PAG E L ARAN KARYA FOTOGRAF I M AH ASI SWA JU RU SAN JU R N ALI STI K AN GK ATAN 2013 UIN SYARI F H I DAYATU LLAH JAK ARTA
PETANI GENERASI TERAKHIR Sri Mulyawati
Indonesia dikenal sebagai Negara agraris, yang mayoritas penduduknya hidup dari bercocok tanam dan sebagian besar adalah petani. Melihat tingginya urbanisasi, profesi sebagai pertani kian ditinggalkan generasi muda. Hari ini, siapa generasi muda yang mau membajak sawah di bawah terik matahari, menanam satu persatu benih padi, berkutat dengan lumpur, menjaga agar tanaman padi terhindar dari hama, hingga proses memanen padi menjadi beras. Butuh tiga hingga empat bulan untuk bisa panen. Proses yang lama dan cukup melelahkan. Padi menjadi komoditas utama di kecamatan Jonggol kabupaten Bogor. Lahan sawah masih banyak luas membentang. Dari sekian banyak petani yang saya temui di sawah, tak ada pemuda yang turun ke sawah. Sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2009 yang mengatur tentang pemuda adalah yang berusia 16 sampai 30 tahun. Bakri salah satu petani di Desa Weninggalih, Jonggol. Bakri (47 tahun) bersama istrinya (40 tahun) terhitung 20 tahun sudah menggeluti usaha tani. Dari ketiga anaknya, tak ada yang menggeluti dunia pertanian. Anak pertama memilih bekerja sebagai buruh pabrik. Anak kedua masih duduk dibangku sekolah menengah kejuruan, dan anak ketiga masih duduk dibangku sekolah dasar. Data sensus pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, diketahui jumlah rumah tangga petani mengalami penurunan tajam dalam 10 tahun. Dari semula 31 juta rumah tangga petani di tahun 2003, menjadi 26 juta rumah tangga saja di tahun 2013. Artinya indonesia kehilangan 500.000 rumah tangga petani per tahun atau 5 juta rumah tangga selama 10 tahun.
TIDAK SEINDAH DAHULU Anisatul Kamaliyah
Pada umumnya rumah adalah tempat yang nyaman untuk semua anggotanya. Tidak harus memiliki rumah yang luas dan besar yang penting ada kenyamanan didalam rumah sendiri. Rumah merupakan tempat berkumpul bersuka cita bersama keluarga tercinta. Rumah juga merupakan tempat beristirahat ketika kita merasa lelah, tempat untuk berlindung ketika hujan, dan dari teriknya matahari. Dewasa ini sulit untuk mendapatkan lahan untuk membangun rumah di kota-kota besar terutama di ibukota. Hal ini membuat sebagian pendatang dari luar kota terpaksa mendirikan bangun di tempat yang tidak wajar, seperti di kolong jembatan, bantaran sungai dan pinggiran rel kereta api. Bahkan tak jarang masyarakat membangun rumah di daerah yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk mendirikan bangunan, seperti dalam kasus penggusuran di Kampung Luar Batang yang mendirikan rumah di tanah pemerintah, sehingga pada tanggal 11 April 2016 lalu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan penggusuran di lokasi tersebut. Meskipun sekarang hanya tersisa puing-puing di Kampung Luar Batang, namun warga masih tetap bertahan di daerah tersebut dengan mendirikan tenda-tenda dan melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasanya di atas reruntuhan bangunan. Mereka bertahan karena tidak adanya tindak lanjut dari Pemerintah dari penggusuran tersebut. Mereka tidak disediakan tempat tinggal pengganti bahkan uang ganti rugi. Sedangkan mereka harus terus melanjutkan hidupnya di Jakarta. Keceriaan warga Kampung Luar Batang redup karena kehilangan tempat tinggal. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berkumpul dan bersuka cita bersama keluarga kini sudah tiada.
PESONA BATIK BANTEN Romaida Uswatun Hasanah
Menemukan kembali kearifan lokal yang terpendam dalam puing-puing reruntuhan pusat kejayaan pemerintahan Kesultanan Banten Lama. Terciptalah sebuah karya yang tertoreh pada sehelai kain yang beridentitaskan budaya daerah. Uke Kurniawan, pemilik sekaligus orang yang menciptakan kurang lebih 54 motif dari Batik Banten. Sejak tahun 2003, Ia bersama rekannya Irwan mulai menekuni Batik Banten. Hingga pada akhirnya dua sekawan itu memiliki galeri Batik bernama Pesona Banten. . Selama hampir 13 tahun Uke sapaan akrabnya bertahan pada pembuatan Batik Banten. Sejauh ini Batik Banten sudah menjadi salah satu icon kebanggan Banten. Berdasarkan cerita yang disampaikan oleh Uke Setiawan, Batik Banten merupakan batik pertama di Indonesia yang mempunyai Hak paten. Batik Banten sama seperti batik Indonesia pada umumnya. Pembedaan ciri batik hanya dari corak dan warna. Batik banten memiliki warna abu-abu soft, hal ini dikarenakan air yang ada di Banten mengandung zat besi tinggi sehingga munculah warna abu-abu soft. Sedangkan Corak motif yang tergambar di Batik Banten merupakan implementasi dari gerabah-gerabah yang ditemukan oleh Badan Penelitian Alrkeologi UI. Gerabah-gerabah tersebut kemudian disketsa sesuai dengan sejarah kerajaan. Walaupun sekarang sudah ada 60 pebatik di galeri Pesona Banten. namun, Batik Banten tidak dibuat untuk pasar umum. Pembeli harus memesan terlebih dahulu jika ingin membeli Batik Banten.
BERKAH KOSTUM PAHLAWAN Aldiansyah Nurahman
Palu besar yang mampu mengeluarkan petir, tubuh besi yang dipenuhi berbagai senjata, atau pun perisai super kuat. merupakan atribut andalan yang sering melekat pada pahlawan super seperti Thor, Iron Man, dan Captain America. Menarik memang memiliki senjata seperti itu di dunia nyata. Kekaguman masyarakat terhadap tokoh pahlawan mampu dimanfaatkan sebagian orang untuk meraup pundi-pundi uang, Wahyudi Riyanto salah satunya. Yudi Iron Man begitu sapaan akrab tetangganya. Panggilan tersebut karena profesinya sebagai pembuat kostum Superhero, seperti Iron Man, Thor, dan Predator. Kostum ciptaannya ia jual dan beberapa ia sewakan dengan biaya sewa seharga Rp 200 ribu. Sedangkan untuk pembelian setiap kostum dihargai Rp 2 juta - 2,5 juta. Pria berkacamata ini memproduksi kostumnya menggunakan barang-barang bekas yang ia kerjakan di kediamannya sendiri di Tegal Parang Utara, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Sebelum jadi pembuat kostum, ia menganggur selama dua tahun dan hidup hanya mengandalkan uang istrinya untuk menghidupi kedua putranya. Akhirnya, karena sudah menemui jalan buntu dalam mencari pekerjaan. pada pertengahan Mei 2016, ia memutuskan untuk menjadi pembuat kostum dengan peralatan dan perlengkapan seadanya. Tak mudah bagi Yudi dalam membangun karirnya sebagai pembuat kostum. ia pernah menjajakan kostumnya mengelilingi Ibu Kota sambil menggunakan kostum Iron Man dengan sepeda motor dan sempat ingin menjadi badut Iron Man di taman-taman sekitar Jakarta Selatan. Namun, kini kehidupannya berubah 180 derajat, Semenjak media meliput profesinya, Yudi dibanjiri pesanan, baik dalam maupun luar negeri. Hanya dalam kurun waktu dua minggu, ia menerima hampir 100 pesanan kostum. Yudi kini tidak hanya menjadi pembuat kostum pahlawan, tetapi ia sendiri telah menjadi pahlawan yang sesungguhnya, bagi anak dan istrinya, Yudi Superhero.
MENGINTIP DAPUR PABRIK TAHU BANDUNG TONO Devi Andita
Terkadang, kita harus berani mengambil risiko untuk membuat perubahan dalam hidup. Seperti yang dilakukan oleh Ristono B. Karyadi, ia memutuskan keluar dari pekerjaannya di pabrik tahu dan membuat pabrik tahu sendiri. Bermodalkan uang dua juta rupiah dikantong, serta pinjaman dari bank dan sang kakak, ia mulai membeli peralatan untuk keperluan pabrik. 1 Februari 2010, hari bersejarah yang tak mungkin dilupakan oleh Tono. Hari dimana Pabrik Tahu Bandung Tono yang berada di Jalan Palm VII, Petukangan Utara, Jakarta Selatan mulai beroperasi dan siap melengkapi kebutuhan pangan masyarakat sekitar. Setiap hari pabrik tahu ini mendapatkan pesanan dari para pedagang tahu keliling dan pedagang tahu di pasar. Pabrik tahu milik Tono beroperasi 24 jam dengan pembagian dua pembagian jam kerja. Dengan motto “Hidup sehat berawal dari makanan sehat�. Pabrik Tahu Bandung milik Tono sangat memperhatikan bahan-bahan alami dan kebersihan para pekerjanya. Pabrik tahu ini sudah diliput oleh beberpa Media, di antaranya terbit di harian Cetak Suara Pembaharuan Edisi. 02 April 2011. Selain banyaknya pesanan dari pedagang tahu sekitar, rasa tahu olahan di pabrik ini juga telah sampai ke lidah masyarakat Thailand.
