sendiri

ACEHKINI April 2009

gris dan Bangladesh saat menjajah Burma. Secara fisik dan bahasa, Rohingya sangat berbeda dengan kebanyakan penduduk Burma/Myanmar. Ciri-ciri fisik etnis Rohingya lebih mendekati Bangladesh dan Arab. Rohingya merupakan keturunan dari Benggali, Persia, Mongol, dan Turki. Karenanya, saat Inggris memasukkan Arakan menjadi bagian British-Burma pada 1937, etnis Rohingya menolaknya. Mereka sebenarnya ingin bergabung dengan India. Arakan akhirnya menjadi bagian Burma merdeka pada 1948. Sejak itu, hidup etnis Rohingya kian tertindas. Mereka terusir, dianiaya, dan tak boleh melaksanakan agama dan keyakinan secara bebas. Pemerintah Burma juga tak mengundang perwakilan Islam Rohingya saat per-

Kami lebih baik mati di sini. Jika kami dipulangkan, saya yakin pemerintah akan membunuh kami. Nur Muhammad Pengungsi Rohingya di Sabang

janjian penyatuan Burma pada 12 September 1947 di Pinlong antara Jenderan Aung San dan perwakilan negara bagian Burma untuk bersama-sama merebut kemerdekaan dari Inggris dan kemudian membentuk negara federasi Burma. Etnis-etnis yang ada di Burma diperbolehkan mendirikan negara bagian. Namun tidak untuk Rohingya. Negara bagian Arakan kemudian dikuasai oleh etnis Rakhin –minoritas Budha. Sejak junta militer berkuasa di Burma, nasib Rohingya kian memprihatinkan. Pusat-pusat pendidikan Rohingya ditutup tahun 1965. Mereka semakin menderita setelah junta militer meloloskan Undang Undang "Burma Citizenship Law of 1982." Undang Undang ini menghapus kewarganegaraan muslim etnis Rohingya. Mereka disebut pendatang di tanah air sendiri. Sejak saat itu, mereka tak diakui lagi. Tanah-tanah mereka dikuasai negara. Mereka dilecehkan, dipukuli, dan dihukum tanpa alasan yang jelas. Populasinya juga semakin menyusut dari tahun ke tahun. Saat ini populasi Rohingya di Myanmar diperkirakan dua juta orang, sebanyak 1,5 juta di antaranya tinggal di Arakan dalam kondisi memprihatinkan. Sebanyak 600.000 menetap di Bangladesh, 350.000 di Pakistan, 400.000 di Arab Saudi, dan 100.000 di Uni Emirat Arab, Thailand, dan Malaysia. Mulai tahun 2006, etnis Rohingya melanglang buana lewat laut. Tujuan mereka ke Thailand, lalu menyeberang ke Malaysia untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Perjalanan via laut itu tak selalu membuahkan hasil. Di Thailand, mereka tak hanya ditolak, tapi dikejar-kejar, ditangkapi, dan dikembalikan ke laut dengan kapal tanpa mesin, makanan, dan minuman. Pada 7 Januari lalu, 193 etnis Rohingya terdampar di perairan Kepulauan Rondo, Sabang. Gelombang imigran Rohingya juga kembali ditemukan nelayan di perairan Idi Rayeuk, Aceh Timur, awal Februari lalu setelah 21 hari terombang-ambing di lautan, tanpa makanan dan minuman. Sebelumnya, akhir tahun 2006 juga pernah ditemukan satu perahu terdampar di perairan Sabang. Rencana pemerintah Indonesia memulangkan mereka ke negara asal, ditolak mentah-mentah. "Kami lebih baik mati di sini. Jika kami dipulangkan, saya yakin pemerintah akan membunuh kami," kata Nur Muhammad yang diwawancarai saat dirawat di Rumah Sakit Umum Sabang. Muhammad dirawat akibat luka dalam yang diderita setelah mengalami penyiksaan di Thailand. Hasan malah punya mimpi, berangkat ke Italia. "Ingin bertemu abang saya yang telah mendapat suaka di sana," ujar Hasan, sambil memegang dadanya yang sesak. Diusir di negeri sendiri, mereka juga ditolak di tanah harapan. [a] 27


Menjemput Halimun

Foto dan Teks: Chaideer Mahyuddin

Halimun masih menyelimuti Laut Tawar, kala derap kaki-kaki tegap melangkah, menyusuri jalanan berkerikil Desa Toweren, Kebayakan, Aceh Tengah. Berbekal mesin robin tua, sejumlah pria paruh baya memacu perahu, menembus keheningan. Jaket lusuh dan kain sarung yang melilit di leher jadi penghalau hawa dingin, menusuk persendian tulang. Matahari masih tersembul sejengkal dari ujung perbukitan, perahu satu persatu mera­pat di bibir danau. Riak air menyapu diiringi senyum ibu-ibu yang setia, menunggu suaminya kembali dengan jaring-jaring basah setelah kemarin sore dilabuh untuk menjerat ikan. Jari-jari keriput, lincah menari di tiap senti jaring, mencabut kepala ikan depik. Tiga ember sudah terisi penuh, Hasnah, 40 tahun, tersenyum girang. Kemarin, suaminya hanya mampu menjerat satu bambu depik. Tiap hari, puluhan 28


nelayan pinggiran danau coba meng­ayuh asa dari hasil jaring, cukup mengasapi dapur dan jajan anak-anak mereka di sekolah. Kune, dele ka hasel serlo ni? (Bagaimana, banyak hasil hari ini?) tanya Hasan, 50 tahun, sambil menyeruput kopi di sebuah bale tua. Gelak dan kelakar riuh saat penggalas berdatangan. Sebagian hasilnya langsung dijual, tapi banyak nelayan membawa pulang untuk dijemur karena harga tebusnya lebih tinggi. Depik kering dilego seharga 25 ribu rupiah perkilo di pasar Takengon. Belakangan ini, hasil tangkapan mulai menyusut seiring susutnya air danau di dataran negeri Antara tersebut. Daya curah hujan satu-satunya penambah debit air, penebangan kayu ilegal juga ikut andil penyebab susutnya air. Hawa sejuk di musim kemarau mulai hilang, dibawa sepoi-sepoi angin. Kaum nelayan depik melabuh harapan di keheningan danau Putroe Bungsu merendam diri... [a] ACEHKINI April 2009

29


Setelah 13 tahun berjuang di Aceh, kini dia selangkah lagi ke Senayan membawa damai dan kemakmuran.

Selangkah Lagi…

30

Jelang senja, kala hendak memulai rehat, telepon gengamnya bergetar. Seorang teman, di pantai barat Aceh, mengabarkan alat kampanye hilang. Bicaranya tergesa-gesa, seperti memendam murka. TAF Haikal hanya tersenyum, sambil menunggu pendukungnya itu selesai laporan. Namun dia tak gusar. “Tidak apa-apa, jangan marah. Satu dua orang tak senang itu biasa,” begitu nasihatnya. Sehari kemudian, “baliho dipasang kembali, orang yang menurunkan juga meminta maaf.” Calon anggota legislatif (caleg) nomor urut tiga Partai Amanat Nasional (PAN), Daerah Pemilihan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 1, untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ini tidak cemaskan hilangnya poster dan baliho. Bukan sebab sumbangan rekan-rekannya, melainkan publikasi diri bukan faktor utama. “Asal cu­ kup, masyarakat tahu saya mencalonkan diri,” ujarnya. Lagi pula, namanya berkibar seantero Aceh jauh sebelum balihonya bertebar. Teranyar, dia dikenal lantang menyuarakan percepatan pembangunan kawasan barat dan selatan Aceh. Media massa baik lokal, nasional bahkah internasional kerap mengutip ucapannya karena dia menjabat jurubicara Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS).


Sebenarnya nama lengkap tokoh muda kelahiran Bakongan, Kabupaten Aceh Selatan, 21 Maret 1970, itu adalah Teuku Achmad Fuad Haikal. Karena terlalu panjang Teuku Achmad Fuad disingkat TAF. Akhirnya, itu pula yang melekat di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan ijazahnya. Tanah kelahirannya jelas banyak melahirkan tokoh besar. Sebut saja, pahlawan Aceh, Teuku Cut Ali dan Teuku Raja Angkasa, berasal dari sana. Boleh jadi, dalam darahnya mengalir jiwa kepahlawanan kedua tokoh besar Aceh Selatan itu. Keseriusan Haikal memperjuangkan percepatan pembangunan pesisir barat dan selatan Aceh, sempat menarik perhatian para calon bupati Aceh Selatan untuk meraup suara dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) lalu. Beberapa kandidat meminangnya menjadi wakil. “Semua saya tolak. Saya memilih berjuang dengan kawan-kawan di kaukus untuk memperjuangkan pembangunan wilayah barat dan selatan Aceh,” jelasnya. Sebelum di KPBS, nama Haikal juga sudah sering terpampang di media massa. Saat Aceh dibalut kecamuk, dia sudah dikenal sebagai penentang perang, musuh para perusak lingkungan dan maling uang negara. “Sudah 13 tahun saya aktif di lembaga sosial,” tegasnya. Dalam konflik yang tengah berkecamuk, menjadi aktivis kemanusiaan tentu saja cukup berisiko. Haikal masih ingat peristiwa 18 November 1999 saat aparat negara menangkap dan menyiksanya, ketika dia sedang membantu pengungsi di Aceh Selatan. Sampai kini, luka penyiksaan itu masih membekas di wajahnya. Dia tak hanya dikenal sebagai ‘tukang kritik’ pemerintah. Saban alam murka, dia sering lebih dulu menjulur bantuan. Tak hanya di Aceh, bahkan saat Yogyakarta diremuk gempa tahun 2006, Haikal dan aktivis kemanusiaan Aceh membangun aliansi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kemudian diberi nama, ”Poros Kemanusiaan Aceh untuk Yogya.” Ia sendiri menjadi koordinator. ”Meski Aceh sedang bangkit dari bencana gempa dan tsunami, tetapi kita perlu menyisihkan sedikit sumbangan bagi saudara-saudara kita di Yogya sebagai bentuk

ACEHKINI April 2009

kepedulian rakyat Aceh,” ujarnya saat itu. ”Saya kecanduan membantu orang dan akan berusaha terus membantu orang lain.” Mungkin karena terlalu banyak memperjuangkan aspirasi rakyat, ia sampai lupa memikirkan nasibnya sendiri. Seharusnya, sebagai seorang korban tsunami, dia berhak memperoleh rumah bantuan. Tapi, hingga menjelang masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias berakhir, rumah bantuan itu tak didapatnya. Walau belum jadi anggota parlemen, Haikal sudah berkecimpung dalam urusan legislasi sejak lama. Suksesnya Pilkada Aceh, juga tak lepas dari kerja kerasnya. Dia tergabung dalam tim legal drafting revisi Qanun No. 2/2003 menjadi Qanun No. 2/2004, tentang Pilkada. Selanjutnya, terlibat dalam tim lobi revisi Qanun No. 2/2003 dan No. 3/2004 tentang Pilkada Aceh Juni-Agustus 2006 menjadi Qanun No 7/2006. Haikal juga terlibat dalam komponen masyarakat sipil untuk menggagas pembuatan Prolega (Program Legislasi Aceh). Selama kurun waktu 2007-2008, seti­ daknya dia terlibat dalam penyusunan tujuh draft qanun, di antaranya Pilkada, tata cara penyusunan qanun dan transparansi penyelenggara pemerintahan Aceh dan partisipasi di Aceh. Selain itu, dia juga aktif dalam tim drafting Qanun No 7/ 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum di Aceh, qanun pelayanan kesehatan di Aceh, serta qanun adminstrasi dan kependudukan Kabupaten Pidie. Jauh sebelumnya, ia telah terlibat dalam serangkaian pendampingan pembuatan aturan di Aceh. “Saya paham cara kerja DPR RI. Kental proses politik, makanya butuh pengawalan yang ketat. Untuk itu saya mencalonkan diri menjadi caleg,” tukasnya. Bila dia dipilih rakyat Aceh, dua hal pen­ ting harus segera dilakukan. “Menjaga UUPA terealisasi sepenuhnya dan hasil pengelolaan sumberdaya alam harus dibagi adil,” jelas mantan Direktur Eksekutif Forum LSM Aceh periode 2003-2006 itu. “Untuk menghindari konflik, butuh pemerataan dan keadilan.” Komitmen para wakil rakyat Aceh di

