ANALISA PERMASALAHAN KEMISKINAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF TEORI MODERNISASI DAN DEPENDENSI 1. Latar Belakang Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek di masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang diciptakan oleh pembangunan membawa dampak yang menyertainya sangat mengerikan dan kompleks, karena ternyata telah melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Bentuk kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah suatu bentuk yang masih semu termasuk di kota Yogjakarta. Untuk program pembangunan khususnya dalam mengatasi kemiskinan Pemerintah Yogjakarta sendiri sudah menggulirkan berbagai skema program penanggulangan kemiskinan yang secara umum memberikan dua bentuk bantuan. �Jadi bentuk bantuannya bisa dibagi dua. Satu penyelamatan, satu pengembangan. Yang penyelamatan itu untuk memperingan beban dia itu lho. Jangka pendek, termasuk raskin, kemudian bantuan beasiswa sekolah,� ungkap Djandjang, Litbang Bappeda Kota Yogyakarta . Sedangkan bantuan yang sifatnya pengembangan, umumnya berbentuk pembentukkan dan pemberdayakan kelompok usaha ekonomi masyarakat baik yang berskala kecil maupun mikro. Garis besarnya, pemerintah menyuntikkan modal dan memberi pendampingan. Suatu program biasanya mencakup pula pelatihan ketrampilan, kewirausahaan, manajemen, yang disertai pula dengan pendampingan. Asal sumber dananya yang dari APBN maupun hutang dari lembaga donor seperti Bank Dunia. Pola-pola program tersebut tentunya didasarkan pada definisi dan indikator kemiskinan yang ditetapkan pemerintah pusat , serta definisi keluarga miskin yang di tetapkan pemerintah kota Yogjakarta sendiri . Beberapa program yang kini dijalankan di Yogjakarta antara lain: Program Bantuan Modal Pinjaman Lunak dan Koperasi (BMPLK); Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK) dari BUMN; Dana Bergulir Usaha Kecil Industri dan Dagang (DBUKID); Bantuan Usaha Ekonomi Produktif Kelompok Anggrek dan Pemanfaatan Pekarangan (BUEPKAID); Peningkatan Pelayanan Usaha Sosial Ekonomi Produktif (P2USEP); Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP); Tenaga Kerja Mandiri (TKM); Program GRAMEN BANK; Program Perluasan Kerja Sistem Padat Karya Program Awal Tahun dan Padanan; Program Kompensasi Subsidi Dana Bergulir Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM); Beasiswa Supersemar, Lembaga Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit Pedesaan; Pinjaman Tenda Bagi Pedagang Kaki Lima. Namun kebijakan dan program yang dilakukan pemerintah ini menjadi kontradiktif karena di wilayah Kota Yogyakarta hingga bulan Februari 2006, menurut data Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta, jumlah keluarga miskin (gakin) ternyata masih banyak hingga menembus angka 31.367 Kepala keluarga dari jumlah total 81.859 KK yang ada. Sederhananya, 3 dari 10 orang penduduk Yogyakarta tergolong miskin. Kelurahan
Prawirodirjan, Pringgokusuman, Bener, dan Kricak termasuk daerah dengan penduduk miskin mencapai 30 persen dari seluruh penduduknya. Persentase penduduk miskin di 41 kelurahan lainnya umumnya kurang dari sepertiganya, dengan porsi bervariatif. Angka ini merupakan turunan dari kriteria kemiskinan yang tertera di Peraturan Walikota Yogyakarta No. 39/2005 tentang penetapan parameter kemiskinan Kota Yogyakarta. Sementara itu, jumlah penerima beras miskin (raskin) di Kota Yogyakarta ada 22.719 gakin. Jumlah gakin di kota gudeg ini lebih kecil lagi jika merujuk data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahap I yakni 13.354 gakin, yang kriterianya mengacu Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan melihat fenomena kemiskinan yang masih banyak di Yogjakarta Edi Suhartono, pakar kebijakan sosial dan juga Ketua Tim Peneliti Depsos RI mengingatkan, terlepas dari persoalan bentuk bantuan maupun hal-hal teknis lainnya, Edi menekankan kejelasan paradigma dalam kebijakan penanganan kemiskinan. Faktanya, Edi melihat banyak gejala kontradiktif. Pemerintah giat membantu permodalan UKM, tapi di sisi lain, kebijakan menaikkan BBM juga mencekik UKM. Belum lagi, pada saat bersamaan, pemerintah mengizinkan membludaknya retail industry seperti mal, hypermart, dan warung kelontong franchise masuk sampai pelosok. ”Saya berani taruhan, bapak latih saya sampai kiamat (diberi keterampilan dan modal), kalau di sini masuk supermarket, kapan bisa bersaing melawan supermarket itu?” sergah Edi. Ini semua menurut Edi merupakan tipikal paradigma neoliberalisme. Demi pertumbuhan ekonomi yang cepat, sektor modern-padat kapital harus diutamakan. Demi pertumbuhan pula, investasi industri produksi maupun retail direlakan menggusur tempat tinggal sekaligus lahan ekonomi masyarakat miskin. Logikanya, pertumbuhan ekonomi memerlukan investasi. Investasi bisa terjadi jika program rekapitulasi perbankan berjalan. Artinya, pemerintah harus mampu menyuntikkan dana triliunan rupiah kepada bank-bank yang kreditnya macet. Perusahan-perusahan besar milik konglomerat harus ditolong kredit baru lagi agar pabrik-pabriknya bisa bekerja lagi dan perlahan mulai mengangsur hutangnya. ”Neoliberalisme di mana-mana itu eradicate the poor. Di Chili, Argentina, Meksiko. Nggak tahu, mungkin sudah takdir itu. Bukan eradicate the poverty. (Pemerintah) kita menghajar orang miskin, penggusuran di mana-mana, soal tanah dan segala macam,” papar Edi panjang lebar. Yang ironis, kebijakan penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme hanya bersifat sementara, di mana negara hanya boleh turun tangan jika lembaga keluarga, kelompok swadaya, atau lembaga keagamaan gagal berfungsi. Pandangan seperti ini beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Program-program structural adjustment yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh kebijakan neoliberal dalam menangani kemiskinan.
2. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas yang penulis kutip dari artikel SOROT: Banyak Program tapi Tetap Miskin, Majalah FLAMMA EDISI 25 copyright IRE Yogjakarta. Ternyata terjadi paradok pembangunan dimana pemerintah Yogjakarta di satu sisi sudah sekian banyak upaya program-program dalam mengatasi kemiskinan, disisi lain justru kemiskinan makin bertambah. Asumsi penulis dengan mengikuti komentar hasil wawancara Majalah Flamma dengan Edi Suharto bahwa ada suatu yang salah dari paradigma/perspektif pemerintah dalam melihat kemiskinan. Atas dasar itulah dalam Paper ini permasalahan yang akan diangkat adalah menjawab pertanyaan pokok “Bagaimana Perspektif/ paradigma pembangunan pemerintah dalam mengatasi persoalan kemiskinan?“. Dan untuk memberikan penjelasan atas permasalahan tersebut maka dapat dijelaskan dengan menjawab rumusan masalah sebagai berikut : • Bagaimana Perspektif Teori Pembangunan ( Teori Modernisasi dan Dependensi ) dalam melihat Kemiskinan? • Apa akar permasalahan kemiskinan di Indonesia? Dan adakah kesalahan perspektif pembangunan yang dipakai pemerintah dalam mengatasi kemiskinan? 3. Pembahasan Indonesia dalam peta pembangunan internasional termasuk dalam cakupan wilayah di dunia ke tiga, untuk itu dalam perspektif teori pembangunan internasional maka Indonesia termasuk dalam perspektif teori pembangunan dunia ketiga. Teori pembangunan dunia ketiga sendiri adalah teori-teori pembangunan yang berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh negera-negara miskin atau negara-negara sedang yang sedang berkembang dalam sebuah dunia yang didominasi oleh kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan dan militer negara-negara adikuasa atau negara-negara industri maju. Teori Pembangunan di dunia ke tiga memiliki perbedaan dengan teori pembangunan bagi negara-negara adikuasa, karena persoalan yang dihadapinya berlainan. Bagi negara-negara dunia ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup atau bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya bis bersaing di pasar internasional. Bagi negara-negara adikuasa persolannya adalah bagaimana melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan. Ada 3 kelompok teori pembangunan yang berkembang di dunia yaitu : 1) Teori modernisasi. Menekankan faktor manusia dan nilai-nilai budanya sebagai pokok persoalan dalam pembangunan. Teori modernisasi merupakan kelompok teori yang dominan dalam mengkaji masalah pembangunan di Indonesia; 2) Teori ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori Dependensi. Teori ini merupakan reaksi terhadap teori modernisasi. Teori ini mula-mula tumbuh di kalangan para ahli ilmu sosial di Amerika Latin kemudian meluas sampai ke Amerika Serikat dan Eropa dan Asia. Teori ini dipengaruhi oleh metoda analisis Marxis ; 3) Teori yang merupakan reaksi terhadap teori ketergantungan atau lebih di kenal Post Modernisme. Teori ini sering disebut sebagai teori pasca ketergantungan. Di dalamnya ada teori sistem dunia, teori artikulasi dan sebagainya . a) Perspektif Teori Modernisasi dalam melihat Kemiskinan . Teori Modernisasi lahir di tahun 1950-an di Amerika Serikat, dan merupakan respon kaum intelektual terhadap perang dunia yang bagi penganut evolusi dianggap sebagai jalan optimis menuju perubahan. Teori ini lahir dalam suasana ketika dunia memasuki “perang dingin” atau peperangan idiologi antara Kapitalisme dibawah kepemimpinan amerika serikat dengan kekuatan Komunisme dibawah kepemipinan Negara Sosialis Uni Sovyet Rusia ( USSR) . Adapun penopang dari Teori Modernisasi adalah ide Weber yang melihat pada aspek-aspek nilai budaya yaitu Variabel etos sebagai varian utama dalam melihat keterbelakangan dunia
ketiga . Tesis ini diperkuat oleh McClelland yang menekankan psikologi individu dan menekankan bahwa kondisi psikologis prakondisi suatu masyarakat dalam memandang prestasi (the need for achievement) secara signifikan berkorelasi positif terhadap kelangsungan pembangunan . Selain itu Teori Modernisasi juga melihat bahwa masalah pembangunan merupakan masalah penyediaan modal untuk investasi (Harood – Domar) . Gagasan ide ini kemudian dikembangkan oleh Rostow bahwa pembangunan dikaitkan dengan perubahan dari masyarakat agraris dengan budaya tradisional ke masyarakat yang rasional, industrial dan berfokus pada ekonomi pelayanan. Ide ini kemudian melahirkan konsep lima tahap pembangunan Rostow . Berbeda dengan Rostow Bert F. Hoselitz membahas faktor-faktor non ekonomi yg ditinggalkan Rostow yang disebut faktor “kondisi lingkungan�. Kondisi lingkungan maksudnya adalah perubahan-perubahan pengaturan kelembagaan yg terjadi dalam bidang hukum, pendidikan,keluarga, dan motivasi. Hoselitz menekankan bahwa meskipun seringkali orang menunjukkan bahwa masalah utama pembangunan adalah keurangan modal (teori Harrod – Domar ), ada masalah lain yang juga sangat penting yakni adanya ketrampilan kerja tertentu, termasuk tenaga wiraswasta yang tangguh. Karena itu dibutuhkan perubahan kelembagaan pada masa sebelum lepas landas, yang akan mempengaruhi pemasokan modal, supaya modal ini bisa menajadi produktif. Perubahan kelembagaan ini akan menghasilkan tenaga wiraswasta dan administrasi serta ketrampilan teknis dan keilmuan yang dibutuhkan. Menurut Hoselitz, pembangunan membutuhkan pemasokan dari beberapa unsur, seperti : pemasokan modal besar dan perbankan, serta pemasokan tenaga ahli dan terampil. Perspektif umum Teori modernisasi memandang pembangunan merupakan kerja secara Internasional yang didasarkan pada teori keuntungan komparatif yang dimiliki oleh setiap negara mengakibatkan terjadinya spesialisasi produksi pada tiap-tiap negara sesuai dengan keuntungan komparatif yang dimilikinya. Secara umum, di dunia ini terdapat dua kelompok negara : 1) negara yang memproduksi hasil pertanian ; 2) negara yang memproduksi barang industri. Antara kedua kelompok negara ini terjadi hubungan dagang dan keduanya menurut teori di atas saling diuntungkan. Tetapi setelah beberapa puluhan tahun kemudian, tampak bahwa negara-negara industri menjadi semakin kaya sedangkan negara-negara pertanian semakin tertinggal. Ini kemudiaan melahirkan dua kelompok negara yaitu negara-negara miskin yang biasanya meruapakan negara pertanian dan negara-negara kaya yang biasanya adalah negara industri. Teori Modernisasi lebih melihat bahwa kemiskinan ini disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara yang bersangkutan. Pembangunan sendiri mempunyai dua unsur utama yaitu masalah materi yang mau dihasilkan dan dibagi, serta masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif yang menjadi manusia pembangunan. Pembangunan tidak hanya berurusan dengan produksi dan distribusi barangbarang material tetapi pembangunan juga harus menciptakan kondisi-kondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreatifitasnya. Teori Modernisasi mendasarkan selain pada faktor-faktor material sebagai penyebab kemiskinan juga faktor manusia yang ada di dalam negara itu sendiri. Untuk itu maka negara-negara miskin yang kemudian di petakan dalam negara dunia ketiga dalam perspektif teori modernisasi harus mendapatkan perhatian dari negara maju, dan negara maju harus berupaya menciptakan replikasi model pembangunan bergaya liberal untuk diadopsi negara-negara dunia Ketiga. Pola hubungan ini kemudian melahirkan istilah Developmentalisme yang merupakan bagian penyokong Teori modernisasi, sehingga teori modernisasi juga di kenal dengan teori developmentalisme .
