Lima Cerita dari Rumah
AKIQ A.W.
|
1
2
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
3
Akiq A.W. wing gallery
Katalog elektronik ini diterbitkan guna menyertai pameran
Selasar Solo Project Series 2012 Muhammad Akbar dan Akiq A.W. Ruang B & Ruang Sayap, Selasar Sunaryo Art Space 9 Desember 2012 - 6 Januari 2013 Editor : Agung Hujatnikajennong dan Chabib Duta Hapsoro Fotografer : Muhammad Akbar dan Akiq A.W. Disainer : Joko Suharbowo
500 edisi Š 2012 Selasar Sunaryo Art Space
4
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
09.12.2012 - 06.01.2013
AKIQ A.W.
|
5
Artist Statement
Lima Cerita dari Rumah
Proyek kecil ini mencoba menggali catatan 3 pria di Parangtritis tentang hidup mereka, tentang keluarga, tentang rumah dan keputusan-keputusan yang pernah mereka buat. Catatancatatan ini secara paralel memiliki keterkaitan dengan peristiwaperistiwa yang merubah lansekap pantai Parangtritis; antara lain: 1) diresmikannya jembatan Kretek pada tahun 1989; 2) gempa bumi besar tahun 2006, dan; 3) penataan pantai Parangtritis oleh pemerintah daerah sepanjang tahun 2007-2009. Ini adalah cerita-cerita sederhana yang digali dari ingatan-ingatan apa adanya orang-orang biasa. Ketika sejarah tidak lagi berpusat di istana-istana, tentu kita tidak lagi berharap pada drama dan nama-nama yang akan memberi makna pada peradaban manusia. Hidup selalu dianggap sebagai sebuah sistem jejaring yang kompleks dan saling mempengaruhi. Namun, betapa terkejutnya ketika kita dapati bahwa hubungan-hubungan itu secara bersamaan bisa juga tidak terbukti, atau sangat longgar dan sulit dimengerti. Begitulah yang bisa aku lihat dari cerita-cerita ini. Bahwa manusia selalu mencari makna pada peristiwa dan benda-benda, namun semua itu tidaklah selalu berakhir dengan drama. Sebagian besar malah berupa teka-teki yang terserak, tak terhubung dan tak terbaca. Dan ketika kita tidak bisa menemukan drama di dalamnya, bukan berarti semua itu akhirnya tidak bermakna.
6
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
7
Bagian 1.
Semua Berakhir Tepat di mana Kita Memulainya Sebagai pemilik warung makan dan penyewaan kamar mandi di Bolong, Parangtritis, hidup Slamet mengalami puncak keemasannya pada akhir 1990-an sampai dengan awal 2000-an. Bolong sendiri merupakan safe heaven bagi para pekerja seks komersial yang digusur dari Sanggrahan (SG), yang merupakan lokalisasi terbesar di Jogja saat itu. Slamet termasuk generasi awal yang pindah ke area itu, jauh sebelum banyak wisatawan datang ke Parangtritis. Berubahnya Bolong menjadi lokalisasi tak resmi itu membawa konsekuensi yang baik secara ekonomi, pengunjung menghabiskan banyak uang disana meski warungnya tidak menjadi tempat mangkal PSK. Anak pertama Slamet, Suranto, tidak suka dengan kondisi bahwa keluarganya tinggal di Bolong. Ia kemudian memutuskan pergi ke sebuah pesantren di kawasan Bantul dan belajar agama di sana; bahkan sampai sekarang ia akhirnya bekerja di pondok pesantren itu.
8
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
Masa kejayaan Slamet menghadapi senja ketika gempa bumi 2006 terjadi. Sebenarnya, pemerintah telah merancang penertiban kawasan pantai itu sejak lama. Namun gempa seolah-olah menjadi momentum untuk menggusur semua hunian dan warung disepanjang pantai dengan alasan mitigasi bencana. Pada tahun 2009 ia kehilangan warungnya, dan mendapatkan jatah kios baru yang terpencil dan tidak strategis. Ia pun kembali ke rumah yang pada tahun 1983 lalu ia tinggalkan. Kini, menjadi tukang batu adalah sebuah pilihan yang paling mungkin bagi Slamet. Ketika ditanya tentang penggusuran, ia hanya menundukkan kepala, tidak berkomentar... hanya pandangan datar yang dia berikan.
AKIQ A.W.
|
9
Rumah Slamet di kawasan Bolong, saat ini menjadi hamparan pasir yang tidak dipakai. Di ujung kiri atas terlihat bekas aspal dimana biasanya jalan berada. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 100 x 136 cm, 2012
10
|
SSEELLAASSAARR SSOOLLOO PPRROOJ JEECCTT SSEERRI IEESS
AKIQ A.W.
|
11
Kondisi pembongkaran rumah Slamet pada tahun 2008. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 100 x 136 cm, 2008
12
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
13
Slamet dan bekas pilar rumah lamanya yang ia simpan sampai sekarang. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, 2012
14
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
Reka-ulang warung Slamet di Bolong inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, 2012
M U H A M MAAKDI QA K AB . WA .R
|
15
Reruntuhan salah satu mushola di kawasan Bolong. Suatu senja pada pertengahan 2008 ketika mesin-mesin buldozer berhenti membongkar rumah-rumah. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm , 2008
16
|
SSEELLAASSAARR SSOOLLOO PPRROOJ JEECCTT SSEERRI IEESS
Dua jam setelah foto ini diambil, sisa-sisa bangunan itu menjadi rata dengan tanah. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm , 2008
AKIQ A.W.
|
17
Suranto, anak tertua Slamet, berpose di dalam kamarnya di Pondok Pesantren. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 2 pcs, @ 30 x 42 cm, scanned from the family album in 2012
(kanan atas)
Suasana warung tahun 2003. (kanan bawah)
Slamet, istrinya (Biyem) dan anak keduanya, Lia, di rumah mereka yang telah dikosongkan, sebelum dibongkar buldozer. inkjet print on paper mounted on acrylic, @ 59 x 80 cm , 2008
18
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
19
Bagian 2.
Lelaki yang Terobsesi dengan Tenis
Pada tahun 1983, Sumaryanto dan keluarganya meninggalkan rumah orangtua yang mereka tempati; beberapa bulan setelah ia mulai memiliki gejala penyakit vitiligo (penyakit yang membuat hilangnya pigmen cokelat pada kulit). Pada awalnya penyakit itu mereka anggap sebagai akibat dari obat cetak offset yang ia kerjakan bertahun-tahun. Di rumah barunya, di tepi pantai, udara terasa lebih panas karena matahari terik sepanjang hari, hal ini memperparah penyakitnya itu.
