Ruang#11 fiksi volume 2 jendela

Page 1

#11 FIKSI JENDELA . WINDOW

RUANG

RUANG #11 Ivan Nasution - Purwanti Wulandari - Margaret Arni - Oudyse Samodra PHL Architects - Fath Nadizti - Lukman Hakim - Rifandi Nugroho Siti Amrina Rosada

juli 2017


edisi #11: Fiksi

2


RUANG #11: FIKSI v o l. 2 : J e n d e l a tidak akan terwujud tanpa kontribusi dari: Ivan Nasution Purwanti Wulandari Margaret Arni Oudyse Samodra PHL Architects Fath Nadizti Lukman Hakim Rifandi S Nugroho Siti Amrina Rosada


edisi #11: Fiksi

RUANG

PEMBUKA Pada akhirnya, beragam teknik untuk mengolah fiksi berpotensi untuk menjadi alat kritik realitas atau alat advokasi atas masa depan yang diharapkan. Dalam level yang lebih subtil, ia membuat pembaca lebih awas terhadap kebaikan atau kekejaman realitas. Fiksi dalam konteks arsitektur akan membuka ruang yang lebih bebas terhadap interpretasi arsitektur dan kota, melalui imajinasi-imajinasi baru. Setelah merenungkan bersama relasi antara fiksi dan arsitektur lewat “Cermin”, kita melangkah menuju volume kedua, “Jendela”. Di dalam kompilasi ini, delapan kontributor mengajak pembaca untuk masuk ke dalam dunia rekaan mereka. Mereka menggunakan fiksi untuk menyampaikan isu-isu arsitektur secara lebih subtil, yang diwujudkan dalam berbagai media. Dari komik, cerita pendek hingga karya arsitektur utopis. Ivan Nasution dan Purwanti Wulandari akan membuka “Jendela” dengan “Almari Kuriositas” yang berisi dialog antara arsitektur dan biologi yang terjadi dalam tiga babak. Kemudian Margaret Arni akan mengajak kita melihat “Kota Taman” yang berisi imajinasi radikal tentang Garden City untuk mencapai kota ideal masa kini. Setelah itu ada komik “Paduraksa” dari Oudyse Samodra yang membayangkan lenturnya batasan ruang dan waktu di kota masa depan. Masih tentang kota yang akan datang, PHL Architects mengusulkan sebuah megastruktur mandiri untuk komunitas tepi sungai Ciliwung dalam “Envisioning Tatlin’s Tower”. Setelah itu, Fath Nadizti akan membagi ceritanya ketika berusaha “Kabur Dari Bandara”. Selanjutnya ada kolaborasi antara Lukman Hakim, fotografer dan dua penulis fiksi, Theoresia Rumthe dan Puti Karina Puar, yang menghasilkan”Interpretasi dalam Ruang”. Rifandi Nugroho kemudian mengajak kita untuk menikmati “Makan Malam Bersama Randu” untuk membahas ketahanan pangan dan permakultur. Dan sebagai penutup, rangkaian perjalanan volume ini berakhir dalam “Mencari Tanah Surga” karya Siti Amrina Rosada yang menceritakan anjing untuk membahas kegelisahannya tentang arsitektur dan kehidupan. Setelah “Cermin” mengajak kita untuk merefleksikan hal-hal keruangan, perkotaan dan lingkungan binaan melalui kerangka fiksi, kini “Jendela” akan mengajak kita tenggelam dalam narasi-narasi fiksional. Fiksi tidak lagi digunakan sebagai kacamata, melainkan ruh yang menstimulasi pengalaman dan imajinasi serta membangkitkan keberanian untuk mengritisi keseharian kita dalam ruang, kota, dan lingkungan binaan. Selamat menikmati dunia-dunia baru di dalam “Jendela”. Dan, sampai jumpa di edisi RUANG yang selanjutnya! 2


ISI

vol.2: Jendela

8

Almari Kuriositas

esai Ivan Nasution & Purwanti Wulandari

20

Kota Taman

28

Paduraksa

42

Envisioning Tatlin’s Tower

50

Kabur dari Bandara

60

Ruang dalam Interpretasi

68

Makan Malam Bersama Randu

80

Mencari Tanah Surga

esai Margaret Arni

komik Oudyse Samodra

essay PHL Architects

esai Fath Nadizti

fotografi, Lukman Hakim, Puti Karina Puar, Theoresia esai Rumthe

esai Rifandi S. Nugroho

esai Siti Amrina Rosada


K O N T R I B U T O R IVAN NASUTION Ivan Nasution lulus dari Arsitektur

IN

ITB pada tahun 2006 lalu bekerja

seperti proyek ‘Enhancement of Global Carbon Sequestration From Indonesian Tropical

di Park+Associates Architect,

Forest’ yang didanai oleh Islamic

Singapura. Di tahun 2011, Ia

Development Bank. Selain

menyelesaikan pendidikan penelitian

menyukai berwisata, ia juga peduli

pascasarjana di Berlage Institute

dengan pendidikan anak-anak

Rotterdam. Saat ini Ivan bekerja

sehingga sempat berkecimpung

sebagai peneliti di Centre for

di Komunitas Sahabat Kota,

Sustainable Asian Cities, National

Bandung. Saat ini tinggal di

University Singapore. Di sela waktu

Singapura sebagai seorang ibu

luangnya, Ia aktif menjadi fasilitator bagi Participate in Design, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di

dari satu putri dan perencana PW

keuangan paruh waktu.

bidang desain, perencanaan, dan pendidikan.

MARGARET ARNI Margaret Arni Bayu Murti menyelesaikan jenjang S1 di

PURWANTI

Jurusan Arsitektur Universitas

WULANDARI lulus dari

Pancasila pada tahun 2003.

Biologi ITB pada tahun 2006,

Lalu menyelesaikan jenjang S2

lalu bekerja sebagai koordinator

di Program Pascasarjana Kajian

acara bertema lingkungan hidup sekaligus manajer keuangan di Greeners Media Lestari yang bekerja sama dengan Oxfam GB. Setelah menyelesaikan pendidikan pascasarjana Magister Sains Manajemen di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, ia menjadi peneliti

MA

Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia pada tahun 2006. Saat ini, penulis menjadi dosen tidak tetap di jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Pancasila peminatan perancangan kawasan dan

muda untuk beberapa proyek

terlibat dalam jasa konsultan bagi

pemerintah maupun internasional

pemerintah daerah di Indonesia.


PHL ARCHITECTS OS

PHL Architects is an award winning architectural firm with specialisation in sustainable tall buildings, commercial, hospitality, office, leisure and

OUDYSE SAMODRA

cultural buildings, including urban

Lulus dari jurusan Arsitektur ITS

design. Since its formation, PHL

di tahun 2015. Hijrah ke Pulau

Architects has won several

Dewata dari sebelum wisuda

awards and their works have

untuk program internship, yang akhirnya setelah kelulusan

been published and exhibited PHL

memutuskan untuk bekerja

in numerous events such as in Tokyo, Hong Kong and The

dan menetap di Bali. Memiliki

Hague in Netherlands.

minat pada media presentasi visual karena dapat menciptakan beragam makna tanpa terikat satu

FATH NADIZTI

pengertian. Pernah menjuarai

Alumnus program double-degree

kompetisi “The Fake Movement�

Arsitektur ITS Surabaya dan

yang diselenggarakan PIN Architecture pada September 2015.

Urban Design Saxion Hogeschool FN

Belanda tahun 2013. Kemudian melanjutkan program magister Urban Studies di University College London karena penasaran dengan sistem kehidupan berkota. Saat ini aktif berkomunitas dan berarsitektur di Bandung.


LH

RIFANDI S . NUGROHO Rifandi Septiawan Nugroho adalah penggemar wacana

LUKMAN HAKIM

dan ar sip ar sitektur. Saat ini

Lukman Hakim, menyelesaikan

bekerja par uh waktu di OMAH

studi sarjana Teknik Lingkungan

Librar y dan ar sitek junior di

ITB pada tahun 2012, lalu

RAW Architects. Pada tahun

mulai ber kar ya pada bidang visual dan menelur kan video

RSN

klip per tamanya untuk Tulus-

2015 menyelenggarakan pamer an ar sip Harjono Sigit ber sama teman-temannya di

Teman Hidup. Selama dua

Surabaya.

tahun berikutnya ia bekerja di per usahaan retail asal Jepang sebagai Store Manager.

SITI AMRINA ROSADA

Kemudian hingga kini ia

Tahun 2013 lalu menjadi

kembali belajar di dunia visual

lulusan Ar sitektur Brawijaya,

dengan menjadi asisten salah satu fotografer Indonesia, Davy Linggar..

saat ini menetap di SAR

Palangka Raya. Sampai saat ini kebanyakan ber kar ya lewat fotogr afi, tulisan, dan ar sitektur.


RUANG Editorial Board : Ivan Kurniawan Nasution Mochammad Yusni Aziz Rofianisa Nurdin Fath Nadizti Laras Primasari

web : www.membacaruang.com facebook : /ruangarsitektur twitter : @ruangarsitektur email: membacaruang@gmail.com

segala isi materi di dalam majalah elektronik ini adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing penulis. penggunaan gambar untuk keperluan tertentu harus atas izin penulis.

Desain Sampul Ivan Nasution



RUANG | kreativitas tanpa batas

ALMARI KURIOSITAS Ivan Nasution & Purwanti Wulandari

Almari Kuriositas (Cabinets of Curiosities) ialah suatu ruang berisi koleksi berbagai macam benda alam tak lazim yang menanti untuk dikategorikan. Batas-batasnya yang ambang membuka ruang-ruang keingintahuan.

Babak 1: Pertanyaan Besar Singapura, 2014.

"Aku punya pertanyaan untukmu,” ujarnya seraya mengeluarkan kertas kusam yang berisi coretan kata-kata dari saku roknya. Dia menarik nafas, terdiam sejenak, mengamati kertas tadi, lalu dengan hati-hati bertanya: "Apakah kamu percaya dengan kehidupan?” - "Tentu saja!” Aku tertawa, "Pertanyaan macam apa itu! Apakah kehidupan merupakan sesuatu yang harus dipercaya?” Dia mempertanyakan sesuatu yang janggal di lokasi yang banal, di tempat duduk seberang sungai menghadap barisan rumah toko di bawah

gedung-gedung pencakar langit Boat Quay. "Faktanya kita hidup dan melihat orang-orang yang hidup pula. Bukankah kehidupan itu menjadi suatu hal yang harus dipercaya oleh seseorang yang hidup?” pikirku. Dia lantas tersenyum, seperti lega mendengar jawabanku. Kemudian dia kembali membuka mulutnya, "Lalu, menurutmu, apa yang manusia harus lakukan untuk terus hidup dalam kehidupan ini?”

Babak 2: Neri Paris, 2023.

Burgundy de Bruno baru saja merampungkan artikel yang berjudul 9

Kiri: Die Wunderkammer ou la Chambre des merveilles (Erik Desmazières, 1997)


edisi #11: Fiksi

Neri, or the Life of Architecture. Dalam tulisan itu Bruno berpendapat bahwa kini arsitektur hidup. Neri Oxman, seorang arsitek-ilmuwan, telah meniupkan nyawa pada tubuh arsitektur. "Arsitektur yang hidup" tak lagi sebatas metafora tentang bagaimana kehidupan lain mencipta arsitektur yang dinamis, tumbuh dan berkembang. Arsitektur tidak lagi hanya sebuah benda mati yang berasal dari bahan baku yang pernah hidup, kini ia hidup dan mampu membusuk kembali ke alam. Neri muncul pada saat yang tepat bersama eksperimen BioArsitekturnya. Eksperimen tersebut mematikan dilema produksi benang sutra yang telah ada sejak ribuan tahun lalu – perdebatan antara komoditas dan moralitas. Sutra telah menjadi komoditas unggulan pendiri globalisasi kuno melalui Jalur Sutra. Namun, proses produksinya melibatkan pengorbanan kehidupan sebuah spesies makhluk hidup – kepompong-kepompong ulat sutra direbus hidup-hidup untuk menghasilkan benang sutra. Neri menemukan cara untuk merekayasa sistem struktur hidup yang sekuat baja itu, sekaligus jalan untuk memanen benang sutra tanpa harus merebus satu organisme pun. Lantas bagaimana cara arsitektur memperoleh hidup dari organisme lain?

Babak 3: Alba Si Kelinci Teheran, 2010.

Hal pertama yang Fallan lihat ketika memasuki ruangan Aramis, sang 10

ahli genetika, ialah sepenggal artikel lama di dinding, bertajuk kontroversi organisme transgenik – organisme yang memperoleh unsur kehidupan (gen) dari orgaisme lain. "Alba yang malang, hidup hanya 2.5 tahun. Ia mati karena sengketa kedua orang tuanya, seorang ilmuwan dan seorang seniman. Hingga kini, dunia

October 2000

Meet Alba. Shown here with Chicago artist Eduardo Kac, she looks like a typical albino rabbit. But under ultraviolet light, Alba takes on a whole new look. Alba is a transgenic rabbit-scientists genetically altered her DNA by inserting a jellyfish gene that produces a protein responsible for the fluorescent green glow. She's also the center of a custody dispute between Kac and the National Institute of Agronomic Research in France, where Alba was born. Kac had approached the Institute


RUANG | kreativitas tanpa batas

hanya mengetahuinya sebatas foto. Tidak ada yang benar-benar tahu apakah ia benar-benar hidup atau hanya hidup di cerita sang seniman,” ujar Aramis sambil berjalan masuk dari lubang pintu.

"Semoga Anda tidak menunggu lama. Silakan duduk, Tuan Fallan.” Aramis lalu duduk di kursinya, "Boleh Anda jelaskan mengenai konsep "perabot hidup" yang Anda singgung lewat surel tiga hari yang lalu.”

"Tadi salah satu peneliti Anda meminta saya untuk menunggu di ruangan ini.”

