PATRA ENERGY REVIEW "KEDAULATAN ENERGI UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA"

Page 1

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

DIVISI KAJIAN ENERGI HMTM PATRA 2013/2014

“KEDAULATAN ENERGI UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA”


CONTENTS 2Contents

3Subsidi BBM, Bukan Lagi Metode

PATRA ENERGY REVIEW DIVISI KAJIAN ENERGI HMTM PATRA 2013/2014

Aditya Prasetyo

Aris Tristianto Wibowo

Aldia Syamsudhuha

Temmy Surya Kurniawan

Alris Alfharisi

Isna Rasyad Hanief

Andy Rosman H.

Jody Aria Widjaya

Luthfan Nur Azhim

yang Tepat

7Sistem Perizinan Eksplorasi

Indonesia, Kunci Kemajuan Produk Migas Nasional

11Saatnya Perbaiki Sistem Migas

Indonesia

14Kontrak Blok Migas Milik Asing

19Reformasi SKK Migas,

Akan Habis, Sanggupkah Pertamina Mengambil Alih?

Perlukah?

17Sistem Monitoring Pengenda-

22 Bioremediasi Chevron,

lian Bahan Bakar Minyak, Kelanjutan Sikap terhadap Kenaikan BBM atau sekedar Angin Lalu?

2

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

Sebuah Ironi Regulasi Hukum Migas


SUBSIDI BBM

“bukan lagi metode yang tepat”

Kebijakan susbsidi BBM selalu menjadi perbincangan yang diangkat setiap tahun. Secara filosofis kebijakan ini menghantui pemerintah dan rakyat Indonsia setiap waktu. Mengapa? Mungkin itu yang ada di benak kita semua. Kebijakan subsidi BBM pada awalnya dibuat oleh pemerintah untuk mengkompensasi dan membantu daya beli masyarakat. Namun lambat laun menjadi boomerang bagi pemerintah dan masyarakat. Karena menjadi suatu penyakit yang harus menempel bertahun-tahun. Ya dikatakan sebuah penyakit karena kebijakan ini secara continue menimbulkan efek ketergantungan dan perilaku konsumtif pada masyarakat. Kemudian sedikit berbicara mengenai kondisi lifting, konsumsi, dan kontrak pada migas. Untuk saat ini, Lifting Indonesia sekitar 840 ribu BOPD (barrel oil per day). Sedangkan kebutuhan BBM kita sekitar 1,4 Juta BOPD konsekuensi logis kita harus memenuhi sisanya Impor dari Luar Negeri. Perlu diingat bahwa lifting kita 840 BOPD belum termasuk pengu-

rangan dari sistem kontrak kita PSC (Production Sharing Contract) yang memiliki ketentuan bagi hasil 85% untuk pemerintah dan 15% untuk kontraktor (alur sistem bagi hasil PSC pada gambar di samping), selain itu juga Cost Recovery. Setelah terkena potongan tersebut minyak mentah bersih hasil lifitng kita “hanya” sekitar 600 BOPD. Oleh karena itu kita harus mengimpor kira2 sebesar 800900 BOPD. Belum lagi Kapasitas kilang kita sebesar 1,157 juta barrel (menurut handbook of energy and economy 2010) sehingga kita harus mengekspor minyak mentah dan mengimpornya kembali ketika menjadi BBM (dapat dilihat pada skema alur BBM dalam negeri di samping). Itulah mengapa ini sangat membebani negara. Terlepas dari kondisi saat ini tentang kisruh APBN dan inflasi jika ditinjau lagi lebih dalam kebijakan subsidi BBM ini memang sudah bisa dikatakan irrelevant dan cacat. Mari kita bahas alasan fundamental mengapa kebijakan subsidi BBM dikatakan sudah irrelevant dan cacat.

Alur sistem bagi hasil PSC - source: esdm.go.id

Alur sistem bagi hasil PSC - source: esdm.go.id PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

3


Pertama, apa benar kebijakan ini lebih berpihak pada rakyat kecil? Ternyata tidak. Kebijakan ini justru lebih membantu warga kelompok menengah atas yang sudah berkecukupan karena memiliki kendaraan pribadi. Data hasil source : SUSENAS 2010 oleh BPS Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2010 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Bahwa 40% masyarakat menengah ke bawah hanya mendapatkan manfaat sebesar 13,92% dari subsidi BBM. Yang paling menikmati manfaat dari subsidi BBM adalah 20% orang paling kaya di Indonesia dengan bagian sebesar 48,44%. Jika dilihat dari data di atas dapat dikatakan bahwa subsidi BBM yang diberikan tidak tepat sasaran. Hasil pemotongan subsidi itu dapat dipakai u/ membiayai berbagai program pengentasan kemiskinan. Lebih dinikmati oleh rakyat menengah kebawah. Sekadar share proporsi penggunaan BBM hsl SUSENAS 2010 olh BPS. Kedua, Dengan pengurangan subsidi BBM menjadikan masyarakat lebih hemat dan juga ramah untuk lingkungan. Harga Premium dan Solar yang jauh lebih murah dari semestinya mendorong orang boros dan ceroboh mengkonsumsi BBM. Subsidi BBM mendorong perilaku konsumtif di masyarakat disamping minyak sebagai fuel energy bukanlah renewable energy. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya minyak adalah sumber energi yang langka dan tidak terbarukan. Pemakaian BBM yang berlebihan juga menurunkan kualitas lingkungan hidup kita. Harga BBM yang lebih realistis akan mendorong penghematan & proses konversi ke sumber energi lain yang lebih bersih terutama gas. Ketiga, dengan pengurangan subsidi BBM akan lebih bermanfaat dalam jangka waktu panjang. Mengapa? Karena dana yang seharusnya habis untuk subsidi bisa kita alihkan untuk keperluan lain yang lebih berguna bagi rakyat banyak dan meringankan beban negara untuk tahun-tahun mendatang. Dana subsidi ini dapat dialihkan untuk membiayai investasi infrastruktur (terutama dalam pengembangan EBT dan konversi BBG), perbaikan sumber daya manusia, serta penanggulangan kemiskinan yg efek positifnya lebih bersifat jangka panjang & permanen. Pengeluaran seperti ini dampaknya bersifat jangka panjang karena merupakan belanja modal atau investasi pemerintah. Sedangkan subsidi BBM bersifat konsumtif, sekali dipakai langsung habis. Alih-alih “terbakar” habis di jalanan, uang rakyat bisa dipakai membiayai berbagai proyek yg memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Sedikit mengusik pengembangan energi alternatif kita bisa melihat bahwa pada Energy Primary Mix 2010-2030 kita ingin melepas ketergantungan penggunaaan minyak dengan mengembangkan energi alternatif. Tapi nyatanya hingga saat ini pengembangan energi alternatif tersebut

4

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

terhambat oleh tidak adanya supply (political will) dan demand karena efek negatif dari subsidi BBM. Sebagai contoh potensi energi panas bumi Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, yakni mencapai 29 gigawatt (GW). 29 GW atau sekitar 40% potensi panas bumi dunia. Namun sayangnya, pemanfaatan panas bumi Indonesia saat ini hanya sebesar 1.341 MW dari 29000 MW atau 4,624% saja yg sudah kita manfaatkan. Padahal perlu diketahui eksplorasi panas bumi dimulai dari thn 1981. Contoh kecil Brazil yang dulu kondisinya kurang lebih mirip dengan Indonesia. Secara perekonomian, Negara ini nyaris bangkrut karena membengkaknya pembiayaan import minyak bumi pada tahun 1970’an. Sejak itu Brazil secara bertahap tetapi serius berusaha mengembangkan industry ethanol dengan bahan baku yang berlimpah dari Negara tersebut: tebu. Hingga pada tahun 2010 yang lalu akhirnya Brazil sudah menghentikan sama sekali impor minyak dari luar negeri karena kebutuhan BBM dapat dipenuhi dari kombinasi produksi minyak dalam negeri dan produksi ethanol. Tentu kita tidak ingin menunggu bencana seperti yang dialami brazil untuk mengembangkan energi alternatif. Bagaimana kita bisa melakukan diversifikasi energi jika pemerintah tidak menciptakan demand untuk EBT dan gas? BBM yg “murah meriah” mengakibatkan energi-energi potensial di Indonesia macam gas, bahan bakar nabati, & geothermal sulit bersaing. Jelasnya siapa yang mau bayar lebih untuk penggunaan energi alternatif yg perlu investasi besar & lebih mahal. Sedangkan dengan 4500/liter dia sudah mendapatkan jumlah energi yang sama.

source : International Energy Agency (IEA)/CECD


Keempat, Harga premium yang terlampau murah dan disparitas harga dari pertamax yang besar mengakibatkan celah mafia. Mafia di perbatasan atau dalam negeri untuk melakukan penyelundupan yang mungkin karena ini konsumsi bbm terus melonjak tiap tahun. Karena pemangkasan subsidi mengurangi keuntungan penyeleweng dan penyelundup. Selama ini, selisih harga BBM bersubsidi dengan BBM non-subsidi yang terlalu besar mendorong terjadinya penyelundupan ke luar negeri maupun penyelewengan di dalam negeri, dipakai oleh pengguna yang tidak berhak. Banyak pelaku industry yang tergoda untuk mengejar keuntungan secara tidak sah dengan membeli BBM bersubsidi. BBM bersubsidi juga memberikan keuntungan besar jika diselundupkan ke luar negeri. Artinya, uang rakyat berupa subsidi yang semestinya berguna untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat justru lebih dinikmati penyelundup dan penyeleweng.