Keadaan menjadi sulit ketika Sumaryanto mulai kehilangan hak atas pencetakan tiket parkir itu, seiring dengan semakin sepinya wisatawan. Dan hampir secara berurutan, ia kehilangan ibu, dan kedua mertuanya. Meninggalnya kedua orang tua memberi pukulan yang berat bagi ekonomi keluarga Sumaryanto. Ongkos pemakaman beserta berbagai ritualnya membuat istrinya yang bekerja sebagai guru harus dipotong gaji beberapa tahun kedepan karena berhutang ke bank.
Kepindahan Sumaryanto ke rumah baru membawa rejeki bagi keluarganya. Ketika wisatawan berbondong-bondong ke Parangtritis, dialah yang memegang order cetak tiket parkir hampir seluruh wilayah di tepi pantai. Uang tidaklah terlalu sulit dicari. Setiap minggu selalu ia memiliki kesempatan untuk mengajak anak istrinya plesir ke tempat-tempat wisata.
Kini keadaan telah berangsur membaik. Anak-anak Sumaryanto telah berkeluarga dan bekerja. Ia telah pensiun dan mengejar mimpinya bermain tenis sepuasnya.
20
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
21
22
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
23
(halaman sebelumnya)
Rumah orangtua Sumaryanto yang telah roboh. Ruang tamu direka-ulang sama seperti ketika mereka meninggalkannya. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 100 x 136 cm, 2012
Kamar yang dipakai untuk sesajen di rumah Sumaryanto. Ibunyalah yang menganut ajaran kejawen di rumah itu. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, 2012
24
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
Reka ulang ruang tengah keluarga. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, 2012
AKIQ A.W.
|
25
(kanan)
Potret Sumaryanto tahun 2012. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 39 x 54 cm, 2012
26
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
27
(kiri)
Potret-potret masa muda Sumaryanto inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 2 pcs, @ 39 x 54 cm, 2012 (atas) inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 2 pcs, @ 39 x 54 cm, scanned from the family album in 2012 (bawah)
28
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
29
Bagian 3.
Hidup Sungguh Berat Tanpamu
Abdullah adalah seorang pegawai kelurahan di Parangtritis. Sebelum menjadi pegawai kelurahan, ia bekerja sebagai ojek untuk turis dan juga warga setempat di seputaran kawasan pantai itu. Pada tahun 1996, ketika mertuanya meninggal, Abdullah dan istrinya, Suparni, memutuskan untuk meneruskan usaha warung kelontong milik orang tua Suparni dan memindahkannya ke rumah mereka. Warung itulah yang menjadi tulang punggung keluarga itu di kemudian hari.
Sebelum meninggal, Suparni meminta keluarganya untuk tidak meneruskan warung tersebut. Dan begitulah, kini warung itu kosong tak terpakai. Hari-hari setelah kepergian istrinya terasa sangat lambat bagi Abdullah. Setiap sore ia duduk di depan warung kosongnya, dan dalam sebuah percakapan ia mengakui bahwa sekarang semuanya terasa sungguh berat baginya.
Lingkungan rumah keluarga Abdullah berada di bagian dalam dari Dusun Grogol, yang nyaris tidak mengalami penambahan jumlah rumah hingga sekarang. Bahkan beberapa rumah terlihat ditinggalkan penghuninya, entah karena meninggal atau berpindah ke wilayah yang lebih ramai di tepi pantai.
30
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
31
Timbangan dan dua payung itu adalah benda-benda terakhir yang tersisa dari warung mereka. Semua dagangan telah dibagikan kepada saudara-saudara yang kebetulan berkunjung, atau dititipkan ke warung terdekat ketika Suparni mulai sakit.. inkjet print on paper mounted on acrylic, 2 pcs, @ 45 x 59 cm, 2012
32
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
33
Di lemari inilah semua benda pribadi peninggalan Suparni tersimpan rapi. inkjet print on paper mounted on acrylic, 45 x 59 cm, 2012
34
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
Di kamar inilah Abdullah menyambut kelahiran anak kembar mereka. Peristiwa itu menjadi momen yang paling menyenangkan dalam hidupnya. inkjet print on paper mounted on acrylic, 45 x 59 cm, 2012
AKIQ A.W.
|
35
Abdullah di ruang tamunya, tahun 1991. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, scanned from family album at 2012
36
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
Si kembar Mira dan Mita awal 1990-an. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, scanned from family album at 2012
AKIQ A.W.
|
37
Warung itu kini kosong dan dipakai sebagai gudang buat semua hal yang tidak lagi digunakan. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, 2012
38
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
39
Abdullah dan Suparni menikah di Grogol tahun 1976. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 2 pcs, @ 30 x 42 cm, scanned from the family album in 2012
40
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
41
Awal-awal pernikahan, setelah kelahiran anak pertama mereka, Anton. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 2 pcs, @ 30 x 42 cm, scanned from the family album in 2012
42
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
43
Foto-foto si kembar. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 5 pcs, @ 30 x 42 cm, scanned from the family album in 2012
44
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
45
Bagian 4.
Life that Goes without Saying
46
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
47
Gambar-gambar pembongkaran rumah dan kios-kios di sepanjang garis pantai pada tahun 2008. inkjet print on paper mounted on acrylic, 6 pcs, @ 45 x 59 cm, 2008
48
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
49
Kondisi terkini dari sisa-sisa rumah-kios yang masih bisa dilihat. inkjet print on paper mounted on acrylic, 4 pcs, @ 45 x 59 cm, 2008
50
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
51
Bagian 5.
