Luthfi 2013 legalisasi aset dan dampaknya terhadap akses masyarakat sekitar

Page 1

ISSN 1411-1101

JURNAL

IPTEK PERTANAHAN Penanggung Jawab Redaktur

Managam Manurung, SH., M.Kn Ir. Iwan Taruna Isa, MURP Dra.Ratna Djuita

Mitra Bestari

Prof. Endriatmo Soetarto, MA Pakar Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc Pakar Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor

Dr. Satyawan Sunito Pakar Agraria Institut Pertanian Bogor

Noer Fauzi Rachman Pemerhati Agraria

Penyunting Pelaksana

Dr. Aslan Noor, SH., MH., SP1 Pakar Ilmu Hukum Tata Negara

Trie Sakti, SH., CN., MH Peneliti Bidang Pertanahan

Munsyarief, A.Ptnh, M.Si Ekonomi Pembangunan Sumber Daya Agraria

Arditya Wicaksono, S.IP. Pelayanan Publik di Bidang Pertanahan

Desain Grafis & Fotografer Sekretariat

Shofiatul Munawaroh, S.Kom Jamaludin, SH Robin Tua Halomoan Sijabat, S.Kom Lusia Tri Harjanti, SE Affan Hilman Sutarto, S.AP Novianti Bintari, SP

Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Jl. H. Agus Salim No.58 Jakarta Pusat Telp./Fax. (021) 3909016 e-mail : puslitbang@bpn.go.id Frekuensi terbit dua kali setahun, setiap bulan Mei dan November

Vol. 3 No. 1 Mei 2013



PENGANTAR REDAKSI Pembaca Yang Terhormat, Selamat bertemu kembali dalam Jurnal Iptek Pertanahan Volume I Nomor 3 Tahun 2013, dan kami tampil dengan mengusung hal – hal baru, kekinian dan bersifat mendasar dalam mengetahui, dan memahami pertanahan dari berbagai perspektif pengetahuan dan disiplin keilmuan. Kami sengaja tidak menentukan tema dalam penerbitan jurnal ini, agar pembaca dapat memperoleh cakrawala pandang yang luas tentang pertanahan dalam konteks keilmuan dan teknologi. Kemampuan substantif yang dimiliki penulis disuguhkan secara apik sebagai berikut: Mengawali Jurnal ini, Amien Tohari dalam artikelnya yang berjudul ”Pergeseran Urusan Legalisasi Asset dari Administrasi Publik Lama ke Pelayanan Publik Baru dalam Kerangka Pengurusan Pertanahan Demokratis” memaparkan bagaimana posisi legalisasi aset dalam kaitannya dengan 4 hal yaitu perubahan sosial, meningkatnya persoalan agraria, paradigma pelayanan pertanahan, dan birokrasi agraria secara luas. Menurut penulis meluasnya konflik dan problema agraria bukan hanya terletakpada konsep lagalisasi aset tetapi juga pada paradigma pelayanan birokrasi agraria itu sendiri. Dalam tulisan yang lain, Ahmad Nashih Luthfi memaparkan bagaimana legalisasi aset seharusnya dilaksanakan agar dapat benar-benar mencapai tujuan yaitu memperkuat keamanan tenurial dan kesejahteraan pemegang hak. hal tersebut disampaikan dalam artikelnya berjudul ”Legalisasi Aset dan dampaknya terhadap akses masyarakat sekitar”. Wawan Edi Kuswandoro dalam tulisannya yang berjudul ”Rasa Memiliki dan Budaya Organisasi Badan Pertanahan Nasional”, menyampaikan bagaimana menciptakan Solidaritas, Keterbukaan, dan Integritas dilandasi oleh aspek kepercayaan, Keterbukaan, Berpikir Positif, Rasionalitas dan efisiensi mampu menjadi bahan refleksi keberhasilan organisasi, yang untuk kemudian dapat diadopsi oleh BPN RI sehingga kinerja dan hasil yang diharapkan visi yang ditetapkan oleh BPN. Dalam penyelesaian sengketa pertanahan, Nanang Haryono dalam tulisannya ”Policy Network Penyelesaian Sengketa Tanah” memaparkan upaya penyelesaian sengketa melalui Policy Networks antara Goverment, Civil Society dan Private sector. Hal ini diharapkan mampu memberikan solusi melalui kebijakan yang deliberatif yang menguntungkan semua pihak khususnya kepentingan publik. Dalam usaha melegalisasi tanah-tanah milik instansi pemerintah dapat mendukung dan memperkuat ekonomi nasional dan kesejahteraan sosial bangsa Indonesia disampaikan oleh Imam Koeswahyono dalam tulisannya berjudul ”Legalisasi Aset Sumber Daya Tanah (Suatu Telaah Normatif)”. Rizal Anshari dalam tulisannya berjudul ”Telaahan Teknis Yuridis Pendaftaran HGR Atas dan Bawah Tanah Melalui Sistem 3 Dimensi”, menyampaikan bahwa, pentingnya lembaga hukum baru yang mengatur mengenai penguasaan dan penggunaan ruang dibawah dan diatas permukaan bumi dalam mengantisipasi kebutuhan akan pembangunan. Bagas Haryotejo dalam tulisannya berjudul ”Analisis Kondusifitas Iklim Investasi Daerah dari Perspektif Kemudahan Perolehan Tanah (Studi Kasus : Kota Surabaya)” memaparkan pengaruh iklim investasi disuatu


wilayah terhadap kemudahan perolehan tanah. Shofiatul munawaroh dalam tulisannya tentang ”Penerapan Balance Scorecard sebagai Tolok Ukur Penilaian Kinerja Badan Pertanahan Nasional” memaparkan penerapan metode yang menyangkut 4 perspektif secara seimbang di lingkungan Badan pertanahan Nasional. dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional, dalam tulisannnya berjudul ”Kerjasama Antara Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pertanian Dalam Rangka Mewujudkan Ketahanan Pangan”, Dwi Suprastyo menyampaikan pentingnya sinergi antara Badan Pertanahan Nasional dengan Kementerian Pertanian. Pembaca dimana saja berada, Harapan kami, isi jurnal ini dapat menjadi peletak dasar bagi pengambil kebijakan dalam menyusun naskah akademis dari berbagai peraturan perundang – undangan pertanahan. Tiada kesempurnaan dalam perbuatan karena kesempurnaan adalah milik Tuhan. Oleh karena itu, diperlukan saran dan kritik yang membangun untuk kemajuan pengembangan jurnal lebih lanjut. Atas kerja keras tim dan penulis pada jurnal Iptek pertanahan, akhirnya kepada Allah jualah segalanya diserahkan. Semoga jurnal ini bermanfaat bagi organisasi BPN pada khususnya, dan kepada siapa saja yang membutuhkannya.

Terima kasih dan Selamat membaca

Salam Redaktur


ISSN 1411-1101

JURNAL

Vol. 3 No. 1

IPTEK PERTANAHAN

Mei 2013

DAFTAR ISI 1. Pergeseran Urusan Legalisasi Aset dari Administrasi Publik Lama Ke Pelayanan Publik Baru dalam Kerangka Pengurusan Pertanahan Demokratis........................................................................................... Amien Tohari

1 - 14

2. Legalisasi Aset dan Dampaknya terhadap akses masyarakat sekitar .

15 - 32

Ahmad Nasih Luthfi 3. Rasa Memiliki dan Budaya Organisasi Badan Pertanahan Nasional..

33 - 44

Wawan Edi Kuswandoro 4. Policy Network Penyelesaian Sengketa Tanah....................................

45 - 56

Nanang Haryono 5. Legalisasi Aset Sumber Daya Tanah (Suatu Telaah Normatif) ......

57 - 70

Imam Koeswahyono 6. Telaahan Teknis Yuridis Pendaftaran HGR Atas dan Bawah Tanah Melalui Sistem 3 Dimensi Hak Guna Ruang Atas Tanah Dan Hak Guna Ruang Bawah Tanah.................................................................. Rizal Anshari

. ....71 -

80

7. Analisis Kondusifitas Iklim Investasi Daerah dari Perspektif Kemudahan Perolehan Tanah (Studi Kasus : Kota Surabaya)............ Bagas HaryoTejo

81 - 96

8. Penerapan Balanced Scorecard Sebagai Tolok Ukur Penilaian Kinerja Badan Pertanahan Nasional ................................................... Shofiatul Munawaroh

97 - 112

9. Kerjasama Antara Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pertanian Dalam Rangka Mewujudkan Ketahanan Pangan ............... 113 - 122 Dwi Suprastyo




Legalisasi Aset dan Dampaknya Terhadap Akses Masyarakat Sekitar Ahmad Nasih Luthfi

LEGALISASI ASET DAN DAMPAKNYA TERHADAP AKSES MASYARAKAT SEKITAR LEGALIZATION ASSETS AND THEIR IMPACT ON THE COMMUNITY ACCESS Ahmad Nashih Luthfi Dosen dan Manajer Penelitian Sistematis, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

ABSTRAK Legalisasi aset yang bertujuan memperkuat keamanan tenurial dan kesejahteraan pemegang hak justru dapat memfasilitasi proses pelepasan atas tanah, jika tanpa didahului kebijakan redistribusi yang bertujuan menata kembali diferensiasi agraris. Legalisasi aset berfungsi ganda (the double edge of exclusion), di satu sisi diperlukan untuk inklusi atau menjamin kepastian secara legal hak atas tanah bagi pemegangnya, namun di sisi lain ia memiliki arti eksklusi atau membatasi pihak lain berkesempatan mengakses atas tanah itu. Legalisasi aset untuk tujuan pasar tanah dan di atas wilayah yang didefinisikan sebagai tanah negara yang berakibat membatasi hak masyarakat guna mengaksesnya akan mendorong transisi agraris kapitalistik. Terkecuali jika legalisasi aset mengakomodir kepemilikan komunal masyarakat sebagaimana pelajaran dari dua kasus yang dikaji: tanah buruhan di desa adat Ngandagan Purworejo dan koperasi buruh perkebunan di Tasikmalaya. Kata kunci: legalisasi aset, redistribusi, the double adge of exclusion, tanah komunal