Bahkan Indonesia sangat diuntungkan dari tingginya harga minyak dunia karena Indonesia adalah salah satu negara pemasok minyak mentah. Hal itu mungkin menjadi dasar kebijakan subsidi BBM dan terlihat wajar sebagai bentuk kompensasi terhadap rakyat sehingga rakyat bisa ikut menikmati keuntungan dari penjualan minyak mentah ke luar negeri. Namun kondisi saat ini sangatlah berbeda. Lifting minyak mentah dalam negeri saat ini semakin hari semakin menurun, sementara konsumsi minyak dalam negeri justru meningkat sehingga membuat Indonesia justru harus mengimpor minyak (dapat dilihat dari grafik sebelumnya). Kesialan itu ditambah lagi dengan harga minyak yang terus meroket, hal yang dulunya sangat menguntungkan(saat Indonesia masih menjadi pengekspor minyak). Dilihat dari sisi ini, kebijakan subsidi BBM saat ini sebenarnya sudah tidak relevan.

Kelima, Indonesia bukan lagi pengekspor minyak. Jika kita melihat permulaan dibuatnya kebijakan subsidi BBM, kondisi perekonomian Indonesia saat itu adalah sangat baik ditinjau dari sisi lifting minyak kita yang melimpah tetapi konsumsi yang sangat sedikit (dilihat dari grafik

source: kementrian ESDM

source: esdm.go.id

Keenam, Indonesia bukan negara kaya minyak. Kita hanya bagian kecil dari asia pacific jika dibandingkan dengan middle-east atau south and central america. Maka, jangan bandingkan harga BBM Indonesia dengan Venezuela dan Arab Saudi. Venezuela (cadangan 211 miliar barel dengan harga Rp585/liter) & Arab Saudi (cadangan 263 miliar barel dgn harga Rp1404/liter).

dibawah) Lalu harga minyak dunia saat itu yang terus melambung (mencapai peak dalam kurun waktu 1973-1991) sama sekali tidak menimbulkan kerugian terhadap Indonesia (dilihat dalam grafik dibawah).

source: worldoil.com

Jangankan dijual dengan harga murah, dibagikan gratis pun tidak akan rugi. Sedangkan cadangan minyak terbukti kita kurang dari 4 miliar barel (lihat tabel dibawah). Dari tabel pula dapat dilihat indonesia tidak memiliki kuntitas yang melimpah akan sumber energi. Tetapi Indonesia kaya akan keberagaman sumber energi. Maka dari itu program pengembangan energi alternatif seperti konversi BBM ke BBG adalah harga mati demi ketahanan energi Indonesia. PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

5


Potensi Energi Nasional 2010 - source: ESDM 2011

Ketujuh atau yang terakhir, Kebijakan pencabutan/pengurangan subsidi BBM menjadi sangat tidak populer dan gamang pada masyarakat. Dilihat dr sisi ekonomi politik. selama pemerintahan orde baru hingga skrg rakyat sudah terlalu lama terbiasa menikmati subsidi. Hal ini membuat rezim selanjutnya menjadi gamang dan dikatakan tidak populer untuk melakukan pencabutan subsidi. Sehingga dalam hal ini, kebijakan mengenai subsidi BBM justru dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Akibatnya, Kebijakan subsidi BBM justru menjadi senjata untuk meraih simpati rakyat. Rakyat seperti dininabobokan dengan subsidi BBM dan seakan lupa melihat keluar akan perekonomian dunia Dari beberapa faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan subsidi BBM bukan merupakan metode yang tepat walaupun memang kita harus melihat existing condition mengenai kenaikan harga BBM bersubsidi bulan ini menyangkut aspek pengelolaan keuangan dan psikologi masyarakat. Pmemerintah belum bisa menjamin pengelolaan uang negara yang baik dengan segala budaya korupsinya dan rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah karena banyak yang merasa dibohongi, setidaknya dengan menikmati subsidi BBM dirasakan cara paling real bagi masyarakat menikmati subsidi. Karena itu pertimbangan terhadap dua aspek ini harus menjadi fokus utama kebijakan pencabutan subsidi BBM. Bagaimana pemerintah dapat kembali meraih kepercayaan rakyat untuk optimis kebijakan pencabutan subsidi BBM bisa memberikan efek positif pada rakyat secara keseluruhan bukan parsial dan dengan jangka waktu yang panjang.

Oleh: Aditya Prasetyo (12210021)

6

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

“Terlepas dari

kondisi saat ini tentang “kisruh� APBN dan inflasi, subsidi BBM secara fundamental merupakan kebijakan yang irrelevant dan bukan metode yang tepat


Seperti yang telah kita ketahui bahwa produksi minyak dan gas bumi (Migas) akan mengalami penurunan dari waktu ke waktu, setiap tahunnya. Hal demikian akan pasti terjadi pada sumur baru maupun pada sumur-sumur migas yang ada saat ini. Hal itu memanglah merupakan sifat alamiah (Natural Decline) dari reservoir. Indonesia saat ini telah mencapai titik nadir produksi migas, yaitu produksi migas dengan jumlah yang rendah. Lifting di Indonesia hingga bulan Maret tahun 2013 mencapai rata-rata 840 ribu barel per hari, angka tersebut dikemukakan oleh SKK migas yang mengklaim bahwa mereka telah berhasil mencapai zero decline yaitu menahan penurunan laju produksi karena berhasil mengalami peningkatan produksi dibandingkan bulan Desember 2012. Hal ini meskipun membanggakan tetapi tetap masih belum menghapus status Indonesia yang masih mencapai titik nadirnya pada produksi (lifting) migas. Rendahnya produksi Indonesia saat ini juga disebabkan oleh lapangan migas di Indonesia yang sudah tua atau dinamakan “Mature Field�. Menurut LEMIGAS lebih dari 87% dari seluruh lapangan migas di negara ini, dengan distribusi yang paling banyak berada di Indonesia bagian barat. Untuk menjaga jumlah produksi, hingga saat ini sebagian besar dilakukan dengan melakukan pengeboran-pengeboran baru pada lapangan tua misalnya di Blok Cepu, yang tentu juga akan menguras cadangan yang dikandung lapangan tersebut.

Sistem Perizinan Eksplorasi Indonesia Kunci Kemajuan Produk Migas Nasional

Dari hasil penguraian tersebut, sangat diperlukan untuk melakukan eksplorasi oleh para operator KKKS yang telah bekerja sama maupun yang akan menanamkan investasi migas di Indonesia. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan (UU Migas No. 22 Tahun 2001). Hal tersebut perlu dilakukan guna mencari lapangan-lapangan baru untuk menambah pasokan produksi migas sehingga dapat membantu ketahanan produksi Indonesia kedepannya. Saat ini Eksplorasi di Indonesia kebanyakan masih bertumpu di Indonesia bagian barat yaitu mencapai 95%. Sedangkan di Indonesia bagian timur masih sangat sepi investor yang menanamkan modalnya untuk melakukan eksplorasi migas yaitu hanya baru mencapai 5% saja, padahal potensi migas wilayah Timur memiliki potensi yang lebih besar dari Indonesia bagian barat. Badan Geologi melalui konsep Geosains untuk penemuan cadangan migas memperkirakan bahwa Indonesia bagian Timur memiliki cadangan minyak sebesar 86 miliar barrel dan 174 trilliun kaki kubik gas. Meski potensi di Indonesia sangat menggiurkan dan diprediksi akan menghasilkan profit yang sangat tinggi, tetapi hal ini juga berbanding lurus dengan tingginya resiko yang akan dihadapi dan juga ketiadaan infrastruktur di Indonesia timur serta wilayah laut dalam yang PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

7


menghambat eksplorasi di wilayah tersebut.

sebelum suatu Industri dapat melakukan eksplorasi dan eksploitasi, hal tersebut di tunjukkan di gambar .