Senayan kelak, menurutnya, harus benarbenar teruji untuk mendukung perdamaian. Selain itu, harus punya kemampuan meyakinkan anggota parlemen dari daerah lain, mendukung perdamaian agar tetap abadi di Aceh. Sebab, perdamaian Aceh masih labil dan baru memasuki usia empat tahun. Selain menjaga perdamaian Aceh, dia kelak akan mengontrol kebijakan minyak dan gas. “Harus ada orang yang mampu memastikan bahwa hasil yang dibawa pulang dan dibagi-bagikan di Aceh itu sesuai kebutuhan,” tegasnya. Untuk urusan anggaran, Haikal berjanji, bila diberi kepercayaan oleh rakyat, dia akan memastikan pemerintah Aceh dapat melakukan pekerjaaannya dengan baik. Sehingga mampu mengurangi daerah-daerah terisolir, meningkatkan mutu pendidikan dan mengurangi angka kemiskinan. Berbekal pengalaman mengurus berbagai organisasi kemasyarakatan, Haikal mengaku tidak sulit memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh di Senayan. Menjadi anggota DPR RI, baginya sama dengan menjalankan aktifitas mengadvokasi di LSM. “Selama ini, saya melakukan kegiatan yang sama seperti dilakukan anggota dewan,” tegasnya. Tekadnya untuk melenggang ke Senayan, sebenarnya, memuncah akibat sering men­ dengar keluh kesah masyarakat pedalaman yang sangat sering didatanginya. “Mende­ ngar kesedihan orang lain membuat saya terus bersemangat melakukan perubahan,” jelasnya. Bukan berarti ia tak punya keresahan, perilaku caleg lain yang gemar membeli suara rakyat sering membuatnya gundah. Ia meng­aku budaya yang hangat saban pemilu itu tantangan berat. “Saya masih menentang praktik politik uang. Sayang rakyat, suaranya sangat menentukan,” ujarnya dengan kening bergelombang. Bagi Haikal, kursi parlemen bukanlah tempat menggali nafkah. Melainkan medan juang yang panas, nasib rakyat ditentukan dari sana. “Dulu berteriak dari luar, sekarang waktu yang tepat berjuang dalam sistem.” Pemilu tinggal menghitung hari. Selangkah lagi… (adv)

31


32


Hukum &

Politik HUKUM

POLITIK

KRIMINAL

Bila Juri Telat Meniup Peluit. Mereka

telat terbentuk. Bekerja dalam keadaan serba kekurangan, saat suhu politik terus memanas, mampukan menjadi juri yang tegas, berani, adil dan tak memihak? oleh

MISMAIL LAWEUENG

FOTO-FOTO: UCOK PARTA —ACEHKINI

Raut Nyak Arief Fadhillah Syah terlihat segar dan cerah. Dia baru saja kelar salat Zuhur di Masjid Anjong Mon Mata, Banda Aceh, suatu hari pertengahan bulan lalu. Tangannya masih dingin, meski di luar suasananya cukup panas. Boleh jadi sepanas posisinya sebagai Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh. Arief berada di komplek Meuligoe Aceh itu juga untuk membahas masalah ‘panas’ dengan romobongan Sekretaris Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Sesmenko Polhukam) Letnan Jenderal TNI Rumolo R Tampubolon, yang berada di ACEHKINI April 2009

Aceh. Jika ini adem, tak mungkin Rumolo berkunjung di Tanah Rencong. Arief dilantik jadi Panwaslu di hari penutupan tahun 2008 silam. Dia bersama dua rekannya: Zuraida Alwi dan Asqalani, ditetapkan sebagai anggota Panwaslu Aceh berdasarkan surat keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nomor 559 Tahun 2008. Penetapan mereka telat sekian bulan karena adanya perseteruan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan Bawaslu menyangkut perekrutan ‘sang juri’ pemilu di Aceh. Padahal gong kampanye telah ditabuh sejak pertengahan tahun lalu. Politik kian memanas. Namun juri belum pakai se-

patu dan masih sibuk mencari peluit. Politik Aceh, pada pemilu 2009 ini tampil beda. Bukan cuma adu strategi antarcalon anggota legislatif (caleg) saja, tetapi juga laga antara partai nasional dan pendatang baru dalam ranah politik nanggroe yaitu partai lokal. Boleh jadi inilah yang membuat iklimnya semakin memanas. Seiring alotnya masa kampanye, berbagai pelanggaran terjadi. Partai lokal adalah satu amanah kesepakatan damai Helsinki antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikuatkan dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh. Setelah dilakukan verifikasi, hanya enam partai lokal (Parlok) yang lolos 33


dan berhak jadi peserta pemilu legislatif, 9 April nanti. Mereka akan bertarung dengan partai berbasis nasional, memperebutkan kursi DPRA dan DPRK di seluruh Aceh. Ada teror, ada juga intimidasi. Belum lagi penggranatan terhadap kantor partai. Di tengah kondisi seperti ini, Arief yang menggawangi Panwaslu, harus bekerja keras. Menindak provokator pesta demokrasi. Katanya, mengungkap pelaku pelanggaran pemilu yang marak terjadi selama ini di Aceh bukanlah perkara mudah. “Di samping sulitnya mengendus pelaku, ketakutan masyarakat untuk menjadi saksi juga jadi kendala. Malah ada yang melaporkan, ketika kita kasih form untuk diisi, mereka tidak berani,” katanya kepada ACEHKINI, Februari lalu. Usai dilantik, menurut dia, Panwaslu Aceh banyak menerima laporan pelanggaran pemilu dari berbagai pihak, baik lisan maupun tulisan. Namun, hingga pertengahan Februari 2009, hanya 15 kasus yang bisa ditindaklanjuti. Selebihnya, pelanggaran yang terjadi sebelum Panwaslu Aceh terbentuk. Secara aturan, kata dia, pelanggaran pemilu atau kampanye harus dilaporkan ke Panwaslu paling lama dua hari setelah kejadian. “Lewat dua hari kita tak akan menindak lagi,” ujarnya. Dalam menindaklanjuti laporan pelanggaran, Panwaslu lebih dulu mengategorikan apakah termasuk pidana atau pelanggaran administrasi. “Jika pidana kita limpahkan pada kepolisian untuk diproses. Kita sudah melakukan koordinasi dengan Polda dan Kejati,” jelasnya. Panwaslu Aceh baru seumur jagung. Tapi, beban tugas yang diemban sangat berat dan juga tak diimbangi fasilitas yang memadai. Arief mengaku, sebulan lebih setelah dilantik, pihaknya belum memperoleh dana operasional. Di sisi lain, mereka harus terus bekerja karena pemilu kian dekat. Jadilah, untuk membiayai operasional lembaga, pihaknya sementara merogoh kocek sendiri. “Kami harus mengeluarkan uang sendiri, karena jika terus menunggu ini tak akan jalan,” akunya. Perjalanan Panwaslu Aceh sebelumnya sempat terkatung-katung, terjadi polemik antara Aceh dan Pusat, sebelum terbentuk akhir Desember 2008 lalu. Meski begitu, anggaran untuk Panwaslu Aceh tahun 2008 telah diplotkan Bawaslu. Karena tidak terbentuk hingga jelang tutup buku anggaran, dana dikembalikan ke kas negara. Tahun 2009, Panwaslu Aceh yang telah terbentuk akan menerima plot anggaran Rp 2 milyar lebih dari APBN. Namun, yang membuat Arief kelimpungan hingga bulan kedua tahun ini, dana itu belum dicairkan. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sebenarnya sudah turun, hanya Bawaslu meminta Panwaslu Aceh melengkapi Panduan Operasional Kegiatan (POK). “Da34

lam waktu dekat ini, akan kita kirim dan kita berharap dana itu segera cair,” kata Arief. Selain kendala dana, kurangnya fasilitas dan tak adanya anggaran sosialisasi juga menjadi momok bagi Panwalu Aceh. Sebelumnya nebeng bareng Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, kini bermarkas di Dinas Syariat Islam. Namun, fasilitas lain seperti alat-alat kantor sangat minim. Dalam bergerak, Panwaslu Aceh tak punya dana sosialisasi. Dana tak dianggarkan dalam APBN, melainkan APBA 2008. Tapi hingga pertengahan Februari 2009, belum juga cair. “Padahal untuk mensosialisasi tentang pengawasan pemilu sudah sangat kepepet,” urai mantan anggota KIP Aceh itu. Pun demikian, Panwaslu Aceh tetap berupaya bekerja maksimal. Panwaslu di 23 kabupaten/kota telah “dibaiat” bulan lalu di Banda Aceh. Arief mengungkapkan, pihaknya dalam waktu dekat akan memilih Panwas untuk seluruh kecamatan di Aceh. Meskipun terlambat karena pemilu sudah diambang pintu, tentu harus tetap dilakukan daripada tidak sama sekali. Dalam mengawasi tahapan pemilu, Panwaslu berharap ikut serta sejumlah pihak. Mereka juga telah membuat strategi preventif (pencegahan) pelanggaran melalui peserta pemilu dan menertibkan atribut kampanye yang melanggar aturan. Namun, pelanggaran terus terjadi di lapangan, ditandai dengan maraknya perusakan atribut kampanye. Masyarakat diminta ikut melapor jika mengetahui pelanggaran pemilu. Pelapor­ an dilakukan secara tertulis dan diajukan ke Panwaslu Aceh atau di kabupaten/kota. “Pelapor harus berupaya memberitahukan pihak pelanggar agar mudah ditindak,” kata dia. *** Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf kepada Sesmenko Polhukam mengakui, menjelang pemilu, eskalasi kriminal politik di Aceh terus meningkat dan terjadi hampir setiap hari. Dari data yang dimilikinya, sudah 14 kantor partai lokal ludes dibakar, empat granat dilempar terhadap kantor dan rumah pengurus partai dan lima mobil hangus sejak gong kampanye ditabuh pertengahan tahun lalu. “Belum lagi kasus-kasus pembakaran dan pencurian bendera partai, jadi cukup kuat alasan untuk mengundang pemantau asing ke Aceh,” kata dia. Menganggapi itu, Rumolo R Tampubolon berkelit. Dia sepakat kekerasan tersebut adalah aksi kriminal. Pelakunya juga dijerat dengan hukum kriminal karena tidak mungkin digunakan delik pemilu. Dia juga meminta semua pihak agar tidak menyalah-

kan polisi semata, terhadap belum terungkapnya kasus-kasus tersebut. “Yang terpenting masyarakat mau melaporkan kasus-kasus tersebut dan mau jadi saksi. Kepada semua kelompok tidak lagi mencurigai, tidak memfitnah, tidak saling tuduh, bantu polisi dalam mengungkap kasus-kasus ini, lapor, berikan kesaksian, dan polisi pun harus memberi perlindungan khusus terhadap saksi tersebut,” ajak Tampubolon. Sementara Deputi V Kamnas Irjen Pol Budi Utomo menambahkan, banyaknya kasus kriminal menjelang pemilu di Aceh menjadi tugas berat polisi untuk mengusutnya hingga tuntas. Selain itu, juga menjadi kewajiban masyarakat melapor dan menjadi saksi. “Kalau tidak mampu, polisi juga harus meminta bantuan ke TNI, karena secara teknis dan personil mereka dapat membantu tugas polisi. Kalau kasus demi kasus kriminal ini tidak terungkap, tentu akan mengganggu ketertiban di masyarakat, dan rentan terhadap perdamaian,” ujar Utomo. Sejumlah kalangan khawatir akan meningkatnya eskalasi politik menjelang pemilu di Aceh. Tapi, bila merujuk pada pemilihan gubernur dan 19 bupati/walikota tahun 2006 lalu, semua prediksi dan kekhawatiran itu tidak terbukti. Di pundak Nyak Arief dan dua kawannya serta seluruh Panwaslu kabupaten/kota dituntut adil, tegas dan berani bertindak dalam mengawal tahapan pemilu meski peluit telat ditiup. [a]


