way back home a short story by Alif G. Mahardika
way back home a short story by Alif G. Mahardika
Untuk G, Hiduplah bahagia, lebih lama dariku.
Hari ini melelahkan. Tapi sekarang, aku pulang ke rumah.
Seperti biasa, aku jadi orang terakhir yang berada di kantor. Sisanya, hanya beberapa karyawan dari anak perusahaan lain yang hanya kukenal nama depannya saja; itu pun, tinggal tiga sampai empat orang di lantai tiga. Lampu di lantai dasar kantor sudah mulai meredup. Lantai dua, jangan ditanya; sudah mati sejak 52 menit lalu. Lagu If I Had A Gun yang dibawakan Noel Gallagher’s High Flying Birds masih terputar di laptopku, menjadi penutup dari barisan lagu yang secara acak kuputar di Spotify untuk menemaniku menuntaskan pekerjaan yang membosankan. “Let me fly you to the moon. My eyes have always followed you around the room. ‘Cause you’re the only God that I will ever need.” Aku bohong. Lagu-lagu itu tidak kuputar secara acak. Aku memang suka menabur garam di atas luka. Ketika lagunya usai, aku menutup semua program dan mematikan laptop, berkemas rapi, dan bergegas untuk keluar dari tempat yang sedari tadi rasanya semakin menyempit, membuat sesak, tertekan, dan sulit bernafas.
Sekarang pukul 22.57 WIB. Aku menyalakan korek, membakar sebatang rokok untuk menemani perjalanan menuju parkir motor di dalam Gang Tulip yang cukup jauh dari kantor; lebih kurang, memakan waktu sekitar 11 menit berjalan kaki. Berjalan dan melihat sekeliling, sembari mengisap rokok yang rasanya begitu melegakan untukku; bagai inhaler bagi penderita asma. Rupanya, bukan hanya aku yang merasa lelah dan sepi. Kota Jakarta yang biasanya tak kenal lelah pada akhirnya meneteskan peluh dan tampak sayu matanya. Lampu di warung rokok, penerangan di jalan raya, pedagang jajanan yang tertidur, kucing liar dan keluarganya; semuanya, terlihat dan terasa lelah. Tapi hari ini begitu melelahkan, sampai aku tidak ada nafsu untuk memikirkan semua itu. Rasanya hanya ingin sedikit ketenangan dan kedamaian, kesempatan untuk berlindung dalam pelukan yang penuh kasih dan sayang. Apa yang ada dalam benak dan hatiku kemudian hanyalah Dia. Dan jelas, untuk saat ini, bukan dalam konotasi positif.
“Lembur, Mas?” Suara itu memecah lamunanku. Rupanya Mang Dadang, si penjaga tempat parkir, yang menyapa dengan senyum di wajah-mirip-aktor-kawakan-nya. Tanpa terasa, kedua kaki ini sudah membawaku sampai di tempat parkir. “Biasa, Mang Dadang. Akhir bulan,” jawabku, dengan senyum yang dipaksakan. Kedua kaki ini lalu menyeret lagi tubuh lelahku masuk ke tempat parkir, bagaikan anak kecil yang merengek untuk pulang karena kelelahan. Aku merogoh kantong celana untuk mencari kunci motor, sembari berjalan mengitari tempat parkir, mencari motor matic milikku. Satu setengah menit kemudian, aku berhenti; aku baru ingat, tidak bawa kendaraan hari ini. Malam ini akan panjang, dan baru saja dimulai. Sialan. ---