ABSTRACT Asset legalization aims to strengthen tenurial security and elevate welfare of the people without land redistribution policy to restructure agrarian differentiation yet, precisely facilitate process of land release. Asset legalization have double edge of exclusion: giving tenurial security for the holder; but also restraining access of the land to the other. Asset legalization for land market and implemented on area definitely as “state domain� that causes restraining access of the area for the people, leads capitalistic agrarian transition. Aside from these purposes, is when asset legalization accommodates communal property of the people as two exemplary cases; land of buruhan in adat village Ngandagan of Purworejo, and cooperative labor plantation in Tasikmalaya. Keywords: asset legalization, redistribution, the double adge of exclusion, communal land-property

PENDAHULUAN Legalisasi aset

menjadi salah satu jawaban atas

pertanyaan tentang keamanan tenurial, kepastian hak, dan sarana bagi penanggulangan kemiskinan saat sertifikat hasil dari legalisasi aset itu dapat diagunkan ke bank guna mendapat kredit. Beberapa kasus yang dikaji di bawah ini menunjukkan bahwa proses ajudikasi tanah yang secara administratif dan tataran konsep bersifat netral tidaklah menjadi

semudah yang dibayangkan sebab dijalankan di atas ruang sosial yang telah memiliki sistem, struktur sosial dan keorganisasiannya tersendiri. Legalisasi aset juga dapat berarti menguatkan klaim atas tanah dan pemusatan tanah pada segelintir orang atau negara, tatkala dilakukan tanpa mempertimbangkan kebijakan redistribusi yang bertujuan menata kembali diferensiasi agraris yang ada.

Dengan kata lain,

Legalisasi Aset (LA) tanpa Land Reform (LR) yang

15


JURNAL IPTEK PERTANAHAN

Vol. 3 No. 1

Mei 2013

15-32

berciri redistributif, hanya akan memberi pelayanan

sertifikat yang dimilikinya akan cenderung mudah

pada mereka “yang memiliki tanah” dan bukan pada

terlepas dengan dijadikannya agunan kredit tatkala

mereka “yang tidak memiliki tanah”.

mereka membutuhkan uang segar guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian juga kebijakan tata

Dalam perspektif lebih luas, jika struktur ekonomi suatu

negara

tidak

kondusif

bagi

ekonomi

masyarakat biasa yang memiliki sedikit tanah, maka

Tabel 1 :

Total jumlah sertifikat tanah yang dihasilkan 2005-2008

Tipe legalisasi aset tanah

2005

2006

2007

2008

Skema yang disponsori Pemerintah Proyek Operasi National Agraria (PRONA) Redistribusi Tanah Konsolidasi Tanah

80.361

84.150

349.800

418.766

5.000

4.700

74.900

332.935

2.200

Legalisasi Tanah UKM

-

1.600

6.635

10.100

10.241

13.000

30.000

Legalisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

43.948

16.943

424.280

594.139

Legalisasi Transmigrasi

50.000

47.750

26.537

24.970

Sub-Total

181.509

165.384

883.452

1.410.910

Skema yang dibiayai oleh proyek Bank Dunia LMPDP (Land Management Development Project)

and

Program

RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System) Sub-Total

330.000

507.000

21.000

118.000

351.000

625.000

645.000 -

651.000 110.597

645.000

761.597

Skema Swadaya Redistribusi Swadaya

6.227

34.000

16.798

39.928

Konsolidasi Swadaya

6.705

27.530

23.863

26.688

Legalisasi Swadaya

1.820.939

1.427.303

2.298.367

2.387.916

Sub-Total

1.833.871

1.488.833

2.339.028

2.454.532

Total per-tahun

2.366.380

2.279.217

3.879.180

4.627.039

Total 2005 sampai dengan 2008 = 13.141.816 Sumber: Badan Pertanahan Nasional, 2008, dikutip dari Noer Fauzi Rachman, 2011, hlm 114

ruang wilayah dan pergerakan pasar tanah yang

pasca legalisasi aset mereka justru mengalami

tidak bersahabat pada upaya bertahannya bidang -

proses pelepasan tanah, berubah menjadi “the

bidang lahan untuk pangan. Pilihan logis bagi pemilik

people of no land”. Legalisasi aset mendorong

sawah bersertifikat di tengah kepungan bangunan

proses transisi agraria.

hasil konversi lahan untuk menjualnya atau mengalih fungsikannya. Dalam struktur ekonomi dan kebijakan keruangan yang tidak berpihak pada “the people of land” demikianlah, bukan gejala yang muskil jika

16


Legalisasi Aset dan Dampaknya Terhadap Akses Masyarakat Sekitar Ahmad Nasih Luthfi

PEMBAHASAN

ekstralegal, kepemilikan dan batas batas tanah tidak

Formalisasi tanah atau reform penguasaan tanah?

ke dalam sistem pasar. Maka diperlukan reformasi

dapat dipastikan, sehingga menyulitkan terintegrasi sistem perundang-undangan (legal system reform)

Pendaftaran tanah berupa pengukuran-perpetaan, pendaftaran hak atas tanah, yang berujung pada penerbitan surat tanda bukti hak, adalah proses-proses legalisasi aset tanah. Kesemuanya

ini bertujuan

atas administrasi pertanahan yang ada1. Gagasan ini berkesesuaian dengan sebelas agenda BPN RI yang menempatkan pendaftaran tanah dan sertipikasi sebagai agenda kedua dari 11 agenda yang ada.2

untuk “menjamin kepastian hukum”, sebagaimana

Agenda legalisasi aset tanah mendapat kritik

tertuang dalam pasal 19 ayat (1) UUPA 1960. Selain

tajam dari kalangan NGO. Legalisasi aset dapat

memberikan hak legal atas properti sehingga setiap

mempercepat dan memperluas pasar tanah. Selain

subyek hak lebih mendapatkan perlindungan hukum

melalui legitimasi ideologis seorang ekonom liberal

atas obyek hak karena dilegalkan oleh pemerintah,

asal Peru, Hernando de Soto, legalisasi aset dalam

sertifikat memberikan keleluasaan gerak bagi subyek

pengalaman Indonesia di masa lalu dan sebagian

hak untuk mengalihkannya ke pihak lain.

masih berlangsung hingga kini didanai oleh donor

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada delapan tahun terakhir ini melakukan legalisasi aset secara pesat. Pada tahun 2004 dilaporkan ada

asing seperti Bank Dunia (LMPDP dan RALAS). Agenda ini mendorong kepastian hak tanah untuk pertumbuhan ekonomi dan kapitalisasi tanah. 3

269.902 bidang tanah yang dilegalisasi, melonjak

Berbeda dengan gagasan de Soto di atas4 ,

menjadi

(lebih

keberadaan sertifikasi tanah sejak awal sebenarnya

800%), ditambah dengan pengurusan mandiri oleh

ditempatkan sebagai instrumen yang menjalankan

perorangan, kelompok ataupun badan usaha maka

agenda utama berupa pelaksanaan UUPA 1960

jumlahnya mencapai 4.627.039 bidang.

dan landreform. Undang-undang ini memiliki lima

2.172.507

bidang

pada

2008

Secara konseptual, dalam pandangan Hernando de Soto sertifikat adalah surat pas bagi masyarakat untuk bisa masuk ke dalam sistem ekonomi formal/ pasar, mendapat modal untuk memulai suatu usaha, melakukan kerjasama dengan pihak-pihak lain yang membutuhkan jaminan, dan seterusnya. Tanpa itu, aset tanah yang dimiliki oleh masyarakat dalam kondisi tersandera atau sebagai “aset yang

misi utama: (1) Perombakan Hukum Agraria, (2) Pelaksanaan Landreform, (3) Penataan Penggunaan Tanah, (4) Likuidasi Hak-hak Asing dalam Bidang Agraria, (5) Penghapusan Sisa-sisa Feudal dalam Bidang Agraria. Sertifikasi hanyalah proses lanjutan dari pelaksanaan landreform tatkala ketimpangan tanah

diperbaiki

melalui

redistribusi,

dengan

mencabut kepemilikan lama (individu, swapraja, dan

adalah dengan mendata kepemilikan tanah dan

1 Menurutnya, terlebih dahulu pemerintah harus mencari tahu mengapa dan bagaimana konvensi lokal bekerja serta seberapa kuat eksistensinya. Baru kemudian ditandai batas-batasnya dan didaftar secara formal. Jangan sampai otorita pertanahan lebih tidak tahu dibanding “gonggongan anjing yang menandai batas wilayah milik majikan masing-masing”, sebagaimana ia ilustrasikan dari pengalamannya berkunjung ke desa banjar di Bali. Lihat, Hernando de Soto, ”Listening to the Barking Dogs: Property Law Against Poverty in the non-West”, Focaal-European Journal of Anthropology, no. 41, 2003, hlm. 182

batas - batasnya. Gagasan de Soto berkisar

2 Lihat http://bpn.go.id/tentangbpn.aspx

mati”. Untuk menghidupkannya, maka diperlukan formalisasi. Cara bagaimana “injecting life into dead capital”

bagaimana kepastian hukum kepemilikan (property law) berguna bagi ekonomi kapital dan memecahkan kendala - kendala birokrasi bagi kewirausahaan (barriers

to

entrepreneurship).