Semua Tergantung dari mana Kamu Melihatnya
52
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
53
54
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
55
Interior dari beberapa rumah yang ditinggalkan. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 4 pcs, @100 x 136 cm, 2012
56
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
57
Wawancara dengan Akiq A.W. *Oleh Chabib Duta Hapsoro
Bisa diceritakan tentang pertemuanmu dengan fotografi? Pertemuan pertama kaliku dengan fotografi adalah ketika saat aku masih kuliah pada tahun 1994. Waktu itu aku ikut klub fotografi di Jurusan Komunikasi UGM, namanya Publicial Foto Club (PBC). Lalu tahun 1996 aku mendaftar ke ISI jurusan fotografi bersama dengan Wimo (Wimo Ambala Bayang). Kemudian aku bergabung MES56 pada tahun 2002. Kenapa tertarik dengan fotografi? Karena awalnya aku suka foto salon, foto-foto indah gitulah. Jadi seperti anak-anak hobbyist. Aku hunting kemana-mana dan memotret. Lalu sekitar tahun 1999, waktu itu masih jamannya foto memakai roll film (negatif), aku bakar semua film-film dan hasil-hasil fotoku yang dulu. Kenapa? Karena aku tidak tahu bagaimana harus mengelola film-film itu. Pusing. Lamakelamaan semua jadi seperti sampah. Lalu juga cetakan-cetakan hitam putih dan negatif-negatifnya. Kemampuanku tidak sekuat itu untuk memelihara benda-benda itu. Lalu kemudian mulai ada bermacam-macam kamera digital. Nah, menurutku itu itu lebih enteng. Waktu itu cara berpikirku juga tidak seperti sekarang, bahwa film-film itu bagian dari sejarah. Dulu, cara berpikirku masih sangat sepele. Kamu bisa merasakan atau tidak, misalnya, punya banyak foto bagus yang indah seperti di kalender, tapi bingung mau ditaruh mana? Berbeda dengan sekarang, dulu kita belum punya media untuk memperlihatkan foto ke orang lain, yang seefektif facebook atau instagram.
58
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
Bisa diceritakan bagaimana bergabung dengan MES56? Aku adalah generasi kedua di MES56. Saat aku belum masuk MES56, sebenarnya sudah banyak orang yang ada di sana, dan banyak juga yang keluar-masuk. Kamu mungkin tahu susahnya mengelola sesuatu dengan inisiatif sendiri. Sebelum masuk MES56, aku bikin penerbitan kecil-kecilan bersama dengan temanku. Aku jadi desainer dan editornya. MES56 saat itu juga mau bikin penerbitan berbentuk
newsletter. Aku menawarkan diri untuk mengelola newsletter-nya. Akhirnya lama kelamaan aku makin intens dengan anak-anak MES56 dan tergabung di situ sampai sekarang. Apakah idealisme MES56 dari dulu memang seperti itu sampai sekarang, maksudku yang berkaitan dengan sebutlah ‘fotografi kontemporer? Aku juga tidak terlalu tahu-menahu sebenarnya anak-anak itu kontemporer atau tidak pada awalnya. Tapi yang patut diketahui adalah semangat mereka yang eksperimental. Semangat itu muncul dari kondisi kampus. Ketika kampus mendirikan Jurusan Fotografi, mereka tidak punya tenaga pengajar yang belajar fotografi dengan benar -- maksudku, yang kuliah secara resmi di akademi di dalam atau luar negeri. Jadi, untuk kebutuhan pengajar, kampus mengambil beberapa fotografer profesional dan beberapa dosen seni rupa. Nah, yang sangat berpengaruh saat itu adalah mata kuliah Fotografi Ekspresi. Jadi kami bisa bikin apa saja, tidak hanya mendokumentasi atau merekam peristiwa. Teman-teman mahasiswa, terutama angkatan 1994, misalnya Angki (Angki Purbandono), dan beberapa anak lain malah merusak negatif film. Mereka membuat gambar-gambar yang menjadi semacam turunan dari seni lukis abstrak. Selain itu, kami juga sudah mulai merasa berbeda dengan fotografer lain. Mungkin karena mereka juga ikut
AKIQ A.W.
|
59
salon, tapi tidak pernah diterima, karena sulit. Foto-foto di salon itu bagus-bagus sekali. Jadi kesadarannya eksperimental saja awalnya. Kemudian tahun 2002 organisasi MES56 mulai dibangun, dan akhirnya resmi menjadi institusi, dan mulai membangun ideologi yang orang menyebutnya sebagai ‘fotografi kontemporer’. Lalu mulai kapan ada kesadaran untuk masuk ke ranah seni rupa? Itu sebenarnya tidak disengaja. Itu karena pergaulan saja. Yang sejak awal memiliki kesadaran untuk mengatakan ‘aku bisa hidup dengan fotografi’ itu sebenarnya Angki. Dia mengembangkan karyanya sedemikian rupa, dan mulai ikut-ikut pameran. Sebelum Angki, waktu itu tidak ada preseden bahwa fotografi bisa diterima di pasar seni rupa. Selain itu, MES56 adalah ruang yang sangat organis. Jadi banyak hubungan-hubungan itu terjadi karena pertemanan. Jadi lingkungan seni di sini saling kenal dan saling ikut bermacam-macam kegiatan. Setelah itu baru ada kesadaran bahwa, “Oh, aku ini seniman yang memakai medium fotografi. Ada pengaruh dari luar? Paling dari buku-buku, karena internet belum seperti sekarang. Sebenarnya Rumah Seni Cemeti itu yang paling awal-awal memamerkan karya-karya fotografi di Jogja. Karya siapa ya? Dulu ada Yasumasa Morimura. Cemeti bahkan pernah (aku lupa tahunnya) mengundang fotografer untuk pameran. Itu semacam uji coba medium fotografi di seni rupa karena di luar sudah begitu. Salah satu yang berpengaruh untuk MES56 itu sebenarnya Cemeti. Proses interaksi di antara anggota MES56 itu seperti apa? Ada saling pengaruh dalam kekaryaan masing-masing anggotanya? Itu jelas. Kami ini kan hobinya nongkrong di kos-kosan sambil membicarakan sesuatu. Ada ide selalu dibicarakan. Jadi sangat saling mempengaruhi. Selain itu juga pada masa itu fotografi belum diterima dengan baik di seni rupa. Jadi perasaan seperti itu membikin kita sering ketemu dan sering menggali ide. Dan MES56 itu hitungannya sangat lambat progressnya. Sepuluh tahun itu baru bisa seperti ini, misalnya untuk diterima oleh pasar.
