N A T U R A L
M Y S T I C
A S O LO S H O W BY
AGUNG PRABOWO
CURATED BY AMINUDIN TH SIREGAR
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
1
Katalog ini diterbitkan berkenaan dengan pameran grafis karya Pemenang Pertama Trienal Seni Grafis Indonesia IV, 2012 @ Bentara Budaya 2013
NATURAL MYSTIC Agung Prabowo
NATURAL
Penyelia Hariadi Saptono
MYSTIC
Kurator Aminudin TH Siregar Pameran & Reproduksi Paulina Dinartisti Hermanu Hari Budiono Warih Wisatsana
AGUNG PRABOWO Jadwal Pameran
Fotografi Antonio S. Sinaga Desain Katalog Muhammad Safroni Edisi 2000 Tim Bentara Budaya Ipong Purnamasidhi Ika W. Burhan Cicilia Natalinda Rini Yulia Hastuti Muhammad Safroni Samani M. Wuryani Zuliati Yuli Harmanto Yunanto Sutyastomo Aryani I Putu Aryastawa Juwita Katriana Lasut Agus Purnomo Aristianto Percetakan AGUNG PRABOWO 2rosemata JAKARTA
BY
NATURAL MYSTIC
17-27 Oktober 2013 Bentara Budaya Jakarta Jl. Palmerah Selatan No. 17 Jakarta 10270 T: +62-21 548 3008 ext. 7910-7915 F: +62-21 536 99181 8-17 November 2013 Bentara Budaya Yogyakarta Jl. Suroto No. 2 Yogyakarta 55224 T: +62-274 560 404 4-11 Januari 2014 Bentara Budaya Bali Jl. Prof. IB Mantra No. 88A T: +62-361 294 029 F: +62-361 294488 24-30 Januari 2014 Balai Soedjatmoko Jl. Slamet Riadi No. 284 Solo 57141 T/F: +62-271 741 990 AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
3
MENYAMBUT 28 FRAGMEN AGUNG PRABOWO Setelah mempersiapkannya selama satu tahun, sejak September 2012, 28 fragmen cukilan lino bertema “Natural Mystic” karya Agung Prabowo—perupa dan alumnus Studio Seni Grafis FSRD Institut Teknologi Bandung (ITB) (2010)--kini siap dipamerkan bagi publik. Agung Prabowo (28), adalah Pemenang I Kompetisi Trienal Seni Grafis Indonesia IV 2012 yang diselenggarkan Bentara Budaya sejak 2003 silam. Karya grafis Agung yang memenangi kompetisi itu berjudul “Nirbaya Jagratara” (“Tak Gentar Selalu Waspada”). Dua artis lain sebagai Pemenang II dan III dalam kompetisi itu ialah M Fadhil Abdi (26), dan Theresia Agustina Sitompul (Tere) (32), keduanya alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Dalam penilaian dewan juri ketika itu, kemenangan Agung Prabowo—dia suka menyebut namanya Agugn--, antara lain karena pencapaian teknik cukilan linonya yang istimewa. Bukan saja wujud estetik yang sarat makna, tetapi juga penggunaan teknik cetak grafis yang bisa menghasilkan sejumlah warna yang tak diolah pegrafis lain. Kini—dalam eksibisi tunggalnya sebagai pemenang—imaji dan kekuatan dimensi
4
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
yang ada dalam karyanya dulu—dituntaskan, dikembangkan, diekstensikan dalam 28 fragmen dengan teknik yang menurut kurator Aminudin TH Siregar bernama teknik cukil habis (reductionprint). Tanggungjawab Agung Prabowo sebagai artis dan pemenang, bisa kita ikuti dari fragmen ke fragmen, dari mana kita menangkap dan merasakan seni grafis Indonesia terbukti terus bersemi dengan amat mencengangkan. Termasuk di dalamnya teknik grafis yang pelik yang kian dikuasasi, dan sanggup pula membawa pesan artikulatif tentang alam dan perubahan. Pameran Agung Prabowo akan digelar di Bentara Budaya Jakarta 17-27 Oktober 2013, di Bentara Budaya Yogyakarta 8-7 November 2013, di Bentara Budaya Bali 4-11 Januari 2014, dan di Balai Soedjatmoko Solo 24-30 Januari 2014.