Fenomena ini bisa kita lihat beberapa program yang kini dijalankan antara lain: Program Bantuan Modal Pinjaman Lunak dan Koperasi (BMPLK); Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK) dari BUMN; Dana Bergulir Usaha Kecil Industri dan Dagang (DBUKID); Bantuan Usaha Ekonomi Produktif Kelompok Anggrek dan Pemanfaatan Pekarangan (BUEPKAID); Peningkatan Pelayanan Usaha Sosial Ekonomi Produktif (P2USEP); Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP); Tenaga Kerja Mandiri (TKM); Program GRAMEN BANK; Program Perluasan Kerja Sistem Padat Karya Program Awal Tahun dan Padanan; Program Kompensasi Subsidi Dana Bergulir Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM); Beasiswa Supersemar, Lembaga Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit Pedesaan; Pinjaman Tenda Bagi Pedagang Kaki Lima . Konsep program itu beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Bahkan diantara program tersebut merupakan program-program structural adjustment atau kepentingan dari negara-negara maju yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh model replikasi kebijakan liberal dalam menangani kemiskinan. b) Perspektif Teori Dependensi dalam melihat Kemiskinan . Teori Dependensi lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara Dunia Ketiga. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori dependensi mewakili “suara negara-negara pinggiran” untuk menantang hegemoni ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju. Munculnya teori dependensi lebih merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama persoalan pembangunan yang didominasi oleh teori modernisasi. Teori dependensi lahir karena teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kemajuan bagi negara dunia ketiga telah menumbuhkan sikap kritis beberapa ilmuan sosial untuk memberikan suatu teori pembangunan yang baru, yang tentu saja mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan teori yang telah ada. Kritikan terhadap modernisasi yang dianggap sebagai “musang berbulu domba” dan cenderung sebagai bentuk kolonialisme baru semakin mencuat dengan gagalnya negara-negara Amerika Latin menjalankan modernisasinya. Frank sebagai pelopor kemunculan teori dependensi, pada awalnya menyerang pendapat Rostow. Frank menganggap Rostow telah mengabaikan sejarah. Sejarah mencatat bagaimana perkembangan dunia ketiga yang tatanan ekonominya telah dihancurkan oleh negara dunia pertama selama masa kolonial. Pemikiran Frank terus bergulir dan disambut oleh pemikir sosial lainnya seperti Santos, Roxborough, Cardoso dan Galtung. Teori dependensi merupakan analisis tandingan terhadap teori modernisasi. Teori ini didasari fakta lambatnya pembangunan dan adanya ketergantungan dari negara dunia ketiga, khususnya di Amerika Latin. Teori dependensi memiliki saran yang radikal, karena teori ini berada dalam paradigma neo-Marxis. Sikap radikal ini analog dengan perkiraan Marx tentang akan adanya pemberontakan kaum buruh terhadap kaum majikan dalam industri yang bersistem kapitalisme. Analisis Marxis terhadap teori dependensi ini secara umum tampak hanya mengangkat analisanya dari permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar negara. Sehingga negara pusat dapat dianggap kelas majikan, dan negara dunia ketiga
sebagai buruhnya. Sebagaimana buruh, ia juga menyarankan, negara pinggiran mestinya menuntut hubungan yang seimbang dengan negara maju yang selama ini telah memperoleh surplus lebih banyak (konsep sosialisme). Analisis Neo-Marxis yang digunakannya memiliki sudut pandang dari negara pinggiran. Dalam perspektif Teori dependensi tentang negara miskin Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturan-aturan perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara pusat adalah kapitalisme sehingga menyebabkan timbulnya usaha melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi pada negara periferi merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme oleh negara pusat. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara maju mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh negara miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju. Negara maju identik menjadi negara pusat, sedangkan negara miskin menjadi satelitnya. Konsep ini lebih dikenal dengan istilah “pusat - periferi�. Pola hubungan antara pusat-periferi ini dijelaskan oleh Frank bahwa kemampuan negara satelit dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara pusat sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi yang menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan hubungan dan difusi dengan negara maju . Tesis yang diajukan oleh Santos adalah pembagian ketergantungan menjadi tiga jenis yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan ketergantungan teknologi industri. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang dialami oleh negara jajahan. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang paling awal dan hingga kini telah dihapuskan. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan. Sementara itu, jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad 19, maka ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian. Ekspor bahan mentah menyebabkan terkurasnya sumber daya negara, sementara nilai tambah yang diperoleh kecil. Sumbangan pemikiran Santos terhadap teori dependensi sebenarnya berada pada bentuk ketergantungan teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri. Asumsi dasar teori dependensi ini menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non Barat, atau industri dan negara ketiga), dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis. Hal ini juga mempengaruhi pandangan-pandangan teoritisi Dependensi diatas bahwa kemiskinan di suatu negara disebabkan karena faktor eksternal. Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan negara yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya. c) Akar Permasalahan Kemiskinan di Indonesia? Apabila kita perhatikan kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah bentuk kemiskinan struktural (buatan) karena sebenarnya secara alamiah Indonesia mempunyai potensi dan
sumber daya yang cukup untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya. Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan Penggalian tentang kemiskinan yang selama ini cenderung dilakukan pada batas angka-angka statistik makro yang kurang mendalam serta tidak detail dalam mengungkap latar belakang masyarakat miskin. Akibatnya tidak dapat melihat persoalan secara komperehensif mengenai dimensi-dimensi kemiskinan, karena sesungguhnya persoalan kemiskinan terkait dan saling mempengaruhi dengan persoalan yang lainnya. Pada sisi lain studi tentang kemiskinan juga cenderung over akademis yang kurang memiliki daya guna pemecahan persoalan yang sifatnya praksis penanggulangan kemiskinan, sekaligus gagal mengungkap akar penyebab kemiskinan. Ada tiga sisi yang menjadi akar penyebab dari terjadinya kemiskinan struktural yaitu : 1. Pemahaman akan kemiskinan yang tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan lebih dikaji dari aspek ekonomi saja. Aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan persoalan kemiskinan seperti aspek politik, kultural, serta sosial dikaji secara terpisah. Persoalan kemiskinan dipahami tanpa mengkaji dampak dari kebijakan publik atau pemerintah terhadap keberadaan rakyat miskin 2. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang terkena sasaran, baik di tingkat perencanaan maupun sampai ke tingkat pelaksanaannya. 3. Tidak ada evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di perkotaan untuk melihat dampak yang terjadi. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mengerti apa yang menjadi masalah mendasar dalam proses mengentaskan kemiskinan ini. Pemahaman kemiskinan saat ini mempunyai arti yang lebih luas yang didefinisikan sebagai kemiskinan majemuk yaitu suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia. Kebutuhan asasi tersebut meliputi kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, waktu luang. Kemiskinan subsistensi pada rakyat miskin kota seperti yang terjadi di Yogjakarta (lampiran) merupakan contoh dimana rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan, papan serta kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. Kemiskinan perlindungan karena meluasnya budaya kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar rakyat miskin kota; kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam; kemiskinan pemahaman karena kualitas pendidikan yang rendah, selain faktor kuantitas yang tidak mampu memenuhi kebutuhan; kemiskinan partisipasi karena adanya diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses pengambilan keputusan; kemiskinan identitas karena dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan hancurnya nilai sosio kultural yang ada. Dimensi kemiskinan majemuk yang dialami masyarakat miskin dapat teridentifikasi dari beberapa aspek berupa rendahnya kesejahteraan, akses pada sumber daya, kesadaran kritis, partisipasi dan posisi tawar. Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain, seperti politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan. Paradigma ekonomi yang dipakai dalam penyusunan pembangunan, membuat pemilik modal menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi dengan dalih demi ‘keuntungan bersama’, menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam masyarakat dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang semena-mena. Aspek sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya proses
pemiskinan. Tradisi yang ada tidak sedikit yang memberikan ‘pembenaran’ dalam pemenuhan kebutuhan dasar. ‘Pembenaran tradisi’ bahwa anak harus ikut menanggung kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak; dan di sisi lain terjadi pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan pada banyak kota di Indonesia. Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam bentuk yang lain. Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi yang tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang semakin memiskinkan rakyat d) Adakah kesalahan perspektif pembangunan ? Bila kita telusuri lebih teliti bahwa kesimpulan yang ditemukan akan lebih memandang bahwa perspektif pembangunan pemerintah selama ini tentang kemiskinan, sebagai realitas yang selalu dilihat dari sudut ekonomi, dimana batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang tidak memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan nominal tertentu. Kemiskinan selalu dilihat bahwa persoalan individu manusia itu kenapa miskin atau persoalan yang ada dalam manusia itu sendiri. Tingkat kemiskinan ini dinilai atau ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran materi yang sudah didefinisikan sebelumnya, seperti: kondisi fisik dari bangunan atau lingkungan permukiman. Pengertian kemiskinan yang ekonomistik ini akan melahirkan bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam bantuan ekonomi saja. Kebijakan pengentasan kemiskinan dari pemerintah melalui program yang ada seperti : program recovery, hanya menjadi program penyaluran dana bantuan saja tanpa mencoba memahami kemiskinan yang menjadi penyebabnya. Kebijakan itu cenderung semakin memiskinkan masyarakat, karena menimbulkan ketergantungan ekonomi, tanpa memberikan solusi untuk lepas dari lingkaran kemiskinan. Perspektif inilah dalam teori pembangunan cenderung mengarah pada perspektif Modernisme Akibatnya Kebijakan pemerintah yang berkait dengan penanggulangan kemiskinan selama ini tidak memenuhi target dan sasaran; bahkan cenderung memunculkan kemiskinan yang baru sebagaimana dalam artikel (lampiran). Hal ini didasarkan bahwa pemerintah selalu menggunakan prinsip trickle down effect yang melihat bahwa proses pelipatan modal atau keuntungan akan terdistribusi kepada kelompok-kelompok di bawahnya. Seperti program dengan setiap masyarakat dibentuk kelompok, diberi modal, motivasi berwirausaha, kapasitas manajerialnya ditingkatkan, aktivitasnya didampingi, serta dikontrol kinerjanya, namun ini menjadi kontradiktif pemerintah giat membantu permodalan UKM, tapi di sisi lain, kebijakan menaikkan BBM juga mencekik UKM. Belum lagi, pada saat bersamaan, pemerintah mengizinkan membludaknya retail industry seperti mal, hypermart, dan warung kelontong franchise masuk sampai pelosok akibatnya sulit bisa bersaing melawan supermarket. Ada juga kebijakan program lebih merupakan pendekatan ekonomi dengan dasar belas kasihan. Seperti BLT ataupun raskin dinilai banyak kalangan tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan. “Dampaknya seperti orang dikasih ikan yang langsung habis. Kalau kita memberi kail dan umpan, mereka bisa mencari ikan sendiri “. Selain itu juga ada kebijakan pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan banyak menggunakan dana recovery yang merupakan dana pinjaman atau hutang dari luar negeri. Seperti program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian� (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Bahkan diantara program tersebut merupakan program-program structural adjustment atau kepentingan dari negaranegara maju yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh model replikasi kebijakan liberal dalam menangani kemiskinan. Program tersebut banyak memunculkan permasalahan; karena tidak tepat ke sasaran dan