Fallan, sang arsitek, mengeluarkan lembaran sketsa dan kolase foto, “Baiklah, sebaiknya kita tidak buang waktu. Ya. "Perabot hidup" saya artikan sebagai sebuah objek yang memperoleh kemampuan dari makhluk hidup, ia akan menjadi bagian dari peralatan kebutuhan sehari-hari manusia. Bayangkan ketika kota tidak lagi memerlukan listrik untuk penerangan. Tapi, halhal keseharian yang tidak terduga, misalnya tanaman rambat, akan berpendar untuk menerangi jalanjalan, dinding-dinding bangunan, dan langit-langit ruangan. Sebut saja, sebuah Parthenocissus... ummm... albae.” Aramis tersenyum, mempersilahkan Fallan bercerita lebih jauh.

about designing a fluorescent rabbit. However, animal rights activists and some religious leaders have denounced Alba's creators for exploiting the animal and tampering with nature. The rabbit has made international headlines and has provoked a debate about the ethics of genetically engineering a creature in order to make an artistic statement. In this sense, at least, Kac's vision for transgenic art has been fulfilled.

dan untuk

"Kita bisa menguji dari skala kecil,misalnya interior rumah. Dengan keahlian Anda, kita rekayasa Parthenocissus agar hanya hidup di medium tertentu, juga memiliki sifat yang berbeda dengan alaminya. Pertama, ia akan diselipi gen green fluorescent protein (protein pendar hijau) atau GFP dari ubur-ubur, Aequorea victoria, agar memiliki kemampuan berpendar. Sama seperti Alba, tapi kali ini pendarannya tergantung pada cahaya matahari. Ketika cahaya tersebut absen, GFP akan aktif dan memendarkan daun-daun 11


edisi #11: Fiksi

Parthenocissus, dan meredup ketika terang. Kita juga perlu memodifikasi jam biologisnya untuk memiliki sifat dorman dari sebuah rangsangan, sentuhan misalnya. Parthenocissus albae ini akan mengurai GFP tadi ketika disentuh, jadi pendaran tadi akan hilang. ON/OFF button. C'est facile, Mademoiselle Aramis?” Aramis nampak makin penasaran, "Menarik. Menarik, Tuan Fallan… Apakah ini serupa dengan konsep yang mendasari Rumah Biophilia Tuan yang masyhur itu? Saya membaca sebuah artikel yang bercerita tentang bagaimana Anda membuat kerangka bangunan yang dibiarkan tidak selesai, kecuali elemen infrastrukturnya. Rangka itu akan disisipi secara oportunistis oleh ruang hidup manusia atau liarnya alam. Seolah mereka hidup berdampingan, tapi sedang berkompetisi untuk hidup di alam, antara memakan atau dimakan, 12

memangsa atau dimangsa.” "Ha ha ha… Nona Aramis, Anda terlalu banyak membaca jurnal yang selalu ingin berpolemik, beretorika segar, dan hal-hal aneh lainnya.” Fallan sejenak terdiam lalu selanjutnya berkata, "Saya seorang pragmatis, Nona. Hal terpenting bagi saya adalah bagaimana kehidupan manusia tetap berjalan dan bagaimana hal-hal di sekitar kita bermanfaat. Jadi, rumah yang tadi Nona sebut, adalah usaha meletakkan alam dan bentuk kehidupan di dalamnya bersama dengan ruang hidup manusia. Hal ini semata-mata untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi stres, juga merawat manusia.” Fallan menyingkirkan kertas-kertas tadi ke tepi meja, menyandarkan tubuhnya, menaruh kedua lengannya di pegangan kursi, dan menyilangkan jemarinya, menunjukkan gerak-


RUANG | kreativitas tanpa batas

masing-masing tentang arsitektur.” Aku menjawab dengan yakin. "Lalu, bagaimana dengan definisimu sendiri?”, air mukanya berubah serius. "Ahem!”, aku membersihkan tenggorokanku. "Bagiku arsitektur itu berwajah majemuk. Ia adalah keindahan juga anti-keindahan. Ia instrumen ideologis sekaligus pembongkar norma. Ia narasi, kadang-kadang propaganda. Ia juga hanya sebuah latar belakang. Tidak ada yang benar-benar melihat arsitektur kecuali sang arsitek sendiri.”

isyarat siap berdiskusi. "Tuan Fallan memiliki pandangan yang sangat unik. Dengan filosofi ini, menurut Tuan, apa pengertian "kehidupan" bagi disiplin arsitektur?

Babak 4: Hidup dan Kehidupan

"Kalimat terakhirmu unik ya, kami mempelajari disiplin ilmu biologi untuk menemukan dan mengamati berbagai kehidupan alam ini. Sementara kalian mempelajari arsitektur untuk menemukan apa arsitektur itu sendiri. Apakah hanya itu makna hidup arsitektur, atau ada unsur hidup atau kehidupan lain?” ujarnya ketus.

"Kami sangat percaya dengan kehidupan. Disiplin ilmu kami menyelidiki sesuatu yang hidup serta karakteristik kehidupannya. Bios dan logos,” katanya sambil memasukkan kertas catatan tadi kembali ke dalam saku roknya.

"Tentu saja! Kami memperhatikan kehidupan manusia. Kami mempelajari kebutuhan, keinginan, perilaku, dan kebiasaan manusia. Pengetahuan ini berguna untuk merupa ruang-ruang hidupnya. Dengan kata lain arsitektur bisa dikatakan sebuah kontainer yang berisi kehidupan penghuninya.”

Dia lalu bertanya soal 'apa itu arsitektur?' "Hmmmm… Arsitektur tidak sesederhana archi (kepala) dan tekton (pembangun). Mustahil untuk mencapai definisi tunggal, karena setiap arsitek punya definisi

"Ironis. Bukankah hidup itu dinamis. Bagaimana hidup bisa ditampung? Seperti kelinci percobaan yang hidup dan dikurung dalam lab, diisolasi dari kehidupan lain sekitarnya.”

Singapura, 2014.

13


edisi #11: Fiksi

Babak 5: Jaringan

tengah ruangan. Walau memiliki pengkondisian udara, ia tetap terekspos cahaya matahari – Langkah pertama Neri meminjam sebuah kombinasi buatan dan alami. kehidupan untuk arsitektur ialah Pergerakan sinar matahari digunakan dengan membuka penutup untuk memandu pergerakan ulat laboratorium yang kemudian sutra yang bergerak ke daerah membawanya ke peternakan ulat yang lebih gelap dan dingin. 6.500 sutra. Neri mengambil beberapa ulat didatangkan dari peternakan spesimen ulat sutra untuk untuk melengkapi paviliun sutra melakukan dua observasi. Pertama, sintetis tadi. Ulat-ulat itu melengkapi Neri memetakan pergerakan struktur setengah bola tadi dengan ulat saat memintal protein sutra memberi protein perekat dengan menjadi kepompong. Kedua, ia sulaman sutra biologis dengan total bereksperimen dengan berbagai sepanjang 6.500 kilometer. Kini bentuk wadah (kotak, datar, buatan menginspirasi alam. melingkar bahkan tak berbentuk) untuk memediasi metamorfosis ulat Eksperimen ini produktif, ngengat sutra. Ada dua temuan kunci dari dari ulat sutra pekerja paviliun eksperimen itu. Pertama, pemetaan memroduksi 1.5 juta telur yang mengisi 250 paviliun arsitektur kepompong yang jelimet. dapat tambahan. Neri mengklaim bahwa Rupanya kepompong tersusun dengan membangun jaringan aktordari satu jenis protein dengan dua aktor (petani, ulat sutra, cetakan, konsentrasi yang berbeda, satu bertindak sebagai struktur yang tangan robot) ini, kita dapat lain sebagai perekat. Kedua, proses meningkatkan produktivitas pemintalan dan bentuk kepompong tanpa harus mengeksploitasi dipengaruhi oleh bentuk lingkungan alam. sekitarnya. Dua hal ini menjadi basis bagi Neri untuk mengimitasi protein Babak 6: Etika struktur sutra menjadi cetakan- Teheran, 2010. cetakan yang dibuat oleh tangan"Oh, Tuan Fallan. Mengapa kehidupan tangan robotik dari benang-benang kita selalu berujung pada produktivitas, sutra alami. Alam menginspirasi dan alam selalu dieksploitasi agar buatan. memberi keuntungan bagi manusia. Dengan habitat-habitat artifisial ini, Aneh memang ketika konsep ekonomi Neri lalu mengontaminasi lab-nya dikawinkan dengan ekologi. Kehidupan dengan dunia luar. Ia memindahkan flora dan fauna dalam berbagai lab-nya ke sebuah ruang antara, ekosistem dipaksa mendukung sebuah galeri. Cetakan-cetakan kehidupan manusia dalam basis untung struktur sutra buatan tadi dipasang rugi. Kami, ilmuwan, semua memegang menjadi kerangka berbentuk satu tujuan, mencari kebenaran bukan setengah bola yang diletakkan di pembenaran.� Paris, 2023.

14


RUANG | kreativitas tanpa batas

Aramis menarik napas dan melanjutkan, "Kita hidup di era postfaktisch dan ada hal yang lebih menarik dari sekedar mencari kebenaran, yaitu bagaimana sesuatu diterima oleh masyarakat sebagai kebenaran. Dalam kontroversi Alba, ada hal-hal menarik yang jarang dibahas, tertutup oleh kesuksesan organisme transgenik. Berpendarnya Alba hanya tahap awal dari proyek sang dalang, Eduardo Kac. Dua tahapan berikutnya merupakan hal yang paling menantang bagi Alba, dialog publik dan integrasi sosial. Ia akan menjadi subjek sosial yang digiring dari ruang laboratorium ke ruang publik untuk didiskusikan status ketransgenikannya.

luas. Seolah-olah temuan kita, bangunan yang kita usulkan, ide atau gagasan kita tak terbantahkan karena keilmiahan metode, kelogisan pola pikir, keahlian merupa, dan kebaruan temuan. Absolut. Kita jadi memperoleh kuasa bukan karena kesetaraan temuan kita dengan masyarakat, tapi karena keabsolutan gravitasi dan ilmu pengetahuan yang terjadi di ruang ideal dan hampa.”

Etiskah percepatan proses evolusi kehidupan ini? Apakah sesuatu yang menantang akal ini akan diterima atau ditolak oleh masyarakat? Siapkah masyarakat hidup bersama organisme transgenik dalam kehidupan sehari-hari?” "Nona Aramis, perlukah dialog itu? Bukankah jika sesuatu membuahkan hasil bagi manusia, tidak perlu ada penjelasan berikutnya? Lagi pula, masyarakat hanya mengekor para penemu.”

Neri menolak keabsolutan kuasa keilmuan. Ia malah bekerja untuk menjaga keseimbangan dalam sebuah jaringan yang labil dan tak tentu. Ia menjadi juru bicara dan penerjemah dari berbagai kepentingan aktor dan aktan – pertanian dan petani sutra, pasar dan kapital, moralitas dan komoditas, dan arsitekturstruktur dan biologi. Tugas Neri ialah merekayasa relasi dan aliansi mereka secara halus dan spesifik untuk merespon kepentingan bersama dari aktor-aktan tersebut.

"Tuan Fallan, membangun dialog dengan masyarakat selalu menjadi tanggung jawab etis para ilmuwan. Arsitektur mungkin memiliki banyak kesempatan untuk hubungan dialog ini, tapi entah kenapa sepertinya kita selalu masuk pada perangkap yang sama. Kita, arsitek dan ilmuwan, abai untuk membangun hubungan antara temuannya dengan masyarakat

Di tahap ketiga dari paviliun sutra, Neri memproduksi massal cetakan-cetakan struktur sutra sintetis dan mengirimkannya kembali ke peternakan. Cetakan ini menjadi habitat baru bagi ulat-ulat sutra. Mereka dapat memilin sutra, bermetamorfosis, dan berkembang biak tanpa menjadi korban komoditas. Petani sutra tetap dapat

Aramis menarik napas panjang, "Keabsolutan Kuasa seperti ini absurd, Tuan.”

Babak 7: Kesejajaran Hidup dan Kuasa Keilmuan Paris, 2023.

15


edisi #11: Fiksi

memanen benang-benang sutra yang terpilin di cetakan-cetakan struktur tadi, tidak lagi harus merebus kepompong sutra hiduphidup. Bentuk per tanian sutra mengalami perubahan drastis, karena batas antara buatan dan alami melebur bersama. Hal ini juga mengubah pola produksi sutra. Ia tetap menjadi komoditas andalan dan kapitalisme global tetap dapat berjalan. Simetri kepentingan berbagai aktor ini membuat keilmuan kembali mempunyai kuasa untuk mempengaruhi dan memberi arah kepada masyarakat. Neri melampaui kategori arsitek atau ilmuwan dengan menjadi seorang aktor sosial. Muatan pengetahuan dikembalikan ke dan dikaitkan dengan masyarakat dan kehidupan alam. Dengan menyeberangi perbatasan antara biologi dan arsitektur, ilmuwan dan arsitek-insinyur, ia menyetarakan hubungan antara ulat sutra, struktur sutra sintetis-biologis, pertanian dan petani sutra, moralitas dan komoditas, pasar dan kapital, dan arsitektur-struktur dan biologi. Neri 'mengubah dunia sekitar' agar menyesuaikan dengan kondisikondisi di dalam laboratorium.

Babak 8: Evolusi Teheran, 2010. "Setelah dikondisikan di laboratorium dan ruang publik, pada tahap akhir, Alba akan diintegrasikan ke sebuah dunia baru, ruang privat keluarga Kac. Ia akan diberi perhatian, kasih sayang dan dipastikan tumbuh dan bersosialisasi dengan spesies 16

lain. Dengan begitu, ia menjadi 'normal', layaknya hewan-hewan domestik lainnya. Implikasinya, percepatan evolusi dan rekayasa genetika akan menjadi sesuatu yang lumrah dalam kehidupan seharihari. Chimaera bisa jadi bagian dari masyarakat, Tuan Fallan.� Aramis menyandarkan punggungnya ke kursi dan memandang langit-langit, lalu melanjutkan, "Tuan bilang, kota terbentuk dari perkumpulan manusia, pertukaran pengetahuan, dan transaksi untuk pemenuhan kehidupannya. Manusia sebagai pusat kehidupan kota. Antroposentris. Sementara alam dan kehidupan sekitarnya akan menyesuaikan dengan kehidupan manusia. Umat manusia memang istimewa, Tuan Fallan. Manusia adalah spesies paling muda, namun mampu merupa wajah bumi. Bahkan sangat drastis jika dibandingkan dengan spesiesspesies lain. Bukan karena akalnya, tapi karena obsesinya terhadap kendali dan ketakutannya terhadap acaknya alam. Manusia berkembang dan berinovasi semata-mata untuk mengukuhkan kendali terhadap kehidupan. Kota, jaringan jalan, air, dan listrik, pola pengelolaan tanah dan pengaturan perumahan, atau penggambaran batas-batas geopolitik lahir guna mengatur dan menaklukkan alam. Menggambar dan memetakan setiap jengkal bumi, tanah, dan air agar semua terlihat. Tidak ada yang tersembunyi. Lalu manusia mengklaim kepemilikan. Tapi ada satu hal yang dilupakan, Tuan Fallan. Manusia lupa berevolusi.


RUANG | kreativitas tanpa batas

Manusia tak lagi mampu beradaptasi dengan lingkungan. Sehingga selama ribuan tahun, yang dilakukan hanyalah mengubah lingkungan dan kehidupan sekitar agar dapat mendukung keberlangsungan hidup. Memaksa lingkungan berevolusi dengan eksplorasi, eksploitasi, domestikasi, dan mutasi. Manusia menciptakan temuan-temuan yang memperpanjang fungsi fisik dan mental, agar bisa berjalan dengan lebih cepat, berkomunikasi dengan lebih singkat, mengingat dengan lebih akurat, dan menghitung dengan lebih cermat.” "Memang apa salahnya dengan tidak berevolusi, Nona Aramis?” "Makhluk hidup telah mengalami beberapa kali kepunahan di bumi ini, Tuan Fallan. Selama ini alasan terjadinya kepunahan adalah sesuatu yang di luar kendali dan kuasa manusia – perubahan komposisi senyawa kimia di bumi, kenaikan permukaan laut yang drastis, supervolcano, atau bahkan supernova dalam skala semesta. Sementara, era kepunahan, antroposen yang sedang berjalan sejak puluhan ribu tahun lalu hingga saat ini, disebabkan oleh kehidupan manusia. Bukankah probabilitasnya besar bahwa manusia akan mengalami kepunahan berikutnya, bahkan mungkin dalam waktu dekat?”