Jakarta, 11 Oktober 2013 Hariadi Saptono Direktur Eksekutif Bentara Budaya
NATURAL MYSTIC There’s a natural mystic blowing through the air; If you listen carefully now you will hear. Bob Marley Natural Mystic adalah 28 fragmen cukilan lino yang kaya akan warna dan simbolsimbol. Agung Prabowo -- dikenal dengan nickname Agugn -- mengerjakannya dengan metode cukil habis (reduction-print). Ini adalah sebuah metode berlapis yang efektif di dalam kerja seni grafis untuk menghasilkan cetakancetakan berwarna dengan memanfaatkan hanya satu plat cetak. Metode ini dilakukan dengan melakukan penyusutan permukaan plat hingga akhirnya habis. Oleh karena itu, sebuah cetakan yang menggunakan metode reduksi ini tidak akan pernah bisa dicetak ulang. Hal ini adalah kelebihan sekaligus kekurangan metode ini. Picasso merintis teknik ini sebagaimana kita lihat pada karyakarya grafis yang mulai ia kerjakan pada akhir 1950-an. Oleh pengamat seni, langkah tersebut dipandang sebagai terobosan besar dalam sejarah printmaking dunia, dan sampai dewasa ini, metode itu masih terus digunakan oleh para seniman grafis. Semenjak masih menempuh studi di Studio Seni Grafis FSRD-ITB, minat Agugn terhadap metode cukil habis ini mulai eksplisit. Itu dibuktikan melalui sejumlah serial gambar, terutama karya cetaknya semasa kuliah. Pada masa-masa ini, seingat saya, Agugn tertarik pada persoalan eksistensi manusia di tengah pelbagai perubahan yang berlangsung di sekitarnya. Di situ ia sering memunculkan imaji akan lorong,
ruang berlapis, jendela, pintu dan menempatkan sosok manusia di dalamnya. Di lain karya, ia mereproduksi simbol-simbol yang murba dalam khazanah ilmu pengetahuan. Di tengah konfigurasi karya-karya yang ia hasilkan, melalui seni, Agugn ingin mengatakan kecemasan eksistensial atau barangkali mewakilkan umat manusia yang tidak tahu dari mana dan mau kemana meskipun seakan harus bergerak ke satu arah. Simbol jendela untuk “melihat dunia luar yang asing” atau “pintu yang memberikan kemungkinan dan pilihan” dalam serial karya itu menyiratkan momen ketika manusia mewahyukan dirinya. Dalam beberapa hal, menurut saya, serial itu juga menggiring pada pertanyaan yang berkenaan dengan gagasan tentang “keterlemparan manusia di dunia”: mengapa aku ada, dari mana dan mau ke mana? Agung Prabowo mewakilkan generasi seniman grafis – lazim disebut juga pegrafis – yang meniti karirnya ketika medan seni rupa Indonesia telah banyak berubah. Berbeda dengan pegrafis generasi lulusan Seni Rupa-ITB sebelumnya seperti Tisna Sanjaya dan Isa Perkasa yang menghirup udara depolitisasi seni di bawah rezim Orde Baru, generasi pegrafis muda seperti Agugn tidak mengalami tegangan tersebut. Dan tak hanya situasi makro politik. Di tingkat internal kampus pada masa-masa depolitisasi seni, suatu penciptaan karya seni di tingkat mahasiswa pun
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
5
belum sepenuhnya “bebas”. Karena itu, generasi Agugn cukup beruntung, sebab perubahan di skala makro dan mikro telah berlangsung. Generasi Agugn adalah generasi yang menghadapi medan seni Indonesia ketika masalah representasi, reproduksi, dan legitimasi sedang memasuki arena yang jauh lebih kompleks. Ini merupakan era ketika proses penciptaan tidak lagi memiliki hubungan atau rujukan dengan realitas murni. Melalui seni, citraan-citraan berkembangbiak saling berhimpitan satu sama lain. Di tengah lautan citraan yang melimpah, krisis representasi yang dialami seniman memperlihatkan tandatanda bahwa realitas, sesungguhnya, adalah wilayah yang diperebutkan dan bagaimana dalam pertarungan itu seorang seniman muda sanggup memperebutkannya. Pada 2010, selepas lulus, generasi Agugn memang menghadapi kompleksitas baru itu. Sekurangnya pada 1970-1980an ketika seni-seni “konseptual” serta gerakan-gerakan pembaruan seni muncul dengan meninggalkan: dari “presentasi yang tergambarkan” ke “nonpresentasi”. Generasi ini meninggalkan “yang liris” dan “yang sublim” dalam karya-karya seni lukis generasi-generasi terdahulu. Yang dimaksud dengan ”yang sublim” di sini adalah seni yang mempersoalkan sesuatu yang sukar dihadirkan, dilihat maupun dibuat terlihat, namun diyakini keberadaannya, keagungannya. Seniman atau pelukis tak kuasa untuk menggambarkannya. Abstraksi, dalam hal ini, dipandang sebagai satu-satunya cara untuk menghadirkan apa yang dapat dipikirkan tetapi tidak dapat digambarkan. Sampai di sini pertanyaan bisa diajukan: apakah abstraksi (seni lukis abstrak) mampu membersihkan dirinya dari semua referensi representasional 6