60
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
Soal diterima pasar, apakah dengan masuknya fotografi ke seni rupa itu hal yang tidak diduga, atau justru sudah menjadi tujuan sejak lama? Sebenarnya tidak diduga, karena kami sudah terlanjur terbiasa untuk membiayai apapun sendiri. Sebelum karya anak-anak diterima oleh pasar, aku yang mengelola keuangan dan juga yang mencari uang untuk MES56, melalui kegiatan-kegiatan komersil atau kerjasama dengan NGO. Aku punya banyak hubungan dengan beberapa LSM lokal dan internasional. Contohnya aku dapat proyek-proyek dari Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Mereka bikin proyek rumah di sini untuk korban gempa. Semua dokumentasi fotonya aku yang pegang. Aku ajak anakanak MES, dan beberapa dari luar. Keuntungan dari proyek itu aku pakai untuk beli komputer dan semua keperluan MES56. Bahkan dulu kalau proyek-proyek itu lebih berhasil di-handle mungkin MES56 bisa jadi seperti ruangrupa. Kami juga pengen kalau bisa menggaji anak-anaklah, dari proyek-proyek ini. Ternyata tidak bisa begitu. Kami tidak mampu, dan pada struktur organisasi tidak ada sumber daya. Adminnya tidak ada, terus akhirnya gagal. Apa yang membuat MES56 bisa sampai sekarang? Apa yang diberikan anggotaanggotanya kepada organisasi ini? Inisiatif. Dulu, sebelum anak-anak punya duit setelah pameran, karena aku dulu juga punya studio desain grafis, publikasi MES56 dalam bentuk katalog maupun postcard itu sebagian aku yang support, numpang cetak ketika aku ada order cetak. Jadi ada semacam pengertian bahwa apapun yang kami capai sekarang ini itu karena MES56 juga. Orang sering memberi atribut kepada kami sebagai MES Boys. Jadi bukan siapa kamu atau siapa dia. Kami lebih identik sebagai MES Boys, lebih kuat identitas kelompok. Kesadaranmu sendiri terhadap fotografi itu bagaimana? Aku termasuk orang yang sangat lambat menerima cara-cara baru terhadap praktik fotografi. Dulu, awalnya aku suka foto salon. Mungkin itulah indikator kelambatanku. Meskipun aku sudah dekat dengan anak-anak MES, aku belum sampai berpikir bahwa ini adalah sebuah fotografi yang ideal. Nah, kemudian, setelah banyak kegiatan dengan orang-orang NGO ternyata ada berbagai workshop yang bisa aku jalankan dengan fotografi. Aku sampai pada kesimpulan bahwa medium ini adalah
AKIQ A.W.
|
61
sarana yang bisa kita pakai untuk bikin apa saja sebenarnya. Intinya alat ini oke. Fotografi itu seperti alat atau medium saja. Namun jika ada jargon ‘medium is the message’ itu sangat tepat dalam konteks fotografi. Karena ketika seseorang memilih menggunakan fotografi, dia harus sadar benar bahwa alat ini punya kekuatan dan kelemahan apa saja. Ia juga bisa dipakai secara tidak tepat. Misalnya hal yang tidak tepat itu seperti apa? Misalnya sekarang ini di Jogja banyak sekali pameran fotografi. Setengah tahun terakhir ini banyak sekali terutama sejak munculnya banyak art management baru. Sasaran mereka adalah fotografer. Dalam pameran itu banyak fotografer yang mencoba membuat karya-karya yang menjadi seperti lukisan. Seperti itulah. Menurutku mereka tidak sadar, tidak paham kenapa memilih fotografi. Lalu karyakarya foto itu dicetak di atas kanvas. Karya foto seharusnya tidak dicetak di atas kanvas. Meskipun sebenernya untuk kepentingan konsumsi umum, misalnya seperti pernikahan, itu oke dan sah. Tapi sebagai karya seni, saat fotografer membuat karya karya seperti apa, pilihan presentasinya seperti apa, pilihan cetaknya di atas apa. Itu menunjukkan kesadarannya pada medium fotografi seperti apa.
The Order of Things series
Bisa diceritakan beberapa proyek fotografi yang pernah kamu lakukan, mungkin diawali dengan The Order of Things? The Order of Things itu berasal dari judul buku. Aku mengambil premis dasar buku itu bahwa ada sebuah underlying truth yang menjadi ukuran akan pengetahuan, norma, dan ideologi sebuah masyarakat tertentu di waktu tertentu. Menurutku bagaimana orang menata benda, membentuk lansekapnya itu mencerminkan apa saja yang menjadi dasar kebenaran saat itu. Kalau kamu lihat gambar-gambar dalam The Order of Things misalnya ada speaker yang berdiri dan ada kasur yang dijemur di depan rumah, itu mencerminkan hal-hal yang terjadi di Indonesia menurutku. Di sini orang cenderung menyelesaikan sesuatu dengan temporer. Selain itu, orang Indonesia juga dikenal sebagai orang yang pelupa dan buruk dalam perencanaan. Hal-hal seperti itu yang digambarkan dalam The Order of Things. Jadi, kalau kamu melihat benda-benda dalam proyek itu kan disorder sebenarnya. Tapi di situlah order-nya menurutku. Sebenarnya aku nyaman sekali dengan proyek ini. Meskipun sebenarnya sudah selesai, proyek ini membuat sense mataku menjadi Augmented Landscape series
62
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
63
