KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
RINGKASAN EKSEKUTIF
Belanja dalam APBD dialokasikan untuk melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan kemampuan pendapatannya, serta didukung oleh pembiayaan yang sehat sehingga diharapkan mampu
mendorong
pertumbuhan
ekonomi
daerah,
pemerataan
pendapatan,
serta
pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan publik dalam jumlah yang mencukupi dan juga berkualitas. Dengan belanja yang berkualitas diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, sebagaimana selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan publik, selalu terjadi kendala penganggaran (budget constraint), yang tercermin dari banyaknya kebutuhan yang dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu, prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, secara nasional kiranya perlu dilakukan analisis tentang kesehatan keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam memotret kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan. Di sisi pendapatan, analisis kesehatan keuangan APBD dilakukan dengan melihat beberapa hal, yaitu: rasio pajak (tax ratio), ruang fiskal (fiscal space), serta rasio kemandirian daerah.
Rasio pajak mencerminkan hubungan pajak daerah dengan pendapatan domestic
regional bruto (PDRB) daerah. Secara kewilayahan, daerah-daerah di wilayah Jawa-Bali menunjukkan rasio pajak yang tertinggi, namun untuk perbandingan antar-pemerintah provinsi, Provinsi Maluku menduduki posisi tertinggi. Ada tiga kemungkinan penyebab tingginya rasio tersebut, yaitu tingginya penerimaan pajak daerah, rendahnya PDRB, atau gabungan keduanya.
Tingginya rasio pajak di Jawa-Bali disebabkan oleh faktor pertama yang mana
potensi pajak daerah (yang memang bias kekotaan) di Jawa-Bali memang lebih besar, sedangkan untuk Pemerintah Maluku, faktor kedua membuat nilai rasio pajaknya tinggi. Ruang Fiskal merupakan rasio yang menggambarkan besarnya pendapatan yang masih bebas digunakan oleh daerah untuk mendanai program/kegiatan sesuai kebutuhannya. Penghitungan Ruang Fiskal diperoleh dengan mengurangkan seluruh pendapatan dengan pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) dan belanja wajib seperti belanja pegawai dan bunga. Hasil analisis menunjukkan bahwa ruang fiskal tertinggi baik untuk total pemda perprovinsi, kabupaten/kota perprovinsi, pemerintah provinsi, maupun per wilayah DJPK – KEMENKEU RI
iii
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 adalah di wilayah Kalimantan, utamanya di Kalimantan Timur. Posisi terendah untuk kabupaten/kota adalah daerah-daerah di provinsi Jawa Tengah, sementara untuk pemerintah provinsi yang terendah adalah Aceh, serta untuk per wilayah adalah wilayah Sulawesi. Tinggi rendah angka tersebut dapat disebabkan oleh 4 (empat) faktor, yaitu: tinggi-rendahnya pendapatan umum, tinggi-rendahnya pendapatan yang bersifat terikat, tinggi-rendahnya belanja wajib, serta gabungan beberapa faktor di atas. Rasio kemandirian daerah dicerminkan oleh rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap total pendapatan, serta rasio transfer terhadap total pendapatan. Dua rasio tersebut memiliki sifat berlawanan, yaitu semakin tinggi rasio PAD semakin tinggi kemandirian daerah dan sebaliknya untuk rasio transfer. Untuk rasio PAD, Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi secara nasional, Provinsi Bali untuk kabupaten/kota per provinsi, Jawa Timur untuk per pemerintah provinsi dan Jawa-Bali untuk kewilayahan.
Sementara itu, yang terendah secara nasional,
kabupaten/kota per provinsi, serta per pemerintah provinsi adalah adalah Provinsi Papua Barat, sedangkan untuk per wilayah adalah Nusa Tenggara-Maluku-Papua.
Posisi tertinggi dan
terendah rasio transfer umumnya berkebalikan dengan posisi provinsi yang bersangkutan pada rasio PAD. Artinya, provinsi yang tertinggi untuk rasio PAD merupakan rasio terendah untuk rasio transfer dan demikian pula sebaliknya. Di sisi belanja daerah, analisis meliputi rasio belanja pegawai terhadap total belanja, rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja, rasio belanja modal per total belanja, rasio belanja per jumlah penduduk, serta rasio belanja modal per jumlah penduduk. Semua rasio tersebut menunjukkan kecenderungan pola belanja daerah, apakah suatu daerah cenderung mengalokasikan dananya untuk belanja yang terkait erat dengan upaya peningkatan ekonomi, seperti belanja modal, atau untuk belanja yang sifatnya untuk pendanaan aparatur, seperti belanja pegawai tidak langsung. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk belanja pegawai, Provinsi DIY memiliki rasio tertinggi untuk total pemda per provinsi dan kabupaten/kota per provinsi. Sementara itu, rasio belanja pegawai terendah untuk seluruh pemda per provinsi dan pemerintah provinsi adalah Provinsi Papua Barat, sedangkan untuk daerah kabupaten/kota per provinsi yang terendah adalah Kalimantan Timur. Hal yang hampir serupa terjadi untuk rasio belanja pegawai tidak langsung. Hal ini wajar, karena secara rata-rata porsi belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja pegawai total relatif hampir seragam di seluruh daerah. Sebagaimana patut diduga, kondisi berkebalikan terjadi untuk rasio belanja modal. DIY memiliki rasio terendah untuk rasio belanja modal, sedangkan Kalimantan Timur merupakan yang tertinggi. Untuk rasio belanja per kapita, Papua Barat dan Jawa Barat merupakan yang memiliki rasio tertinggi dan terendah dalam agregat per provinsi. Sementara berdasarkan pembagian wilayah, rasio di Kalimantan merupakan yang tertinggi, dan Jawa-Bali (tidak termasuk DKI) adalah yang terendah. DJPK – KEMENKEU RI
iv
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
Analisis APBD juga meliputi analisis atas defisit/surplus dan pembiayaan yang meliputi analisis defisit/surplus, Selisih Lebih atas Perhitungan Anggaran (SiLPA), penerimaan pembiayaan melalui pinjaman, serta rasio keseimbangan primer. Dari analisis di sisi bellow the line ini ternyata terdapat beberapa hal yang perlu dicermati. Salah satunya adalah adanya beberapa daerah yang menganggarkan defisit namun anggaran pembiayaannya tidak mencukupi untuk menutup defisit tersebut. Paling tidak terdapat 20 kabupaten/kota yang mengalami kejadian ini. Hal ini menunjukkan tidak sehatnya APBD mereka, karena dengan demikian belanja menjadi tidak jelas sumber pendanaannya. Sebaliknya, kondisi yang berlawanan juga terjadi dimana terdapat beberapa daerah yang menganggarkan surplus penerimaan (yang berarti terjadi selisih positif antara defisit/surplus dengan netto pembiayaan). Hal ini menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memang mentargetkan SiLPA mereka. Terlepas dari apapun tujuan target SiLPA, namun hal ini tidak layak dilakukan dalam pola pengelolaan keuangan yang sehat, karena akan menimbulkan tidak efisiennya penggunaan budget untuk membiayai peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta mendorong munculnya dana yang off budget. Di samping itu, hal ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh ketidakmampuan SDM pengelola keuangan daerah dalam melakukan perencanaan anggaran.
DJPK – KEMENKEU RI
v
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
KATA PENGANTAR
Penyelenggaraan pemerintahan, baik oleh Pusat maupun Daerah mempunyai fungsi untuk mendorong dan memfasilitasi Pembangunan guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang memadai bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan fungsi dan peran sebagai motivator dan fasilitator pembangunan tersebut, pemerintah telah mengambil suatu pilihan kebijakan untuk lebih mengedepankan peran pemerintah daerah sebagai penggerak pembangunan. Melalui kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, diharapkan agar pemerintahan di level yang paling dekat dengan masyarakat mampu menyerap aspirasi dan partisipasi masyarakat lokal sehingga arah pembangunan akan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat setempat. Guna mendukung peran dan fungsi pemerintah daerah dalam pembangunan, Pemerintah telah dan akan terus mendukung pendanaan melalui mekanisme transfer ataupun pola pendanaan lainnya. Dukungan pendanaan tersebut telah dibuktikan dengan besarnya dana APBN yang disalurkan ke daerah, baik melalui skema desentralisasi maupun skema lainnya, seperti dekonsentrasi, tugas pembantuan, subsidi, maupun bantuan langsung ke masyarakat. Dana yang besar yang telah dan akan digulirkan melalui skema desentralisasi serta dana yang memang bersumber dari daerah sendiri (seperti pajak daerah dan retribusi daerah), selanjutnya
dikelola
sepenuhnya
oleh
pemerintah
daerah
dalam
APBD
dan
pertanggungjawabannya sepenuhnya berada di daerah. Pada dasarnya tidak ada lagi mekanisme pertanggungjawaban APBD kepada Pemerintah Pusat, namun hanya berupa penyampaian data APBD kepada Pusat untuk keperluan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD). Dari data yang disampaikan melalui SIKD inilah kemudian disusun informasi dan analisis atas APBD seluruh Indonesia. Analisis APBD yang kami sampaikan dengan mempergunakan rasio-rasio dari komponen APBD ini diharapkan akan dapat berguna untuk memberikan gambaran yang menyeluruh namun ringkas mengenai situasi dan kondisi keuangan daerah saat ini. Potret APBD yang informatif dan akurat selanjutnya dapat digunakan oleh pihak yang berkepentingan, baik di pusat maupun di daerah, sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
DJPK – KEMENKEU RI
vi
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
Kami mengharapkan agar buku ”Deskripsi dan Analisis APBD Tahun 2011” ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Besar harapan kami, agar buku ini dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam pengambilan kebijakan sehingga tujuan dan citacita otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dapat terwujud. Jakarta,
Juni 2011
DirekturJenderal Perimbangan Keuangan,
Dr. Marwanto Harjowiryono, MA
DJPK – KEMENKEU RI
vii
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL ...................................................................................................................... ii RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................................ iiii KATA PENGANTAR .................................................................................................................. vii DAFTAR ISI ............................................................................................................................. viii DAFTAR TABEL......................................................................................................................... xi DAFTAR GRAFIK...................................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................. 1 A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1 B. Gambaran Umum APBD 2011 .................................................................................. 2 1. Pendapatan Daerah ........................................................................................... 5 2. Belanja Daerah .................................................................................................. 7 3. Surplus, Defisit dan Pembiayaan Daerah........................................................... 8 BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH .............................................................................. 9 A. Rasio Pajak (Tax Ratio) ............................................................................................ 9 1. Nasional........................................................................................................... 10 2. Kabupaten/Kota ............................................................................................... 11 3. Pemerintah Provinsi ......................................................................................... 12 4. Per Wilayah ..................................................................................................... 13 B. Ruang Fiskal (Fiscal Space) .................................................................................. 13 1. Definisi .............................................................................................................. 13 2. Nasional ............................................................................................................ 14 3. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 15 4. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 16 5. Per Wilayah ....................................................................................................... 17 C. Rasio Kemandirian Daerah .................................................................................... 18 1. Pendahuluan ..................................................................................................... 18 2. Nasional ............................................................................................................ 18 3. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 19 4. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 20 5. Per Wilayah ....................................................................................................... 20 DJPK – KEMENKEU RI
viii
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH ..................................................................................... 23 A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah ......................................... 23 1. Nasional ............................................................................................................ 23 2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 24 3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 25 4. Per Wilayah ....................................................................................................... 25 B. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah ............... 26 1. Nasional........................................................................................................... 26 2. Kabupaten/Kota ............................................................................................... 27 3. Pemerintah Provinsi ......................................................................................... 28 4. Per Wilayah ..................................................................................................... 28 C. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah .............................................. 29 1. Nasional........................................................................................................... 29 2. Kabupaten/Kota ............................................................................................... 30 3. Pemerintah Provinsi ......................................................................................... 31 4. Per Wilayah ..................................................................................................... 31 D. Rasio Belanja Daerah terhadap Jumlah Penduduk ................................................. 32 1. Nasional ............................................................................................................ 32 2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 33 3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 34 4. Per Wilayah ....................................................................................................... 35 E. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk ................................................... 35 1. Nasional ............................................................................................................ 35 2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 36 3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 37 4. Per Wilayah ....................................................................................................... 38 BAB IV ANALISIS DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH ...................................................... 39 A. Defisit ...................................................................................................................... 39 1. Nasional ............................................................................................................ 39 2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 40 3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 41 4. Per Wilayah ....................................................................................................... 41 5. Daerah dengan defisit yang belum ter cover oleh pembiayaan.......................... 43 B. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran .......................................................................... 44 1. Nasional ............................................................................................................ 44 DJPK – KEMENKEU RI
ix
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 45 3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 45 4. Per Wilayah ....................................................................................................... 46 C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman ............................................ 46 1. Nasional ............................................................................................................ 46 2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 47 3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 47 4. Per Wilayah ....................................................................................................... 48 5. Daerah yang melampaui batas maksimal defisit yang dibiayai pinjaman ........... 49 6. Daerah yang menganggarkan pinjaman dengan APBD surplus ........................ 50 D. Rasio Keseimbangan Primer................................................................................... 51 1. Nasional ............................................................................................................ 52 2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 53 3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 54 4. Per Wilayah ....................................................................................................... 54 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 56 UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................................................ 57