POLITIK

Mimpi Perubahan Pemain Ganda. Kaum

perempuan bersaing mengincar kursi dewan. Sejauhmana peluang menang?

oleh

DASPRIANI Y ZAMZAMI

FOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

HARI masih pagi ketika Kamariah mengeluarkan sepeda motor dari rumahnya. Tak lupa ia memakai jaket dan sarung tangan. Perempuan 40 tahun itu, akan menempuh perjalanan jauh, menuju Bener Meriah yang berjarak 70 kilometer dari Bireuen, tempat ia tinggal. Kamariah bukan hendak menjajakan dagangan atau sekadar jalan-jalan ke dataran tinggi itu. Tapi, ia bermaksud menemui pendukungnya menjelang pemilu legislatif, April mendatang. Ya, Kamariah adalah seorang calon anggota legislatif (caleg) Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Bercokol di posisi enam, ia masuk daerah pemilihan empat: Bireuen, Bener Meriah, dan Aceh Tengah Meski sehari-hari ‘hanya’ ibu rumah tangga, Kamariah yakin bisa merebut kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), mengalahkan politisi senior dari partai politik peserta pemilu berbasis nasional. “Saya ingin buktikan, meski ibu rumah tangga, kita juga bisa berkiprah memperjuangkan kepentingan masyarakat, khususnya perempuan,” ujarnya. Bermodal semangat itulah, ibu empat anak ini menjajaki kekuatan suara bagi dirinya. Dengan semangat itu pula, ia rela jauh-jauh naik sepeda motor ditemani keponakannya. Menjadi caleg, apalagi perempuan, tentu punya konsekuensi tersendiri. Ini dirasakan benar oleh Eva Susanti Haffan. SepACEHKINI April 2009

erti Kamariah, ia datang dari Partai SIRA. Menempati nomor urut 1 untuk DPR Aceh dari daerah pemilihan tiga, jauh-jauh hari ia telah mempersiapkan mental. Namun, ia yakin peluang perempuan masih besar. “Masyarakat kita sudah cerdas, melalui caleg perempuan mereka akan mencoba memberi kesempatan untuk berubah,” ujar Eva. Eva tak melaju sendiri. Suaminya, Muhammad Saleh, juga maju sebagai caleg dari partai sama. Bedanya, sang suami menyasar daerah pemilihan lima. “Karena suami lebih dulu terjun ke politik, saya selalu merasa ada guru yang selalu dekat dan bisa membantu saat saya menemui kesulitan,” ujarnya. Eva tak khawatir kekurangan waktu, mengurus keluarganya. Baginya, itu adalah tantangan tersendiri. “Inilah peran ganda yang harus dimainkan. Keluarga harus diperhatikan, masalah rakyat juga,” ujarnya. Pasangan suami istri yang maju sebagai caleg bukan hanya Eva dan Saleh. Rita Indahyati juga maju bersama suaminya Raihan Iskandar, yang kini menjabat wakil ketua DPRA. Rita akan bertarung untuk DPRA, sedangkan sang suami ingin meraih kursi DPR Republik Indonesia. Bagi Rita, adanya porsi keterwakilan perempuan sebagai wakil rakyat harus dimanfaatkan. Sebab, ini adalah kesempatan bagi perempuan untuk mengakses pendidikan politik. “Jika akses politik rendah, perempuan tidak bisa memberi warna dan perubahan,” ujar caleg Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Hadirnya caleg perempuan, bagi Rita, akan memberi paradigma baru: politik tak selamanya kotor. Ia yakin, perempuan akan saling berbagi dan bersanding untuk rakyat. Namun, jalan menuju gedung dewan tentu tak mulus. Tak sedikit aral menghadang. Adi Warni Husin, misalnya. Caleg perempuan Partai Bulan Bintang (PBB) itu kini sedang menyusun strategi ‘menaklukkan’ daerah pemilihan lima yang bukan basis pendukungnya. Itu sebabnya, meski bertengger di urutan teratas, ia merasa jalannya belum mulus. “Saya harus bekerja keras, karena daerah pemilihan lima bukan basis saya. Tapi karena MK (Mahkamah Konstitusi) memutuskan begitu, ya saya harus terima. Ini adalah tantangan,” ujar caleg DPRA ini. Keputusan MK dimaksud adalah tentang perolehan suara terbanyak. Bagi Warni, keterlibatan perempuan sebagai caleg bukan menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. “Sangat salah, jika jadi caleg untuk kebutuhan perut sendiri. Tugas kami adalah menjalankan amanah rakyat, bukan membuat perusahaan atau berbisnis,” tegas wanita yang didukung penuh suaminya ini. *** KETERWAKILAN 30 persen caleg perempuan memberi warna tersendiri dalam pemilu mendatang. Direktur Pusat Kajian Politik Fisip Universitas Indonesia, 35


Sri Budiarti Wardhani menilai, peluang itu memberi semangat berarti bagi kaum perempuan Indonesia. “Kalau sebelumnya, caleg perempuan hampir pasti tidak pernah mendapat nomor cantik, alias nomor kecil. Tapi sekarang sudah beda,” ujar Wardhani. Ini pula yang memotivasi caleg perempuan untuk membuktikan diri mereka bisa meraih suara terbanyak. Meski begitu, hambatan bukannya tak ada. Soal dana kampanye, misalnya. Bisa dipastikan, tak sedikit uang keluar untuk kampanye. “Mereka harus kerja ekstra keras untuk mensiasati ini,” tambah Wardhani. Inilah yang dialami Eva. Untuk dana kampanye, meski disokong orang tuanya, ia masih kelimpungan. Sayangnya, ia enggan menyebut jumlah uang yang sudah dikeluarkan untuk modal melaju ke gedung dewan. Sejauh mana peluang menang? Meski tak bisa memprediksi kemenangan caleg perempuan, Wardhani menargetkan, minimal setiap DPR Kota memiliki satu anggota perempuan. “Kalau target itu terpenuhi, sudah cukup baik,” ujarnya. Untuk meraih target ini, sejumlah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan politik perempuan, terus melakukan penguatan kapasitas. Anggota Majelis Kebijakan Balai Syura Ureung Inong Aceh, Suraiya Kamaruzzaman, mengatakan, caleg perempuan Aceh terus dibekali berbagai informasi dan pendidikan terkait dengan perkembangan demokrasi dan politik. “Ini akan terus memperkaya caleg perempuan, bahwa targetnya bukan hanya kursi, tapi perubahan pandangan,” katanya. Suraiya menilai, selama ini, caleg perempuan cukup kompak. Dalam beberapa pelatihan yang dilakukan lembaganya, ia melihat para caleg saling berbagi dan mengingatkan satu sama lain. Padahal, mereka berbeda latar belakang politik dan tingkat pendidikan. Kenyataan itu, kata Suraiya, menunjukkan ‘politik kotor’ jauh dari perempuan. “Kondisi ini mudah-mudahan memberi perubahan bagi sistem perpolitikan kita,” ujarnya. Secara psikologis, kata Suraiya, mereka juga harus siap kalah. “Tidak menang hari ini bukan berarti kekalahan, tapi itulah perjuangan, yang masih harus terus dijalankan,” jelas Suraiya. Menang dan kalah adalah bagian dari perjuangan. “Ini bagian pergerakan, bagian politik yang harus dilewati. Ya jalani saja,” kata Marchucah, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) pusat. Kamariah, Eva, Rita dan puluhan caleg perempuan di Aceh terus mencari simpati untuk mendulang suara. Di berbagai persimpangan jalan protokol hingga lorong-lorong sempit, poster caleg perempuan bertengger di antara caleg lelaki. Pesona dan sentuhan perempuan memang diharapkan untuk perubahan Aceh? [a] 36


ACEHKINI April 2009

37


38


Ekonomi &

Bisnis

Legitnya Niaga Nada.

Bisnis musik Aceh kian menggema. Kini rumah pro­­duksi menjamur, pedagang VCD panen raya. Perizinan masih menjadi kendala..

oleh

MAIMUN SALEH

BAHAN: JAMALUDDIN; FOTO: UCOK PARTA

Tenda di jalan Diponegoro, Banda Aceh itu tak layak disebut toko. Ukurannya hanya 2x2 meter. Letaknya persis di depan gedung percetakan negara Banda Aceh. Sebuah rak kaca yang tingginya hanya 70 centimeter, memisahkan pengunjung dengan pengelolanya. Kepingan cakram dibalut sampul bergambar artis memadati seisi ruang. Tentu saja antara cakram berisi film dan lagu ditempatkan terpisah. Film berjejer di dalam ACEHKINI April 2009

rak kaca, sementara kepingan Video Compact Dist (VCD) berisi lagu dari berbagai genre, tertempel di seluruh dinding. Untuk menarik pengunjung, Mansyur, 24 tahun, mengeraskan suara musik dengan memanfaatkan dua loudspeker. ”Saya sudah tiga tahun jualan VCD disini penghasilan saya lumayan,” sebutnya. Dia hafal benar koleksi yang paling dicari. Selain film dari negeri Bollywood, musik Aceh paling digandrungi pembeli. Menurutnya, slow rock masih teratas diikuti disco dan dangdut. ”Kalau kasidah banyak laku bulan puasa saja.” Sebenarnya musik etnik paling diburu pembeli, namun yang dicari dalam kemasan cakram. Sayangnya, musik etnik mayoritas masih berbentuk kaset. Menariknya, musik plagiat juga mendapat tempat, walau harganya serupa dengan lirik dan musik original yang mencapai Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu. Dari menjual VCD, dompet Mansyur bisa tebal. Bayangkan, dari musik Aceh saja, penjualannya bisa mencapai Rp 225.000 sehari. ”Sehari bisa laku 15 keping,” sebutnya. Menanjaknya bisnis musik Aceh, tak hanya terlihat di kaki lima. Sejak petaka gelombang raya berlalu, rumah produksi menjamur. Sederet nama yang paling dikenal produktif misalnya Gita Video, Menara Milenium, SWI, Kasga Record, FAC record dan Dien keramik. Lomba cipta tak terelakkan, saban bulan ada saja perusahaan rekaman yang mengeluarkan album kepingan cakram. Itu pun kebanyakan house musik Aceh, yang umumnya mencontek lagu India atau lagu dangdut melayu. Dari dunia hiburan, tak sedikit yang sukses. Khariruddin, misalnya. Dari penjual kaki lima, pria 32 tahun itu kini menjadi pemilik studio musik. Mulai berjualan lagu Aceh sejak 1996, ia biasa menggelar lapak di jalan Diponegoro dan depan mesjid Ulee Kareng, Banda Aceh. Delapan tahun berniaga kaset dan VCD lagu Aceh, membuatnya 39