pelaksanaan program yang tidak jelas. Program ini tidak hanya menimbulkan pemiskinan secara ekonomi, namun dalam konteks yang lebih luas meliputi sosial, budaya dan politik. Rakyat miskin menjadi sangat tergantung pada bantuan orang lain atau luar negeri dan tidak inisiatif untuk bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri. Beban utang dari dana pinjaman menjadi terbebankan ke rakyat miskin. Perspektif demikian yang oleh Teoritisi dependensi dikatakan bahwa bantuan negara maju dengan melakukan replikasi pembangunan pada negara berkembang terutama replikasi program penanggulangan kemiskinan dengan disertai bantuan atau hutang lunak justru akan menyebabkan ketergantungan pada negara berkembang atau dunia ketiga dan ini justru yang menjadikan penyebab kemiskinan. 4. Kesimpulan Ada 3 kelompok teori pembangunan yang berkembang di dunia yaitu : 1) Teori modernisasi ; 2) Teori ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori Dependensi. ; 3) Teori yang merupakan reaksi terhadap teori ketergantungan atau lebih di kenal Post Modernisme. Dalam melihat masalah kemiskinan Perspektif Teori Modernisasi lebih melihat bahwa kemiskinan ini disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara yang bersangkutan. Sedangkan pandangan-pandangan teoritisi Dependensi mengatakan bahwa kemiskinan di suatu negara disebabkan karena faktor eksternal. Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan negara yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya. Selama ini di Indonesia perspektif pembangunan pemerintah tentang kemiskinan merupakan suatu realitas yang selalu dilihat dari sudut ekonomi, kemiskinan selalu dilihat bahwa persoalan individu manusia itu kenapa miskin atau persoalan yang ada dalam manusia itu sendiri. Tingkat kemiskinan ini dinilai atau ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran materi yang sudah didefinisikan .Pengertian kemiskinan yang ekonomistik ini akan melahirkan bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam bantuan ekonomi saja. Akibatnya Kebijakan pemerintah yang berkait dengan penanggulangan kemiskinan selama ini tidak memenuhi target dan sasaran; bahkan cenderung memunculkan kemiskinan yang baru. Bahkan banyak program yang memunculkan permasalahan; karena tidak tepat ke sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas. Banyak Program kemiskinan ini tidak hanya menimbulkan pemiskinan secara ekonomi, namun dalam konteks yang lebih luas meliputi sosial, budaya dan politik. Rakyat miskin menjadi sangat tergantung pada bantuan orang lain atau luar negeri dan tidak inisiatif untuk bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri. Beban utang dari dana pinjaman menjadi terbebankan ke rakyat miskin. Perspektif demikian yang oleh Teoritisi dependensi dikatakan bahwa bantuan negara maju dengan melakukan replikasi pembangunan pada negara berkembang terutama replikasi program penanggulangan kemiskinan dengan disertai bantuan atau hutang lunak justru akan menyebabkan ketergantungan pada negara berkembang atau dunia ketiga dan ini justru yang menjadikan faktor penyebab kemiskinan. http://fandi-sos.blogspot.com/2011/12/analisa-permasalahan-kemiskinan-di.html
KEMISKINAN, PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN 11.05.2012 Pengirim : Oleh : Uji Hartono * Intisari Kemiskinan ditandai oleh berbagai keterbatasan yang mengakibatkan rendahnya kualitas kehidupan seperti : rendahnya penghasilan, terbatasnya pemilikan rumah tinggal yang layak huni, pendidikan dan
ketrampilan yang rendah, hubungan sosial dan akses informasi yang terbatas. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan antara lain dapat ditempuh melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan keluarga miskin dapat hidup mandiri. Tahab-tahab dalam pemberdayaan masyarakat miskin meliputi, Pertama : Tahab penyadaran dan pembentukan sikap dan perilaku menuju perilaku sadar peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. Kedua : Tahab trasformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan – ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Ketiga : Tahab peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian dalam aspek sosial dan ekonomi Kata Kunci: Kemiskinan dan pemberdayaan. A. Pendahuluan. Populasi penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik yang dikeluarkan tanggal 1juli 2008 sebanyak 34,96 juta orang ( Kompas, 2 Juli 2008 ). Sedangkan berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010 yang diekspose Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 31,02 juta jiwa ( Kompas, 21 September 2010 ). Selama kurun waktu dua tahun tersebut memang terjadi penurunan jumlah penduduk miskin. Namun jumlah penduduk miskin tersebut masih cukup tinggi, karena bila dibanding dengan jumlah penduduk negara jiran Malaysia masih lebih tinggi ( jumlah penduduk Malaysia secara keseluruhan belum mencapai angka 30 juta ). Kemiskinan ditandai oleh berbagai keterbatasan yang mengakibatkan rendahnya kualitas kehidupan seperti : rendahnya penghasilan, gizi buruk, terbatasnya pemilikan rumah tinggal yang layak huni, pendidikan dan ketrampilan yang rendah, hubungan sosial dan akses informasi yang terbatas, tingginya angka kematian bayi, balita, ibu melahirkan serta kondisi sanitasi lingkungan yang jelek. Kondisi tersebut secara potensial akan menjadi faktor tumbuh kembangnya berbagai permasalahan sosial. Berbagai program pembangunan yang merupakan langkah untuk melakukan perubahan sosial telah ditempuh oleh bangsa Indonesia untuk mengentaskan permasalahan sosial kemiskinan. Tetapi hasilnya belum signifikan bila dibandingkan dengan jumlah dana yang dikeluarkan. Mengapa demikian ? B. Pembahasan. Menurut penulis, bahwa yang menyebabkan program penanggulangan kemiskinan hasilnya belum maksimal, ada beberapa sebab antara lain, Pertama : Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dengan sistem “ proyek dan target waktu “. Penanganan masalah sosial termasuk penanggulangan kemiskinan sulit menggunakan sistem proyek dan target waktu tahun anggaran seperti pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik seperti pembangunan jembatan, gedung, jalan dan lain-lain dengan waktu tertentu misalnya 3 bulan, 6 bulan, atau 12 bulan. Program penanggulangan kemiskinan menyangkut masalah manusia dengan segala karakteristik dan kompleksitasnya. Manusia yang satu berbeda dengan yang lainnya, untuk itu penanganannya juga berbeda. Mengubah pola pikir, sikap mental, dan perilaku orang miskin memerlukan waktu yang berbeda-beda. Hasil dari proses pembinaan ini juga tidak serta merta dapat dilihat seperti pembangunan fisik. Selama ini masih sering program-program pengentasan kemiskinan dilaksanakan dengan target waktu satu tahun anggaran harus sudah selesai. Begitu tahun anggaran berikutnya berganti dengan sasaran dan target yang baru lagi, begitu seterusnya.
Padahal keluarga miskin yang menjadi sasaran pembinaan pada tahun tersebut baru “ disentuh “ dan masih memerlukan pembinaan yang terus menerus dan berkelanjutan sampai dapat mandiri. Kedua : Belum adanya keberlanjutan dan konsistensi dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Pelaksanaan program selama ini sering berganti-ganti model sesuai dengan selera para pejabatnya. Sehingga sering kita dengar kata-kata ganti pejabat ganti programnya. Pejabat baru merasa kurang percaya diri jika tidak dengan program yang baru. Hal ini mestinya bisa dihindari bila program yang dibuat berdasarkan kebijakan yang lebih tinggi yang telah ada, misalnya RPJMN / RPJMD. Sehingga pejabat baru tinggal melakukan penyesuaian sesuai dengan visi dan misinya sewaktu kampanye dan pelaksanaanya secara konsisten dan berkelanjutan. Pelaksanaan sebuah program memerlukan evaluasi untuk mengetahui hasil yang telah dicapai, kelebihan dan kekurangannya. Hasil evaluasi tersebut dapat dijadikan masukan untuk perbaikan pada langkah selanjutnya. Sedangkan dampak sebuah program, baik outcome, benefit dan impactnya baru dapat diukur setelah lebih dari 6 bulan. Ketiga : Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan kurang menyentuh akar masalah dari kemiskinan itu sendiri.Pelaksanaan program selama ini lebih banyak hanya menyentuh “ kulit-kulit “ dari kemiskinan. Permasalahan kemiskinan selama ini lebih banyak dilihat dari kacamata ekonomi. Sedangkan aspek yang lain seperti sosial, budaya, kurang proporsional penggarapannya. Permasalahan kemiskinan adalah permasalahan yang sangat komplek. Oleh karena itu penanganannya harus menyentuh akar masalahnya dan pendekatannya secara integral dari segala aspek kehidupan. Hakekat manusia. Dalam rangka mengoptimalkan perubahan sosial yang akan dilaksanakan, pengenalan hakekat manusia tentunya akan memberikan sumbangan pemikiran yang positif terutama ketika akan menerapkan program pengentasan kemiskinan. Secara sederhana berdasarkan pandangan psikologi dapat dilihat bahwa hakekat manusia sangat luas dan komplek, tetapi ada beberapa unsur yang dapat dipahami untuk mendapatkan wawasan yang sedikit lebih terpadu mengenai manusia, antara lain : 1. Manusia pada dasarnya memiliki inner force yang menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhannya. 2. Lingkungan merupakan unsur yang dapat menentukan tingkah laku manusia, dan tingkah laku banyak diperoleh berdasarkan hasil belajar. 3. Di dalam diri manusia terdapat potensi, namun potensi itu terbatas. 4. Manusia merupakan makhluk yang bersifat rasional ( mencoba menggunakan rasionya ), dan mencoba bertanggung jawab atas tingkah laku sosialnya. 5. Manusia mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif, mampu mengatur dan mengotrol dirinya, dan mampu menentukan nasibnya sendiri. 6. Manusia pada hakekatnya adalah individu yang selalu berkembang terus, dan dalam proses pencarian kearah “ kesempurnaan “. 7. Dalam usaha-usaha untuk mewujudkan dirinya, manusia berusaha membantu orang lain dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih “ baik “ untuk ditempati ( Adi, Isbandi rukminto, 2001 : 20 ). Berdasarkan pandangan diatas dapat dilihat bahwa manusia merupakan sumber daya tersendiri dalam pembangunanya itu sebagai “ Human Capital “. Ia merupakan unsur penggerak utama dan mempunyai kemampuan mengintervensi sumber daya alam, dan sumber daya sosial.