DJPK – KEMENKEU RI
x
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DAFTAR TABEL Hal Tabel 1.1
Pembiayaan Daerah (Juta Rupiah) ........................................................................ 3
Tabel 2.1
Provinsi yang memiliki Rasio Pajak diatas rata-rata Nasional (%) ....................... 11
Tabel 2.2
Provinsi yang memiliki Ruang Fiskal diatas rata-rata Nasional (%) ...................... 15
Tabel 4.1
Daerah dengan APBD minus ............................................................................... 43
Tabel 4.2
Daerah dengan % Pinjaman diatas ketentuan yag ditetapkan di PMK ................. 49
Tabel 4.3
Daerah yang menganggarkan pinjaman dengan APBD Surplus .......................... 51
DJPK – KEMENKEU RI
xi
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DAFTAR GRAFIK Hal Grafik 1.1
Komposisi Pendapatan Daerah .............................................................................. 2
Grafik 1.2
Komposisi Belanja Daerah ..................................................................................... 2
Grafik 1.3
Trend APBD (dalam juta rupiah) ............................................................................ 3
Grafik 1.4
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2007 – 2011(%) .................................... 4
Grafik 1.5
Trend Belanja Daerah ............................................................................................ 5
Grafik 1.6
Rasio Pendapatan Daerah per Wilayah ................................................................. 6
Grafik 1.7
Rasio Belanja Daerah per Wilayah ......................................................................... 7
Grafik 1.8
Pembiayaan per Wilayah ....................................................................................... 8
Grafik 2.1
Rasio Pajak Nasional ........................................................................................... 10
Grafik 2.2
Rasio Pajak Kabupaten/Kota ............................................................................... 12
Grafik 2.3
Rasio Pajak Pemerintah Provinsi ......................................................................... 12
Grafik 2.4
Rasio Pajak per Wilayah ...................................................................................... 13
Grafik 2.5
Ruang Fiskal Nasional ......................................................................................... 14
Grafik 2.6
Ruang Fiskal Kabupaten/Kota .............................................................................. 15
Grafik 2.7
Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi ....................................................................... 16
Grafik 2.8
Ruang Fiskal per Wilayah .................................................................................... 17
Grafik 2.9
Rasio Kemandirian Nasional ................................................................................ 18
Grafik 2.10 Rasio Kemandirian Kabupaten/Kota..................................................................... 19 Grafik 2.11 Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi .............................................................. 19 Grafik 2.12 Rasio Kemandirian per Wilayah ........................................................................... 20 Grafik 3.1
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Nasional......................... 21
Grafik 3.2
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Kabupaten/Kota ............. 24
Grafik 3.3
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Pemerintah Provinsi ....... 24
Grafik 3.4
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah per Wilayah .................... 25
Grafik 3.5
Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah Nasional27
Grafik 3.6
Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah Kabupaten/Kota ................................................................................................... 27
Grafik 3.7
Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah Pemerintah Provinsi ............................................................................................. 28
Grafik 3.8
Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah per Wilayah .......................................................................................................... 29
DJPK – KEMENKEU RI
xii
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 3.9
Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Nasional ..................................... 30
Grafik 3.10 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota .......................... 30 Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi.................... 31 Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah per Wilayah ................................ 32 Grafik 3.13 Rasio Belanja Daerah per Kapita Nasional........................................................... 33 Grafik 3.14 Rasio Belanja Daerah per Kapita Kabupaten/Kota ............................................... 34 Grafik 3.15 Rasio Belanja Daerah per Kapita Pemerintah Provinsi ........................................ 34 Grafik 3.16 Rasio Belanja Daerah per Kapita per Wilayah ...................................................... 35 Grafik 3.17 Rasio Belanja Modal per Kapita Nasional ............................................................ 36 Grafik 3.18 Rasio Belanja Modal per Kapita Kabupaten/Kota ................................................. 37 Grafik 3.19 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi ........................................... 37 Grafik 3.20 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah........................................................ 38 Grafik 4.1
Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan Nasional .......................................... 39
Grafik 4.2
Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan Kab/Kota ........................................ 40
Grafik 4.3
Kab/Kota berdasarkan Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan (%) .............. 40
Grafik 4.4
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Provinsi ............................................ 41
Grafik 4.5
Rasio Defisit/Pendapatan per wilayah .................................................................. 42
Grafik 4.6
Penyebaran Rasio Defisit/Pendapatan per wilayah ............................................. 42
Grafik 4.7
Rasio SiLPA terhadap Belanja Nasional .............................................................. 44
Grafik 4.8
Rasio SiLPA terhadap Belanja Kabupaten/Kota ................................................... 45
Grafik 4.9
Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Provinsi ............................................. 45
Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah.......................................................... 46 Grafik 4.11 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Nasional .................................................. 46 Grafik 4.12 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Kabupaten/Kota ....................................... 47 Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi ................................ 48 Grafik 4.14 Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah .............................................................. 48 Grafik 4.15 Penyebaran Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah ......................................... 49 Grafik 4.16 Rasio Primary Balance Nasional .......................................................................... 52 Grafik 4.17 Rasio Primary Balance Kabupaten/Kota .............................................................. 53 Grafik 4.18 Rasio Primary Balance Pemerintah Provinsi ........................................................ 54 Grafik 4.19 Rasio Primary Balance per wilayah ...................................................................... 54
DJPK – KEMENKEU RI
xiii
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam rangka mewujudkan pelayanan publik kepada masyarakat maka seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia setiap tahunnya harus merencanakan, menyusun dan melaksanakan seluruh kegiatan dan pendanaan yang sudah terangkum dalam rencana keuangan tahunan berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD yang disahkan dan diundangkan dengan Peraturan Daerah sebelumnya harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). APBD menunjukkan alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan dan sumbersumber pendapatan, serta pembiayaan yang digunakan untuk mendanainya. Program/kegiatan dimaksud dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pendapatan, serta pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan publik dalam jumlah yang mencukupi dan juga berkualitas. Dengan belanja yang berkualitas diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, sebagaimana selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan publik, selalu terjadi kendala penganggaran (budget constraint), yang mana banyaknya kebutuhan selalu dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu, prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, secara nasional kiranya perlu dilakukan analisis tentang kesehatan keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam memotret kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan. Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang analisis rasio keuangan APBD 2011. Berdasarkan rasio keuangan APBD tersebut maka dapat disimpulkan tentang kualitas dan tingkat kesehatan APBD. Analisis ini didasarkan pada data sekunder berupa data ringkasan APBD 2011 sebanyak 524 daerah. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan yang dilakukan secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten dan kota dan berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara-Maluku-Papua). DJPK – KEMENKEU RI
1
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 B.
Gambaran Umum APBD 2011 Berdasarkan data APBD yang telah dikumpulkan oleh Direktorat EPIKD yang terdiri dari
33 Provinsi 398 Kabupaten dan 93 Kota, maka bisa kita lakukan analisis untuk mengetahui kondisi keuangan daerah yang tercermin dari beberapa komponen dalam APBD Tahun Anggaran 2011. Data yang dianalisis menggunakan data APBD yang telah dikonsolidasikan untuk menghilangkan penghitungan ganda atas beberapa reciprocal account. Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah
13,0%
19,0% PAD Dana Perimbangan
68,0%
Lain-lain pend yang sah
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Komposisi Pendapatan Daerah pada APBD TA 2011 secara nasional dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian utama yaitu PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang sah. Grafik 1.1, menunjukkan dana perimbangan merupakan komposisi yang paling mendominasi yaitu sebesar 68,0% atau Rp327,361 triliun dalam komposisi pendapatan daerah, sedangkan PAD hanya sebesar 19,0% atau sebesar Rp90,393 triliun dan Lain-lain Pendapatan yang sah sebesar 13,0% atau sebesar Rp61,343 triliun. Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah
45%
20%
Belanja Pegawai Belanja Barang dan jasa
13%
22%
Belanja Modal Lain-lain
Sumber: APBD 2011 (Diolah) DJPK – KEMENKEU RI
2
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
Belanja daerah secara nasional pada TA 2011 mencapai Rp514,467 triliun. Belanja pegawai porsinya masih dominan yaitu mencapai 45,0% atau sebesar Rp229,077 triliun. Belanja Modal mencapai Rp113,622 triliun atau sebesar 22,0%. Belanja Barang dan Jasa mencapai Rp104,193 triliun atau 20,0%. Tabel 1.1 Pembiayaan Daerah (Juta Rupiah)
Pembiayaan
36.090.622
Penerimaan Pembiayaan
44.497.235
Pengeluaran Pembiayaan
8.406.574
Defisit pada APBD secara nasional yang mencapai Rp35,369 triliun. Total pembiayaan daerah secara nasional mencapai Rp36,090 triliun dengan penerimaan pembiayaan (SiLPA, Pinjaman dll) mencapai Rp44,497 triliun serta pengeluaran pembiayaan dianggarkan sebesar Rp8,406 triliun. Trend APBD (2007 – 2011) Berdasarkan data Realisasi APBD tahun 2007 – 2009 dan APBD 2010 hingga 2011 yang telah dikonsolidasikan maka diperoleh gambaran sebagai berikut: Grafik 1.3 Trend APBD 500,000
Miliar Rupiah
400,000 300,000 200,000 100,000
-100,000 Pendapatan
2007 310,173
2008 363,211
2009 379,862
2010 386,338
2011 459,857
Belanja
304,034
353,739
390,077
426,857
495,226
Surplus/Defisit
6,138
9,472
-10,215
-40,519
-35,369
Pembiayaan
55,152
59,184
63,883
40,818
36,119
Sumber: Realisasi APBD 2007 – 2009 dan APBD 2010 - 2011 (Diolah)
DJPK – KEMENKEU RI
3
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Dari grafik tersebut di atas dapat kita ketahui secara nasional bahwa setiap tahun sejak 2007 hingga 2011 terjadi peningkatan pendapatan daerah rata-rata sebesar 11,4% dan yang tertinggi peningkatannya adalah pada tahun 2011 sebesar 18%, dimana pendapatan daerah pada tahun 2011 sebesar Rp459,856 triliun dan pada tahun 2010 hanya sebesar Rp386,338 triliun. Secara nasional trend belanja daerah mengalami rata-rata peningkatan dari tahun 2007 hingga 2011 sebesar 11,8%. Pada tahun 2011 belanja daerah dianggarkan sebesar Rp495,225 triliun atau meningkat 17% dari tahun 2010 yang hanya dianggarkan sebesar Rp426,857 triliun. Trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif, tapi sejak tahun 2009 terus mengalami penurunan. Rata-rata defisit yang dianggarkan dari tahun 2007 hingga 2009 hanya sebesar -0,4%. Defisit daerah secara nasional yang tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar sebesar Rp40,519 triliun atau 3,6%. Sedangkan pada tahun 2011 defisit daerah secara nasional adalah sebesar Rp35,369 triliun atau sebesar 1,1%. Pembiayaan daerah netto juga menunjukkan trend yang fluktuatif selaras dengan trend defisit daerah. Walau rata-rata trend pembiayaan daerah netto dari tahun 2007 hingga 2011 sebesar 0,2%, dan cenderung mengalami penurunan cukup besar pada tahun 2010 dan 2011. Pembiayaan daerah netto pada tahun 2011 sebesar Rp36,118 triliun bila dibandingkan dengan tahun 2010 yang menganggarkan pembiayaan netto sebesar Rp40,818 triliun. Grafik 1.4 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2007 – 2011
80 70 60 %
50 40 30 20 10 0 PAD
2007 16.82
2008 17.83
2009 17.79
2010 18.6
2011 19.66
DAPER
78.62
76.02
74.4
75.65
71.18
Lain2 Pend yg Sah
4.57
6.16
7.82
5.75
9.16
Sumber: Realisasi APBD 2007 – 2009 dan APBD 2010 - 2011 (Diolah)
DJPK – KEMENKEU RI
4
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Secara
nasional
ketergantungan
seluruh
pemerintah
daerah
terhadap
dana
perimbangan masih tinggi. Hal ini terlihat pada porsi PAD walaupun mengalami peningkatan setiap tahunnya tetapi pada tahun 2011 anggarannya hanya sebesar 19,66%. Sedangkan trend dana perimbangan setiap tahun mengalami penurunan hingga mencapai 71,18% pada tahun 2011. Trend kontribusi lain-lain pendapatan yang sah sangat fluktuatif, tetapi pada tahun 2011 menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebesar 9,16%.
%
Grafik 1.5 Trend Belanja Daerah TA 2007 – 2011
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
B_Pegawai
2007 39.91
2008 41.98
2009 43.11
2010 46.52
2011 46.25
B_Barang&Jasa
18.9
18.82
19.32
19.21
21.04
B_Modal
29.98
27.67
26.28
22.53
22.92
B_Lain-lain
11.2
11.53
11.28
11.74
9.78
Sumber: Realisasi APBD 2007 – 2009 dan APBD 2010 - 2011 (Diolah)
Bila dicermati komposisi belanja daerah secara nasional dari tahun 2007 hingga 2011 maka dapat diketahui bahwa porsi belanja pegawai tetap dominan bila dibandingkan dengan jenis belanja yang lainnya. Belanja Pegawai mengalami peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2010 yaitu sebesar 46,5% tetapi pada tahun 2011 turun sedikit menjadi 46,2%. Besarnya belanja barang dan jasa juga meningkat menjadi 21,0% pada tahun 2011. Sedangkan porsi belanja modal terus mengalami penurunan, yang cukup tajam terjadi pada tahun 2010 hanya sebesar 22,5%, tetapi pada tahun 2011 porsinya menjadi 22,1%. Sedangkan belanja lainnya cenderung turun hingga hanya dianggarkan sebesar 9,78% pada tahun 2011. 1.
Pendapatan Daerah Komposisi APBD Tahun Anggaran 2011 pada kabupaten, kota, dan provinsi secara
aggregat menunjukkan fakta sebagai berikut:
DJPK – KEMENKEU RI
5
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 1.6 Rasio Pendapatan Daerah Per Wilayah
100
%
80 60 40 20 00
PAD /Tot 6.310
Daper/Tot 76.870
Transf/ Tot 92.370
Sulawesi
12.470
80.210
86.710
Sumatera
14.350
75.330
83.980
Kalimantan
14.680
80.860
83.620
Jawa Bali
32.940
59.240
65.610
NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Terlihat dari grafik tersebut beberapa rasio yang terkait dengan pendapatan daerah. Rasio PAD dibandingkan total pendapatan daerah yang tertinggi adalah di wilayah Jawa dan Bali yaitu sebesar 32,9% sedangkan yang terendah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, Papua yang hanya sebesar 6,3%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah Jawa dan Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Fakta tersebut diperkuat juga dengan rendahnya rasio dana perimbangan dan transfer ke daerah dibandingkan total pendapatan. Berdasarkan dua rasio tersebut Jawa dan Bali hanya memiliki ketergantungan terhadap dana perimbangan dan transfer ke daerah masing-masing sebesar 59,2% dan 65,6%. Wilayah yang memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap dana perimbangan adalah di wilayah Kalimantan dimana rasio dana perimbangan terhadap total pendapatannya mencapai 80,9% persen. Sedangkan untuk rasio transfer ke daerah terhadap total pendapatan maka wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua menjadi wilayah yang tertinggi hingga mencapai 92,3%. Besarnya rasio tersebut ditengarai berasal dari adanya pengalokasian dana otonomi khusus dan dana penyesuaian yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan wilayah lainnya.
DJPK – KEMENKEU RI
6
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 2.