Babak 9: Kota Singapura, 2014.

"Jika kehidupan manusia dan alam tidak ingin punah, kita harus meninggalkan kota! Bagaimana

kita bisa hidup di tempat yang tidak pernah hidup ini?” Dia mulai meracau di luar nalar. "Kota ini hidup! Semua kota yang ada dihidupkan dan menghidupi manusia. Coba, ceritakan apa ciri-ciri sesuatu yang hidup?” "Setidaknya, ada delapan kualitas: (1) memiliki organisasi sel, (2) berkembang biak, (3) bermetabolisme, (4) mampu meregulasi kondisi internal tubuh, (5) mewariskan karakter genetis, (6) merespons stimulus, (7) tumbuh dan berkembang, serta (8) beradaptasi melalui evolusi.” "Kalau hanya itu, kota jelas-jelas sebuah organisme yang hidup. Ia memiliki organisasi ruang-ruang dan bangunan. Ia juga memiliki struktur kunci yang satu dimiliki oleh setiap kota: misalnya, jalan, ruang terbuka, dan pemukiman. Ia tumbuh dan berkembang. Tentunya ia beradaptasi dan berevolusi sesuai dengan perkembangan perilaku penghuninya. Jelas-jelas ia bermetabolisme, setidaknya, sesuatu yang diterima oleh kota akan diolah dan diproses menjadi sampah atau emisi. Ia juga merespons pergerakan ekonomi, jika ekonomi itu bisa dikatakan stimulus.” “Ayolah, itu semua hanya metafora. Kita selalu terjebak dalam dua kubu realitas, objektif dan fiktif. Secara objektif kita melihat sungai ini, gedung-gedung di seberang sungai, jalan-jalan yang menuntun manusia ke sana, dan pepohonan yang mengiringinya. Tapi, kita semua juga percaya dengan narasi realitas fiktif 17


edisi #11: Fiksi

yang kita karang tentang mengapa kota adalah bentuk yang ideal untuk kehidupan manusia. Mengganti alam hidup dengan lingkungan binaan yang tak bernyawa. Terinspirasi dari sesuatu yang hidup, tidak serta merta membuatnya hidup. Coba jelaskan, apakah kota bereproduksi?” “Tenang-tenang... Hmmmm... tentunya perkembangan ekonomi di satu kota akan mempengaruhi kota lainnya, kadang kala hubungan antara desa dan kota dapat memicu dan memacu desa menjadi kota. Jadi ya, sebuah kota akan melahirkan kota yang lain. Reproduksi aseksual!” “Konyol!” “Ha ha ha... ummm... Menurutmu, kalau kota ini hidup, apakah ia akan mati? Lihatlah semua orang

18

di gedung-gedung pencakar itu, sepertinya ia tidak akan mati.” "Omong kosong! Oke, kalau ia memang hidup, maka aturan ini berlaku: tidak ada sesuatu hidup yang tak mati. Kalau tidak mati, berarti memang ia tidak pernah hidup. Lihatlah semua bangunan di depanmu, mereka semua menampung beribu kehidupan manusia yang dinamis, tapi mereka sendiri statis dan putus asa… menunggu giliran kapan mereka akan… mati – lalu terdekomposisi dan entah terlahir kembali dalam bentuk apa.”


RUANG | kreativitas tanpa batas

“...itu semua hanya metafora. Kita selalu terjebak dalam dua kubu realitas, objektif dan fiktif. Kita semua percaya dengan narasi realitas fiktif yang kita karang tentang mengapa kota adalah bentuk yang ideal untuk kehidupan manusia. Terinspirasi dari sesuatu yang hidup, tidak serta merta membuatnya hidup.� Ivan Nasution & Purwanti Wulandari 19



RUANG | kreativitas tanpa batas

KOTA TAMAN Margaret Arni “Konon, seringkali ada wanita yang menjelma pohon di sepanjang Loftus Road, sebuah jalan yang di kanan-kirinya dipenuhi baris pepohonan seperti hutan buatan, jalan itu terus memanjang ke arah barat, menuju matahari terbenam. Pohon-pohon itulah, entah siapa yang memulainya, kemudian dicurigai dan diyakini sebagai jelmaan manusia.” Potongan cerita pendek berjudul ‘Sebatang Pohon di Loftus Road’ karya Sungging Raga akan menyisakan mata basah terutama bagi mereka yang terlalu sentimentil. Benarkah ada perempuan yang menjadi pohon karena janji dengan seorang pria tidak terbukti? Saya sempat berpikir, kenapa pohon? Kenapa bukan batu seperti kutukan Ibu Si Malin Kundang?

menipis akibat penebangan hutan atau kebakaran serta sulitnya memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau di kota-kota besar, , saya menyetujui mitos ala Kota London itu. Bisa kau bayangkan, jika semakin banyak laki-laki yang tidak tepat janji, betapa hijaunya kota itu. Tunggu, saya tidak boleh menggunakan jenis kelamin tertentu sebagai dan melabelinya sebagai penipu atau bukan. Bagaimana jika, pengingkar janji setiap - terNamun, melihat bumi kondisi hutan masuk penipu, dan siapa punberdi Indonesia yang rusak semakin ru- jenis kelamin apapun ia, akan dikutuk sak karena jumlah pohon semakin berubah menjadi pohon?, k. Koruptor 21

“Among”, karya Diptya Anggita


edisi #11: Fiksi

termasuk di dalamnya. Jika jumlah penipu terus meningkat, saya kira, bumi akan kembali hijau. Saya bukannya menyumpahi setiap orang berubah menjadi penipu supaya jumlah pohon bertambah, namun hal “gila” harus dilakukan hal “gila” untuk menyelamatkan alam, paling tidak untuk kota-kota di negeri ini. *** Adalah Ebenezer Howard, perancang kota taman asal Inggris, yang telah memikirkan konsep sebuah kota mandiri seluas 405 hektare yang mampu menampung 32.000 jiwa penghuni pada 1902. Hunian akan mengelilingi lapangan besar berupa taman yang terpusat. Area pertokoan diletakkan di tepi dalam kota, mengelilingi taman tadi, sedangkan pasar dan industri diletakkan di bagian lingkaran paling luar. Setelah area itu, kota dikelilingi oleh hamparan tanah pertanian seluas 2.023 hektare. Taman publik yang berada di pusat kota itu tentulah bisa disambangi oleh siapa pun. Di satu sudutnya terdapat taman bunga yang sedang dipandangi oleh lansia yang duduk di kursi roda, ditemani oleh anaknya yang masih mengenakan pakaian kerja. Lalu terdengar tawa anak-anak yang kesenangan bermain ayunan atau papan luncur. Para ibu menemani anak-anaknya, bersenda gurau dengan sesamanya sambil menikmati kue yang mereka buat tadi siang. Cuitan burung gereja di dahan pohon kersen semakin menambah keramaian di taman itu. Lebah dan 22

kupu-kupu berlomba mengisap bunga pohon tabebuya, sementara laba-laba asyik menganyam sarang di antara dedaunan semak, juga para semut yang sibuk mengangkut remah kue yang terjatuh di tanah. Taman itu memiliki beberapa kolam untuk menampung air hujan yang turun pada musimnya. Di dalam kolamkolam itu terdapat ikan air tawar dan di permukaan airnya tumbuh beberapa kelompok bunga teratai berwarna ungu yang memanjakan mata. Capung berwarna kuning terbang bebas mendekati air kolam, terdiam beberapa detik lalu pergi. Di tepian salah satu kolam kecil, para remaja duduk-duduk membaca buku atau membuka laptop. Sore itu, mereka berdiskusi tentang ‘masyarakat ekologis’. Di sebuah halaman buku, terbaca ciri-ciri masyarakat ekologis. Salah satunya adalah menciptakan pendidikan lingkungan untuk anak-anak. Remajaremaja tadi tampak asyik menulis ringkasan dan menggambar beberapa sketsa untuk menunjukkan kegiatan yang telah dilakukan oleh keluarga masing-masing: memilah, mendaur ulang, atau mengolah sampah menjadi kompos. Di sudut lain terdapat ruang terbuka berlantai konblok sebagai tempat pedagang kaki lima berjualan. Dengan gerobak berbahan bambu dan kayu, para penjual menjajakan es krim atau makanan ringan. Beberapa pasangan muda duduk di bangku taman yang diteduhi pohon Ketapang Kencana sambil menikmati roti sarikaya atau es krim vanila. Di setiap 50 meter diletakkan tempat sampah 3R:


RUANG | kreativitas tanpa batas

Reuse, Reduce and Recycle. Semua orang sudah hafal kode warna pada masing-masing tempat dan kemana harus membuang sampah yang ada di tangannya. Ketika mata beralih ke arah rumahrumah, kau bisa melihat petak yang tidak penuh dengan bangunan. Koefisien dasar bangunan hanya berkisar 30 persen dari keseluruhan lahan. Rumah-rumah berpagar tanaman di bagian depan dan memiliki pohon tanjung yang menaungi jalan lingkungan. Mereka meneduhkan orang yang berjalan di siang hari. Sedangkan pada lahan di bagian belakang ditanami dengan pohon buah mangga, rambutan, atau belimbing. Pun tanaman sayuran seperti tomat, cabai, kacang panjang tampak ranum, siap dipanen dan dimasak untuk makan malam. Rumah-rumah membangun resapan air hujan di dalam tanah

dan bak penampung air hujan yang diletakkan di dekat teras belakang. Wadah-wadah tadi menampung air cadangan untuk menyiram tanaman atau mencuci alat dapur. Walikota kota tersebut juga menyediakan panel surya yang diletakkan di beberapa titik pada atap untuk warganya sebagai upaya pemanfaatan energi terbarukan. Warga dapat membeli panel-panel tersebut dengan harga terjangkau atau mencicilnya. Cadangan listrik dari panel tersebut akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sehingga warga tidak perlu membayar tagihan yang terlampau mahal setiap bulannya. Bangunan umum seperti sekolah diletakkan tidak jauh dari permukiman. Taman Kanak-kanak atau Sekolah Dasar dapat dicapai dengan berjalan kaki melalui sebuah jalur. Sementara itu, sekolah tingkatan lebih tinggi da23

Garden City karya Ebenezer Howard. Sumber: http://urbanplanning.library. cornell.edu/


edisi #11: Fiksi

pat dicapai dengan sepeda atau bus sekolah. Di suatu pagi, para anak berkelompok dan berjalan menuju sekolahnya. Sambil bersenda gurau mereka melangkah dengan pasti tanpa khawatir akan terserempet kendaraan bermotor. Jalur pejalan kaki di kota taman itu dibatasi oleh jalur hijau dengan pohon semak dan peneduh. Ketika menyeberang, terdapat jalur penyeberangan khusus anak-anak dan para pengasuh yang mengantar mereka ke sekolah. Para pedagang melakukan jual-beli di perbatasan kota. Di situ, orang dari berbagai tujuan datang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Bus pengantar dari rumah-rumah berhenti di terminal. Kemudian, para penumpang berjalan di jalur pejalan kaki yang mengantar mereka ke bangunan pasar atau pertokoan. Sayur-mayur dan daging dipanen dari pertanian lokal dan kota lainnya. Tidak jauh dari sana, tampak bangunan-bangunan kantor dan sebuah pusat perbelanjaan yang menjadi pendukung ekonomi kota. Bangunan-bangunan setinggi 10 lantai itu tampak ramah dengan kaca yang bercorak dipadukan dengan bingkai beton agar burung-burung tidak terkecoh dan menabraknya. Ketika menengok ke dalam bangunan, kau akan menemukan meja-meja kerja yang bersih karena sejumlah laporan tidak lagi dicetak di atas kertas. Pendingin ruangan diatur pada suhu 25 derajat Celcius saja. Lampu-lampu hanya dinyalakan jika perlu. Ruangruang kerja menjadi lingkungan yang menyehatkan karena cahaya matahari dipersilakan masuk, namun dalam 24

batasan tertentu melalui sirip-sirip di dinding bangunan. Di bagian atas bangunan terdapat roof garden yang dipakai sebagai ruang terbuka hijau. Di pekarangan atap ini terdapat pula panel-panel surya yang menghasilkan energi cadangan bagi kantor tersebut. Parkir didominasi oleh sepeda dan minim roda empat. Kota ini juga dilalui

oleh kereta bawah tanah yang berhenti di perbatasan kota. Kereta ini mengangkut seperempat jumlah warga untuk bekerja di kota lain, juga para pendatang yang bekerja di kota ini. Stasiun kereta terhubung dengan terminal bus yang mengangkut para penumpang ke rumah atau perkantoran.