Kemiskinan dalam perspektif teori konflik. Berdasarkan teori konflik dalam perspektif institusional dinyatakan bahwa masyarakat tersusun dalam struktur dimana sebagian anggota masyarakat mempunyai kekuatan ( power ) termasuk penguasaan resources, kesempatan dan peluang yang lebih besar dibanding anggota masyarakat yang lain. Dengan demikian lapisan ini mampu mengendalikan dan mengontrol kehidupan sosial ekonomi dalam sistem sosialnya dengan menggunakan instrumen institusi sosial.yang ada. Sebagai akibat lebih lanjut adalah adanya ketimpangan dan distribusi yang tidak merata antara lapisan yang lebih menguasai kekuasan. Sumber-sumber dan kesempatan dibanding yang lain. Pada umumnya lapisan yang menguasai kekuasaan dan sumber-sumber ini cenderung ingin mempertahankan status quo dalam rangka mempertahankan posisi dan kepentingannya ( Parrillo, 1987 : 29 dalam Soetomo, 2006 : 117 ). Menurut teori konflik dalam perspektif institusional masalah kemiskinan bukan disebabkan karena cacat individual dari kalangan miskin seperti cacat bawaan, cacat fisik maupun mental atau cacat kultural , melainkan disebabkan oleh Institutional discrimination, terutama dalam bentuk penguasaan kekuasaan, sumber-sumber, peluang, akses terhadap informasi dan berbagai bentuk pelayanan dalam berbagai struktur masyarakat. Kemiskinan disini bukan karena orang-orangnya malas, lemah atau karena kulturnya tidak mendorong untuk bekerja keras melainkan karena kondisi struktural ( Soetomo, 2006 : 119 ). Pemberdayaan masyarakat miskin. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan seperti dalam perspektif teori konflik diatas maka salah satunya dapat ditempuh melalui pemberdayaan. Pemberdayaan ( Empowerment ) secara etimologis berasal dari kata dasar “ daya “ yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya / kekuatan / kemampuan, dan atau proses pemberian daya / kekuatan / kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya ( Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004 : 77 ). Pengertian proses menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahab untuk mengubah kondisi masyarakat yang lemah, baik pengetahuan, sikap dan ketrampilan menuju pada penguasaan pengetahuan, sikap, perilaku sadar dan kecakapan ketrampilan yang baik. Secara garis besar pemberdayaan dapat dimaknai sebagai upaya memberi power kepada yang powerless, yaitu keluarga miskin. Power diartikan kekuaasaan dan kekuatan, sehingga dalam kegiatan pemberdayaan terkandung dua makna yaitu : Pertama : Suatu proses memberikan / mengalihkan sebagian kekuasaan dari yang powerful kepada yang powerless. Kedua : Suatu proses memotivasi individu / masyarakat agar memiliki kemampuan / keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. Upaya untuk mengalihkan sebagian kekuasaan dan kekuatan disini bukan ditujukan agar yang powerless menjadi powerful dan sebaliknya yang powerful menjadi powerless, namun dimaksudkan agar distribusi power tersebut merata sehingga kepentingan masing-masing pihak yang terlibat dapat terwakili ( Krisdyatmiko, 2009 ).
Oleh karena power terkait dengan kekuatan dan kekuasaan, maka upaya pemberdayaan tidak sekedar memberi kekuatan seperti pengetahuan, ketrampilan, pinjaman dan lain-lain pada masyarakat namun harus disertai dengan upaya mengalihkan ( mendistribusikan ) kekuasaan. Adapun tahab-tahab yang perlu dilalui dalam pemberdayaan masyarakat miskin meliputi, Pertama : Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. Kedua : Tahap trasformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan – ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan. Ketiga : Tahab peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian ( Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004 : 83 ). Tahap pertama atau tahab penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan tahab persiapan dalam proses pemberdayaan. Pada tahab ini pihak pemberdaya berusaha menciptakan prakondisi, agar dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Apa yang di intervensi dalam masyarakat sesungguhnya lebih pada kemampuan afektifnya untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan. Sentuhan akan rasa ini akan membawa kesadaran masyarakat tumbuh, kemudian merangsang semangat kebangkitan mereka untuk meningkatkan kemampuan diri (pengetahuan, kecakapan, ketrampilan) dan lingkungan. Pada tahap kedua yaitu pada tahab transformasi pengetahuan dan kecakapan-ketrampilan dapat berlangsung baik, penuh semangat dan berjalan efektif, jika tahab pertama telah terkondisi. Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapanketrampilan yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan tersebut. Tahab ketiga adalah merupakan tahab pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan-ketrampilan yang diperlukan, supaya mereka dapat membentuk kemampuan mandiri. Kemandirian tersebut akan ditandai oleh kemampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi dan melakukan inovasi di lingkungannya. C. Simpulan. 1. Permasalahan social kemiskinan di Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 jumlahnya masih cukup tinggi ( 31,02 juta jiwa ). 2. Program penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu bentuk perubahan sosial dengan tujuan untuk meningkatkan kemandirian para penyandang masalah sosial kemiskinan. 3. Tahapan dalam program pemberdayaan masyarakat miskin meliputi : Tahab pertama penyadaran dan pembentukan sikap serta perilaku, tahab kedua transformasi pengetahuan dan kecakapan-ketrampilan, tahab ketiga pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan ketrampilan. ____________________ * Uji Hartono, Widyaiswara Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial ( BBPPKS ) Yogyakarta. Daftar Pustaka.
Adi, Isbandi Rukminto, 2001, Pemberdayaan, Pengembangan masyarakat dan Intervensi Komunitas, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Kompas, 2 Juli 2008. Kompas, 21 September 2010. Krisdyatmiko, 2009, Materi Kuliah Pemberdayaan Masyarakat, Program S2 Sosiologi Konsentrasi Kebijakan dan Kesejahteraan Sosial FISIPOL UGM, Tidak diterbitkan, Yogyakarta. Soetomo, 2006, Masalah Sosial dan Upaya pemecahannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Gava Media, Yogyakarta.
http://bbppksjogja.depsos.go.id/index.php?action=mading.detail&id_mading=6
Analisa Kemiskinan Struktural Tulisan ini akan membahas tentang masalah kemiskinan yang ditinjau dari perspektif struktural. Analisa ini berdasarkan pendapat beberapa tokoh ekonomi dan dengan memadukan analisa dari penulis sendiri dalam memandang kemiskinan. Kemiskinan memang tidak harus dipandang dari segi ketidakmampuan orang-orang miskin saja namun ada sesuatu dari eksternal si miskin yang membuat si miskin semakin miskin. Kelebihan dalam menggunakan analisa dengan perspektif struktural ini tidak lagi membicarakan kemiskinan dalam hal perbandingan ekonomi namun dapat menunjukkan hal-hal lain di luar si miskin yang membuat mereka tetap miskin atau semakin miskin. Dalam perspektif struktural ini tidak bisa lagi dalam menganalisa kemiskinan menggunakan patokan dasar adalah pendapatan per kapita. Karena bisa saja seseorang itu pendapatan per kapitanya melampaui garis batas kemiskinan tetapi secara struktural ia adalah orang yang jauh dari alat-alat produksi, jauh dari proses pengambilan keputusan, terasing dari kemungkinan partisipasi (Lubis, 1986: 41). Jadi ada faktor-faktor lain yang ingin diekspos oleh perspektif struktural ini. Dari penjelasan di atas dapat diketahui paparan penulis tentang kelebihan dari perspektif struktural, dalam penjelasan selanjutnya akan dibahas mengenai kekurangan dari perspektif struktural ini. Penulis memandang kekurangan dari perspektif ini yaitu dalam menemukan solusi untuk memecahkan kebuntuan dalam masalah kemiskinan sangat sulit dilakukan dalam kenyataan. Memang di atas kertas sangatlah memuaskan dan masuk akal jika ditelaah, namun dalam pengimplementasian solusi dibutuhkan tenaga dan pemikiran yang ekstra. Karena dalam penerapannya, strukturalis ini cenderung merubah kondisi yang berada diluar si miskin bukan dari si miskin sendiri yang berusaha untuk merubah dirinya sendiri supaya tuntas dari kemiskinan. Merombak suatu sistem adalah merubah segalanya yang ada pada suatu wilayah atau negara tersebut, terutama dalam aspek penyediaan kesempatan yang sama diberbagai sektor.
Kemiskinan Struktural Karena Tertutupnya Kesempatan Membahas masalah kemiskinan tidak lengkap rasanya jika tidak mendefinisikan dan menganalisa sebenarnya apa yang menjadi standar seseorang dikatakan miskin itu? Untuk membahas pertanyaan dasar tersebut ada baiknya, jika kita meminjam berbagai pendapat beberapa tokoh dalam menganalisa masalah kemiskinan secara struktural ini. Kata-kata kemiskinan memang sudah tidak asing lagi didengar, namun jawaban tentang apa itu makna kemiskinan masih bermacam-macam dan simpang siur. Meminjam istilah Ghose dan Keffin dalam Andre Bayo (1996), mengatakan bahwa kemiskinan di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara berarti kelaparan, kekurangan gizi, ditambah pakaian dan perumahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada sedikit sekali kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang elementer, dan lain-lain. Memang sepakat dengan analisa Ghose dan Keffin bahwa dalam mengidentifikasikan kemiskinan itu tidak hanya ditekankan pada aspek ekonomi saja, terbukti dalam memberikan standar orang
dikatakan miskin mereka menggunakan aspek-apek lain seperti kesehatan, pemenuhan gizi, dan pendidikan. Aspek-aspek non-material tersebut bukan dari si miskin yang kurang respek untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) namun karena kurangnya kesempatan seperti yang dikatakan oleh Ghose dan Keffin. Lebih lanjut untuk lebih memperjelas dan memberikan kemantapan dalam menganalisa kemiskinan struktural Friedmann dalam Andre Bayo (1996), kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakadilan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada): modal yang produktif atau asset misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan; sumber-sumber keuangan; organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama; network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, dan lain-lain. Kesempatan-kesempatan tersebut seolah tertutupi dengan adanya gap antara si miskin dan si kaya, dari orang kaya dapat dengan mudah mendapatkan semuanya itu. Kemiskinan structural ini dimana sumber daya ekonomi, politik, teknologi dan informasi hanya dikuasai oleh sebagian kecil orang saja. Namun bagaiman dengan si miskin mereka semakin terpinggirkan akibat pola sistem ekonomi yang berlaku dalam negara Indonesia.
Kapitalisme dengan Program-Program yang Menjerat Persatuan Bangsa-Bangsa membuat suatu program yang pada awalnya sangat menarik untuk diterapkan oleh sistem ekonomi negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Program tersebut adalah Tujuan-tujuan pembangunan millennium (Millenium Development Goals) sejak tahun 2000. Kesepakatan bersama ini merupakan perwujudan tekad bersama bangsa-bangsa di dunia untuk memahami kemiskinan dan menemukan solusi yang terbaik untuk diterapkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasinya. Namun dalam perjalanan MDGs problem kemiskinan di Indonesia jauh dari kata terentaskan (Azra, 2007). Dalam beberapa aspek justru dengan adanya proyek MDGs yang akan selesai pada tahun 2015 ini malahan timbul masalahmasalah baru. Termasuk didalamnya banyak program-program yang telah dilaksanakan namun banyak yang tidak tepat sasaran dan justru dengan adanya program ini si miskin malah semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Dalam pengamatan penulis program-program dari PBB atau lembaga lain yang berada diluar Indonesia (dalam artian dari Barat) tentu mempunyai maksud dan tujuan terhadap negara-negara yang mendapatkan bantuan. Seperti kata pepetah yang sering digunakan dalam ilmu politik, tidak ada makan siang yang gratis. MDGs adalah buatan PBB, sedangkan lembaga tersebut sangat kental nuansanya dengan Amerika. Walaupun mengaku sebagai lembaga yang netral namun pengusaannya saja sudah terlihat berada di Amerika Serikat yang menganut sistem Kapitalisme yang sangat kuat. Apalagi dalam hal pendanaan sistem Kapitalisme disuport oleh lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan IMF mempunyai implikasi pada negara Dunia Ketiga dan negara berkembang yang telah diberikan bantuan berupa pinjaman, termasuk Indonesia. Sesuai dengan pendapat John Galtung (1971) kalau kita membaca langkah perusahaan transnasional dan lembaga keuangan internasional di negaranegara dunia ketiga, maka penjajahan bentuk baru ini begitu advanced and sophisticated. Hampir tidak ada peluru yang ditembakkan. Bentuk pinjaman yang diberikan ini akan brpengaruh juga terhadap si miskin, sudah hidupnya miskin, tidak tahu apa-apa tentang kebijakan-kebijakkan ekonomi negara, dan mereka harus ikut aktif menanggung beban hutang negara juga. Lebih lanjut menurut Maarif dalam buku Islam, Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan mengatakan bahwa dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia penduduknya sekitar 200 juta dan Malaysia mungkin hanya 75 juta. Dari pengalamannya membaca, alasan kenapa Malaysia dan Timur Tengah lepas dari krisis karena mereka tidak mau menyembah kepada IMF.