Belanja Daerah
21.12
21.47
32.28
26.62
18.06 21.07
20.0
22.02
18.25
30.0
24.18
37.52
40.0
22.24
%
50.0
38.39
45.53
50.6
60.0
52.51
Grafik 1.7 Rasio Belanja Daerah Per Wilayah
10.0 0.0 BP/Total Jawa Bali
Sulawesi
BM/Tot Sumatera
NT Maluku Papua
BBJ/Tot Kalimantan
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Bila dilihat besaran belanja daerah yang dianggarkan pada APBD TA 2011 antar wilayah maka dapat diketahui bahwa belanja pegawai tetap merupakan porsi terbesar yang harus dibelanjakan oleh daerah, selanjutnya baru diikuti oleh belanja modal serta belanja barang dan jasa. Belanja pegawai di wilayah Sulawesi mencapai 52,5% sedangkan wilayah Kalimantan belanja pegawainya hanya sekitar 37,5%. Fakta tersebut juga didukung oleh rasio pegawai terhadap jumlah total penduduk yang mencapai 1,38% di wilayah Sulawesi. Tetapi rasio pegawai di wilayah Kalimantan (1,26%) bukanlah yang terendah karena rasio pegawai per total penduduk di wilayah Jawa hanya mencapai 0,6%. Bisa diartikan bahwa jumlah pegawai di wilayah Jawa sangat rendah karena total penduduk di wilayah tersebut sangat banyak sehingga rasio belanja pegawai terhadap total belanja juga besar yaitu sekitar 50,6%. Ironisnya berbagai pengeluaran kegiatan yang terangkum dalam akun belanja modal di wilayah Jawa sangat kecil yaitu hanya sekitar 18,3%. Hal ini bisa berarti bahwa di satu sisi kebutuhan infrastruktur di Jawa dan Bali relatif rendah sehingga setiap daerah di wilayah tersebut tidak perlu menganggarkan terlalu banyak belanja modal atau memang karena APBD di semua daerah di Jawa dan Bali sudah terlalu berat untuk memberikan pelayanan publik yang tercermin dari besarnya jumlah pegawai dan rasio belanja pegawai per total belanjanya. DJPK – KEMENKEU RI
7
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Wilayah Kalimantan menunjukkan geliat pembangunan infrastruktur yang paling signifikan tercermin dari rasio belanja modalnya yang mencapai sekitar 32,3% dan belanja barang dan jasanya juga relatif tinggi yaitu sekitar 21,1%. 3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah Grafik 1.8 Pembiayaan Per Wilayah Sulawesi Jawa Bali Sumatera NT Maluku Papua Kalimantan -15.00
-10.00
-5.00
.00
5.00
10.00
15.00
Kalimantan -12.190
NT Maluku Papua -3.430
Sumatera -7.350
Jawa Bali -8.280
Sulawesi -3.420
SiLPA /Bel
12.400
4.800
8.360
8.570
3.780
Pinj /pend
1.00
.260
.500
.340
1.630
Defisit/Pend
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Besarnya defisit APBD TA 2011 yang paling tinggi terjadi di wilayah Kalimantan yang mencapai -12,2%. Sedangkan untuk menutup defisit tersebut seluruh daerah di wilayah Kalimantan mengandalkan SiLPA yang bisa langsung digunakan untuk mendanai kebutuhan belanja yang belum tersedia dananya, rasio SiLPA terhadap total belanja daerah adalah sebesar 12,4%. Tetapi untuk mengantisipasi tidak tercapainya pendapatan daerah yang dianggarkan maka seluruh daerah di wilayah Kalimantan berencana mengajukan pinjaman yang rasionya mencapai 1,0% dari total pendapatan. Wilayah Sulawesi menganggarkan defisit sebesar -3,4% dengan rasio SiLPA sebesar 3,8%. Rasio pinjaman terhadap total pendapatan Sulawesi sebesar 1,6% menunjukkan adanya kecenderungan bahwa dalam melakukan proyeksi pendapatan daerah-daerah di Sulawesi tidak terlalu yakin akan tingkat ketercapaian pendapatan yang berasal dari PAD maupun dana transfer ke daerah. Besarnya ketergantungan atas dana transfer ke daerah serta risiko fiskal yang harus ditanggung oleh APBN menyebabkan seluruh daerah sebaiknya juga harus mulai melakukan perhitungan risiko fiskal yang harus ditanggung. Porsi belanja pegawai yang tinggi menyebabkan berkurangnya alternatif efisiensi belanja daerah. Sehingga daerah harus mulai lebih inovatif dan kreatif untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan ekstensifikasi DJPK – KEMENKEU RI
8
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 dan intensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah agar alternatif pendanaan untuk menutup defisit tidak semata tergantung pada SiLPA dan pinjaman daerah.
DJPK – KEMENKEU RI
9
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH
A.
Rasio Pajak (Tax Ratio) Perbandingan pajak terhadap pendapatan suatu perekonomian (economy), selanjutnya
dalam analisis ini disebut rasio pajak (tax ratio), merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dengan pendapatan suatu perekonomian. Dalam konteks keuangan negara, rasio pajak merupakan perbandingan antara pajak suatu negara dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), sedangkan di tingkat daerah rasio pajak merupakan rasio antara pajak daerah wilayah perekonomian daerah tersebut dengan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Angka rasio pajak suatu daerah dipengaruhi oleh PDRB. PDRB dapat dilihat dari tiga sisi: produksi, pengeluaran, serta pendapatan. Di sisi produksi, PDRB mengindikasikan kegiatan ekonomi suatu daerah yang secara umum dapat digambarkan melalui kemampuan daerah tersebut menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan bagi kebutuhan hidup masyarakat pada periode tertentu. Dari sisi pengeluaran, PDRB menggambarkan keseluruhan pengeluaran yang dilakukan oleh sektor-sektor ekonomi yang ada di suatu wilayah pada periode tertentu yaitu sektor rumah tangga (berupa konsumsi rumah tangga), sektor swasta (pembentukan barang modal/investasi), sektor pemerintah (konsumsi pemerintah di luar pembayaran non jasa /transfer non payment), serta sektor luar negeri (ekspor dan impor). Sementara itu, di sisi pendapatan, PDRB menggambarkan jumlah pendapatan yang diterima penduduk wilayah tersebut pada suatu periode berupa gaji dan sejenisnya, sewa modal, bunga dan sejenisnya, serta laba yang dihasilkan oleh pengusaha. Dari sisi mana pun PDRB diukur akan dihasilkan angka yang sama (setelah dilakukan penyesuaian dan koreksi). Terkait dengan rasio pajak, PDRB menggambarkan jumlah pendapatan potensial yang dapat dikenai pajak. PDRB juga menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang jika berkembang dengan baik merupakan potensi yang baik bagi pengenaan pajak di wilayah tersebut. Oleh karena itu, mengetahui angka-angka rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia akan membantu kita dalam menganalisis secara sederhana hubungan antara pajak daerah wilayah tersebut dengan PDRB-nya, mengetahui jenis-jenis pajak apa saja yang potensial serta sektor ekonomi yang terkait, dan menilai kondisi suatu daerah dengan membandingkannya dengan daerah lain.
DJPK – KEMENKEU RI
10
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 2.1 menunjukkan rasio pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota pada 33
Provinsi seluruh Indonesia. Dari grafik dapat dilihat bahwa Provinsi yang mempunyai rasio pajak tertinggi adalah provinsi Bali yaitu sebesar 8,8%. Tingginya rasio pajak ini karena pajak daerah Provinsi Bali sangat tinggi. Pajak daerah ini terutama berasal dari pajak yang disumbangkan oleh sektor industri pariwisata. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Papua Barat, yaitu sebesar 1,2%. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa pajak daerah Provinsi Papua Barat sangat rendah. Grafik 2.1 Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 8.8
10.00 9.00 8.00
6.00 5.00 4.00 3.00 2.00
1.2 1.4 1.5 1.9 2.1 2.2 2.3 2.3 2.4 2.4 2.5 2.5 2.5 2.6 2.6 2.7 2.8 2.9 2.9 3.1 3.3 3.3 3.3 3.5 3.6 3.8 3.9 4.1 4.4 4.4 4.6 5.2
%
7.00
2.9
1.00 .00 Bali Maluku Goronta‌ Kalsel Bengkulu DIY Sulsel Banten NTB DKI Sumut Jambi Babel Sulut Malut Kalteng Sumbar Lampung Jatim Sumsel Kepri Jabar Kalbar Sultra Jateng Aceh NTT Kaltim Sulbar Sulteng Riau Papua Papbar Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Terkait dengan perekonomian daerah, daerah yang memiliki rasio pajak yang tinggi akan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang dicerminkan oleh berkembangnya sektor-sektor produksi penyumbang pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut telah berperan secara optimal dalam memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pajak daerah. Selain itu, peran pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan yang menunjang tercapainya peningkatan pajak daerah juga sangat menentukan. Sebagai contoh adalah Provinsi Bali. Selain mempunyai potensi pajak daerah yang sangat tinggi dari sektor pariwisata, provinsi ini juga didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah daerah untuk memaksimalkan potensi tersebut.
Kondisi berbeda ditunjukkan oleh Provinsi
Papua Barat yang merupakan provinsi hasil pemekaran Provinsi Papua. Potensi Sumber Daya Alam yang melimpah, seperti pemandangan alam yang sangat indah yang dapat dikembangkan pada sektor pariwisata (contoh: pemandangan bawah laut di Raja Ampat), air bawah tanah, dan bahan galian golongan C yang dapat menjadi sumber penerimaan pajak daerah belum bisa DJPK – KEMENKEU RI
11
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 dioptimalkan untuk menunjang pendapatan pajak Daerah. Kekayaan alam lain seperti hasil hutan, hasil tambang selain bahan galian golongan C dan minyak bumi merupakan sumber pendapatan nasional yang selanjutnya dikembalikan ke provinsi tersebut berupa pendapatan bagi hasil yang tidak dimasukkan dalam analisis ini. Dari data rasio pajak 33 provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak (daerah) secara nasional adalah sebesar 3,1%, serta terdapat 13 provinsi yang memiliki rasio pajak diatas rata-rata nasional yaitu: Tabel 2.1 Provinsi yang memiliki Rasio Pajak diatas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota (%)
No
2.
Nama Daerah
Rasio
No
Nama Daerah
Rasio
1
Provinsi Bali
8,8
8
Provinsi Banten
3,8
2
Provinsi Maluku
5,2
9
Provinsi Nusa Tenggara Barat
3,6
3
Provinsi Gorontalo
4,6
10
Provinsi DKI Jakarta
3,5
4
Provinsi Bengkulu
4,4
11
Provinsi Sumatera Utara
3,3
5
Provinsi DI Yogyakarta
4,1
12
Provinsi Jambi
3,3
6
Provinsi Kalimantan Selatan
3,9
13
Provinsi Bangka Belitung
3,3
7
Provinsi Sulawesi Selatan
3,9
Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Grafik 2.2 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk
masing-masing wilayah provinsi.
Rasio pajak pemkab dan pemkot se-Provinsi Bali
menunjukkan angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 4,9%. Penyebab tingginya rasio tersebut adalah tingginya pajak daerah pemkab dan pemkot se-provinsi tersebut yang berasal dari sektor pariwisata. Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,3%. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan pajak daerah. Potensi penerimaan pajak yang tinggi di Riau adalah dari sektor pertambangan yang merupakan sumber penerimaan Negara yang selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) yang dalam rasio ini tidak dihitung.
DJPK – KEMENKEU RI
12
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 2.2 Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *) 4.9
6.00 5.00
%
4.00
2.00 1.00
0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.7 0.8 0.8 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9 1.2 1.2 1.2 1.4
3.00
0.6
.00 Bali Kepri Maluku DIY Banten Gorontalo NTB Sumut Malut Sulsel Jatim Sulut Jabar Sultra Bengkulu Babel Kalbar Kalsel Jambi NTT Jateng Aceh Sumbar Papua Sulteng Kalteng Sumsel Lampung Kaltim Sulbar Papbar Riau Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
3.
Pemerintah Provinsi Sebagaimana terlihat pada Grafik 2.3, untuk seluruh pemerintah provinsi, rasio pajak
tertinggi dicapai oleh Pemerintah Provinsi Maluku, yaitu sebesar 4%. Tingginya angka tersebut disebabkan angka pembaginya, yaitu PDRB-nya rendah. Sementara itu, rasio pajak terendah dari ke-33 pemprov di Indonesia adalah Pemerintah Provinsi Papua (0,9%). Rendahnya rasio tersebut disebabkan karena penerimaan pajak daerah yang sangat rendah. Grafik 2.3 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi 3.5 3.7 3.8 3.8 3.9 4.0
4.500
3.500 %
3.00 2.500 2.00 1.500 1.00
0.9 0.9 1.2 1.2 1.5 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.9 1.9 2.1 2.2 2.3 2.3 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.7 2.7 2.9 3.0
4.00
2.3
.500 .00 Maluku Bali Kalsel Bengkulu Goront‌ DKI Sulsel DIY Jambi NTB Babel Banten Kalteng Sumut Sulut Lampung Sumbar Sumsel Malut Kalbar Kaltim Jateng Jabar Aceh Sultra Jatim NTT Sulbar Sulteng Riau Kepri Papbar Papua Sumber: APBD 2011 (Diolah) DJPK – KEMENKEU RI
13
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 4.
Per Wilayah
Grafik 2.4 Rasio Pajak per Wilayah*) 4.00
3.4
3.500
%
3.00
2.7 2.3
2.500
3.2
2.6
3.1
2.00 1.500 1.00 .500 .00 Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumatera
Jawa Bali
Sulawesi
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Grafik 2.4 menunjukkan bahwa berdasarkan pada pembagian 5 wilayah yang terdiri atas Nusa Tenggara-Maluku-Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa-Bali, rasio pajak untuk wilayah Jawa-Bali merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya. Bali yang menempati peringkat pertama berdasarkan agregat pemerintah kabupaten dan kota seprovinsi, setelah digabungkan dengan seluruh daerah di Pulau Jawa tetap berada pada peringkat 1 berdasarkan pembagian wilayah ini. B.
Tax perkapita Tax perkapita adalah perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan
suatu daerah dengan jumlah penduduknya. Tax perkapita menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada Pendapatan suatu daerah (PAD). 1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Tax perkapita secara aggregate yang dapat dilihat pada Grafik 2.5 menunjukkan bahwa
Prov. DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki tax perkapita tertinggi, yaitu sebesar Rp5.201.223 yang berarti setiap penduduk yang ada di Prov. DKI Jakarta memiliki kontribusi sebesar Rp5.201.223 dalam membentuk penerimaan daerah berupa Pajak Daerah. Pada grafik ini juga dapat dilihat ketimpangan tax perkapita yg sangat signifikan antara Prov. DKI Jakarta dengan provinsi yang lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kegiatan perekonomian di DKI Jakarta sangat besar sehingga menimbulkan basis pajak yang sangat besar. Provinsi lain
DJPK – KEMENKEU RI
14
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 yang memiliki tax perkapita tertinggi adalah Prov. Kalimantan Timur sebesar Rp1.058.038 dan Prov. Bali sebesar Rp632.155. Grafik 2.5 Rasio Tax perkapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Timur Maluku Utara Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Papua Gorontalo Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Maluku Papua Barat Lampung Kalimantan Barat Aceh Jawa Barat Jambi Bengkulu Sulawesi Utara Sumatera Selatan Sumatera Barat Jawa Timur DI Yogyakarta Kalimantan Tengah Sulawesi Selatan Riau Banten Bangka Belitung Sumatera Utara Kalimantan Selatan Kepulauan Riau Bali Kalimantan Timur DKI Jakarta
-
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Tax perkapita pada kabupaten kota yang ada di setiap Provinsi, dapat dilihat pada
Grafik 2.6. Pada grafik tersebut Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan, dapat dilihat bahwa ketimpangan tax perkapita pada daerah kabupaten dan kota dalam setiap provinsi juga terjadi tetapi tidak sebesar ketimpangan yang terjadi pada daerah agregat provinsi, kabupaten dan kota. Tiga daerah yang memiliki tax perkapita yang tertinggi adalah Bali (Rp348.952), Kepulauan Riau (Rp335.478) dan Kalimantan Timur (Rp180.515). Daerah Kabupaten kota memiliki tax perkapita yang rendah hal ini dapat disebabkan oleh karena basis pajak dan potensi pajak yang rendah diwilayah kabupaten kota.