RUANG | kreativitas tanpa batas

Sepeda menjadi aset penting yang dimiliki oleh setiap warga. Kau akan dihormati jika memiliki sepeda; bukan karena mobil murah atau mewah! Jalur sepeda yang diiringi oleh jalur hijau membuat pesepeda tidak kepanasan, walau kota ini beriklim tropis lembap. Jalur–jalur itu memiliki lebar 1,5 meter dan dicat kuning dengan simbol sepeda yang membuat kendaraan roda empat enggan parkir di

atasnya. Ingat, jalur sepeda juga dihormati sama seperti jalur pejalan kaki. Jalur pejalan kaki yang menjadi jalur utama anak-anak pergi ke sekolah memiliki lebar 4 meter. Disediakan pula jalur tuna netra dan kursi roda untuk orang tua atau kelompok difabel. Setiap pagi, kau bisa melihat pemandangan dimana para tuna netra berjalan beriringan dengan anak-anak

yang sedang bersenda gurau atau pemuda-pemudi yang berjalan cepat takut tertinggal bus. Industri sedang dan ringan pendukung Kota Taman diletakkan di pinggiran kota. Zona ini tidak berbatasan langsung dengan permukiman, melainkan dengan hutan kota. Di dalam kawasan industri terdapat berbagai fasilitas seperti hunian untuk pekerja, perkantoran, dan ruang terbuka. Industri pun menerapkan tema hijau, sehingga tidak berlimbah yang membahayakan, juga tidak merusak lingkungan sekitarnya. Tempat pembuangan akhir sampah kota terletak tidak jauh dari zona perindustrian itu. Sampah-sampah diolah dengan menggunakan alat penghancur berteknologi tinggi. Panas yang dikeluarkan dialirkan menjadi tenaga listrik; ampas sampah dibuat sebagai campuran bahan untuk jalan. Pengolahan ini menjadi mudah karena tiap warga sudah memilah sampah rumah tangga antara organik dan non organik. Sebuah kota tentu harus mampu bertahan dalam hal pangan, sehingga jalur pertanian akan terhampar mengelilingi kota. Permukiman untuk pengelola sawah, kebun, dan ternak diletakkan di dalam kawasan pertanian itu. Teori Gideon Golany bahwa kota hanya menampung perdagangan, bisnis, dan jasa seakan usang. “Saya tidak mau warga mati kelaparan karena lahan persawahan habis diganti oleh pusat perbelanjaan atau perkantoran! Pertanian harus tetap ada dan hidup berdampingan dengan kehidupan modern kota,� kata 25

“Kehidupan Hening�, karya Diptya Anggita.


edisi #11: Fiksi

Walikota. Memang, hasil tidak terlampau besar, namun cukup untuk memenuhi hidup 32.000 jiwa penduduk kota itu. Kelengkapan hasil pertanian lainnya diperoleh dari kota lain. Kerjasama para walikota menjadi salah satu kesuksesan kota taman. Mereka tidak berpikir bahwa, ’kota saya yang paling baik’ atau ‘kota kamu yang mendapat untung, kota saya tidak’, namun bagaimana cara menyatukan keberadaan mereka sehingga kota-kota tetap memiliki dasar penghijauan dan ketahanan pangan. Setelah Kota Taman itu berhasil, berbagai kota-kota lain di dunia kemu“Among”, karya Diptya Anggita

kan luas ruang-ruang terbuka publik, dan mendukung wisata dalam kota. Wisata seperti ini akan mengurangi keinginan warga kota untuk terbang dengan pesawat, yang menggunakan energi tak terbarukan, ke kota-kota atau negara-negara lain demi untuk melihat air terjun, misalnya. Para pemimpin dunia saling berjabat tangan dan sepakat untuk mengurangi limbah dan sampah. Hutan dihijaukan kembali; perbaikan tanah bekas tambang atau kebun sawit dilakukan secara intensif. Jual-beli karbon tidak berlaku, sebab masing-masing negara sudah bertanggungjawab menjaga hutannya. ‘Gerakan bumi hijau’ akan diinisiasi dan digalakkan hingga pada taraf hukum. Setiap murid yang terlambat masuk sekolah harus membawa sebuah tanaman untuk ditanam di sekolah. Atau, di ekstrim lain, seorang narapidana diharuskan bercocok tanam dan merawat taman di kawasan lembaga permasyarakatan. Koruptor akan dihukum sekaligus membayar denda untuk menanami hutan kota.

dian menyadari kekurangan masingmasing dan mengubah cara hidup warga dan tatanan kota. Mereka memiliki target untuk mengurangi pemakaian kendaraan pribadi, meningkatkan jumlah transportasi massal serta pemakaiannya, meningkat26

Pada suatu masa, manusia menjadi pengasuh alam. Binatang dan pepohonan menjadi teman dalam hidupnya. Anak-anak hidup bahagia di antara pepohonan dan ruang terbuka sehinga tidak perlu takut kehabisan air bersih. Kemudian tidak perlu ada lagi tangis para perempuan untuk merimbunkan London (atau Jakarta). Kotakota taman itu telah menjadi juru selamat bagi bumi dari kehancuran..


RUANG | kreativitas tanpa batas

“Pada suatu masa, manusia menjadi pengasuh alam. Binatang dan pepohonan menjadi teman dalam hidupnya.� Margaret Arni

27


edisi #11: Fiksi

28


RUANG | kreativitas tanpa batas

PADURAKSA Oudyse Samodra

Oudyse Samodra invites us to enter his new world, Paduraksa. In this dystopian future, technology blurs the boundary between the past and the present, as well as the truth and our memory. A giant megastructure is erected in Kuta Beach, where it stands not only to protect the land from the rising sea level, but also becomes the gate for any tourist who would like to meet those who already left, and will never returned.

29

Foto: Megastruktur dalam Paduraksa ŠOudyse Samodra


edisi #11: Fiksi

30


RUANG | kreativitas tanpa batas

31


edisi #11: Fiksi

32


RUANG | kreativitas tanpa batas

33


edisi #11: Fiksi

34


RUANG | kreativitas tanpa batas

35


edisi #11: Fiksi

36


RUANG | kreativitas tanpa batas

37


edisi #11: Fiksi

38


RUANG | kreativitas tanpa batas

39


edisi #11: Fiksi

40


RUANG | kreativitas tanpa batas

“You take delight not in a city's seven or seventy wonders, but in the answer it gives to a question of yours.�

From Invisible Cities by Italo Calvino

41


edisi #11: Fiksi

42


RUANG | kreativitas tanpa batas

ENVISIONING TATLIN’S TOWER PHL Architects A sustainable megastructure for the Ciliwung River. In this utopia, PHL Architects rethink and redesign the Tatlin’s Tower to become a self-sustaining megastructure that will give time for the earth to recover itself from the concrete developments. Most cities around the world are facing environmental problems as a result of rapid population growth. Industrial urbanization has also worsened the effect of the increasing population. To fulfill the need for more space, many forest and farmlands have been cleared for housing, high-rise buildings and commercial areas, resulting in a poorer environment in cities and at large. With lesser farmlands comes a lack of steady food production to support the needs of highly populated cities. The loss of forests also increases

global air temperature and pollutants, further deteriorating our living conditions. The Third International Tatlin’s Tower was designed in 1919 by Russian architect, Vladimir Tatlin. A tremendous structure that was meant to serve as a political propaganda hub for the city, state and the world beyond. It was the result of the nation’s ego in competing against big developed countries to gain worldwide recognition and influence. They want to challenge modernity at that time so the 43

Market perspective. ©PHL Architects


edisi #11: Fiksi

Top left: Farm perspective ©PHL Architects Top right: Residential area perspective ©PHL Architects Middle right: Program relationship diagram ©PHL Architects

tower could surpass other countries’ fered the effects of an expanding monuments, such as Eiffel tower and population and urbanization.The river the statue of Liberty. used to support a rich ecosystem, but that is no longer the case. The river Alas, the tower is only known as an today has a high-density area – with utopian symbol because it was nev- an estimated 472 people per hectare er built. As the ideology of the tow- – causing the decrease of river width er has appealed to many over the and rough water flow. Therefore, years, we try to rethink on its design many problems such as floods (1 to 3 and reuse possibilities to solve cur- meters high every year); water popurent problems. We look to nature as lation and sanitation; poor air quality; a basis for us to create new thoughts electricity deficit; and a lack of pubin this modern society –to establish lic space have become major issues new sustainable system, concepts in the neighborhoods along Ciliwung and technological improvements; river. and to invent a livable and sustainable city of tomorrow. Tatlin’s tower is almost 400 meters in height and consists of a declined “NEW” TATLIN’S TOWER AT “backbone and skeleton” structure CILIWUNG RIVER, JAKARTA surrounded by two helices that support the podiums inside– a massive Our research project is set near to box, a pyramid, a tube and hemithe Ciliwung River, the longest pol- sphere. By studying the spaces creatluted river in Jakarta. Many buildings ed by the structure, it can be inferred have been built along its riverbanks, that the tower has the potential to and as such, Ciliwung river has suf- support various activities, programs, 44


RUANG | kreativitas tanpa batas

45


edisi #11: Fiksi

Top: Concept diagram ©PHL Architects Bottom right: Ventilation diagram ©PHL Architects

and technologies. Additional structures and vertical transportations can be incorporated and its vast surfaces will be utilized in many different ways. In order to enable the Earth to recover its ecosystem, the proposed design intends to clear the land on the Ciliwung riverside by moving people into the tower.The proposed programs in the tower includes housing livestock farming; fish and insects farming; public spaces; energy production; water and air treatments; and purifier plants. There are three main zones: public, residential and production areas. Public areas are located on the ground and in each of the podiums. 46

The market in the tree conservation area is set aside to sell the farming’s excess production; each space rises above the ground and is connected by bridges. The residential areas are located inside the core of each space and are surrounded by farming, which is located in spaces between the residential area and skeleton structure throughout the tower. The main purpose of farming is to ensure a continuous availability of food supplies for those in residence – vegetables, meat, fish and dairy products – the excess will be sold in the fresh produce market. At least 10 percent surplus can be generated for each product. One tower can be occupied by 9000 people, and hence allows 19 hectares of land to be restored to its natural state.


RUANG | kreativitas tanpa batas

47


edisi #11: Fiksi

Top: Tower exterior persepective ŠPHL Architects

Together with the wind-generated propellers, the photovoltaic panels that cover the tower’s surfaces will be able to generate a constant supply of electricity. The water turbine also generate electricity by using gravity- Ciliwung river water is pumped up through the backbone structure and runs down the double helix. During this time, the water will be purified and stored in a reservoir beneath. The cleaned water will also be distributed along its way down to the residential and farming areas.

48

In the end, by rethinking and redesigning the Tatlin’s Tower, we try to propose new spaces in the city where communities can come together to live and work in self-sustaining towers. By envisioning the tower after 100 years, we offer a different provocative thought on how new modern societies can adapt with the development of technology and new spaces that will change urban concepts and social relationships, while healing our nature.


RUANG | kreativitas tanpa batas

“We try to propose new spaces in the city where communities can come together to live and work in self-sustaining towers.�

PHL Architects

49


edisi #11: Fiksi

50


RUANG | kreativitas tanpa batas

KABUR DARI BANDARA Fath Nadizti Ketika sebuah sistem pengawasan begitu rapi dan terstruktur, masih mampukah kita melawan?

Akhirnya pesawat yang aku tumpangi mendarat di Surabaya siang itu. Setelah pramugari mengumumkan bahwa kami sudah bisa keluar dari pesawat, aku segera berdiri di lorong untuk ikut antri keluar bersama para penumpang lain yang juga sudah siaga. Tidak banyak yang bisa dilakukan ketika terhimpit dalam antrian seperti ini. Paling hanya melihat gedung terminal yang berada di luar, atau memperhatikan orang-orang disekitarku dengan seksama. Seperti mengintip layar sentuh ponsel yang tampak bercahaya dari balik bahu laki-laki yang berdiri beberapa senti didepanku. Posturnya tidak terlalu tinggi, tapi badannya berisi. Ia mengenakan kemeja putih, sedangkan jas berwarna gelap yang senada dengan celananya menggantung di tangan kanannya. Jemarinya bergerak di atas layar, mencari nomor seseorang. Ia berhenti pada satu nama, kemudian menekan layar untuk menelepon. “Halo,” katanya, “Saya sudah mendarat nih. Tolong jemput di kedatangan domestik ya.” Hening sejenak. Lalu ia melanjutkan, “Iya, didepan Rumah Makan Padang Salero aja, kayak biasanya.” Lalu pembicaraan berakhir. Enak juga ada yang menjemput, pikirku. Sementara aku harus mencari taksi untuk bisa keluar dari bandara ini. Persisnya yang online, supaya lebih murah. 51

Kiri: Kabur dari bandara menggunakan taksi online (Sumber: dokumen penulis)


edisi #11: Fiksi

Karena pintu pesawat yang tidak kunjung dibuka, laki-laki berkemeja putih itu akhirnya mengajakku bicara. Ia memiringkan badannya ke arahku. Tampak tangan kirinya yang masih menggenggam ponsel sambil mengapit koran yang sudah lusuh. Ia bertanya tentang tentang moda transportasi apa yang akan kugunakan untuk keluar dari bandara ini. Setelah aku mengatakan rencanaku untuk menaiki taksi online, ia berkata, “Taksi online dilarang di bandara ini, lho.” “Oh, begitu ya?” tanyaku tidak percaya. “Iya. Nanti di terminal kedatangan, kalau mbak nggak langsung pesan taksi bandara atau terlihat nggak ada yang jemput, pasti banyak supir-supir taksi yang deketin. Nawar-nawarin taksi mereka.” Ia menjelaskan. “Jadi taksi dengan merek selain koperasi bandara boleh ngambil penumpang, tapi yang online nggak?” Aku mencoba memastikan. “Iya, begitu.” Jawabnya dengan yakin. “Penumpang pasti lebih milih naik taksi online karena tarifnya lebih murah. Jadinya mereka dilarang ngambil penumpang dari bandara ini.” Lalu ia menjelaskan, “Kalau ketahuan, penumpangnya akan dipaksa turun. Terus supir taksi onlinenya akan disuruh nyetir keliling bandara sampai bensinnya habis. Dan nggak cuma itu…” Aku masih mendengarkan. “Dia juga mungkin akan disuruh push-up atau jalan jongkok atau hitung jumlah daun, terserah petugas. Pokoknya hukuman fisik yang aneh-aneh. Supaya pada kapok dan nggak ngambil penumpang dari bandara ini lagi. Dulu pernah ada yang berontak, eh malah mobilnya dipukul sampai lecet…” Adrenalinku naik. Rupanya di bandara ini memiliki sistem pengawasan yang cukup ketat. Seperti penjara. Petugas bandara berperan seperti pengawas yang mengawasi, mengarahkan, dan memberi sanksi; sedangkan para penumpang seperti tahanan yang diawasi, diarahkan, dan diberi sanksi jika melanggar. Dan bandara ini adalah penjara tempat mereka beradu. “Biasalah, takut kalau penghasilan turun. Berebut penumpang, berebut rejeki. Seperti nggak ada yang ngatur saja…” Lanjutnya. Aku sudah tidak terlalu mendengarkan celotehan berikutnya tentang rejeki, iman, dan ketuhanan, karena yang ada dalam pikiranku sekarang adalah bagaimana caranya agar bisa kabur dari bandara ini menggunakan taksi online. Secara naluriah aku memang selalu memilih yang lebih murah, tapi kali ini bukan soal uang. Kali ini soal prinsip bahwa tidak ada sistem yang sempurna. Termasuk sistem pengawasan bandara ini terhadap taksi. Aku lupa pernah 52