Dalam

sistem

3 KPA 2009, dalam Noer Fauzi, “Quo Vadis Keadilan Agraria: Legalisasi Aset Tanah dan Reforma Agraria”, tp. tt., hlm. 3 4 Kajian mutakhir menunjukkan bahwa tidak terbukti klaim-klaim sertifikat sebagai aset-modal bagi orang miskin, lihat Djaka Soehendera, Sertifikat Ttanah dan Orang Miskin: Pelaksanaan Proyek Ajudikasi di Kampung Rawa, Jakarta, (HuMa Jakarta, KITLV Jakarta dan van Vollenhoven Universitas Leiden, 2010). Ulasan atas buku ini, Yando Zakaria, “Resep de Soto Gugur di Kampung Rawa”, 2010, http://ikhtisaragraria.blgospot.com

17


JURNAL IPTEK PERTANAHAN

Vol. 3 No. 1

Mei 2013

15-32

negara) untuk diberikan tanahnya kepada pemilik

sebagai pertumbuhan puncak bagi masyarakat

baru beserta segenap bukti haknya (sertifikat).

tradisional. Lenin menolak pandangan itu dan

Legalisasi aset (sertifikasi) adalah tahap lanjutan

mengajukan argumen berdasarkan pengalaman

dari redistribusi (landreform) untuk menciptakan

Rusia bahwa telah terjadi diferensiasi hingga

hak baru, bukan ajudikasi atas tanah-tanah milik

polarisasi agraria.

yang memang sudah dikuasai dan dibuktikan dalam

Berbeda dengan keduanya di atas, Chayanov

kepemilikan adat.

mengatakan terjadi diferensiasi demografis berdasarkan keterserapan tenaga kerja produktif

Menggenapi pelaksanaan UUPBH 1960 dan UUPA

dalam satuan keluarga. Petani skala kecil tetap

1960 yang kemudian disusul dengan PP Landreform

bertahan oleh ekspansi pasar, sebab mereka

1961, pemerintah menyusun serangkaian kebijakan.

memiliki karakter mengintensifkan pekerjaan

Di antaranya adalah pembentukan pengadilan landreform

(beranggotakan

personil

(self exploitation) tatkala kesulitan, namun tidak

pengadilan

juga melakukan akumulasi kapital ketika kondisi

negeri ditambah ilmuwan dan perwakilan organisasi

pertanian bagus. Maka menurutnya, jalan yang

tani), panitia pelaksana landreform (birokrasi dan

tepat untuk ditempuh dalam pembangunan

anggota partai nasional hingga lokal), pendanaan

pertanian bukan kapitalisme atau komunisme,

landreform (berbentuk yayasan), juga pendataan

namun populis, yakni tetap mempertahankan

untuk menetapkan subyek dan obyek landreform-

pertanian skala kecil. Kautsky dan Polanyi

nya. Program sertifikasi tidak dimaksudkan terlepas

mengembangkan pandangan Chayanov lebih

dari agenda utama ini.

lanjut dengan menyatakan bahwa petani tidak pasif menghadapi masuknya kapitalisme ke

Transisi agraria

pedesaan (double movements), namun sesuai

Untuk memahami kaitan antara legalisasi aset dan

sifat alamiah keterikatan tanah yang bersifat

transisi agraria diuraikan terlebih dahulu beberapa

abadi

pengertian berikut. Transisi agraria dimaknai sebagai

(counter movement).

perubahan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan berbasis tanah.

Transisi itu dapat menuju arah

kapitalis, sosialis, ataupun (neo)populis. 1.

petani,

mereka

melawannya

5

Kekuatan eksklusi ke arah transisi agraria kapitalistik Dalam konteks Asia Tenggara saat ini, transisi

Arah transisi agraria: debat klasik

agraria berlangsung dalam struktur ekonomi

Dalam transformasi kapitalisme, pandangan

global

Marxist melihat bahwa terjadi enclosure atau

ekonomi, industrialisasi, dan urbanisasi yang

pemagaran-pengusiran

mendorong

terhadap

petani

yang

menempatkan konversi

pertumbuhan

besar-besaran

lahan

(smallholder) sehingga mereka hilang dan

pertanian untuk kepentingan komersial, industri,

menjadi

perumahan, pariwisata dan infastruktur, serta

buruh.

Mereka

menjadi

tenaga

kerja baru bagi tumbuhnya industri kapitalis.

tujuan

Pertanian

dengan

bahkan tergerusnya lahan pertanian di kawasan

pertanian kapitalis. Transisi agraria menuju

Asia Tenggara untuk kepentingan lainnya itu

skala

kecil

digantikan

arah transformasi kapitalisme, dimana bagi kalangan Marxist ia menjadi syarat menuju komunisme. Ini berbeda dengan kelompok modernisme yang memandang kapitalisme itu

18

2.

pada

konservasi

lingkungan.

Berkurang

5 Henry Bernstein, “V.I. Lenin and A.V. Chayanov: Looking Back, Looking Forward”. The Journal of Peasant Studies,Vol. 36, No. 1, 2009, hlm. 55–81. Pemetaan debat agraria klasik lihat, Moh. Shohibuddin, “Sketsa Perkembangan Reforma Agraria dan Studi Agraria: Sebuah Pemetaan Awal”, Bhumi, no. 6 tahun 4, Maret 2012, hlm. 17-33. Tentang double movement-Polanyi, dikutip dari Noer Fauzi Rachman, “Mengapa Konflik-konflik Agraria Terus-menerus Meletus Disana-sini?”, draft tulisan untuk Jurnal Antropologi Universitas Indonesia, 2013 (dikutip seijin penulis).


Legalisasi Aset dan Dampaknya Terhadap Akses Masyarakat Sekitar Ahmad Nasih Luthfi

merupakan inti dari proses berlangsungnya

dari pengertian klasik tentang properti, yang

“deagrarianisasi”. Proses ini menempatkan

didefinisikan sebagai hak untuk memperoleh

posisi pertanian menurun secara progresif

dari sesuatu (the right to benefit from things).

dalam ekonomi nasional maupun sebagai

Akses dalam pengertian ini mengandung makna

sumber

bahkan

“sekumpulan kekuasaan” (bundle of powers)

mereka yang di pedesaan. Proporsi pertanian

berbeda dengan properti yang memandang

dalam pendapatan PDB di Indonesia menurun

akses sebagai “sekumpulan hak”

dari 24% (1980) menjadi 13% (2005). Dalam

rights). Dalam pengertian akses semacam ini

rentang waktu yang sama penduduk pertanian

maka kekuasan diartikan sebagai sesuatu yang

dalam total populasi menurun dari 76% menjadi

terdiri atas elemen-elemen material, budaya

68%. Belum lagi pembukaan atau penetapan

dan ekonomi-politik yang terhimpun sedemikian

luasan tanah untuk penanaman komoditas

rupa membentuk “bundel kekuasaan” (bundle

global, pertambangan, dan konservasi yang

of powers) dan “jaringan kepentingan” (web of

semakin meluas secara cepat ke areal hutan

powers) yang kemudian menjadi penentu akses

dalam kuasa negara maupun masyarakat adat,

ke sumber daya.7 Menarik memperhatikan cara

bahkan pada lahan-lahan pribadi. Dalam proses

melihat akses atas tanah yang beralih dari cara

ini

pandang hak (right) menuju kekuasaan (power),

penghidupan

terjadi

penduduk,

pergeseran

hubungan

manusia

(bundle of

dengan tanah.

yang ini dapat menjelaskan proses perolehan

Perubahan penguasaan dan penggunaan tanah

tanah

yang radikal dalam konteks transformasi agraria

tanah bagi pihak lain bukan didasarkan pada

di atas, berlangsung dalam berbagai bentuk dan

haknya

prosesnya. Di sinilah Derek Hall, Philip Hirsch,

kekuasaannya. Bahkan ini dialami oleh mereka

dan Tania Murray Li mencoba mengeksplorasi

yang secara jelas telah mengantongi lisensi

bagaimana dan mengapa berbagai kenyataan

atas hak itu namun dapat dengan mudah

di atas muncul, apa kekuasaan (power) yang

tereksklusi oleh “pemilik kekuasaan” dengan

bekerja dalam transformasi itu, siapa aktor yang

mengatasnamakan pembangunan, kepentingan

mendorong atau melawan perubahan yang

umum,

terjadi pada relasi pertanahan itu, apa dilema

pengertian inilah maka ketereksklusian, inklusi,

dan debat yang ditimbulkan dari perubahan itu,

atau security semestinya dibaca.

siapa yang menang dan siapa yang kalah di

Kajian empiris yang mereka lakukan di beberapa

berbagai arena dan waktu.

negara di Asia Tenggara, kondisi dan proses

6

sekelompok namun

dan

pihak

mula-mula

kepentingan

dan

hilangnya

adalah

nasional.

karena

Dalam

Mengarahkan penajaman analisis di atas,

eksklusi tercipta dari interaksi empat kekuatan

Derek Hall, dkk memfokuskan pada berbagai

(power)

cara

mengakibatkan

(kekuatan); the market (pasar); dan legitimation

penduduk tereksklusi dari akses atas tanah.