Kini aku berdiri di trotoar depan Gang Tulip, menyalakan ponselku yang sudah retak layarnya, dan memesan kendaraan pulang melalui aplikasi transportasi online. Perjalanan dari kantor menuju rumah memakan waktu lebih kurang 56 menit dengan motor, itu pun kalau jalanan sepi. Kira-kira, jaraknya 24 kilometer. Ongkosnya akan mahal. Namun, pilihan apa yang aku punya? Sekalian saja pulang naik mobil. Lumayan. Setidaknya bisa tidur di mobil sambil dengar lagu. Jam di layar ponsel menunjukkan pukul 23.18 WIB. Untung saja, sudah dapat pengemudi yang akan mengantar pulang. Tanpa foto, hanya ada identitas berupa nama, dan nomor serta jenis kendaraan. “Saya di depan Gang Tulip, sebelum fly over di kiri jalan ya, Pak. Pakai jaket hitam,” tulisku di kolom chat. “Oke ditunggu, Mas.” balasnya. Sekitar enam menit kemudian, dia tiba dengan mobil Toyota berawarna hitam. Kereta kencanaku…
“Malam, Mas. Tujuan sudah sesuai aplikasi, ya?� sapa pengemudi yang belum kulihat jelas rupanya itu dengan ramah. “Iya, Pak,� jawabku. Lagi-lagi, dengan senyum yang dipaksakan. Mobil pun melaju, mengantarku pulang. Aku menatap kosong ke luar jendela mobil. Pemandangan yang kulihat masih sama; pengemis tua yang lelah, toko yang tutup, hingga rambu lalu lintas yang penyok. Dalam hati kecil, aku merasa lega karena bukan hanya aku yang merasa kacau malam ini. Namun ada rasa takut juga, bahwa segalanya akan terus sesunyi dan sekacau ini. Mataku kemudian tertuju pada sebuah coretan bergambar penis dengan ukuran yang sangat besar di dinding sebuah toko. Gambar itu menenggelamkanku lebih dalam, melemparku jauh ke tiga bulan yang lalu. ---
Air hujan yang membasahi trotoar dan menggenang di lubang jalanan Jakarta belum juga kering. Tanpa memedulikan sekitar dan juga gadis yang bersamaku di motor, aku melaju kencang, membuat sebagian air kotor tersebut memercik ke mana-mana; termasuk ke bagian belakang rok Dia. “Pelan-pelan, dong!” teriakNya, ketus. Aku memasang wajah marah; karena ya, memang aku sedang marah. “Aku turun aja, deh! Paling benci kalau marah-marah gini. Emosian!” ancam Dia, sambil menepuk keras punggungku. “Terserah! Harusnya Kamu tahu aku benci banget lihat Kamu ngobrol sama dia. Lama pula!” seruku membalas. “Ya ampun, masih bahas itu? Terserah, deh!” balasNya, sambil mengusap keras sebagian wajahNya yang tidak tertutup masker dan helm. Suasana kemudian hening, namun tetap tegang. Aku bisa merasakan banyak kata dan rasa yang ingin kita lontarkan kepada satu sama lain; seperti muatan truk yang segera tumpah berhamburan.
Tapi, masing-masing dari kita menahannya. Mungkin memang baiknya demikian; tidak ada hasil baik dari kata yang diucapkan saat merasa tidak baik. Usaha menahan diri itu diganjar kebaikan dalam bentuk yang aneh oleh Dewa Eros. Ada sebuah coretan bergambar penis raksasa di dinding sebuah toko alat olahraga yang malam itu sedang tutup. Digambar dengan cat semprot berwarna merah, penis itu cukup realistis; dihiasi cat semprot warna biru yang membentuk akar di bagian dalam. Mungkin maksudnya adalah urat. Melihat itu, sontak aku tertawa geli. Rupanya, masker tidak cukup meredam suara tawaku, hingga akhirnya Dia mendengarnya. “Heh, ketawa! Jangan ketawa! Kalau ‘punyamu’ sebesar itu, aku enggak se-ngambek ini!” kata Dia, yang juga melihat coretan itu, dengan ketus. Tapi tanpa melihatNya dari pantulan kaca spion pun, aku bisa merasakan kalau Dia menahan tawa juga. “Kok, offensive? Kalau ‘punyaku’ sebesar itu, Kamu bisa mati keselak atau meledak. Mau?” balasku. "Biar mati, biar enggak dimarahi terus!” jawabNya dengan wajah cemberut. Kini, aku bisa merasakan hati kita masing-masing melunak, memilih damai daripada perang.