Sistem Kapitalisme melalui program-program pembangunannya sangat tidak cocok untuk menanggulangi masalah pengentasan kemiskinan, justru segala program yang diterapkan akan membuat ketimpangan semakin besar antara si kaya dan si miskin. Pola yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme ini justru akan membuat negara dengan rakyatnya semakin mengalami ketergantungan dengan hutang, hutang, dan hutang. Di dalam mekanisme hutang ada juga bunga yang tidak sedikit juga jumlahnya dan akan terakumulasi setiap tahunnya. Dalam menjelaskan kemiskinan struktural, penulis meminjam teori dependensia dari analisa Paul Baran, ia membagi Kapitalisme menjadi dua yaitu pusat dan pinggiran. Kapitalisme yang berkembang seperti di Indonesia bukan seperti yang berkembang di dunia Barat, tetapi Kapitalisme model pinggiran. Jenis kapitalisme ini salah satu varian dari sistem ekonomi yang kapitalistis, di mana modal, keahlian, pengetahuan, dan buruh sangat memegang penting peranan dalam mengeksplorasi sumber-sumber daya alam untuk menghasilkan barang-barang yang diperlukan oleh pasaran dengan tujuan pokok untuk mengeruk keuntungan dan mendapatkan modal (Bulkin, 1984). Istilah pinggiran disini menurut Bulkin menunjukkan suatu keadaan dimana keuntungan dan modal ditarik dari sistem ini tidak dikumpulkan dan dipusatkan di dalam sistem ini, melainkan di luar. Secara structural sistem Kapitalisme Pinggiran ini selalu akan menciptakan ekonomi yang berat sebelah dan terpusat keluar, dimana kegiatan utamanya adalah pada bidang ekstraktif dan ekspor. Sehingga tidak akan mendorong terciptanya industrialisasi, tertutup juga kemungkinan si miskin untuk memperoleh pekerjaan. Sesuai dengan teori dependensia Paul Baran bahwa yang terjadi di negaranegara kapitalis pinggiran adalah muncul kekuatan ekonomi asing, sehingga surplus diambil oleh kekuatan tersebut. Konteks di Indonesia dalam pengamatan penulis sangat cocok dengan kriteria diatas, negara kita cepat berbangga diri dengan kegiatan ekspor kebanyakan bahan mentah untuk diolah di luar negeri, dan sebenarnya kegiatan ini sangat merugikan si miskin terutama dalam memperoleh kesempatan untuk bekerja. Indonesia saat ini masih dikuasai oleh sistem ini, dan sampai sekarang sistem ini masih terpelihara sangat baik salah satu hal warisan kolonialisme Barat. Hal yang tidak kalah menarik dari usaha pemiskinan oleh sistem Kapitalisme ini ada pada aspek mekanisme pasar yang dijalankan oleh Kapitalisme. Dalam mekanisme ini terdapat istilah "supply" dan "demands" dengan kedua pijakan dasar tersebut, pasar dipercaya sebagai sebuah tempat untuk mengalokasikan barang-barang dan menjamu konsumen dengan service yang baik. Hal yang menjadi pemaksaan dari pasar sebagai sebuah mekanisme yang dipakai membuat relasi sosial dan kebutuhan dasar publik dijadikan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan. Termasuk didalmnya pendidikan dan kesehatan tidak dipahami sebagai hak dasar masyarakat, tetapi dijadikan komoditas. Pasar percaya bahwa dalam menyediakan barang-barang publik sebagai sebuah kebijakan sosial, baik oleh pemerintah maupun pasar sendiri, dinilai tidak menimbulkan efisiensi (Sulhin, 2009:31). Ironisnya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah sama seperti yang dipaparkan di atas. Semua barang-barang publik adalah komoditas, bagi si kaya hal ini tidak akan menjadi suatu masalah yang serius, mereka punya uang, dapat membeli pelayanan dasar tersebut dan mendapatkan pelayanan yang baik. Namun bagi si miskin, kondisi monopoli semacam ini justru akan semakin mencekik kehidupan mereka. Bayangkan saja sudah miskin, hidup di negara yang ekonominya serba campuran ini, dan mereka harus membeli dulu hak-hak dasar mereka yang seharusnya diberikan cuma-cuma oleh negara. Apalagi dua sektor utama pendidikan dan kesehatan yang menjadi komoditas. Mau pandai darimana, mau sehat dan gizi tercukupi seperti yang digembar-gemborkan pemerintah, kalau hak-hak dasar mereka saja dijual belikan. Oscar Lewis dalam Suparlan (1995) menambahkan kondisi seperti ini akan menimbulkan kebudayaan
kemiskinan, dan justru membuat kemiskinan itu semakin bertambah juga seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
Strategi Dalam Memerangi Kemiskinan Struktural Pembangunan tidak akan berhasil untuk mengatasi kemiskinan tanpa disertai peningkatan kesempatan kerja, pemenuhan kebutuhan pokok, peningkatan produktivitas rakyat miskin. Banyak juga yang berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) akan menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Memang kalau Indonesia dapat melakukan sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam sistem itu, maka kemiskinan dapat dikurangi secara massal. Dibutuhkan tindakan pemerintah untuk mengubah polapola pemilikan tanah, mengurangi investasi padat modal, mengarahkan kekuatankakuatan pasa, mempengaruhi perubahan nilai-nilai, dan mengatur perdagangan luar negeri (Bayo, 1996:37). Tidak mudah memang dalam merubah suatu sistem yang bergulir dalam suatu negara, namun tidak ada salahnya untuk diuji cobakan. Karena sistem yang berada di Indonesia ini belum sepenuhnya jelas, mumpung belum jelas maka ada kesempatan untuk merubah sedikit demi sedikit. Strategi dalam pengentasan kemiskinan memang sangat dibutuhkan peran dari negara tidak lain dalam rangka advokasi sosial untuk menciptakan tatanan yang berkeadilan dan berkemakmuran. Peran negara yang dituntut dalam proses pengentasan kemiskinan adalah meredistribusi kekayaan dan pendapatan, memastikan agar dalam proses distribusi tidak satu pun dari faktor-faktor produksi ditekan pembagiannya dan mengeksploitasi faktor lainnya (Baidhowy, 2007:7). Penulis sepakat dengan pendapat tersebut karena memang dari pekerja, pemilik modal, dan pemilik tanah harus berbagi bersama dalam hasil-hasil produksinya. Negara sebagai kekuasaan tertinggi harus bisa memberikan kontribusi dalam mendistribusikan hasil produksi kepada mereka yang miskin secara sosial dan ekonomi. Penulis merekomendasikan untuk memakai mekanisme koperasi dalam mengentaskan kemiskinan. Tentu dalam menerapkan koperasi sebagai soko guru ekonomi harus diimbangi dengan peran negara sebagai pihak yang seharusnya berani memaksa untuk kebaikan, karena sistem yang sekarang berjalan justru semakin memperlemah sector koperasi, menjadikan koperasi tidak menarik lagi. Padahal jika ditelusuri lebih dalam dan diamalkan sesuai dengan kaidah yang ada dalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi sangat pas jika permasalahan negara adalah pada mekanisme distribusi hasil produksi. Dengan koperasi semua masyarakat sama, tidak ada paksaan dalam memberikan modal bersama dan cita-cita koperasi di Indonesia menurut Mohammad Hatta yakni menciptakan masyarakat yang kolektif, berakar pada adat istiadat, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern. Disini negara lebih ditekankan untuk memperbaiki sistem yang saat ini berlaku di Indonesia. Jadi untuk menutup tulisan ini penulis sekali lagi menekankan bahwa kemiskinan itu tidak hanya ditekankan pada aspek ekonomi saja, namun hak-hak dasar lain seperti kesempatan dalam memperoleh pendidikan dan kesehatan juga perlu untuk diperhatikan dalam mengidentifikasi kemiskinan. Masalah kemiskinan ada karena sistem yang salah untuk diterapkan di Indonesia, justru dengan adanya lembaga-lembaga keuangan internasional dengan mekanisme bantuannya semakin menambah penderitaan rakyat miskin. Ditambah lagi dengan adanya mekanisme pasar yang secara diam-diam merasuki ideology bangsa Indonesia ini, menjadikan semua barang-barang publik menjadi komoditas, sehingga tidak semua masyarakat dapat mengaksesnya dalam artian tidak ada kesempatan si miskin untuk memperoleh pelayanan yang prima sama seperti si kaya. Penulis juga menekankan solusi yang diterapkan butuh peran pemerintah dalam menerapkan dan menata kembali sistem yang ada, penulis merekomendasikan untuk menerapkan koperasi sebagai sistem ekonomi dalam rangka menguatkan distribusi hasil produksi.
Oleh : Alan Griha Yunanto Referensi : 1. Ala, Andre Bayo, Drs. (editor). 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty Offset. 2. Budiman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia. 3. Lubis, T. Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES. 4. Muwahidah, Siti Sarah dan Zakiyudin Baidhowy (editor). 2007. Islam, Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan: Kebijakan Pemerintah, Kiprah Kelompok Islam, dan Potret Gerakan Inisiatif di Tingkat Lokal. Jakarta: MAARIF Institute for Culture and Humanity. 5. Sulhin, Iqrak. 2009. Capitalism and The Future of Indonesia's Anti-Poverty Policy. Yogyakarta: Gadjah Mada University. 6. Suparlan, Parsudi. 1995. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 7. Swasono, Sri Edi (editor). 1985. Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi. Jakarta: UI-Press 8. Jurnal 9. Farchan Bulkin, Kapitalisme, Golongan Menengah, dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian, Prisma, No.2, Februari, 1984. 10. John Galtung, A Structural Theory of Imperialism, dalam Journal of Peace Research, vol.8, 1971. 11.
MASALAH-MASALAH SOSIAL
12.
Diposkan oleh nurudin oedzilla on 10/20/2010
13. A. Pengertian Masalah (Problem) Sosial
Masalah sosial dalam perspektif sosiologis sering disebut sebagai problem sosial (social problems) (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984). Masalah sosial merupakan suatu gejala (fenomena) sosial yang mempunyai dimensi atau aspek kajian yang sangat luas atau kompleks, dan dapat ditinjau dari berbagai perspektif (sudut pandang atau teori). Oleh karena itu banyak dijumpai beragam pengertian atau definisi tentang masalah sosial (social problems) yang dikemukakan oleh para ahli. Dari beragam pengertian tentang masalah sosial, dapat disimpulkan bahwa suatu fenomena atau gejala kehidupan dikatakan sebagai masalah sosial (social problems) adalah apabila: (1) sesuatu yang dilakukan seseorang itu telah melanggar atau tidak sesuai dengan nilai-norma yang dijunjung tinggi oleh kelompok; (2) sesuatu yang dilakukan individu atau
kelompok itu telah menyebabkan terjadinya disintegrasi kehidupan dalam kelompok; dan (3) sesuatu yang dilakukan inidividu atau kelompok itu telah memunculkan kegelisahan, ketidakbahagiaan individu lain dalam kelompok (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984). Karena studi masalah sosial itu begitu kompleks, maka analisis tentang suatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) juga dapat diinjau dari beragam perspektif (beragam teori), misalnya sesuatu dikatakan problem menurut teori fungsional struktural akan berbeda dengan menurut teori konflik, atau teori interaksionis simbolik, atau teori integrasi (dalam kajian berikut akan disinggung masing-masing teori). Menurut Parrilo dalam Soetomo (1995), untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu diperhatikan empat hal, yaitu: (1) masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu tertentu; (2) dirasakan dapat menyebabkan beragam kerugian secara fisik dan non fisik pada individu dan kelompok; (3) merupakan pelanggaran terhadap nilai atau standar sosial atau sendi-sendi kehidupan masyarakat; dan (4) menuntut adanya usaha untuk dicarai pemecahannya. B. Masalah Sosial Dalam Perspektif Teoritis Dalam perspektif sosiologi, dijumpai berpuluh-puluh teori yang digunakan untuk memahami fenomena sosial. Berikut ini hanya dikemukakan empat teori dalam mencermati atau memahami tentang fenomena sosial, yaitu; (1) teori fungsional struktural; (2) teori konflik; dan (3) teori interaksionis simbolik. Karena keterbatasan ruang/tempat maka pandangan keempat teori tersebut dalam makalah ini hanya dijelaskan konsep-konsep dasarnya saja, dan diharapkan para pembaca bisa mendalami lebih lanjut pada pustaka yang menjadi rujukan kajian ini. Pertama, teori fungsional struktural. Ada beragam versi teori fungsional struktural. Berikut ini dikemukakan pandangan teori fungsional struktural versi Parsons dalam memahami fenomena sosial, antara lain: (1) konsep kultur, dipandang sebagai sistem simbol yang terpola, teratur yang menjadi orientasi para individu untuk bertindak, berpribadi, bersosialisasi dalam sistem sosial. Jadi, kultur akan menjadi faktor eksternal untuk menekan pola tindakan individu dalam kelompok; (2) konsep sistem. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan hidup dalam kelompok (integrasi sosial). Sistem bergerak dalam proses perubahan yang teratur
(evolusi); (3) konsep integrasi. Persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi sosial di dalam sistem sosial adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Dalam proses sosialisasi, nilai dan norma diinternalisasikan (norma dan nilai menjadi bagian dari ‘kesadaran’ aktor), sehingga aktor mengabdi pada kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan. Individu atau aktor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses sosialisasi; dan (4) konsep perubahan,sosial. Teori ini memandang bahwa: (a) proses perubahan yang terjadi akan mengarah pada keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal, perlu dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem; (b) perubahan evolusi masyarakat adalah mengarah kepada ‘peningkatan kemampuan adaptasi’, menuju keseimbangan hidup; dan (c) apabila terjadi perubahan struktural, maka akan terjadi perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan (perubahan sistem nilai-nilai terpenting) (Sztompka, P. 1993; Ritzer dan Goodman, 2003). Masih banyak ciri pandangan teori fungsional struktural yang dikemukakan para teoritisi fungsional struktural. Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori fungsional struktural tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu bertentangan dengan budaya sebagai sistem simbol yang dijadikan sebagai orientasi untuk berpola perilaku; (b) sesuatu itu menyebabkan terjadinya disintegrasi atau memudarkan jalinan antar unsur dalam suatu sistem; (c) perubahan sosial yang terjadi bersifat revolusioner akan menghasilkan ketidakseimbangan dalam sistem sosial.