terlatih. Bahkan menurutku kalau aku pergi ke suatu tempat, aku bisa memakai cara pandang The Order of Things ini untuk mencari tahu tentang masyarakat di situ. Kalau seri Augmented Landscape? Karya itu muncul saat Google meluncurkan kacamata Google. Itu kan namanya augmented reality. Realitas yang ‘ditambahkan’. Ide Augmented Landscape adalah penggabungan antara physical reality dengan digital reality. Titik berangkatku dari situ. Nah, untuk melakukan praktik tersebut selama ini orang kan memakai Photoshop. Kalau aku memakai cara manual, aku mencari kalender untuk aku ambil gambar pemandangannya saja. Lalu aku mencari objek-objek untuk digabungkan dengan gambar pemandangan kalender tadi. Pada prosesnya aku menjadi bingung juga ini yang asli mana dan yang tambahan mana. Yang nyata dan yang tidak mana. Aku tidak bisa bilang bahwa yang gambar pemandangan itu palsu. Itu saja sih. Bisa diceritakan tentang ide awal karya Lima Cerita dari Rumah ini? Pada awalnya aku hanya membayangkan akan menelusuri sejarah rumah. Aku mencari beberapa rumah yang dirobohkan. Nah, dari rumah yang roboh itu aku bangun sejarahnya. Jadi, aku mencari artefak, rumah itu dulu ada perabotnya apa saja, ada foto apa, semua aku kumpulin sampai aku bikin foto repro. Aku foto rumah itu dan juga penghuninya aku ajak foto di tempat itu dengan membayangkan ruang tamunya di mana. Berbeda dengan yang sebelumnya, karya ini bukan membicarakan medium fotografi melainkan fungsi fotografi sebagai alat dokumentasi. Aku melihat karya ini masih berhubungan dengan The Order of Things. Sedikit banyak berhubungan, tapi dalam proyek ini aku mencoba teknik baru (setidaknya menurutku), terutama bagaimana aku membangun narasinya. Dalam karya ini peristiwa, visual dan teks berjalan paralel. Kalau di The Order of Things itu sudah tipikal, bahwa bangunan ceritanya itu sudah ada dalam setiap gambar, artinya mau 2 atau 10 buah foto tidak menjadi masalah. Orang sudah tahu maksud The Order of Things itu. Kalau karya Lima Cerita dari Rumah ini berbeda. Hubungan
64
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
antara gambar, peristiwa, dan konteksnya aku buat paralel, semuanya berjalan sendiri-sendiri. Narasi hanya menjelaskan konteks. Caption pun hanya berfungsi menjelaskan apa yg ada digambar. Menurutku seperti itu. Aku sendiri agak pusing juga dan agak pesimis bisa menyelesaikannya. Maksud menyelesaikan itu apa? Ya selesai untuk bisa dipamerkan, dan apakah cukup bisa dimengerti. Aku justru penasaran kenapa karya foto sejelas dan sedokumentatif ini bisa kamu pakai jadi media pernyataanmu sebagai seniman? Sebenarnya ada dua hal yang ingin aku sampaikan berkaitan dengan seni dan fotografi. Pertama, menurutku seni bukan saja soal melihat melampaui permukaan, atau berpikir mendahului jaman atau menciptakan keindahan. Tapi bisa juga sekadar mengingatkan akan sesuatu yang orang sudah paham. Aku bukan orang yang suka akan privilege dan elitisme seni. Jadi kalau ada seniman atau perupa kontemporer yang berlomba memberi konteks karyanya atau menghubungkan karyanya dengan hal-hal besar juga, itu juga bukan menjadi pilihanku. Aku lebih suka bercerita tentang diri sendiri melalui hidup orang-orang yang sepertiku dan di sekitarku. Orang-orang yang menganggap waktu luang untuk merenung itu masih merupakan benda impian nan istimewa. Hehehe... ini curhat, sepertinya. Kedua, berkaitan dengan praktik fotografi. Fotografi kontemporer itu sekarang ini berada di sebuah titik yang berbahaya. Di satu sisi, di Indonesia, praktiknya masih berkutat tentang membuat gambar bagus saja. Di sini orang masih mencari keindahan auratik dalam fotografi sekaligus masih tidak peduli dengan gagasan. Sedangkan di dunia luar sana justru kebalikannya, banyak karya-karya yang gagasannya terlalu dibuat-buat dan difabrikasi. Sehingga fotografi terjebak menjadi soal skill membuat statement. Oscar Motuloh dalam bukunya Soulscape itu, menurutku ideal banget. Bagaimana gagasan itu diterjemahkan ke dalam sebuah foto dokumentatif. Kuat sekali jejak interpretasinya atas foto-foto itu dan sangat auratik. Berarti dalam proyek ini karya-karyamu memang semata dokumentatif? Karyaku ini memang dokumentatif. Aku masih melihat sisi dokumentatif itu menjadi kekuatan fotografi. Ketika sebuah benda kamu pindahkan ke dalam kanvas dengan
AKIQ A.W.
|
65
melukiskannya begitu saja, itu sudah seni kan? Kalau fotografi itu tidak bisa. Seniman fotografi, video, pokoknya yang media baru itu harus berusaha lebih pintar daripada pelukis. Mediumnya adalah medium yang sangat biasa, sangat profan. Hehehe… Benar nggak sih? Praktiknya hampir dilakukan semua orang...
Hahahaha.. ‘Berusaha lebih pintar dari pelukis.’ Itu betulan atau sindiran buat fotografer? Melihat fotografi sebagai medium, aku selalu merasa kalau para fotografer itu tantangannya justru hadir pada ‘kegampangan’ mediumnya itu. Hahahaha… Sindiran juga. Tapi betulan juga lho. Kalau kamu amati di Indonesia, naik daunnya fotografi itu masih di dalam dalam sense gelembung ekonomi yang bikin dunia bangkrut itu lho. Tapi sebenarnya, karena fotografer itu selalu berkutat pada keindahan dan komposisi, mereka tidak peduli bagaimana menyuntikkan gagasan itu ke dalamnya. Bisa dijabarkan lagi soal hubungan gelembung ekonomi dan kaitannya dengan perkembangan fotografi kontemporer itu? Gelembung ekonomi itu adalah perkembangan atau pertumbuhan ekonomi yang semu, karena faktor-faktor di luar dirinya atau yang tidak wajar dan pasti akan meledak gelembungnya. Seperti Indonesia di jaman Presiden Soeharto, sekarang kita baru tahu bahwa pertumbuhan yang stabil itu ternyata dibangun di atas pondasi utang. Sama dengan fotografi di sini. Khususnya dalam konteks pasar. Namanama yang jaminan sold out itu bukan mencerminkan pertumbuhan fotografi sebagai medium seni tapi karena faktor di luar dirinya sendiri. Aku kira kamu tahu kok mengapa itu terjadi. Sebagai anak MES56, yang merupakan komponen cukup penting dalam seni bermedium fotografi, aku tahu bagaimana cara berkesenian anak-anak MES56 dan teman-teman lain. Di MES56 sendiri juga sangat berbeda antar individu. Ada sebuah jarak yang sangat lebar ketika aku melihat bagaimana anak-anak lain di luar MES56 bekerja. Kamu tanya deh misalnya Wimo, kenapa ia sekarang pusing tidak bisa berkarya. Setelah menonton Documenta XIII kemarin, Wimo merasa semua hal seperti tidak ideal. Itu soal yang sama dengan yang aku bicarakan.