SEPENGGAL CERITA DARI KEPULAUAN JAKARTA Syahidah Azzahra
Kepulauan seribu merupakan gugusan pulau yang terletak di teluk Jakarta. Selain dikenal sebagai tempat wisata, kepulauan seribu juga memiliki penduduk dibeberapa pulaunya. Salah satu pulau dengan penduduk terpadat adalah pulau panggang. Kehidupan masyarakat di pulau panggang terlihat Seperti masyarakat pesisir pada umumnya. Kebanyakan berprofesi sebagai nelayan tradisional dan sebagian kecilnya menjadi pemandu turis. Kebudayaan masyarakat pulau panggang masih cukup kental, contohnya acara selamatan khitanan anak dengan arak-arakan keliling pulau Panggang masih berlangsung sampai saat ini. Pantai menjadi salah satu tempat untuk berkumpul dan bercengkrama warga pulau panggang. Di temani hembusan angin dan sepoynya angin, tua dan muda saling bercengkrama dan bermain di bibir pantai dan dermaga. Pesona alam yang disajikan berbanding terbalik dengan perilaku masyarakat sekitar. Para penduduk kepulauan seribu membagun rumah-rumah menggunakan batu karang yang seharusnya dijaga kelestariannya. Sampah juga menjadi momok mengerikan untuk kehidupan masyarakat dan biota laut kepulauan seribu. Beberapa warga bergotong-royong untuk menjaga kelestarian alam di kepulauan Seribu. Salah satunya dengan cara budidaya mangrove. Hal itu dilakukan untuk mencegah abrasi pantai yang kian parah. Pesona teluk Jakarta memang tidak dapat tergantikan, maka dari itu kita harus sama-sama melestarikan. Agar Jakarta tidak hanya mempunyai sekelumit kisah yang gelisah, tapi alam yang terjaga bagi anak-cucu kelak.
SISI LAIN DALAM KESENDIRIAN Laras Sekar Seruni
Ketika Tuhan menakdirkan setiap manusia untuk berpasang-pasangan, tidak sedikit orang yang masih berkutat dalam pencarian. Mereka berusaha, berdoa, dan melakukan segala cara untuk menemukan pasangannya itu. Sebagian besar manusia memiliki pasangan yang berbeda jenis – laki-laki dan perempuan. Tapi, sebagian lagi memilih untuk mencintai pasangan sesama jenis. Itu yang kemudian dipilih oleh salah satu sahabat saya, sebut saja Bunga. Perempuan berusia 21 tahun yang sedang menjalani semester akhir di salah satu universitas negeri di Jakarta ini, memutuskan untuk hidup di tengah isu yang belum lama ini muncul terkait perbedaan orientasi seksual dengan orang kebanyakan. Orang banyak memandang sebelah mata. Namun mereka tidak menyadari kelebihan yang tersembunyi dibalik perbedaan tersebut. Meskipun dalam lubuk hatinya masih terpendam rasa sepi karena baru saja berpisah dengan sang kekasih, namun Bunga masih menyimpan asa terhadap mimpi dan cita-citanya. Seorang yang baru merintis usaha, pernah berkecimpung di bidang broadcasting, pandai menyulam, namun tidak pernah bosan untuk mengaitkan antara astronomi dan matematika. Suatu hari ia ingin menjadi astronout. Terlepas apakah perbedaan tersebut hadir dalam dirinya, saya percaya dengan kemampuan yang dia miliki. Bahwa apa yang ia lakukan dapat membuktikan kepada orang banyak kalau mereka tidak bisa memandang sesuatu secara sebelah mata.
BULAN YANG DIRINDUKAN Fazriah Afriani
Tidak ada malam yang secakap malam bulan itu, tak ada siang yang paling mengharukan di bulan itu, dan tidak ada lagi senja yang paling dinantikan dibulan itu. sifatnya yang universal membuat sebagian manusia tertegun dan sebagiannya lagi terkagum. Bulan di mana agama bermakna sebagai cinta dan Tuhan sebagai nyanyian merdu yang dinyanyikan setiap waktu. Bulan yang disambut penuh kebahagian itu adalah Ramadhan. Ramdhan adalah bulan yang paling dinantikan oleh umat Islam di seluruh Dunia tidak terkecuali di Indonesia. Semua negara mempunyai manifestasinya tersendiri dalam memeriahkan bulan yang dianggap suci ini. Begitupun Masyarakat Islam Indonesia yang terbiasa mengkolaborasikan momen keagamaan tersebut dengan kebudayaan. Suka cita ramadhan tersaji dengan kekentalan adat Nusantara. Surau dan masjid yang dipenuhi dengan orang mengaji dan sembahyang sebagai bentuk simbol keislaman. Sedangkan, silaturahmi dengan sanak famili bercampur dengan adat yang biasa kita sebut mudik. Semuanya dilakukan istimewa pada bulan Ramadhan dan demi menyambut hari kemenangan pada 1 Syawal atau yang biasa kita sebut lebaran. Corak Islam dengan budaya Indonesia begitu terasa secara harmonis. Ramadhan yang sangat Humanis terpancar melalui ekspresi Manusia dengan manusia lainnya. Selain mengakrabkan hubungan dengan penciptanya, manusia seyogianya juga memperbaiki hubungan antara manusia. Setiap ibadah yang diperintahkan Allah adalah untuk meningkatkan hubungan vertikal (kepada Pencipta) dan hubungan horizontal (kepada sesama manusia) secara seimbang. Seperti yang dikatakan Tuhan melalui kitabnya dan para pemuka agama menafsirkannya. Bahwa Ramadhan adalah menjadikan kita sebagai Khoirul Ummah, sebaik-baiknya manusia untuk menegakan keharmonisan dan mengukuhkan keimanan.
KEHIDUPAN SAYATI DAN BEBERAPA TRADISI DI MADURA Muharromah
Sayati (65) merupakan seorang nenek yang bertempat tinggal di desa Galis Dajah, konang, Bangkalan, Madura. Kehidupannya yang sederhana ia jalani bersama suaminya Sagiar (71). Baginya bertani bukan profesi, sayati hanya bercocok tanam untuk dimakan sehari-hari bersama suaminya. sedangkan untuk kehidupan sehari-hari ia bergantung pada kiriman uang dari anak-anaknya. Di tempat tinggal ibu beranak 7 ini banyak tradisi yang msih dilestarikan, seperti ziarah setiap tahun pada saat sebelum atau sesudah lebaran. kegiatan ini menjadi kegiatan yang penting dan wajib dilakukan oleh beberapa orang madura yang masih memegang teguh tradisi. Hal ini dilakukan guna untuk meminta berkah atau hanya sekadar mendoakan orang yang telah tiada. Alat tradisional madura adalah celurit, salah satu senjata yang memiliki bentuk seperti bulan sabit. Alat tradisional ini banyak digunakan untuk kehihdupan sehari-hari di Madura, di antaranya pada saat mencari rumput, memanen padi, dan pada saat berpergian jauh. Beberapa masyarakat masih membawa alat tradisional ini. Begitu juga wanita madura yang harus memakai emas di tempat keramaian. Hal ini dilakukan guna menunjukkan strata sosial wanita wanita tersebut. Tradisi lainnya adalah memakai sarung, baik wanita ataupun pria. memakai sarungi sudah menjadi adat bagi orang madura.