Kedua, teori konflik. Ada banyak versi teori konflik, berikut ini hanya dikemukakan teori konflik versi Dahrendorf. Beberapa konsep dasar pandangan teori konflik Dahrendorf dalam memahami fenomena sosial, antara lain: (1) setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di lapisan atas; (2) teori konflik menekankan peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat; (3) bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus Bahwa masyarakat tidak ada tanpa konsensus dan konflik, keduanya menjadi persyaratan satu sama lain. Kita tak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya, sebaliknya konflik dapat menimbulkan konsensus dan
integrasi; (4) ‘bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas yang beragam. Otoritas tidak terletak di dalam individu, tetapi melekat pada posisi. Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis fenomena sosial; (5) otoritas individu ini tunduk pada kontrol yang ditentukan masyarakat. Karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang; (6) masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas; (7) hubungan konflik dengan perubahan adalah bahwa konflik merupakan realitas sosial, dan konflik berfungsi sebagai penyebab terjadinya perubahan dan perkembangan (konflik yang hebat akan membawa perubahan dalam struktur sosial) (Abraham, F.M. 1982; Ritzer dan Goodman, 2003)..Masih banak cirri teori konflik Karl Marx, dan teori neokonflik. Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori konflik tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu tidak sesuai dengan kebijakan otoritas penguasa yang berfungsi untuk mempertahankan ketertiban masyarakat; (b) otoritas aktor (individu) tidak tunduk pada kontrol yang ditentukan oleh masyarakat; dan (c) perubahan sosial yang terjadi bersifat evolusi, sehingga kurang menciptakan dinamika kehidupan sosial. Ketiga, teori interaksionis simbolik. Beberapa konsep dasar pandangan teori interaksionis simbolik H.Mead dalam memahami fenomena sosial atau tindakan individu, antara lain: (1) konsep realitas sosial. Realitas sosial yang sejati itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika manusia bertindak ‘di dan terhadap’ dunia. Apa yang nyata bagi manusia tergantung pada definisi atau interpretasi atau pandangan individu itu sendiri; (2) konsep pandangan tentang ‘individu’. Bahwa Individu merespons suatu situasi simbolik. Individu merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (tindakan sosial) berdasarkan makna yang terkandung dalam objek tersebut. Ketika individu menghadapi situasi, responnya bukan bersifat mekanis, tidak juga ditentukan oleh objek itu (eksternal seperti pandangan teori fungsional struktural dan teori konflik), melainkan ditentukan oleh ‘Diri, Jiwa, Pikiran’ individu dalam menginterpretasikan atau mendefinisikan situasi, dan diri, jiwa, pikiran sifatnya dinamik; dan (3) konsep pandangan tentang masyarakat. Bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi, tergantung pada pikiran individu. Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu. Dengan demikan
masyarakat secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran individu terus berubah melalui interaksi simbolik (Abraham, F.M. 1982; Ritzer dan Goodman, 2003). Jadi, individu adalah rasional dan produk dari hubungan sosial (interaksi sosial); Masyarakat adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu; Realitas sosial adalah bersifat individu dan sosial yang dinamik; Interaksi sosial meliputi pikiran, bahasa dan kesadaran akan diri sendiri; Interaksi sosial mengarah pada komunikasi non verbal. Sikap dan emosi individu dan kelompok dipelajari melalui bahasa; Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan. Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori interaksionis simbolik tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu tidak didasarkan pada pandangan, motivasi, tujuan yang ada pada Diri, Jiwa dan Pikiran individu dari proses menangkap simbol-simbol dalam interaksi; dan (b) sesuatu itu hasil dari tekanan struktural (kekuatan eksternal) yang bersifat statis. C. Sumber Masalah Sosial Dalam Pendekatan Individu dan Pendekatan Kelompok Berdasarkan uraian masalah sosial ditinjau dari perspektif teoritik di atas, para ahli mengelompokkan tentang sumber masalah sosial kedalam dua sudut pandang atau pendekatan, yaitu: (1) pendekatan individu (faktor internal); dan (2) pendekatan sosial atau kelompok (faktor eksternal). Pertama, pendekatan individu. Pendekatan ini lebih berorientasi pada teori interaksionis simbolik. Dalam pendekatan ini memandang bahwa sumber masalah sosial (problem sosial) adalah disebabkan oleh kondisi internal individu yang ‘eror’ atau ‘menyimpang’. Kondisi individu yang menyimpang ini dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) kondisi individu menyimpang karena faktor biologis (fisik) yang mendorong untuk menyimpang; dan faktor mentalitas (kejiwaan) negatif yang mendorong periaku menyimpang; dan (b) kondisi individu menyimpang karena faktor sosialisasi sub budaya menyimpang. Misalnya lingkungan keluarga yang disintegratif; Kedua, pendekatan kelompok. Pendekatan ini lebih berorientasi pada teori fungsional struktural dan teori konflik. Pendekatan ini memandang bahwa sumber masalah sosial disebabkan oleh faktor: (a) desain perencanaan
pembangunan tidak disusun baik, atau pelaksanaan pembangunan telah menyimpang dari perencanaan yang ada; (b) adanya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat yang begitu besar; (c) terjadinya pemberontakan atau peperangan atau koflik politik dan militer (disintegrasi sosial-politik); (d) terjadinya bencana alam yang membawa kehancuran infrastruktur; dan (e) struktur kekuasaan negara yang bersifat absolut atau otoriterianisme atau berkembangnya sistem diskriminasi (Soetomo, 1995; Liliweri, A.. 2005). D. Beragam Masalah Sosial Dalam Pembangunan 1. Masalah Kemiskinan Dalam kajian sosiologi pembangunan, konsep kemiskinan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) kemiskinan absolut (a fixed yardstick). Konsep kemiskinan absolut ini dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkit. Ukuran ini lazimnya berorientasi pada kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pangan, papan dan sandang. Besarnya ukuran setiap negara berbeda; (2) kemiskinan relatif (the idea of relative). Konsep kemiskinan relatif ini dirumuskan berdasarkan atau memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Asumsi ini, bahwa kemiskinan di daerah satu dengan daerah lain tidak sama, demikian juga antara waktu dulu dengan sekarang berbeda; (3) kemiskinan subjektif. Konsep kemiskinan sbjektif ini dirumuskan berdasarkan perasaan individu atau kelompok miskin. Kita menilai individu atau kelompok tertentu miskin, tetapi kelompok yang kita nilai menganggap bahwa dirinya bukan miskin, atau sebaliknya. Konsep kemiskinan ketiga inilah yang lebih tepat apabila memahami konsep kemiskinan dan bagaimana langkah strategis dalam menangani kemiskinan (Usman, S. 1998; Tjokrowinoto, W. 2004). Secara sosiologis, kemiskian merupakan salah satu problem sosial yang paling serius dialami oleh negara-negara berkembang. Secara umum kajian tentang kemiskinan dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu: (1) perspektif kultural (cultural perspective); dan (2) perspektif struktural atau situasional (situational perspective). Kedua perspektif tersebut mempunyai asumsi, metode dan pendekatan yang berbeda dalam menganalisis tentang kemiskinan. Pertama, perspektif kultural. Konsep kemiskinan dalam perspektif kultural dikelompokkan menjadi tiga tingkatan analisis, yaitu: (1) tingkatan individu, hal ini berarti kemiskinan karena mentalitas individu yang malas, apatis, fatalistik, pasrah, boros, dan tergantung (mentalitas negatif); (2) tingkatan keluarga, hal ini
berarti kemiskinan karena jumlah anak dalam keluarga sangat besar, dengan pola budaya keluarga yang tidak produktif; dan (3) tingkatan masyarakat, hal ini berarti kemiskinan kerena tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusiinstitusi masyarakat secara efektif. Kedua, perspektif struktural. Konsep kemiskinan dalam perspektif struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena dampak dari faktor-faktor struktur masyarakat (faktor eksternal), yaitu terjadinya kemiskinan karena: (1) program atau perencanaan pembangunan yang tidak tepat; (2) pelaksanaan kekuasan pemerintahan (birokrasi pemerintah) yang korup; (3) kehidupan sosial-politik yang tidak demokratis atau otoriter; (4) sistem ekonomi liberalistik atau kapitalistik; (5) berkembangnya teknologi modern atau industrialisasi yang mekanistik disemua aspek; (6) kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat sangat tinggi; (7) globalisasi ekonomi dan pasar bebas. Jadi, menurut perspektif struktural kemiskinan itu terjadi karena faktor ekternal, sedangkan menurut perspektif kultural kemiskinan itu terjadi karena mentalitas individu atau kelompok (Usman, S. 1998; Tjokrowinoto, W. 2004). Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan antara lain: (1) menyusun perencanaan pembangunan yang tepat dan integral; (2) melaksanakan program pembangunan di segala bidang, yang berbasis kerakyatan; (3) meningkatkan kualitas layanan pendidikan secara maksimal sesuai dengan amanat UUD 1945; (4) reformasi birokrasi (transparansi, efisiensi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya pembangunan); (5) menegakkan kepastian hukum dan berkeadilan; dan (6) meningkatkan peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan media massa dalam proses pembangunan (Dwipayana, Ari (Ed). 2003; Tjokrowinoto, W. 2004)
2. Masalah kenakalan remaja atau perilaku menyimpang remaja Pengertian perilaku menyimpang (deviasi sosial) adalah semua bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Jadi, perilaku menyimpang remaja adalah semua bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat (ooooo). Diantara bentuk atau macam-macam perilaku menyimpang remaja antara lain: (a)