(pengabsahan). Regulation seringkali namun

Mereka menggunakan terminologi “exclusion”

tidak eksklusif, diasosiasikan dengan instrumen

yang dihubungkan dengan konsep akses.

legal-negara, yang menetapkan aturan akses

Akses diartikan sebagai kemampuan untuk

atas tanah dan kondisi penggunaannya. Force

memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to

adalah kekerasan atau ancaman kekerasan

derive benefit from things). Definisi ini lebih luas

baik yang aktornya state atau non-state yang

yang

berubah

yang

6 Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li, 2011, Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia, (Singapore: National University of Singapore)

berikut:

regulation

(aturan);

force

mengakibatkan orang tersingkir dari tanah. 7 Ribot, J.C. and N. Peluso, “A Theory of Access”, Rural Sociology, 68 (2). 2003, hlm., 153-181

19


JURNAL IPTEK PERTANAHAN

Vol. 3 No. 1

Mei 2013

The market adalah kekuatan eksklusi yang

kapitalistik), ataupun konservasi. Lantas pemilik

bekerja

bentuk

otoritas mengeluarkan lisensi dalam bentuk

“harga” dan kreasi “insentif” dengan semakin

ijin atapun hak atas obyek wilayah tersebut

terindividualisasikannya

Legitimation

kepada subyek tertentu (bisa badan hukum

menentukan dasar moral atas klaim, dan

negara maupun swasta).8 Persoalannya bukan

tentu saja dalam membuat aturan, kekuatan,

apakah wilayah itu masuk dalam kategori tanah

dan pasar, sehingga dengan itu menjadi basis

negara (bebas atau tidak bebas) ataukah tanah

eksklusi yang secara politik dan sosial dapat

milik; namun mengapa negara lebih memilih

diterima.

memberikan kawasan itu kepada pemilik modal

Proses terjadinya powers of exclusion yang

besar (disusul dengan legalisasi aset) daripada

menandai transformasi agraria yang terjadi di

me(re)distribusikannya kepada masyarakat luas

Asia Tenggara, yakni: (1) pengaturan akses

tanpa tanah atau petani gurem. Masalah legal

atas

pemerintah,

ataukah tidak adalah soal yang dapat diurus

sertipikasi tanah, formalisasi, dan settlement;

kemudian, setelah pilihan dari kedua kebijakan

(2) ekspansi spasial dan intensifnya konservasi

ini ditentukan.

hutan dengan bentuk pelarangan pertanian;

Pelaksana(an)

(3) hadirnya “boom crops” yang terlihat massif,

mempertimbangkan

cepat, keras, sehingga mendorong konversi

penguasaan tanah serta tidak berprinsip “tanah

tanah untuk produksi monocrops; (4) konversi

untuk kesejahteraan rakyat” yang berlandaskan

lahan pertanian untuk tujuan-tujuan “pasca-

semangat “keadilan sosial bagi seluruh rakyat

agraria”; (5) terbentuknya formasi kelas agraris

Indonesia”, hanya akan mengarahkannya pada

secara “intim” dan dalam skala desa; (6)

pekerjaan “profesional”, dimana ia mengerjakan

mobilisasi kolektifitas untuk mempertahankan

atas

atau menuntut akses atas tanah mereka, dengan

yang mampu membayarnya. Legalisasi aset

mengorbankan pengguna atau penggunaan

untuk kawasan pertambangan (ijin/hak) dan

tanah lain.

perkebunan (HGU) misalnya, akan berakibat

Meminjam perspektif di atas, maka lisensi atas

mentransformasikan penduduk yang semula

tanah (sertifikat maupun ijin) sejatinya memiliki

berada di dalam kawasan itu terdorong keluar

arti ganda (double edge of exclusion). Di satu

dan dalam gilirannya menjadi buruh, membatasi

sisi ia diperlukan untuk inklusi atau “menjamin

mereka

kepastian” secara legal hak atas tanah bagi

melakukan perlawanan balik yang berujung

pemegang lisensi tersebut, namun di sisi lain

pada sengketa-konflik dan pemerkaraan.

membatasi

tanah

melalui

akses

melalui

tanah.

program

ia memiliki arti eksklusi atau membatasi pihak

apa

yang

legalisasi

aset

asal-usul

dipesankan

mengakses

kawasan

atau

oleh

itu,

tanpa riwayat

mereka

hingga

Prosesnya dapat berlangsung dengan cara

Sertipikasi hak dan penelantaran tanah

demikian: suatu wilayah (baik semula dalam

Legalisasi aset dapat mendorong proses transisi

klaim

masyarakat)

agraria kapitalistik dan melahirkan sengketa dan

oleh pemilik otoritas (negara) dimasukkan ke

konflik, dikeluarkannya hak legal atas aset dalam

dalam sirkuit modal bagi bahan baku ekspansi

bentuk hak ataupun ijin akan dapat berakibat pada

kapital; dilakukan dengan cara ditetapkannya

penelantaran tanah. Ini dapat terjadi karena tidak

wilayah itu sebagai kawasan pertambangan

adanya evaluasi dan kontrol terhadap penerima hak/

(eksploitasi), perkebunan skala luas (produksi

8 Lihat juga Noer Fauzi Rachman, 2013, op.cit.

lain berkesempatan mengakses atas tanah itu.

20

15-32

tanah

negara

ataupun


Legalisasi Aset dan Dampaknya Terhadap Akses Masyarakat Sekitar Ahmad Nasih Luthfi

ijin tersebut atau adanya manipulasi dalam proses

yang

pemberiannya.

perusahaan swasta, dan petani-petani sawit

Peraturan telah mendefinisikan tanah terlantar sebagai “tanah yang sudah dilekati hak oleh negara atau memiliki dasar penguasaan tanah, yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.9” Melalui serangkaian prosedur ia akan diambil kembali oleh negara dan didayagunakan untuk pelaksanaan reforma agraria (redistribusi), program strategis negara (penciptaan lahan pangan, energi, dan perumahan rakyat), dan cadangan negara lainnya (kepentingan pemerintah, hankam, dan relokasi bencana alam). 1.

perusahaan-

dalam luasan kecil, keseluruhan luasan kebun sawit di Indonesia dicanangkan mencapai 20 juta hektar pada tahun 2025.10 Pendapat senada menyatakan bahwa tahun 2015 akan dialokasikan 20 juta ha lahan untuk perkebunan sawit yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Hingga 2011 sekitar 10 juta orang secara radikal telah ditransformasikan oleh kedatangan jenis tanaman raksasa ini, dan jutaan orang lagi yang akan mendapat pengalaman serupa beberapa tahun nanti. 11 Pembukaan lahan tutupan dan pemberian HGU terutama untuk perkebunan sawit terus Pertanian menyatakan bahwa sekitar 59% dari

besar-besaran

1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh daerah

berjalan seiring dengan kebijakan ekonomi

Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat

yang ramah pada investasi skala besar, asing

terkait lahan. Tim dari Ditjen Perkebunan sudah

maupun domestik. Pemberian itu ditengarai

mengidentifikasi konflik itu di 22 provinsi dan

lebih

ekonomi-

143 kabupaten. Totalnya ada sekitar 591 konflik:

politik dan kepentingan pengambil kebijakan

Kalimantan Tengah menempati urutan pertama

di pemerintahan daerah dan kepentingan-

dengan 250 kasus konflik, disusul Sumatera

kepentingan

semata-mata

Utara 101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus,

memenuhi

Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan

karena

HGU

pemerintah,

terjadi, padahal pernyataan resmi Kementerian

Hak Guna Usaha (HGU) Pemberian

digenjot

karena

secara

didasarkan

lain

motif

daripada

pengurusannya

telah

syarat administratif dan sah untuk dikeluarkan lisensinya.

Selatan 34 kasus.12 Khusus selama tahun 2012, didata telah ada

Telah banyak kritik keras mengenai HGU, di

198 kasus konflik agraria yang terjadi, terdapat

antaranya adalah bahwa pemberian HGU pada

90 kasus terjadi di sektor perkebunan (45%);

perusahaan perkebunan melahirkan banyak

60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur

konflik. Data resmi Dirjenbun menyatakan

(30%); 21 kasus di sektor pertambangan (11%);

bahwa luasan perkebunan kelapa sawit di

20 kasus di sektor kehutanan (4%); 5 kasus

Indonesia adalah 8,1 juta (Dirjenbun 2012).

di sektor pertanian tambak/pesisir (3%); dan

Luas perkebunan ini lebih kecil dari yang

2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir

sesungguhnya sebagaimana diperkirakan oleh Sawit Watch (2012), yakni telah mencapai 11,5

juta

hektar.

Perkebunan-perkebunan

kelapa sawit sering lebih luas dari konsesi legalnya. Dengan percepatan luasan 400.000 ha per tahun, luasan kebun sawit Indonesia 9 PP no. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

10 Noer Fauzi Rachman, 2013, op.cit. 11 Tania Li dan Pujo Semedi, “Producing Wealth and Poverty in Indonesia’s New Rural Economies: Sungei Dekan/Kuala Buayan, Kecamatan Meliau, Kalimantan Barat Preliminary Overview of Research Area, June 2010”. Presentasi di FIB UGM, 2012. http://ruraleconomics.fib.ugm.ac.id/wp-content/uploads/meliau2010-overview-may-2010-tania-li.pdf. 12 Data disampaikan oleh Direktur Pascapanen dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan pada Kementerian Pertanian, Herdradjat Natawidjaja dalam rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, pada tanggal 25 Januari 2012. Kompas, “Lahan Sawit Rawan Konflik“, 26 Januari 2012.

21


JURNAL IPTEK PERTANAHAN

pantai (1%).