SENYUM YANG TERSISA TIFFANY NADIA SYIFA
Di bawah jalan layang Buaran, Jakarta Timur. berbanjar kendaraan umum tua beroda tiga. “Buaran…pupar…buaran…pupar,” teriak kondektur untuk menarik perhatian penumpang. Maman (60) dengan pulpen dan secarik kertas mencatat rit setiap supir yang memangkalkan kendaraannya. Maman menagih uang Rp 2.000 kepada supir untuk kepengurusan pangkalan. Saat angkutan melaju, asap tebal dan suara knalpot yang kencang berpacu menjadi satu. Kaki – kaki penumpang yang menekuk serta badan gemetar menjadi ciri khas menaiki kendaraan yang biasa disebut Bemo (Becak bermotor). Sabtu, (11/06). Menurut salah satu supir bemo, Ali (42), bemo sudah ada di Buaran, Jakarta Timur sekitar tahun 90-an. Dulu bemo diproduksi oleh pabrik Daihatsu, di India. Kehadiran bemo dimaksudkan untuk menggantikan becak karena kendaraan ini dapat melaju lebih cepat. Kini di Buaran tersisa 10 armada bemo yang masih beroperasi dan 2 bemo lainnya rusak. Penumpang yang menaiki bemo dikenakan tarif Rp 3.000 – Rp 5.000 tergantung jarak jauh atau dekat. Kali ini si hijau jingga sedang dirawat oleh majikannya. Ali pemilik bemo tersebut menjelaskan kendalanya pada gigi bemo yang rusak sehingga tidak bisa beroperasi. “Apa lagi yang rusak giginya sudah jarang yang jual,” kata Ali sambil mengotak – atik mesin bemo. Selain terkendala di mesin bemo, rata – rata bemo tak dilengkapi lampu bagian depan. El (27) bercerita lampu bemonya sudah lama tidak ada “Udah beberapa kali saya perbaiki lampunya tapi rusak mulu,” tutur El. Hilir mudik bemo yang lewat, canda serta tawa supir bemo terlihat saat melepas lelah di pangkalan bemo. Budi (30) mengatakan ia memilih menjadi supir bemo karena kerjanya bisa santai. “Saya mulai narik dari jam 6 pagi dan biasanya sehari dapet 50 ribu,” kata Budi. Ramainya suara knalpot bemo dan gelak tawa supir tersebut terhenti ketika matahari mulai terbenam. Mereka kembali pulang menemui keluarganya di rumah.
KETERBATASAN BUKAN PENGHALANG Linda Fazria
Panti Sosial ini memang tak mampu banyak bicara lewat suara. Saat pertama kali memasuki kawasan tersebut, banyak remaja yang melakukan aktivitas di area Panti. Banyak wajah-wajah dengan pelbagai ekspresi bertukar cerita. Tak ada suara yang terdengar dalam percakapan itu. Hanya isyarat yang menjadi bahasa. Mereka yang sedang bercakap-cakap ini adalah sebagian anak asuh Panti Sosial Bina Rungu Wicara (PSBRW) Melati yang berlokasi di Jl. Gebang Sari No. 38 Rt.002/Rw.05 Bambu Apus Jakarta Timur. PSBRW Melati adalah lembaga pemerintah yang memberikan pelayanan rehabilitas sosial bagi penyandang cacat rungu wicana (bisu dan tuli). Panti ini mempunyai tugas pokok memberikan pelayanan dan bimbingan rehabilitas sosial yang meliputi pembinaan fisik dan bimbingan mental. Salah satunya adalah Shinta yang bulan agustus kemarin genap berusia 26 tahun. Hari berganti dan mereka tetap bersyukur dengan kekurangan yang dilimpahkan oleh Tuhan. Karena itu bukanlah suatu kekurangan, melainkan sebuah kelebihan. Karena tidak semua orang memiliki apa yang mereka sandang saat ini. Di PSBRW mereka mengenyam cita dan rasa untuk semakin menikmati hidup. Kehadiran PSBRW ini bertujuan untuk mengajarkan dan memotivasi para penyandang tuna rungu. Kekurangan yang ada dalam diri meraka bukanlah suatu alasan dan penghalang untuk hadir serta, berbaur dengan masyarakat luar dan berkontribusi bagi lingkungan. Semangat para penyandang tuna rungu untuk menjalani hidup adalah sebuah pesan bagi kita untuk senantiasa bersyukur dengan apa yang sudah kita terima dan miliki.
Rindu Pada Lapangan Iladiena Zulfa
Tidak semua anak-anak sudah mendapatkan hak-haknya. Salah satu haknya yang sering terabaikan adalah bermain dan menikmati Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Jangankan untuk bermain di sebuah taman asri yang sering ditayangkan di televisi. Beberapa lapangan sepak bola yang berada di sekitar rumah mereka pun kini berubah menjadi sebuah kompleks perumahan, pertokoan, dan pabrik. Seperti yang dialami oleh anak-anak yang tinggal di wilayah penyanggah Ibu Kota Jakarta. seperti di Pamulang, Tangerang Selatan dan Parung Panjang, Bogor. Seperti yang dialami Muhammad Zainal (11), salah seorang anak laki-laki yang bertempat tinggal di Jalan Kemuning, Kota Tangerang Selatan. Ia mengaku senang bisa bermain apa saja di sekitar tumpukan sampah atau yang kerap disebut Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA). Di sana, ia bisa bermain pelbagi permainan sederhana seperti layang-layang, sepak bola, ataupun petak umpet. Bahkan mereka memakai sampah untuk menjadi media permainan zainal dan teman-temannya. Tidak hanya Zainal, seorang anak yang tinggal di pinggir rel kereta api Parung Panjang, Bogor, juga mengalami hal yang serupa. Jefri (10) kerap bermain di kawasan berbahaya bersama teman-temannya. Pinggiriran rel kereta menjadi tempatnya untuk bermain dan bersenda gurau. Jefri dan temannya juga kerap bermain dengan melompati tumpukkan batu rel kereta yang teronggok di pinggir rel kereta tersebut. Juga Rafa (5) dan teman sebayanya yang terpaksa harus bermain di sebuah halaman kosong. Di sana terdapat tumpukan pasir, semen, batu-batu, kayu, gerobak, dan mesin pengaduk semen. Terkadang, mereka menggunakan gerobak dan papan-papan kayu sebagai mainan jungkat-jungkit. Inilah ruang publik versi mereka. Kerinduan mereka terhadap lapangan hijau bisa terobati. Walau seperti itu, ruang bermain selalu mereka dambakan.
KARTINI REMBANG MASIH MELAWAN Rheza Alfian
Perjuangan menolak pendirian dan pengoperasian pabrik semen oleh PT. Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah terus berlanjut. Di antara warga masyarakat yang melawan terdapat 6 perempuan Rembang yang terus berjuang menjaga alam ibu pertiwi. 6 perempuan ini merupakan bagian dari 9 Kartini Pegunungan Kendeng yang terus menyuarakan untuk melawan pabrik semen di Rembang. Sukinah, Deni Yulianti, Umurtini, Surani, Sutini (Rembang) Karsupi, Riem Ambarwati, Ngadinah, Siem (Pati) masih lantvang menyuarakan keadilan, untuk dirinya, untuk anak cucunya, juga untuk alam. Sempat menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, namun gugatan tersebut ditolak pengadilan karena telah melebihi batas waktu alias daluwarsa. Gugatan tersebut terkait pemberian izin lingkungan oleh Gubernur Jawa Tengah untuk penambang dan pendirian pabrik PT. Semen Indonesia di Rembang (SK Gubenur Jawa Tengah Nomor 660.1/17/2012 tanggal 7 Juni 2012). Bandingpun diajukan, namun Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya, dalam putusannya menguatkan putusan hakim PTUN Semarang Nomor 64/G/2014/PTUN.SMG tanggal 16 April 2015. Akhirnya, para petani Kendeng bertemu dengan presiden di Istana Kepresidenan Jakarta pada Selasa (2/8/2016). Hasil dari pertemuan itu salah satunya adalah membuat kajian strategis yang dikoordinasi oleh kepala Staf Kepresidenan. Kajian strategis melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM, dan pemerintah daerah. Kebijakan itu berbeda dengan yang dilakukan Ganjar selama ini. Gubernur Ganjar lebih memilih jalur hukum untuk menyelesaikan persoalan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. kajian selesai dalam waktu satu tahun dan hasilnya akan digunakan untuk mengambil keputusan. Sementara kajian dilakukan, pabrik milik PT Semen Indonesia tidak bisa beroperasi. Produksi, eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan PT. Semen Indonesia di pegunungan Kendeng diyakini merusak keseimbangan alam yang ada. Mata air akan hilang, pohon akan jarang, sawah habis dijual, petani kehilangan pekerjaan merupakan sebagian kecil dampak buruk pembangunan pabrik semen.