tawuran antar pelajar; (b) penyimpangan seksual meliputi homoseksual, lesbianisme, dan hubungan seksual sebelum nikah; (c) alkoholisme; (d) penyalahgunaan obat terlarang atau narkotika; (e) kebut-kebutan di jalan raya; (f) pencurian atau penipuan, dan bentuk-bentuk tindakan kriminalitas lainnya Kenakalan remaja pada umumnya diawali dari munculnya gejala-gejala, antara lain: (1) sikap apatis terhadap kewajiban-kewajiban normatif yang melekat pada dirinya; (2) adanya kecenderungan sikap untuk suka mengganggu teman lainnya; (3) sikap kecewa yang berlebihan karena tidak terpenuhinya keingian tertentu; (4) kurang fokus atau perhatian terhadap suatu agenda kegiatan tertentu; (5) sikap takut yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap merugikan dirinya; dan (6) ketidakmampuan untuk berperan dalam kelompok atau sikap ‘manja’ yang berlebihan (Sudarsono, 1995). Bentuk penyimpangan perilaku remaja dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (a) penyimpangan primer, yaitu penyimpangan yang sifatnya temporer, sementara, dan masyarakat masih bisa mentolerir; (b) penyimpangan sekunder, yaitu penyimpangan yang dapat merugikan atau mengancam keselamatan orang lain, misalnya tindakan kriminal; (c) penyimpangan kelompok, yaitu penyimpangan yang dilakukan secara kelompok, misalnya geng untuk berkelahi, narkotik; dan (d) penyimpangan individu, yaitu perilaku menyimpang yang dilakukan secara sendiri. Faktor-faktor penyebab terbentuknya perilaku menyimpang remaja, antara lain: (a) ketidaksanggupan menyerap norma budaya; (b) adanya ikatan sosial yang berlainan dengan yang dimiliki; (c) akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang; (d) akibat kegagalan dalam proses sosialisasi; (e) sikap mental yang tidak sehat; (f) keluarga yang broken home atau keluarga yang disintegrasi; (g) pelampiasan rasa kecewa yang berlebihan; (h) dorongan yang berlebihan untuk dipuji; (i) proses belajar yang menyimpang; (j) dorongan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang salah; dan (k) pengaruh lingkungan dan media masa yang negatif (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Sudarsono, 1995). Diantara langkah strategis untuk meminimalkan terjadinya kenakalan remaja antara lain: (1) menciptakan kehidupan rumah tangga yang beragama (menunjung tinggi nilai spiritual); (2) menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis (hubungan antara ayah, ibu dan anak terjalin dengan baik); (3) mewujudkan kesamaan nilai, norma yang dipegang antara ayah dan ibu dalam mendidik anak; (4) memberikan kasih sayang secara wajar atau proporsional
(tidak memanjakan anak); (5) memberikan perhatian secara proporsional terhadap beragam kebutuhan anak; (6) memberikan pengawasan secara wajar atau proporsional terhadap pergaulan anak di lingkungan masyarakat atau teman bermainnya; dan (7) memberikan contoh tauladan yang terbaik pada anak, dan setiap pemberian layanan pada aak diarahkan pada upaya membentuk karakter atau mentalitas positif (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Wilis,S. 1994). 3. Masalah Lingkungan Hidup Problem atau masalah lingkungan hidup harus menjadi perhatian yang sangat serius, karena persoalan lingkungan adalah: (a) menyangkut jaminan kualitas kelangsungan kehidupan generasi dimasa-masa yang akan datang; dan (2) kegagalan dalam menangani persoalan lingkungan akan membawa dampak negatif disemu sektor kehidupan, baik dalam level lokal, nasional dan bahkan dunia, misalnya: terjadinya bencana banjir, pemanasan global; tanah longsor dan sebagainya. Proses pembangunan dan industrialisasi di negara-negara maju dan berkembang ternyata membawa dampak munculnya masalah pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, pencemaran udara, pencemaran laut atau air. Meningkatnya pencemaran lingkungan tersebut secara langsung atau tidak langsung mendorong munculnya beragam problem kehidupan di berbagai aspek, misalnya: (1) tingkat kualitas kesehatan masyarakat semakin terancam; (2) kualitas kesuburan tanah dan ekosistem lingkungan fisik terancam; (3) kualitas air sebagai sumber kehidupan semakin tercemar; (4) terjadinya pencemaran udara, karena polusi industri, dan sebagainya. Menurut Eitzen, dalam Soetomo (1995), ada beberapa faktor kekuatan sosial (perilaku manusia) yang menyebabkan terjadinya penceran dan ancaman kelestarian lingkungan, antara lain: (1) pertumbuhan penduduk yang pesat dan mengakibatkan meningkatnya permintaan akan makanan, energi dan beberapa kebutuhan lainnya; (2) konsentrasi penduduk di daerah perkotaan (urbanisasi) menyebabkan munculnya beragam limbah yang dapat merusak ekosistem; (3) proses pembangunan dan modernisasi yang meningkatkan pengunaan tekbologi modern yang bersifat konsumerisme dan mengabaikan keselamatan lingkungan; dan (4) aktivitas dan mekanisme pasar, bekerja tanpa pertimbangan keselamatan atau kelestarian lingkungan hidup. Ada beberapa langkah strategis dalam menangani masalah pencemaran
lingkungan hidup, yaitu: (1) menerapkan sistem hukum secara tegas dan berkeadilan terhadap setiap pelaku penceramaran lingkungan; (2) melakukan gerakan perlawanan terhadap pencemaran lingkungan hidup pada semua lapiran masyarakat, misalnya gerakan reboisasi, menjalankan konservasi, dan melakukan daur ulang; (3) melakukan kontrol dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk; (4) melakukan inovasi teknologi, yaitu teknologi yang ramah lingkungan; (5) membudayakan gaya hidup masyarakat yang konsumeris dan mekanis (orientasi kekinian) berubah pada orientasi hidup pada kelangsungan generasi mendatang (orientasi masa depan); dan (6) mengembangkan pendidikan kelestarian lingkungan di setiap jenjang pendidikan (Soetomo, 1996, Usman, S. 1998) 4. Masalah Konflik SARA Masalah konflik Suku, Agama, Ras dan Antar kelompok (SARA), bagi negaranegara berkembang yang multikultural (termasuk Indonesia) adalah problem yang sewaktu-waktu bisa muncul, dan dapat mengganggu kelancaran proses pembangunan. Oleh karena setiap desain pembangunan dan pelaksanaan pembangunan harus betul-betul meminimalkan terjadinya konflik SARA (Warnaen, S. 2002; Nugroho, F, (eds). 2004). Unsur-unsur konflik SARA adalah: (a) ada dua pihak atau lebih yang terlibat konflik; (b) ada tujuan yang menjadi sasaran konflik, dan tujuan tersebut sebagai sumber konflik; dan (c) ada perbedaan pikiran, perasaan dan tindakan untuk meraih tujuan yang saling memaksakan atau menghancurkan. Ciri-ciri konflik SARA adalah: (a) bersifat alamiah; (b) anggota suku, agama, ras, antar kelompok yang terlibat konflik cenderung lebih terdorong untuk melakukan konflik berikutnya untuk kepentingan kelompoknya; (c) umumnya terjadi antara SARA mayoritas dengan minoritas; (d) sering diiringi dengan kekerasan yang berlangsung dalam ruang dan waktu tertentu; (e) mereka yang terlibat konflik merasa belum puas karena kebutuhan mereka belum terpenuhi; dan (f) konflik melibatkan dua kelompok kepentingan yang saling memperebutkan kebutuhan hidup (Suryadinata, L., dkk. 2003; ; Liliweri, A.. 2005). Sumber-sumber konflik SARA, yaitu: (a) perbedaan orientasi nilai budaya dan masing-masing saling memaksakan kehendak; (b) tertutupnya pintu komunikasi antar masing-masing pihak sehingga tidak bisa saling memahami pola budaya; (c) kepemimpinan yang tidak efektif; pengambilan keputusan yang tidak adil; (d) ketidakcocokan peran-peran sosial, yang disertai dengan pemaksaan kehendak;
(e) produktivitas masing-masing pihak rendah dalam kelompok, sehingga kebutuhan kelompok tidak terpenuhi; (f) terjadinya perubahan sosial budaya yang bersifat revolusioner, sehingga terjadi disintegrasi sosial-budaya; (g) karena latar belakang historis yang tidak baik; dan (h) kesenjangan sosial-ekonomi (Soetomo, 1995; Liliweri, A.. 2005). Strategi penyelesaian konflik, antara lain: Pertama, melakukan manajemen konflik. Manajemen konflik adalah: “tindakan konstruktif yang direncanakan, diorganisasi, digerakkan dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demi mengakhiri konflik�. Ada delapan konsep dalam melakukan manajemen konflik, yaitu: (a) pengakuan diri bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada konflik; (b) analisis situasi yang menyebabkan konflik; (c) analisis pola perilaku pihak-pihak yang terlibat konflik; (d) menentukan pendekatan konflik yang dapat dijadikan model penyelesaian; (e) membuka semua jalur-jalur komunikasi, baik langsung atau tidak langsung; (f) melakukan negoisasi atau perundingan dengan pihakpihak yang terlibat konflik; (g) rumuskan beberapa anjuran, alternatif, konfirmasi relasi sampai tekanan; dan (h) hiduplah dengan penuh motivasi kerja dengan konflik. Semua konflik tidak mungkin dihilangkan sama sekali, yang bisa hanya diminimalkan. Kedua, melakukan analisis konflik, yaitu melakukan penelitian tentang pola budaya antar etnik atau kelompok yang sedang konflik. Tujuan penelitian ini adalah: (a) akan dapat melacak sejarah etnik, karena sejarah budaya etnik sangat menentukan karakter etnik masing-masing; (b) menjelaskan faktor penyebab konflik antar etnik; (c) melakukan interpretasi terhadap konflik etnik dengan melihat sebab-sebabnya; (d) mengelaborasi nasionalisme etnik dan peranannya dalam eskalasi konflik sosial; dan (e) menggambarkan situasi khusus yang terjadi dalam kondisi kekinian dan meprediksi kondisi keakanan; Ketiga, melakukan pendidikan komunikasi lintas budaya. Diantara strategi pendidikan komunikasi lintas budaya adalah memberlakukan pendidikan multikultural yang terintegrasi pada setiap mata pelajaran di setiap satuan pendidikan. Inti pendidikan multikultural adalah, demokratisasi, humanisasi dan pluralis (Sutrisno, L. 2003; Suryadinata, L., dkk. 2003).