DJPK – KEMENKEU RI
15
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 2.6 Rasio Tax perkapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-Provinsi *)
Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Timur Sulawesi Barat Lampung Maluku Utara Gorontalo Bengkulu Jawa Tengah Jambi Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tenggara Maluku Sumatera Selatan Kalimantan Tengah Papua Barat Aceh Kalimantan Barat Sumatera Barat Papua Kalimantan Selatan Riau Jawa Barat Sulawesi Utara Bangka Belitung Sulawesi Selatan Jawa Timur DI Yogyakarta Sumatera Utara Banten Kalimantan Timur Kepulauan Riau Bali
400,000 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 -
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
3.
Pemerintah Provinsi Tax perkapita pada seluruh pemerintah provinsi dapat dilihat bahwa Pemprov. DKI
Jakarta merupakan daerah yang memiliki tax perkapita terbesar dengan jumlah sama dengan tax perkapita pada aggregat provinsi, kabupaten dan kota. Sedangkan sebaran berdasarkan pemerintah provinsi terdapat perbedaan dimana 3 Provinsi terbesar yaitu DKI Jakarta (Rp5.201.223), Kalimantan Timur (Rp877.523) dan Kalimantan Selatan (Rp331.597) Grafik 2.7 Rasio Tax perkapita Pemerintah Provinsi 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Timur Maluku Utara Sulawesi Barat Papua Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Barat Papua Barat Jawa Tengah Gorontalo Maluku Lampung Kalimantan Barat Jawa Barat Aceh Sulawesi Utara Jambi Jawa Timur Bengkulu DI Yogyakarta Sumatera Selatan Sumatera Barat Banten Sulawesi Selatan Kalimantan Tengah Riau Sumatera Utara Bangka Belitung Kepulauan Riau Bali Kalimantan Selatan Kalimantan Timur DKI Jakarta
-
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
DJPK – KEMENKEU RI
16
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 4.
Per Wilayah Tax perkapita per wilayah dibagi menjadi 5 wilayah yang terdiri atas Nusa Tenggara-
Maluku-Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa-Bali. Dapat dilihat pada grafik dibawah ini ketimpangan tax perkapita terlihat lebih rendah. Secara wilayah tax perkapita terbesar ada di wilayah Jawa Bali, hal ini dapat disebabkan oleh karena tingkat perekonomian di wilayah tersebut lebih besar dibandingkan daerah yang lainnya. Grafik 2.8 Rasio Tax perkapita Per Wilayah*) 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 Nusa Tenggara, Maluku, Papua
Sulawesi
Sumatera
Kalimantan
Jawa Bali
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
C.
Ruang Fiskal (Fiscal Space) Mengacu kepada laporan Fiscal Policy for Growth and Development (World Bank, 2006)
dinyatakan bahwa ruang fiskal (fiscal space) tersedia, jika pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya tanpa mengancam solvabilitas fiskal (fiscal solvency). Stephen S. Heller (IMF Policy Discussion Paper, 2005) mengemukakan bahwa ruang fiskal dapat didefinisikan sebagai ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi keuangan pemerintah. Ruang fiskal diperoleh dari pendapatan umum setelah dikurang pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) serta belanja yang sifatnya mengikat seperti belanja pegawai dan belanja bunga. Ruang fiskal bisa juga muncul dari peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan penurunan kewajiban pembayaran utang. Selain itu, efektivitas penggunaan anggaran di suatu daerah juga menunjang terciptanya ruang fiskal yang cukup memberi ruang dalam pembangunan suatu daerah. Dalam hal ini, perencanaan dan penganggaran yang dituangkan dalam APBD suatu daerah memegang peranan sangat penting. Pemerintah daerah diharapkan memiliki terobosan untuk memanfaatkan ruang fiskal yang ada guna memacu pertumbuhan ekonomi.
DJPK – KEMENKEU RI
17
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Stimulus berupa kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif sangatlah diharapkan. Sektor riil seperti perdagangan dan perkembangan usaha kecil dan menengah yang selama ini masih belum optimal, harus diberi dukungan kebijakan dari pemerintah. Terkait dengan iklim investasi di suatu daerah, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah kelompok kebijakan pemerintah yang memengaruhi biaya seperti pajak, beban regulasi dan pungli, korupsi, infrastruktur, biaya operasi, dan investasi perusahaan, dan yang kedua, kelompok yang mempengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas makroekonomi, prediktibilitas kebijakan, hak properti, kepastian kontrak, dan hak untuk mentransfer keuntungan. 1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 2.9 Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
80.00 70.00
%
60.00 50.00 40.00
38.1 40.6 41.1 43.4 46.5 48.2 48.6 49.1 49.6 49.8 50.4 50.4 50.7 51.7 52.0 52.0 52.6 53.7 54.9 56.4 56.6 58.0 59.7 59.8 60.7 62.6 62.8 64.6 65.0 67.8 73.0 74.7 76.7
90.00
55.2
30.00 20.00 10.00
Bali DIY Jateng Sumbar NTB Lampung Jatim Sulsel Jabar Sulut Sulteng Gorontalo Bengkulu NTT Sultra Sumut Kalsel Jambi Sulbar Maluku Banten Kalbar Kalteng Babel Aceh Sumsel Malut Riau DKI Kepri Kaltim Papua Papbar
.00
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Ruang fiskal per provinsi menunjukkan persentase ruang fiskal seluruh pemda pada suatu provinsi. Caranya adalah dengan mengurangi pendapatan dengan pendapatan hibah dan belanja wajib yang berasal dari akumulasi APBD 2011 seluruh pemda di suatu provinsi dan dibagi dengan total pendapatannya. Dari perhitungan tersebut, sebagaimana digambarkan pada Grafik 2.9, terlihat besaran 33 ruang fiskal per Provinsi tahun 2011. Dari keseluruhan provinsi yang ada di Indonesia, Provinsi Papua Barat mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 76,7%. Hal ini dapat disebabkan oleh besarnya penerimaan Provinsi Papua Barat yang terutama diperoleh dari dana transfer. Oleh karena itu, Provinsi Papua Barat mempunyai DJPK – KEMENKEU RI
18
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 ruang yang cukup luas dalam memenuhi kebutuhan daerahnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Sebaliknya, Provinsi Bali merupakan daerah yang memiliki ruang fiskal terendah yaitu sebesar 38,1%. Dengan demikian, Provinsi Bali harus pandai memilih belanja yang tepat dalam memanfaatkan ruang fiskal yang ada untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari keseluruhan ruang fiskal provinsi di seluruh Indonesia, rata-rata nasionalnya adalah sebesar 55,2%. Terdapat 14 provinsi yang berada diatas rata-rata nasional dengan rincian sebagai berikut: Tabel 2.2 Provinsi yang memiliki Ruang Fiskal diatas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota (%)
2.
Provinsi Papua Barat
76.70
Provinsi Sumatera Selatan
62.59
Provinsi Papua
74.72
Provinsi Aceh
60.67
Provinsi Kalimantan Timur
72.97
Provinsi Bangka Belitung
59.76
Provinsi Kepulauan Riau
67.75
Provinsi Kalimantan Tengah
59.65
Provinsi DKI Jakarta
65.03
Provinsi Kalimantan Barat
58.01
Provinsi Riau
64.62
Provinsi Banten
56.55
Provinsi Maluku Utara
62.76
Provinsi Maluku
56.36
Pemerintah Kabupaten/ Kota Se-Provinsi
80.00 70.00 60.00
%
50.00 40.00
34.3 35.2 38.0 39.5 42.3 42.9 45.3 45.5 46.3 46.9 46.9 47.0 47.5 47.6 47.9 48.1 48.6 49.3 50.5 51.0 51.0 54.1 55.9 56.1 56.1 58.4 60.6 60.9 62.4 67.8 70.8 70.9
Grafik 2.10 Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
50.1
30.00 20.00 10.00
Bali DIY Jateng Sumbar NTB Jatim Lampung Aceh Sulsel Jabar Gorontalo Sumut Sulteng Sulut Bengkulu Sulbar Kalsel Sultra NTT Jambi Banten Maluku Babel Kalbar Kalteng Sumsel Riau Malut Kepri Papbar Papua Kaltim
.00
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK – KEMENKEU RI
19
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Ruang fiskal seluruh pemkab dan pemkot pada suatu provinsi dapat digambarkan pada grafik 2.10. Dari hasil analisis ini, ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di Provinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar 70,9%. Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh pendapatan yang tidak dibatasi penggunaanya yang didominasi oleh sektor pertambangan dan migas serta sektor kehutanan. Ada pun ruang fiskal terendah terdapat pada kabupaten dan kota yang berada di Provinsi Bali, yaitu sebesar 34,3%. Rendahnya angka ini disebabkan tingginya pendapatan yang bersifat earmarked serta belanja wajib, khususnya belanja pegawai. 3.
Pemerintah Provinsi Ruang lingkup analisis ini adalah ruang fiskal pada masing-masing Pemrov.
Sebagaimana berdasarkan aggregate provinsi, kabupaten dan kota , Pemprov. Papua Barat juga memiliki ruang fiskal yang tertinggi yaitu sebesar 93,7% hal ini dapat disebabkan dana transfer yang besar yang dialokasikan oleh pemerintah pusat, sedangkan Pemprov. NTT mempunyai ruang fiskal yang terendah yaitu sebesar 64,4%. Hal ini dapat disebabkan karena pendapatan daerah yang rendah, disisi lain pendapatan DAU sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai. Gambaran selengkapnya tentang ruang fiskal masing-masing Pemerintah provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Grafik 2.11.
100.00 90.00 80.00 70.00
64.4 64.9 65.0 65.2 66.6 68.0 68.4 68.9 69.0 70.0 70.9 71.5 72.4 72.8 74.2 75.9 76.4 78.1 78.9 79.5 79.9 80.4 80.7 82.7 84.5 84.6 85.0 87.1 87.8 87.9 88.0 88.6 93.7
Grafik 2.11 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi
77.5
%
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 NTT Bali DKI Bengkulu Sulut Gorontalo DIY Maluku Sultra Sulteng NTB Sumbar Lampung Jambi Malut Kalbar Kalsel Sulsel Babel Jabar Jateng Kalteng Sulbar Riau Sumsel Jatim Sumut Aceh Kaltim Kepri Banten Papua Papbar
.00
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
DJPK – KEMENKEU RI
20
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 4.
Per Wilayah Untuk menghitung ruang fiskal berdasarkan pada pembagian 5 wilayah, maka wilayah
Indonesia dibagi menjadi 5 yang terdiri atas Nusa Tenggara-Maluku-Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, serta Jawa-Bali. Selanjutnya, seluruh pendapatan dikurangi pendapatan hibah yang sudah ditentukan penggunaannya serta belanja wajib dari APBD seluruh pemda suatu wilayah dan kemudian dibagi total pendapatan dimaksud. Dari penghitungan tersebut, secara berurutan dari ruang fiskal yang paling besar adalah Nusa Tenggara-Maluku- Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, serta Jawa-Bali sebagaimana ditunjukkan oleh Grafik 2.12. Besarnya ruang fiskal pada wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua, yaitu sebesar 65,0%, disebabkan oleh pendapatan transfer yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua mempunyai ruang fiskal yang cukup melakukan belanja pemerintah (government spending) untuk pembangunan di daerahnya. Kebutuhan dasar daerah untuk belanja pegawai/gaji PNSD telah terpenuhi dan masih tersisa cukup memadai untuk mendanai pembangunan di daerah. Ruang Fiskal yang tinggi sangat menunjang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula dengan semakin meningkatnya percepatan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Sementara itu, wilayah yang memiliki ruang fiskal terendah adalah Jawa Bali yaitu sebesar 49,5%. Hal ini disebabkan oleh sumber pendapatan dari dana tranfer pusat relatif kecil dibandingkan dengan 4 wilayah yang lainnya. Grafik 2.12 Ruang Fiskal Per Wilayah*) 70.00
64.0 56.6
60.00
%
50.00
65.0
49.5
50.5
Jawa Bali
Sulawesi
55.9
40.00 30.00 20.00 10.00 .00 Sumatera
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
DJPK – KEMENKEU RI
21
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 D.
Rasio Kemandirian Daerah Rasio kemandirian ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan serta rasio
transfer ke daerah (termasuk di dalamnya dana perimbangan) terhadap total pendapatan. Dua rasio yang mewakili tersebut, meskipun menunjukkan kemandirian daerah, namun memiliki makna yang berbeda atas angka-angkanya. Rasio PAD terhadap totalnya memiliki makna yang berkebalikan dengan rasio transfer terhadap total pendapatan. Semakin besar angka rasio PAD maka kemandirian daerah semakin besar. Sebaliknya, makin besar angka rasio transfer, maka akan semakin kecil tingkat kemandirian daerah dalam mendanai belanja daerah. Oleh karena itu, daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang baik adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio transfer yang rendah. 1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Ruang lingkup analisis ini adalah rasio kemandirian daerah seluruh pemda di suatu
provinsi. Penghitungannya dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada satu provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan untuk wilayah yang sama. Hal yang sama juga berlaku untuk rasio transfer. Dari perhitungan tersebut diperoleh potret rasio PAD dan Transfer terhadap pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan per provinsi sebagaimana yang ditunjukkan pada Grafik 2.13. Dari grafik tersebut juga terlihat bahwa DKI Jakarta memiliki rasio PAD yang paling tinggi, yaitu sebesar 61,4%, sekaligus rasio transfer terendah yaitu sebesar 36,3%. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat memiliki rasio PAD terendah serta rasio transfer tertinggi yang masing-masing menunjukkan angka 3,5% dan 95,8%. Hal ini menunjukkan bahwa, DKI Jaya memiliki kemandirian daerah yang paling baik dibandingkan provinsi-provinsi yang lain, dan sebaliknya, Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat kemandirian yang paling rendah.
Tingginya tingkat kemandirian di Provinsi DKI tersebut
disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah, sedangkan rendahnya tingkat kemandirian di Provinsi Papua Barat disebabkan oleh rendahnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut. Tingkat kemandirian daerah seluruh provinsi di Indonesia ditunjukkan oleh Grafik 2.13 berikut ini.