SALAH CINTA ATAU SALAH KITA? Afri Sariana
“Kelesbianku ini bukan merupaka aib, penyakit, ataupun bentuk dari ganguan jiwa.� Ucap mahasiswi 21 tahun itu, sembari mengerenyitkan dahinya. Raut wajahnya seolah mewakili perasaanya. Resah karena tak banyak orang yang mampu menerima apa yang dialaminya. Mahasiswi yang sudah menempuh pendidikan enam semester di perguruan tinggi swasta tersebut, mempunyai orientasi seks yang berbeda dengan wanita lainnya. Sejak kecil ia sudah merasakan perbedaan dalam dirinya. Ketertarikannya terhadap sesama jenis pun sudah ia rasakan. Kini perempuan maskulin itu tumbuh menjadi yang tak pernah ia bayangkan. Menjadi seorang lesbian bukanlah yang ia harapkan. Apalagi harus menjadi lesbian di negara yang menganut adat timur. Laksana hitam di tengah hamparan putih. keresahannya makin menjadi ketika masyarakat Indonesia menolak secara tegas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Sedangkan, pemerintah sendiri seakan tidak pernah mempersiapkan payung hukum bagi orang-orang seperti dirinya. Kelompok LGBT terus mengalami kekerasan secara budaya dan intimidasi secara sosial. Sudah 1 tahun wanita beramput pendek ini menjalin hubungan dengan wanita terkasihnya. Awalnya kekasihnya adalah teman yang sering datang untuk bercerita. Namun, semenjak temannya mengalami pengalaman pahit tentang pernikahan. Semenjak itu pula temannya menjadi lesbian dan menjalin hubungan spesial dengan dirinya. Sekarang mereka menajalani hari demi hari bersama. penuh kasih, canda, tawa, dan kebahagiaan. Walaupun kerap dijuluki tomboy, ia tetaplah sosok wanita. Impian di masa kecilnya untuk menjadi seorang pramugari di penerbangan internasional masih ingin ia raih. Sepenggal doa untuk citanya menjadi wanita normal terus ia dengungkan setiap kali berhadapan dengan tuhan. Indonesia memang merupakan sebuah negara yang bercorak timur. Negara yang konon moderat dan toleran ini ternyaata belum memiliki ruang bagi Kelompok LGBT. Kesetaraan hanya sebuah slogan. Mereka hanya butuh naungan dan perlindungan bukan caci-maki dan intimidasi.
CERITA PASAR MALAM EVA AGUSTINA
Kerlap kerlip lampu mewarnai tanah lapang di pinggir Jalan Cinangka, Sawangan, Depok. Tanah lapang yang disewa dengan harga 25 juta perbulan tersebut menyimpan sejuta harapan. Harapan agar keluarga yang ditinggal hidup lebih layak. Pak Karmidi dari Demak, Jawa Tengah adalah satu dari beberapa orang yang mengorbankan waktunya demi menghibur para pengunjung pasar malam. Tempat yang berpindah-pindah membuat mereka susah untuk pulang dan berkumpul dengan keluarga. “Minggu depan kita pindah ke Cilandak mbak, sebelumnya kita di Pondok Cabe. Tapi kita juga pernah sampai Lampung, Makassar, jauh-jauh deh pokoknya mbak, keliling terus,� ujar Karmidi dengan bangga. Bapak dengan enam orang anak ini yang rela merantau demi menghidupi anak istrinya. Nyawa rela mereka pertaruhkan. Salah satunya dengan bermain wahana “Tong Setan�. Barisan motor melaju di tempat berbentuk tong. Meluncur dengan cepat mengelilingi setiap sudut wahana. Beratraksi bak penari. Kadang mereka berdiri di motor, tidak jarang juga setang mereka lepas dari genggaman agar menarik pengunjung untuk memberi saweran. Tidak peduli dengan keselamatan, yang terpenting penonton tersenyum senang. Namun dibalik kemeriahan tersebut, mereka hidup sangat sederhana dengan kehidupan yang jauh dari layak. Tak jarang mereka hanya bisa makan nasi dua kali dalam sehari. Sering kali mereka hanya tidur dibalik wahana. Bocor, becek, dan lembab merupakan hal biasa yang dirasakan saat hujan datang dengan tempat ala kadarnya. Tetapi semua itu demi satu kata, keluarga.
PESONA CAMELLIA Siti Amira Hanifah
Pada abad ke-8 Sebelum Masehi di daratan Tiongkok, tumbuhan teh (Camellia Sinensis) dahulu digunakan sebagai bahan obat-obatan oleh masyarakat setempat. Lambat laun, teh dikenal oleh masyarakat luas dan disajikan menjadi minuman yang dapat dikonsumsi di setiap musim. Kandungan antioksidan dan vitamin C dalam teh sangat bermanfaat bagi kesehatan. Sifat teh yang menghangatkan (Thermogenesis) dapat meningkatkan metabolisme tubuh. Pemilihan daun teh terbaik di perkebunan teh di Pangalengan, Kabupaten Bandung, terfokus pada pucuknya. Daun-daun segar yang baru muncul itu dipetik dan kemudian diolah menjadi sajian berkualitas. Dalam menjaga kualitas teh, perawatan dilakukan secara intensif menggunakan metode tradisional maupun modern. Perawatan tersebut meliputi pemupukan, pemangkasan dan pencegahan hama. Berbagai penelitian pun dilakukan untuk pengembangan kualitas teh yang lebih baik. Salah satu tempat penyajian teh terbaik di Jakarta dapat dirasakan di Lewis and Caroll Tea Cafe. Penggunaan metode penyeduhan modern dengan alat penyeduh otomatis, Alpha Dominche Steampunk, tak sedikitpun mengurangi rasa khas dari teh yang disajikan. Hal ini membuat para pencinta teh tak ragu untuk berkunjung, ditambah dengan tersedianya berbagai jenis teh dengan campuran herbal maupun buah-buahan. Selain di Lewis and Caroll Tea, banyak tersebar penikmat teh dengan latar belakang yang beragam. Teh ada di cangkir presiden, di dapur petani, menjadi teman ketika orang tua sedang membaca koran, juga dalam kemasan kotak yang digenggam anakanak. Rasa dan cara penyajiannya pun variatif, tidak selalu tawar atau manis. Bahkan dalam hal penyajian pun sudah beragam, tidak selalu tersaji dalam gelas-gelas bening. Kenikmatan teh juga dapat disajikan dalam keadaan panas dan dingin. Tanpa memandang kasta dan usia, teh mengakrabkan dan menghangatkan penikmatnya.
PULANG
Martini Handayani Mudik sebuah festifal kebudayaan yang banyak dinanatikan. Kampung halaman menjadi sangat teramat dirindukan setelah menunaikan bakti di perantauan. Meniti napak tilas dan mengingat kembali asal-muasal diri adalah filososfi dari mudik. Bersua dengan handai taulan menjadi upaya agar terus menjalin silaturahmi. Indonesia dikenal sebagai negara dengan ragam tradisi. Salah satunya adalah mudik, ritual tahunan yang tak dapat dipisahkan dengan masyarakat Indonesia. Biasanya, mudik dilakukan pada saat menjelang hari-hari besar seperti, Iedul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Mudik sendiri adalah gambaran bagaimana kebudayaan dan agama dibaurkan. Seperti yang dilakukan oleh keluarga Surtono (38) dan keluarga yang berasal dari Tegal. Keluarga yang telah menetap di Jakarta selama 10 tahun itu, biasa mudik pada saat menjelang hari raya Iedul Fitri. Raut riang Surtono tak bisa disembunyikan ketika bus yang akan mengangkut ia serta istri dan anaknya datang. Walaupun harus menunggu dan berebut kursi dengan pemudik lain. Hal yang dirasakan Surtono juga dialami oleh pemudik lainnya. seperti yang terlihat di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur para pemudiktelah memadati tersebut sejak dua minggu sebelum hari raya. Tujuan Para pemudik pun beragam seperti Tegal, Cilacap, dan Karang Pucung. Mudik mempunyai pesan dan pelajaran tersendiri, yakni penantian akan kepulangan. Pulang ke kampung halaman dan pulang kepada keabadian. Di manapun kita berada dan berjalan kemana pun, sejatinya kita sedang dalam perjalanan pulang.
Perawat Film di Sinematek Ayudya Annisa
Habis manis sepah dibuang mungkin itu peribahasa yang tepat untuk ratusan roll film yang tersimpan di Pusat Perfilman Yayasan H. Usmar Ismail, Setiabudi, Jakarta Selatan. selama bertahun-tahun puluhan roll film dirawat dan disimpan di ruang sinemantek. Tak banyak orang yang memilih untuk menjadi penjaga film. Seperti yang dilakukan oleh Firdaus. Ia telah mengabdikan 20 tahun untuk merawat gambar gerak tersebut. Beberapa temannya sudah pensiun dan sebagian lagi memilih hengkang, karena imbalan yang diterima jauh dari kata ideal. Bagi Firdaus menjadi perawat film bukan hanya sekadar profesi teteapi juga mandat. Dirinya mengaku mendapatkan amanat dari mendiang Misbach Jusa Biran sang pendiri Sinematek. Bapak beranak satu ini hanya berpenghasilan sekitar 2 juta rupiah. Penghasilannya selama ini dibantu dari penghasilan sang istri. Hanya ada 10 tahun masa kerja yang tersisa untuk Firdaus sebelum ia pensiun. Pihak yayasan belum juga mengambil langkah untuk melakukan regenerasi di sinematek. Jika Firdaus berhenti bertugas, dan tak ada penerus, maka film-film tersebut akan dibiarkan musnah dimangsa jamur.