5. Masalah Kriminalitas Kriminalitas atau tindakan kriminal merupakan problem sosial yang bersifat laten (selalu ada dalam kehidupan masyarakat atau negara manapun), namun tindakan kriminal bukanlah penyimpangan perilaku yang dibawa sejak lahir, tetapi tindakan kriminal merupakan hasil dari sosialisasi sub budaya menyimpang. Tindakan kriminal sering dikategorikan sebagai tindak pidana atau tindakan yang melanggar hukum pidana. Diantara contoh tindakan kriminal adalah: korupsi, pencurian, pembunuhan, perampokan, penipuan atau pemalsuan, penculikan, perkosaan, sindikat narkotik atau penyalahgunaan obat terlarang. Hal-hal yang mendorong terjadinya perilaku menyimpang dalam bentuk tindakan kriminal antara lain: (1) terjadinya perubahan sosial, politik, ekonomi yang bersifat revolusi, misalnya terjadi peperangan; (2) terjadinya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat yang begitu besar, sebagai akibat kesalahan strategi atau perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan; (3) adanya peluang atau kesempatan untuk terjadinya tindakan kriminal, karena alat-alat penegak hukum tidak tegas atau tidak ada kepastian hukum di masyarakat; (4) pemerintah yang lemah (tidak bersih) dan aparat pemerintah yang korup, atau banyak muncul penjahat kerah putih (white collar crime) di setiap departemen pemerintah atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga ekonomi; (5) meningkatnya jumlah penduduk yang tidak terkendali, sehingga jumlah pengangguran dan urbanisasi meningkat; (6) kondisi kehidupan keluarga yang disintegratif; dan (7) berkembangnya sikap mental negatif, misalnya: hedonistis, konsumersitis, suka menempuh jalan pintas dalam meraih tujuan dan sejenisnya (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Soetomo, 1995). Pendekatan atau metode yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal adalah: (a) metode preventif, yaitu cara pencegahan melalui pemberian informasi (penyuluhan), pendidikan, pelaksanaan program pembangunan yang benar; (b) metode represif, yaitu cara pencegahan melalui pemberian hukuman, penangkapan dan pemenjaraan sampai pada penembakan. Metode terbaik dalam menangani tindak kriminal adalah metode preventif (Wilis,S. 1994). 6. Masalah aksi protes, pergolakan daerah, dan pelanggaran HAM Aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, merupakan masalah sosial yang cukup kompleks, dan menuntut adanya perhatian khusus dalam
pemecahannya. Telebih kondisi sosial budaya masyarakat yang multikultural, seperti di Indonesia. Hampir setiap hari terjadi aksi protes dan demonstrasi di daerah-daerah. Hal ini tentu dapat mengganggu proses perubahan atau pembangunan masyarakat. Diantara sebab terjadinya aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, antara lain: (1) terjadinya dominasi mayoritas kepada minoritas disertai dengan tindakan sewenang-wenang dalam berbagai aspek kehidupan; atau adanya pemaksaan kehendak antar kelompok di masyarakat; (2) terjadinya kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat yang sangat tinggi; (3) terjadinya perebutan antar kelompok di masyarakat tentang sumber-sumber mata pencaharian hidup; (4) adanya pemaksaan ideologi kelompok satu kepada kelompok lainnya (berkembangnya sikap eksklusifisme/ primordialisme); dan (5) adanya tradisi masa lalu sebagai warisan sejarah tentang konflik antar kelompok atau antar ethnik. Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia, untuk meminimalkan terjadinya aksi protes, demonstrasi, tindak kriminal, dan pelanggaran HAM, antara lain: (1) merumuskan pokok-pokok kebijakan pembangunan masyarakat, antara lain: (a) pembangunan harus memihak rakyat, dinamis-berkelanjutan, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasikan; (b) pembangunan harus memanfaatkan secara baik sumber daya masyarakat dan meningkatan partisipasi peran masyarakatnya; (2) memprioritaskan pembangunan SDM, yaitu membangun ketaatan pada prinsip-prinsip moral (hukum) dan agama; sikap kesetiakawanan sosial; kreativitas; produktivitas; pengembangan rasionalitas; dan kemampuan menegakkan kemandirian untuk berkarya; (3) program yang disusun di sektor pembangunan masyarakat, betul-betul memperhatikan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, dengan memperhatikan skala prioritas dan kondisi lingkungan fisik serta sosio-budaya masyarakatnya; (4) proses pembangunan sosial, ekonomi dan politik masyarakat, harus lebih meningkatkan kearah otonomi daerah dan otonomi masyarakat yang lebih berkualitas; (5) proses pelaksanaan pembangunan masyarakat hendaknya dilakukan secara demokratis, transparansi dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan; dan (6) karena basis ekonomi masyarakat Indonesia adalah pertanian, maka program pembangunan harus berbasis pada pembangunan teknologi pertanian di pedesaan (Usman, S., 1998; Dwipayana, Ari (Ed). 2003; Tjokrowinoto, 2004)
14.
KEMISKINAN : SUATU TINJAUAN TEORI
15. OLEH : AL KINDI HARLEY 16. 17. Apa yang anda pikirkan ketika mendengar kata ‘kemiskinan’ ? pastinya yang terbayang adalah sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan. Tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup, penganguran, pendidikan kurang, kesehatan kurang, tinggal di tempat yang tidak layak, pendapatan tidak mencukupi makan seluruh anggota keluarga – makan seadanya, dan kondisi lainnya yang jauh dari kelayakan dan ini terjadi di sekitar kita. 18. 19. Kondisi dan fenomena kemiskinan yang mengungkung sebagian besar masyarakat
kita hingga kini masih menyimpan banyak perdebatan. Perdebatan tersebut terutama seputar teori, konsep maupun metode-metode yang menyangkut tentang kondisi kemiskinan di sekitar kita. Perdebatan dimulai dengan penyusunan konsep, indikator, dan langkahlangkah termasuk kebijaksanaan yang harus diambil berhubungan dengan cara mengatasinya, atau dengan bahasa praktisnya penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi makin menjadi kontras, tatkala pihak-pihak yang mengalami atau berada dalam ‘kondisi miskin’ terus bertambah julah atau tingkat kemiskinanya. 20. 21. Kemiskinan seperti diungkapkan oleh Suparlan (1994), dinyatakan sebagai suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhankebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan social (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan-minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan sebagainya). 22. 23. Kemiskinan, masih menurut Suparlan (1994), dengan demikian terserap ke dalam dan mempengaruhi hamper keseluruhan aspek-aspek kehidupan manusia. Kemiskinan merupakan masalah sosial yang sangat kompleks, karena itu perlu tinjauan menyeluruh dari berbagai sudut pandang. Sebagian sarjana menjelaskan masalah kemiskinan melalui analisis politik dan pendekatan struktural. Sarjana yang lain meninjaunya dari perspektif kebudayaan, yang melahirkan pendekatan kultural. 24. 25. Penganut strukturalis bermazhab Marxian menggunakan analisis konflik kelas, yang terfokus pada: 26. 27. (i) Politik pembangunan yang elitis, 28. (ii) Kebijakan sosial yang tidak adil, 29. (iii) Dominasi sumber daya finansial oleh kelompok tertentu, 30. (iv) Penguasaan aset ekonomi dan alat-alat produksi oleh golongan kecil masyarakat, dan 31. (v) Keterbatasan akses pada kegiatan ekonomi produktif. 32. 33. Sedangkan penganut paham kultural melihat isu krusial ini dengan melakukan analisis mengenai orientasi nilai budaya di kalangan orang miskin. Analisis
kultural bersifat inward looking dengan mengamati sikap, perilaku, dan cara pandang orang miskin dalam menjalani kehidupan. Kaum kulturalis berpandangan, orientasi nilai budaya orang miskin itu tidak mendukung upaya untuk melepas mata rantai kemiskinan. Suatu keluarga miskin cenderung mewariskan nilai budaya miskin dari generasi ke generasi, sehingga lingkaran kemiskinan tak bisa diputus. Interaksi sosial di lingkungan keluarga miskin menjadi wahana sosialisasi nilai bagi anak-anak secara berkesinambungan, yang menyebabkan the chain of poverty makin kuat sehingga tak dapat diurai. 34. 35. Sikap Mental Dalam perspektif kebudayaan, masalah kemiskinan bukan sekadar menyangkut kelangkaan sumber daya ekonomi, ketidakadilan distribusi aset produktif, atau dominasi sumber-sumber finansial oleh golongan tertentu. Dalam kajian antropologi pembangunan, ada sebuah ungkapan terkenal: “poverty is a state of willingness rather than scarcity.� Di luar kendala struktural, masalah kemiskinan menyangkut sikap mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada state of mind yang tak bersenyawa dengan spirit perubahan, kemajuan, dan peningkatan status serta kualitas kehidupan. 36. Buku klasik karangan Oscar Lewis, Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of Poverty (1959), secara cemerlang menguraikan betapa orientasi nilai, pola hidup, dan cara berpikir orang miskin mencerminkan suatu kebudayaan kemiskinan. Tesis utamanya: orang miskin memiliki karakteristik dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan orang kebanyakan, yang kemudian membentuk sub-kultur tersendiri. 37. Lewis menulis, 38. 39. “the culture of poverty indicates that poor people share deviant cultural characteristics; they have lifestyles that differ from the rest of society and these characteristics perpetuate their life of poverty.� 40. 41. Jadi, kemiskinan bukan semata bersumber pada kebijakan negara yang didominasi golongan elite, yang melahirkan ketimpangan ekonomi. Atau regulasi pemerintah yang tak adil, sehingga membuahkan marginalisasi sosial. 42. 43. Karakteristik kebudayaan kemiskinan antara lain 44. 45. (i) Rendahnya semangat dan dorongan untuk meraih kemajuan, 46. (ii) Lemahnya daya juang (fighting spirit) untuk mengubah kehidupan, 47. (iii) Rendahnya motivasi bekerja keras, 48. (iv) Tingginya tingkat kepasrahan pada nasib-nrimo ing pandum, 49. (v) Respons yang pasif dalam menghadapi kesulitan ekonomi, 50. (vi) Lemahnya aspirasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik, 51. (vii) Cenderung mencari kepuasan sesaat (immediate gratification) dan berorientasi masa sekarang (present-time orientation), dan 52. (viii) Tidak berminat pada pendidikan formal yang berdimensi masa depan. 53. 54. Karakteristik kebudayaan kemiskinan ini bertolak belakang dengan ciri-ciri manusia modern menurut gambaran Alex Inkeles dan David Smith dalam Becoming Modern (1974), yang mengutamakan kerja keras, dorongan untuk maju, pencapaian prestasi, dan berorientasi masa depan. 55. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor internal yakni mentalitas orang miskin turut memberi sumbangan pada problem kemiskinan, dan bukan semata faktor eksternal atau masalah struktural.
56. 57. SUMBER BACAAN : 58. Amich Alhumami (Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom) dalam artikel “BLT dan budaya kemiskinana�. Di akses dari ‘Suara Pembarua Daily’ pada 29 mei 2008. 59. Lewis, Oscar : Kisah Lima Keluarga; 1988. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 60. 61. Suparlan, Dr. Parsudi (penyunting): Kemiskinan Di Perkotaan, Bacaan Untuk
Antropologi Perkotaan; 1984. Jakarta. Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia.
Blog / Teori dan Pendekatan Masalah Kemiskinan Kamis, 20 Agustus 2009 jam 17:29 Ada banyak teori tentang kemiskinan, namun menurut Michael Sherraden (2006:46-54) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yang saling bertentangan dan satu kelompok teori yang tidak memihak (middle ground), yaitu teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu (behavioral), teori yang mengarah pada struktur social, dan yang satu teori mengenai budaya miskin. Menurutnya Teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan capital manusia (human capital). Teori ini disajikan dalam teori ekonomi neo-klasik, yang berasumsi bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dengan tersedianya pilihan-pilihan. Perspektif ini sejalan dengan teori sosiologi fungsionalis, bahwa ketidak setaraan itu tidak dapat dihindari dan diinginkan adalah keniscayaan dan penting bagi masyarakat secara keseluruhan. Terori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan. Teori Struktural yang bertolak belakang dengan terori perilaku memandang bahwa hambatanhambatan structural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Variasi teori structural ini terfokus pada topic seperti ras, gender atau ketidak sinambungan geografis dalam kaitannya atau dalam ketidakterkaitannya dengan ras. Teori budaya miskin yang dikembangkan oleh Oscar Lewis dan Edward Banfield ini mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut Michael Sherraden bahwa dalam berbagai bentuk, teori budaya miskin ini berakar pada politik sayap kiri (Lewis) dan politik sayap kanan (Banfield). Dari sayap kiri, perspektif ini dikenal sebagai situasi miskin, yang mengindikasikan bahwa adanya disfungsi tingkah laku ternyata merupakan adaptasi fungsional terhadap keadaan-keadaan yang sulit (Michael Sherraden : 2006, Parsudi Suparlan : 1995). Dengan kata lain kelompok sayap kiri cenderung melihat budaya miskin sebagai sebuah akibat dari struktur social. Sebaliknya kelompok sayap kanan melihat tingkah laku dan budaya masyarakat kelas bawah yang mengakibatkan mereka menempati posisi di bawah dalam struktur social. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam studi tentang kemisinan, yaitu pedekatan obyektif dan pendekatan subyektif. Pendekatan obyektik yaitu pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang telah ditentukan oleh pihak lain terutama para ahli yang
diukur dari tingkat kesejahteraan sosial sesuai dengan standart kehidupan, sedangkan pendekatan subyektif adalah pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang ditentukan oleh orang miskin itu sendiri yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial dari orang miskin dibandingkan dengan orang kaya yang ada dilingkungannya. Seperti diungkapkan oleh Joseph F. Stepanek, ed. (1985) bahwa pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Dengan menggunakan pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi pendekatan yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga. Seperti BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective. Pendekatan kebutuhan dasar, melihat bahwa kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Sedangakn pendekatan pendapatan, melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Demikian pula pendekatan kemampuan dasar yang menilai bahwa kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Berbeda dengan pendekatan lainnya Pendekatan hak melihat bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.