DJPK – KEMENKEU RI
22
100.00
80.00
40.00
20.00
Sulbar Papbar Kepri Gorontalo Babel Banten Malut Papua Maluku NTT NTB Bali Sultra Sulsel Sulteng Sulut Kaltim Kalsel Kalteng Kalbar Jatim DIY Jateng Jabar Lampung Bengkulu Sumsel Jambi Riau Sumbar Sumut Aceh
DJPK – KEMENKEU RI
PAD /Pend Transf/ Pend
Transf/ Pend Series3
Series3 86.3 91.8 79.0 94.6 95.1
PAD /Pend
85.6 93.6 91.0 95.5 91.4
36.3 26.6 20.2 24.3 27.7 11.3 11.0 18.2 16.0 9.9 8.4 17.6 11.6 35.7 15.5 8.0 6.5 3.5 7.7 32.4 14.6 8.7 18.9 2.7 6.3
40.00
69.9
63.5
2.
90.3 84.6 88.3 88.2 91.3 89.0 89.5 88.5 78.3 82.5 78.3 79.3 89.4 91.7 82.7 83.0 92.3 93.1 85.6 89.3
20.00 21.3 15.2 13.8 11.5 13.8 10.9 12.3
84.1 90.8 79.6 95.8 93.4
91.8 89.8 95.8 91.5
81.7
73.1 78.8 75.0 71.8 86.9 87.8 77.0 83.5 89.3 91.2 81.8 86.4
65.0
59.6
61.4
91.0 77.3 83.1 85.4 87.8 84.3 84.9 84.0
80.00
7.9
100.00
5.6 9.2 6.8 7.0 5.0 5.4 4.0 3.7 12.8 9.9 14.2 13.4 4.8 4.6 6.1 6.3 4.4 4.5 7.8 6.7 26.1 8.2 5.3 3.6 2.8 7.0 16.5 7.9 5.9 14.9 2.6 3.5
Sulbar Papbar Kepri Gorontalo Babel Banten Malut Papua Maluku NTT NTB Bali Sultra Sulsel Sulteng Sulut Kaltim Kalsel Kalteng Kalbar Jatim DIY Jateng Jabar DKI Lampung Bengkulu Sumsel Jambi Riau Sumbar Sumut Aceh
%
%
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
Grafik 2.13 Rasio Kemandirian Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
120.00
79.0
60.00
19.6
.00
Series4
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Grafik 2.14 Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
120.00
85.0
60.00
.00
Series4
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
23
8.6
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Pada Grafik 2.14 nampak bahwa rasio kemandirian tertinggi terdapat pada seluruh pemkab dan pemkot di Provinsi Bali yaitu sebesar 26,1 % sedangkan yang terendah adalah di pemkab dan pemkot di Provinsi Papua Barat sebesar 2,6%. Sedangkan rasio dana transfer terhadap total pendapatan tertinggi adalah pemkab dan pemkot di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 95,1% dan terendah di pemkab dan pemkot di Provinsi Bali yaitu 63,5%. 3.
Pemerintah Provinsi PAD tertinggi dicapai oleh Pemprov Jawa timur sebesar 76,9 % dan terendah dimiliki oleh
pemda provinsi papua barat 2,9%. Sebaliknya, transfer tertinggi terhadap total pendapatan adalah provinsi papua barat sebesar 97,5 % dan terendah adalah provinsi Jawa Timur sebesar 22,9%. Data tersebut ditunjukkan pada grafik 2.15.
74.0 39.4
62.1
50.1 49.0
2.9
15.9
19.3 28.7
71.1
71.0
10.00
28.8 32.8
29.2
57.6 60.0 56.8 42.2 39.0
49.3 50.3
5.7 11.1
20.00
41.4 41.0 58.9 35.9 55.9 27.9 71.8 62.0 38.0 34.5 65.5 58.3 32.9 44.4 54.9 28.5 71.5 20.1 74.0
30.00
22.9
40.00
11.3 24.6 28.4
%
50.00
24.9 28.8
60.00
45.0 35.1 62.8 40.8 59.2 45.5 54.1 36.8 60.6 50.2 45.7 61.4 34.2
70.00
54.7
80.00
75.0 71.2
90.00
76.9
88.6
100.00
80.7 71.3
Grafik 2.15 Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi
.00 Sulbar Papbar Kepri Gorontalo Babel Banten Malut Papua Maluku NTT NTB Bali Sultra Sulsel Sulteng Sulut Kaltim Kalsel Kalteng Kalbar Jatim DIY Jateng Jabar DKI Lampung Bengkulu Sumsel Jambi Riau Sumbar Sumut Aceh PAD /Pend
Transf/ Pend
Avg PAD/pend
Avg Transf/pend
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
4.
Per Wilayah Analisis rasio kemandirian daerah yang terbagi menjadi lima wilayah yaitu Sumatera,
Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Papua-Maluku-Nusatenggara.dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar kemandirian daerah pada lima kelompok wilayah yang berbeda. Berikut analisis terkait rasio kemandirian daerah untuk ke-5 wilayah dimaksud sebagaimana nampak pada Grafik 2.16.
DJPK – KEMENKEU RI
24
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 2.16 Rasio Kemandirian Per Wilayah*) 100.00 90.00
92.4 86.7
84.0
83.6
79.6
80.00 65.6
70.00 60.00 %
50.00 40.00
32.9
30.00 20.00
19.0 14.7
14.4
12.5
6.3
10.00 .00 Kalimantan
NT Maluku Papua PAD /Pend
Sumatera
Transf/ Pend
Jawa Bali
Sulawesi
Series3
Series4
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan Berdasarkan pembagian 5 wilayah, Ratio PAD terhadap total pendapatan wilayah JawaBali mempunyai rasio yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya yaitu sebesar 32,9%. Hal ini membuktikan bahwa ketergantungan daerah-daerah di wilayah Jawa-Bali terhadap Dana Perimbangan dan Dana Transfer lainnya relatif tidak terlalu tinggi. Daerahdaerah di Jawa-Bali relatif lebih mampu menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah untuk menutup belanjanya. Hal ini berbeda dengan wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua yang mana rationya sangat rendah yaitu sebesar 6,3%. Namun demikian, secara umum ke-5 wilayah tersebut masih memiliki rasio PAD terhadap total pendapatan di bawah 50% yang artinya masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pusat atau memiliki rasio kemandirian daerah yang rendah. Rasio Transfer terhadap Total Pendapatan Makna rasio transfer terhadap total pendapatan adalah sama dengan makna rasio dana perimbangan, yaitu bahwa semakin besar rasio transfer maka semakin rendah kemandirian daerah.
Sebaliknya, semakin rendah angkanya akan semakin tinggi tingkat kemandirian
daerah atau semakin rendah tingkat ketergantungan daerah terhadap dana pusat. Berdasarkan rasio ini, sebagaimana ditunjukkan Grafik 2.16, wilayah Jawa-Bali memiliki angka yang paling rendah yaitu 65,6%, sama dengan rasio dana perimbangan. Dengan demikian, berdasarkan kedua rasio tersebut, wilayah Jawa-Bali memiliki tingkat kemandirian yang paling tinggi atau tingkat ketergantungan dengan dana pusat yang paling rendah. DJPK – KEMENKEU RI
25
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
Perbedaan terjadi antara wilayah yang memiliki rasio dana perimbangan per total pendapatan dengan rasio transfer ke daerah per total pendapatan.
Rasio dana perimbangan tertinggi
terdapat di wilayah Sulawesi, sedangkan rasio transfer tertinggi adalah wilayah Nusa TenggaraMaluku-Papua (92,4%). Dalam hal ini, daerah yang memiliki rasio kemandirian daerah terendah adalah Nusa Tenggara-Maluku-Papua dan bukan Sulawesi.
Perbedaan utamanya adalah
komponen dana transfer dari pusat selain dana perimbangan yang diterima wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua lebih besar dibandingkan Sulawesi. Mengingat dana otonomi khusus yang diterima Papua dan Papua Barat relatif signifikan serta adanya dana penyesuaian lain yang juga diterima oleh seluruh pemda di wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua menunjukkan adanya kesenjangan infrastuktur di wilayah tersebut dengan wilayah-wilayah lain di negara ini.
DJPK – KEMENKEU RI
26
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH
A.
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Rasio ini memperlihatkan rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah. Semakin
tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai dan begitu sebaliknya semakin kecil angka rasio belanja pegawai maka semakin kecil pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai APBD. Belanja pegawai yang dihitung dalam rasio ini melipui belanja pegawai langsung dan belanja pegawai tidak langsung.
1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio belanja pegawai terhadap
total belanja daerah adalah 46,2%. Rasio belanja pegawai agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 13 provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 20 provinsi yang lain memiliki rasio belanja pegawai yang lebih diatas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Prov. Papua Barat, yaitu sebesar 26,8%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Prov. DI. Yogyakarta dengan rasio sebesar 61.0%. Selain itu, Grafik 3.1 menunjukkan bahwa terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai lebih dari 50,0%. Hal ini berarti bahwa pada daerah-daerah tersebut, belanja daerahnya masih didominasi oleh belanja pegawai. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBDnya untuk jenis-jenis belanja selain belanja pegawainya.. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar belanja
pegawai yang bisa didanai,
khususnya yang mendukung pertumbuhan ekonomi.
DJPK – KEMENKEU RI
27
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
70.00 60.00
%
50.00 40.00 30.00
26.8 29.8 30.1 34.9 35.0 38.1 39.7 41.5 41.8 41.8 43.5 44.7 45.7 46.2 46.4 48.0 48.7 48.9 49.4 50.2 50.4 52.0 52.2 52.7 52.7 52.9 53.8 54.3 54.4 54.6 54.6 58.9 61.0
Grafik 3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
46.2
20.00 10.00 .00 DIY Jateng Bali Sumbar NTB Sulsel Lampung Sulteng Sulut Gorontalo Bengkulu Jatim Sumut Jabar Sultra NTT Sulbar Jambi Kalsel Maluku Banten Kalbar Babel Aceh Kalteng Sumsel Malut Riau Kepri DKI Papua Kaltim Papbar Sumber: APBD 2011 (Diolah)
2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Grafik 3.2 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-
provinsi terhadap total belanjanya. Dari grafik tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja pegawai pemkab dan pemkot se-provinsi di atas 30,0%, dengan rata-rata sebesar 51,1%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi mengalokasikan lebih dari setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari angka ratarata tersebut, sebanyak 14 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih rendah dan 18 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih besar. Pemerintah kabupaten dan kota seProvinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar yaitu sebesar 66,9%, sedangkan yang memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah terkecil adalah pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Kalimantan Timur dengan rasio sebesar 31,9%.
DJPK – KEMENKEU RI
28
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 3.2 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
70.00 60.00
%
50.00 40.00
31.9 33.8 36.5 38.7 41.2 41.4 44.2 45.8 46.7 47.9 48.0 49.4 49.8 50.6 52.7 53.2 53.8 54.3 54.7 54.9 55.4 55.7 56.2 56.3 56.7 56.8 57.7 58.7 58.7 59.9 61.5 66.9
80.00
51.1
30.00 20.00 10.00 .00
DIY Jateng Bali NTB Aceh Sumbar Sulsel Lampung Jatim Gorontalo Sulteng Sumut Bengkulu Sulut Sulbar Jabar Sultra Banten Jambi NTT Kalsel Babel Maluku Kalbar Sumsel Kalteng Malut Riau Kepri Papbar Papua Kaltim Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
3.
Pemerintah Provinsi Rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di Indonesia memiliki persentase rata-rata
sebesar 24,7%. Sebanyak 13 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut dan sedangkan 20 provinsi lainnya di atas rata-rata. Grafik 3.3 memperlihatkan bahwa pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar adalah Pemprov Nusa Tenggara Timur dengan rasio sebesar 38,2%, sedangkan pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalah Pemprov Papua Barat yang sebesar 9,1%. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rasio belanja pegawai pemerintah provinsi relatif lebih rendah daripada rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota seprovinsi.
DJPK – KEMENKEU RI
29
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 13.7 14.8 14.9 15.9 17.4 18.7 19.3 20.8 21.5 21.9 22.4 22.9 25.0 25.9 26.3 26.5 27.1 27.2 28.6 29.4 29.8 29.8 29.8 30.7 33.5 33.8 34.9 34.9 35.7 36.7 37.6 38.2
45.00 40.00 35.00 30.00 %
25.00
15.00 10.00
24.7
9.1
20.00
5.00 .00 NTT Bengkulu Sulut Maluku Gorontalo DKI Sulteng DIY Sumbar Jambi Sultra NTB Lampung Malut Bali Sulbar Kalbar Kalsel Sulsel Kalteng Jateng Babel Jatim Riau Jabar Sumsel Kepri Sumut Papua Kaltim Aceh Banten Papbar Sumber: APBD 2011 (Diolah)
4.
Per Wilayah Grafik 3.4 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja
daerahnya. Terlihat bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 52,5% sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah dengan angka sebesar 37,5%. Selain wilayah Sulawesi, wilayah Jawa-Bali juga memiliki angka rasio di atas 50,0%, yaitu tepatnya 50,6%, sedangkan wilayah lainnya di bawah angka tersebut. Dengan demikian, Jawa-Bali dan Sulawesi mengalokasikan lebih dari setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai. Grafik 3.4 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*) 60.00 50.6 50.00
45.5 37.5
38.4
Kalimantan
NT Maluku Papua
45.8
%
40.00
52.5
30.00 20.00 10.00 .00 Sumatera
Jawa Bali
Sulawesi
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK – KEMENKEU RI
30
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 B.
Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja Daerah Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah mencerminkan
porsi belanja daerah terhadap pembayaran gaji pegawai PNSD. Semakin besar rasionya maka semakin besar belanja daerah yang dibelanjakan untuk membayar gaji pegawai daerah dan sebaliknya, semakin kecil angka rasionya maka semakin kecil belanja daerah yang dipergunakan untuk membayar gaji pegawai daerah. 1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Secara Agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata pengeluaran daerah untuk
membayar gaji pegawai daerah adalah 41,0%. Dari 33 provinsi di Indonesia yang memiliki angka rasio dibawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota ada 13 provinsi dan selebihnya angka rasionya melebihi angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Ini menandakan bahwa sebagian besar daerah di Indonesia anggaran belanja daerahnya banyak yang terkuras untuk membayar gaji pegawai daerah. Sama halnya dengan rasio belanja pegawai terhadap total belanja daerah, maka rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah yang terkecil juga terdapat pada Prov. Papua Barat dengan nilai sebesar 22,2%, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah terbesar adalah Prov. Jawa Tengah, yaitu sebesar 55,1%.