RUANG | kreativitas tanpa batas

membaca di mana atau berdiskusi dengan siapa, tapi, intinya, selalu ada celah yang bisa membawa kita keluar dari sebuah sistem. Dan itulah yang akan aku lakukan siang ini. Para penumpang mulai bergerak keluar dari pesawat. Aku mengikuti arus sampai akhirnya menginjakkan kaki di garbarata. Detik itu juga, resmi sudah pengawasan bandara ini terhadapku. Tidak ada jalan lain selain lorong garbarata yang memanjang lurus didepanku. Lima orang petugas berseragam biru muda berdiri di dekat pertemuan antara lorong itu dengan pesawat. Dua dari mereka menggunakan rompi hijau berspotlight. Mereka semua berbincang dengan suara rendah sambil sesekali melihat kami, kecuali satu yang membawa papan alas tulis. Badannya tinggi, dan bahu kirinya agak miring. Tangan kanannya terus bergerak, menulis di atas kertas pada papan itu, sambil memperhatikan kami satu-satu. Sekilas aku melirik kertas-kertas itu, dan tampak seperti daftar penumpang. Tapi aku segera memalingkan wajah sebelum mata kami beradu. Setelah beberapa langkah, aku bisa melihat koridor terminal kedatangan yang melintang di ujung garbarata. Tergantung papan penunjuk arah di langit-langit yang menginstruksikan untuk belok kiri menuju Meja Transfer, Sabuk Bagasi, dan Terminal Kedatangan. Semua orang berbelok. Aku berjalan sambil memicingkan mata pada benda kecil berwarna putih yang berada didekat pertemuan antara dinding dan langit-langit terminal. Kamera pengawas, kataku dalam hati. Dan ada lebih banyak lagi disepanjang koridor itu. Aku semakin merasa diawasi. Sebenarnya ponselku sudah aktif sejak didalam pesawat dan aplikasinya sudah bisa digunakan untuk memesan taksi.Tapi tidakkah akan terlihat dari layar bahwa aku sedang memesan taksi online? Seperti aku bisa melihat layar ponsel lelaki yang berada didepanku tadi? Oh iya, ngomong-ngomong, dimana ia sekarang? Aku tidak melihatnya sejak berbelok di garbarata. Biarlah. Mungkin dia sudah bergegas ke rumah makan padang itu karena sudah dijemput. Aku terus berjalan menuju terminal kedatangan sambil menutupi layar ponsel, diam-diam memesan taksi online. Tidak lama, aku melirik layar ponselku dan sudah ada tanda bahwa pesananaku dikonfirmasi oleh seorang pengemudi. Untuk keamanan dan keselamatan pengemudi itu, aku tidak bisa menuliskan namanya, jenis dan nomor polisi mobilnya, serta nama aplikasi layanan taksi online dalam tulisan ini. Jadi, mari kita anggap saja namanya Eko, pengemudi Honda hitam dengan nomor polisi L 5555 XX, dan berada dalam manajemen layanan taksi online ‘Kekinian’. Kemudian aku menelepon Eko melalui aplikasi Kekinian untuk menentukan tempat penjemputan. Tuuutt‌ 53


edisi #11: Fiksi

“Halo?” jawab suara di seberang. “Halo? Dengan driver ‘Kekinian’ ya?” Tanyaku begitu saja. “Mbak, tolong jangan sebut merek ya. Nanti kita ketahuan.” Kali ini suara itu terdengan keras. “Eh, maaf…” kataku, kaget. “Langsung panggil nama saja. Saya Eko, dan kita teman lama.” Lalu aku segera mengendalikan diri. “Ohh, Eko apa kabar?” Aku mencoba melakukan instruksinya. “Nah, iya begitu…” Ia terdengar lega. “Jadi mau jemput saya dimana? Kejutan nih, kita udah lama nggak ketemu…” Aku mulai bisa mengikuti skenarionya. “Mbak tahu toko roti di terminal keberangkatan domestik?” “Keberangkatan Domestik?” aku mengulangi, “Roti Boy atau Dunkin Donut’s?” “Iya, Keberangkatan Domestik. Area drop off disana cukup lebar untuk saya berhenti. Lokasi persisnya tepat didepan Roti Boy.” Oh, aku paham. “Boleh, masih inget kok Roti Boy tempat kita ketemuan dulu…” kataku, menyetujui. “Oke.” lanjutnya. “Mbak pakai baju apa supaya bisa saya kenali?” “Jaket jeans warna biru dongker biasanya. AC pesawat selalu dingin sih…” “Baik. Saya naik Honda warna hitam ya, nomor polisi L 5555 XX. Tolong dihafalkan, supaya terlihat kalau mbak sudah tahu mau naik mobil apa, dan bisa langsung menuju kendaraan.” “Sipdeh. Saya jalan kesana ya. Nggak sampai lima menit kok…” “Nanti saya nggak bisa turun dari mobil karena terminal kedatangan sedang padat. Saya akan nyalakan lampu dim mobil kalau saya sudah lihat mbak.” Ia melanjutkan, “Dan kalau mbak mau kontak saya, sebaiknya ketika sudah di terminal keberangkatan. Jangan lihat layar ponsel terlalu sering, apalagi sambil mencari mobil. Nanti bisa ketahuan kalau mbak sedang nunggu taksi dari aplikasi. Biasa saja, seperti nggak ada hubungan antara ponsel mbak dengan mobil-mobil yang ada di terminal.” Gila, pikirku. Sepertinya Eko sudah cukup berpengalaman dalam hal ini. 54


RUANG | kreativitas tanpa batas

“Oke, sampai ketemu ya, Eko!” Aku mengakhiri pembicaraan agar bisa bergegas. “Satu lagi mbak,” rupanya ia belum selesai, “kalau mbak sudah lihat saya, lambaikan tangan ya. Ingat, kita teman lama yang sudah bertahun-tahun nggak ketemu. Jangan terlihat seperti driver dan penumpang.” lanjutnya. “Sampai ketemu lima menit lagi.” Klik. Oke, aku benar-benar harus bergegas. Perjalanan dari koridor terminal kedatangan ini ke area drop off Terminal Keberangkatan Domestik masih panjang. Aku baru sadar kalau ada beberapa petugas bandara berseragam putih berdiri didekatku, didepan toko oleh-oleh yang penuh dengan Bandeng Presto khas Jawa Timur. Aku berpura-pura melihat tumpukan kardus bergambar ikan yang berada dibelakang mereka sambil diam-diam memasukkan ponsel ke dalam saku celanaku. Aku cukup yakin kalau layar ponselku sudah mati. Para petugas itu lalu beranjak ke arah yang berlawanan. Aku jadi sedikit lega, walaupun kamera pengawas berada dimana-mana. Karena siapa yang bisa menjamin kalau percakapanku dengan Eko tadi tidak ada yang mendengar? Lalu aku berjalan cepat agar tidak terlalu menarik perhatian. Ingatanku tentang denah bandara ini masih cukup bagus. Tapi aku harus berlagak seperti sudah lama tidak mengunjungi kota ini, apalagi bandaranya, sehingga aku berjalan sambil melihat ke kanan dan kiri. Meja Transfer baru saja aku lewati, berarti setelah ini adalah tempat makan bakso… toko batik… toilet… musholla… etalase oleh-oleh khas daerah… toko buku… layar berisi jadwal penerbangan… dan akhirnya Starbucks di sisi kanan koridor. Sabuk Bagasi dan Terminal Kedatangan berada di lantai bawah dan bisa dicapai menggunakan eskalator yang ada di samping kedai kopi itu. Aku berbelok ke kanan menuju eskalator bersama para penumpang lain, menaikinya, lalu diam saja diatasnya. Membiarkan tangga otomatis itu membawaku satu lantai lebih rendah. Detik berikutnya Terminal Kedatangan menyambutku dari sisi kiri dengan langit-langitnya yang tinggi dan salah satu sisi dindingnya yang masih saja berisi papan-papan iklan berukuran besar. Sabuk Bagasi meliuk-liuk di sisi dinding penuh iklan itu. Dikerumuni penumpang, porter, dan troli barang. Makin banyak petugas bandara di ruangan ini. Mereka yang berdiri didekat pintu keluar mencocokkan stiker pada barang bagasi dengan yang dimiliki penumpang untuk memastikan bagasi yang diambil sudah sesuai. Ada lagi yang mengawasi ketertiban proses pengambilan bagasi. Ada juga yang memastikan semua orang keluar melalui pintu kaca otomatis diseberang sabuk bagasi. “Silakan keluar lewat sana ya...” begitu kata salah satu petugas kepadaku ke 55


edisi #11: Fiksi

tika ia melihatku berjalan kearah pintu kaca yang berada di sisi kanan eskalator. Aku tahu pintu itu langsung menuju terminal keberangkatan domestik. Rencanaku untuk menghindari meja pemesanan taksi bandara gagal sudah. Pintu kaca otomatis itu sekarang sudah terbuka didepanku. Udara lembap dan berat langsung menghantam wajahku. Menambah keringat yang sudah muncul sejak tadi karena adrenalin yang tinggi. Ada pagar besi yang tidak mengijinkan para penumpang untuk lurus langsung ke area kedatangan. Jika mengambil arah kiri, berarti kita akan menggunakan angkutan umum dan pemesanan dapat dilakukan di meja yang sudah disediakan. Termasuk taksi bandara. Tentu saja aku mengambil arah kanan, karena Eko ‘si teman lama’ yang akan membawaku keluar dari tempat ini. “Taksi, mbak?” “Diantar kemana? Malang? Pasuruan?” “Boleh mbak, dalam kota dua ratus ribu saja…” “Sewa sehari juga bisa, mbak. Mau pakai driver apa lepas kunci..?” “Sama saya nggak usah pakai argo. Pasnya saja mbak mau berapa? Benar saja. Banyak sekali orang yang menawariku taksi. Aku menolak mereka semua dengan mengatakan kalau sudah ada yang menjemput. “Mana, mbak?” “Lama lho nunggu yang jemput. Surabaya macet. Sama saya aja..” Dan mereka mengekoriku. Mengikuti kemana aku berjalan. Memastikan aku benar-benar dijemput dan tidak perlu taksi. Tuhan. Sampai akhirnya aku menjauhi Terminal Kedatangan dan mulai masuk di Terminal Keberangkatan Domestik. Orang-orang tadi sudah berhenti mengikutiku. Berganti dengan penumpang yang lalu-lalang dan jumlahnya jauh lebih banyak. Benar kata Eko, area drop off penuh. Banyak mobil yang berhenti. Dan, buruknya, hampir semua bertipe Honda berwarna hitam. Aku mulai panik. Padatnya kendaraan membuatku tidak bisa melihat plat nomor mobil dengan seksama. Dimana Eko? Bagaimana caranya menghubungi dia tanpa dicurigai? Banyak sekali petugas bandara disini. Aku tidak mau misi ini gagal. Aku melihat Roti Boy yang kami sepakati, lalu berjalan kesana sambil mengeluarkan ponsel. Kupilih panggilan terakhir dari menu telepon. Tuuutt… Tuuutt… 56


RUANG | kreativitas tanpa batas

Tidak diangkat. Aku kembali melihat deretan mobil didepan toko roti ini. Sambil melipat tangan dan berusaha terlihat santai dengan mengetuk-ketukan kakiku ke lantai. Terminal Keberangkatan Domestik sedikit berubah, tapi aku sudah tidak fokus untuk mengamatinya. Aku hanya bisa melirik jam besar yang berada diatas layar jadwal penerbangan. Satu menit. Dua menit. Tiba-tiba ada sebuah cahaya lampu kendaraan. Honda berwarna hitam, kataku dalam hati. Aku mendekat perlahan. L 5555 XX. Eko. Itu Eko. Senyumku merekah. Pintu pengemudi terbuka, lalu muncul seorang laki-laki muda berambut ikal yang tersenyum ke arahku. Sesuai skenario, aku melambaikan tangan kearahnya sambil berkata “Hai!” dengan setengah berteriak. Ia membalas dengan lebih bersemangat lalu mengingatkan, “Cepetan masuk! Macet banget!” Aku bergegas mendatanginya kemudian duduk di kursi penumpang depan agar tidak terlihat seperti pengguna taksi. Eko mengeluarkan mobilnya dari antrian, lalu melaju dengan lambat di lajur paling kanan. Aku lega. “Selamat siang, mbak. Maaf atas ketidaknyamannnya ya. Ini untuk menghindari pengawasan dari pihak bandara…” Ia menjelaskan. Iya, aku bisa maklum. Dan justru bersemangat, karena berhasil kabur dari bandara ini menggunakan taksi online yang dilarang. Aku berhasil keluar dari sistem pengawasan bandara terhadap taksi online melalui celah yang telah ditemukan Eko. Well, entah siapa diantara kami yang menemukan celah dan berhasil keluar dari sistem, tapi yang jelas kami sudah duduk manis di dalam mobil Honda hitam ini. Menuju gerbang keluar. Memang benar, tidak ada sistem yang sempurna. Eko bercerita bahwa para petugas bandara sekarang semakin canggih dalam mengawasi praktik taksi online. “Ada yang pura-pura jadi penumpang,” katanya. “Bahkan banyak juga yang pakai baju preman, berbaur dengan orangorang di terminal, sambil mengawasi layar ponsel dan mendengarkan pembicaraan mereka.” Aku cukup kaget dengan fakta yang terakhir. Jika itu benar, siapapun yang berada disekitarku selama berada di bandara ini bisa saja petugas yang sedang menyamar. Berarti, bisa saja misi ini sebenarnya sudah ketahuan. “Tapi syukurlah siang ini lancar…” lanjutnya sambil melambatkan mobil. Kami mendekati Terminal Kedatangan yang juga macet karena ramai. Mobil pun berhenti. Aku jadi sempat memperhatikan terminal itu dengan seksama. Masih ada kios Soto Lamongan kesukaanku. Dan tidak jauh dari situ, ada 57


edisi #11: Fiksi

Rumah Makan Padang Salero. Aku bisa melihat lelaki berkemeja putih yang tadi satu pesawat denganku. Ia memakai jas hitamnya. Jadi tampak seperti mata-mata, pikirku. Ia memegang papan alas menulis dan membolak-balik kertasnya. Lalu seorang petugas bandara berseragam biru muda menghampirinya. Bahu kirinya miring. Aku mengerenyitkan dahi, merasa ada sesuatu yang familiar. Mereka berdua berbincang dengan serius, mendiskusikan daftar penumpang yang ada di papan itu. Si bahu miring menjelaskan sesuatu dengan bahasa tubuhnya, seperti gerakan menelepon dan melambaikan tangan. Mereka berdua lalu diam, kemudian mengalihkan pandangannya. Kearahku. Pandangan kami beradu. Mobil kami sudah mulai bergerak, tapi kami masih saling mentap. Ada yang tidak beres, pikirku. Lelaki berkemeja putih itu lalu mengeluarkan walkie talkie dari saku jasnya, kemudian bibirnya bergerak seperti mengatakan sesuatu. Aku terbelalak. Misi ini ketahuan. Ia pasti salah satu petugas berpakaian preman. Ia pasti bekerja sama dengan si bahu miring itu. Ia sengaja bertanya tentang bagaimana rencanaku keluar dari bandara ini. “Maaf, mbak, apa ada uang receh untuk bayar parkir? Gate-nya ada di depan...� Eko mengagetkanku. Aku baru sadar kalau kami belum benar-benar keluar dari bandara ini. kami masih diawasi. Dan di depan sana, sudah ada petugas bandara yang sedang bicara melalui walkie talkie. Aku pasrah. Maafkan aku, Eko, kataku dalam hati. Apapun bisa terjadi padanya setelah ini. Dan mungkin padaku juga. Kalau sudah begini, aku menyesal karena tidak terlalu mendengarkan celotehan pria berkemeja putih itu tentang rejeki, iman, dan ketuhanan.