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
guna menghapus semua jejak realitas? Apakah kemodernan seni di Indonesia telah berhasil dengan tidak membawa apa pun dari kehidupan? Itu semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang memusingkan kalangan seniman pada masa itu. Di masa sekarang, di masa generasi Agugn, pertanyaan itu telah bergeser drastis, bukan lagi bagaimana seharusnya realitas itu dihadirkan, tetapi lebih kepada bagaimana kesenian mampu menjembatani kegelisahan seniman mencandra keseharian? Dari kajian ideologi seni, pergeseran yang berlangsung bisa diamati dengan menilai: seni sebagai representasi makna-makna sosial dan ideologis; lalu seni yang menolak konvensi dan makna sosial, mitos dan ideologis seni, dan menjanjikan penjelajahan menuju pengalaman kebaruan dan transformasi abadi; dan kemudian seni yang masuk ke dalam konvensi dan maknamakna sosial dan ideologis, namun menjadikannya sebagai ajang permainan, subversi, dekonstruksi dan ironi. Generasi Agugn, dalam beberapa hal, tampaknya bergumul dalam kategori yang tersebut terakhir kendati bisa leluasa memasuki kategori-ketegori lainnya. Natural Mystic, judul yang digunakan dalam pameran ini cukup mewakilkan seluruh serial karya grafis yang dikerjakan Agugn. Terdapat seri karya yang masih serumpun dengan grafis Nirbaya Jagratara (Tak Gentar Selalu Waspada). Ini adalah karya yang mengantarkan Agugn sebagai peraih penghargaan pertama dalam Triennale Seni Grafis Indonesia ke-IV 2012 yang lalu. Karya-karya seperti Nircintraka (Tidak Ada Celaka), Nirhengkara (Tanpa Niat Jahat), dan Nircenggami (Tidak Takut dan Kuatir) masih dalam rumpun Nirbaya Jagratara. Semuanya
dikerjakan dengan metode reduksi plat. Serial ini menggambarkan seorang lelaki dengan beragam pose dan perilaku. Beberapa di antaranya tampak menunggang seekor kuda yang membangun kesan epik.
Sementara fragmen lainnya cenderung hadir secara tunggal seperti bunga bangkai. Warnawarna benderang dalam Natural Mystic membuat simbol-simbol keseharian itu menjadi tidak sederhana.
Dalam pameran ini, tema Natural Mystic dipahami Agugn sebagai “rasa takut terhadap “ketidak tahuan” terkait dengan persoalan – persoalan keseharian yang ia alami”, khususnya ketika mencoba memahami ihwal mitos yang ia “terima” dalam menjalani kehidupan barunya sebagai seorang ayah. Ia mengatakan:
Simbol-simbol dalam Natural Mystic bisa dipahami pula sebagai mitos-mitos yang diproduksi oleh peradaban manusia. Itu semua mengikat dan menjadi bagian dari kehidupan, dipercaya maupun tidak. Mitos diproduksi untuk menemani perjalanan anak manusia di dunia dan tak jarang diakses sebagai “kebenaran” kalau bukan disebut “keniscayaan”. Hidup kita, hari ini, dikepung oleh mitos-mitos.
“Mulai dari mitos dan misteri tentang proses di dalam kandungan, tentang melahirkan seorang anak, mitos tentang air susu ibu, tentang pamali atau pantangan bagi seorang anak, dan hal-hal lain yang saya simak baik dari teman, saudara, maupun orangtua; tentang proses tumbuh dan berkembangnya seorang anak; -itu semua saya hadapi sebagai proses untuk menjadi seorang ayah. Terkadang ada ketakutan muncul ketika saya tidak tahu apa yg sebenarnya terjadi. Akhirnya, semua itu saya coba sikapi dengan mengganti perasaan takut dengan rasa ingin tahu dan menggalinya secara lebih dalam lagi, dan lebih mendasar. Kata kunci yang kemudian saya temukan adalah Natural Mystic.”