paham benar seluk beluk menjual nada. Studio yang diberi nama Din Kramik itu kini telah memproduksi 10 album musik. Selain itu, meluncurkan dua film komedi Aceh; Umpang Breuh dan Zainab. Modalnya tak cekak, mencapai Rp 30 sampai 40 juta untuk membeli sebuah master lagu, pembuatan klip dan editing yang bisa menghabiskan Rp 100 juta rupiah. Biasanya untuk satu album Khariruddin mencetak 9.000 hingga 10.000 ribu keping. Tak dipungkiri, kadang hanya laku 7.000 keping. Menurutnya, jika laku mencapai 10.000 keping maka Khariruddin hanya mendapatkan Rp 20 juta hingga Rp 30 juta. Namun jika biaya pembuatan master naik, bayaran penyanyi turut menanjak. Tak ayal cetakan 1.000 keping belum mendapat laba raya. Peluang untung justru dari cetakan kedua. “Apalagi sekarang banyak pemusik Aceh yang baru bermunculan dan memerlukan promosi maksimal untuk bisa bersaing dipasaran,” jelasnya. Khariruddin, tak menampik pihaknya juga gemar menjiplak musik India dan memasukkan lirik Aceh. Menurutnya, itu hanya jalan pintas menghasilkan album baru. Lagi pula, musik Bolllywood masih sangat diminati. Namun pihaknya, terus berusaha menciptakan musik sendiri. Lagi pula dari seluruh album yang dikeluarkan, justru musik ciptaan sendiri yang paling laris, ia mencontohkan album Umpang Breuh yang harus cetak ulang. Selain Kariruddin yang telah mendulang laba, ada Syeh Ghazali yang kini melambung namanya di dunia hiburan Aceh. Bisnis dagang buku dan teka-teki silang yang digelutinya sejak 1993, diubah haluan ke musik. Nama usahanya tetap sama: Kasga. Untuk menunjukkan identitas perusahaan rekaman, ia menambah embel-embel ‘Record’ dibelakangnya. “Saya ingin mengembangkan seni Aceh, sebab jiwa saya dari kecil sudah mengemari seni Aceh seperti seudati,” katanya. Dapur rekaman yang dibangunnya 10 tahun silam sempat lumat. Album pertama bertajuk Sabe Lambala punah di pasar dibawa gelombang raya ujung tahun 2004. “Saat tsunami, kita banyak kehilangan cetakan,” kenangnya. Tapi tsunami tak menenggelamkan nama Kasga record, justru sebaliknya semakin melambungkan perusahaan rekaman ini. Bagaimana tidak, suara emas Rafli artis andalan Kasga diputar di televisi dan radio nasional mengiringi tayangan nestapa Aceh digulung ombak hitam. Cerita tenar Kasga unik. Bermodal keyakinan masyarakat rindu musik etnik, Syeh berburu penyanyi bersuara khas Aceh. Hatinya tertambat pada Rafli yang waktu itu masih seniman antar pentas dan tak ada rumah produksi yang bersedia mencetak albumnya. Syehk dan Rafli sehati soal aliran 40

musik, singkat kata mereka bersepakat lun­cur­kan album. Hasilnya, runtuhlah kejayaan musik ‘plagiat Bollywood’ delapan tahun lalu. Album Hasan Husen milik Rafli digemari semua lapisan masyarakat hingga sekarang. Usai gelombang raya, Syeh mengaku bangkit bermodal kucuran kredit bank. Tak sedikit modal yang dibutuhkan. Untuk satu album, rata-rata mencapai Rp 70 juta. Serupa dengan pengakuan Khariruddin, laba dari bisnis ini baru dirasa bila memproduksi 10 ribu cetak. Namun, Syehk merahasiakan untung yang telah diperolehnya, ”cukuplah untuk makan,” katanya. Namun yang jelas, Kasga telah memproduksi 23 album. Sementara artis sudah 20 orang yang diorbitkan. “Mereka tidak terikat, setelah garap album sudah terlepas dengan kita,” jelasnya. Album terakhir yang diluncurkan Kasga, Kutidieng juga laris di pasar. Bahkan suara Liza Aulia pelantunnya kini masuk dalam trend ringtone. Sayangnya, baru dicetak dalam format kaset 5.000 copy. Seperti mengamini ucapan Mansyur, pedagang VCD di jalan Ponegoro, “banyak pengemar minta VCD tapi kita belum mencetaknya,”kata Syeh. Soal getirnya berbisnis musik, juga sempat dirasakan Kasga. Pasalnya, Syeh sempat ingkar pada aliran musik yang diusungnya. Sempat ia meluncurkan album yang ngepop dan dangdut, walhasil lagu bertajuk Bate Tajam yang dinyanyikan Hanaz Hamzah dan album berjudul Toke Sabang, tak laris di pasar. Perizinan juga sempat menjadi aral bagi Kasga. Saat Aceh dalam status darurat militer, produser dan penyanyi sempat dipangil

tentara kala itu. Penguasa darurat, menganggap lagu Nyawong, Prang Sabil, Haro Hara memicu semangat pemberontakan. Setelah menjelaskan isi lirik lagu-lagu tersebut, Kasga terpaksa menarik Haro Hara dari pasar. Tahun lalu, kasus penarikan album terulang lagi. Kali ini, korbannya album Pusaka Nanggroe yang dinyanyikan Imum Jon. Entah kenapa, polisi Aceh Barat melarang peredaran lagu itu di sana. ”Main comot saja di pasaran. Ini merugikan produser dan yang menyedihkan para penjual yang tidak mengerti apapun,” keluh Syeh. ”Jadi sekarang para seniman ini seperti ditekan lagi, dan pedagang jadi ketakutan kalau begini caranya. Maunya panggil kita dulu, lalu kita tarik di pasaran kalau memang hasil penyelidikan lagu itu tidak layak beredar,” ujar Syeh. Namun Syehk tidak tinggal diam, setelah menggondol restu Lembaga Sensor Film (LSF) No. 3130/VCD/R/PA/5.2001/2008, lagu tersebut kembali beredar. Menurut LSF, lirik dalam lagu tersebut tidak mengandung unsur gangguan perdamaian Aceh. Mengurus perizinan sampai ke Jakarta, terang butuh biaya besar, sebab itu Kasga dan Din Kramik bersepaham mengusulkan pemerintah Aceh untuk mendirikan lembaga sensor lokal. ”Kalau udah ada di daerah kan sudah fair,” kata Syeh. Selain itu, menurut Khariruddin keberadaan lembaga sensor juga sangat menolong perkembangan musik Aceh. Budaya jiplak lagu India juga bisa luntur. ”Mempermudah memahami mana lagu yang layak beredar dan mana yang tidak boleh,” tukasnya. Jika sudah begitu, tentu bisnis nada kian menggiurkan.[a]


Seni &

Budaya TRADISI

SASTRA

ADAT

MUSIK

FILM

Perempuan 100 Wajah. Ia melukiskan sejarah lewat tubuh perempuan. Protes, semangat dan kecemasan warna di setiap kanvasnya.

oleh

MAIMUN SALEH

FOTO: CHADEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

Dalam telaga, empat perempuan saling lempar pandang ke arah berbeda. Tak sehelai benang di tubuhnya, berhari-hari, bercokol di kanvas yang terongok di sudut ruang. Mahdi Abdullah, sang pemilik kanvas, mencemaskan ‘kepolosan’ itu. Lalu, dia biarkan cat di ujung kuas mengering sejenak. Ia sibukkan dirinya memandang daun pisang yang digantung di langit-langit ruACEHKINI April 2009

mah, diletakkan di tangga bahkan berserak di dapur. “Kalau orang masuk sini persis kebun pisang,” ujarnya terbahak. Apa yang dicari? Hanya pembalut tubuh. “Aku ini meniru WH (Wilayatul Hisbah = polisi syariah,red) menangkap perempuan lalu memberi pakaian,” terang Mahdi sambil menghembus asap kretek. Akhirnya, ia memberi pakaian untuk para perempuan dalam telaga; daun pisang. Tak sekedar berfungsi sebagai pembungkus tubuh, daun koyak dan layu yang dipilih

Mahdi, sekaligus menjadi tubuh. “Daun itu simbol waktu!” jelasnya, awal bulan lalu. Lukisan itu diberi nama ‘Imaji’. Mengisahkan mekarnya sinisme terhadap perempuan dalam pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Namun ia menolak, ‘Imaji’ sebagai bentuk protes. “Saya hanya menggambarkan apa yang terjadi,” tukas Mahdi seraya menelan asap kreteknya. Tak hanya ‘Imaji’ yang menggambarkan kondisi perempuan Aceh. Baginya, perempuan bukan tema. Melainkan bejana me41


nyampaikan kehendak dan cerita. Sebab itu, nyaris tak ada lukisannya tanpa wajah perempuan. Salah satu majalah politik terbitan Jakarta menyebutnya; pelukis feminis. Sebenarnya, pria kelahiran tahun 1960 silam itu tak mahfum kenapa selalu ada perempuan dalam kanvasnya. Ia hanya tahu bahwa perempuan adalah ibu dan sering dilemahkan walau, “rambutnya saja bisa menjatuhkan pria.” “Tanpa sadar, perempuan telah memberiku semangat menyampaikan realitas,” jelasnya. Menariknya, sosok yang dilukis Mahdi tidak datang dari alam hayal. Semuanya nyata. Ditemui saat bermenung di simpang jalan, bekerja atau bahkan melayat. Lukisan berjudul ‘Dipersimpangan’ misalnya, inspirasinya lahir dari wajah sendu para perempuan paruh baya yang menghadiri pemakaman Safwan Idris, mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) ArRaniry, yang meninggal dunia ditembak di zaman Aceh berkecamuk. Lewat rupa-rupa gamang para perempuan itu, Mahdi meluapkan amarahnya. “Aceh saat konflik tak jelas ada dimana dan mau kemana. Rakyat bingung!” kisahnya, ihwal pesan lukisan tahun 2001 itu. “Kalau tidak kulukiskan, tak enak rasanya hidupku.” Sayangnya, lukisan itu hilang dibawa gelombang raya empat tahun silam. Bukan hanya ‘Dipersimpangan’, karya Mahdi yang mengisahkan peliknya hidup dalam kemelut. Tragedi kemanusian Mon Geudong, Aceh Utara, persis sepuluh tahun lalu, juga tak luput dari goresan kuasnya. Di atas kanvas, simbol kekerasan tak berwujud. Lagi-lagi tubuh perempuan menjadi wadah, sekalipun tragedi kemanusian yang dicitrakan. Kisah Mon Geudong, dilampiaskan lewat tubuh nan molek yang sesak luka. Ia memberi judul lukisan itu, ‘Torso yang Luka.’ Sesungguhnya, iman melukis Mahdi telah berganti. Dia sempat berkiblat pada sueralis. Lalu, sueralisme ditanggalkannya, usai perang batin berkepanjangan. Kecamuk yang muncul usai meninggalkan Yogyakarna dan kembali menetap di Banda Aceh sekitar 26 tahun silam. Aceh kala itu menyala. Sekujur barat Sumatera ini, nyaris tak bebas dari desing senjata. Media massa, tak berhenti mengabarkan ‘orang tak dikenal’ mencabut nyawa. Pihak bertikai masih samar. “Orang sekelilingku terluka,” kenang maestro seni rupa itu. Buramnya kondisi Aceh, membuat lulusan teknik arsitektur Unsyiah ini mulai tidak sreg dengan suerlisme. Menurutnya, aliran seni lukis yang telah digeluti puluhan tahun itu sangat mengandalkan keindahan, irasional dan bertabur metafora. 42