Hal yang sangat penting yang mendasari rendahnya investor yaitu mengenai sistem birokrasi eksplorasi di Indonesia yang sangat sulit dan memakan waktu lama. Di Indonesia, ada terdapat sekitar 33 Izin yang perlu diurus

DIREKTORAT PEMBINAAN PROGRAM Sub Direktorat Pengembangan Investasi Minyak dan Gas Bumi • Surat Kemampuan Usaha Penunjang • Verivikasi TIngkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Sub Direktorat Pemberdayaan Potensi Dalam Negeri • Rekomendasi untuk Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTK) • Rekomendasi untuk Ijin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) • Rekomendasi untuk Pembukaan dan Pembaruan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing di Indonesia dalam rangka mencari peluang usaha di sub sektor minyak dan gas bumi • Rekomendasi Rencana Impor dan Penyelesaian Barang yang dipergunakan untuk Operasi Kegiatan Hulu Migas DIREKTORAT PEMBINAAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI Sub Direktorat Wilayah Kerja • Izin Persetujuan Joint Study • Izin Survei Umum Sub Direktorat Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi • Izin Pengiriman Data ke Luar Negeri • Izin Pertukaran Data antar Kontraktor KKS • Izin Pembukaan Data dalam Rangka Pengalihan, Penyerahan dan Pemindahtanganan Pengalihan Sebagian atau Seluruh Hak dan Kewajiban Kontraktor kepada Pihak Lain • Rekomendasi Kegiatan Eksplorasi yang Tumpang Tindih dengan Kawasan Kehutanan • Rekomendasi Kegiatan Eksploitasi yang Tumpang Tindih dengan Kawasan Kehutanan • Izin Penyisihan Sebagian Wilayah Kerja dan Penundaannya • Rekomendasi Pengakhiran Kontrak/Terminasi Wilayah Kerja • Izin Pengalihan Interest • Izin Survei ke Luar Wilayah Kerja • Izin Perpanjangan Masa Eksplorasi • Rekomendasi Persetujuan Penggantian (Perubahan Komitmen Pasti Eksplorasi) • Rekomendasi Initisasi Lapangan Minyak dan Gas Bumi Sub Direktorat Penilaian Pengembangan Usaha Hulu • Rekomendasi Rencana Pengembangan Lapangan Migas yang Pertama Kali akan diproduksi • Rekomendasi Perpanjangan Kontrak Kerjasama Migas • Rekomendasi Penggunakan Wilayah Kerja untuk Kegiatan selain Migas Sub Direktorat Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi • Persetujuan Pemroduksian Minyak Bumi pada Sumur Tua • Rekomendasi Ekspor Minyak Mentah, LNG, dan Gas Pipa Sub Direktorat Pemanfaatan Gas Bumi • Persetujuan Joint Evaluation/Joint Study Coal Bed Methane (CBM) • Rekomendasi Persetujuan Harga Gas Sektor Hulu source: www.investasi.migas.esdm.go.id

8

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013


Dengan alur perizinan sebagai berikut:

source: www.investasi.migas.esdm.go.id

Dapat kita lihat bahwa sangat banyak izin yang harus diperoleh oleh KKKS untuk dapat melakukan kegiatan eksplorasi, hal ini tidak hanya dapat berdampak buruk terhadap rendahnya investor tetapi juga bila sistem perizinan tetap dipertahankan seperti ini maka lapangan-lapangan baru akan lama untuk ditemukan dan pada akhirnya akan menghambat majunya produksi migas di Indonesia. Rudi Rubiandini, Kepala SKK migas menyebutkan bahwa ijin pembebasan tanah saja memakan waktu 285 hari, padahal untuk mengebornya hanya 3 minggu. Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan perizinan yang telah diuraikan kira-kira selama 2 tahun, dan untuk melakukan produksi juga akan di butuhkan izin lebih lanjut lagi dan tentu akan memakan waktu lagi, dan pada akhirnya kembali berdampak pada terhambatnya produksi migas Indonesia. Sistem perizinan yang sangat panjang ini akan lebih

mudah dan sederhana bila pemerintah dapat memotongnya menjadi lebih padat dan juga menggunakan sistem perizinan yang terpusat. Lebih padat mempunyai arti bahwa perizinan dapat di lebih kurangi dengan menyatukan beberapa izin yang memiliki keperluan yang saling berkaitan atau sama. Sistem terpusat merupakan perizinan yang melalui satu badan terpusat sehingga akan lebih cepat dan efisien dalam memperoleh maupun mengajukan perizinan. Para Pejabat Tinggi terkait migas di Negara ini, termasuk Presiden telah mencanangkan pemangkasan perizinan migas dari yang asalnya 33 perizinan menjadi diperkirakan hanya 7 perizininan, hal itu didorong karena iklim investasi di bidang migas Indonesia sudah semakin maju dan juga keluhan dari KKKS yang meminta perizinan di Indonesia segera di atur ulang. Selain itu Sistem Satu Pintu akan digunakan yaitu seluruh perizinan migas akan melalui satu badan yaitu Kementrian ESDM saja, hal terse-

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

9


but telah disebutkan oleh Jero Wacik sebagai Menteri ESDM sendiri. Dampak dari sistem perizinan yang sederhana dan lebih mudah tentu akan lebih menarik KKKS untuk lebih menggalakkan lagi kegiatan eksplorasi dan juga menarik para investor untuk menanamkan modalnya untuk melakukan eksplorasi di seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini akan menjawab permasalahan inti mengenai eksplorasi Indonesia yang secara langsung menjawab pula mengenai titik nadir produksi di Indonesia. Eksplorasi di wilayah bagian timur saat ini sebesar 5% dan akan bertambah besar distribusinya di Indonesia ini karena Investor dapat lebih mudah melakukan kegiatan eksplorasi. Dengan demikian Eksplorasi di Indonesia akan merata dan cadangan baru dan lebih besar akan lebih banyak ditemukan melalui lapangan-lapangan yang baru di Indonesia, sehingga produksi Indonesia akan meningkat, meninggalkan titik nadirnya. Indonesia dapat memulai langkah baru menuju negara yang memproduksi migas yang melibihi kemampuan saat ini. Tidak hanya dapat mempertahankan laju produksi, tapi Indonesia bisa mengulangi sejarah sebagai negara eksportir minyak seperti dahulu, bila keseluruhan hal diatas dapat terealisasikan dengan baik dan terarah oleh pemerintah Indonesia.

Oleh: Aldia Syamsudhuha (12210027)

10

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

“Saat ini Eksplorasi

di Indonesia kebanyakan masih bertumpu di Indonesia bagian barat yaitu mencapai 95%. Sedangkan di Indonesia bagian timur masih sangat sepi investor yang menanamkan modalnya untuk melakukan eksplorasi migas yaitu hanya baru mencapai 5% saja, padahal potensi migas wilayah Timur memiliki potensi yang lebih besar dari Indonesia bagian barat


Saatnya Perbaiki Sistem Migas Indonesia

source : lionenergy.com

Migas di Indonesia memainkan peranan penting dalam sector ekonomi di Indonesia. Terbukti dalam APBN tahun 2013 hasil pendapatan Negara untuk penerimaan Sumber Daya Alam pada sector migas mencapai 88.67 %, jika dibandingkan dengan keseluruhan pendapatan Negara nilainya mencapai 11,43 %, tentunya dengan melihat nilai persentase yang sangat besar dapat disimpulkan peran Industri Migas di Indonesia sangat Vital. Dalam pelaksanaan kegiatan Migas di Negara ini, Indonesia merupakan Negara pertama di dunia yang menganut sistem PSC (Production Sharing Contract), setelah sebelumnya menganut sistem konsesi (1899-1960) dan kontrak karya (1960 – 1964), Sistem ini pertama diperkenalkan oleh Ibnu Sutowo dimana produksi dibagi berdasarkan persentase tertentu yang disepakati. Hingga tahun 2013 ini, sistem PSC sedikitnya telah mengalami 3 kali perubahan term and condition. Sistem ini pun telah dicontoh di lebih dari 70 negara di dunia. Pada kontrak PSC semua resiko ditanggung oleh kontraktor, inilah yang memicu Negara kita menganut sistem ini karena Industri Migas merupakan industri yang padat modal, padat teknologi dan penuh resiko. Tidak ada yang bisa menjamin didalam bumi ini terkandung minyak dan gas yang ekonomis bila diproduksi, selain itu karena pada saat awal berdirinya Negara ini, kita belum memiliki modal dan teknologi yang mumpuni untuk melakukan explorasi dan exploitasi sendiri. Oleh karena itu diundanglah Negara Asing yang dalam hal ini bertindak sebagai kontraktor.

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

11


source : lionenergy.com

12

Prinsip-prinsip pada kontrak PSC yang diterapkan saat ini adalah kendali manajemen dipegang oleh SKK Migas yang dalam hal ini bertindak sebagai perusahaan Negara, dengan kontrak didasarkan pada production sharing setelah dikurangi cost recovery. Aset dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor pada saat melakukan kegiatan otomatis akan dimiliki oleh Negara, serta berdasarkan UU Migas no 22 Tahun 2001, kontraktor diwajibkan memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri maksimum 25% dari bagian mereka (Domestic Market Obligation)

• Diperlukan biaya yang lebih besar untuk menemukan cadangan baru

Tentunya dalam suatu sistem hampir pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya, begitu juga dengan sistem PSC ini. Pada kondisi kita sekarang ini dimana mayoritas lapangan Migas yang telah beroperasi berada di Indonesia wilayah barat yang dapat dikatakan proses explorasi dan exploitasinya memiliki resiko yang lebih rendah dari wilayah timur, maka dalam pelaksanaan kegiatan di wilayah timur yang didominasi oleh lapangan deep water maka ini akan sangat menguntungkan karena seluruh biaya dan resiko akan ditanggung oleh kontraktor jika hanya tidak ditemukan sumber yang ekonomis untuk dikomersialkan Namun yang terjadi sekarang dan perlu diperhatikan dari sistem ini adalah semakin membengkaknya cost recovery yang harus dibayarkan oleh Negara sementara lifting atau produksi yang memiliki tren menurun setiap tahunnya, hal ini terjadi karena : • Terjadi peningkatan biaya investasi penunjang operasional dari tahun ke tahun yang bisa disebabkan oleh inflasi • Biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan produksi yang terus meningkat dari tahun sebelumnya.