Dicetak di atas kertas bikinan tangan sendiri, Natural Mystic karya Agugn Prabowo menggiring kita pada sebuah semesta yang akrab sekaligus asing. Sekilas orang mengatakan kehadiran warna-warna cerah bercahaya di situ bersumber dari spektrum warna psikedelik dan racun. Pada sejumlah fragmen Natural Mystic mengindikasikan simbol yang saling bertumpang. Perhatikan seekor sapi hitam yang tubuhnya memuat garis-garis berjalin yang segera mengingatkan kita pada rasi bintang, misalnya.
Blue Print of Pseudo-science No. I – XLII terdiri atas 42 fragmen yang segera mengajak kita masuk ke “ruang-ruang laboratorium” seorang saintis. Agugn sendiri menginformasikan bahwa serial karya ini: “Terinspirasi dari kenyataan tentang bagaimana penggunaan bahasa-bahasa yang memberi kesan scientific/ ilmiah yang berlangsung di sekitar kita. Kondisi ini membangun rasa takut kolektif di tengah masyarakat dan malah dimanfaatkan oleh orangorang yang berkepentingan atasnya.” Seperti halnya Natural Mystic, dalam Blue Print of Pseudo-science Agugn juga memanfaatkan kertas yang dihasilkan dari hasil kerja manual. Sosok lelaki berwarna cobalt blue dominan dalam serial itu. Kita segera melihat bagaimana sosok itu merupakan personifikasi Agugn sendiri yang menjalani hidup di tengah kepuraan-puraan masyarakat yang, celakanya, masih belum bisa keluar atau dibelenggu oleh mitos akan keilmiahan. Blue Print of Pseudo-science bisa dinilai sebagai komentar kritis akan hal tersebut
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
7
sekaligus ketidakberdayaan manusia yang terusmenerus mengkonsumsi kepura-puraan. Family Matters adalah sebuah alegori kehidupan dengan menempatkan seorang laki, anak kecil dan perempuan sebagai titik pusat bidang gambar. Mereka “dikepung” simbolsimbol keseharian: sisir, gelas, tangga, payung, kuda-kudaan, ranjang tidur, pesawat, kapal laut hingga simbol-simbol budaya modern seperti lembaga peradilan. Dalam karya ini, kompleksitas dihadirkan dan mengajak kita terbenam dalam mencari perihal yang otentik – suatu sikap sadar akan keseharian. Serial grafis Agugn dalam pameran Natural Mystic tak hanya menawarkan kerapuhan, tetapi juga mengingatkan kepada kita akan bahaya naturalisasi mitos atau suatu produk yang mendaku dirinya sebagai ilmiah yang telah mengendap dalam memori manusia. Serial ini juga menggugah kesadaran kita betapa tak berdayanya kita secara komunal – di tengah produksi “kebenaran semu” yang mengerikan – dan nyaris tak kuasa kita kontrol. Dan seharihari kita akan menerima semua teror ini dan membiarkannya menjadi hal yang “wajar”, “alamiah”, tanpa rasa cemas. Kita menikmatinya dengan penuh ambigu: mitos-mitos yang disebar melalui perangkat teknologi. Di situ, pada gilirannya kita menikmati terror image dengan suka-cita – penuh ekstasi.
kembali ke jati diri di tengah perubahan global dewasa ini yang menempatkan manusia sebagai obyek pemuas para produsen. Di situ, kita semakin kehilangan jati diri dan menjalani kehidupan secara banal dan kehilangan makna. Dewasa ini kita semakin meninggalkan penghayatan kita pada hal-hal yang sederhana, yang remehtemeh yang bisa kita mulai dengan, mencandra yang mistis. Bukan dengan bermeditasi atau mengasingkan diri, melainkan menjadi mistikus keseharian: mencandra kecemasan (Angst) yang menyembul keluar dari kolam keseharian kita.
Aminudin TH Siregar Dosen Seni Rupa – ITB
KARYA-KARYA
Catatan Kaki Paparan lebih jauh tentang persoalan ini bisa dibaca dalam F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, (Jakarta: KPG & PP STF. Driyarkara, 2003), hal. 1 – 5. Lihat juga pada bagian keempat (Bab 4) dalam buku ini.