Walhasil, awam sulit membaca pesan di balik goresan. “Orang dapat menikmati keindahan namun sulit membaca pesan,” jelas Mahdi serius. Baginya riwayat Aceh harus terus digambar. “Aku tak mungkin tetap diam,” ujarnya. Ia memang tak diam. Bersama para seniman lantas menggelar pameran tunggal di Hotel Aceh, sekarang tanah kosong persis di selatan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Dalam gelar karya 18 tahun lalu itu, Mahdi semakin meyakini, sueralis rawan menyimpang pesannya dibenak penikmat awam. Pasalnya, lukisannya yang berjudul ‘Sepatu dan Doa’ diminta turunkan seorang pengunjung. Alasannya, “ada ayat di atas sepatu,” jelas Mahdi. Pada lukisan itu, Mahdi memang memainkan simbol-simbol. Menurutnya, sepatu hanya simbol dari perjalanan. Sementara ayat tersebut, perintah agar manusia mengasihani sesama. “Dipahami bermuatan sekulerisme, padahal seruan kembali ke jalan Allah.” ‘Sepatu dan Doa’, kini dimiliki seorang dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ), yang tak lain reka-

nnya sendiri. Lebih sekadar persoalan ‘Doa dan Sepatu.’ “Melukis itu haram!” kalimat yang dilontarkan seorang pengajar IAIN Ar-Raniry itu begitu menyengkat pikirannya. Walau telah berlangsung belasan tahun, Mahdi mengingatnya sampai sekarang. Ia bahkan sempat menanyakan sahihnya ucapan itu ke almarhum Ali Hasjmy, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh era 90an. Ulama Aceh itu tak sepaham, bahkan dia bersedia menulis di katalog lukisanlukisan Mahdi. “Siapa bilang haram, suruh datang orangnya kemari!” ujarnya waktu itu pada Mahdi. *** Wayang orang itu tak lazim; matanya melotot, bertopi pet, bergigi runcing bak hiu. Tepat di atas kepalanya, merpati putih menungkik dengan kaki terikat dan sayap terkepak. Azhari, cerpenis Aceh, berada di urutan dua di barisan orang-orang terjepit. Walau tujuh orang di hadapan, dengan sikunya, wayang menjepit. Sementara tangannya memegang sapu. “Yang Dijepit dan Yang Menjepit!” itu judulnya, ujar Mahdi sambil menunjuk ke dinding rumahnya. Lukisan yang menceritakan, peliknya hidup tanah perang itu, akhir bulan lalu sepekan keliling Malaysia, dari Kuala Lumpur sampai beberapa negara bagian. Mahdi mengikutkan lukisannya itu dalam pameran International Art Exhibition Entitled Peace; Expression of Hope. Pesertanya 30 pelukis dari berbagai negara, di antaranya Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Palestina, Indonesia dan Bosnia. “Lukisannya saja yang terbang, aku ngak bisa ikut karena ongkosnya mahal,” katanya. Jam terbang Mahdi, bukan lagi ‘kelas lokal’. Setidaknya, sejak 1982 hingga kini, sudah 11 kali dia bikin pameran di Jepang. Sementara Malaysia sudah beberapa kali. Pameran bersama taraf nasional, sudah diikutinya sejak tahun 1977. Ia hanya tersenyum dan enggan menjawab, mengapa dirinya identik dengan Jepang? Namun yang jelas, negeri Sakura lebih sekadar negara yang paling sering memajang lukisannya. Beberapa perempuan dalam lukisannya, juga dari Jepang. Tak cuma itu, Mahdi juga bisa berbahasa negara Nippon itu. “Enak rasanya kalau punya murid perempuan Jepang,” ujarnya terbahak, suatu malam di Kuta, Bali. Jelang usia senja, dia memang mencari pewaris ilmu mewarnai realitas. “Lebih seratus wajah perempuan telah kulukis, dari dulu sampai sekarang,” ujarnya, dengan kening bergelombang dan menelan dalamdalam asap kreteknya. “Aku berharap, kelak Aceh memiliki pelukis perempuan.” [a]


Nanggroë

Pendekar Jihad Sekitar Exxon. Dibekali karate seadanya, mereka disiapkan melawan mesin perang Israel. Atas dalih; membela Islam.

oleh

IMRAN MA

FOTO: MUHAMMADAN —ACEHKINI

"Allah Akbar… Allahu Akbar!" pekik sejumlah pria lantang. Berhamburan melompat dari mobil pick up. Wajah mereka ditutup kain, hanya mata yang terlihat, persis gerilyawan Hamas, Palestina. "Kami baru pulang jihad," ujar seorang di antaranya. Jihad yang dimaksud pria itu tak sungguhan, tapi sekadar 'perang-perangan'. Januari lalu, perbukitan Cot Kareung di Desa Blang Weu Panjoe, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, memang berubah seakan medan tempur. Saban waktu, para ACEHKINI April 2009

santri berbagai pesantren dan warga yang ingin berjihad ke Palestina berkumpul. Tidak untuk mempelajari ilmu agama, melainkan belajar karate. Front Pembela Islam (FPI), di belakang 'latihan tempur' para pemuda itu. Sebuah pesantren didirikan untuk menjadi markas, namanya Darul Mujahidin. Pimpinan pesantren bersemboyan "hidup mulia bermatikan syahid" itu, menyatakan telah mencetak puluhan lulusan yang siap membantu pejuang Hamas melawan serdadu Israel. Pesantren ini hanya memfasilitasi segala kebutuhan santri dari penginapan sampai

logistik untuk calon pendekar. Tanah lapang tempat latihan, letaknya berdampingan dengan lintasan pipa milik Exxon Mobil, raksasa minyak asal Amerika Serikat (AS). Soal guru ilmu perang dan karate, diserahkan ke FPI Pusat di Jakarta. Dua pelatih dikirim untuk mengajarkan teknik dasar bela diri; gerakan kaki dan tangan, serta cara efektif melumpuhkan lawan. Ilmu dasar kemiliteran, diasuh tutor khusus yang juga kiriman Jakarta. Ketua FPI Aceh, Yusuf Al Qardhawi, mengatakan, selama latihan tempur dan taktik perang gerilya, mereka digembleng 43


oleh Abu Alyas, 38 tahun. Alyas, katanya, adalah seorang mujahidin yang telah berpengalaman di Afghanistan, berperang bersama kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan dan bergabung dengan pejuang Hamas. "Kita tidak memandang suku. Hanya memandang agama, untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar, biar kuat kita harus berjaringan," ujar Tengku Muslim AtThahiri, petinggi FPI Aceh lain, pada ACEHKINI, Januari lalu. Sistem rekrutmen pendekar tak serupa pesantren lain di Aceh. Serangkaian seleksi harus dilalui, dari tes ilmu agama, ketaatan menjalankan ibadah dan yang terpenting siap mati di Jalur Gaza. Tahap akhir, penentu kelulusan usai latihan fisik. Peminat jihad di Aceh terbilang ramai. Menurut Muslim, yang mendaftar mencapai 500 santri. Namun tak semuanya lulus seleksi. "100 lewat administrasi, dari latihan gugur lagi, tinggal 80 orang yang siap dikirim ke Palestina," jelasnya. "Kita hanya menyiapkan dasar saja, kemudian setelah di Palestina akan digembleng kembali." Walau mengaku melatih relawan jihad, tapi para santri tidak langsung diterjunkan ke medan perang sesungguhnya. Bahkan bisa jadi, tidak ikut perang sama sekali. "Di Palestina akan ada arahan kembali, mungkin saja dibekali kemampuan yang lain," jelas Muslim. *** Akhir Januari, Darul Mujahidin mulai lengang kembali. Namun 'bau FPI' masih tersisa di selembar spanduk, dipa44

jang di pagar masuk. Bunyinya, "ulama jahat lebih berbahaya daripada dajjal." Bekas markas militan ini juga masih menyisakan slogan pembakar semangat, "rumoh ureung meujihad," jelas tertulis di balai-balai. Tak hanya itu, anak-anak desa juga telah giat memainkan trik-trik pertempuran. Sebelum mengaji usai Magrib, sempat mereka unjukkan aksi layaknya militan Gaza. "Allahu Akbar‌.Allahu Akbar!" teriak santri cilik sambil mengacungkan potongan bambu seolah senjata. Militan jebolan Darul Mujadin sudah dipulangkan ke basisnya, bersiap-siap ke Gaza. Seiring dengan itu, santri lain masih sibuk mengumpulkan dana dari penguna jalan. Menurut Muslim, FPI Pusat yang bertanggungjawab untuk pemberangkatan relawan ke Palestina. Awal bulan lalu, 15 pendekar lulusan sekitar Exxon telah diberangkatkan ke markas pusat FPI di Jakarta. Sementara sisanya akan dikirim sesuai dengan permintaan FPI Pusat. "Dalam waktu dekat akan diberangkatkan." Sebelum diperangkatkan, mereka dipeusijeuk di sebuah pesantren pinggiran Kota Banda Aceh. Menurut Yusuf Al-Qardhawi, mujahid yang telah lulus tes itu tak hanya dikirim ke Palestina, tetapi ke semua negara Islam yang membutuhkan bantuan. Di antara 15 mujahidin gelombang pertama, katanya, terdapat empat orang yang siap melakukan aksi bom bunuh diri dan dua sniper. "Kami menyebutnya pasukan bom syahid. Bukan pelaku bom bunuh diri karena istilah itu konotasinya negatif yang dilabelkan oleh media asing," katanya. Ketika ditanya alasan keempat orang

ini siap menjadi pasukan bom syahid, Yusuf mengatakan karena selama latihan, mereka telah teruji dari segi mental dan fisik. "Saat latihan, mualim bilang bahwa keempat orang ini sudah siap dari segi jiwa dan raga untuk menjadi pasukan bom syahid. Mereka mujahidin sejati dan merupakan orangorang pilihan," katanya. "Mereka kami sebut 'Mujahidin Al Alami' atau mujahidin internasional yang siap diberangkatkan kemana saja untuk membela umat Islam," ujarnya. "Mereka sudah menjadi tentara Allah yang telah siap berjuang untuk membela agama Islam." [a]


Pelesir WISATA

PERJALANAN

ANGIN SEGAR

PERJALANAN

Revolusi Sebatang Coklat WISATA oleh

RAISA KAMILA

Pelajar Kelas 2F Kantonsschule Im Lee, Winterthure -CH.

Saat saya baru beberapa minggu di Switzerland (biasa disingkat dengan CH, kependekan dari nama lamanya, Confederationis Helveticae), saya tertarik sekaligus penasaran ketika diberi tahu Sigit —seorang teman yang sudah lama berkeluarga di CH— bahwa Lenin, penggerak revolusi komunis di Rusia, pernah tinggal di Zürich, salah satu ibukota kanton (semacam provinsi) paling dinamis dan memiliki tingkat kenyamanan hidup paling tinggi di dunia. Sigit mengatakan, rumah Lenin itu sudah tak berarti banyak sekarang. Tapi saya merasa seperti detektif penasaran dengan cerita lama yang semakin hari semakin hilang oleh ketidakberpihakan dan kenyamanACEHKINI April 2009