LIKA-LIKU PEJUANG RINDU Firda Elfia Nora
Sejauh apapun kita berjalan, pergi, meninggalkan sesuatu, pada akhirnya selalu ada hal yang membawa kita kembali padanya, kampung halaman. Sebuah tempat dimana segala sesuatu bermula, cinta, kehangatan dan jati diri ini dibentuk. Pepatah berkata, “banyak cara menuju roma� begitu pula dengan kembali ke kampung halaman, selalu ada banyak cara. Jalan panjang, berliku, Transumatera, menjadi saksi bisu perjalanan para pemudik. Meskipun terkadang cara yang ditempuh mengabaikan keselamatan. Namun, hal itu tak dapat menghalangi sebuah hal yakni rindu yang teramat dalam akan kampung halaman. Mereka pulang dengan pelbagai cara seperti menaiki kendaraan umum ataupun kendaraan pribadi. Terkadang para pemudik harus rela berdesakkan bahkan, harus duduk di atap mobil angkutan umum. Meskipun jalan yang di tempu tak selamanya bagus, tetap saja terlihat beberapa pemudik tidak mengenakan atribut keselamatan berkendara. Perjalanan pulang selalu menyimpan ceritanya tersendiri. Jalanan seakan menjadi pita panjang rekaman akan cerita pulang menuju kampung halaman. Berlubang, berliku dan curam, tak kan pernah menjadi penghalang untuk kembali pada sebuah tempat dimana segala memoar melebur.
BAHAGIA ITU PILIHAN Fatimah
Selangkah demi selangkah kaki Pak Kusman mengelilingi kampung untuk menjajakan kerupuk dagangannya. Pak Kusman tidak berjalan sendirian, melainkan ditemani dua tongkat yang membantunya untuk berjalan. Sejak tahun 2011, Dokter memvonis kaki Pak Kusman mengidap osteoporosis dini. Situasi tersebut membuat keadaan Pak Kusman memburuk, mengingat indra pengelihatan pak Kusman tidak dapat berfungsi sejak lahir. Genap 10 tahun sudah pak Kusman bekerja sebagai staff costumer service di sebuah perusahaan swasta di daerah Jakarta Selatan. Ia merintis karirnya di bidang tersebut sejak tahun 1999-2009 namun, pria kelahiran Belitung ini harus merelakan pekerjaannya tersebut karena keterbatasan fisik. Seiring dengan berkembangnya zaman perusahaan-perusahaan padat modal semakin selektif dalam memilih tenaga kerja. Begitupun dengan perusahaan tempat pak Kusman bekerja. Semenjak di PHK, pak Kusman menganggap dirinya sudah tidak pantas lagi bekerja di perusahaan tempatnya menyambung hidup. Pada akhirnya ia memutuskan untuk berjualan kerupuk keliling. Ia menekuni usahanya tersebut dari tahun 2009 sampai sekarang. Ada saja cara orang memanfaatkan situasi dengan kondisi fisik Pak Kusman yang tidak normal. Tak sedikit orang yang mencuri kesempatan dengan berpura-pura membeli kerupuk dagangannya akan tetapi orang tersebut malah mengambil keuntungan dengan mencuri kerupuk beserta uang hasil Pak Kusman berjualan. Hal ini sangat merugikan dirinya sehingga, ia harus meminjam uang untuk modal berjualan kembali. Pak Kusman hanya bisa pasrah dengan ujian yang ia alami. Baginya, semua ujian yang diberikan Tuhan akan semakin menguatkannya untuk dapat bertahan hidup. Ia meyakini bahwa “bahagia itu pilihan, pilihan ingin memiliki perasaan bahagia dengan segala yang diberikan sang pencipta atau terpuruk dengan keadaan.� Semangat dan kekuatan yang dimiliki Pak Kusman tak berarti apa-apa tanpa adanya dukungan dari sang istri. Uning Sunarsih (35 tahun) merupakan istri dari Pak Kusman, ia adalah wanita hebat dan kuat yang tak pernah mengeluh dengan kekurangan suaminya. Manager, merupakan panggilan untuk sang istri karena menurutnya sang istri lah yang mengatur semua keperluannya, mulai dari mengurus rumah tangga sampai ikut berkecimpung dalam mencari nafkah. Mengantarkan Pak Kusman ke tempatnya berjualan kerupuk, sudah menjadi rutinitas Sunarsih setiap jam 12 siang. Ada beberapa pilihan tempat yang menjadi sasaran pencarian nafkah, yaitu di Komplek Kedaung, Asrama Brimob dan Pasar Ciputat. Pada pukul 16:00 WIB Sunarsih kembali menjemput suaminya. Semua itu dilakukan demi membantu sang suami mencari nafkah yang halal untuk keluarga. Pak Kusman tinggal disebuah kontrakan sederhana dengan istri dan seorang anak. Pak Kusman dan Ibu Uning Sunarsih dikaruniai seorang anak perempuan berusia 11 tahun bernama Sofi yang kini duduk di bangku kelas 5 SD. Selain cantik, sofi juga merupakan anak yang baik walaupun Ia selalu diejek oleh teman-temannya karena memiliki ayah yang tidak normal, akan tetapi Ia merasa bangga memiliki sosok ayah seperti Pak Kusman. Demi mengekpresikan rasa bangga terhadap ayahnya, sofi menuliskan di sudut dinding rumah mereka dengan tulisan, “abi item, tapi abi ganteng�. Selogan itu datang dari dalam dirinya sendiri, meski terdengar lucu, selogan tersebut memiliki kebanggaan tersendiri untuk ayahnya.
Ondel-ondel Jalanan Irfan Farhani
Ondel-ondel merupakan satu di antara sekian banyak kesenian Betawi yang masih bertahan di Jakarta. Bagi sebagian warga Betawi, Ondel-ondel menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup mereka, seperti Mpok Minah atau akrab dipanggil Emak. Bersama anggota sanggar Irama Adelia Mpok minah rutin mengikuti arak-arakan ondel-ondel mengamen di keramaian ibu kota. Sanggar ini banyak beranggotakan remaja bahkan anak-anak. Robi salah satunya, remaja putus sekolah ini bertugas mengiring tarian ondel-ondel dengan Tehyan. Setali tiga uang, Rojak anggota termuda dalam rombongan mengaku sudah tidak sekolah sejak kelas tiga sekolah dasar, meski sempat dilarang oleh orang tuanya, Rojak yang kini berusia 11 tahun enggan hengkang dari sanggar, alasannya untuk menambah uang jajan. Perjalanan mengamen dimulai dari Kemayoran Jakarta Pusat, menunggang mobil sampai ke wilayah mengamen. Dari hari terik sampai gelap malam rombongan Sanggar Irama menyusuri jalanan ibu kota. Satu pasang barongan, Monas dan Rodaya beserta alat musik pengiring setia menemani perjalanan mereka, dari keramaian ke keramaian mengais rupiah. Sedikit banyak hasil yang didapat dibagi rata semua anggota.
Penyembelihan Ular Syah Rizal
Kulit ular bisa menjadi bahan kerajinan berbagai aksesoris manusia laiknya sabuk, tas, dompet, atau sepatu dari kulit ular. Kerajinan kulit ular tersebut sudah ditekuni oleh masyarakat Desa Kertasura, Kapetakan, Cirebon. Warga desa tersebut meyembelih ular dan mengirim ribuan kulit ular setiap minggunya. Kulit ular di pabrik ini disediakan Wakira “Bos Kobra�, yang memiliki sebuah rumah jagal yang menyediakan kulit dan daging ular. Wakira mempekerjakan 10 pekerja dan menghasilkan 15 juta rupiah tiap bulannya dari industri ini. Setelah membunuh ular-ular, warga Desa Kertasura akan menyayat kulit ular secara perlahan dan melepaskan dari badannya dari arah kepala ke arah ekor. Tanpa perlakuan khusus, kulit ular yang baru terlepas akan menggulung dan melilit. Demi mengatisipasinya, para pengrajin ular segera mengeringkannya di atas papan dan memasukannya ke dalam oven. Terakhir, kulit dijemur di bawah sinar matahari dan dikirim ke pabrik penyamakan kulit. Ular yang dicabut kulitnya begitu mengenaskan nasibnya. Ular tersebut pasti mati satu dua hari kemudian. Bagi para pencinta hewan, kegiatan tersebut begitu melukai perasaan. Bagi orang yang jijik atau takut dengan ular, aktivitas tersebut bisa membuat mual. Tapi tidak bagi orang-orang yang bermata pencaharian dari bisnis kerajinan kulit ular tersebut.