Natural Mystic, meskipun bisa kita tarik dari minat Agugn pada salah satu lagu Bob Marley yang lagu ini juga berhasil membangun ragam persepsi atasnya, sebenarnya bisa kita kaitkan dengan problem dalam filsafat tentang Ada dalam khazanah Martin Heidegger. Bagaimana kita bisa
8
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
9
“ NATURAL MYSTIC No.3 - 30 ” 28 Cukilan lino reduksi di atas kertas buatan tangan @ 44 x 36cm 2013 Edisi : 3
10
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
11
“ NATURAL MYSTIC 27 “
12
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ NATURAL MYSTIC 26 “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
13
“ NATURAL MYSTIC 15“
14
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ NATURAL MYSTIC 29 “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
15
“ NATURAL MYSTIC 22 “
16
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ NATURAL MYSTIC 30 “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
17
“ NATURAL MYSTIC 3 “
18
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ NATURAL MYSTIC 18 “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
19
“ NATURAL MYSTIC 28 “
20
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ NATURAL MYSTIC 20 “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
21
“ NATURAL MYSTIC 25 “
22
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ NATURAL MYSTIC 5 “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
23
“ NATURAL MYSTIC 13 “
24
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ NATURAL MYSTIC 14 “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
25
“ BLUE PRINT OF PSEUDO-SCIENCE No.I - XLII “ 42 Cukilan lino dengan tinta cetak dan mineral alam cobalt di atas kertas buatan tangan Ukuran beragam 2013 Edisi : 10
26
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BLUE PRINT XXXIII “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
27
“ BLUE PRINT XXI “
28
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BLUE PRINT XXXI “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
29
“ BLUE PRINT XXX “
30
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BLUE PRINT XXXVII “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
31
“ BLUE PRINT XIX “
32
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BLUE PRINT XVII “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
33
“ BLUE PRINT XXII “
34
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BLUE PRINT XXVIII “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
35
“ BLUE PRINT XXXII “
36
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BLUE PRINT XVI “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
37
“ BLUE PRINT XXXV “
38
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BLUE PRINT XXXIV “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
39
“ BLUE PRINT XXVI “
40
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BLUE PRINT IV “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
41
“ BLUE PRINT X “
42
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BLUE PRINT IX “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
43
“ NIRHENGKARA “ ( Tanpa niat jahat ) Cukilan lino reduksi di atas kertas buatan tangan 91 x 81cm 2013 Edisi : 3
44
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ NIRCENGGAMI “ ( Tidak takut & kuatir ) Cukilan lino reduksi di atas kertas buatan tangan 91 x 81cm 2013 Edisi : 3
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
45
“ NIRCINTRAKA “ ( Tanpa niat jahat ) Cukilan lino reduksi di atas kertas buatan tangan 91 x 81cm 2013 Edisi : 3
46
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ NIRBAYA JAGRATARA “ ( Tak gentar selalu waspada ) Cukilan lino reduksi di atas kertas buatan tangan 91 x 81cm 2012 Edisi : 8 AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
47
“ FAMILY MATTERS “ Cukilan lino reduksi di atas kertas buatan tangan 135 x 135cm 2013 Edisi : 3
48
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ DON’T MIND THE MAN BEHIND THE CURTAIN “ 10 Cukilan lino reduksi di atas kertas buatan tangan @27 x 36cm 2013 Edisi : 3
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
49
“ BEHIND THE CURTAIN 3 “
50
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BEHIND THE CURTAIN 8 “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
51
“ BEHIND THE CURTAIN 10 “
52
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BEHIND THE CURTAIN 4 “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
53
“ BEHIND THE CURTAIN 2 “
54
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BEHIND THE CURTAIN 6 “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
55
“ BEHIND THE CURTAIN 7 “
56
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
“ BEHIND THE CURTAIN 1 “ AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
57