60.00 50.00
%
40.00 30.00
22.2 22.5 24.5 25.8 30.6 30.8 34.2 36.2 36.4 37.0 37.5 38.7 39.9 41.1 41.4 42.6 43.6 44.2 45.2 45.3 45.3 46.3 46.9 46.9 47.8 48.3 48.8 49.1 50.4 51.0 52.5 54.7 55.1
Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
41.0
20.00 10.00 .00 Jateng DIY Bali NTB Sumbar Lampung Sulsel Sulteng Sulut Gorontalo Jatim Bengkulu Sultra Sumut Jabar NTT Sulbar Jambi Maluku Kalsel Kalbar Banten Kalteng Sumsel Aceh Babel Malut Riau DKI Kepri Papua Kaltim Papbar Sumber: APBD 2011 (Diolah)
DJPK – KEMENKEU RI
31
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Rasio belanja pegawai tidak langsung pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi
terhadap belanja daerahnya memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung adalah 46,0% dari belanja daerah. Sebanyak 15 provinsi memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung yang lebih kecil dari rata-rata dan 17 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari rata-rata. Dari Grafik 3.6 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan kota di Prov. DI Yogyakarta memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung yang tertinggi yaitu 60,7%, sedangkan pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Kalimantan Timur memiliki rasio terendah dengan angka sebesar 24,2%. Grafik tersebut juga memperlihatkan sebanyak 25 provinsi memiliki rasio di atas 40,0%, dan sisanya sebanyak 7 provinsi di bawah angka tersebut. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian karena itu berarti mayoritas daerah membelanjakan lebih dari 40,0% untuk belanja pegawai tidak langsung dan sisanya baru dibagi oleh bermacam jenis belanja lainnya.
70.00 60.00 50.00 %
40.00 30.00
24.2 27.8 29.6 31.1 33.6 35.5 39.8 40.3 41.6 41.9 43.3 44.2 45.1 45.2 45.4 48.8 48.9 49.0 49.8 50.1 50.1 50.2 51.5 51.5 52.1 52.2 52.5 53.7 55.2 57.7 57.9 60.7
Grafik 3.6 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
46.0
20.00 10.00 .00 DIY Jateng Bali NTB Sumbar Lampung Aceh Jatim Sulteng Sulsel Gorontalo Sulbar Sumut Sulut Bengkulu Sultra Jabar NTT Banten Jambi Kalsel Maluku Kalbar Sumsel Kalteng Babel Malut Riau Papbar Kepri Papua Kaltim Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
3.
Pemerintah Provinsi Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap belanja daerah pemerintah provinsi
memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung adalah 20,2% belanja daerah. Berdasarkan angka rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung tersebut, sebanyak 15 provinsi memiliki rasio yang lebih kecil dari angka tersebut, dan 18 provinsi memiliki rasio yang lebih besar. Selanjutnya, Grafik 3.7 memperlihatkan bahwa Pemprov
DJPK – KEMENKEU RI
32
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Sulawesi Utara memiliki rasio tertinggi
sebesar 32,4%, sedangkan yang terendah, adalah
Pemprov Papua Barat, memiliki rasio sebesar 6,0%.
9.9 10.7 10.7 11.4 11.8 13.8 14.1 14.6 16.6 17.5 18.9 19.2 19.5 19.5 21.1 21.6 22.3 23.3 25.3 25.4 26.0 26.7 26.9 27.3 27.9 28.1 30.4 30.5 30.6 32.0 32.3 32.4
Grafik 3.7 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 35.00 30.00 25.00 %
20.00
10.00
6.0
15.00
20.2
5.00 .00 Sulut NTT Bengkulu DKI Maluku Gorontalo Sulteng DIY NTB Sultra Sumbar Bali Jambi Malut Lampung Kalbar Kalsel Sulsel Jateng Kalteng Babel Sulbar Jabar Riau Sumsel Jatim Sumut Papua Aceh Kepri Kaltim Banten Papbar Sumber: APBD 2011 (Diolah)
4.
Per Wilayah Grafik 3.8 memperlihatkan rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja
daerah per wilayah di Indonesia. Sebagaimana rasio belanja pegawai terhadap total belanja, wilayah Sulawesi masih memiliki rasio tertinggi (46,2%) diikuti oleh Jawa-Bali (43,6%), sedangkan wilayah yang memiliki rasio belanja tidak langsung terendah adalah Kalimantan (30,0%). Grafik 3.8 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *) 50.00 43.6
45.00 38.8
40.00 %
35.00
46.2
33.2 30.0
30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 .00 Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumatera
Jawa Bali
Sulawesi
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK – KEMENKEU RI
33
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 C.
Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah
yang dibelanjakan untuk belanja modal. Belanja Modal sendiri ditambah belanja barang dan jasa, merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin buruk pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. 1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 3.9 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat
provinsi, kabupaten dan kota. Persentase rasio seluruh provinsi masih di bawah 40,0% dan rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota sebesar 22,9%. Dari jumlah tersebut, sebanyak 19 provinsi masih memiliki rasio dibawah rata-rata, sedangkan 14 provinsi berada di atas ratarata. Selain itu, Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Prov. DI. Yogyakarta dengan angka sebesar 11,1% sedangkan rasio tertinggi terdapat pada Provinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar 38,0%. Kondisi di atas menunjukkan sebagian besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal dengan proporsi yang kecil, yaitu dibawah 24,0%. Itu berarti bahwa sebagian daerah masih belum memberikan perhatian yang cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonominya.
40.00 35.00 30.00 %
25.00 20.00 15.00
11.1 12.2 14.1 16.2 16.4 18.5 20.0 20.2 20.2 21.1 21.4 21.7 22.3 23.0 23.3 23.3 23.4 23.6 23.7 25.5 25.6 25.6 26.3 26.8 27.5 28.2 28.9 29.0 29.3 29.4 30.9 34.1 38.0
Grafik 3.9 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
22.9
10.00 5.00 .00 Kaltim Malut Riau Kalteng Papua Babel DKI Sumsel Jambi Kalsel Papbar Sultra Maluku Kalbar Sulut Gorontalo Sumut Sulbar Kepri Banten NTT NTB Bengkulu Sulteng Lampung Sulsel Sumbar Aceh Jatim Jabar Jateng Bali DIY Sumber: APBD 2011 (Diolah)
DJPK – KEMENKEU RI
34
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan oleh grafik 3.10
memperlihatkan bahwa secara rata-rata nasional rasio belanja modal terhadap belanja daerah adalah 22,5%. Sebanyak 16 provinsi memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-rata, sedangkan 16 provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap belanja pegawai yang lebih kecil dari rata-rata. Pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Kalimantan Timur memiliki rasio belanja modal yang terbesar yaitu sebesar 38,0%, sedangkan pemerintah kabupaten dan kota di Prov.DI Yogyakarta memiliki rasio terkecil yaitu 11,00%.
40.00 35.00 30.00 %
25.00 20.00 15.00
11.0 12.0 14.5 16.9 17.1 17.4 18.8 19.3 20.5 20.5 21.2 21.3 22.0 22.1 22.3 23.1 24.0 24.3 24.4 24.7 24.9 25.8 26.0 26.4 26.7 27.0 29.7 29.8 31.6 32.1 33.5 38.0
Grafik 3.10 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
22.5
10.00 5.00 .00 Kaltim Malut Papua Papbar Kalteng Riau Sumsel Jambi Maluku Kalsel Kalbar Gorontalo Kepri Sulut Sultra Babel NTT Banten Sulteng Sulbar Bengkulu Sumut NTB Sulsel Sumbar Lampung Jatim Jabar Aceh Jateng Bali DIY Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
3.
Pemerintah Provinsi Profil rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerahnya dapat
dilihat pada Grafik 3.11. Grafik tersebut memperlihatkan kisaran rasio antara 7,1% hingga 39.8% dengan rasio tertinggi terdapat di Pemprov. Aceh dan terendah di Pemprov. Jawa Tengah. Rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah adalah 20,7% dengan 19 pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal lebih kecil dari rata-rata, dan 14 provinsi lebih besar dari rata-rata.
DJPK – KEMENKEU RI
35
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 36.7 39.8
45.00
35.00
%
30.00 25.00 20.00 15.00 10.00
7.1 7.7 8.5 9.4 10.2 13.0 14.2 14.8 16.1 16.7 16.8 17.2 18.4 18.8 19.6 19.9 20.2 20.5 21.2 22.9 24.1 24.3 24.6 27.2 27.5 27.9 28.3 28.9 29.3 29.3 31.6
40.00
20.7
5.00 .00
Babel Malut Riau Sultra Sumsel DKI Sumut Jambi Kaltim Sulbar Kalsel Kalteng NTB Lampung Sumbar Maluku Aceh Bengkulu Kalbar Banten Papua Sulut Gorontalo Papbar Kepri NTT Sulteng Sulsel Bali DIY Jatim Jabar Jateng Sumber: APBD 2011 (Diolah)
4.
Per Wilayah Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5 wilayah
yaitu Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Papua. Grafik tersebut memperlihatkan rata-rata rasio 5 wilayah sebesar 23,51%. Dari grafik dapat dilihat bahwa belanja modal di 3 wilayah (Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Papua) lebih besar dibandingkan dengan rata-rata rasio. Sedangkan untuk wilayah Jawa Bali dan Sulawesi memiliki rasio lebih besar daripada rasio rata-rata. Belanja modal yang tertinggi terdapat di wilayah Kalimantan yaitu 32,3% dan yang terkecil terdapat di wilayah Jawa Bali yaitu 18,3%. Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*) 35.00
32.3
30.00
26.6 24.2
%
25.00
22.2
23.5
18.3
20.00 15.00 10.00 5.00 .00 Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumatera
Jawa Bali
Sulawesi
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK – KEMENKEU RI
36
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 D.
Rasio Belanja Daerah Terhadap Jumlah Penduduk Rasio belanja daerah terhadap jumlah penduduk (belanja daerah perkapita)
menunjukkan seberapa besar belanja yang digunakan untuk menyejahterakan per penduduk di suatu daerah. Semakin besar nilainya, semakin besar besar belanja yang dikeluarkan untuk menyejahterakan satu orang penduduk wilayah tersebut sehingga semakin besar kemungkinan tercapainya. Sebaliknya, semakin kecil angka rasionya, semakin kecil dana yang disediakan pemda untuk menyejahterakan penduduknya. Namun demikian, rasio ini sebaiknya juga dirinci lagi menjadi per jenis belanja perkapita sehingga akan lebih memperlihatkan kontribusi dari setiap jenis belanja sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. 1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Terkait rasio ini, berdasarkan grafik 3.13, terlihat bahwa daerah-daerah di wilayah timur
Indonesia memiliki rasio yang relatif tinggi, sedangkan daerah-daerah di Pulau Jawa memiliki rasio yang terendah. Hal ini disebabkan oleh karena daerah-daerah di wilayah timur Indonesia jumlah penduduknya masih sedikit sedangkan belanja yang dialokasikan adalah tinggi. Sebaliknya provinsi yang berada di pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar dengan alokasi belanja yang tidak berbeda jauh dengan wilayah Indonesia Timur. Berdasarkan data agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata belanja daerah perkapita adalah 2,1 juta rupiah. Artinya, rata-rata pemda di Indonesia membelanjakan sebanyak Rp2,1 juta per penduduknya. Dari jumlah itu, sebanyak 10 Provinsi memiliki rasio belanja daerah perkapita di atas jumlah tersebut, dan 23 provinsi memiliki rasio belanja daerah perkapita dibawahnya. Provinsi yang mempunyai rasio belanja daerah perkapita tertinggi adalah Prov. Papua Barat, yaitu sebesar Rp12,9 juta sedangkan yang memiliki rasio terendah adalah Prov. Jawa Barat dengan nilai sebesar Rp1,0 juta.
10.6 12.9
Grafik 3.13 Rasio Belanja Daerah perkapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 14.00 12.00 8.1 8.3
10.00
6.00 4.00 2.00
1.0 1.2 1.2 1.3 1.7 1.8 1.9 1.9 2.1 2.3 2.4 2.4 2.5 2.6 2.7 2.7 2.8 3.2 3.2 3.3 3.3 3.4 3.5 3.8 4.1 4.5 4.6 4.7 4.9
8.00
2.1
.00 Papbar DKI Papua Kaltim Kepri Malut Aceh Kalteng Maluku Riau Babel Sulut Bengkulu Sultra Gorontalo Kalsel Sulbar Jambi Sulteng Sumbar Bali Kalbar NTT Sumsel Sulsel Sumut NTB Lampung DIY Jatim Jateng Banten Jabar Sumber: APBD 2011 (Diolah) DJPK – KEMENKEU RI
37
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Grafik 3.14 yang menunjukkan rasio belanja daerah terhadap jumlah penduduk (belanja
daerah perkapita) memperlihatkan bahwa kabupaten dan kota di wilayah timur Indonesia memiliki rasio tertinggi, sedangkan kabupaten dan kota di Pulau Jawa memiliki rasio yang terendah. Hal ini disebabkan oleh karena kabupaten dan kota di wilayah timur Indonesia jumlah penduduknya masih sedikit sedangkan pendapatan daerah baik dari PAD maupun dana perimbangan sangat tinggi. Sebaliknya kabupaten dan kota yang berada di pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar dan pendapatan daerah yang terbatas. Rata-rata belanja daerah kabupaten dan kota se-provinsi perkapita adalah Rp1,6 juta. Sebanyak 12 Provinsi memiliki rasio belanja daerah perkapita di atas rata-rata, dan 21 provinsi memiliki rasio dibawah rata-rata tersebut. Kabupaten dan kota yang mempunyai rasio belanja daerah perkapita tertinggi berada di Prov. Papua Barat dengan Rp8,3 juta. Sedangkan kabupaten dan kota yang memiliki rasio belanja perkapita terendah adalah Prov. Jawa Barat yaitu sebesar Rp0,9 juta.
8.3
Grafik 3.14 Rasio Belanja Daerah Perkapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
6.6 6.6
8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00
0.9 0.9 1.1 1.1 1.3 1.5 1.6 1.6 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.2 2.3 2.3 2.3 2.6 2.6 2.7 2.7 2.7 2.8 2.9 3.1 3.4 3.8 3.9 4.1
Juta Rupiah
9.00
1.6
.00 Papbar Kaltim Papua Malut Kepri Kalteng Maluku Riau Sulut Aceh Babel Sultra Bengkulu Kalsel Gorontalo Jambi Sulteng Sumbar Sulbar NTT Kalbar Bali Sulsel Sumsel Sumut NTB Lampung DIY Jatim Jateng Banten Jabar Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
3.