Berbicara mengenai investor, tidak semudah itu investor untuk mau berinvestasi di Indonesia banyak factor yang perlu dibenahi dan diperbaiki seperti ketidakpastian hukum, masalah keamanan, perizinan yang sangat sulit, peraturan yang terus berubah-ubah, bahkan adanya tarik menarik kekuasaan antara pemerintahan pusat maupun daerah.

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

Jika dilihat sejarahnya pada PSC generasi kedua (1976) terjadi penghapusan cost recovery limit dalam rangka menarik investor asing, sehingga sempat mengantarkan Indonesia mencapai peak production, namun dengan kondisi yang terjadi sekarang ini perlu dicari alternative lain agar investor tetap tertarik untuk berinvestasi tanpa menyebabkan pembengkakan cost recovery

Bagaimana jika PSC dibandingkan dengan sistem terdahulunya yaitu Konsesi. Dalam sistem konsesi kontraktor diberikan hak penuh untuk mengelola migas mulai dari explorasi, produksi hingga penjualan migas. Pemerintah hanya akan mendapatkan royalti yang dibayarkan oleh kontraktor, pajak, atau bonus. Kontraktor diwajibkan juga untuk membayar pajak tanah untuk lahan konsesi. Tentunya sistem ini bertolak belakang dengan UUD 1945 karena kepemilikan sumberdaya migas berada di tangan kontraktor sepenuhnya dimana, di dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sendiri disebutkan bahwa kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.


Bagaimana bentuk kontrak lain dan kemungkinannya diterapkan di Indonesia? Ada beberapa bentuk kontrak lain yang digunakan di dunia itu yaitu Risk Service Contracts, Buyback Contracts, dan Technical Assistance Tanpa Resiko Bentuk Risk Service Contracts sebenarnya hampir sama dengan PSC yaitu kontrak dimana kontraktor melakukan kegiatan explorasi dengan resiko dan biaya sendiri namun pada Risk Service Contracts, kegiatan tersebut beratasnamakan perusahaan Nasional serta memiliki bentuk cost recovery berupa uang tunai tergantung kepada keberhasilan explorasinya, sehingga semua migas yang ditemukan adalah milik perusahaan nasional, namun kontraktor bisa membeli migas tersebut pada kondisi-kondisi yang disetujui. Jika sistem ini diterapkan di Indonesia kemungkinan akan menurunkan minat investor yang lebih tertarik dengan cost recovery bentuk migas, namun disisi lain kontrak bentuk ini bisa menjadikan solusi meningkatnya biaya cost recovery yang dikarenakan terus meningkatnya harga migas di dunia. Buyback Contracts adalah salah satu kontrak yang terkenal yang diadopsi oleh Iran. Pada kontrak ini kontraktor menyediakan biaya investasi capital yang diperlukan untuk membiayai proyek pengembangan lapangan sampai siap diproduksikan, setelah itu terjadi serah terima antara kontraktor ke perusahan migas nasional (di Iran NIOC) sehingga NIOC akan menjadi operator ketika operasi dimulai. Kontraktor akan mendapatkan Cost Recovery dan fee dalam periode tertentu yang biasanya berkisar antara 5-7 tahun mulai dari awal produksi, besarnya fee yang diberikan besarnya tetap tergantung kepada kontrak di awal. Dalam hal ini biasanya tahap explorasi telah dilakukan oleh NIOC sehingga resiko tidak ditemukannya minyak hampir tidak ada, berbeda dengan di Indonesia dimana tidak mampu melakukan explorasi karena kendala biaya terutama explorasi yang berada di medan yang sulit, bila dibandingkan dengan PSC ada dua hal yang sangat berbeda yaitu dari segi durasi kontrak yang singkat dan resiko yang dry hole yang sangat kecil. Buyback Contracts ini akan sangat sulit diterapkan di Indonesia jika dilihat dari mekanisme sistemnya. Technical Assistance Tanpa Resiko biasanya diadopsikan untuk lapangan yang sudah diproduksikan atau untuk aktivitas pengembangan lapangan, Capital yang disediakan ditanggung sepenuhnya oleh Negara maupun perusahaan Negara, dalam kasus ini kontraktor memperoleh fee dari jasa yang diberikan, besarnya fee biasanya tergantung dari hasil yang didapatkan, Kontraktor juga biasanya dikenai pajak yang berlaku di Negara tersebut. Dilihat dari beberapa jenis kontrak memang PSC yang paling bersahabat baik itu dengan kondisi Negara Indonesia sekarang maupun dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Pada dasarnya tujuan awal dibentuknya PSC pun baik yaitu agar kita bisa belajar dari perusahaan asing, namun dilihat dari kondisi sekarang dimana kondisi Industri Migas bukannya malah semakin membaik

tapi kita justru semakin “dimanjakan” dan “memanjakan” kontraktor asing. “Dimanjakan” disini bermaksud dimana dari dulu sampai sekarang kita masih tergantung belum bisa mandiri dalam memproduksi minyak, bukannya belajar tapi kita terlena dengan hanya menikmati persentase yang menurut Negara kita waktu itu melimpah, keutungan dari sector Migas pun terlalu didominasi oleh sector non-Migas sehingga tidak ada dana yang bisa meningkatkan kinerja dari sector Migas. Sudah kurang lebih 50 tahun kita mengadopsi kontrak ini, mungkin sudah saatnya kita berani melakukan nasionalisasi Migas di lapangan-lapangan yang sudah berproduksi dan visible untuk diambil alih, bukan untuk mengambil keuntungan semata tapi untuk meningkatkan kemampuan kita dalam kegiatan Migas. “Memanjakan” sudah tidak bisa dipungkiri lagi kontraktor asing sangatlah berkuasa di Indonesia, contoh dengan aturan PSC saat ini sharing minyak semula 85 : 15 (Negara : Asing), jika dihitung dengan cost recovery yang berlaku, ujung-ujungnya bisa menyentuh angka 51:49 (Negara : Asing) jadi kesimpulannya kita hanya menikmati setengah dari hasil produksi, sementara tadi telah disinggung sebelumnya, faktanya seiring dengan menurunnya produksi maka akan meningkatkan cost recovery yang akan menurunkan profit kita. Hal ini terjadi karena umumnya lapangan-lapangan produktif yang kita punya umumnya sudah tergolong lapangan tua yang lebih banyak memerlukan treatment tertentu untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan Produksi. Melihat fakta-fakta diatas tentu sistem PSC sudah tidak se-ideal dulu lagi untuk diterapkan di Indonesia, seiring dengan berkembangnya waktu seharusnya kita sadar akan kondisi dan kebutuhan kita akan Migas. Kita harus berfikir bersama untuk memperbaiki term dan condition yang ada agar Negara tidak selalu dirugikan atau bahkan jika ada sistem yang lebih baik kenapa tidak untuk diterapkan.

Oleh: Jody Aria Widjaya (12211034)

“Sudah saatnya apa

yang kita miliki menjadi milik kita sepenuhnya. PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

13


Kontrak Blok Migas Milik Asing akan Habis

“Sanggupkah Pertamina Mengambil Alih?”

Masih ingatkah kita akan kalimat “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”? Atau kalimat “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”? Kalimat yang terdapat pada sumber hukum yang fundamental bagi negara ini dan biasanya hanya menjadi hafalan bagi beberapa

14

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

orang ketika akan menghadapi ujian PPKN ketika SMP maupun SMA ini telah menjadi bahan dalam beberapa topik utama di media cetak maupun elektronik belakangan ini. Mulai dari pembubaran BP Migas yang digantikan dengan SK Migas kemudian SKK Migas, hingga topik mengenai akan habisnya kontrak dari blok-blok migas Indonesia yang sedang dikuasai oleh perusahaan asing maupun swasta.


Dalam beberapa tahun ke depan, akan terdapat sejumlah blok yang habis kontraknya. Blok-blok tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.

source : bisnis.liputan6.com

Dari data blok yang ada tersebut, tentunya jumlah ini bukanlah jumlah yang kecil. Apabila seluruh blok tersebut dikelola sepenuhnya oleh Pertamina yang merupakan national oil company dari Indonesia, tentunya hasilnya akan memberikan pendapatan yang signifikan bagi negara. Akan tetapi, sebuah pertanyaan besar muncul. Sanggupkah Pertamina mengelola seluruhnya?