13

Vol. 3 No. 1

Mei 2013

Sektor perkebunan melalui

pemberian HGU menempati posisi teratas dalam konflik pertanahan. Terdapat penelantaran tanah-tanah perusahaan perkebunan yang dikuasai dalam bentuk HGU. Teridentifikasi 7,3 juta ha tanah terlantar (kotadesa); dengan 3,1 juta ha tanah terdaftar-setara dengan 133 kali luas Singapura; 15,32% adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah

kembali menjadi tema dalam Rakernas tahun 2013 ini. Ironisnya, tatkala tanah-tanah HGU telah demikian nyata melahirkan banyak konflik dan penelantaran tanah, legalisasi aset dalam pemberian HGU bahkan pembukaan tanah-tanah negara dan yang diklaim adat terus saja terjadi dalam skala luas, bukan malah dihentikan atau dinyatakan sebagai status quo.

atau BUMN, sisanya oleh swasta dalam bentuk

Masalah HGU sebenarnya telah menimbulkan

HGU (1,935 juta). Padahal telah banyak

perdebatan sejak awal. UUPA 1960 yang bertujuan

regulasi untuk menertibkan tanah terlantar ini.

mendekolonisasi

(misalnya PP No 36/1998 tentang Penertiban

dinyatakan

dan pendayagunaan tanah terlantar; Permen

berpihak pada rakyat dan bukan pada kepentingan

Agraria/Perkaban nomor 3 tahun 1998 tentang

kapital (domestik maupun asing) ternyata masih

pemanfaatan tanah kosong untuk tanaman

mengakomodir dan mengatur keberadaan HGU.

pangan; Pasal 2 ayat (1) dan (2) Keputusan

UUPA 1960 hanya mengurangi durasi pemberian

Presiden Republik Indonesia nomor. 34 Tahun

HGU kepada perusahaan. Eksistensi HGU dalam

2003, tentang Kebijakan Nasional di Bidang

UUPA direncanakan secara bertahap beralih pada

Pertanahan, huruf g mengenai pemanfaatan

penguasaan negara seiring dengan pembangunan

dan penyelesaian masalah tanah kosong;

nasional semesta berencana yang menempatkan

hingga termutakhir PP no 11 tahun 2010 tentang

perkebunan negara sebagai bagian dari pembentukan

Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

ekonomi

yang disusul dengan Peraturan Kepala BPN

pembentukan ke arah itu terhenti memasuki Orde

no 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban

Baru yang berorientasi pada ekonomi liberal. Dalam

Tanah Terlantar.

perkembangannya hukum dan kebijakan pertanahan

BPN secara resmi menyatakan bahwa di tengahtengah

banyaknya

pembukaan

HGU,

ternyata

banyak terdapat gejala penelantaran tanah oleh perusahaan.14

Sampai dengan tahun 2012, telah

diidentifikasi 51.976 hektar tanah di Indonesia sebagai tanah terlantar. Sementara konflik dimanamana, sebagaimana pernah dinyatakan secara resmi oleh BPN RI, jumlahnya lebih dari 8000 konflik. Atas fenomena semacam ini, BPN RI menekadkan diri menjadikan penanganan konflik sebagai agenda utama sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Strategis BPN RI 2010-201415 ; yang dibunyikan 13 Laporan Akhir Tahun 2012 Konsorsium Pembaruan Agraria, “Terkuburnya Keadilan Agraria Bagi Rakyat Melalui Reforma Agraria�. 14 Detiknews, Sabtu, 16-02-2013, “BPN Nyatakan 51.976 Hektar Tanah di Indonesia Sebagai Tanah Terlantar�. 15 http://www.bpn.go.id/renstra.aspx

22

15-32

dan

sebagai

mendefeodalisasi

perlindungan

nasional-berdikari.

hukum

serta yang

Sayangnya

Indonesia melenggangkan pemberian HGU (baik negara maupun swasta). Bahkan ironisnya lagi adalah tidak adanya pembatasan luas tanah untuk perusahaan perkebunan (dalam bentuk HGU) yang luasnya bisa puluhan bahkan ratusan ribu hektar; kontradiktif berhadapan dengan penggureman tanah para petani kecil. Tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa neo-kolonialisme dan kapitalis(me)asi tanah (dan orang-orang yang terikat di atasnya) terjadi dan semakin hebat pada era sekarang. Tidak ubahnya dengan tanah partikelir pada masa kolonial. Legalisasi aset berperan utama dalam proses ini. 2.

Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan Ijin Lokasi Pemberian tanah untuk swasta baik oleh pemerintah daerah (ijin) maupun kemudian


Legalisasi Aset dan Dampaknya Terhadap Akses Masyarakat Sekitar Ahmad Nasih Luthfi

dikukuhkan oleh BPN (menjadi hak) berkait erat

daerah (Pilkada) dan proses-proses politik

dengan politik lokal. Ada gejala obral Ijin Usaha

lokal. Sebagai contoh, sebelum Pilkada 2010, di

Pertambangan (IUP) oleh pemerintah daerah

Kutai Kertanegara ada 73 IUP dan naik setelah

seiring dengan pelaksanaan pemilu kepala

pilkada menjadi 210 IUP.

Tabel 2 :

Penelantaran Tanah Luas hak yang di dalamnya terdapat tanah terlantar (ha)

Tanah terindikasi terlantar (ha)

%

Hak Guna Usaha

2.253.685

1.729.775

76,8

Hak Guna Bangunan

176.480

146.248

82,9

Hak Pakai

423.361

401.704

94,9

Hak Pengelolaan

788.809

538.304

68,4

Izin Lokasi

1.518.716

1.401.653

92,3

Penggunaan Belum Optimal

3.168.606

Jumlah

7.386.290

Sumber: Hasil Inventarisasi BPN RI (sampai Januari 2010)

Ditengarai

bahwa

pertanahan

membiayai

perusahaan (HGU) daripada dijadikan sebagai

proses politiknya dengan mengobral ijin usaha

obyek landreform untuk rakyatnya.

begitu pula peserta terpilih guna mengembalikan

Jika dilacak lebih jauh, sejak ke luarnya ijin

modal politiknya. Perbandingan lain (2010-2012)

lokasi hingga terbit HGU terdapat banyak

adalah Kutai Kertanegara yang mengeluarkan

manipulasi dalam pengalokasian tanah untuk

IUP 264, Kutai Barat sebanyak 232, dan Bangka

swasta/perusahaan.

Belitung sebanyak 218.

harus dilalui oleh seringkali diabaikan oleh

Hal

ini

dan

penilaian

16

menimbulkan bahwa

berbagai

dugaan

dikeluarkannya

ijin

Tahapan-tahapan

yang

investor, yang tidak berarti di luar pengetahuan pemerintah, sebagaimana yang digambarkan

juga lebih didasarkan pada motif ekonomi-

dalam tabel 2.

politik dan kepentingan-kepentingan pribadi

Saat HGU dan IUP terus dibuka tanpa ada

pengambil kebijakan di pemerintahan daerah

evaluasi

dan

terlantar yang krusial justru belum memiliki

kepentingan-kepentingan17;

manipulasi

dan

indikasi

kentalnya

money-laundring;

instrumen

pemberiannya, hukum

yang

masalah memadai

tanah untuk

dan orientasi negara dan aparaturnya yang

mendayagunakannya. Dari sisi luasan dan

lebih memilih tanah-tanah diberikan kepada

urgensitas pemanfaatannya dihadapkan pada

16 Kompas, 17 Januari 2013. Demikian juga kasus penyuapan yang menyeret nama Bupati Buol, Amran Batalipu, dan pihak Hartati Murdaya dalam kasus pemberian ijin untuk perkebunan kelapa sawit yang terkait dengan kesepakatan-kesepakatan politik daerah di wilayah itu.

konteks konsentrasi penguasaan tanah di satu

17 Sejalan dengan data di atas, pemberian ijin konsesi terhadap perusahaan perkebunan dan penambangan atau pembukaan hutan oleh pemerintah daerah telah disimpulkan terjadi sarat manipulasi dan lahan subur bagi korupsi. Fenomena itu telah menjadi kajian serius tim Robin Burgess dari London School of Economics, “The Political Economy of Deforestation in the Tropics�, tahun 2011. Ia mencatat angka deforestasi sebelum pilkada naik 42%, pada saat pilkada 36%, dan melonjak 57% setahun setelahnya. Laporannya bisa diunduh di http://economics.mit. edu/files/7860. Terakhir diunduh 23 November 2012.

sisi,

dan ketunakismaan di sisi lain, tanah

terlantar perlu segera dimanfaatkan.

Telah

cukup bagi BPN RI pada dua tahun terakhir ini mengalami kekalahan di pengadilan PTUN atas 5 kasus penertiban tanah terlantar yang dikuasai perusahaan. Perlu didalami lebih lanjut apakah

23


JURNAL IPTEK PERTANAHAN

Vol. 3 No. 1

Mei 2013

kembalinya tanah terlantar kepada perusahaan disebabkan karena minimnya instrumen hukum ataukah ada sebab-sebab lain.

bagian

ini

penulis

akan

kuat pada kedua belah pihak.20 Tata kelola pertanahan demokratis adalah sebagai sebuah kerangka yang mencoba

Mengembangkan tata kelola pertanahan yang demokratis Pada

15-32

mengkaitkan

pro-poor

policy

dengan

democratic governance berkaitan dengan soal tanah yang seakan-akan keduanya tidak saling

menunjukkan

berhubungan. Adapun kebijakan pertanahan

“konjungtur” dan “batas struktural” pada pelaksanaan

ini mengandung sembilan tema (ciri) yang

kebijakan pertanahan berupa legalisasi aset yang

saling berkaitan, yakni: (1) proteksi dan transfer

(akan) dilakukan oleh BPN RI; dan peluang yang

tanah berbasis kesejahteraan yang pro-poor;

bisa dikembangkan ke arah kebijakan pertanahan

(2) transfer tanah berbasis kekuasaan politik;

yang demokratis. Dengan dua contoh kajian empiris

(3) sadar kelas (class conscious); (4) sadar

yang disarikan dari Penelitian Sistematis STPN di

sejarah; (5) sensitif gender; (6) sensitif etnis;

bawah ini diharapkan mampu sedikit menjawab

(7) pro peningkatan produksi; (8) pro perluasan

kekhawatiran yang selama ini ada terkait posisi yang

penghidupan

saling berhadap-hadapan antara pemerintah dengan

terjaminnya keamanan hak (right securing).

(livelihood

enhancing);

(9)

kalangan masyarakat sipil, serta kebuntuan imajinasi dalam mengembangkan model “hak milik kolektif” dan legalisasinya.18 1.