58


RUANG | kreativitas tanpa batas

"Kali ini soal prinsip bahwa tidak ada sistem yang sempurna. Termasuk sistem pengawasan bandara ini terhadap taksi...selalu ada celah yang bisa membawa kita keluar dari sebuah sistem. Dan itulah yang akan aku lakukan siang ini." Fath Nadizti 59



RUANG | kreativitas tanpa batas

RUANG DALAM INTERPRETASI Lukman Hakim bersama Puti Karina Puar & Theoresia Rumthe

Sebuah foto dapat memantik seribu makna. Lantas, apakah yang akan tercipta dari tangan penulis fiksi saat saya melepaskan makna dan konteks foto saya? Ada rasa penasaran yang begitu besar untuk tahu bagaimana orang menginterpretasikan karya saya. Memahami bagaimana ruh mereka melebur dengan memori dan pengalaman personal tiap individu, untuk melahirkan sebuah makna baru. Untuk mewujudkan itu, saya berkolaborasi dengan dua rekan baik saya yang juga aktif menulis. Saya memberi mereka dua foto ruang kamar saya, untuk menjadi sumber inspirasi tunggal karya fiksi mereka. Saya tidak memberikan batasan dalam ruang imajinasi mereka. Karena pencipta harusnya sudah mati, saat karya sampai di tangan penikmat.

61

Foto oleh Lukman Hakim


edisi #11: Fiksi

62


RUANG | kreativitas tanpa batas

Belajar Mengenai Patah Theoresia Rumthe Patah. Adalah rasa yang perlu dikenali. Tetap harus dipeluk dan dijadikan sebagai sebuah pengalaman perjalanan. Seperti salah satu dari bagian tubuhmu, peluk ia erat. Pagi ini saya bangun dengan melihat dua buah mawar putih yang tumbuh segar di halaman. Tetapi ada satu bahkan dua—mawar lainnya yang layu, terkulai begitu saja—patah. Selama saya hidup, patah bukan hal yang baru. Banyak orang suka mengidentifikasi kata ini dengan “patah hati” atau “kehilangan” atau “ada sesuatu yang terlepas dari dalam dirimu, padahal sebelumnya begitu melekat.” Ketika bercerita tentang patah, saya ingat Ayah. Ayah mengalami patah (hati) yang begitu tidak dapat dijelaskan ketika Ibu meninggal. Kejadiannya, sudah setahun lebih, tetapi rasa patah itu masih ada. Sampai di sini saya menyadari satu hal: ada rasa patah yang begitu lekat, susah untuk dilepas. Bahkan waktu, mustahil untuk menyembuhkannya. Ketika Ibu meninggal, Ayah seperti kehilangan sesuatu yang tidak dapat saya jelaskan. Hanya saja, hal tersebut dapat dirasakan. Saya lalu merasa bahwa, rasa patah atau kehilangan semacam itu, akan terjadi di dalam diri kita, apabila kita memang nantinya akan kehilangan orang yang begitu kita cintai. Maka, berhati-hatilah dengan cinta! Saya rasa, peringatan ini bukan bermaksud untuk menghindarkan kamu dari cinta dengan segala perasaan perasaanya, tetapi bagaimana kita bisa mengenal cinta dengan sebuah konsekuensi besar bahwa suatu hari nanti, kita bisa saja kehilangan orang yang kita cintai, yang membuat kita patah—begitu patah. Tetapi apakah ketika ada yang patah, lantas kita kehilangan? Ataukah sebenarnya sesuatu yang kita cintai, begitu melekat, tidak akan pernah hilang dari dalam diri kita. Saya sendiri tidak tahu pasti. Maka, berhati-hatilah dengan cinta dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Karena suatu hari nanti dalam

63

Foto oleh Lukman Hakim


edisi #11: Fiksi

Foto oleh Lukman Hakim

jangka waktu yang tidak ditentukan, hal-hal tersebut akan selesai, disadari ataupun tidak, selesai.

“Ketika Ibu meninggal, Ayah seperti kehilangan sesuatu yang tidak dapat saya jelaskan. Hanya saja, hal tersebut dapat dirasakan.� Sampai di sini, ketika memang itu harus selesai, itu bukan salah kamu, salah saya, salah kita yang menjalaninya, melainkan karena waktu yang mengijinkan. Tetapi perlu diingat, cinta, patah—patah, bukan hal yang berbahaya. Mereka sama seperti bagian dari tubuhmu, melekat, ingin dipeluk erat, kenali saja. Dan jika kamu telah mengenal rasa patah dengan baik, sangat baik. Sebelum rasa patah itu datang, cintailah seseorang sungguh sungguh, penuh penuh, sekarang.

64


RUANG | kreativitas tanpa batas

65


edisi #11: Fiksi

A Man Who Thought He Got The Time Puti Karina Puar He always thought he got the time. In the morning he woke up exactly at five, went jogging for thirty minutes, took shower and ready for breakfast at six thirty. He always thought he was imitating the sun for keeping the time. He thought he got the time so he kept it, tight, afraid of losing it. Dropped the children at school, became the first person to be present in the office, worked, lunch, worked, left. Everything was in place and on time until she came. She started by taking his breath away and a couple seconds after office hours. Slowly she stole more seconds; during break time, before breakfast, at 9 AM when he always had his coffee. Then seconds grew into minutes, minutes into hours. Then things started to fall apart. She wanted more and more of his time.

“Everything was in place and on time until she came� He started to forget to pick up his children. He went jogging longer. He stayed in the shower too long. Sometimes he cried. He skipped breakfast. He no longer became the first person to be present in the office. Sometimes he just skipped everything. He no longer got the time. He gave it all to her. Maybe the time was never his and he was never imitating the sun. Maybe he was only a part that refracted. And in a year he gave up his thought. He gave up everything as the sun set and stopped being refracted. He was no longer there.

66


RUANG | kreativitas tanpa batas

“Dan jika kamu telah mengenal rasa patah dengan baik, sangat baik. Sebelum rasa patah itu datang, cintailah seseorang sungguh sungguh, penuh penuh, sekarang.�

Theoresia Rumthe

67


edisi #11: Fiksi

68


RUANG | kreativitas tanpa batas

MAKAN MALAM BERSAMA RANDU Permakultur dalam Fiksi Rifandi S. Nugroho

Rifandi mengemas kritik pangan dan arsitektur dalam sebuah percakapan makan malam fiktif, membawa pembaca mengikuti alur percakapan ala emperan kaki lima: sederhana dan membumi, sebentar-sebentar bermimpi ngalor-ngidul, dibumbui sindiran-sindiran kecil dari realitas di keseharian. Selamat menikmati!

Tumben, Randu manut sama saya waktu saya ajak dia makan di emperan jalan Barito, daerah Blok M Jakarta Selatan, waktu kami habis jalan-jalan lihat barongsai liburan Imlek kemarin. Sebab, awalnya saya kira selama ini dia jijik kalau lihat cucian piring yang joroknya bukan main: piringnya cuma dicelupcelup saja di ember kecil, belum lagi kalau piring bekas cuciannya dijilat-jilat kucing. Maklum dia itu orangnya sangat pilih-pilih makanan. Biasanya dia cuma mau makan makanan sehat dengan sayuran organik saja. Tapi dugaan saya salah. Dia cuma nggak mau makan lele.

69

Kebun organik kampung kauman Yogyakarta. Foto oleh Rifandi S. Nugroho


edisi #11: Fiksi

Pameran bertajuk Bebas tapi Sopan dari Kolektif Visual Jalanan. (Sumber: http://jakartabiennale.net/2015/ visual-jalanan-bebastapi-sopan/)

Jangan heran kenapa saya pakai kata manut. Randu ini orangnya cukup keras kepala. Meski saya sudah tanyakan sejak lama kenapa dia tidak mau makan pecel lele, baru kali ini dia mau jawab meskipun cuma sekenanya.

Makanan yang kami pesan akhirnya datang. Saya memilih pecel lele sementara Randu ternyata tidak menolak untuk makan bebek goreng. Tempat ini cukup terkenal dengan pedas sambalnya yang pas di lidah ditambah kol gorengnya yang gurih.

“Wong Lamongan nggak oleh mangan lele,” jawabnya dengan logat khas Jawa Timuran sembari menyelupkan tangannya ke kobokan lalu menyeruput es teh manis yang sudah dipesan.

Sambil makan, saya tiba-tiba kepikiran, dari mana asalnya spanduk brand pecel lele yang begitu khas ini. Mau di Jakarta atau kota lainnya, tiap tenda warung pecel lele macam begini formatnya mirip, ditutup spanduk gambar mural ikan dan unggas berpadu tipografi warna-warni yang menyebutkan semua menu makanan yang dijual.

Perkara bersih atau tidak es batunya, yang saya lihat si abang yang bikin es teh manis itu memecahkan bongkahan es batu di atas terpal samping ember cuci piring. Setelah itu sisa bongkahan es yang masih besar dibungkus lagi dengan terpal dan dibiarkan begitu saja. Perkara itu air matang atau mentah, wallahualam. Tapi masalah rasa jangan ditanya. “Opo o emange (kenapa ya memangnya)?” Saya balas dengan logat Jawa Timuran sekenanya hasil belajar lumayan lama di Surabaya. “Toh sing dodolan iki yo wong Lamongan sisan. Ndelok wae tulisane asli Lamongan. (Toh yang jualan ini ya orang Lamongan juga. Liat aja tulisannya asli Lamongan.)” Raut muka Randu mendadak mengkerut mendengar pernyataan saya itu. Meskipun masih bingung saya memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaannya. 70

Pada tahun 2015 lalu sempat ada kumpulan seniman yang mengangkat fenomena mural di tenda pecel lele ini sebagai budaya visual dan memamerkannya di Galeri Nasional Indonesia. Pameran ini menunjukkan bahwa publik juga secara kritis memproduksi objek visual dengan cara dan makna masing-masing secara bebas, diikuti pula dengan pertarungan yang terus berlangsung di ruang publik antara mereka yang mencari nafkah bermodalkan tenda seadanya begini dengan korporasi dan pemangku kebijakan yang merasa terganggu dengan keberadaan mereka. Entahlah, kalau sudah lapar begini apa saja saya sikat. Saya lahap habis lele itu sampai ke bagian ekornya yang renyah.


RUANG | kreativitas tanpa batas

Warung tenda ini hanya menggunakan meja kayu panjang dan kursi plastik sehingga mampu menampung pembeli dengan jumlah yang cukup banyak. Pada saat kami makan di tempat ini pengunjungnya hanya ada beberapa, masih ada cukup ruang untuk ngobrol dengan nyaman. Mungkin karena suasana yang hangat ini, sebelum saya tanyakan ulang, Randu mendadak memberi penjelasan. “Gini loh. Kamu ngerti cerita tentang Boyopatih? Beliau orang yang dihormati di desaku. Semenjak kabar kematian Boyopatih ratusan tahun silam di Desa Medang Kecamatan Glagah Kabupaten Lamongan,

masyarakat setempat percaya kalau makam mendiang Boyopatih ada di depan telaga. Di sana ia bersembunyi di balik ribuan lele ketika dikejar pasukan Mbok Rondo Barang. Pasalnya, ia meminjam keris yang tak dikembalikannya meski tujuh purnama telah berlalu.” “Gara-gara itu kamu nggak makan lele?” “Iya. Sebab Boyopatih pernah bersumpah agar kelak anak cucunya tidak memakan ikan-ikan itu. Apabila melanggar, mereka sendiri yang menerima akibatnya.” Saya manggut-manggut. 71


Kebun organik kampung kauman Yogyakarta. Foto oleh Rifandi S. Nugroho

Ia pun meneruskan, “Konon untuk menyembuhkan gatal-gatal itu mereka harus memohon ampun terlebih dahulu di depan makam mendiang Boyopatih, lalu megusapkan air yang berasal dari telaga penuh lele tempat mendiang Boyopatih bersembunyi.” Tapi saya heran, meskipun kini dia sudah lama tinggal di kota yang isinya orang serba bodo amat begini, dia masih tetap percaya pada mitos macam begitu. Untuk para penggemar seafood di ibukota ini misalnya, makan kerang dari Muara Angke yang kandungan logam beratnya sudah melebihi batas maksimum saja, mereka tidak masalah. “Aku baru denger itu, Ndu. Selama ini banyak dengarnya orang ndak mau makan lele karena jorok, dia bisa hidup di tempat kotor. Ditaruh di septic tank saja katanya bisa hidup.Yang penting sambelnya jos, anggep aja ga kenapa-kenapa. Toh sampe sekarang aku sehatsehat saja makan lele tiap minggu.” Randu tersenyum sinis, saya jadi ketakutan. Saya kira perkataan saya ada yang salah. “Toh kebanyakan orang kota yo ndak paham dari mana asal usulnya makanan mereka, mereka ngertinya apa yang udah di meja makan saja. Perkara yang dimakan itu baik atau mudharat, yang penting sudah bacadoa. Itu pun kalau sempat.”

pangan itu bikin pemerintah sakit kepala. Gimana caranya ngasih makan ke 7 miliar lebih orang di dunia? Kalau cuma ngandelin pertanian dan peternakan di pinggiran kota tok ya ndak mungkin cukup. “Makanya pemerintah impor sana sini untuk nyediain beras sama daging daging. Berarti kita perlu hati-hati kan pilih makanan. Masa kamu mau makan daging beku yang udah dioper sana sini dari seminggu lalu terus ditepungin.”

“Maksudmu ayam tepung di restoran cepat saji, Ndu?”

Dengan mode asbun alias asal bunyi saya jawab, “Ya tinggal ditanemin aja toh yang pinggiran kota itu. Kok bisa ndak cukup.”

“Itu lebih menjijikan. Sekarang ini bumi sudah terlalu sesak, urusan

Nampaknya Randu kali ini mulai jengkel beneran dengan saya yang se-


lebih banyak yang tinggal di kota ketimbang desa. Segala tetek bengek urusan politik, keamanan, sains, lingkungan, dan kesehatan diatur untuk membuat manusia tidak kelaparan. Berarti kebutuhan konsumsi makanan semakin naik, produksi bahan makanannya juga perlu terus ditambah. “Sayangnya ruang untuk produksinya itu berkurang terus-terusan, berbanding terbalik sama kebutuhan konsumsinya. Yo iki ulah wong-wong koyok kon sing kerjone mbikin bangunan tok. (Ya ini ulah orang-orang kayak kamu ini yang kerjanya bikin bangunan aja.) Ndak peduli kalau sebelumnya tempat untuk ngebangunnya itu sawah atau kebon sumber makanan mereka sendiri. Malah milih cari makanan dari tempat yang jauh.”

dari awal tidak terlalu peduli dengan omongannya. Biasanya dia kalau sudah jengkel begini bicaranya dengan logat Jawa Timuran lagi. “Kon iku lak arsitek se, mosok urusan sing ana hubungane karo ruang ngene wae gak paham. Lapo ae kon. Ngurusi bangunan tok lali yo lek butuh mangan. (Kamu itu kan arsitek ya, masa urusan yang ada hubungannya sama ruang gini aja gak paham. Ngapain aja kamu. Ngurusin bangunan aja sampe lupa kalo butuh makan.)” Untungnya mode Jawa Timuran itu tidak bertahan lama, ia kembali lagi ke bahasa Indonesia medok. “Gini loh. Semenjak tahun 2006, penduduk dunia untuk pertama kalinya

“Klienku emang banyak yang punya lahan besar, Ndu. Tapi ya kalo dia nyarinya arsitek berarti kepinginnya bikin bangunan dong. Kalau kebetulan punya lahan besar di Jakarta, dibangun perumahan langsung biar bisa cepet kejual. Kalau di Bali bisa dibangun villa. Bagianku ya bikinin desain buat mereka dan bantu supaya itu bisa menuhin kebutuhan mereka. “Kalau mereka emang lebih tertarik bikin sawah, kebun, atau peternakan.Ya mereka pasti ndak menghubungi aku. Mending cari petani atau ahli peternakan. Masalahnya, desainku dibayar aja aku udah sujud syukur bisa ngasih makan karyawan dan keluargaku pakai cara halal.”