45


an hidup di CH. Akhirnya, Sigit mengajak saya berkunjung sebentar ke rumah Lenin di Zürich, yang tidak terlalu jauh dari stasiun kereta utama kota Zürich atau Zürich Hauptbahnfof. Kami berjalan kaki dari Zürich Hauptbahnhof menuju Limmatquai, yang menurut panduan berkeliling kota Zürich adalah jalan besar menyebrangi sungai Limmat yang dikelilingi banyak bangunan antik. Limmatquai tidak pernah kekurangan pejalan kaki yang mengejar jadwal kereta yang kelewatan tepat waktunya, orang-orang yang sekadar berbelanja di kiri kanan jalan yang penuh pertokoan yang menjual minyak wangi, jam tangan, mantel berbulu, atau orang sekadar jalan santai kemudian rehat di kedai-kedai minuman pinggir jalan. Yang sangat saya senangi adalah, pejalan kaki di CH sangat dihormati sehingga saat menyeberang pejalan kaki diutamakan dan mobil- mobil wajib berhenti sampai si pejalan kaki berhasil menyeberang dengan aman. Saya merasa sangat kurang ajar kalau harus membandingkannya dengan kondisi saat saya pulang sekolah di Banda Aceh, menyeberang harus lihat kanan kiri, kalau ada mobil atau motor jangan menyeberang dulu dan selalu kena damprat pengguna kendaraan kalau menyebrang sembarangan. Di sini, sesembarangan apa pun pejalan kaki menyebrang, semua kendaraan akan berhenti. Kami berbelok dari jalan besar Limmatquai menuju gang-gang yang biasa disebut catwalk. Bukan catwalk yang berarti tempat peragaan busana, tapi catwalk dalam artian sesungguhnya: jalan kucing, yang disebut demikian karena memang merupakan lorong-lorong sempit dan panjang, tak akan cukup memuat tiga atau bahkan empat orang penderita obesitas jalan berbarengan. Gang-gang kecil di Limmatquai semacam tempat alternatif bagi orang-orang Zürich. Kalau di jalan besar Limmatquai saya melihat orang-orang dengan mantel dan jas kantoran berwarna netral (coklat, biru tua, hitam), orang-orang dengan muka serius; seperti tidak punya banyak waktu untuk tertawa, dan menyaksikan semacam keangkuhan atas kunonya peradaban Eropa di bangunan-bangunan antik yang megah. Di gang-gang Limmatquai saya justru mendapat yang sebaliknya: orang-orang muda dengan baju warna-warni yang norak atau terlalu nyentrik, tawa-tawa riuh di kafe-kafe milik penjual imigran dari bangsa Turki, Albani, Tamil dan Tionghoa, toko-toko yang menawarkan barang-barang aneh (seperti toko khusus permen Loli, tidak permen lain) dan nyaris tidak terlintas di benak saya. Betapa asing mendapati dunia lain yang hanya berjarak beberapa langkah kaki dari dunia lainnya. Kami kemudian berbelok lagi menuju 46

gang lain, agak menanjak, tidak terlalu sempit dan lebih senyap ketimbang ganggang kecil utama tadi. Spiegelgasse, gang yang lumayan terkenal karena aliran seni dadaisme pernah lahir di sebuah kedai bernama ‘Cabaret Voltaire’, di tengah riuhnya perang dunia pertama, seniman-seniman eksil duduk mendiskusikan aliran baru ini. Menurut catatan Sigit, “da, da” dalam bahasa Rumania berarti ya, ya. Sekarang Cabaret Voltaire masih menja­ di tempat berkumpulnya seniman dan poli­tisi di Zürich. Selain itu, Cabaret Voltaire juga menjual barang-barang aneh se­­ perti susunan kertas yang bisa dibentuk menjadi mainan seru, sapu tangan dengan gambar agak ajaib, pin yang gambarnya bisa berubah, dan lainnya. Pemutaran film, pertunjukan, diskusi, dan pameran seni in-

stalasi juga masih berlangsung hingga sekarang. Dadaisme dan Lenin secara tak sengaja berada di Zürich pada tahun yang sama, 1916. Tapi Sigit memberitahu saya, Lenin tidak pernah mampir ke Cabaret Voltaire. Dadaisme, meskipun merupakan aliran seni yang menolak seni yang dikuasai kaum borjuis, tapi juga tidak sepakat dengan aliran seni realisme sosialis. Tidak jauh dari Cabaret Voltaire, tiba-tiba Sigit menunjuk sebuah rumah, itu tempat tinggal Lenin. Tapi saya masih saja tidak percaya kalau Lenin bahkan tidak pernah sekadar minum air putih di Cabaret Voltaire yang tidak seberapa jauh dari tempat tinggalnya. Sebenarnya, Lenin dan pencetus manifesto aliran dadaisme, Tristan Tzara, pernah bertemu di Zürich. Namun Tzara, penyair


dari Rumania yang menjadi eksil di CH ini tidak punya ide apapun tentang orang yang bernama ‘Lenin’. Rumah yang sempat ditempati Lenin, awalnya saya kira seperti rumah-rumah Eropa kuno kebanyakan, antik dan klasik sekaligus sedikit menyeramkan. Tapi ter­ nya­ta perkiraan saya salah. Rumah yang dulu ditempati Lenin dan istrinya, Krupskaya, cuma bangunan biasa dengan warna pucat (dinding berwarna putih mayat, daun jendela berwarna abu-abu muram). Tidak terlalu menarik kelihatannya, tapi sejarah yang ikut hidup di rumah itu membuatnya sedikit misterius. Tetap menyenangkan bagi saya. Saya membaca tulisan ‘AHA’ di kaca bawah tempat tinggal Lenin. Ada kepala Lenin dibelah dua, sebelah kiri berwarna merah, sebelah kanan berwarna hijau. Kalau kita melihat dari sisi kiri, akan ada cermin yang membuat seakan-akan seluruh kepala Lenin berwarna merah, dan kalau kita melihat dari sebelah kanan, akan ada cermin yang juga memantulkan refleksi kepala Lenin seluruhnya berwarna hijau. Tapi kalau kita berdiri di tengah, akan terlihat kepala Lenin di belah menjadi dua warna: merah dan hijau. Saya mengira ini teka-teki, sebuah permainan filosofis yang bahkan saya sendiri masih menerka-nerka maksudnya. Saya langsung bersemangat dengan perkiraan pribadi saya itu. Betapa menyenangkan kalau rumah Lenin sekarang sudah menjadi tempat kajian filsafat dan diberi nama AHA, ungkapan yang biasa diucap saat orangorang mendapat gagasan, semacam Eureka. Tapi sebenarnya Sigit sudah mengatakan sebelumnya, yang ada di hadapan kami saat itu toko mainan yang bernama AHA yang dulunya pernah ditempati Lenin. Kemudian Sigit menunjuk jendela di atas kaca AHA, saya berusaha memahami tulisan berbahasa Jerman itu, sedikitnya berarti Lenin pernah tinggal di sini, dari bulan Februari 1916 sampai April 1917. Hanya satu tahun, tapi saya percaya di sinilah Lenin sedikit banyak membuat rumusan untuk revolusi sekembalinya ke Rusia. *** BERSELANG beberapa bulan kemudian, saya kembali mengunjungi rumah Lenin di Spiegelgasse 14 dan berharap bisa tahu lebih banyak hal, seperti kenapa sekarang rumahnya menjadi toko mainan? Kenapa bukan museum seperti rumah Einstein di Bern, ibukota CH? Kenapa bukan toko buku, atau kedai diskusi? Kenapa harus toko mainan? Saya tak menemukan penjelasan hubungan yang masuk akal, dan saya memutuskan untuk mencari tahu mengenai hal ini lagi. Karena itu, kali ini saya minta ditemani ACEHKINI April 2009

seorang teman dari CH, dengan harapan dia tahu lebih banyak karena penduduk Zürich sendiri. Kami tidak langsung menuju rumah Lenin di Spiegelgasse, karena setelah tidak ke sana dalam waktu relatif lama, saya lupa jalan masuk ke rumahnya yang harus menyusuri gang-gang sempit di Zürich. Mesin pencari di Internet menjadi pahlawan kali ini, melalui pencarian singkat di situ kami akhirnya tahu di mana persisnya rumah Lenin. Akhirnya saya sampai di rumah Lenin atau toko mainan AHA untuk kedua kalinya. Kali ini saya berniat mencari tahu melalui pemilik toko mainan mengenai hubungannya dengan tempat tinggal Lenin. Tapi teman saya mengatakan bahwa bisa jadi tidak ada hubungan apa-apa, si pemilik toko mainan AHA cuma pengusaha biasa yang secara kebetulan membeli lahan bekas tempat tinggal Lenin dengan menimbang, tokonya akan ramai dikunjungi karena juga bekas tempat tinggal Lenin. Nilai sejarah dimanfaatkan untuk bisnis. Tapi saya tidak bisa percaya hubungannya akan sesederhana itu. Kami memutuskan untuk bertanya langsung pada si nenek pemilik toko mainan. Di pintu masuk ditulis, toko mainan ini cuma dibuka hari Jumat dan Sabtu dari jam 4 sampai 6 sore. Saya beruntung karena datang hari Jumat. Teman saya lalu mengatakan, betapa tidak beruntungnya penjual mainan yang hanya berjualan dua jam dalam dua hari saja. Kami kemudian mengira-ngira kalau si nenek hanya penjual mainan gadungan untuk menutupi kedok

sebenarnya yang merupakan sindikat mafia terbesar di Eropa atau mungkin jaringan bawah tanah kelompok komunis di CH yang terkenal netral dan tidak pernah perang sejak tahun 1815. Itu sudah kelewatan, kata saya dan tertawa. Hahaha. Nenek penjual mainan itu menyapa kami dengan ramah, kemudian sibuk kembali di depan komputer Mac yang canggih. Saya menyuruh teman saya langsung bertanya pada si nenek, apakah dia cucu Lenin, atau saudara jauh? Atau semacamnya? Tapi akhirnya pertanyaan interogasi itu ditunda, mainan-mainan yang dijual sangat menarik untuk dilihat lebih dulu. Mainan yang dijual di toko AHA bukan mainan sejenis mobil-mobilan, atau boneka Barbie, tapi lebih ke mainan yang bisa dimainkan semua umur. Ada mangkok hitam cembung dengan cermin di tengah, dan di atasnya ada patung babi kecil yang berpijak pada koin emas. Saya mencoba menyentuh penampakan patung babi kecil itu, tapi terus-menerus tidak bisa. Saya menduga itu hologram, tapi setelah saya melihat ada cermin di bawahnya, sepertinya itu permainan refleksi cermin. Saya kemudian kesal sendiri karena tidak terlalu memahami pelajaran fisika mengenai ini. Ada segala macam permainan aneh yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Saya dan teman saya ingin mencoba memainkan semuanya, tapi saya takut mainannya rusak dan kami harus ganti rugi. Mainannya mahal sekali, untuk satu buah gasing yang saya tidak tahu apa unsur ajaibnya dihargai

47


sekitar 180 CHF atau Rp 1,4 juta. Belum lagi mainan patung babi kecil yang sedikit ajaib itu. CH memakai empat bahasa nasional, yaitu Prancis, Italia, Jerman dan Roma kuno. Pemakaian tiga bahasa pertama berlaku sesuai daerah perbatasan, sementara bahasa Roma Kuno atau Rätoromanisch sudah mulai jarang. Zürich, tempat tinggal saya berbatasan dengan Jerman dan karena itu saya mau tidak mau harus belajar bahasa Jerman yang kedengarannya seperti orang marah-marah dan penuh huruf-huruf konsonan yang bertabrakan dan kelihatan sulit dibaca karena hanya ada satu atau dua huruf vokal. Karena belum lancar berbahasa Jerman, saya menyuruh teman saya mengajak bicara nenek pemilik toko mainan itu mengenai hal-hal yang dia tahu tentang toko mainannya dulu. Tapi barangkali saya memang tidak terlalu beruntung, si nenek mengaku tidak ada hubungan apa-apa dengan Lenin maupun istrinya, Krupskaya. Si nenek dan suaminya tinggal di lantai bawah tempat tinggal Lenin selama 35 tahun. Dulu sebelum menjadi toko mainan, suami si nenek membuat kediamannya sebagai biro arsitektur yang merangkap dengan usaha penerbitan buku. Tahun 1988, usaha penerbitan dan biro arsitek selesai, diganti dengan toko mainan. Si nenek yang baik hati itu

48

menambahkan, dulu Lenin tinggal di lantai atas dan sekarang sudah tidak ada lagi sisa apapun, semua sudah direnovasi sebelum si nenek dan suaminya membeli lantai bawah rumah itu. Yang tertinggal sekarang cuma papan pengenal sederhana yang menuliskan Lenin pernah tinggal di situ. Belakangan melalui catatan Krupskaya, saya tahu mereka menyewa kamar di lantai kedua rumah yang ternyata milik seorang buruh pabrik sepatu yang disapa Frau Kammerer. Dalam bahasa Jerman, Frau berarti Ibu atau Nyonya. Rumah Frau Kammerer adalah gedung kuno seperti peninggalan dari abad ke-16, dan kamar-kamar di rumahnya disewakan untuk banyak orang. Meskipun menurut Krupskaya, kamarnya tidak terlalu bagus dan dengan biaya yang sama mereka bisa mendapat kamar lebih layak. Tapi Lenin dan Krupskaya terlanjur tertarik dengan suasana revolusioner keluarga buruh pabrik sepatu, lengkap dengan kehidupan yang mereka sebut ‘internasional’, karena penyewa tiap-tiap kamar berasal dari bangsa yang berbeda. Satu kamar disewa oleh ibu dan anak yang bapaknya bekerja sebagai pembuat roti dan harus pergi berperang, satu kamar disewa seorang dari Italia, ada yang disewa oleh beberapa aktor Austria yang memelihara kucing cantik, dan kamar yang terakhir disewa oleh Lenin dan Krupskaya, sepasang suami istri Rusia.