66
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
Pusing karena takut merasa terlalu gampang berkarya? Bukan terlalu gampang. Pada praktiknya fotografi yang dilakukan anak-anak MES56 itu sulit dan memerlukan sumber daya besar. Pusing karena terlalu berkutat pada visualitas. Menurutku, seniman-seniman foto di sini, termasuk MES56, masih menjadi seniman kamar. Mereka berpikir di kamar, merancang di kamar, keluar sebentar merangkai properti, menuju lokasi, memotret dan kembali ke kamar. Padahal semua hal itu ada di luar sana tidak di kamar. Istilah canggihnya riset. Padahal riset itu juga bisa yang kecil-kecilan dan sederhana kan? Maksudmu praktik berkaryanya masih berjarak dengan realitas di luar. Maka dari itu tawaranmu dengan karya yang dokumentatif ini menurutmu relevan sejauh ini? Sedikit banyak. Sebenarnya awalnya aku punya asumsi-asumsi ketika berangkat mengerjakan proyek ini. Tapi ketika di lapangan semua hal menjadi berbeda dan di luar bayanganku. Lalu aku pikir, cara atau urutan kerjanya yang harus aku rubah. Bahwa kita harus ke lapangan dulu untuk tahu akan membikin proyek seperti apa. Tapi pasti ada hipotesis awal kan? Aku justru merasa kalau ide proyek ini hadir saat kamu menggarap . Betul begitu? Ya harus ada dong. Kalau tidak, kita tidak bisa mulai bekerja. Ketika mengerjakan The Order of Things, aku benar-benar memperhatikan benda-benda dan bagaimana mereka bisa sedemikian rupa tatanannya. Nah, sebenarnya ide awal proyek rumah ini lebih pada bagaimana aku melihat rumah yang ditinggalkan itu sampai seperti itu. Apa peristiwa yang melatarbelakanginya dan seterusnya. Aku melihat karyamu di sini menggabungkan beberapa genre fotografi katakanlah ada stage photography, saat kamu merekaulang benda-benda. Ada landscape dan documentary. Mungkin seninya di situ ya? Hahaha… Pokoknya saat bikin ini, aku tidak mau terpasung sama kaidah-kaidah atau genre-genre itu. Dalam menata benda-benda di situ aku usahakan yang baguslah. Tapi niatnya memang bukan untuk bikin gambar bagus. Aku sadari sejak awal bahwa Selasar Solo Project Series ini bukan soal artistik tapi tantangan untuk memperlihatkan apa yang kamu capai dan apa yang kamu pikirkan saat ini. Jadi beginilah. Tidak lagi soal keindahan. Tapi hal ini sebenarnya yang sedang aku pikirkan.
AKIQ A.W.
|
67
Bisa jadi momentum pameran ini menjadi turning point buatmu ya? Iya. Namun sebenarnya karya-karyaku juga masih belum memiliki karakteristik unik yang bisa diacu. Tapi oleh karena program ini, aku jadi lebih terbebaskan, untuk tidak takut lagi melakukan apapun yang aku pikir perlu. Tidak takut dikatakan jelek dan tidak takut dikatakan ngawur. Hehehehe.. Sebagai sebuah karya dokumenter mau tidak mau karya dalam foto ini menjadi semacam foto jurnalistik yang mengandung nilai-nilai jurnalisme. Lewat foto-foto ini terkesan kamu mengharapkan adanya perbaikan pada kondisi orang-orang yg ada di foto ini. Tentu saja. Kita pasti berharap yang baik kan? Kamu bisa lihat nggak bahwa cerita ini soal survival? Bahwa ternyata tidak ada manusia yg selamat di akhir hari. Aku bisa lihat ini soal daya hidup. Ini jadi representasi daya hidup orang Indonesia ya? Hahaha… Aku punya cerita menarik tentang bagaimana orang Jawa melihat sebuah permasalahan. Sebulan lalu, vendor printerku marah besar karena aku telat membayar angsuran printer fotoku. Terus mereka akan menyitanya tanggal 15 November jika tidak aku lunasi. Aku putus asa dan berniat melepaskannya saja. Terus aku cerita ke istriku soal itu. Tahu tidak jawaban istriku? Kurang lebihnya seperti ini, “Kamu sabar, aku yakin pasti ada sesuatu yg baik di balik semua ini…” Lalu aku bilang ke dia dengan sedikit marah, “Yang aku butuhkan sebenarnya bukan jawaban yang agung seperti itu, tapi jawaban tentang bagaimana aku harus bayar dua orang karyawanku dan bagaimana aku harus cetak karyaku buat pameran di Selasar.” See? Cerita tentang ketiga pria dalam karya Lima Cerita dari Rumah itu aku kira sedikit banyak bercerita soal itu. Mereka tahu bahwa mereka telah kalah tapi selalu ada jalan untuk berdamai. Antara harapan dan capaian, antara keinginan dan kenyataan. Lalu bagaimana? Printernya tidak jadi disita kan? Nggak dong. Ini kan sudah Desember dan aku masih bisa print kan? Tapi bener kata istriku lho. Ada jalan keluar yg tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Jadi katakata mutiara itu seperti tidak datang begitu saja ya? Ceritanya panjang. Aku dapat
68
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
pekerjaan yang udah aku tinggalkan dari orang yg sudah setahun tidak aku hubungi. Beres pekerjaan itu langsung bisa bayar lunas printer. Alhamdulillah... Maksudmu memang semua sudah ‘diatur’ ya? Kalau menurutku bukan begitu. Siapa yang mengatur? Hehehe.. Menurutku ini efek gravitasi. Gravitasi yang timbul ketika berubahnya kondisi dari bermasalah menjadi tidak bermasalah. Ketika kamu terbelit masalah, peristiwa biasa bisa jadi ajaib. Yang berperan adalah ketidakpastian. Aku tidak yakin, jika printerku tidak disita, apakah orang itu tidak akan menawariku pekerjaan? Tapi sudahlah. Mungkin juga memang ada yang mengatur. Hukum alam. Tuhan. Kebetulan. Tapi menyinggung lagi soal karakteristik orang Jawa saat menghadapi masalah. Apakah cuma orang Jawa yang begitu ya? Aku tidak tahu juga. Tapi menurutku orang Jawa sangat kental karakter ambigunya, sehingga tidak semua masalah harus diselesaikan. Kata-kata ini yang menurutku bisa menggambarkan orang Jawa; ngono yo ngono tapi ojo ngono (begitu ya begitu tapi jangan begitu). Saat itu kamu stres ya? Wah, saat itu pas barengan banyak acara: tulisan kuratorial pameran The Sweet and Sour Story of Sugar di Langgeng Art Foundation (LAF) belum selesai, Proyek Selasar Solo ini, pekerjaan dengan anak-anak ISI. Makanya sehabis pembukaan di LAF itu aku langsung jatuh sakit. Kamu sempat merasakan hal seperti ini atau tidak: Dengan pokok soal dokumenter ini audiens akan merasa kamu hanya menggunakan orang-orang yang terkena musibah ini sebagai alat. Kamu hanya mengeksploitasi drama orang-orang ini buat karyamu yang pada akhirnya hanya dibeli kolektor. Mungkin. Tapi di karya ini aku bukan menampilkan musibah. Itu alur sejarah. Bercerita tentang hidup manusia lain selalu eksploitatif. Yang membuatnya etis atau tidak adalah bagaimana kamu menceritakan kisah hidup orang itu. Kalau basis atau daya tarik ceritanya tentang penderitaan, kekurangan atau difabilitas mereka, jelas itu tidak oke. Tapi kalau kita bisa menunjukkan cerita tentang bagaimana
AKIQ A.W.