Pendidikan Formal: 2004-2005: UPI, Bandung, Jurusan Pendidikan Seni Rupa 2005-2010: FSRD-ITB, program studi Seni Rupa, Studio Seni Grafis. Pameran bersama:
Curriculum Vitae Nama : Agung Prabowo ( AGUGN) Tempat, tanggal lahir: Bandung, 8 Agustus 1985 E-mail : agugn@yahoo.co.id web : www.agugn.tumblr.com
2006: ‘Asa Daya Rupa’ , gedung Campus Center ITB, Bandung. 2007: ‘Scale’ , Galeri Soemardja, Bandung. 2007: ‘Festival Tanda Kota’, workshop dan pameran di jalan Dago, dan Galeri Cipta II TIM. 2008: ‘Pameran Studi Seni Grafis’, Galeri Soemardja , Bandung. 2008: ‘ZOO: Mental Map to Understanding Nature’, Galeri Soemardja, Bandung. 2008: ‘Infected Brain’, Galeri Surabaya, Surabaya. 2008: ‘Metaphoria’, Galeri Soemardja, Bandung. 2009: ‘Going Beyond’, CMNK art space, Bandung. 2009: ‘Triennale Seni Grafis III’, 2009, Bentara Budaya Jakarta. 2010: ‘CONTRAST’, Galeri Soemardja, Bandung. 2010: ‘Un Segmented’, Galeri Kita, Bandung. 2010: ‘Representation x Recreation x Reality’, Galeri Soemardja, Bandung. 2010: “Pameran sang ahli gambar dan kawan-kawan”, tribute to S.Sudjodjono, Galeri Kita, Bandung. 2011: “Long Live Milo Sundae”, Galeri Soemardja, Bandung. 2011: “For Whom the Bell Tolls”, survey III, Edwin’s Gallery, Jakarta. 2012: “Those Good Old Days”, Galeri Kita, Bandung. 2012: “Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2011”, Bentara Budaya Jakarta, Solo, Jogja, Bali. 2012: “Bandung New Emergence vol.4”, selasar sunaryo art space, Bandung. 2012: “Triennale Seni Grafis Indonesia IV 2012”, Bentara Budaya Jakarta, Solo, Jogja, Bali. 2013: “ Subject Matters : A Locus Collectivism “, Art:1 Gallery, Jakarta. 2013: “ Awagami International Miniature Print Exhibition 2013”, Inbe Art Space, Tokushima, Japan. Penghargaan : 2012: Pemenang 1 “ Triennale Seni Grafis Indonesia IV 2012”, Bentara Budaya.
Pameran Tunggal: 2013 : “ Natural Mystic “, Bentara Budaya Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan Solo. 58
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
59
Ucapan Terimakasih Tuhan pencipta alam semesta Orangtua & Keluarga Puti, Lintang, Pandam & Lino Bapak Hariadi Saptono Ibu Paulina Dinartisti Bapak Aminudin TH Siregar dan Keluarga Bapak Syakieb Sungkar Bentara Budaya Jakarta Bentara Budaya Yogyakarta Bentara Budaya Bali Balai Soedjatmoko Solo Galeri Soemardja Bandung Bapak Ciptadi Sukono Mr. Ben O Sullivan Mbak Monica Gunawan & Art:1 Gallery Bapak Suprajitno Sutomo Ibu Riama Maslan Kawan-kawan KGB dan FSRD ITB 2005 Zaenal & Botol Implementary Dan semua teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu Terimakasih atas segala bentuk dukungan, doa , dan apresiasinya 60
AGUNG PRABOWO NATURAL MYSTIC
W ELCO M IN G THE 28 FRAG M EN TS O F AG UN G PRABO W O Jakarta, October 11, 2013 Hariadi Saptono Executive Director, Bentara Budaya After being prepared for a year, starting from September 2012, 28 lino-cut fragments titled Natural Mystic by Agung Prabowo – an artist who graduated from Graphic Arts Studio, Faculty of Arts and Design, Institute of Technology Bandung (ITB) in 2010 – are ready to be presented to the public. Agung Prabowo (28) won the 4th Indonesia’s Graphic Arts Triennale Competition in 2012 held by Bentara Budaya since 2003. Agung’s graphic artwork that won the competition was titled “Nirbaya Jagratara (Tak Gentar Selalu Waspada, or Unafraid and Always Alert)”. The first and second runner up of that competition was, respectively, M. Fadhil Abdi (26) and Theresia “Tere” Agustina Sitompul (32) – both are alumni of Indonesia’s Institute of Arts (ISI), Yogyakarta. The judges explained that Agung Prabowo – often stylized as Agugn – won due to his exceptional execution of his lino-cut technique. Not only the aesthetic forms were packed with meaningful interpretations, his graphic print technique also produced unique colors that weren’t able to be produced by other graphic artists. Now, his victory paved way to a solo exhibition displaying 28 fragments conveying the explorations, extensions, and completion of the rich images and multitude of dimensions in his previous work. The name of the technique used to produce these fragments, as informed by curator Aminudin TH Siregar, is reduction print. Agung Prabowo’s responsibility as a victor and an artist can be easily seen manifesting in each and every fragment; each one makes us feel the amazingly alive blossom of Indonesia’s graphic arts scene. It is such an amazement: the graphic art techniques employed are complex and masterfully executed; the message conveyed about nature and about change is articulated very clearly. Natural Mystic, solo exhibition by Agung Prabowo, will be held in Bentara Budaya Jakarta on 17-27 October 2013; Bentara Budaya Yogyakarta on 8-7 November 2013; Bentara Budaya Bali on 4-11 January 2014; and Balai Soedjatmoko Solo on 24-30 January 2014.