Musim gugur 1916 dan menjelang tahun 1917, mereka lebih memilih bekerja di perpustakaan ketimbang di penginapan, yang meskipun memiliki penerangan cukup, pemandangan yang bagus, tapi di pekarangannya ada pabrik sosis yang mengumbar bau aneh dan membuat Lenin tak bisa bekerja di kamar penginapan. Lenin dan Krupskaya menghabiskan enam jam di Zentralbibliothek atau perpustakaan utama kota Zürich untuk menekuni banyak bahan. Setelah itu, dalam perjalanan kembali ke tempat tinggal, biasanya Lenin membeli dua batang coklat isi kacang dalam bungkusan berwarna biru yang kadang dibawa untuk cemilan setelah makan siang. Saya meminta seorang teman yang juga sudah lumayan lama menetap di CH, Ronny, untuk menemani saya mengunjungi Zentralbibliothek juga untuk melihat tempat di mana Lenin dan Krupskaya menghabiskan waktunya. Ternyata Zentralbibliothek itu bisa dilihat dari bagian depan tempat tinggal Lenin. Bagian luar Zentralbibliothek kelihatan antik dan seperti bangunan peninggalan abad pencerahan Eropa. Tapi saat saya masuk, pintu terbuka secara otomatis dan penjaga yang mengawasi setiap pengunjung. Saya diajak Ronny naik ke lantai dua, dan menunjukkan satu pojok ruangan buku kamus istilah. Itu tempat dulu Lenin dan Krupskaya sering membaca banyak buku. Saya kemudian heran, kenapa Lenin duduk di bagian buku kamus istilah? Lalu, Ronny menjelaskan, waktu itu Lenin juga harus banyak mengkaji istilah ekonomi. Kemudian kami menuju empat lantai bawah tanah, kesemuanya menyimpan buku dari awal perpustakaan ini berdiri. Menurut situs resmi Zentralbibliothek Zurich, ada 5,1 juta data (buku, koran, manuskrip, dan lain-lain) yang tersimpan di perpustakaan ini hingga tahun 2007. Zentralbibliothek ini memang gudangnya buku, dan selalu banyak dikunjungi mahasiswa, pelajar atau orang-orang yang suka membaca. Kamis sore, saat Zentralbibliothek tutup, Lenin dan Krupskaya pergi ke gunung Zürichberg sambil membawa beberapa buku dan beberapa batang coklat, mereka menghabiskan waktu di bagian dalam hutan yang tidak dilewati banyak orang. Disitulah Lenin membaca sambil merebahkan badan di rumput. Kadang menekuni banyak bahan di perpustakaan membuat Lenin lelah dan memutuskan untuk ke gunung sambil membahas demokrasi di CH dengan Krupskaya. Krupskaya menuliskan, tinggal di Zürich saat itu cenderung tenang dan aman, meski situasinya sedikit demi sedikit jadi lebih revolusioner. Dan selama perang dunia pertama di Zürich yang tenang, Lenin menjadi sangat temperamental, dia yakin sekali bahwa revolusi tidak bisa menunggu lebih lama. [a]


PERJALANAN

Rambu Solo Menuju Puya. Manusia berasal langit.

Kematian hanya perjalanan pulang ke nirwana. Di Toraja, warga menggelar pesta saat pemakaman. oleh

J. VIGNESHVARA

FOTO-FOTO: FAUZAN IJAZAH

Langit Tana Toraja, berhari-hari kelam dan mengirim hujan. Namun, pagi itu langit membiru, seakan merestui kembalinya Batok Tua, yang meninggal dunia tahun 2006, kembali ke nirwana. Kota Rantepao, Sulawesi Selatan, tampak meriah menyiapkan ritual ma’pasonglo, yang merupakan puncak acara Rambu Solo atau upacara pemakaman dalam adat Toraja. Berbagai atraksi dan ritual dipertontonkan lima hari lima malam pada pesta pemakaman Batok Tua, pertengahan Agustus tahun lalu. Dalam kepercayaan Aluk Todolo, kesempurnaan pesta pemakaman akan menentukan posisi arwah, apakah sebagai bombo (arwah gentayangan), tomembali puang(arwah yang mencapai tingkat dewa), atau deata (menjadi dewa ACEHKINI April 2009

pelindung). Sebab itu, biasanya Rambu Solo diadakan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah kematian. Waktu yang panjang bagi keluarga mengumpulkan uang untuk mengadakan pesta sesuai strata sosialnya. Sebelum upacara pemakaman, jenazah diperlakukan layaknya orang sakit. Walau sudah tak bernyawa, masih diberi makan dan minum tiga kali sehari sampai keluarga mampu mengadakan pesta pemakaman. Saat meninggal, jenazah dimasukkan ke dalam peti dan diletakkan di kamar tidur ruang selatan rumah Tongkonan, yang disebut sumbung. Jenazah ditidurkan dengan kepala sebelah barat, lazimnya orang hidup tidur. Biasanya, keluarga juga mengajak bicara jenazah dan menungguinya hingga larut malam, bahkan tidur di samping jenazah. Meskipun disimpan bertahun-tahun,

tak tercium bau busuk. Karena jasad telah dioles ramuan khas Toraja, dari dedaunan dan akar. Daun sirih, daun pinang, daun bilante –sebutan warga Toraja untuk dedaunan yang didapat dari hutan— serta beberapa akar pohon lain, diramu dengan abu siput dan diaduk dengan air perasan batang pisang. Ramuan itu biasanya meninggalkan noda cairan. Nah, cairan ini disuling dan disimpan dalam bambu, hingga jenazah kering. Supaya pengawetan sempurna, jenazah disimpang dalam kotak yang disebut duni. Kotak ini harus kering dan bebas organisme. Setelah mulai kering, jasad dibersihkan, kemudian dibalut kain dari serat nanas. Setelah benar-benar tidak ada lagi penguapan dari dalam, jenazah dibalut lagi dengan kait katun. Semua tahapan itu melalui ritual adat yang diikuti bacaan mantera. 49


Bila dana pesta telah cukup, keluarga melakukan ritual ma’parempa yang artinya ‘mematikan’ jenazah. Jasadnya dipindahkan ke bagian selatan ruang tengah rumah dan dibaringkan dengan kepala menghadap ke selatan. Selanjutnya, ritual ma’tundan yakni ‘membangunkan’ jenazah untuk bersiapsiap melakukan perjalanan pulang ke nirwana. Diikuti ritual ma’balun, membungkus jenazah, dan ma’roto yakni menambahkan ornamen berwarna perak dan emas pada peti mati. Jelang pesta pemakaman, peti jenazah dipindahkan dari rumah ke lumbung di depan rumah. Ritual ini disebut ma’parokko alang. Semua ritual di atas biasanya hanya dihadiri keluarga terdekat saja. Ritual terakhir, ma’pasonglo yang berarti mengantarkan hingga ke tempat peristirahatan terakhir, mengundang banyak tamu layaknya pesta. Semasa hidupnya, Batok Tua pemangku adat. Ia membesarkan anak-anaknya menjadi orang yang sukses. Sebab itu, Rambu Solo digelar akbar. Berbeda dengan kematian warga biasa; ritual, simbol, nyanyian, musik dan tarian pada pesta pemakaman Batok Tua, hanya dipertunjukkan pada pembesar adat. Kerbau, salah satu simbol penting dalam Rambu Solo. Selain menunjukkan strata sosial, dalam Aluk Todolo, kerbau diyakini menjadi tunggangan roh menuju alam baka, atau dalam bahasa setempat disebut puya. Tidak semua kerbau pengantar roh. Ciri kerbau yang dipilih belang, berwarna menyerupai sapi, masyarakat menyebutnya tedong bonga atau tedong belo. Kenderaan ke nirwana itu mahal, harganya mencapai Rp 100 juta. Pada pesta kali itu, keluarga Batok Tua menyembelih lebih dari 50 kerbau dan lebih 100 ekor babi. Kembalinya Batok Tua ke nirwana, diiring kidung ratapan yang disebut ma’badong. Kidung berisi kisah perjalanan, kebesaran jasa dan keluhuran budi tokoh adat itu semasa hidupnya. Semakin siang, halaman rumah salah satu anak Batok Tua yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan pesta pemakaman dipenuhi sanak keluarga, tamu-tamu dan wisatawan domestik maupun manca negara. Shula dan Yalef, pasangan wisatawan asal Amerika, rela repot-repot mencocokkan jadwal kunjungan ke Toraja dengan jadwal Rambu Solo. “Upacara pemakaman ini sangat unik dan merupakan peninggalan budaya yang sangat kuno. Kami sangat beruntung bisa menyaksikannya,” ujar Yalef, dosen di Massachusetts Institute of Technology. Ma’pasilaga tedong atau adu kerbau, ritual selanjutnya usai kidung. Siang itu jelang atraksi, kerbau balian atau kerbau 50


Kerbau dan babi disembelih untuk tamu. Hewan-hewan ini dipotong melalui ritual adat Toraja yang disebut ma’tinggoro tedong aduan diarak dan dipertontonkan mengelilingi tempat upacara. Seorang lelaki tua berpakaian seperti prajurit adat, dengan membawa tombak dan perisai, memimpin barisan sambil membawakan tarian perang. Di belakangnya, tedong bonga dituntun seorang pawang yang juga mengenakan pakaian adat. Tak lama kemudian orang-orang berbondong-bondong menuju sawah terdekat untuk menyaksikan adu kerbau. Kerumunan penonton yang berdesak-desakan di pematang sawah tiba-tiba tungganglanggang berhamburan saat kerbau yang sedang berlaga mengejar lawannya ke arah mereka. Beberapa di antaranya berjatuhan ke dalam kubangan lumpur. Namun becek tak menyurutkan keinginan mereka untuk menyaksikan pertandingan adu kerbau dari dekat. Julien, seorang wisatawan dari Prancis tampak tak menghiraukan kotor lumpur yang melekat di badannya. Ia melebur bersama masyarakat lokal dalam kegairahan menyaksikan atraksi yang mendebarkan. “Seru dan menarik!” ujarnya terengah-engah dalam bahasa Inggris. Menjelang senja pertandingan usai. Keesokan harinya, prosesi penerimaan tamu dimulai. Gadis-gadis penerima tamu bersolek dengan pakaian adat Toraja. Sedangkan kerabat keluarga mengenakan pakaian hitam sebagai tanda berkabung. Barisan tamu yang memasuki tempat upacara dipandu seorang prajurit adat dan diantar untuk duduk di lantang atau pondok-pondok bambu yang dibangun sebagai tempat untuk tamu menyaksikan prosesi pesta pemakaman. Pondok-pondok ini berwarna merah, berhias ornamen khas Toraja dan diberi nomor. Setiap rombongan tamu atau kerabat akan ditempatkan di lantang sesuai dengan nomornya. Pada pesta pemakaman Batok Tua dibangun 20 pondok yang memiliki 80 ruang untuk menerima rombongan tamu. Hari itu, kerbau dan babi disembelih untuk menjamu para tamu. Hewan-hewan ini akan dipotong melalui ritual adat Toraja yang disebut dengan ma’tinggoro tedong,yang artinya leher kerbau akan ditebas dengan sekali ayunan parang. SebeACEHKINI April 2009