“Ya, jangan… nanti ‘punyaku’ yang besar ini buat siapa?” balasku lagi, dengan nada genit. Dia pun hanya bisa menjerit karena jijik, sambil memukuli bahuku berkali-kali. Selanjutnya, yang kita lakukan hanyalah saling goda dan beradu innuendos, sampai lupa apa alasan kita berkelahi tadi. Bahkan, kita lupa sempat berkelahi. ---
“Lewat Cemara atau Mitra, Mas?” sebuah tanya membangunkanku dari tidur singkat. Rupanya, pengemudi itu. Sampai lupa kalau ada orang lain. “Cemara aja, Pak,” jawabku. Jalan Cemara memang selalu jadi rute favorit; jalanannya, meski lebih jauh jaraknya, tapi tidak banyak lubang. Selain itu, jalan ini juga biasa aku lalui jika pulang bersama Dia. Aku kemudian menyalakan ponselku untuk memeriksa notifikasi. Namun, hasilnya nihil. Ke mana sih, Dia? Baru saja mulai gusar, ponselku mati kehabisan daya. Aku kemudian menyandarkan kepala yang terasa berat ini dan memejamkan mata sejenak. Rasa kesal kini muncul. Wajar saja. Hal yang paling menyebalkan dalam memimpikan seseorang adalah bangun dan mendapati bahwa pada kenyataannya, dia tidak ada di dekatmu. “Enggak apa, Mas. Kalau mau tidur, monggo… nanti saya bangunkan kalau sudah dekat,” kata pengemudi itu. Dia ternyata memperhatikanku. “Iya, gampang, Pak. Sudah enggak ngantuk,” jawabku seadanya.
Pengemudi itu kemudian berbasa-basi, merundungku dengan berbagai pertanyaan kecil; dari lembur, jarak rumah yang jauh dengan kantor, hingga pekerjaanku. Saking banyaknya pertanyaan yang ditanyakan, lamakelamaan aku jadi menyadari 100% kehadirannya, sekaligus perawakannya. Pria paruh baya berbadan hampir tegap dengan wajah yang terlihat lelah, namun masih dihiasi senyum. Tatapannya tegas, namun menyentuhku dengan lembut dan bijak. Aneh. Rasanya, aku familier dengan sepasang mata itu. Kemudian mataku tertuju pada sebuah foto yang sudah memudar dan agak kekuningan, melekat di dasbor. Di foto itu ada seorang gadis kecil dan wanita. Aku yang merasa tidak enak pada pengemudi itu, akhirnya balik bertanya soal foto itu. “Anak sama istri itu, Pak, di foto?” “Iya, Mas,” jawabnya, dengan senyuman seperti biasa. “Kok, Bapak sendiri enggak ada?” tanyaku lagi, penasaran. “Saya yang foto soalnya,” katanya. Jawaban itu membuatku tersenyum.