Pemerintah Provinsi Rasio belanja daerah terhadap jumlah penduduk (belanja daerah perkapita) ditunjukkan
pada grafik 3.15. Dari grafik tersebut terlihat bahwa secara rata-rata belanja daerah pemerintah provinsi perkapita adalah Rp0,5 juta. Sebanyak 26 pemprov. memiliki rasio belanja daerah perkapita di atas rata-rata, dan hanya 7 pemprov. yang memiliki rasio belanja daerah perkapita dibawah rata-rata. Pemerintah Provinsi yang mempunyai rasio belanja daerah perkapita tertinggi adalah di Pemprov. DKI Jakarta yaitu sebesar Rp10,6 juta, sedangkan pemerintah DJPK – KEMENKEU RI
38
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 provinsi yang memiliki rasio belanja perkapita terendah adalah Pemprov. Jawa Tengah dengan rasio sebesar Rp0,2 juta. Grafik 3.15 Rasio Belanja Daerah perkapita Pemerintah Provinsi 10.6
Juta Rupiah
12.00 10.00 8.00
4.6
6.00
0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.5 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 0.8 0.9 1.2 1.8 1.8 2.0
4.00 2.00
0.5
.00 DKI Papbar Kaltim Aceh Papua Kepri Babel Riau Kalteng Maluku Kalsel Malut Bengkulu Gorontalo Bali Sultra Sulbar Sulut Jambi Sumsel Sulteng DIY Sumbar Kalbar Sulsel NTB Sumut Banten Lampung Jatim NTT Jabar Jateng Sumber: APBD 2011 (Diolah)
4.
Per Wilayah Grafik 3.16 menunjukkan rasio belanja daerah perkapita per wilayah. Terlihat bahwa
belanja daerah perkapita tertinggi adalah di wilayah Kalimantan yaitu Rp4,4 juta diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua dengan rasio belanja perkapita Rp4,2 juta. Sementara itu, rasio belanja daerah perkapita yang terkecil berada di wilayah Jawa-Bali yaitu sebesar Rp1,1 juta. Grafik 3.16 Rasio Belanja Daerah perkapita per Wilayah*) Juta Rupiah
5.00 4.500
4.4
4.2
4.00
3.500 2.7
3.00
2.6
2.500 2.00
2.0
1.500
1.1
1.00 .500 .00 Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumatera
Jawa Bali
Sulawesi
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK – KEMENKEU RI
39
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 E.
Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk Rasio belanja modal perkapita menunjukkan seberapa besar belanja yang dialokasikan
pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk. Rasio belanja modal perkapita memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi karena belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan perekonomian penduduknya dari pembangunan infrastruktur yang dikeluarkan. 1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 3.17 yang menunjukkan rasio belanja modal perkapita seluruh provinsi (agregat
provinsi, kabupaten dan kota) memperlihatkan bahwa rata-rata rasio belanja modal perkapita adalah Rp0,5 juta. Hanya 10 provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita lebih besar dari rata-rata nasional, dan 23 provinsi memiliki rasio belanja modal perkapita lebih rendah dari rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi adalah Prov. Papua Barat yaitu sebesar
Rp3,4 juta, sedangkan yang
terendah adalah Prov. Jawa Tengah sebesar Rp0,2 juta. Grafik 3.17 Rasio Belanja Modal perkapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 3.1 3.1 3.4
3.500 2.4
3.00 2.500 2.00 1.500 1.00 .500
0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.6 0.6 0.6 0.7 0.7 0.7 0.8 0.8 0.8 0.8 0.9 1.0 1.1 1.1 1.2 1.3 1.6
Juta Rupiah
4.00
0.5
.00 Papbar Kaltim DKI Papua Malut Kalteng Riau Kepri Maluku Babel Kalsel Sultra Aceh Sulut Gorontalo Jambi Bengkulu Sulbar Sumsel Kalbar Sulteng NTT Sumbar Sumut Sulsel NTB Lampung Bali Banten Jatim DIY Jateng Jabar Sumber: APBD 2011 (Diolah)
2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Rasio belanja modal perkapita pemkab dan pemkot se-Provinsi mencerminkan besaran
belanja modal yang dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota di setiap provinsi. Dari data APBD terlihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata adalah provinsi yang memiliki potensi
DJPK – KEMENKEU RI
40
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 SDA yang besar dan atau memperoleh dana perimbangan yang besar dari pusat terutama DBH SDA dan dana Otonomi Khusus. Grafik 3.18 menunjukkan rasio belanja modal perkapita pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi. Secara nasional rata-rata rasio belanja modal kabupaten dan kota se-provinsi adalah Rp0,4 juta. Pemkab dan Pemkot Se-Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita lebih tinggi dari rata-rata sebanyak 23 provinsi, sedang yang dibawah rata-rata sebanyak 9 provinsi. Pemkab dan Pemkot se-Prov. Papua Barat memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi yaitu sebesar Rp2,6 juta sedangkan yang terendah adalah Pemkab dan Pemkot se-Prov. DI Yogyakarta dengan rasio Rp0,1 juta. Grafik 3.18 Rasio Belanja Modal perkapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) 2.5 2.6 2.1
2.500
1.500 1.00 .500
1.4
2.00 0.1 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.6 0.6 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.9 0.9 1.0 1.1
Juta Rupiah
3.00
0.4
.00
Papbar Kaltim Papua Malut Kalteng Kepri Riau Maluku Sulut Kalsel Sultra Babel Gorontalo Jambi Bengkulu Kalbar Sulteng NTT Sumsel Sulbar Aceh Sumbar Sulsel Sumut NTB Lampung Bali Banten Jatim Jateng Jabar DIY Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
3.
Pemerintah Provinsi Rasio Belanja Modal perkapita pemerintah provinsi ditunjukkan pada Grafik 3.19. Rasio
belanja modal perkapita pemerintah provinsi memiliki rata-rata nasional sebesar Rp0,1 juta. Sebagian besar pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk di bawah rata-rata nasional yaitu 25 provinsi dan hanya 8 provinsi yang memiliki rasio di atas ratarata nasional. Pemerintah Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi adalah Pemprov. DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp3,06 juta sedangkan yang terendah adalah Pemprov.Jawa Tengah Rp0,01 juta.
DJPK – KEMENKEU RI
41
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 3.19 Rasio Belanja Modal perkapita Pemerintah Provinsi 3.1
3.500 3.00
2.00 1.500 1.00 .500
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.3 0.4 0.6 0.8
Juta Rupiah
2.500
.00
0.1
DKI Papbar Kaltim Aceh Babel Papua Malut Riau Kepri Kalteng Sultra Kalsel Sulbar Maluku Sumsel Jambi Bengkulu Gorontalo Sumut Sulut Sumbar NTB Kalbar Lampung Sulteng Bali Banten Sulsel DIY NTT Jatim Jabar Jateng Sumber: APBD 2011 (Diolah)
4.
Per Wilayah Rasio belanja modal perkapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik 3.20
memperlihatkan bahwa belanja modal perkapita tertinggi adalah di wilayah Kalimantan sebesar Rp1,4 juta. Hal ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi di wilayah Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Selanjutnya rasio belanja modal perkapita terendah adalah di wilayah Jawa yang hanya Rp0,2 juta. Grafik 3.20 Rasio Belanja Modal perkapita per Wilayah *) Juta Rupiah
1.600
1.4
1.400 1.1
1.200 1.00 .800
0.7
0.6
.600
0.5
.400 0.2 .200 .00 Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumatera
Jawa Bali
Sulawesi
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
DJPK – KEMENKEU RI
42
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
BAB IV ANALISIS DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH
A.
Defisit Keseimbangan umum atau Surplus/Defisit APBD adalah selisih Lebih/kurang antara
pendapatan daerah dan belanja daerah dalam tahun anggaran yang sama. Dari 491 Kab/Kota dan 33 Provinsi pada tahun 2011 sebanyak 438 daerah menganggarkan defisit dalam APBDnya, sedangkan yang menganggarkan surplus sebanyak 80 daerah dan sisanya sebanyak 6 daerah mempunyai anggaran pendapatan dan belanja yang bernilai sama (berimbang). Besaran defisit menunjukkan tingkat belanja yang tidak dapat dipenuhi oleh pendapatan daerah, atau dengan kata lain belanja lebih besar dari pendapatan. Berikut disajikan rasio defisit terhadap Pendapatan, dimana semakin besar rasio tersebut berarti semakin besar pula dana diluar pendapatan daerah (Pembiayaan) yang diperlukan guna mendanai belanja. 1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 4.1 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
%
-10.00
-15.00
-18.5
-20.00
-7.6
-22.0
-5.00
-0.3 -0.7 -1.6 -1.6 -1.7 -2.3 -2.8 -2.8 -2.9 -4.1 -4.4 -4.7 -4.8 -4.9 -5.7 -6.1 -6.2 -6.2 -6.6 -6.9 -7.1 -8.1 -9.0 -9.2 -10.1 -10.3 -11.1 -11.1 -11.9 -12.1 -14.7
.00
-25.00 Kepri Kaltim Riau Bali Banten Babel Jabar Sumbar Kalsel Jatim NTT DIY Jambi DKI Aceh Kalteng Jateng Malut Gorontalo Sumut Kalbar Sulut Sultra NTB Sulsel Sulbar Bengkulu Maluku Lampung Papua Sulteng Papbar Sumsel Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Rata-rata rasio defisit secara nasional(agregat kab/kota dengan Provinsi) adalah 7,6% dengan kontribusi SiLPA untuk menutup defisi tersebut sekitar 91,3% sedangkan kontribusi penerimaan pinjaman dan obligasi daerah 5,9%. Kepulauan Riau merupakan daerah dengan DJPK – KEMENKEU RI
43
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 rasio defisit terbesar dimana faktor utama penyebab hal tersebut berasal dari kab/kota. Rasio Wilayah Papua Barat dan Sumatera Selatan bernilai negatif walaupun rasio agregat kab/kota yang bernilai surplus, hal tersebut dikarenakan defisit pemerintah provinsi wilayah tersebut lebih besar dibanding dengan surplus agregat kab/kota. 2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Rasio Suplus/defisit dengan total Pendapatan Pemkab dan pemkot dalam satu provinsi
dapat dilihat dalam grafik 4.2 berikut. Rasio tersebut menunjukkan nilai total surplus/defisit seluruh pemkab dan pemkot dalam satu provinsi dibagi dengan total pendapatannya.
2.00
0.7 0.1
Grafik 4.2 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
-6.7
-6.00 -8.00 -10.00
Malut NTT Gorontalo Kaltim Kepri Kalsel Kalteng Babel Maluku Sumbar Jambi Riau Bali Papua Bengkulu Sulut NTB Sulbar Kalbar DIY Jateng Sultra Aceh Jatim Banten Jabar Sumut Sulsel Lampung Sulteng Sumsel Papbar
-9.5
-4.00
-1.2
-5.0
%
-2.00
-0.3 -0.5 -0.8 -0.9 -1.0 -1.0 -1.0 -1.0 -1.1 -1.1 -1.3 -1.3 -1.6 -1.6 -1.7 -2.1 -2.1 -2.5 -2.5 -2.6 -2.6 -3.0 -3.0 -3.1 -3.1 -3.1 -3.4
.00
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Pemerintah Kabupaten dan Kota di wilayah Papua Barat dan Sumatera Selatan mempunyai rasio yang benilai positif (surplus). Nilai tersebut menunjukkan total pendapatan APBD Papua Barat dan Sumsel lebih besar dibanding dengan pendapatan di wilayah tersebut. Namun tidak berarti semua daerah di Papua Barat dan Sumsel menganggarkan Surplus. Dalam grafik 4.2 terlihat bahwa pemkab dan Pemkot se-provinsi yang mempunyai nilai rasio diatas 10,0% yaitu di Kepulauan Riau, Kalimantan Timur dan Riau. Semakin besar rasio tersebut mengindikasikan semakin besar pula rasio pembiayaan yang dibutuhkan guna menutupi kekurangan pendanaan, dimana sebagian besar penerimaan pembiayaan didominasi oleh SiLPA dan Penerimaan Pinjaman.
DJPK – KEMENKEU RI
44
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 4.3 Pemerintah Kab/Kota se-Provinsi berdasarkan Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan (%) *) 30 20 10
R Def/Pend
0 -7.87
-10 -20 -30 -40 -50
Kepri
Riau Kaltim
Kalsel
Sumbar Babel
NTT
Jatim Bali
Banten Jabar
Kalteng
Jambi Malut
Jateng
Sumut
Gorontalo DIY
NTB
Kalbar Sulut
Aceh
Bengkulu Papua
sulsel Sulbar
Maluku
Sulteng
Lampung Sultra
Papbar Sulsel
-60
Wilayah
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Rentang penyebaran kab/Kota dan daerah-daerah ekstrem per provinsi disajikan dalam grafik 4.3. Dalam grafik tersebut Jatim mempunyai dua daerah ekstrem yang berbeda dari ratarata daerah-daerah di provinsi Jatim, yaitu kab. Lumajang yang mempunyai rasio surplus dan kota Surabaya yang mempunyai rasio Defisit terbesar di Jatim. Pemerintah kab/kota yang mempunyai rasio defisit diatas rata-rata nasional antara lain kab/kota di Provinsi Papua Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. 3.
Pemerintah Provinsi Sama halnya dengan pemerintah kab/Kota, sebagian besar pemerintah provinsi juga
menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Pemerintah provinsi yang menganggarkan surplus hanya Pemprov. Papua, namun pembiayaan APBDnya bernilai negatif.
DJPK – KEMENKEU RI
45
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
1.00
0.7
Grafik 4.4 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi
.500
%
-.500 -1.00
-1.500 -2.00
-0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.2 -0.2 -0.2 -0.2 -0.2 -0.2 -0.3 -0.3 -0.3 -0.4 -0.4 -0.4 -0.5 -0.5 -0.5 -0.6 -0.6 -0.7 -0.8 -0.8 -0.8 -0.9 -1.2 -1.2 -1.5 -1.6
.00 -0.4
-2.6
-2.500 -3.00
Aceh Sultra Papbar Bali Gorontalo Babel DIY NTT Kaltim Banten Kepri Jambi Maluku Jabar DKI Kalsel Sulteng Kalbar Sulbar NTB Sumbar Malut Sulut Jatim Sumsel Riau Sulsel Sumut Bengkulu Jateng Kalteng Lampung Papua Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Aceh merupakan pemerintah provinsi yang mempunyai rasio pinjaman paling besar yaitu sebesar 22,3%. Dari 31 pemerintah provinsi yang menganggarkan defisit, 28 pemerintah provinsi menutup defisit tersebut dengan menggunakan SiLPA, sedangkan tiga pemerintah provinsi lainnya menutupnya dengan SiLPA ditambah dengan penerimaan Pinjaman. 4.