BIKE FOR LIFE Agung Suryono
Bulir peluh membasahi dahi. Diterpa terik terbakar mentari. Terhempas deru mesin, tersisih bising kenalpot. Demi menjaga hidup terus berputar, roda terus digenjot gencar. Jakarta, kota yang jamak dijadikan tujuan impian mengukir cita. Tempat dipertaruhkannya harapan atas mimpi sejak lama. Dengan bermodalkan niat, tak ada yang bisa menghalangi tekad. Beragam jenis profesi bisa dikerjakan di Jakarta. Salah satunya, segala usaha yang dilakukan dengan bantuan sepeda. Ya, sepeda. Sebuah kendaraan sederhana, ramah lingkungan, dan mudah digunakan. Untuk sebagian orang, sepeda hanyalah kendaraan semata, yang frekuensi penggunaannya pun tersingkir oleh eksistensi kendaraan bermotor. Namun, untuk segelintir orang sepeda menjadi barang yang berharga, begitu nerjasa, dalam prosesnya merintis kehidupan di Jakarta. Sepeda dijadikan alat, atau lebih tepatnya disebut ‘teman’ untuk berburu rezeki. Seumpama sepeda, rantai adalah sepeda itu sendiri, manusia adalah gerigi, dan kehidupan adalah roda. Besar kecilnya usaha akan mengayuhkan manusia itu ke puncak perputaran roda kehidupan. Manusia yang merencanakan, tuhan lah yang menentukan. Dengan segenap usaha yang telah dilakukan, hidup akan terasa ringan dengan bersyukur. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pejuang nafkah ini, “lakukan apa yang masih bisa dilakukan dan syukuri berapapun yang didapatkan�, ujar Rohmat (44), penyedia jasa ojek sepeda. Dengan harapan besar yang menggantung pada setiap kayuhan. Meniti makna kehidupan agar kelak meraih yang diinginkan.
MASJID LAUTZE, ISLAM BERNUANSA ORIENTAL Cempaka Maulidya Chairunnisa
Di tengah himpitan ruko (rumah toko) kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, suara azan berkumandang dari sebuah bangunan bergaya Tionghoa. Mengalun dan menggema bersaing dengan suara riuh lainnya. Bangunan tersebut ternyata sebuah masjid yang dibangun oleh Yayasan Haji Karim Oei, komunitas muslim keturunan Tionghoa. Masjid yang diresmikan oleh wakil Presiden ke-7 Republik Indonesia pada masa itu yakni B.J. Habibie pada 1994 itu dinamakan Masjid Lautze. Sebagian orang yang baru melihat bangunan itu mungkin akan mengira sebagai klenteng – tempat beribadah umat Konghucu. Desain bangunan yang menyerupai klenteng dan bernuansa oriental a la negeri tirai bambu itu menjadi daya tarik etnis Tionghoa untuk datang ke masjid tersebut, baik muslim maupun non muslim. Masjid yang sudah ada sejak era Orde Baru tersebut menjadi tempat dimualafkannya ribuan warga etnis Tionghoa. Masjid Lautze juga menampilkan data mualaf setiap tahunnya. Pada tahun 2015, 88 orang mengucapkan kalimat syahadat di Masjid ini. Keberadaan Masjid Lautze menunjukkan bahwa agama yang bersifat universal dan tak memandang ras, ataupun asal usul seseorang. Setiap manusia dari manapun asalnya, berhak memeluk keyakinan apapun yang diinginkannya tanpa memperdulikan latar belakang etnis dan profesi. Sebagaimana yang telah dijanjikan oleh kitab suci dan undang-undang dasar, bahwa setiap orang bebas untuk berkeyakinan dan tidak ada paksaan.
Harmoni di Karangturi Denny Aprianto
Memelihara toleransi antar umat beragama, etnis, dan budaya di Indonesia tidaklah sulit. Kita hanya perlu lakukan apa yang sudah dicontohkan oleh nenek moyang kita. Setidaknya itulah yang dilakukan Gus Zaim, pengasuh Pondok Pesantren Kauman, Lasem, Jawa Tengah. Pondok Pesantren Kauman berdiri dan hidup berdampingan di tengah kampung pecinan Desa Karangturi, Lasem. Desa Karangturi bisa dikatakan sebagai refleksi dari toleransi. Bangunan khas china dan budaya masyarakat jawa membaur menjadi satu. Gerbang pintu pondok pesantren kauman contohnya, pintu besar berwarna hijau dengan dua ukiran kalimat china menjadi hal yang menarik perhatian. Gus Zaim mengatakan, arti dari kedua kalimat itu masalah “panjang umur setinggi gunung� dan “luas rezeki sedalam lautan.� Melalui bentuk bangunan di desa ini, kita bisa melihat perpaduan beragam budaya, agama, dan ras menjadi indah. Kuncinya yaitu hidup saling membantu dan satu tujuan menuju kebaikan. Desa Karangturi, Lasem mengajarkan kita bahwa perbedaan tidak menjadi pembatas dalam kehidupan sosial. Bisa dibilang desa ini adalah ikon toleransi di Indonesia. Beragam agama, etnis dan budaya bisa hidup saling menebar senyum tanpa memandang minoritas atau mayoritas, pun pribumi dan non pribumi.
BERUBAHKU KARNA PERGAULAN Chintya Anggraini
Diantara gemerlap kelap-kelip lampu disko, berjajar perempuan cantik dangan memamerkan lenggak-lenggok tubuhnya. Gambaran itu dapat kita lihat di tempat prostitusi. Hidup sebagai penghibur nafsu bukanlah hal mudah. Apalagi setiap harinya harus melayani lelaki hidung belang yang tak tahu asalnya dari mana. Dengan imingan sejumlah uang, mampu mengalahkan rasa malu dan dosa terhadap Tuhan. Mendesaknya kebutuhan ekonomi, mampu memendekkan pola pikir untuk mencari uang dengan cara tak halal. Pemenuhian kebutuhan hidup adalah hal terpenting untuk makan sehari-hari, beli baju dan style yang kekini-an. Rata-rata dari mereka yang ditangkap adalah gadis remaja dan perempua paruh baya. Kemudian mereka dibawa ke Panti Sosial Bina Karya Wanita (PSBKW) Harapan Mulya Kedoya yang terletak di kawasan Kedoya, Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Mereka direhabilitasi selama enam bulan dan dibina. Keseharian mereka penuh dengan aktivitas yang bermanfaat. Mulai dari Shalat Subuh berjamaah, membersihkan wisma masing-masing dengan jadwal piket yang sudah diatur oleh kepala kamar hingga membuat keterampilan sesuai bakat dan keinginan masing-masing. Keterampilan yang diberikan berupa tata boga, kerajinan tangan, menjahit dan salon yang dilakukan setiap pagi Selasa dan Rabu. Kayana (bukan nama asli) berusia 20 tahun merupakan perempuan muda yang terjaring di Bulan Ramadhan, 13 Mei 2016 di wilayah Jakarta Barat. Wanita berparas cantik asli Bogor ini merantau ke Jakarta sejak ia menamatkan bangku Madrasah Aliyah (setara SMA). Berada di pesantren semenjak kecil mengajarkan mana yang haram dan yang halal. Dari cara berpakian seorang muslimah yang menutup aurat, berjilbab panjang, memakai kaos kaki, tidak boleh saling bertatapan dengan lawa jenis. Hal ini menjadikan ia ingin keluar dan ingin merasakan bagaimana kehidupan di Ibu Kota Metropolitan, Jakarta. Perempuan ke 6 dari 7 bersaudara ini pun membuka lembaran baru di Ibu Kota. Susahnya mengadu nasib dan ketatnya persaingan membuatnya lupa diri. Berawal dari bekerja di sebuah pijat refleksi yang mengharuskannya untuk mengenaka kaos lengan pendek. Ia bisa mendapatkan bayaran mulai dari Rp 800.000 hingga Rp 2.000.000 per malamnya. Setiap kali ada panggilan Ia harus siap melayani dan nego harga sesuai yang telah ditarifkan. Pelanggannya pun bukan asal-asalan, mulai dari orang berpangkat, pengusaha hingga anak konglomerat. “Pada saat itu saya sedang menemui teman dan tidak sedang tidak ada panggilan. Tiba-tiba dari ada laki-laki berbadan tinggi besar yang menutupi wajahnya dengan masker, menyergap saya dari belakang. Spontan saya tidak bisa lari dan langsung di masukkan ke dalam mobil Satpol PP”, ujar Kayana saat dilakukan wawancara. Tanpa proses lama, Ia langsung di bawa ke kantor untuk dimintai keterangan. Ia tidak bisa dilepaskan karena tidak memberi tahu keluarganya yang berada di Bogor. Maka, dibawa ke PSBKW di Kedoya, Jakarta Barat untuk direhabilitasi dan dibina selama enam bulan. “saya tidak akan mengabari keluarga kalau saya terjaring. Karena disini masih bisa telpon sekali seminggu jadi tidak apa-apa. Daripada mereka tahu dan jadi malu. “Mungkin begini cara Allah menegur. DIA tahu saya sudah jauh tetapi ia tetap sayang dengan menitipkan saya di panti ini. Mendekatkan diri pada-Nya, menghapus cerita kelam dan bersosialisasi dengan mantan ‘kupu-kupu malam’ lainnya agar menjadi wanita yang lebih baik.” Ucapnya.