“Kok, enggak pajang yang lengkap, yang ada Bapak juga?” kataku. “Saya belum pantas, Mas, berjajar sama dua malaikat itu,” jawabnya dengan rendah hati. Aku melihatnya menatap foto itu dengan senyum simpul. Wow… Basa-basi yang kulontarkan rupanya dibalas dengan jawaban yang serius, namun begitu menarik. “Kenapa begitu, Pak?” tanyaku. Dia melirik, menatapku dari pantulan kaca spion dalam mobil. Matanya seolah mengatakan bahwa jawabannya akan mengubah malamku yang kacau. ---
“Saya bukan orang suci, bijak pun enggak. Masih banyak yang perlu diperbaiki,” jawabnya. Aku juga, Pak. Aku juga. “Ya, saya pajang foto mereka berdua saja, supaya saya ingat alasan untuk apa dan kenapa saya hidup. Sekaligus supaya tidak lewat batas, hidup untuk diri sendiri,” tambahnya. Aku terdiam lantaran kagum. Terlepas dari benar atau tidaknya isi hati pria ini, ungkapan yang baru saja dia ucapkan begitu bijak dan mulia. Ingin rasanya, bisa berpikir dan bertindak seperti itu untuk orang yang begitu kucintai. “Hebat, Bapak,” pujiku. Tanpa sadar, aku mengucapkannya dengan senyum. Barangkali, ini adalah senyum paling tulus yang tersungging di bibirku dalam beberapa hari terakhir. Pengemudiberjiwa-pujangga itu pun hanya membalas senyuman. “Mas, sudah punya pasangan?” tanyanya. “Sudah, Pak,” jawabku, kembali lesu. “Dari tebakan saya, lagi berantem, nih… Mas-nya lesu banget jawabnya,” kata pengemudi itu dengan canda. Aku pun hanya membalas gurauannya dengan senyum kecut.
Setelah mendengar ucapan bijak bapak ini, entah kenapa ada rasa bersalah di hati yang membuatku tidak tenang. Kenapa situasinya kali ini runyam sekali? Apakah aku harus meredam ego-ku lagi? "Jaga baik-baik, Mas, apa yang Mas punya. Kalau memang untuk Mas, Dia belahan jiwa Mas yang begitu berharga, jangan pernah biarkan ego yang menang,� tambahnya. Ucapannya seolah menjawab risau hatiku. Rasanya seperti berdialog dengan diri sendiri. Kenapa dia tahu isi hatiku? Aku yang masih sedikit kaget dan terbelalak mendengar ucapannya, segera mengembalikan pikiran ini ke jalur awal. Melihat ke luar jendela, suasana di pinggir jalan terlihat lebih hidup. Angkringan sudah mulai diramaikan oleh para anggota komunitas motor, juga pedagang kaki lima yang terlihat kewalahan menangani pesanan banyak orang. ---
Aku rindu Dia, dengan senyumanNya yang selalu membuat kedua pipi kemerahan itu semakin besar. Dia kira, itu ketidaksempurnaan. Untukku, senyum dan tiap lekuk wajah itu adalah tujuan. Aku rindu membelai rambutNya yang halus dan tebal. Aku rindu bersentuhan kaki denganNya, sambil berpelukan menyambut datangnya pagi. Aku rindu wangiNya yang begitu lembut, seperti susu hangat di pagi hari. Aku rindu semua itu. ---
“Beruntung ya, jadi istri Bapak. Punya suami yang sesayang itu sama dia. Beliau seperti apa sih, Pak?” tanyaku penasaran, seolah percakapan dengan petapa bijaksana itu belum usai. “Ooo… saya lah yang beruntung. Dia itu luar biasa,” jawabnya bangga. Senyum lebar pun tersungging di bibirnya. “Dia itu rela berkorban demi saya dan anak. Berkorban waktu, tenaga, bahkan uang. Kayak waktu kita muda, dia rela jauh dari rumah dan keluarganya sendiri untuk bantu saya rawat almarhum kakek saya yang sakit, sampai wafat. Datang sendiri, padahal saat itu keuangan dia juga lagi tidak stabil. Belum lagi untuk dengar keluh kesah saya dari malam sampai subuh, atau pinjamkan uang waktu saya lagi susah…” kenang pengemudi ini dengan antusias. “Dia itu cantik juga, waktu muda banyak penggemarnya. Kayak selebgram, deh, kalau sekarang. Tapi waktu sudah sama saya, dia enggak pernah genit sama cowok lain. Jangankan genit, komunikasi saja jarang. Hanya seperlunya saja,” tambahnya dengan senyuman yang khas. Dia kemudian bercerita banyak akan kesetiaan belahan jiwanya itu. Begitu banyak kejadian dan situasi yang memungkinkan wanita itu untuk berpaling,