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

15


Tentunya dalam pengambilalihan hak pengelolaan blok tersebut tidak dapat dilaksanakan secara langsung seluruhnya. Diperlukan tahapan-tahapan secara perlahan tiap blok seiring dengan melakukan pengembangan kemampuan sumber daya manusia, teknologi, dan modal tentunya secara kontinu. Salah satu langkah yang telah diupayakan Pertamina dalam melakukan nasionalisasi yaitu pengambilalihan Blok ONWJ dan WMO. Dalam melakukan pengambilalihan hak untuk mengelola blok tersebut, Pertamina telah membuat sebuah track record yang baik. Produksi dari lapangan tersebut terus mengalami peningkatan. Deputi Pengendalian Operasi SKK Migas, Muliawan, menuturkan bahwa sumur tersebut berproduksi sebesar tiga ribu barel minyak per hari (bopd) dan 1,7 juta kaki kubik gas per hari (mmscfd). “Dengan ini, produksi blok WMO mendekati 17 ribu bopd dan diharapkan dapat terus naik sehingga dapat memenuhi target PHE WMO sebesar 20.500 bopd pada tahun ini,� katanya. Pada saat dilakukan pengambilalihan lapangan ini dari Kodeco, jumlah produksi hanya berkisar 13.000 bopd. Contoh lain yang membuktikan keberhasilan Pertamina dalam mengelola suatu lapangan tua ataupun lapangan yang sebelumnya dioperasikan perusahaan lain adalah di Blok Limau, Sumatra Selatan. Pertamina berhasil meningkatkan produksi dari enam ribu bopd pada tahun 2007 menjadi sekitar dua kali lipat pada tahun 2010. Hasil track record yang baik tersebut merupakan salah satu bukti bahwa Pertamina memiliki kredibilitas yang baik sebagai suatu oil company. Dari beberapa blok yang akan hampir habis masa kontraknya, Blok Siak dan Blok Mahakam yang saat ini dikelola oleh Chevron dan Total menjadi isu penting yang sedang disorot. Hal ini disebabkan oleh besarnya jumlah pendapatan yang akan diterima negara jika blok tersebut dikelola sepenuhnya oleh Pertamina. Pertamina telah menyatakan bersedia mengelolanya dan menunjukkan kesanggupannya. Akan tetapi, semua ini akan bergantung pada keputusan yang dikeluarkan oleh Kementrian ESDM nantinya. Di sisi lain, SKK Migas masih meragukan kapabilitas Pertamina. Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini, mengatakan bahwa Pertamina menguasai 48% lahan migas di Indonesia. Dengan jum lah lahan yang besar itu, secara keseluruhan produksi minyak bumi dari Pertamina pada 2013 diperkirakan hanya sebesar 14,6% atau sebanyak 120.798 barrel. Sementara itu, calon pesaingnya di Mahakam, yaitu Total E&P dengan jumlah lahan yang relatif jauh lebih kecil, dapat menghasilkan produksi sebesar 64.788 barrel. Saat ini, Total E&P melakukan investasi dana sebesar 2,5 miliar dollar atau sekitar 24,4 triliun rupiah per tahun untuk mengelola lapangan gas terbesar Indonesia tersebut. Dengan demikian, selain perizinan lahan dari SKK Migas, Pertamina juga memiliki tantangan dalam biaya untuk melakukan nasionalisasi migas negeri ini. Berdasarkan kondisi yang ada saat ini, sepertinya Pertamina sudah cukup dewasa untuk diberi amanah yang lebih besar dengan menangani lapangan minyak dan gas sekaliber Blok Siak dan Blok Mahakam. Meskipun mungkin secara teknologi dan kredibilitas Pertamina masih kalah dari Chevron dan Total, tetapi berdasarkan

16

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

track record Pertamina yang cukup baik, mungkin sudah saatnya Pertamina diberi kesempatan untuk menangani kedua blok migas yang masa kontraknya sebentar lagi akan habis tersebut. Jika memang risiko kegagalan pencapaian target produksi dalam pengambilalihan kedua blok tersebut dinilai terlalu besar, mungkin ada baiknya Pertamina diberi satu blok saja di antara kedua blok tersebut dan dari situ bisa dinilai bagaimana kinerja Pertamina, yang tentu saja akan menentukan nasib Pertamina ke depannya. Satu hal lagi yang tidak kalah penting seandainya Pertamina mengambil alih Blok Siak atau Blok Mahakam yaitu adanya fungsi pengawasan dari pemerintah secara berkala terhadap kinerja Pertamina karena akan sangat berisiko jika memberikan peluang yang cukup besar tanpa diimbangi dengan pengawasan yang baik.

Oleh: Temmy Surya Kurniawan (12210073) & Aris Tristianto Wibowo (12210022)

“

Pengambilalihan hak pengelolaan blok tidak dapat dilaksanakan secara langsung seluruhnya. Diperlukan tahapan-tahapan secara perlahan tiap blok seiring dengan melakukan pengembangan kemampuan sumber daya manusia, teknologi, dan modal tentunya secara kontinu


Sistem Monitoring Pengendalian Bahan Bakar Minyak

“Kelanjutan Sikap terhadap Kenaikan BBM atau sekedar Angin Lalu?� Konsumsi BBM yang semakin meningkat dari tahun ke tahun memaksa pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas untuk mencegah jebolnya APBN. Menurut data Kementerian ESDM, konsumsi BBM pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 49 - 49,5 juta kiloliter diluar penghematan dengan rincian konsumsi premium bersubsidi 31 juta kiloliter, solar bersubsidi 16,8 juta kiloliter, dan minyak tanah 1,2 juta kiloliter. Angka ini bertambah sekitar 4 juta kiloliter dibanding konsumsi tahun 2012 yang juga lebih tinggi sekitar 4,95 % dibanding tahun 2011. Jika dilihat dari trend yang ada, dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia, konsumsi BBM juga akan semakin meningkat. Dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi sekitar 6% dibanding tahun 2012, konsumsi BBM diperkirakan naik sekitar 10% yang kemudian menghasilkan kisaran angka 49 juta kiloliter. Prediksi konsumsi BBM yang sedemikian besarnya ternyata lebih tinggi dari target APBN 2013 yaitu sekitar 46,01 juta kiloliter. Jika keadaan ini terus dibiarkan, dalam pertengahan tahun APBN akan jebol sekitar 230 triliun hanya untuk biaya subsidi BBM. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penghematan BBM bersubsidi untuk mencegah terjadinya kebocoran APBN seperti tahun-tahun sebelumnya. Salah satu cara penghematan yang dapat dilakukan adalah dengan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Pasalnya, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dari keseluruhan konsumsi BBM bersubsidi, sekitar 70% nya salah sasaran. Adanya pembatasan konsumsi BBM bersubsidi ini dinilai dapat mengurangi hal tersebut secara signifikan. Dengan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.500 per liter, pemerintah masih memberikan subsidi. Oleh karena itu, perlu ditunjang dengan pengawasan dan pengendalian konsumsi BBM subsidi. Sebagai kelanjutan dari rencana kenaikan harga BBM, pemerintah menyiapkan mekanisme pengendalian yang disebut Sistem Monitoring Pengendalian Bahan Bakar Minyak (SMP BBM). Terdapat dua pilihan yang muncul sebagai solusi pelaksanaan SMP BBM ini, yaitu dengan

RFID dan e-money. Pilihan pertama yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan Radio Frequency Identification Device (RFID). RFID merupakan sebuah metode identifikasi dengan menggunakan sarana yang disebut RFID tag untuk menyimpan atau mengambil data dari jarak yang lumayan jauh. RFID tag sendiri adalah sebuah benda yang dipasang pada suatu produk dengan tujuan untuk mengidentifikasi produk tersebut dengan gelombang radio. Nantinya, sistem RFID ini akan dipasang pada semua kendaraan di Indonesia. Dengan cara ini, diharapkan penyaluran BBM subsidi akan lebih tepat sasaran dan juga pembatasan dapat dilakukan dengan lebih teratur dan terhindar dari kecurangan-kecurangan di lapangan. Pemasangan RFID nantinya akan diletakkan pada mulut tangki mobil dengan bentuk melingkar ataupun setengah lingkaran dan RFID reader akan dipasang di setiap SPBU. RFID tag ini merupakan chip identitas kendaraan yang sifatnya eksklusif, artinya satu kendaraan akan memiliki masing-masing RFIDnya sendiri. Sementara itu, RFID reader akan dipasang di setiap nozzel yang ada di SPBU agar ketika masuk ke mulut tangki akan terdeteksi identitas kendaraan yang mengisi BBM beserta volume BBM yang telah diisinya. Jika suatu kendaraan sudah melebihi batas maksimal pengisian BBM perharinya, maka kendaraan tersebut tidak dapat mengisi BBM pada hari itu ataupun secara otomatis sistem akan menghentikan pengisian BBM. Penerapan sistem RFID ini dapat menekan kecurangan-kecurangan yang sering terjadi seperti penimbunan BBM, penyuapan petugas, dsb. Dengan investasi sekitar Rp 790 miliar per tahun selama lima tahun pertama, pemerintah dapat membatasi penggunaan BBM bersubsidi, dan jika sistem ini berjalan efektif maka negara dapat menghemat sekitar Rp 20 triliun per tahun. Disamping kelebihan-kelebihan yang telah disebutkan diatas, metode ini memiliki kekurangan yaitu sulitnya pelaksanaan di lapangan dalam waktu yang singkat. Semua perangkat pendukung yang dibutuhkan harus dipasangkan pada semua kendaraan dan juga SPBU PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