Tata kelola pertanahan demokratis Tata kelola pertanahan demokratis (democratic land governance) didefinisikan sebagai suatu proses yang dijalankan oleh berbagai aktor negara dan sipil (masyarakat) untuk melakukan kontrol atas sumber daya alam; melakukan langkah-langkah, tahapan, dan arah dalam mengakses, mengkontrol, dan menggunakan sumber-sumber pertanahan.19

Pengelolaan

pertanahan demokratis bertujuan menjawab persoalan tentang redistribusi yang berbasis kesejahteraan dan kekuasaan (land-based wealth and power). Ia men-syaratkan adanya aktor-aktor reformis di dalam tubuh negara maupun sipil yang saling berperan sinergis, ditandai dengan otonomi dan kapasitas yang

18 Kekhawatiran “posisi berlawanan” dan dorongan mengembangkan imajinasi ke arah “hak milik kolektif” itu dicetuskan misalnya, Moh. Shohibuddin, “Beberapa komentar atas tulisan ‘Quo Vadis Keadilan Agraria’-Noer Fauzi”, tp., tt. 19 Saturnino M. Borras Jr. dan Jennifer C. Franco, “Contemporary Discourses and Contestations around Pro-Poor Land Policies and Land Governance”, Journal of Agrarian Change, Vol. 10 No. 1, January 2010, hlm. 23.

24

20 Saturnino M. Borras dan Jennifer C. Franco. Democratic Land Governance and some Policy Recommendations. United Nations Development Programme-Oslo Governance Centre-Democratic Governance Group Bureau for Development Policy, 2008, hlm. 1


Legalisasi Aset dan Dampaknya Terhadap Akses Masyarakat Sekitar Ahmad Nasih Luthfi

Tabel 3 :

Proses Perolehan Ijin hinggaPenerbitan Hak 21 No

Seharusnya

Yang Terjadi

1.

––

Investor mengajukan permohonan Setelah pengusaha mengantongi ijin formal kepada bupati untuk mendapat lokasi dari pemerintah, ketua adat dan kepala lahan. kampung dijadikan perantara. Mereka diberi hak ganti rugi lebih banyak dari warga yang lain agar ”menurut”.

2.

––

Sosialisasi kepada pemilik tanah hak Kesepakatan semu itu segera dilandasi ulayat untuk mendapatkan persetujuan pelaksanaan upacara-upacara adat sebagai penuh dari warga (free and prior informed kedok suksesnya sosialisasi perusahaan. consent): Menginformasikan rancangan penanaman modal, dampak, dan perolehan tanah. Memberi kesempatan masyarakat memperoleh penjelasan yang berimbang tentang proyek yang akan dikerjakan dan pemecahan atas masalah yang dihadapi. Mengumpulkan informasi dari masyarakat untuk memperoleh data sosial dan lingkungan serta peta kepemilikan tanah hak ulayat. Mengajak pemilik hak ulayat bersamasama membahas bentuk dan besaran penggantian atas tanah yang akan digunakan.

––

––

––

––

3.

––

Bupati memberi ijin lokasi dan Warga jarang dilibatkan dalam negosiasi. rekomendasi dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kabupaten Merauke, yang dilampiri peta lokasi Penjelasan peralihan lahan sangat minim. rencana investasi jika tidak ada Peta dasar lahan proyek tak disertakan dalam keberatan dari pemilik tanah hak ulayat. perjanjian dengan warga adat.

4.

––

Investor mengajukan ijin mengenai dampak lingkungan.

5.

––

Investor memohon rekomendasi dari Gubernur Papua.

6.

––

Setelah mengantongi semua syarat tersebut, investor mengajukan ijin pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan.

7.

––

Badan Pertanahan Nasional akan melakukan sertifikasi lahan dan memberi lisensi hak guna usaha (HGU).

analisis

Sembari melakukan pendekatan, pengusaha membuka lahan sebelum ada persetujuan warga.

Sumber: Tempo 8 April 2012

21 Pengalaman yang terjadi di Merauke dalam proyek investasi raksasa MiFEE, Tempo 8 April 2012, hlm. 65

25


JURNAL IPTEK PERTANAHAN

2.

Vol. 3 No. 1

Mei 2013

15-32

Kesembilan tema di atas bermanfaat membantu

hak garap seluas 90 ubin kepada tunakisma

memeriksa kebijakan pertanahan dilakukan

desa. Hal ini dilakukan para kuli baku karena

dalam bentuk legalisasi aset, apakah misalnya

ingin terhindar dari beban kerja-wajib desa

sertifikasi

yang kian berat selama masa tanam paksa.

dilakukan

atas

hak

baru

hasil

redistribusi yang dilakukan oleh negara (bukan

Pada

pasar) kepada masyarakat miskin; dengan

pengalokasian tanah 90 ubin itu diambil alih

tujuan membenahi diferensiasi agraris yang

oleh pemerintah desa. Hingga saat ini pun desa

timpang-tidak adil; yang ketimpangan dan

memiliki keputusan mengalokasikan sawah

ketidakadilan itu bukanlah suatu kondisi namun

buruhan itu kepada para tunakisma secara

produk sejarah yang terbentuk sebelumnya

bergiliran (periodik tahunan). Tanah garapan

oleh

terhadap

yang oleh masyarakat disebut sebagai “sawah

subyek hak bukan hanya laki-laki namun juga

buruhan” itu semestinya bisa beralih menjadi

perempuan dengan segenap akses atasnya;

hak milik bagi penggarap, sebagaimana yang

tidak diskriminatif pada etnis tertentu sekaligus

dimungkinkan melalui PP 224 tahun 1961

peka terhadap adanya proses marjinalitas

tentang Landreform. Akan tetapi pada masa

etnis; dengan tujuan peningkatan produksi dan

itu masyarakat Ngandagan merasa tidak perlu

bukan pemberian hak tanah sebagai skenario

memiliki secara formal sebab telah mampu

memudahkan alih-fungsi dan pasar tanah; yang

mengaksesnya

dengan demikian mampu memberi peningkatan

garap sawah buruhan tersebut. Jikapun ada,

kesejahteraan

pemikiran ke arah itu juga tidak terwujud sebab

proses

apropriasi

dan

tanah;

sekuritas

bagi

subyek

era

Kemerdekaan,

melalui

pengaturan

pengalokasian

dan

hak

penerima hak tersebut.

peristiwa dan proses politik nasional dan

Sertifikasi tanah desa adat Ngandagan,

lokal

Purworejo

itu tidak terjadi. Sampai dengan saat ini

Penelitian

Sistematis

STPN

tahun

2010

pasca

pemaknaan

1965

mengakibatkan

masyarakat

Ngandagan

proses atas

berjudul,

sawah buruhan itu adalah hak garap bagi

Landreform Lokal a La Ngandagan, Inovasi

buruh kuli, sementara secara formal (dibuktikan

Sistem Tenurial Adat di sebuah Desa Jawa,

melalui SPPT) pemilikannya ada di tangan kuli

1947-1964.22 Publikasi ini selain mengungkap

baku. Mereka inilah yang membayar pajak

makna

seluas 90 ubin tersebut; desa yang mengatur

menghasilkan

buku

perubahan

publikasi

struktur

penguasaan

tanah melalui landreform lokal, juga berhasil

pengalokasiannya;

mengungkap peran vital kepemimpinan desa

menggarap dan mengambil manfaat atasnya

dan

yang disertai kewajiban melakukan kerja bakti

berbagai

upaya

pembangunan

desa

Di desa Ngandagan masih dikenal sistem adat

dalam

bentuk

buruh

kuli

yang

(kerigan) dan ronda sebagai pelayanan mereka

berbasis modal sosial-kulturalnya.

tenurial

dan

penggarapan

kepada desa—bukan pelayanan bagi kuli baku sebagaimana patronase pada masa lalu.

tanah “sawah buruhan” oleh buruh kuli. Sistem

Beberapa tahun yang lalu muncul rencana

sawah buruhan (tenurial adat) yang ada saat

memformalisasi penguasaan tanah melalui

ini terbentuk pada periode masa lalu. Pemilik

sertipikasi (mekanisme PRONA tahun 1990).23

sawah (kuli baku) untuk setiap 300 ubin (1

Uniknya, masyarakat menolak rencana itu,

ubin = 16 m2) yang dimilikinya memberikan

dengan alasan banyaknya sawah masyarakat

22 Moh. Shohibuddin dan Ahmad Nashih Luthfi, Landreform Lokal a La Ngandagan, Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964, (STPN dan Sajogyo Institute, 2010)

23 Uraian ini didasarkan pada, Ahmad Nashih Luthfi, dkk., Kondisi dan Perubahan Agraria Desa Ngandagan di Jawa Tengah, Dulu dan Sekarang”, (Yogyakarta: STPN, 2013, dalam proses cetak)

26


Legalisasi Aset dan Dampaknya Terhadap Akses Masyarakat Sekitar Ahmad Nasih Luthfi

dalam luasan-luasan kecil yang jika disertipikasi

mengusir rumah tangga pengarap yang ada.

membutuhkan biaya yang tidak murah serta

Pilihan kedua sama rumitnya karena tanah

konsekuensi

di

sawah buruhan secara formal kemudian beralih

kemudian hari. Pembayaran itu dinilai tidak

ke penggarap dengan kendali penuh, sehingga

sebanding dengan yang dihasilkannya dari

tidak ada lagi yang bisa dikelola oleh desa dan

sawah.

sewaktu-waktu dialokasikan kepada tuna kisma

Pemerintah desa juga menolaknya. Rencana

yang lain. Ujungnya, tawaran legalisasi aset itu

yang

akan

dikenakannya

pajak

sebagai

“program

batal.