Sedikit curhat jadinya saya dengan dia. Saya tidak tau apa saya cukup bijak atau dia terlalu naif untuk urusan ini. “Aku pernah sekali main ke Jogja, ada hotel namanya aku lupa yang ada sayuran hidroponiknya di atas bangunannya. Katanya sayuran itu kalau sudah panen langsung diproses untuk restoran di bawahnya dan sayurannya jadi segar banget. “Ini mirip sama kantor yang ada di Jepang aku pernah lihat di facebook. Jadi satu kantor makan sayuran yang ditanem dengan sistem hidroponik gitu, waktu sudah panen sayuran ini diproses di kantinnya. Memang sih itu butuh teknologi baru untuk bikin sistem menanam begitu. Jumlah nutrisinya pun jauh lebih rendah ketimbang tanaman yang ditanam di tanah. Masa panen juga sedikit lebih panjang. Jadi itu kan masalah pilihan cara kamu mendesain.”

1. Agroekologi adalah studi proses ekologis yang diaplikasikan ke dalam proses pertanian. Terminologi ini biasanya merujuk pada sains, gerakan, atau praktik alternatif. Agroekologi tidak merujuk pada satu metode, baik itu organik, terintegrasi, atau konvensional.

Ternyata Randu lumayan update juga berita arsitektur beginian. Tapi terus terang saya masih skeptis dengan apa yang diceritakan dia, terutama desain bangunan yang dindingnya cuma ditanemin sayur-sayuran begitu saja sudah dianggap keren. Bahkan belakangan ini muncul di status fb kalau tren vertical garden dipakai dimana-mana, di bagian belakang billboard, di menara pemancar, di pembatas proyek, dan di bagian-bagian dinding bangunan yang biasanya udah bingung mau dijadikan apa lagi daripada sepi ya diisi saja pakai tanaman. Beberapa orang mempertanyakan seberapa penting sih vertical gar-

den begini dipakai di saat masih ada tanah untuk bercocok tanam. Malah lebih ekstrim lagi ada yang bilang, kalau sistem pertanian vertikal dipaksakan begini terus akhirnya malah jadi alasan supaya tidak menyisakan lahan hijau untuk resapan dan tanaman. Saya bilang saja sama si Randu. “Itu kan tergantung orangnya aja lagi, Ndu. Dia mau nanem atau tidak. Hidroponik yang katanya untuk lahan terbatas dibuatnya toh di atas tanah juga. Kalau masih ada tanah ngapain tembok yang ditanemin. Itu kan cuma bisnis.” Randu segera mengeluarkan datadata lagi. Seperti gatal tidak bisa berhenti bicara. “Farm and Agriculture Organzation United Nation (FAO UN) tahun 2008 bilang dunia mengalami revolusi peternakan gara-gara saking tingginya permintaan daging di seluruh dunia. Prediksi PBB tahun 2030 nanti 2/3 suplai susu dunia bakalan dikonsumsi di negara berkembang, konsumsi daging juga meningkat 2x lipat dari hari ini. Tahun 2050 nanti diprediksi 80% manusia tinggalnya di kota dan mereka bakalan hidup dalam jangka waktu 40 tahun (Steel, Caroline. Hungry City. 2008). “Ndak perlu perhitungan matematika untuk ngebayangin nasib manusia nanti, peritungan model apapun ndak akan masuk. Meskipun ada benarnya kalau nanem di tanah itu lebih baik, penemuan-penemuan baru sistem bercocok tanam perlu untuk diperdalam lagi. Kalau hari ini nanem di


tembok jadi olok-olokan, barangkali nanti bisa jadi barang mewah yang dicari-cari. Di atas gedung bertingkat, di langit-langit kamar, dimana aja orang bakalan cari tempat biar mereka bisa makan. Paling nggak lebih realistis sebelum ngomongin ada pil yang bikin kenyang.”

kosong untuk berkebun dan bak penampung kotoran hewan untuk biogas5. Kalau kamu lihat di Australia, pertanian macem begini udah banyak dilakuin. Itu tinggal gimana kamu sebagai arsitek bisa paham prinsipprinsipnya, lalu kamu aplikasikan ke bangunanmu.”

Randu melanjutkan ocehannya, sementara saya memesan air putih hangat karena tenggorokan saya terasa gatal gara-gara makan pecel lele tadi. Mungkin karena minyaknya yang belum juga diganti hingga sekarang—satu jam setelah saya makan tadi—sekitar 5 orang sudah lalu lalang bergantian makan.

Saya nyeletuk, “Itu bisa dilakuin di tempat-tempat yang tidak padat seperti Jakarta begini.”

“Kamu juga pernah dengar istilah agroekologi1? Di Surabaya itu juga ada komunitas2 yang fokusnya bergerak di situ. Jadi mereka meneliti nutrisi tanaman-tanaman liar untuk diolah jadi makanan sehat. Ada juga yang kerja bareng seniman, arsitek, dan desainer untuk bikin dapur komunitas di dusun Medira Jombang. Mereka ngolah lahan ndak terpakai untuk kebun tanaman aneh-aneh itu terus bisa langsung dimasak masyarakat sekitar di dapur itu. Dinding dapurnya dari tanah liat, kompornya pakai biogas, ada penampungan air hujannya3. Di Yogyakarta juga ada rumah makan yang semua menu makanannya mulai dari sayuran, roti, susu, daging yang dijual hasil olahan kebun mereka sendiri4. Terus juga ada tempat residensi seniman udah mulai nyediain lahan

“Ya memang, di kota yang sudah padat begini kita harus bersiasat supaya makan sehat. Bicara makanan sehat di desa tentu lebih mudah didapat. Tapi isu pangan di perkotaan butuh banyak orang kritis juga untuk meresponnya. Kalo aku boleh sedikit ngawur, pendapatku sih orang kota mulai ndak mikirin makanannya semenjak ada rel kereta api.” Ujar Randu. “Kok bisa?” tanya saya. “Sebelum manusia mudah pergipergi, arsitektur sesepuh dan nenek kakek moyang kita selalu nyediakan tempat hasil bumi di atap rumahnya. Musim panen dirayakan, hasil bumi dibagikan, selesainya saling mendoakan. Urip meh numpang ngombe mangan tok. Begitu kalau dipelintir. Toh intinya kita ini butuh makan. Barangkali hubungan langsung antara rumah dan makanan ini satusatunya yang dibutuhkan.” Boleh juga analoginya Randu ini.

2. Mantasa, komunitas asal Surabaya yang meneliti nutrisi tanaman liar sebagai bahan makanan alternatif. 3. Hasil kerjasama antara Holopis dan Studio Akanoma, dengan program residensi di dusun Medira, Jombang, Jawa Tengah Indonesia 4. Rumah makan yang menjadi unit usaha Bumi Langit Institute, sebuah pusat studi permakultur di Yogyakarta 5. Bumi Pemuda Rahayu, Dlingo, Yogyakarta


edisi #11: Fiksi

Saya nyeletuk nyinyir, “Sekarang ini presiden kita malah galakin bikin jalan tol lintas provinsi di pulau Jawa, ribuan hektar sawah dibabat. Kalau orang Jawa sampai kekurangan beras makanin aja itu aspal jalan tol.” “Atau ya ternak lele di rumahnya.” Randu lebih ngawur lagi. “Katanya tadi ndak boleh makan lele, sekarang malahan nyuruh ternak. Gimana toh kamu, Ndu. Mau kamu dikutuk Boyopatih.” Meskipun idenya asal njeplak, tapi kadang menarik juga.

Foto oleh Rifandi S. Nugroho

“Jangan salah, aku percaya betul kenapa Boyopatih ndak nyuruh makan lele. Kalau menurutku itu untuk persediaan masa depan. Orang-orang sekarang ndak sadar, lele itu bisa

76

hidup dimana saja, orang cuma bisa cerita lele itu jorok tapi kalau dimakan enak. Lele itu hewan penghasil amonia (NH4)yang tinggi. Amonia yang diurai menjadi Nitrit (NO2) dikenal sebagai siklus nitrogen, ini bermanfaat untuk tanaman. Berarti lele selain bisa dimakan, bisa juga membantu kita produksi makanan. Meskipun aku ndak makan lele, aku melihara lele di rumah.” Kali ini Randu meracuni saya dengan sains yang menarik. “Kamu melihara lele untuk tanaman? Lelenya sendiri kamu apakan?” “Lelenya ya dibiarkan saja, sampai satu saat udah ndak bisa makan daging, baru aku makan lele. Tapi kalau sekarang lelenya aku jadikan bibit untuk nutrisi tanaman sistem


akuaponik di rumahku. Karena lele bisa hidup dimana aja toh, harusnya kalau kolamnya nampung air hujan juga bisa. Tapi aku belum buat itu. Aku baru buat di kolam saja, untuk tanaman pakai pompa biasa. Kalau kamu arsitek, barangkali ide ini bermutu. Jadi tiap desain rumah perlu ada kolam lelenya gitu loh, Ndu hehehe. Aku percaya sama lele di masa depan salah satu solusi alternatif untuk masalah kelaparan.” Jenius sekali Randu ini pikirku. Tapi hal yang ada lagi satu hal yang membuatku bertanya-tanya. Kenapa orang Lamongan pada akhirnya juga jualan lele jikalau memang mitos mereka melarang itu. “Ndu, aku tapi penasaran. Kenapa kamu masih ndak mau makan lele sementara wong Lamongan lainnya jualan pecel lele.” “Biarkan mereka jualan lele, toh berarti mereka sudah memasyarakatkan cita rasa hewan yang selama ini dipandang sebelah mata ini. Cukup dengan tenda yang bisa dibongkar pasang begini, ribuan karyawan, anak sekolahan, preman, semua orang bisa makan dengan harga terjangkau kan. Kalau orang kantoran kan lebih suka makanan cepat saji yang jelas-jelas banyak berita miringnya. Jikalau boyopatih hidup lagi, aku yakin dia bakalan senyum sekaligus tertawa. Melihat kita yang seperti babi kelaparan gara-gara ulah kita sendiri yang sikat sana sini.” Randu terdiam sebentar, lalu berkata-kata lagi.

“Sebab aku pegang betul wasiat kanjeng Sunan Drajat pada masyarakat di desaku, Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan. Maknanya berilah ilmu agar orang menjadi pandai, sejahterakanlah kehidupan masya­rakat yang miskin, ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita. Itu nilai yang sulit untuk diamalkan di zaman edan begini. Kalau buat aku, setidaknya lewat makan aku tau apa yang telah aku pilih untuk kehidupanku. Karena kita itu apa yang kita makan.” Begitu.

(Makan-makan fiktifku di ibukota) *



“.... Sekarang ini bumi sudah terlalu sesak, urusan pangan itu bikin pemerintah sakit kepala. Gimana caranya ngasih makan ke 7 miliar lebih orang di dunia? Kalau cuma ngandelin pertanian dan peternakan di pinggiran kota tok ya ndak mungkin cukup. Makanya pemerintah impor sana sini untuk nyediain beras sama daging daging. Berarti kita perlu hati-hati kan pilih makanan. Masa kamu mau makan daging beku yang udah dioper sana sini dari seminggu lalu terus ditepungin.�

Rifandi Nugroho



RUANG | kreativitas tanpa batas

Mencari Tanah Surga Siti Amrina Rosada

“Aku adalah seekor anjing, dan kerena kalian para manusia adalah binatangbinatang yang kurang rasional daripada aku, kalian katakan saja pada diri kalian, “Anjing-anjing tidak berbicara!” Namun demikian, kalian sepertinya mempercayai sebuah kisah di mana mayat-mayat bisa bicara dan tokoh-tokoh menggunakan rangkaian kata-kata yang tak mungkin bisa mereka mengerti. Anjing-anjing bisa berbicara, tetapi hanya pada mereka yang tahu bagaimana mendengarkannya.” Aku Seekor Anjing, dalam Namaku Merah karangan Orhan Pamuk

Pada sebuah kota di Pulau J. Aku adalah seekor anjing Jika kalian, para manusia ingin mendengarkannya, aku akan bercerita tentang upayaku untuk menemukan sebuah tanah surga. Dua tahun lalu, aku lahir di sebuah celah sisa ruang-ruang manusia. Ibuku adalah seekor anjing dengan cinta buta kepada tuannya. Beberapa hari sebelum aku lahir, ibuku tertinggal-dibawa oleh seorang manusia yang menjadi rumahnya. Ibuku selalu menggunakan kata "tertinggal-dibawa", sehingga dia

selalu menunggu di titik yang sama sekalipun si manusia tak kunjung datang menjemputnya. Aku bukan ibuku, jadi aku tak perlu mengikuti penantiannya. Aku ingin berkelana, menemui tanah surga sebagaimana yang diceritakan banyak anjing di sekitarku. Tanah surga itu berada di balik tembok-tembok kokoh. Konon katanya, di sana terdapat sebuah halaman berumput yang sangat luas sehingga para anjing tak perlu menahan hasrat

81

Anjing jalanan di kawasan Taj Mahal, Agra. Saat mengambil foto ini, sang fotografer terlibat konfik dengan pihak keamanan yang tidak senang. “The subjects in our documentary beleive it comes from an imposition of Western values, this idea that for a country to be “modern,” it shouldn’t have community dogs.” – Jesse Alk, Pariah Dog Movie (Sumber: https://www. instagram.com/pariahdogmovie/)


edisi #11: Fiksi

“An old Pariah Dog thinks about crossing the street in Park Circus, a difficult place for stray animals in Kolkata.� – Jesse Alk, Pariah Dog Movie (Sumber: https://www. instagram.com/pariahdogmovie/)

untuk berlari. Di sana juga terdapat gedung-gedung yang dapat melindungi kami dari panas dan hujan.Tempat itu banyak didatangi manusia yang sedang belajar, dan tak jarang mereka memberi makanan untuk binatang berkaki empat yang ada di sana.