namun tetap memilih setia dengan pria yang saat ini mengantarku pulang; bahkan di saat pria tersebut yang bermain api. Mendengar sedikit kisah akan wanita ini saja, aku sudah teringat akan Dia. “Saya itu pengangguran, lho, Mas, waktu menikah sama dia,” katanya. “Tapi, karena cinta dan yakin, bukan masalah buat dia. Tetap jadi nikah. Alhamdulillah, sudah 20 tahun lebih pernikahan kita. Apapun kekurangan saya, kesalahan saya, dia selalu maafkan. Masih tetap yakin juga sama saya. Buat saya, itu bukan lagi apa itu istilahnya, bucin?” tanyanya. “Hahaha, iya, Pak. Budak cinta,” jawabku, menjelaskan. “Iya, itu istilah anak sekarang, ya…” ujar dia sambil tertawa. Tanpa memberiku kesempatan untuk juga tertawa, dia kembali melanjutkan, “Selalu memaafkan dan yakin sama pasangan itu berarti menerima kerapuhan dan ketidaksempurnaan diri sendiri dan pasangan, juga percaya bahwa cinta akan selalu menemukan jalan.” Lagi-lagi, aku hanya bisa terdiam. Entah karena cerita yang begitu menggerakkan hati, atau karena tersadar betapa miripnya Dia dengan istri dari bapak ini.
Pengorbanan, kesetiaan, memaafkan… “Pak, beliau sifatnya mirip sekali sama pasangan saya. Pasangan saya juga cantik, Pak. Lucu wajahNya,” ujarku bercerita tanpa sadar. Dan aku juga begitu mencintainya. “Kalau begitu, Dia terlalu berharga untuk dikalahkan sama masalah apa pun, Mas. Termasuk sama ego diri sendiri,” tuturnya, sambil menatapku dengan lembut. “Iya, betul, Pak. Rasa sayang saya masih sering kalah sama ego saya sendiri. Padahal, pasangan saya itu, adalah orang paling rela berkorban kedua setelah ibu saya sendiri,” ujarku menimpali nasihatnya. “Saya itu paling tidak bisa sendiri, paling benci pula rasa tidak tenang seperti ini. Dia itu saya anggap rumah saya, tujuan saya.” Tanpa sadar, aku jadi curhat. “Kalau Mas tidak bisa sendiri, dan benci rasa tidak tenang, jangan biarkan Dia sendirian dan merasa tidak tenang. Tidak malam ini, tidak kapanpun,” jawabnya mantap. ---
Terangnya rembulan sudah menyelinap dari balik dedaunan di taman rumahku, pertanda bahwa malam sudah larut. Aku berdiri dan mengenakan celana jinku, mengambil kunci mobil, dan bersiap mengantarNya pulang. Sudah biasa Dia bertamu ke rumahku hingga larut malam. Sudah biasa juga, Dia menolak untuk kuantar pulang. Seperti malam itu. “Aku masih mau di sini, sama kamu,” kataNya manja. “Besok, kan, ketemu lagi,” tuturku menenangkan. “Aku merasa di rumah kalau lagi di sini, sama kamu. Maaf ya, bukan maksud manja,” ujar Dia. Malam itu kita berpisah dengan berat hati, dan kembali menyalahkan malam yang terlalu cepat datang. Sudah biasa. ---
Jam tangan menunjukkan pukul 00.17 WIB. Di luar, lampu jalanan terlihat terang. Sudah hampir sampai rumah. Suasana di sekitar begitu hangat; banyak muda-mudi yang berboncengan, ada juga yang berkumpul di kedai kopi, tertawa keras seolah sedang bernostalgia dan berbalas lawakan. “Pak, maaf, boleh pindah titik tujuannya?” tanyaku kepada pengemudi, yang sedari tadi membisu. “Lho, enggak jadi pulang ke rumah, Mas?” Pengemudi itu tampak kebingungan. Aku hanya tersenyum lebar.
Hari ini melelahkan. Tapi sekarang, aku pulang ke rumah.
---