Menjaring Sampah Ibukota Syifa Alfiah
perlahan perahu rakit motor mulai melaju menelusuri kanal yang nampak berwarna hijau kehitaman. Perahu rakit itu dinahkodai oleh para petugas penjaring sampah. Bermodalkan galah bambu yang dipasang dengan bekas jaring kipas angin yang dibuat sendiri. mereka mulai menjaring sampah untuk dikumpulkan ke dalam perahu sebelum diangkut ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Tenaga manual para petugas hanya mampu meraih sampah yang tertangkap oleh mata. Tetap dibutuhkan tenaga berat untuk membersihkan lumpur yang menumpuk di kedalaman kali. Tanaman liar yang tumbuh di pinggir kali juga dibersihkan untuk memperindah wilayah Banjir Kanal Timur (BKT) di wilayah Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur. Para petugas pembersih sampah mulai mengarungi BKT pada pukul 8 pagi. Biasanya mereka hanya bisa membersihkan sampah sepanjang 6 kilometer di setiap titik wilayah. . terkadang jika persediaan bensin habis, perahu tidak dapat berjalan sesuai beban operasional. Namun, bukan berarti mereka bebas dari tugas. memilah sampah menjadi alternatif lain untuk mengisi waktu lenggang. sampah yang telah di pilah akan di daur ulang kembali. Hal itu dapat meminimalisir sampah agar tidak terlihat berserakan. Pelbagai macam jenis limbah banyak ditemukan di kanal Ibu Kota tersebut. mulai dari sampah pelastik, bangkai binatang, pakaian, dan barang-barang bekas yang dibuang ke dalam BKT. Bau yang teramat menyengat dari berbagai jenis limbah sudah akrab dengan indra penciuman para petugas BKT. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat kerja mereka. Permasalahan sampah di Jakarta tidak akan selesai hanya dengan mengandalkan kebijakan pemerintah. Sementara perilaku warga membuang sampah sembarangan tidak segera dibenahi. Banjir Kanal Timur (BKT) yang seharusnya mengurangi ancaman banjir justru dapat menjadi pemicu banjir karena dipenuhi sampah. Hal ini memerlukan penanganan yang komperhensif untuk mengatasi sampah yang mengotori Banjir Kanal Timur (BKT). Tentu saja harus didukung dengan perilaku warga agar tidak membuang sampah sembarangan. Sehingga kenyaman dan kebersihan lingkungan dapat diarasakan oleh setiap warga Jakarta. Juga hasil kerja keras petugas pembersih tidak terus menerus terkesan sia-sia.
NANTI, HANYA AKAN TINGGAL KENANGAN Lulu Mawaddah
Hari ini jakarta banyak ditanami oleh benih-benih baja. Tak ayal pemandangan jakarta bukan lagi rimbun pepohonan atau hijaunya tanaman, melainkan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Tetapi, di daerah Rorotan, Jakarta Utara, warga sekitar memilih bertahan untuk bercocok tanam di lahan tidur milik perusahaan. Di lahan yang cukup luas tersebut, para petani ibukota terlihat masyhuk membajak sawah dan menanami berbagai jenis sayuran. Mereka memanfaatkan lahan tersebut sebelum beralih fungsi menjadi Mall, Ruko, atau kawasan Industri. Lahan calon industri itu, di sewakan oleh mandor tanah sebesar Rp.50.000.00 perbulan. Selain menjadi area bercocok tanam, tanah yang dijuluki “Tanah si PT 25’ tersebut diapakai oleh anak-anak untuk bermain. Anak-anak tersebut bisa bermain layang-layang dan menikmati sore . walaupun mereka tahu, jika suatu saat nanti tempat bermainnya akan hilang ditelan para pemilik modal.
KOPI PAGI
Aminatuz Zuhriyah Secara terminologi Kata kopi sendiri berasal dari Bahasa Arab qahwah yang berarti kekuatan, karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Kata qahwah kembali mengalami perubahan menjadi kahveh yang berasal dari Bahasa Turki dan kemudian berubah lagi menjadi koffie dalam Bahasa Belanda. Penggunaan kata koffie segera diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang sangat populis hari ini. Kopi merupakan minuman tanpa kelas, minuman berampas ini bisa dinikmati siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan tentunya dengan harga yang berbeda-beda. Kopi memiliki beraneka ragam cara penyajiannya. Begitupun jenis kopi yang begitu banyak cita rasa nan berbeda-beda, seperti Robusta dan Arabica. Biasanya, kopi dinikmati saat pagi dan malam hari ataupun di waktu-waktu senggang. Kopi seolah menjadi teman bagi beberapa orang yang ingin memulai aktifitas. Aroma dan rasanya begitu akrab bagi masyarakat. Bahkan Joko Pinurbo dalam puisinya berbicara tentang Tuhan yang sedang menikmati kopi ketika menciptakan Puisi.
JEJAK MANUSIA Anzalia Silma
“Bau!� mungkin kata yang paling sering terucap ketika mendatangi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang Tangerang Selatan. TPA yang berjarak 1 km tepat di belakang perumahan elit tersebut mampu menampung 150 ton sampah dalam setiap harinya. Tampak beberapa warga sedang memilah sampah-sampah untuk di daur ulang. Lalu-lalang serta suara sayap kepakan lalat tidak menyulutkan tekad mereka untuk mendulang rupiah. Sampah sampah yang telah dipilah tersebut akan dikategorikan sesuai jenis sampah, seperti organik dan non-organik. Sampah plastik biasanya dijual kepada pengepul untuk didaur ulang kembali oleh pabrik. Sedangkan yang non-organik biasanya menjadi pupuk untuk tanaman. Sayangnya keterbatasan alat dan waktu produksi yang lama, membuat beberapa pekerja enggan untuk memproduksi pupuk. Upaya pengurangan sampah dengan membuat inovasi-inovasi terus dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parigi Lama, Bintaro, Tangerang Selatan. Masyarakat didaerah tersebut membuat inovasi bertajuk Intermediate Treatment Facility (ITF). Dengan semangat bergotong royong masyarakat Desa Parigi mengelola sampah dengan cara ITF. Upaya itu telah membuahkan hasil, setidaknya sudah 70 ton sampah terkelola dan dapat didaur ulang. Begitulah potret kecil pekerja pengelola sampah serta para pemulung dibalik tumpukan sampah raksasa TPA Cipeucang. mereka hidup bergelut dengan jejak manusia yang terbuang. Apresiasi besar bagi mereka yang mendaur ulang jejak kita.
BILIAR KOLONG TOL Atika Fauziyah
Canda, tawa, cerita dan dahaga berkelindan bersama ayunan tongkat yang mengarah pada bola berwarna warni ditengah meja. Gelak tawa kerap terdengar di antara suara benturan bola. Gedung bersejarah tempat Belanda pernah bermarkas di Jakarta menjadi saksi bisu. Tulisan VOC di wajah gedung menatap diam setiap orang yang keluar masuk bangunan bermeja biliar di seberang jalan. Mereka adalah pemain profesional kelas bawah. Kerjanya berupa menyupir truk, angkot, atau berdagang Kolong tol yang menjadi tempat bernaung tidak penah menjadi masalah. Mereka lesap, melupakan persoalan hidup yang mengikuti dari belakang. Datangnya bulan dan matahari seolah tak pernah terasa. Satu-dua orang pertama mengisi meja dengan bola tersusun rapi di tengahnya. Lama kelamaan jejeran meja itu semakin disesaki oleh orang yang menginginkan pelampiasan. Rumah menjadi kata yang tepat untuk beberapa orang yang hinggap di sini. Mereka hanya perlu mengeluarkan lima ribu rupiah untuk menjadi juara di meja tipe 7ft dan 8ft. Setelah puas, mereka akan kembali bekerja mencari uang, dan kembali mencari kepuasan di bangunan dengan hiburan berupa biliar.
PANGGUNG PANJANG MUSISI JALAN Fathra Abdul Rachman
Panggung megah dengan gemerlap lampu sorot, pengeras suara yang menggema, riuh tepuk tangan penonton, serta pembawa acara kinyis-kinyis ber-make up tebal mungkin akrab dengan konser musik musisi besar. Namun semua itu tak berlaku bagi pengamen jalanan. Demi mengumpulkan pundi-pundi uang receh saja, mereka harus berjibaku seharian melangkah dari pintu ke pintu. Meski tak jarang hanya kata “maaf� yang didapat. Niat menghibur terkadang berbanding terbalik dengan pandangan masyarakat. Kehadiran pengamen sering kali dicap sebagai pengganggu. Selain itu, penampilan mereka yang bertato, tindik, serta celana sobek-sobek menambah perspektif negatif di mata masyarakat. Namun bagi mereka (pengamen), penampilan demikian merupakan bagian dari bentuk ekspresi diri. Tidak begitu besar yang mereka harapkan hasil dari mengamen. Asalkan cukup buat beli sebungkus nasi, itu sudah syukur. Jika nasib sedang mujur mereka bisa sedikit berfoya untuk sejenak melupakan getir kehidupan. “Kalau ada rezeki lebih, saya abisin untuk ngopi bareng kawan-kawan sambil ketawa-ketiwi,� kata Yandi (34) pengamen yang biasa beroperasi di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan. Di samping motif ekonomi, mengamen juga sebagai penyalur hasrat seni bagi mereka. Ada kepuasan batin yang tidak bisa ditakar dengan angka. Bernyanyi dan memainkan alat musik sudah menjadi bagian hidup. Entah di mana takdir akan bermuara. Hanya satu yang dipercaya, Tuhan selalu bersama mereka, musisi jalanan.