17


agar dapat berjalan efektif, dan tentunya membutuhkan waktu yang tidak singkat. Kecurangan juga dapat terjadi pada saat awal pengadaan perangkat pendukung, seperti penyuapan petugas registrasi nomor kendaraan, korupsi pengadaan alat, dan lain sebagainya. Pemasangan RFID Tag pada kendaraan ini dilakukan secara gratis di tempat tertentu seperti SPBU. Pemilik kendaraan bermotor cukup datang dan memperlihatkan surat tanda nomor kendaraan (STNK) kepada petugas, kemudian petugas akan mendaftarkan kendaraan pada RFID tag yang didesain satu kali pasang pada satu kendaraan. Jika hilang, RFID akan diganti secara gratis. Vice President Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir, mengatakan bahwa untuk tahap awal pemasangan RFID hanya untuk mengidentifikasi kendaraan yang mongonsumsi BBM bersubsidi. Adapun data yang akan direkan melalui RFID reader adalah nomor polisi, waktu pembelian BBM bersubsidi terakhir, hingga tempat pembeliannya. RFID tag akan dipasang di mulut tangki bensin. Jika tidak ada RFID tag, kendaraan tidak akan bisa diisi BBM subsidi. Batasan pengisian akan dibedakan menurut jenis kendaraan, untuk angkutan umum, mobil pribadi, motor pribadi, dsb. Pemberlakuan SMP BBM akan dilakukan secara bertahap, dimulai pada bulan Juli 2013 di wilayah Jakarta, kemudian dilanjutkan di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pemberlakuan SMP BBM ini diprediksikan akan efektif mulai Juni 2014. Selain itu, pilihan lain yang muncul untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi yaitu pembayaran dengan e-money. Pengemudi mobil yang menggunakan BBM bersubsidi nantinya akan diberikan kartu pra bayar atau e-money dari bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Kartu e-money tersebut diisi sejumlah uang dan digunakan di SPBU dengan menggunakan Electronic Data Capture (EDC) bank BUMN yang saat ini telah terpasang hampir di semua SPBU untuk membeli bensin. Kartu e-money juga dapat digunakan untuk pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada yang berhak menerima dan didistribusikan melalui bank BUMN dan kantor pos. Namun, jika dilihat dari implementasi yang sudah ada, sistem ini cenderung tidak terlalu membatasi konsumsi BBM bersubsidi dan kemungkinan terjadinya kecurangan semakin besar melihat pembagian BLT saja yang sudah tidak tepat sasaran. Masyarakat juga akan lebih terbebani karena harus

18

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

melakukan dua kali tahap untuk mengisi BBM, pertama mengisi kartu prabayar kemudian baru dapat membeli BBM. Metode ini dirasa hanya sebagai metode peralihan pembayaran yang mungkin hanya menguntungkan segelintir pihak, belum ada pengkajian lebih dalam tentang efektifitas metode ini. Pengawasan melalui sistem IT (Informasi dan Teknologi) dinilai dapat menjadi solusi yang tepat jika sistem tersebut dimaksimalkan sehingga memperkecil kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi. Sementara itu, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga akan segera mengeluarkan payung hukum mekanisme pemasangan SMP BBM, Rancangan Undang-undang tersebut sudah berada di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk di undang-undangkan. Sistem Monitoring Pengendalian Bahan Bakar Minyak dapat menjadi metode yang tepat untuk membatasi konsumsi BBM subsidi yang juga salah asalkan dilakukan secara konsisten dan bukan hanya menjadi isu yang timbul namun kemudian tenggelam. Dengan pembatasan konsumsi ini, negara setidaknya bisa menekan kelebihan konsumsi BBM sehingga APBN 2013 diharapkan bisa tidak jebol. Jika dilihat dari kelebihan dan kekurangan dua solusi yang ada, RFID nampaknya dapat menjadi solusi yang tepat dibanding e-money. Namun, banyak kemungkinan-kemungkinan yang dapat muncul mengingat rencana ini dinilai beberapa kalangan hanya sebagai tunggangan politik menjelang Pemilihan Umum 2014. Apapun yang akan terjadi kedepannya, semua tergantung bagaimana kita menyikapinya, bagaimana kita sebagai mahasiswa berpikir secara rasional dengan tetap memperhatikan rakyat sebagai sisi utama.

Oleh: Isna Rasyad Hanief (12211021)

“ Sebagai kelanjutan dari rencana kenaikan harga BBM, pemerintah menyiapkan mekanisme pengendalian yang disebut Sistem Monitoring Pengendalian Bahan Bakar Minyak (SMP BBM)


Reformasi SKK Migas, Perlukah? Industri migas merupakan industri yang memiliki cakupan yang sangat luas dan juga kompleks, dimulai dari eksplorasi sampai pendistribusian migas itu sendiri. Karena itu biasanya industri migas ini dibagi ke dalam 3 fungsi, yaitu kebijakan, regulasi, dan komersial. Yang membedakan antara Negara-negara di dunia ini yaitu ada yang menggabungkan dan ada juga yang memisahkan ketiga fungsi tersebut. Di Indonesia sendiri untuk fungsi komersial dilakukan oleh Pertamina. Namun yang menjadi polemik yang belum terbenahi dari dulu yaitu pada fungsi kebijakan dan regulasi. Badan yang bernaung sebagai fungsi kebijakan dan regulasi tersebut selalu diubah-ubah mulai dari BP migas sampai SKK migas sekarang. Bahkan baru-baru ini SKK migas mengusulkan untuk berubah menjadi Perusahaan Pengelola Migas Nasional (PPMN)

Terbentuknya BP Migas & Tugasnya Indonesia sebagai salah satu pencetus terbentuknya Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) dahulu sangat terkenal dikarenakan produksi minyak yang sangat besar. Dalam proses eksploitasi migas, Indonesia menggunakan sistem yang dinamakan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS) atau dalam bahasa inggris sering dikatakan sebagai sistem Production Sharing Contract (PSC). Oleh karena tingkat kerumitan dari sistem KKS itu sendiri dan besarnya uang negara yang berputar di dalam industri migas, pada tanggal 16 Juli 2002 didirikanlah sebuah badan negara yang bertujuan untuk mengawasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas di Indonesia yang kemudian diberi nama Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Sebelum BP Migas terbentuk, tentunya Indonesia tidak membiarPATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

19


20

kan industri migas tidak teregulasi. Dahulu, bedasarkan UU No.8 tahun 1971, Pertamina sebagai perusahaan gas milik negara diberi kekuasaan untuk menjalankan double role sebagai operator dan regulator pada industri migas. Selama 30 tahun Pertamina menjalankan tugasnya sebagai regulator dan operator di industri migas Indonesia, namun efisiensi pekerjaan yang kita harapkan bahkan menurun setiap tahunnya, banyak berpendapat Pertamina korup, ada juga yang berpendapat mungkin memang minyak kita tidak sebanyak itu. Tetapi ada sebuah prinsip yang kita pahami bersama bahwa Pertamina memiliki kekuasaan yang sangat besar namun hasil kerjanya tidak efisien sehingga pemerintah mengambil tindakan untuk memecah peran pertamina yang akhirnya menjadi operator murni PT Pertamina (persero) dan peran regulator diberikan kepada BP Migas.

dengan naiknya produksi minyak nasional, tetap ada satu masalah yang belum terjawab, yaitu bentuk kerjasama kita yang masih bersifat B2G, padahal salah satu tuntutan dari MK yaitu diubahnya bentuk kerjasama sektor migas menjadi bentuk B2B (business to business).

Pembubaran BP Migas dan Lahirnya SKK Migas Pada akhir tahun 2012, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa BP Migas dibubarkan. Alasan yang mendasari pembubaran ini adalah karena BP Migas tidak menjalankan tugasnya secara baik yang ditunjukkan dengan pertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Contohnya saja penjualan gas LNG Tangguh ke Cina yang menyebabkan PLN mengalami kerugian sebesar 3.7 trilliun rupiah, atau aksi-aksi BP Migas yang cukup pro-asing dengan stance pro liberalisasi hulu. Selain itu, alasan utama kenapa BP Migas dibubarkan adalah karena BP Migas berada langsung dibawah presiden, yang berarti BP Migas menjalankan tugasnya dengan skema Business to Government (B to G), jadi jika ada masalah yang terjadi antara kontraktor dengan BP Migas, yang akan menjadi jaminannya adalah aset negara yang sangat mungkin mencoreng kedaulatan negara kita. Lalu pasca dibubarkannya BP migas ini lahirlah sebuah Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas). SK Migas secara struktur pada waktu itu diketuai langsung oleh Mentri ESDM, Jero Wacik. Hal ini menimbulkan permasalahan efisiensi karena industri migas adalah industri besar dan penggabungannya dinilai akan memperumit proses birokrasi di dalam industri migas itu sendiri. Oleh karena itu, SK Migas pun bertransformasi menjadi SKK migas yang fungsinya juga sebagai regulator di bidang eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia. Namun bedanya dengan BP migas, SKK migas ini memiliki badan pengawas langsung dibawah menteri ESDM. Dengan adanya badan pengawas ini, kinerja SKK migas memang lebih bisa dikontrol dan transparan secara operasional. Hasil buah kerja dari SKK migas ini memang bisa dilihat dari bertambahnya produksi minyak nasional selama empat bulan terakhir sebesar 1,6%.