51


lum dipotong, kerbau maupun babi diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat upacara pemakaman. Arak-arakan dipimpin seorang prajurit adat yang menarikan tarian perang dan diikuti tedong bonga yang dituntun pawangnya. Tedong bonga tak dipotong hari itu, melainkan pada hari terakhir menjelang Batok Tua disemayamkan di tempat peristirahatan terakhirnya. Kerbau dan babi kemudian ditambatkan di sebuah batu yang disebut simbuang batu dan dipotong dengan sekali tebas. Sebagian dagingnya dibagikan pada masyarakat sekitarnya. Sebagian lagi dimasak dalam drum-drum minyak yang besar, hanya dengan air dan garam. Terus terang, tak sanggup membayangkan bagaimana rasa masakan itu. Namun daging rebus ini langsung tandas sesaat setelah disajikan. Dengan alasan hendak memotret, kami pun kabur sementara. Tiba-tiba terdengar suara lesung yang dipukul bertalu-talu oleh sekelompok ibu, secara bergantian sehingga tercipta alunan nada harmonis. Saat lesung berhenti, kidung ratapan menyambutnya. Tak lama setelah kidung berhenti, terdengar suara gong memecah suasana. Sebuah barisan telah bersiap untuk berjalan mengelilingi tempat upacara. Barisan diawali penabuh gong yang diikuti oleh enam laki-laki membawa umbul-umbul yang disebut tompi saratu. Di belakangnya, para wanita dari keluarga Batok Tua berbaris sambil membawa bentangan kain merah yang disebut lambalamba. Menurut bapak Stanislaus Sandarupa, dosen Universitas Hasanuddin, yang kebetulan kami temui di tempat acara, semua ritual ini merupakan simbol-simbol yang menunjukkan strata Batok Tua.

Prosesi hari berikutnya, menaikkan keranda Batok Tua yang disebut dubaduba dari lumbung ke atas lakkian, menara tertinggi yang dibangun di tempat upacara. Lakkian terbuat dari bambu yang berbentuk rumah adat Toraja atau tongkongan. Menurut kepercayaan Aluk Todolo, meletakkan jenazah di tempat paling tinggi akan memudahkan perjalanan roh menuju nirwana. Oleh karena itu, kuburan orang Toraja biasanya dibangun di tempat yang tinggi, misalnya tebing. Orang Toraja tidak menguburkan jenazah di dalam tanah. Sebelum dinaikkan ke lakkian, keranda Batok Tua diarak mengelilingi kampung kelahirannya, kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan penghormatan terakhir. Di urutan terdepan barisan

arak-arakan adalah penabuh gong, diikuti kelompok lelaki berpakaian hitam pembawa umbul-umbul. Di belakangnya, tedong bonga mengikuti dengan pawangnya yang memakai baju adat. Barisan para wanita dari keluarga Batok Tua berjalan di belakangnya sambil menarik bentangan kain merah panjang. Di urutan paling belakang adalah keranda Batok Tua yang diusung oleh sejumlah laki-laki. Hari keempat, sebuah misa digelar untuk Batok Tua di gereja. Keluarga Batok Tua telah memeluk agama Kristen sebagaimana kebanyakan masyarakat Toraja. Meskipun demikian, menurut Dumak Tanderapak, anak kedua Batok Tua yang menetap di Ujung Pandang, upacara Rambu Solo hingga kini tetap digelar untuk menjaga kelestarian tradisi Toraja. “Upacara ini juga bentuk penghormatan dan bakti kami sebagai keluarga kepada yang meninggal,” jelasnya. Jenazah Batok Tua akhirnya dikuburkan di hari kelima upacara. Peristirahatan terakhirnya berbentuk rumah atau patane yang diletakkan di kuburan yang berjarak tujuh kilometer dari rumahnya. Sebelumnya, tedong bonga dipotong agar dapat menjadi tunggangan roh Batok Tua menuju nirwana. Dengan berakhirnya ritualma’pasonglo maka selesai tugas keluarga mengantarkan almarhum melakukan perjalanan ke alam puya. [a]

Upacara ini juga bentuk penghormatan dan bakti kami sebagai keluarga kepada yang meninggal 52


Figura

oleh

oleh

RIZA NASSER

FOTO: UCOK PARTA—ACEHKINI

NABELLA VOLARY

Bicara Sama Tembok

Bukan karena terkena jampi-jampi akibat menolak cinta seorang pria, Nabella Volary, 19 tahun, sering bicara dengan tembok. Hobi baru yang dijalani sebulan itu, hanya untuk memperlancar acting. Hasilnya, ia lolos dua kali casting. Malah, rumah produksi Ide Production memilihnya sebagai pemeran utama dalam film drama komedi Aceh berjudul ‘Leumak Mabok’. Bella memerankan tokoh Farida yang lembut, sopan, penyayang dan pintar. Sebab itu banyak pria mengincarnya, mulai dari bandot tua bernama Toke Dien sampai Bang Jeck, pemuda tampan di kampungnya. Karakter Farida tak jauh dari Bella, tak suka marah. Sebab itu cewek berkulit sawo matang ini mengaku sedikit kesulitan. “Susah waktu adegan marah-marah dan panik, soalnya Bella nggak bisa marah,” ujarnya. Dalam ranah seni peran, Bella sebenarnya belum berpengalaman. Tapi soal melenggang di catwalk, ia piawai. Beberapa penghargaan di bidang modeling sudah disabetnya. Selain itu, ia juga dinobatkan jadi duta wisata Aceh 2008 oleh Dinas Pariwisata Provinsi Aceh. Kini, mahasiswi jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian, Unsyiah, itu sering bergaya bak Keira Knightley dalam film Pirates of Carribean. “Bella suka nonton film dan sinetron, jadi belajar juga dari mereka,” sebutnya. Menurut mamanya, Rahmah, bakat acting Bella sudah tumbuh sejak kecil. Sayangnya, sang mama berharap Bella tak begitu serius menggeluti dunia entertainment. “Sambilan saja dulu yang penting serius kuliah,” katanya. Tapi Bella kukuh ingin mengembangkan karirnya. “Ke depan Bella harus lebih bagus dari sekarang,” ucap cewek yang mengaku belum punya pacar ini, semangat. Sukses terus ya non! [a]

RIZA NASSER

FOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

ACEHKINI April 2009

53


Mengandalkan Cinta oleh

RIZA NASSER

FOTO: YO FAUZAN —ACEHKINI

Malam telah usang kala Elviana, 42 tahun, memimpin 35 pria menelusuri dingin, menghentikan langkah kawanan pencuri yang sedang menggasak rumah warga di Neusu, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh, dua bulan silam. Tak ada yang lolos, semua digelandang ke Markas Polisi Sektor (Mapolsek) setempat. Sejak delapan bulan lalu, malam bukan lagi pertanda istirahat baginya. "Tiap hari saya selalu pulang di atas jam tiga pagi, Sering ikut operasi malam hari," katanya. Maklum kini ia tak lagi mengurusi lalu lintas, melainkan membersihkan Baiturrahman dari pencuri, judi dan miras. "Itu jenis penyakit masyarakat paling banyak di sini," ujar Kepala Polisi Sektor (Kapolsek) perempuan satu-satunya di jajaran Polisi Daerah (Polda) Aceh itu. Walau perempuan, ia tak pernah absen dalam setiap operasi. Tak terkecuali saat menangkap penyabung ayam. "Saya juga ikut kejar-kerjaan dengan mereka, saya berhasil menangkap satu orang di antaranya," kisah perwira polisi berpangkat Inspektur Satu (Iptu) sambil menahan tawa. Memimpin para polisi yang identik dengan lelaki, tentu tak mudah. Tapi Elviana, punya jurus jitu. Kantor baginya rumah kedua. Lalu, ia menata Polsek dengan prinsip kekeluargaan dan cinta. Tak jarang ia menyapu ruangnya sendiri dan bergabung di pos penjagaan. "Biar tidak ada jarak bawahan dan atasan," katanya. Tak hanya dengan bawahan, ia juga ramah dengan tahanan. Ia acap menasihati dan mengundang penceramah ke ruang tahanan. "Saya berusaha menjadi bagian dari keluarga mereka," ujarnya. Resep kekeluargaan Elviana teruji sukses. Tiga bulan terakhir, ia meringkus tujuh pelaku kriminal dan menyita 200 lusin minuman keras. Sebenarnya, dia tak berniat menjadi polisi. Saat masih berseragam putih abu-abu, dia ingin jadi guru. Namun tahun 1986, nasib tak

Menggantikan Tompi oleh

MAIMUN SALEH

FOTO: KHAIRUL UMAMI —ACEHKINI

INDRA HELMI 54

Elviana berpihak padanya. Dia tak lulus di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Akhirnya, setahun kemudian, masuk pendidikan kepolisian di Ciputat, Jawa Barat. Usai pendidikan, ia meniti karier sebagai polisi lalulintas. "Waktu pendidikan saya satu-satunya wanita, melakukan latihan yang sama dengan laki-laki," ungkapnya. Karier Elviana mulai terang selepas pendidikan perwira enam tahun lalu. Dia dipromosi jadi Kapolsek. "Ini tantangan bagi saya, memberikan contoh pada bawahan agar mereka juga mau bekerja lebih baik," sebutnya. Yang ragu akan kemampuannya, bukan tak ada. Namun, Elviana tak surut. Dia terus mengukir prestasi. "Yang terpenting bagaimana kita membawa diri, perempuan juga bisa melakukan tugas berat seperti ini," ujarnya. [a]

Di tengah kesibukkannya melengkapi administrasi kelulusan pegawai negeri, Indra Helmi, 27 tahun, dihubungi Dedi Kale, seorang aktor pembantu dalam film “Ketika Cinta Bertasbih (KCB)”. Dari ujung telpon, Indra ditawari mengisi soundtrack film yang disutradarai Chaerul Umam itu. Indra riang dan menyanggupi tawaran itu. Tak lama berselang, alumnus Fakults Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Unsyiah, itu terbang ke Jakarta. Proses rekaman dilakukan di studio milik Anto Hood, di kawasan Bintaro. Anto sendiri dipercayai pihak Sinemart, mengurus musik pengiring KCB. Bukan sebab Jakarta kehabisan penyanyi, sehingga ‘palang pintu’ Potret itu memilih Indra melantunkan lagu yang diaransemen sendiri. Lagi pula lagu yang dinyanyikan, tembang Aceh, “lagu Saleum yang di album Nyawoeng pertama,” jelas Indra. Walau seharian di studio, hanya sekitar dua jam saja dihabiskan untuk rekaman. Bagi Indra, menyanyikan lagu ‘Saleum’ tak sulit. Selain lagu itu sering didengar, ia sendiri sempat menjadi vokalis di kelompok musik Bijeh. Bukan berarti mengisi suara soundtrack tak ada aral. Tantangannya, menjiwai adegan film yang sama sekali belum dilihat. Sebab itu, pihak studio memutar cuplikan akhir cerita. Sebab diending film suara Indra diputar. “Kan dubing, jadi harus mengikut gerakan mulut pemain utama,” jelas Indra. Sebenarnya, alih suara sudah diselesaikan pihak Anto. Untuk melantunkan lagu ‘Saleum’ dipilih Tompi, penyanyi jazz ternama asal Aceh. Serasa tak sreg dengan hasil, akhirnya, Anto menggantikan dengan Indra. “Mungkin soal penjiwaan, saya sendiri tak terbayang menyanyi untuk soundtrack film itu,” kata Indra. [a]


COMMERCIAL

Space for R ent

Pemasangan iklan, hubungi: PT. ACEHKINI Jl. Bahagia No. 3, Punge Blang Cut, Banda Aceh. Telp./Faks. 0651.44416 atau Abdul Munar [081360039003] ACEHKINI April 2009

55


56


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.