dikhawatirkan

merusak

Mengikuti analisa “the double edge of exclusion”

keberadaan sistem penguasaan tanah adat

di atas, sertipikasi dapat dinilai sebagai upaya

berupa sawah buruhan yang ada. Mereka

memberi sekuritas pada kuli baku, namun

memperkirakan kebijakan “normatif dan netral”

sertipikasi juga bisa mengeksklusi buruh kuli

ini akan meresahkan masyarakat, dan suara-

yang menggarapnya dan men-dislokasi ikatan

suara keberatan itu sudah mereka dengar.

patron-klien dan adat yang berlaku. Pemegang

Hal ini tentu merepotkan para pamong desa.

sertipikat memiliki hak untuk mengeksklusi

Sebagai pelaksana pengelolaan tanah tersebut,

siapa/apapun dari penggunaan dan akses

mereka ragu menentukan apakah sertifikasi

atas tanah, dan memiliki hak eksklusif dan

dilakukan terhadap keseluruhan 300 ubin atas

preferensial

subyek kuli baku, mengingat nama dalam SPPT

tanah melalui penjualan dan persewaan. Hal

yang ada adalah demikian, ataukah sekaligus

ini mengingat sertipikasi steril dari identitas

mereka

pemutihan”

Tabel 2 :

itu

sebut

Istilah Lokal tentang Luas Tanah di Ngandagan

memindah-tangankan

sosial-kultural, tidak sebagaimana pada sistem tenurial adat yang mana identitas pemegang terikat pada kesepakatan kolektivitas desa.

Dalam ubin Istilah luas tanah

untuk

Pelaksana ajudikasi tidak mampu memahami

(1 ubin = 16 meter)

Sakulian/ kulian

300

kompleksitas sistem pertanahan lokal yang

Selapit

250

bagi pemerintah desa Ngandagan, masyarakat

Setengah kulian

100

miskin, dan sebagian pemilik tanah, sistem

Sakiring/siring

125

demikian dianggap sebagai aturan adat yang

Sidu/seidu

60

Sekecrit

30

Pucukan

10

Krocokan

5-6

penilaian tersendiri bahwa desa Ngandagan

Benggolan

2,5

sulit diatur sebab dulu merupakan “desa

Sumber: Ahmad Nashih Luthfi, dkk., 2013 (dalam proses cetak)

dipecah menjadi dua dengan subyek hak tersendiri (210 ubin atas nama kuli baku; 90 ubin atas nama penggarapnya). Pilihan pertama akan membuat kendali penuh tanah ada pada kuli baku (bukan hanya SPPT namun juga Sertifikat) yang bisa ditarik atau dijual-belikan sewaktu-waktu oleh mereka, dan berpotensi

perlu

dihormati

sederhana,

dan

pelaksana

dilestarikan. ajudikasi

Secara membuat

merah”, alias basis komunis. Kesulitan birokrasi pertanahan bisa dipahami mengingat sistem administrasi pertanahan kita belum mewadahi dan mengakomodir pemilikan hak komunal, yang sebagaimana pengalaman Ngandagan, Indonesia

dengan

sejarah

dan

geografi-

kepulauan yang beraneka riwayat memiliki pula keragaman sistem penguasaan tanah yang masih hidup hingga sekarang. Menjadi tantangan bagi hukum pertanahan nasional

27


JURNAL IPTEK PERTANAHAN

3.

Vol. 3 No. 1

Mei 2013

bagaimana menerjemahkan pasal 5 UUPA 1960

sistem ekonomi mikro perkoperasian dengan

itu, dimana “hukum agraria yang berlaku atas

basis alat produksi anggotanya atau sistem

bumi, air dan ruang angkasa” yang dijalankan

penguasaan

di Indonesia “ialah hukum adat”, dan “dengan

kemunculannya kedua hal ini saling berkait erat.

mengindahkan unsur-unsur yang bersandar

Dari yang sedikit itu terdapat pemikiran tentang

pada hukum agama”. Klausul ini menunggu

bagaimana

diimplementasikannya kebijakan pertanahan

kepemilikan

yang progresif. Kesulitan itu juga disebabkan

keseluruhannya beranggotakan buruh atau

sikap pragmatis birokrasi pertanahan yang

petani gurem. Mereka menghimpun diri dalam

selama ini hanya menempatkan diri sebagai

lembaga yang disebut sebagai Badan Usaha

“layanan

Buruh Tani (BUBT).26

administrasi

pertanahan”

atas

tanah.

Padahal

mengatasi tanah

dari

sejarah

ketidakmerataan

melalui

koperasi

yang

Bukan dengan cara

bidang atau areal yang dinilai telah “clear and

meredistribusi

clean” dari berbagai klaim dan kompleksitas

atau tanah-tanah terlantar, namun pemikiran

pemaknaan sosial kultural masyarakat. Meski

yang dimunculkan Prof. Sajogyo saat itu

telah dinaikkan mandatnya sebagai “pelaksana

adalah land reform. Uniknya, sasarannya justru

politik pertanahan” yang didorong melahirkan

dikenakan pada petani gurem, dengan cara

kebijakan-kebijakan

regional

mereka yang menguasai tanah kurang dari 0,2

sebagaimana Perpres 10 2006 tentang Badan

hektar dibeli tanahnya oleh pemerintah dengan

Pertanahan Nasional, lembaga ini di level

harga tertentu, kemudian tanah ini dititipkan

kabupaten

mengembangkan

oleh negara dan diserahkan pengelolaannya

ke arah itu. Mereka hanya berhenti di level

kepada BUBT tersebut. Hal ini dilakukan agar

administrasi pertanahan.

dari sisi unit produksi ia efektif karena bersifat

Sertifikasi HGU untuk koperasi: ide BUBT

kolektif dan tidak terparsialisasi, mandiri dan

dan perkebunan karet di Tasikmalaya

kuat sebab dikelola secara bersama-sama

Indonesia

oleh

belum

adalah

pertanahan

berani

negara

yang

memiliki

para

tanah

kelebihan

anggotanya

dalam

maksimum

ikatan

ko-

konstitusi ekonomi yang menempatkan koperasi

operatif. Sayangnya pemerintah tidak menaruh

sebagai

Koperasi,

perhatian pada nasib buruh tani dan petani kecil

koperasi

sehingga lontaran ide itu tidak bersambut. Lebih

dalam sistem ekonomi makro maupun ekonomi

jauh di Indonesia ide tentang formalisasi tanah

mikro.24

Lembaga dengan nama “koperasi”

(legalisasi aset) dalam bentuk kepemilikan

dalam arti “kumpulan anggota” yang saling

komunal tidak mendapat tempat dalam (praktik)

memberdayakan, maupun “kumpulan modal”

administrasi pertanahan nasional.

yang hanya menempatkan anggota tidak lebih

Pengalaman lain yang sedikit itu adalah

sebagai

dilegalkannya pemberian HGU bukan kepada

pilarnya,

kementerian,

dan

nasabah

memiliki

UU

menempatkan

laiknya

lembaga

kredit,

tumbuh subur di mana-mana.

perusahaan swasta atau badan hukum negara

Akan tetapi Indonesia tidak menempati posisi

sebagaimana

negara koperasi yang berhasil dalam skala global, bahkan tidak satupun koperasi Indonesia yang masuk dalam daftar Koperasi Berkembang Global (tahun 2007).25 Menyambungkan antara 24 M. Dawam Rahardjo, “Koperasi Global 300”, Kompas, Selasa, 05 April 2011 25 Ibid.

28

15-32

lazimnya,

namun

kepada

26 Sajogyo, “Kata Pengantar Pada Buku ‘Desa Srihardjo’, naskah ketik, 1976, hlm. 2-3. Tulisan dapat dilihat dalam Masri Singarimbun dan David H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan, Kasus Desa Srihardjo, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976). Ide awal BUBT bisa dilacak di tulisan Sajogyo, “Koperasi sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Desa”, Seminar Koperasi, Panitia Hari Koperasi ke-25, Kotamadya, Kabupaten Bogor, 24 Agustus 1972. Ulasan atas ide ini lebih jauh lihat, Ahmad Nashih Luthfi, Melacak Pemikiran Agraria, Sejarah Agraria Mazhab Bogor. (Yogyakarta dan Bogor: STPN, Sains Press, dan Ifada, 2011 [cetakan pertama]).