|
69
orang-orang itu bertahan, kebahagiaan-kebahagiaan yang mereka temukan dan bagaimana mereka memberi makna pada peristiwa-peristiwa yang mereka alami itu inspiratif, bukan eksploitatif. Minimal eksploitasi yang inspiratif. Bisa diceritakan hal-hal menarik saat kamu mengggarap karya ini, terutama saat kamu berinteraksi dengan pria-pria ini. Mereka menarik karena masing-masing orang memang unik. Dan yang paling menantang adalah bagaimana aku berdamai dengan diriku dan bagaimana aku menantang diriku untuk bisa bertahan dengan kisah orang lain yang baik maupun buruk harus didengarkan. Ada yang susah untuk diwawancara? Kenapa mereka mau berbagi cerita denganmu? Aku punya rahasia dalam proyek ini. Ketiga lelaki ini susah sekali bicara. Semua data-data yang ada sebagian besar aku dapatkan dari keluarga mereka. Tapi ketiga pria ini mereka sedikit banyak bercerita tentang apa yg mereka rasakan saat ini. Jadi kesimpulan-kesimpulan yang aku dapatkan sedikit banyak muncul dari ceritacerita tiga pria ini. Sedangkan detail-detailnya berasal dari keluarganya. Kenapa harus pria (kepala keluarga) yang kamu fokuskan di sini? Ini semacam satir saja. Ada kan di dalam cerita ini bahwa ternyata yang secara faktual menanggung beban itu perempuan. Di chapter 2 jelas bahwa istrinya yang harus berhutang ke bank. Di chapter 3 jelas bahwa setelah tokonya tutup (yang notabene pengelolanya adalah istrinya) hidupnya terasa lebih berat. Di chapter 1 kan jelas bahwa Slamet tidak fight ketika mendapatkan kios yang tidak strategis. Karena yang menjalankan warungnya itu adalah sang istri. Tiba-tiba aku jadi ingat obrolan kita di studiomu dulu. Kamu bilang bahwa ada beberapa anak MES56 itu foto-fotonya performatif. Setelah melihat karyamu ini, aku jadi sadar (lagi) kalau kehidupan itu sendiri sudah ‘performatif’ ya. Sudah dramatik. Hahaha‌ bener-bener.
Nah, menurutmu posisi seniman di mana kalau kehidupan dan kenyataan itu ternyata sudah performatif? Ruang dan waktu kenyataan itu linear dan tepat, tidak bisa berubah. Hanya benda atau makhluk yang bisa pergi dengan kecepatan cahaya yang bisa terbebas dari rezim ruang waktu ini. Nah, seniman berposisi menjadi pihak dengan kemampuan kecepatan cahaya ini. Dalam karyanya ia merangkum ratusan tahun peradaban dan jutaan kilometer ruang hidup kenyataan hanya dengan sebaris puisi, selembar kisah dan sekumpulan objekobjek. Hubungan modus riset dengan pencarian bahasa visual di karya-karya kamu itu bagaimana ya?
Wah, aku tidak tahu bagaimana tepatnya. Cuma ketika mendapati sesuatu tentang subjekku, aku memiliki pemikiran tertentu tentang bagaimana seharusnya visualisasi yang aku bikin, seperti tentang Sumaryanto yang menderita vitiligo itu, aku bikin dia di belakang dedaunan dan foto lama dia aku gabung dengan awan dan dedaunan. Aku merasa bahwa karakter penyakit vitiligo itu membuat orang seperti bisa kamuflase. Fotografi lekat sekali dengan budaya visual. Sebagai fotografer kamu melihat budaya visual yang ada di sekitar kita itu berpengaruh seperti apa khususnya yang mempengaruhi persepsi manusia pada realitas? Aku punya pemikiran seperti ini: Exposure visual di media yang luar biasa seperti sekarang ini—yang sebagian besar hanya citraan-citraan manipulatif yang dibuat oleh imagolog-imagolog iklan—membuat hidup orang jadi berada dalam kondisi yang sulit. Ada sebuah kondisi deprivasi relatif yaitu jauhnya jarak antara kenyataan dan harapan. Nah, praktik fotografi yg dilakukan masyarakat dengan telepon genggam, facebook dan lain-lain itu menurutku menjadi benteng terakhir manusia-manusia sekarang untuk tetap berpijak di atas tanah, berpijak pada agenda dan kenyataan hidupnya sendiri. Kalau kita tidak punya koleksi foto-foto tentang hidup kita sendiri, bagaimana kita bisa memahami sejarah diri? Sedangkan setiap hari kita dijejali gambar-gambar manipulatif dari media. *Wawancara dilakukan secara langsung pada tanggal 12 Juli 2012 di Yogyakarta dan melalui Yahoo
Messenger pada tanggal 1 Desember 2012.
70
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
71
Biografi Seniman
Akiq Abdul Wahid
Lahir di Kediri, Indonesia Tinggal di Yogyakarta, Indonesia Pameran Tunggal 2012 Lima Cerita dari Rumah, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Indonesia To The Landscape and Beyond, Emmitan CA Gallery Surabaya, Indonesia. 2011 One Man Different God, Plaza Indonesia, Jakarta, Indonesia. 2010 The Order of Things, Ruang Mes 56,Yogyakarta, Indonesia. Pameran Bersama Terpilih 2012 Collective Ground, Gallery Rachel, Indonesia Marker, Art Dubai 2011 Shadow Lines: Indonesia meet India. Yogyakarta Biennale XI, Indonesia. Future Lab, Deagu Exco, Deagu Metropolitan City, Korea. Contemporary Photography from Indonesia, Centre for Contemporary Photography Melbourne, ruang MES 56, Yogyakarta, Indonesia. Art JOG 11, Taman Budaya Yogyakarta, Indonesia. Indonesia Nowdays, Cannon Gallery Tokyo, Japan. Perfect World, dGallery Jakarta, Indonesia.
Angsana: Southeast Asian Photographers Taking Flight, 2902 Gallery, Singapore.
72
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AAKKI IQQ AA. .WW. .
|
73
Daftar Karya
2010 Crash Project: Image Factory, SIGIarts Galery, Jakarta, Indonesia. ART JOG 10 Indonesia Art Now: Strategies of Being, Taman Budaya Yogyakarta, Imdonesia. On Camera, Biasa Art Space, Seminyak Bali, Indonesia. 2009 KOMPILASI: A Survey of Indonesian Contemporary Art, BUS Gallery Melbourne, Australia. 2008 2 Pose: Indonesian Artists Portrait Series, Jogja Gallery Yogyakarta, Indonesia. nd
2007 Mois de la Photo: OVERLOAD, Centre Cultural Francais, Yogyakarta, Indonesia. 2005 Unfolded City, Taman Budaya Yogyakarta, Indonesia.