Sesuai dengan namanya, jadi nantinya PPMN ini fungsinya tidak hanya sebagai regulator dan pengawas seperti BP migas dan SKK migas, tetapi juga ikut mengelola kegiatan migas nasional. Selain itu juga fungsi PPMN ini nantinya sebagai manager dalam pengaturan petroleum fund yang saat ini sedang diusahakan untuk bisa dimasukkan ke dalam revisi UU migas. Petroleum fund ini adalah dana yang didapat dari sebagian penerimaan Negara dari sektor migas, dan akan digunakan untuk pengembangan sektor migas terutama eksplorasi.

Perusahaan Pengelola Migas Nasional (PPMN) dan Anak Perusahaannya Di samping dari kerja keras SKK migas yang terus mendorong kegiatan eksplorasi dan memang berbuah manis

Pada opsi pertama, dana investasi cukup dititipkan kepada PHE untuk membeli PI sebuah blok migas, jadi tidak perlu susah-susah untuk membuat sebuah perusahaan baru, karena tugas PHE juga sebenarnya yaitu mengelola

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

Maka dari itu seiring dengan dilakukannya revisi UU migas oleh DPR, SKK migas mengusulkan agar SKK migas berubah menjadi perusahaan negara (BUMN) dan namanya menjadi Perusahaan Pengelola Migas Nasional (PPMN). Dengan perubahan bentuk kerjasama menjadi B2B ini maka nantinya kontraktor asing akan menjalin kontrak kerjasama dengan PPMN yang merupakan sebuah badan usaha, bukan badan pemerintahan seperti sebelumnya pada BP migas dan SKK migas yang akibatnya dapat mengancam kedaulatan Negara kita.

Kemudian SKK migas juga mengusulkan nantinya PPMN akan memiliki anak perusahaan baru yaitu PT Upstream Petroleum Development Fund. Nantinya anak perusahaan ini yang akan membeli participating interest (PI) dari sebuah blok migas. Participating interest adalah proporsi atas kepemilikan produksi dan eksplorasi atas suatu blok migas. Jadinya nanti PT Upstream Petroleum Development Fund yang akan membeli saham di suatu blok migas lalu PPMN yang ikut melakukan pengelolaan dan pengawasan di blok migas tersebut. Diharapkan dengan ikut mengambil andil dalam pengelolaan di sebuah blok migas maka fungsi pengawasan akan menjadi lebih maksimal. Lalu untuk membentuk anak usaha tersebut akan terdapat 3 alternatif, yaitu: 1. Bekerja sama dengan anak perusahaan Pertamina yaitu Pertamina Hulu Energi (PHE). Kerjasama ini dalam bentuk dana investasi, jadi dana investasi akan dititipkan kepada PHE untuk membeli PI sebuah blok migas. 2. PPMN akan membentuk anak usaha patungan antara PPMN dengan Pertamina, sahamnya bisa 50% PPMN dan 50% Pertamina. 3. SKK migas akan membuat anak perusahaan sendiri tanpa joint venture dengan Pertamina.


bisnis migas melalui berbagai skema kemitraan termasuk PI. Selain itu untuk membuat perusahaan baru ini juga pasti membutuhkan biaya besar, belum lagi ditambah biaya gaji karyawan baru untuk perusahaan tersebut. Sisi baik lainnya yaitu untuk meningkatkan dan mengembangkan performa Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) Indonesia. Jika kewenangan untuk membeli PI sebuah blok migas diberikan kepada PHE, maka peluang Pertamina untuk bisa mengelola secara mandiri blok-blok migas yang ada di Indonesia terbuka lebar. Pada opsi kedua, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pasti dibutuhkan biaya tambahan yang tidak sedikit untuk membuat perusahaan baru. Tetapi sisi positif dari opsi ini yaitu adanya fungsi kontrol terhadap Pertamina langsung dari PPMN yang merupakan organ pemerintahan, karena pada opsi ini nantinya PPMN akan bekerja sama dengan Pertamina. Sehingga meminimalisasi usaha KKN pada Pertamina seperti yang telah terjadi dulu yang menyebabkan fungsi regulasi dan pengawasan dicopot dari Pertamina dan dipindahkan ke BP migas. Pada opsi ketiga, masalahnya adalah biaya seperti pada opsi kedua. Selain itu juga pada opsi ini tidak adanya peran serta dari Pertamina. Dikhawatirkan kedepannya Pertamina akan dianaktirikan oleh Negara sendiri karena kemampuan Pertamina yang kalah jika dibandingkan oleh kontraktor-kontraktor asing baik dari segi SDM maupun dari segi teknologi.

“

Pengambilalihan hak pengelolaan blok tidak dapat dilaksanakan secara langsung seluruhnya. Diperlukan tahapan-tahapan secara perlahan tiap blok seiring dengan melakukan pengembangan kemampuan sumber daya manusia, teknologi, dan modal tentunya secara kontinu

Di luar itu semua, peran sebagai regulator dan pengawas pada industri migas ini memang memiliki peran yang sangat vital. Pemerintah harus mengkaji dan mempertimbangkan semua pilihan untuk membentuk badan yang berfungsi sebagai regulator dan pengawas ini, baik dari sisi fungsi, kedaulatan Negara, kemandirian energi, dan tentu saja tujuan utamanya sesuai dengan amanah UUD 1945 pasal 33 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.�

Oleh: Andy Rosman H. (12211032) & Alris Alfharisi (12211014)

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

21


Bioremediasi Chevron,

Sebuah Ironi Regulasi Hukum Migas

Penyelidikan dan pengadilan mengenai kasus bioremediasi yang menimpa salah satu oil company besar di Indonesia, PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI), telah berlangsung hampir lebih dari satu tahun dengan berbagai realita pelikdan mengundang polemik dalam keberjalanannya. Kasus ini bermula saat diduga adanya proyek fiktif merugikan negara yang dilakukan oleh perusahaan dan ikut menyeret pihak kontraktor yang berperan membantu bioremediasi perusahaan tersebut. Sebagai mahasiswa yang merupakan bagian dari masyarakat, kita tidak terlibat secara utuh dalam proses hukum kasus tersebut. Agar lebih bijaksana dalam bertindak dan berpendapat ada baiknya mengetahui seluk beluk tentang bioremediasi itu sendiri. Bioremediasi merupakan salah satu bentuk kegiatan normalisasi lingkungan (terutama tanah) yang umum diterapkan berbagai industri dalam bidang petrokimia, pelayaran ataupun kereta api. Dalam prosesnya, bioremediasi memanfaatkan mikroorganisme untuk membersihkan tanah yang terpapar minyak sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk penyelesaiannya.Di sektor industri minyak dan gas bumi, bioremediasi merupakan proyek resmi dari suatu perusahaan yang menjadi bagian cost recovery dalam PSC (Product Sharing Contract) memenuhi kontrak penggantian biaya operasi dari pemerintah terhadap kegiatan perusahaan. Sejarah Pengembangan Proyek Bioremediasi Chevron Indonesia PT Chevron Pacific Indonesia secara yuridis telah mengantongi izin yang resmi dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128/2003 untuk pelaksanaan proyek bioreme-