N ATURAL M YSTIC “There’s a natural mystic blowing through the air; If you listen carefully now you will hear.” --Bob Marley Natural Mystic consists of 28 fragments of linocuts, packed with colors and symbolisms. Agung Prabowo – often stylized as Agugn – produced these fragments using the reduction-print method, a layered method of graphic art production effective to produce colorful prints using only one printing plate. This method is performed by reducing the plate’s surface until the plate is used up. Therefore, a print produced by this method is not reproducible – this is this method’s double-edge trait. Picasso pioneered this method, as seen in his graphic arts of late 1950s. Art observers deem this step as a major breakthrough in global printmaking history. This method is still used by graphic artists until this very day. Since his days of undergraduate study in Graphic Arts Studio of the Faculty of Arts and Design, Institute of Technology Bandung (FSRD-ITB), Agugn has displayed interest in reduction-printing. His interest was detectible through series of drawings and print works he produced during his undergraduate study. During this period, if memory serves me correctly, Agugn’s interest lied on issues about human existence amid various changes of their surroundings. These issues manifested in images of human beings inside corridors, partitioned rooms, windows, doors, and other spaces. In another set of artworks, he reproduced grass-root symbols within the vocabulary of science. Through the configuration of artworks he produced, through art, he wished to express an existential angst – a representation of the cluelessness of humanity not knowing where they hail from and where they should head to despite feeling like they need to go somewhere certain. In those artworks, windows, symbolizing “seeing the unfamiliar outer world” or “a gateway to choices and possibilities”, represented a moment when one envisions him/herself. In several regards, I believe, that serial also beckoned the question pertaining to the idea of “thrownness”: why do I exist? Where did I come from and where am I heading to? Agung Prabowo represents a generation of graphic artists starting their career in a time when the Indonesian art world has undergone massive shifts. Unlike the previous generation of FSRD-ITB-bred graphic artists such as Tisna Sanjaya and Isa Perkasa, breathing the high-tension, suppressed atmosphere of New Order’s art depoliticization, Agugn and his generation has not gone through such level of tension. Such high-tension, suppressed, suffocating atmosphere did not only occur in macro-political levels; but it also pervaded into internal university life and rendered artwork creation not completely free. Agugn’s generation is quite lucky to take their dip into the art world in a context where macro-scale and micro-scale changes in various sectors have occurred. Agugn’s generation dove into the Indonesian art world when issues about representation, reproduction, and legitimacy develop into a far deeper level of complexity. This is an era when the process of creation no longer relates or refers to “pure reality”. Through art, images multiply and overlap one another. In the sea overflowing with images, the crisis of representation artists go through indicates that reality, as a matter of fact, is a disputed
territory; young artists strive to prove that they are able to claim that territory. After graduating in 2010, Agugn’s generation did face such new complexities. In the 1970s and 1980s, “conceptual” arts and art renewal movements arose and fought back against the creed of leaving “literal presentation” and moving towards “nonrepresentation”. This generation moved away from the “emotional” and the “sublime” in paintings of its preceding generations. The “sublime” refers to something difficult to present, see, or made visible, but its existence and magnificence is certain. Artists or painters do not have the ability to depict such “sublimeness”, so in this case, abstraction is deemed as the only way to present thoughts that are impossible to visualize. Thus far, these questions arise: Can abstraction (abstract painting art) release itself from all representational references in order to erase all tracks of reality? Has art modernity in Indonesia succeeded in leaving daily life out completely? These questions haunted the artists of that generation. In today’s time, in Agugn’s generation, these questions have drastically shifted: it is no longer about how reality should be presented; instead, it’s about how art channels artists’ restlessness in identifying, describing, defining daily life. Through the studies of art ideology, occurring shifts are observable by evaluating: art as representation of social and ideological meanings; arts rejecting norms, social conventions, myths, existing ideologies, promising a voyage towards a new landscape of experience and eternal transformation; and arts submitting into classic conventions/social structures/ideologies but twisting them into playful interpretations, subversions, deconstructions, and ironies. Agugn’s generation, in a number of regards, seems to wrestle with the last category, despite being able to delve into the other two categories very easily. Natural Mystic, the title of this exhibition, succinctly