74
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
Bagian 1. Semua Berakhir Tepat di mana Kita Memulainya 1. Rumah Slamet di kawasan Bolong, saat ini menjadi hamparan pasir yang tidak dipakai. Di ujung kiri atas terlihat bekas aspal dimana biasanya jalan berada. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 100 x 136 cm, 2012 2. Kondisi pembongkaran rumah Slamet pada tahun 2008. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 100 x 136 cm, 2008 3. Slamet dan bekas pilar rumah lamanya yang ia simpan sampai sekarang. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, 2012 4. Reka-ulang warung Slamet di Bolong. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, 2012 5. Suatu senja pada pertengahan 2008 ketika mesin-mesin buldozer berhenti membongkar rumah-rumah. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm , 2008 6. Reruntuhan salah satu mushola di kawasan Bolong. Dua jam setelah foto ini diambil, sisa-sisa bangunan itu menjadi rata dengan tanah. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm , 2008 7,8. Suranto, anak tertua Slamet, berpose di dalam kamarnya di Pondok Pesantren. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 30 x 42 cm, scanned from the family album in 2012 9. Suasana warung tahun 2003. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 30 x 42 cm, scanned from the family album in 2012 10. Slamet, istrinya (Biyem) dan anak keduanya, Lia, di rumah mereka yang telah dikosongkan, sebelum dibongkar buldozer. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 30 x 42 cm, scanned from the family album in 2012
AKIQ A.W.
|
75
Bagian 2. Lelaki yang Terobsesi dengan Tenis 11. Rumah orangtua Sumaryanto yang telah roboh. Ruang tamu direkaulang sama seperti ketika mereka meninggalkannya. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 100 x 136 cm, 2012 12. Kamar yang dipakai untuk sesajen di rumah Sumaryanto. Ibunyalah yang menganut ajaran kejawen di rumah itu. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, 2012 13. Reka ulang ruang tengah keluarga. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, 2012 14. Potret Sumaryanto tahun 2012 inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 39 x 54 cm, 2012 15,16,17,18. Potret-potret masa muda Sumaryanto. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 39 x 54 cm, 2012 (15, 16) inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 39 x 54 cm, scanned from the family album in 2012 (17,18)
Bagian 3. Hidup Sungguh Berat Tanpamu 19,20. Rumah orangtua Sumaryanto yang telah roboh. Ruang tamu direkaulang sama seperti ketika mereka meninggalkannya. inkjet print on paper mounted on acrylic, 45 x 59 cm, 2012 21. Di lemari inilah semua benda pribadi peninggalan Suparni tersimpan rapi. inkjet print on paper mounted on acrylic, 45 x 59 cm, 2012 22. Di kamar inilah Abdullah menyambut kelahiran anak kembar mereka. Peristiwa itu menjadi momen yang paling menyenangkan dalam hidupnya. inkjet print on paper mounted on acrylic, 45 x 59 cm, 2012 23. Abdullah di ruang tamunya, tahun 1991 inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, scanned from family album at 2012 24. Si kembar Mira dan Mita awal 1990-an inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, scanned from family album at 2012
76
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
25. Warung itu kini kosong dan dipakai sebagai gudang buat semua hal yang tidak lagi digunakan. inkjet print on paper mounted on acrylic, 59 x 80 cm, 2012 26,27. Abdullah dan Suparni menikah di Grogol tahun 1976. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, image: 30 x 42 cm, scanned from the family album in 2012 28,29. Awal-awal pernikahan, setelah kelahiran anak pertama mereka, Anton. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, image: 30 x 42 cm, scanned from the family album in 2012 30,31,32,34,35. Foto-foto si kembar. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, image: 30 x 42 cm, scanned from the family album in 2012
Bagian 4. Life that Goes without Saying 36,37,38,39,40,41. Gambar-gambar pembongkaran rumah dan kios-kios di sepanjang garis pantai pada tahun 2008. inkjet print on paper mounted on acrylic, 45 x 59 cm, 2008 (36,37,38,39,40) inkjet print on paper mounted on acrylic, 45 x 59 cm, 2012 (40) 42,43,44,45. Kondisi terkini dari sisa-sisa rumah-kios yang masih bisa dilihat. inkjet print on paper mounted on acrylic, 45 x 59 cm, 2012 Bagian 5. Semua Tergantung dari mana Kamu Melihatnya 46,47,48,49. Interior dari beberapa rumah yang ditinggalkan. inkjet print on paper, wooden frame, natural color, 100 x 136 cm, 2012
AKIQ A.W.
|
77
Ucapan Terima Kasih Akiq A.W. mengucapkan terima kasih kepada: Empat perempuan terpenting dalam hidupku: Wiraswati, Wikan, Awang dan Cakrawala. Untuk mesbois, untuk Jimbo atas penyelamatan di detik-detik terakhir, Dodo Hartoko dan Gembong atas pengampunan yangg kalian berikan. Untuk semua teman-teman di Selasar, Jennong atas kesempatannya, Chabib dan semua pihak di Selasar atas kesabarannya. Dan terimakasih Tuhan semesta atas hidup yang penuh tantangan ini.
78
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
SSAS Selasar Sunaryo Art Space Managing Organization Managing Organization Program Advisors / Directors Curator in Charge Bale Tonggoh Coordinator Assistant Curator Program Manager General Affairs Finance Documentation Information & Technology Frontdesk Librarian Giftshop Gallery Intern Exhibition Guide Exhibition Display Security
: : : : : : : : : : : : : : : :
Sunaryo & Siswadi Djoko Agung Hujatnikajennong Yus Herdiawan Chabib Duta Hapsoro Elaine V.B. Kustedja Yanni Aman Conny Rosmawati & Rita Diah Handayani Maksi Nirwanto Irma Melati Imania Gina Sonia Mira Amelia Bintang Angkasa Diana ‘Trace’ Novita, Dadan Ramdani Hadiat, Yadi Aries, Ismail, Ade Sutisna Cecep Suherman, Cucu Suanda, Yusuf Ashari, Egi Sutisna
AKIQ A.W.
|
79
80
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES
AKIQ A.W.
|
81
Selasar Sunaryo Art Space Jl. Bukit Pakar Timur No. 100 Bandung 40198 West Java - Indonesia P. (+62-22) 250 79 39 F. (+62-22) 251 65 08 E. selasar@bdg.centrin.net.id W. www.selasarsunaryo.com Open daily at 10 am - 5 pm Closed on Monday & public holiday
82
|
SELASAR SOLO PROJECT SERIES