22

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

diasi.Hal tersebut dapat dipantau dari pengembangan yang dilakukan perusahaan yang berpusat di California, USA ini. 1994 - PT Chevron Pacific Indonesia bekerja sama dengan para ahli lingkungan melaksanakan proyek percontohan pertama di Indonesia. 1997 - Hasil uji coba lapangan menyatakan bahwa bioremediasi ex-situ dengan metode pertanian lahan adalah yang paling efektif untuk membersihkan tanah yang terkontaminasi minyak di Sumatera. 2000 - PT Chevron Pacific Indonesia mengajukan izin penerapan bioremediasi sebagai proses pembersihan tanah untuk pertama kalinya di Indonesia. 2002 - Kementrian Lingkungan Hidup mengeluarkan izin kegiatan bioremediasi di Sumatera. 2003 - Tanah yang telah berhasil dinormalisasi lebih dari setengah juta meter kubik yang kemudian digunakan untuk penghijauan kembali lokasi yang terdegradasi. Parameternya dengan menentukan konsentrasi TPH (Total Petroleum Hidrocarbon), pH dan BTEX (Benzene, Toluene, Ethyl Benzene dan Xylene) dalam tanah. Segala kegiatan pengolahan di fasilitas bioremediasi tanah yang dilakukan telah mengikuti aturan dari Kementrian Lingkungan Hidup memakan waktu tiga hingga empat bulan.Dimulai dari membuat tekstur tanah menjadi homogen untuk pengambilan sampel awal hingga penggunaan lapisan tanah penutup untuk ditumbuhi rumput dan tanaman keras. Kronologi Kasus Bioremediasi PT CPI Endah Rumbiyanti, Bachtiar Abdul Fatah, Widodo, Kukuh


source : www.chevron.com

Kertasafari, Alexiat Tirtawidjaja, Ricsky Prematuri dan Herland bin Ompo terlanjur ditetapkan sebagai tujuh tersangka dalam kasus bioremediasi ini.Penetapan ketujuh tersangka oleh Kejaksaan Agung berdasarkan laporan Jaksa Penuntut Umum mengenai dugaan adanya penyelewengan dana dan korupsi sebesar US$ 9,9 Juta yang semestinya dialokasikan untuk pembiayaan bioremediasi melalui mekanisme cost recovery. Selain atas tuduhan korupsi, Direktur PT Sumigita Jaya, Herland bin Ompo, divonis 6 tahun penjara dan dikenakan denda oleh putusan Pengadilan Tipikor akibat tidak memiliki izin untuk mengolah limbah yang sedemikian rupa telah diatur dalam PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah Berbahaya dan Beracun. Adapun Direktur PT Green Planet Indonesia, Ricsky Prematuri, divonis hukuman 5 tahun penjara dan denda akibat terbukti bersalah dalam proyek ini. Kedua perusahaan tersebut adalah kontraktor yang bekerjasama dengan PT Chevron Pacific Indonesia untuk proyek bioremediasi. Bahkan kasus ini pun menjerat para pihak internal Chevron yaitu Endah Rumbiyanti sebagai Manager Lingkungan Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS) Chevron, Kukuh Kertasafari yang menjabat sebagai Koordinator Tim Penyelesaiaan Isu Sosial Sumatera Light South, Widodo sebagai Team Leader Sumatera Light North, Alexiat Tirtawidjaja sebagai General Manager Sumatera Light North dan Bachtiar Abdul Fatah yang menjabat sebagai Vice President Management PT Chevron Indonesia.Akan tetapi, tuduhan-tuduhan yang dilimpahkan kepada mereka dinilai tidak tepatdan tidak memiliki landasan yang kuat. Seperti pada penjatuhan vonis terhadap Herland dan Kukuh, keduanya dikenakan sanksi akibat tidak adanya

izin yang valid dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Bagaimana hal tersebut dapat dilayangkan oleh majelis hakim ke kedua terdakwa karena dalam penyelenggaraannya kedua kontraktor tidak memerlukan izin untuk proyek ini sebab tidak menghasilkan limbah dan tidak mempunyai fasilitas bioremediasi sesuai Kepmen KLH No. 128/2003 dan PP No. 18/1999.Walaupun Kementrian Lingkungan Hidup telah secara gamblang menyatakan bahwa izin hanya perlu dimiliki dari PT Chevron Pacific Indonesia sebagai penyelenggara proyek bioremediasi. Berbagai kejanggalan sesungguhnya meliputi proses persidangan kasus ini, tercium adanya kriminalisasi dan diskriminasi terhadap terdakwa atas hak-haknya. Mulai dari tidak dipenuhinya panggilan terhadap jaksa dan jalannya pengadilan yang tidak netral, hal tersebut terlihat dari didatangkannya Edison Effendi sebagai saksi ahli dari jaksa penuntut. Beliau dinilai tidak memiliki keahlian dalam bidang bioremediasi dan pernah terlibat dalam proses bioremediasi, hanya saja kalah tender pada saat itu. Hal janggal selanjutnya adalah terhadap Kukuh Kertafasari yang didakwa melakukan penyelewangan proyek itu dari tahun 2006, sementara beliau baru berada di perusahaan tahun 2009.Adapun Endah Rumbiyanti diangkat posisinya seperti sekarang pada 1 juni 2011, tetapi beliau dimintai pertanggungjawaban dari tahun 2006 sampai 2011. Tentu saja akanada kurun waktu selama lima tahun dimana beliau tidak tahu-menahu tentang bioremediasi ini. Lebih parahnya lagi adalah adanya penahanan kembali Bachtiar Abdul Fatah setelah pembebasannya dari dakwaan, padahal tidak ada alasan yang kuat untuk penahanan tersebut. Jika ditelaah lebih dalam, kasus ini tidak seharusnya dibawa ke kasus pidana karena memang pada awalnya biaya yang dianggap telah diselewengkan adalah perjanjian PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

23


kontrak bisnis. Jaksa pun berpendapat dengan membawa sebagai perkara pidanaakan menyelamatkan uang negara, padahal uang tersebut memang sudah menjadi hak perusahaan yang membuka lapangan porduksi. Dilihat dari salah tindak perkara tersebut maka sungguh berbahaya jika tidak diluruskan, bukan tidak mungkin Blok Mahakam pun terkena imbas kalau tiba-tiba Blok Mahakan diserahkan ke Pertamina dan produksi turun.Lalu jika dikatakan negara merugi, pada kenyataannya dari sisi mana negara dikatakan mengalami kerugian akibat kasus ini. Dampak Negatif untuk Legalitas Hukum dan Iklim Investasi Sudah selayaknya Kejaksaan Agung, Basrief Arief, membuka mata dan tidak mementingkan gengsi akibat keberjalanan pengadilan yang dirasa malpraktik ini.Karena efek samping negatif adalah menurunnya aktivitas produksidari perusahaan akibat terpecahnya fokus terhadap kasus ini.Bahkan para karyawan PT Chevron Pacific Indonesia sempat mengancam akan melakukan mogok kerja apabila rekannya tidak mendapat pengadilan hukum yang adil. Pengakuan dari Direktur PT Chevron Pacific Indonesia, Abdul Hamid Barubara, kasus yang menjerat perusahaan mengakibatkan waktu dan perhatian teralihkan untuk mengurusi kasus ini daripada meningkatkan produksi sesuai target. Sebagai salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di Indonesia yang hampir mencapai 325.000 barrel per day telah mengalami penurunan aktivitas produksi akan berefek langsung pada kestabilan kebutuhan minyak nasional. Apabila hal itu dibiarkan tanpa tindak lanjut tegas dari pengadilan kasus ini, keadaan minyak nasional akan terguncang. Belum lagi target untuk melakukan membuat 500 sumur baru yang baru tercapai sekitar 200 sumur. Prosedur semakin sulit dengan proses perizinan yang berbelit-belit dan butuh birokrasi yang alot di beberapa daerah, mulai dari surat izin mendirikan bangunan (IMB) yang ditahan oleh Bupati setempat hingga pengaduan masyarakat akibat kebisingan dari kegiatan produksi. Dampak lainnya akan munculnya keraguan investor untuk menanamkan investasi pada bidang minyak dan gas Indonesia. Bagaimana hal tersebut tidak terjadi, kasus ini telah mencoreng kredibilitas perlindungan hukum terhadap investasi yang berjangka panjang.Para investor yang ingin berbisnins di bidang ini dan mitra kerja dari perusahaan minyak seperti kontrakor-kontraktor menjadi bertanya-tanya, apakah hukum yang ada di sektor ini hanya akan dijadikan permainan untuk oknum tertentu dengan alih-alih melindungi negara. Dalam melakukan kegiatan di sektor migas sudah sepatutnya memiliki kepastian hukum dan regulasi yang jelas, mulai dari kontrak disepakati hingga mekanisme cost recovery dari sistem PSC yang dianut Indonesia sejak lama. Untuk menyelesaikan permasalahan ini memang harus kembali ke Undang-undang Lingkungan dan Kementrian Lingkungan Hidup serta produk peraturan yang

24

PATRA ENERGY REVIEW EDISI #3 - JULI 2013

dijadikan acuan dalam melaksanakan penegakan hukum lingkungan di Indonesia termasuk sektor migas.Tak lupa kita juga mempunyai Undang-undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001, sebab jelas sudah jika merujuk ke acuan-acuan tersebut kasus ini tidaklah layak untuk dilanjutkan apalagi ke tahap penahanan terdakwa.Perihal tuduhan korupsi yang salah sasaran dan vonis yang terkesan dipaksakan, Kejaksaan Agung dan majelis hakim seharusnya dapat lebih bijaksana dalam menindak perkara. Memang jalan terbaik untuk menyikapi kasus ini adalah membawanya ke ranah perdata, karena penyelesaian perkara dapat ditentukan lebih jelas dan tepat sasaran.

Oleh: Luthfan Nur Azhim (12211038)

“Jika terus dianggap

sebagai kasus pidana korupsi akan melanggar kesepakatan pemerintah Indonesia dengan perusahaan dalam kontrak, tidak perlu ragu untuk bertindak benar dan mengoreksi kesalahan demi keadilan dan sektor migas yang lebih baik


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.