MEMBUNUH WAKTU DI BANGUNAN TUA Jasmine Nurfitri Yamandarie
The Old Batavia atau yang sering disebut Kota Tua adalah sebuah wilayah kecil dengan suguhan bangunan-banguan klasik. Terletetak di Utara Jakarta, salah satu cagar budaya ini menjadi destinasi yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan lokal maupun manca negara. Biasanya para wisatawan datang pada akhir pekan atau di hari-hari libur. Para wisatawan biasanya datang untuk sekadar berjalan-jalan, berburu foto, dan belanja pernak pernik. Selain itu, para wisatawan bisa menikmati sensasi Jakarta tempo dulu dengan cara bersepeda menggunakan onthel. Nuansa klasik di Kota Tua, bisa disaksikan pula melalui balik jendela-jendela Museum Fatahillah. Selain bisa menikmati keindahan bangunan lama, Para wisatawan dapat menikmati pertunjukkan pusparagam seperti manusia patung, orkestra boneka, dan Ondel-ondel. Para seniman jalanan itu rutin menampilkan aksinya di Kota Tua. Melalui pertunjukan tersebut para seniman jalanan mempunyai dua peran sekaligus, sebagai profesi dan penjaga seni.
LAYANG-LAYANG Lilis Suryaningsih
“Tarik... ulur... awas jangan sampe putus layangannya� Begitu teriak seorang anak sambil tergesa-gesa menarik benang layangannya. Anak-anak itu biasa menerbangkan layang-layang di atas puing-puing beton sisa pembangunan jembatan. pembangunan memang dapat menghilangkan ruang tempat bermain untuk anak-anak. Namun, pembangunan tidak dapat menghilangkan keceriaan yang seharusnya dimiliki anak-anak. Orang yang paling berjasa atas keriangan anak-anak tersebut adalah Nur Alim (37) seorang pedagang layangan-layang di daerah Jembatan Baru, Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Bang Nur begitu sapaan akrabnya, lelaki berkursi roda itu sangat gigih mencari nafkah untuk keluarganya.. Keterbatasan fisik tidak menjadi pengahalang baginya walaupun ia harus Menempuh perjalanan 2,5 km atau sekitar satu jam untuk sampai ke tempat dia berjualan. Sudah tiga tahun setiap hari mulai pukul tiga sore layang-layang miliknya digemari anak-anak yang sudah tak sabar ingin layang layang. Seribu rupiah untuk sebuah layang-layang, dan 20.000-60.000 Rupiah untuk harga benangnya. Kecintaanya terhadap layang-layang sejak kecil telah tumbuh dan membuatnya semakin termotivasi untuk berjualan. Sebelumnya ia pernah membuka usaha warung kecil namun tak bertahan lama,ia pun memilih berjualan layang-layang kembali sesuai dengan hobinya. Mungkin Bang Nur sedang mengaplikasikan sebuah pepatah yang menyebutkan “Pekerjaan yang baik dan benar adalah hobi yang dibayar,�
MENGAIS REZEKI DARI PALANG PINTU KERETA Ari Anggeliya
Dari dalam gubuk kusam berukuran kecil, terlihat ibu paruh baya memandangi lalu lalang kendaraan di depannya. Sembari menggenggam seutas tali, wanita itu selalu bersiap melintangkan dua buah bambu yang terletak bersebrangan. Mengahadang bahaya demi keselamatan setiap pengendara. Bakti tanpa gaji itu dilakoni oleh Sri Wiyani (57). Janda beranak empat yang telah mengabdikan dirinya sebagai sukarelawan penjaga palang pintu kereta di Jalan Gusti Ngurah Rai, Klender, Jakarta Timur. Rel itu menjadi tanggung jawab Sri setelah mendiang suaminya meninggal 33 tahun yang lalu. Tak ada yang istimewa di ruangan tempat dirinya berjaga, hanya secangkir teh hangat dan tasbih yang senantiasa melingkar ditangan kirinya. Dalam penantiannya menyambut kendaraan massal beroda besi tersebut. Sri selalu menjalankan fungsi ganda sebagai manusia yang menjaga sesamanya dan hamba yang harus terus mengingat Tuhannya. Kotak kayu kecil berwarna coklat pucat dengan ukuran 30cm x 15cm selalu disiapkan Sri untuk menampung sumbangan pengendara dan pejalan kaki. Selama ini dia bekerja tanpa imbalan. Sri hanya mengandalkan sumbangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun tak jarang, pengendara hanya melintas tanpa memberikan sumbangan. Penghasilan yang didapat dari menjaga palang pintu kereta tidak begitu besar. Hanya sekitar Rp50.000 setiap harinya. Uang itu nantinya akan dibagi kepada anak dan cucu kesayangannya. Terkadang, perempuan yang selalu memakai caping gunung itu menyempatkan diri berjualan makanan kecil dan gado-gado lontong di depan rumahnya yang berukuran tidak terlalu besar dibantu oleh anak dan cucunya yang masih tinggal serumah. Dia juga memelihara beberapa ayam negeri untuk dikonsumsi pada saat bertelur. Bagi Sri, perjalanan hidup tidak hanya sekadar berbicara perihal jumlah nominal penghasilan. Tetapi juga pengabdian yang harus disegerakan dan tak boleh diabaikan.
SILATURAHMI DENGAN PASEBAN Habib Fadli Zein
Rambut di kepalanya sudah tipis dan memutih, termakan usia yang kini menginjak 80 tahun. Tubuhnya tak renta meski usianya sudah senja. Bahkan dia masih aktif mengajarkan pelbagai jurus silat paseban lama di kediamannya, Jalan Kencana I Kebon Duren, Depok. Namanya Salim bin Sanin, tapi dia lebih akrab disapa Engkong (kakek) Salim. Murid-muridnya rela datang dari penjuru daerah untuk belajar silat Paseban pada Engkong Salim. Latar belakang muridnya pun beragam, mulai dari karyawan, pejabat hingga profesor. Tapi, untuk saat ini Kong Salim tak lagi mengajarkan silat paseban ke anak-anak. Dia khawatir ilmu yang ditransfer tidak terserap dengan baik karena anak-anak lebih sering bercanda saat latihan. Apalagi orang yang mempelajari silat paseban diwajibkan mengedepankan dzikir. Kong Salim mempelajari silat Paseban saat masih bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) atau setara Sekolah Dasar (SD). Gurunya saat itu Mama Saleh, sebagai pencipta silat Paseban yang lahir di Gang Kenari, Paseban, Jakarta Pusat. Dari sekian banyak murid Mama Saleh, hanya Kong Salim yang masih hidup dan meneruskan mengajarkan silat Paseban. Murid Mama Saleh bertugas mengembangkan dan memperkenalkan silat aliran Paseban. Salah satunya Kong Salim yang mengaku mengembangkan aliran Paseban lama di Depok sejak 1980, saat dia masih berstatus PNS di salah satu BUMN transportasi, PT Kereta Api Indonesia. Ada enam jurus yang dipelajari silat paseban. Namun tidak ada nama khusus seperti kebanyakan jurus di aliran silat lain. Meski ilmunya cukup tinggi, dia mengaku hanya menggunakannya untuk mewarisi budaya silat pada generasi muda. Dia tidak pernah beradu kesaktiannya dengan pendekar dari perguruan silat lainnya. Dalam pemahamannya, ilmu silat bukan untuk bela diri, melainkan menjaga diri. Baginya, dua kata itu memiliki arti yang bertolak belakang. `Kong Salim hanya memiliki satu anak yang memang tidak begitu tertarik dengan mengikuti jejak ayahnya. Karena itu Kong Salim tidak mewariskan ilmu silat paseban kepada darah dagingnya sendiri. Atas perhatiannya pada keberlanjutan silat paseban, Kong Salim mendapatkan penghargaan sebagai pelestari budaya yang diberikan oleh Forum Pencinta dan Pelestari Silat Tradisional Indonesia.
foto pameris
foto pameris
apaan
nkek
credit title
BACK COVER