represents this entire set of Agugn’s graphic artwork. There is an artwork set under the same genus as the Nirbaya Jagratara (Unafraid and Always Alert). This artwork granted Agugn the first place in the 2012 4th Indonesian Graphic Arts Triennale. Other works such as Nircintraka (No Harm), Nirhengkara (Without Ill Intent), and Nircenggami (Without Fear, Without Worry) is all under the Nirbaya Jagratara genus – all of them produced through the plate reduction method. This series depicts a man in various poses and behaviors; including riding a horse, which evoked an epic look. In this exhibition, Agugn brought up the theme “Natural Mystic” to represent “fear of ‘the unknown’ when facing issues in his daily life”, particularly when trying to grasp the myths of fatherhood he “received” in undergoing his new life as a father. “There are myths I heard from friends, relatives, and parents about pregnancy, about birth delivery, about breast milk, about taboos a child should not be exposed to, about children development and growth process… I face all of these in the process of being a father. Sometimes, fear rushes in when I don’t really know what really happens. I try to replace that fear with curiosity and wanting to know more. Therefore, the ‘keyword’ I found to accurately describe such wondrous mysteries is ‘Natural Mystic’,” he stated. Printed on hand-made sheets of paper, Agugn’s Natural Mystic leads us to a universe that feels familiar yet simultaneously foreign. In a glimpse, many would attribute bright, luminescent colors in the artwork to psychedelic or toxic spectrums. Many symbols overlap
one another: there is a black cow with intertwining stripes reminiscent of stellar constellations; while other symbols present themselves individually and separately, such as the corpse flower. Bright colors in Natural Mystic rendered these symbols, of items commonly found in daily life, unordinary. Symbols in Natural Mystic may also be interpreted as products of human civilization, binding to its participants, woven into life as its integral part, whether these ‘products’ are believed strongly or otherwise. Myths are created to accompany our journey in this oftenincomprehensible world and often referred to as “truth”, if not “inevitability”. Our life today is surrounded by myths. Blue Print of Pseudo-science No. I – XLII consists of 42 fragments inviting us a tour into a scientists’ “laboratory”. Agugn stated, about this series, “It was inspired by how the world around us tend to use languages with ‘scientific’ feel. This condition builds a collective fear in the society, allowing those with specific interests to exploit that fear for their own good.” Like Natural Mystic, in Blue Print of Pseudo-science, Agugn also used manually-produced paper. A cobalt-blue man is dominant in this serial. We can see very quickly that this man personifies Agugn himself living amid a society still imprisoned and not yet released from the shackles of myths about everything scientific. Blue Print of Pseudo-science can be seen as a critical comment on such a phenomenon, as well as our helplessness in continuing to consume pretensions. Family Matters is an allegory of life. A man, a little child, and a woman stand at the center, surrounded by various daily-life items: combs, glasses, ladders, umbrellas, rocking horse, beds, airplanes, boats, to more modern cultural symbols such as institutions of justice. This work embodies a level of complexity that invites viewers to delve and find items that are truly authentic – the attitude of having an acute awareness towards daily life. Agugn’s graphic arts series in Natural Mystic not only presents vulnerability, but also reminds us the danger of myth naturalization, of products claiming to be scientific, of those that has been ingrained so deeply in the memories of humanity. This series attempt to rekindle our awareness about how helpless we are communally – amid horrifying productions of “fake truths” that we are unable to control. On a daily basis, we will accept all these terror and let them be “normal”, “natural”, nothing to worry about. We ambiguously enjoy these myths, spread by technological devices. In turn, we will enjoy terror image with festivity, in ecstasy. Natural Mystic, quoted by Agugn from one of his favorite musician Bob Marley that inspired him various levels of perception, can be linked into the philosophy of Being as argued by Martin Heideggeri. How do we return to our true identity amid such global changes recently that treats human beings as objects to satisfy producers? We lose our identity even more, living our life with more and more banality, losing its meaning. Lately, we depart from our appreciation on simple and minute things. We can revive our appreciation by fully recognizing these myths: not by meditating or by alienating
ourselves, but by exploring daily life’s mysticisms and identifying, describing, and defining the angst surfacing from the sea of our daily life.
Aminudin TH Siregar Lecturer of Visual Arts, ITB
i
For further reading, please refer to “Heidegger dan Mistik Keseharian: SuatuPengantar Menuju Sein und Zeit” (Heidegger and Daily Life Mysticism: an Introduction to Sein und Zeit) by F. Budi Hardiman, (Jakarta: KPG & PP STF Driyarkara, 2003), p. 1 – 5. Please also read Chapter 4 of this book.