Aku adalah anjing mahal Konon katanya, aku dibeli dengan harga melebihi harga sepeda motor keluaran terbaru. Aku adalah anjing pedigree, salah satu ras unggul di muka bumi ini yang diperanakan pada kennel terkemuka. Satu hal lain yang pasti, sedari kecil sampai sekarang tampilanku memang lucu sekali. Berulang kali,Tuanku mengatakan itu saat bermain-main denganku, atau ketika bermain dengan temannya sambil bermain denganku. 82

Tuanku sangat menyayangi aku. Sekalipun buluku rontok di pertengahan tahun, atau biar aku harus dibawa ke dokter setiap tiga bulan sekali, Tuanku selalu memanjakan aku. Makanan, minuman, mainan, sampai tempat tidur, semua disediakan untukku. Kadang, ketika berlari pagi bersama Tuanku atau sekedar jalan-jalan bersama, aku sering melihat anjinganjing jalanan yang tak memiliki apa yang aku miliki. Melihat mereka selalu membuatku bersyukur dengan apa yang aku miliki. Aku memiliki Tuanku. Karena jika aku tidak memiliki Tuanku, aku tak akan bisa tinggal di bumi ini.

Aku adalah anjing pejabat Semua yang hidup memiliki tempatnya masing-masing. Sehingga ada-


RUANG | kreativitas tanpa batas

lah sebuah kesalahan jika seseorang melanggar tempat di mana dia seharusnya. Misalnya, jika aku khilaf lalu naik ke atas sofa, maka Tuanku akan menegurku sehingga aku turun dari sana.

ing liar yang semakin meresahkan di kampus. Kehadiran mereka membawa kesan kumuh dan kotor, sangat bertentangan dengan citra kampus sebagai universitas nomor satu di negeri ini.

Tuanku adalah seorang pejabat di sebuah perguruan tinggi kenamaan di negeri ini. Beberapa kali, aku pernah di bawa ke sana. Semisal acara pertemuan pencinta anjing atau sekedar menemani tuanku lari pagi. Menurutku, semua tentang kampus ini hebat. Tapi tuanku selalu mengeluhkan beberapa hal kecil yang perlu diselesaikan. Salah satunya adalah tentang binatang-binatang liar yang berkeliaran di salah satu wilayah kampus.

Sambil berguling-guling, aku mendengar bahwa mereka berencana mengadakan pengendalian hewan liar di hari libur kampus. Mereka membicarakan kemungkinan penolakan dari organisasi pencinta hewan, namun Tuanku menyahut marah, bahwa mereka seharusnya malah lega, karena keputusan ini membawa sektor pemerintahan untuk terlibat dalam kegiatan penertiban satwa domestik. Berulang kali mereka berkata, bahwa rencana mereka untuk memindahkan hewan-hewan liar itu entah ke mana bukanlah hal yang melanggar hukum.

Sore ini, aku berbaring di lantai sambil menggigiti mainanku. Di sofa itu, Tuanku duduk bersama beberapa tamunya. Mereka membicarakan tentang keberadaan anjing dan kuc-

Ah, hukum. Akhirnya aku mengerti maksud tuanku dan tamunya. Layaknya sofa yang diolah bagi manusia untuk duduk, kampus Tuanku ini diolah bagi manusia untuk belajar. Sofa dan kampus bukanlah tempat bagi anjing. Lagi pula, seperti yang sering diucapkan Tuanku, arsitek kampus ini susahsusah merancang tidak untuk ditiduri, apalagi dikencingi, oleh anjing-anjing liar itu. 83

There are two type of person‌ (Sumber: https://www. instagram.com/pariahdogmovie/)


edisi #11: Fiksi

Aku adalah makhluk Tuhan (juga) Aku kira, aku sudah sampai di tanah surga.

Anjing jalanan di kawasan Taj Mahal, Agra. Saat mengambil foto ini, sang fotografer terlibat konfik dengan pihak keamanan yang tidak senang. “The subjects in our documentary beleive it comes from an imposition of Western values, this idea that for a country to be “modern,” it shouldn’t have community dogs.” – Jesse Alk, Pariah Dog Movie (Sumber: https://www. instagram.com/pariahdogmovie/)

Aku sudah menemukan hamparan rerumputan luas dan berlarian di atasnya. Aku bertemu banyak teman seperjuangan lainnya, kucing-kucing yang mendesis ketika melihatku, dan beberapa anjing lain yang mengendusi bokongku. Aku pun telah memiliki teman, seorang anjing tua yang tampaknya begitu akrab dengan manusia. Banyak manusia memanggilnya dengan sebutan "Bobby" lalu mengusap perutnya. Bersama anjing itu, aku merasakan sentuhan-sentuhan penuh kasih dari tangan manusia. Mereka menggarukgaruk telinga dan kepalaku, sambil melemparkan beberapa potong ayam dari piring makan. Untuk pertama kalinya malam itu, aku merasakan hangatnya keset sebagai alas tidurku. Namun, semua berubah ketika pagi datang. Waktu itu tidak seramai ketika aku tiba di tanah surga ini. Hanya ada beberapa manusia dengan pakaian yang sama. Aku mendatangi mereka, mengharapkan sentuhan yang sama seperti tangan-tangan kemarin. Namun, aku salah. Sentuhan itu begitu kasar. Tangantangan itu menyeretku, memaksaku masuk ke dalam sebuah kerangkeng besi yang diletakkan di atas mobil. Aku masih tak percaya ketika aku terkurung di sana. Kaki-kaki ku mengais, mencoba keluar dari penjara itu. Tapi percuma. 84

Terdengar banyak suara keras yang menyeramkan. Semakin lama semakin banyak anjing dan kucing lain yang berada di atas mobil terbuka ini. Mereka sama-sama di dalam kerangkeng. Mereka sama-sama mencoba keluar. Seekor anjing di sudut sana mulai merintih. Rintihan itu menulari kami semua, termasuk aku. Ketika matahari begitu terik, mobil pun berjalan. Diiringi suara gonggongan dan meongan yang ramai. Di antara tangisan-tangisan itu, aku mencoba berdoa. Tuhan, bukankah semua di dunia ini milik-Mu? Semoga aku dan lainnya baik-baik saja. Semoga nanti aku kembali ke tanah surga ini. Semoga nanti di sana


RUANG | kreativitas tanpa batas

Karena kata mereka yang mendaku hegemoni ketuhanan, aku adalah haram.

"The domination–exploitation of human beings begins with animals, wild beasts and cattle; the humans associated with these inaugurated an experience that would turn back against them: killings, stockbreeding, slaughters, sacrifices and (in order better to submit) castration." - Henri Lefebvre dalam Rhythmanalysis: Space,Time and Everyday Life Sementara itu, di Pulau S.

Aku seperti lolongan anjing tempat kami menuju adalah tanah surga yang lain. Semoga aku masih bisa berlari di atas rumput. Semoga masih ada cukup keset bagiku untuk mencari hangat. Semoga selalu ada tangan-tangan lembut yang menggaruk-garuk kepalaku.

Kamu tahu, ketika satu anjing melolong maka anjing-anjing yang lain pun akan mengangkat wajahnya ke langit ikut sumbang suara. Karena itulah, lolongan anjing sering terdengar terus bersahutan tiada henti, sampai akhirnya mati sendiri.

Mobil masih berjalan tanpa aku tahu ke mana tujuannya. Suara keras kembali terdengar, seakan menyuruh kami untuk diam. Aku mencoba menahan rintihan, namun tubuhku lah yang menjadi gemetar.

Aku hadir di setiap titik temu manusia-manusia yang mengelompokkan diri, lewat lenggokan lidah yang menari, atau sentuhan-sentuhan huruf yang dibentuk oleh jemari.

Seekor kucing di sebelahku menatap nanar, badannya bergetar hebat sampai air kencingnya keluar. Aku sebenarnya tahu, tapi menolak untuk mengaku. Kami semua tahu, ke mana akhir jalan ini. Lalu apa kabar doaku? Entah.

Kisahku hari ini adalah di sebuah pasar sana, seekor anjing menggigit tangan manusia. Namun, tak ada yang menyampaikan alasan mengapa si anjing menggigit tangan manusia, atau bagaimana konteks kejadian yang sebenarnya terjadi, sehingga 85


edisi #11: Fiksi

diriku menjadi berimbang di semua sisi. Memang begitulah kedatangan sebuah kabar, hadir dan dibentuk lewat pilihan-pilihan yang ingin ditampilkan. Berawal dari sana, kehadiranku ditambah dengan cerita keresahan manusia akan keberadaan anjing-anjing tanpa rumah yang mulai mengganggu. Lalu sebagai pamungkas, cukup dipantiklah satu kata yang selama ini menghantui; rabies. “This child’s mother is standing by as her daughter roughly plays with a strange street dog at the Manakamana temple. If something goes wrong here, there can be terrible consequences for the local street dogs, at least that’s how it happens in most places.�- Jesse Alk, Pariah Dog Movie (Sumber: https://www. instagram.com/pariahdogmovie/)

Kamu tahu, bagaimana hebatnya sebuah kata? Kata bisa menjadi senjata, bisa juga menjadi target jika digunakan sebagai penanda. Tanyakanlah bagaimana arti kata "teroris" bagi pada muslim di negeri barat sana. Kalau kamu sudah mau mati, coba nanti tanyakan berapa juta nyawa yang berpisah dengan dunia karena satu kata "komunis" saja. Lalu kamu bayangkan saja, bagaimana satu kata rabies itu itu bereaksi dengan kenyataan bahwa manusia memang tak ingin berbagi ruang.

86

Namaku menjadi umpatan: Anjing! Waktu itu aku baru saja mengais apa yang disebut oleh manusia sebagai sampah. Melakukan kegiatan ini sehari-hari membuat aku sulit percaya, bahwa para nenek moyang diceritakan bisa berlari kencang mengikuti indera penciuman yang tajam untuk mendapatkan buruan. Maksudku, coba lihat saja sekitar kita. Apa yang bisa diburu oleh anjing dalam kota ini? Manusia bahkan menyemen pasir sehingga tak ada lagi tempat untukku buang air. Para anjing tua sering berkisah, hidup anjing dan manusia cukup harmonis sebelum segelintir manusia dengan kuasa berlimpah membuat maklumat bahwa ruang bumi adalah milik mereka, lalu membaginya dengan teman-teman mereka. Maka hari itu seperti biasa penciumanku memilah aroma di antara sampah sebuah pasar. Aku baru saja menggigit tu-


RUANG | kreativitas tanpa batas

lang yang berasal dari sepotong ayam, ketika aku mencium bau ketakutan dari seekor anjing lain yang berlari. Anjing itu berlari ke arahku. Di belakangnya satu anjing dan dua manusia yang sama-sama berseragam mengejar dengan sebuah senjata di tangan mengarah pada si anjing. Aku melepaskan makanan pertamaku di hari terakhirku, dan ikut berlari. Banyak manusia bilang bahwa aku adalah anjing, yang berarti aku tak bisa berpikir. Tapi, aku tahu apa itu rasa takut. Aku tahu tahu rasanya harus berjuang untuk selamat dari kesakitan. Sehingga, biar dadaku begitu gaduh karena degupan, kakikakiku gemetar dirambah kengerian, aku harus terus berlari.

Aku adalah anjing petugas Mengapa seekor anjing bisa mengusir anjing lainnya? Mungkin tanyamu begitu. Karena aku adalah seorang petugas,

maka pekerjaanku adalah menjalankan tugas. Saat ini, tugasku adalah anjing. Lain waktu tugasku juga bisa berupa manusia, dengan berbagai ragamnya. Bersama para petugas manusia, aku membantu membubarkan pedagang pinggir jalan, pemukim pinggir sungai, sampai pengemis pinggir trotoar. Kalau kamu manusia bertanya mengapa seekor anjing bisa mengusir anjing lainnya, aku anjing juga bisa bertanya mengapa seorang manusia bisa mengusir manusia lainnya. Alasannya adalah karena aku berdiri di atas legalitas, menyingkirkan mereka yang kemudian disebut ilegal. Penyingkiran-penyingkiran tersebut adalah mandat yang harus dipatuhi oleh kami para pekerja. Kali ini, ilegalitas yang harus disingkirkan adalah anjing. Anjing-anjing ini hidup di ruang publik, tapi mereka hidup tanpa kepemilikan. Mereka tak memiliki manusia yang memiliki ruang bagi tempat

87

“Street dog finds a meal at the Dakshineswar Kali temple, while a crow waits for leftovers.� – Jesse Alk, Pariah Dog Movie (Sumber: https://www. instagram.com/pariahdogmovie/)


edisi #11: Fiksi

mereka tinggal. Atau seperti aku, mereka pun tidak memiliki instansi yang menaungi mereka. Karena nya mereka harus pergi. Aku menggonggong nyaring. Lalu, satu‌ dua‌ tiga‌ DOR!

Aku anjing yang akan mati Jika berdoa pada Tuhan bagiku adalah haram, haruskah aku bertanya pada evolusi? Karena sepertinya Tuhan berdusta saat berkata bahwa semua di dunia ini adalah milik-Nya. Khalifah di muka bumi ini memetak tanah satu persatu, lalu berteriak bahwa itu milik mereka. Kematian itu tak ada rasanya. Namun, jalan bertemu dengannya begitu menyiksa. Aku adalah seekor anjing. Aku jatuh dengan sebuah panas yang melubangi bahuku. Panas yang menyeret nafasku, memaksa untuk bertemu kematian sekalipun aku masih belum ingin bertemu dengannya.

Mass Culling di Karachi, Pakistan. Anjinganjing yang telah mati diracun dikumpulkan di jalan. (Sumber: Reuters, dapat dilihat pada http://bit.ly/2wGec6G) 88

Aku merasakan sentuhan di puncak kepala. Lembut, seperti sentuhan beberapa manusia yang kadang datang dengan suara lembut dan makanan yang tak kalah lembutnya. Tapi kelembutan itu tak mampu mengusir sakitku. Apakah tangan ini pula yang melubangi bahuku? Entah. Manusia begitu banyak wajahnya. Kematian mulai tampak diujung sana. Kedua tangannya terbuka lebar menyambutku. Apa memang di sanalah seharusnya aku berada, yang manusia sebut tanah surga? Karena dalam ruang bumi ini tempat hidup untukku tampaknya juga tak ada. Jika bertanya kepada Tuhan bagiku adalah haram, maka biar aku tanyakan pada evolusi. Mengapa aku harus lahir, jika tampaknya aku tak punya hak untuk hidup di bumi sekalipun aku dan manusia sama-sama berasal dari anti materi? Terinspirasi dari fakta eleminasi hewan domestik di berbagai tempat, dan sebuah fiksi berjudul Namaku Merah buatan Orhan Pamuk.


RUANG | kreativitas tanpa batas

“Jika berdoa pada Tuhan bagiku adalah haram, haruskah aku bertanya pada evolusi? Karena sepertinya Tuhan berdusta saat berkata bahwa semua di dunia ini adalah milikNya. Khalifah di muka bumi ini memetak tanah satu persatu, lalu berteriak bahwa itu milik mereka.� Siti Amrina Rosada 89




edisi #11: Fiksi

RUANG KREATIVITAS TANPA BATAS

92

©2017


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.