Legalisasi Aset dan Dampaknya Terhadap Akses Masyarakat Sekitar Ahmad Nasih Luthfi

lembaga koperasi yang keanggotaannya sejak

dan berakhir pada 31 Desember 2014. 29

awal dimiliki oleh buruh perkebunan. Koperasi

Dalam sejarah agraria Jawa Barat, komunalitas

itu bernama “Koperasi Wangunwatie”, yang

tanah adalah bentukan baru dari penghapusan

mengelola perkebunan karet seluas 280 hektar

kepemilikan

di Tasikmalaya. Perkebunan karet yang dikelola

prosesnya dilakukan secara paksa melibatkan

semula adalah milik perusahaan Belanda.

bangsawan menak dan sentana. Pada masa

Pihak perusahaan melalui pejabat kolonial

kolonial pembentukan komunalitas itu bertujuan

mendapatkan tanah dari penduduk Tasikmalaya

memudahkan mobilisasi dan kontrol tenaga

yang pihak terakhir ini tidak bisa membuktikan

kerja dan tanah untuk perkebunan komersial.30

kepemilikannya secara formal (segel cap Singa)

Akan tetapi melalui pengalaman koperasi di

sebagai tanah milik pribadi mereka.27 Hubungan

Tasikmalaya ini kita ditunjukkan proses dan

perusahaan

mengalami

tujuan komunalisasi tanah yang sangat berbeda.

ketegangan, mengingat cukup kuat pengaruh

Melalui kepemilikan 280 ha tanah secara

Serikat Islam di daerah ini, masa-masa ketika

kolektif dalam legalitas HGU yang oleh koperasi

pemberontakan afdeeling B di Garut meluas

diusahakan dalam bentuk perkebunan karet,

pengaruhnya. Pada era Kemerdekaan para

ditambah dengan kepemilikan individu secara

buruh perkebunan kemudian memanfaatkan

merata dari tanah yang 400 ha hasil redistribusi

tanah-tanah

ditinggal

1965—keluar sertifikat hak milik oleh Kantor

pengelola Kolonialnya dan telah terlantar dan

BPN Tasikmalaya pada tahun 2012, masyarakat

rusak pada masa Jepang. Mereka mengubahnya

merasa “…membuat orang tani sejahtera,

menjadi sawah, kolam ikan, dan tegalan. Pada

tanah tetap terjaga, anak cucu bisa berjaya,

tahun 1952 melalui kepemimpinan lokal dan

dan bangsa Indonesia menjadi sentosa ”.

pengorganisiran Gerakan Tani Indonesia di

Terobosan legalisasi aset dengan pemahaman

bawah bimbingan Partai Sosialis Indonesia telah

atas konteks sejarah dan sosial, serta membuka

dilakukan redistribusi tanah bekas perkebunan;

peluang pemilikan kolektif dalam administrasi

dari luas total 780 ha, seluas 400-hektar

tanah nasional, perlu menjadi perhatian bagi

diredistribusi sama rata menjadi hak milik para

BPN RI; menuju tata kelola pertanahan yang

buruh perkebunan, sedangkan 280 ha sebagai

demokratis.

dengan

buruhnya

perkebunan

yang

individual

yang

seringkali

31

milik kolektif yang dikelola dalam bentuk koperasi. Menteri Pertanian mengeluarkan SK redistribusi diperkuat dengan SK Inspektorat Agraria pada tahun 1965.28

Melalui bantuan

Jenderal AH Nasution (dimana daerah sekitar koperasi pernah menjadi basis gerilya Divisi Siliwangi pada masa Agresi Militer) yang langsung menghubungi menteri Sony Harsono saat itu, koperasi ini mendapatkan HGU (nomor 47/HGU/BPN/1989), tertanggal 20 Juli 1989

PENUTUP Legalisasi aset memiliki arti penguatan klaim atas tanah. Ia dapat berkontribusi pada keamanan tenurial, kepastian hak, dan peningkatan kesejahteraan jika ditempatkan sebagai tahap lanjutan dari kebijakan penataan tanah (redistribusi). Tanpa didahului dengan kebijakan redistribusi yang bertujuan menata kembali diferensiasi agraris yang ada, maka legalisasi aset

27 Didi Novrian, Menempatkan Kembali Koperasi sebagai Gerakan Tani, Tesis S2 Antropologi, Universitas Indonesia, 2012, hlm. 38

cenderung hanya memberi pelayanan pada mereka

28 Eko Cahyono dan Didi Novrian, “Integrasi ‘Reforma Agraria’ dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan”, dalam Laksmi A. Savitri, Valentina Arminah, Ahmad Nashih Luthfi, dan Amien Tohari, (ed.) Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat, dan Keberlanjutan Ekologis, Yogyakarta: STPN dan Sajogyo Institute, 2010, hlm. 166-168

29 Didi Novrian, op.cit, hlm. 57 30 Johannes Cornelis Breman, Control of Land and Labour in Colonial Java: a Case Study of Agrarian Crisis and Reform in the Region of Cirebon During the First Decades of the 20th Century, (Leiden: KITLV Press, 1983). 31 Didi Novrian, op.cit., hlm. 11

29


JURNAL IPTEK PERTANAHAN

Vol. 3 No. 1

Mei 2013

15-32

“yang memiliki tanah” dan bukan pada mereka “yang

Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

tidak memiliki tanah”. Sistem hukum dan administrasi pertanahan nasional

Jurnal

harus memberi tempat yang memadai bagi legalisasi

Bernstein, Henry. “V.I. Lenin and A.V. Chayanov:

aset dalam kepemilikan komunal atau kolektif yang

Looking Back, Looking Forward”. The

diisi oleh keanggotaan masyarakat biasa, bukan

Journal of Peasant Studies,Vol. 36, No. 1,

badan hukum suatu usaha swasta maupun negara

2009.

sebagaimana yang saat ini ada. Hal ini mengingat masyarakat Indonesia hidup di sepanjang kepulauan yang

memiliki

keragaman

sejarah

dan

ruang

Borras Jr., Saturnino M. dan Jennifer C. Franco, “Contemporary Contestations

Discourses around

and

Pro-Poor

Land

geografisnya yang membentuk keanekaragaman

Policies and Land Governance”, Journal of

sistem penguasaan tanah yang masih hidup hingga

Agrarian Change, Vol. 10 No. 1, January

saat ini. Individualitas dan komunalitas adalah dua

2010

prinsip yang tetap berjalan dalam realitas “orang Indonesia dan tanahnya”. Realitas ini tidak boleh direduksi oleh sistem pertanahan modern.

De Soto, Hernando, ”Listening to the Barking Dogs: Property Law Against Poverty in the non-West”, Focaal-European Journal of Anthropology, no. 41, 2003

DAFTAR ACUAN

Ribot, J.C. and N. Peluso, “A Theory of Access”, Rural Sociology, 68 (2). 2003

Buku Breman, Johannes Cornelis, 1983. Control of Land and Labour in Colonial Java: a Case Study of Agrarian Crisis and Reform in the Region of Cirebon During the First Decades of the 20th Century, Leiden: KITLV Press,.

Makalah Cahyono, Eko dan Didi Novrian, 2010. ‘Reforma

Agraria’

“Integrasi

dengan

Rencana

Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan”, dalam Laksmi A. Savitri,

Hall, Derek, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li,

Valentina Arminah, Ahmad Nashih Luthfi,

2011, Power of Exclusion, Land Dilemmas

dan Amien Tohari, (ed.) Pengembangan

in Southeast Asia, Singapore: National

Kebijakan

University of Singapore

Sosial, Kesejahteraan Masyarakat, dan

Luthfi, Ahmad Nashih, dkk., 2013. Perubahan

Agraria

Desa

Kondisi dan Ngandagan

di Jawa Tengah, Dulu dan Sekarang”,

___________________, 2011 . Melacak Pemikiran Agraria, Sejarah Agraria Mazhab Bogor. (Yogyakarta dan Bogor: STPN, Sains Press.

Keadilan

Keberlanjutan Ekologis, Yogyakarta: STPN dan Sajogyo Institute. Borras Jr., Saturnino M. dan Jennifer C. Franco. some Policy Recommendations. Nations Oslo

Development Governance

Governance

Group

United

Programme-

Centre-Democratic Bureau

for

Development Policy.

Sajogyo, “Kata Pengantar” dalam Masri Singarimbun Penduduk

dan Kemiskinan, Kasus Desa Srihardjo,

30

untuk

2008. Democratic Land Governance and

Yogyakarta: STPN.

dan David H. Penny, 1976.

Agraria

Fauzi, Noer, “Quo Vadis Keadilan Agraria: Legalisasi Aset Tanah dan Reforma Agraria”, tp. tt.,


Legalisasi Aset dan Dampaknya Terhadap Akses Masyarakat Sekitar Ahmad Nasih Luthfi

Konsorsium Pembaruan Agraria, 2012. Laporan Akhir

Detiknews, BPN Nyatakan 51.976 Hektar Tanah

Tahun 2012 “Terkuburnya Keadilan Agraria

di Indonesia Sebagai Tanah Terlantar”.

Bagi Rakyat Melalui Reforma Agraria”.

diakses Sabtu, 16 februari 2013, “

Li, Tania M. dan Pujo Semedi, 2010. “Producing

Zakaria, Yando, “Resep de Soto Gugur di Kampung

Wealth and Poverty in Indonesia’s New

Rawa”,

Rural Economies: Sungei Dekan/Kuala

blgospot.com

2010,

http://ikhtisaragraria.

Buayan, Kecamatan Meliau, Kalimantan Barat Preliminary Overview of Research Area, June 2010”.

Surat Kabar Kompas, “Lahan Sawit Rawan Konflik“, 26 Januari

Shohibuddin, Moh., “Beberapa komentar atas tulisan ‘Quo Vadis Keadilan Agraria’-Noer Fauzi”, tp., tt.

2012. Kompas, M. Dawam Rahardjo, “Koperasi Global 300”, Selasa, 05 April 2011

__________________

“Sketsa

Perkembangan

Reforma Agraria dan Studi Agraria: Sebuah

Soehendera,

Pemetaan Awal”, Bhumi, no. 6 tahun 4,

Kampung Rawa, Jakarta, HuMa Jakarta,

Maret 2012

KITLV

Shohibuddin, Moh. dan Ahmad Nashih Luthfi, 2010. Landreform Lokal a La Ngandagan, Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964, STPN dan Sajogyo Institute.

Robin,

Political

Economy

dan

van

Vollenhoven

Universitas Leiden, 2010. Tempo, 8 April 2012, “Bom Waktu di Bumi Papua”

Novrian, “The

Jakarta

Tesis

Internet Burgess,

Djaka, Sertifikat Tanah dan Orang

Miskin: Pelaksanaan Proyek Ajudikasi di

of

Deforestation in the Tropics”, tahun 2011

Didi

2012.

Menempatkan

Kembali

Koperasi sebagai Gerakan Tani, Tesis S2 Antropologi, Universitas Indonesia.

http://economics.mit.edu/files/7860. Terakhir diunduh 23 November 2012.

31


JURNAL IPTEK PERTANAHAN

32

Vol. 3 No. 1

Mei 2013

15-32


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.