Per Wilayah Rasio defisit per wilayah dapat dilihat dalam Grafik 4.5 grafik tersebut menunjukkan
bahwa Kalimantan merupakan wilayah yang mempunyai rasio defisit terhadap pendapatan paling besar (-12,2%). Dan yang terendah adalah wilayah Sulawesi (-3,4%). Semakin besar nilai minus rasio berarti semakin besar belanja yang tidak dapat ditutup dari pendapatan daerah, sehingga daerah harus mencari penerimaan lain yang berasal dari pembiayaan. Grafik 4.5 Rasio Defisit/Pendapatan Per Wilayah*) .00 -2.00
%
-4.00 -6.00
-3.4
-3.4
-7.3
-8.00
-7.4
-10.00
-8.3
-12.00 -12.2
-14.00 Sulawesi
NT Maluku Papua
Sumatera
Jawa Bali
Kalimantan
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
DJPK – KEMENKEU RI
46
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 4.6 Penyebaran Rasio Defisit/Pendapatan per wilayah *) 30 20 10
R Def/Pend
0 -7.87
-10 -20 -30 -40 -50 -60 Jawa Bali
Kalimantan
NT Maluk u Papua Wilayah
Sulawesi
Sumatera
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Jika dilihat dari penyebaran kabupaten, kota dan provinsi per wilayah dapat dilihat dalam grafik 4.6. Dalam grafik tersebut dapat dilihat daerah-daerah yang mempunyai nilai rasio ekstrim (outlier), wilayah Jawa - Bali mempunyai satu daerah yang jauh diatas rata-rata atau bernilai surplus dan dua daerah ekstrim (defisit). Untuk wilayah Kalimantan terdapat enam daerah yang mempunyai rasio defisit cukup besar dibanding daerah lain dalam wilayah tersebut. 5.
Daerah dengan Defisit yang belum ter-cover oleh pembiayaan Dalam APBD kabupaten, kota dan provinsi terdapat beberapa daerah yang besaran
defisit yang dianggarkan tidak bisa ditutup dengan pembiayaan, sehingga defisit ditambah pembiayaan masih bernilai minus. Karena sumber lain penerimaan selain pendapatan adalah berasal dari pembiayaan maka hal tersebut mengundang tanya “Dari mana Pemda memperoleh dana untuk menutup defisit�. Beberapa daerah tersebut dapat dilihat dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1 Daerah dengan Defisit Belum Ter-cover oleh Pembiayaan NO
Nama Daerah
1
Kota Gorontalo
2
Kab. Halmahera Utara
3
Kab. Lebong
DJPK – KEMENKEU RI
Surplus/Defisit
Pembiayaan
(Rp)
(Rp)
Surplus/Defisit + Pembiayaan
-29,779,841,647
6,362,331,500
-23,417,510,147
18,710,229,713
-42,000,000,000
-23,289,770,287
-22,068,387,866
4,495,391,448
-17,572,996,419
47
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 4
Kab. Jayawijaya
-11,607,748,671
-5,000,000,000
-16,607,748,671
5
Kab. Mamuju Utara
-19,187,064,000
3,527,204,478
-15,659,859,522
6
Kab. Nduga
-49,332,739,152
35,926,104,078
13,406,635,074
7
Prov. Sulawesi Barat
-16,023,664,312
6,000,000,000
-10,023,664,312
8
Kab. Fakfak
-9,719,307,106
0
-9,719,307,106
9
Kab. Sinjai
7,634,516,950
-17,044,126,360
-9,409,609,410
10
Kab. Halmahera Tengah
-93,199,089,250
85,247,299,000
-7,951,790,250
11
Kab. Labuhanbatu Selatan
-69,197,140,449
64,297,140,449
-4,900,000,000
11
Kab. Malang
-193,012,992,133
189,088,504,533
-3,924,487,600
12
Kab. Seram Bagian Barat
53,501,000,000
-56,500,000,000
-2,999,000,000
13
Kab. Lanny Jaya
-65,145,607,759
62,863,895,376
-2,281,712,383
14
Kota Ambon
22,414,241,834
-24,561,122,126
-2,146,880,292
15
Kab. Lingga
-152,325,010,000
150,325,000,000
-2,000,010,000
16
Kab. Ngada
-55,866,826,000
53,866,826,000
-2,000,000,000
17
Prov. Jawa Barat
-1,464,301,200,000
1,462,301,200,000
-2,000,000,000
18
Kota Ternate
-22,543,844,264
21,285,104,264
-1,258,740,000
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Dalam tabel diatas dapat dilihat bahwa Kota Gorontalo merupakan daerah dengan nilai Defisit APBD yang tidak ter-cover oleh pembiayaan terbesar yaitu sebesar 23,4 miliar rupiah dan terendah adalah Kota Ternate sebesar 1,3 miliar rupiah.
B.
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SiLPA adalah selisih lebih
realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Dengan demikian dalam APBD 2011 SiLPA yang dimasukkan adalah sisa realisasi APBD di tahun 2010. Berikut disajikan Rasio SiLPA terhadap belanja, rasio tersebut menunjukkan persentase dana yang penggunaannya tertunda atau tidak terserap pada tahun sebelumnya:
DJPK – KEMENKEU RI
48
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
1.8 2.4 3.1 3.1 3.3 3.4 3.4 3.7 4.3 4.9 5.3 5.3 5.5 6.0 6.2 6.4 6.4 7.5 7.7 7.7 8.1 8.3 8.7 9.6 9.6 10.3 10.6 10.6 11.1 11.4
%
20.00 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 .00
15.0 17.0 17.7
Grafik 4.7 Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
8.2
Kepri Kaltim Riau Kalsel Bali Babel Banten Jabar Jatim Sumbar DKI DIY NTT Jambi Kalteng Aceh Sumut Maluku Malut Jateng Kalbar Goront‌ Sulut NTB Bengkulu Sulsel Papua Sumsel Sultra Sulteng Lampung Papbar Sulbar Sumber: APBD 2011 (Diolah)
SiLPA adalah sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya. Rasio SiLPA terhadap pendapatan selain menggambarkan besaran belanja yang tertunda pelaksanaannya pada tahun sebelumnya juga menggambarkan jumlah realisasi pendapatan tahun anggaran sebelumnya lebih besar dari proyeksinya. Rata-rata rasio SiLPA terhadap belanja daerah secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah 8,2% dengan rasio tertingginya adalah Kepulauan Riau. Sebanyak 12 provinsi mempunyai rasio diatas rata-rata dan 21 provinsi di bawah rata-rata. 2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
1.2 2.0 2.5 3.0 3.4 3.4 3.5 4.4 4.4 4.8 4.8 4.9 5.3 5.6 5.7 5.7 6.6 6.8 7.2 7.4 7.5 7.8 7.9 8.3 9.3 9.5 9.5 10.4 11.7
%
20.00 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 .00
16.7 16.9 18.6
Grafik 4.8 Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi *)
7.8
Kepri Riau Kaltim Kalsel Babel Bali Jatim Sumbar Jabar Kalteng Jambi Banten NTT Maluku Malut DIY Jateng Sumut Sulut Gorontalo Aceh Bengkulu Kalbar NTB Papua Sultra Sulsel Lampung Sumsel Sulteng Sulbar Papbar Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK – KEMENKEU RI
49
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Kepulauan Riau, Riau dan Kalimantan Timur merupakan daerah-daerah yang terlihat beda dibanding pemkab dan pemkot di provinsi lain, karena pemkab dan Pemkot di ketiga provinsi tersebut mempunyai rasio SiLPA terhadap belanja diatas 15,0% dan diatas rata-rata yang sebesar 7,8%. Sedangkan Kab/kota di Papua barat mempunyai rasio paing rendah (1,2%) 3.
Pemerintah Provinsi
18.00 16.00 14.00 12.00 %
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00
0.0 0.9 1.1 2.0 2.2 2.3 2.6 3.1 3.8 4.2 4.5 5.1 5.2 5.3 5.8 5.9 6.5 6.7 7.8 7.8 8.1 8.3 8.7 9.4 10.0 11.1 11.6 12.7 12.8 13.2 13.7 15.2 16.4
Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
8.4
.00 Banten Jabar Bali Kaltim NTT Kepri DIY Aceh Sumbar Babel DKI Sumut Kalbar Jatim Kalsel Jambi NTB Riau Sulteng Kalteng Jateng Gorontalo Papbar Sumsel Sulsel Sulut Malut Maluku Sultra Bengkulu Lampung Sulbar Papua Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Terdapat perbedaan pada urutan rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah pada Pemerintah Provinsi dengan pemkab dan Pemkot se-provinsi. Dalam rasio SiLPA terhadap belanja daerah pemprov.Aceh merupakan provinsi yang mempunyai urutan tertinggi (18,3%), urutan kedua adalah Prov. Banten(16,4%), sedangkan provinsi yang mempunyai rasio terendah adalah papua sebesar 0% atau Prov. Papua tidak mempunyai SiLPA. Hal ini menjadi sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut mengapa pemerintah kabupaten kota se-provinsi Papua bisa tidak memiliki SiLPA, karena mengingat pada tahun 2010 terdapat beberapa jenis dana transfer ke daerah yang relatif lambat masuk dalam kas daerah dan diperkirakan tidak bisa terserap pada akhir tahun tersebut. 4.
Per Wilayah Rasio SiLPA terhadap belanja daerah tertinggi ada di wilayah Kalimantan(11,8%), rata-
rata nasional untuk rasio ini adalah sebesar 8,3%, semakin besar rasio menunjukkan semakin besar dana idle yang tidak dapat dimanfaatkan pada tahun 2010. sedangkan rasio terendah SiLPA terhadap belanja terjadi di wilayah Sulawesi. Untuk wilayah lain dapat dilihat dalam grafik dibawah ini.
DJPK – KEMENKEU RI
50
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah *) 1.800
1.6
1.600 1.400 %
1.200
1.0
1.00 .800 0.5
.600 .400
0.3
0.6
0.3
.200 .00 Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumatera
Jawa Bali
Sulawesi
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
C.
Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman Penerimaan pinjaman daerah digunakan untuk menganggarkan semua transaksi yang
mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang dari pihak lain (termasuk obligasi) sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Oleh karena itu pinjaman yang dianggarkan dalam APBD dibatasi oleh peraturan Menteri Keuangan tiap tahunnya. Berikut rasio pinjaman terhadap pendapatan daerah dilihat dari pembagian lima wilayah, pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi, serta pemerintah provinsi. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
4.0 4.2
Grafik 4.11 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 4.500 4.00 3.500
2.1
%
3.00 1.3 1.3 1.6 1.7
2.500
1.500 1.00 .500
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.5 0.7 0.7 0.9 0.9
2.00
0.6
.00
Sulbar Sultra Malut Sulsel Kaltim Kalbar Aceh Jateng Kepri Sumbar Sumut Jambi Gorontalo Jabar Sulteng Lampung Jatim Papbar Sumsel Kalsel NTB Papua Bali NTT DIY Kalteng Babel Banten Maluku Sulut DKI Bengkulu Riau Sumber: APBD 2011 (Diolah) DJPK – KEMENKEU RI
51
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara adalah 0,6%. Nilai tersebut masih jauh lebih kecil dibanding batas pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 149/PMK.07/Tahun 2010, yaitu 3,5% total pendapatan. Terlihat bahwa dua provinsi melampaui batas yang ditentukan yaitu provinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi Utara yaitu 4,2% dan 4,0%. Dari kedua provinsi tersebut, seluruh pemda di Provinsi Sulawesi Barat belum ada yang mengajukan persetujuan pelampauan batas maksimal defisit kepada Menteri Keuangan. Dari grafik diatas dapat dilihat berdasarkan 33 wilayah provinsi terdapat enam provinsi yang tidak menganggarkan penerimaan pinjaman dalam APBD-nya. 2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Grafik 4.12 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *) 5.3
6.00 5.00
%
4.00
1.00
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.5 0.8 0.8 0.8 1.1 1.5 1.9 2.0 2.0
2.00
2.5
3.00
0.6
.00 Sulbar Malut Aceh Kaltim Sulsel Kalbar Kepri Jateng Sumbar Sumut Jambi Gorontalo Papbar Jabar Sulteng Lampung Jatim Sumsel Kalsel NTB Papua Bali DIY NTT Kalteng Babel Banten Maluku Sultra Sulut Bengkulu Riau Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Rasio pinjaman terhadap pendapatan daerah pemkab dan pemkot se-Provinsi Sulawesi Barat adalah yang tertinggi (5,3%). Penyumbang tertinggi adalah Kab. Mamasa yang mempunyai rasio pinjaman 24%. Pemkab dan pemkot se-Provinsi Sultra, Bengkulu, Sulut, Maluku, Banten, Bangka Belitung dan Riau tidak menganggarkan pinjaman dalam APBD-nya. Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara Nasional adalah 0,6%, bila dibandingkan dengan angka rasio tersebut maka
terdapat 10 provinsi yang pemkab dan pemkotnya
mempunyai rasio lebih tinggi.
DJPK – KEMENKEU RI
52
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 3.
Pemerintah Provinsi Terdapat tiga pemerintah provinsi yang menganggarkan pinjaman, hal tersebut dapat
dilihat dalam grafik 4.13. Tiga pemerintah provinsi tersebut adalah Sulawesi Barat, Maluku Utara dan Aceh. Rasio terekstrem adalah Sulawesi Barat yang mempunyai rasio sebesar 23,0% jauh lebih tinggi dari ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebesar 4,5%.
22.9
Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi 25.00 20.00
%
15.00
5.00
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.3 1.2
10.00
.00
0.3
Sultra Jateng Jatim Sulbar Papbar Kepri Goront‌ Babel Banten Malut Papua Maluku NTT NTB Bali Sulsel Sulteng Sulut Kaltim Kalsel Kalteng Kalbar DIY Jabar DKI Lampung Bengkulu Sumsel Jambi Riau Sumbar Sumut Aceh Sumber: APBD 2011 (Diolah)
4.
Per Wilayah Sulawesi merupakan wilayah yang mempunyai rasio pinjaman tertinggi dibanding
daerah lainnya, yaitu 1,6 % dibanding pendapatan. Sedangkan yang terendah adalah wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua (0,3%).Jika dilihat penyebaran per daerah dalam rasio pinjaman terbesar berada di wilayah Kalimantan (Penajam Paser Utara). Rasio tertinggi lainnya berada di wilayah Sulawesi, yaitu provinsi Sulawesi Utara dan Kab.Mamasa yang mempunyai rasio diatas 20,0%. Rasio perwilayah dan penyebarannya dapat dilihat dalam grafik 4.14 dan 4.15 berikut :
NT Maluku Papua
Jawa Bali
0.5
0.3
1.0
1.6
1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
0.3
%
Grafik 4.14 Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah *)
Sumatera
0.6
Kalimantan
Sulawesi
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK – KEMENKEU RI
53
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Grafik 4.15 Penyebaran Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah *) 35 30
R Pinjaman
25 20 15 10 5 0.56
0 NT maluku papua
Jawa Bali
Sumatera wilayah.
Kalimantan
Sulawesi
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
5.
Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai Pinjaman Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 149/PMK.07/2010 bahwa maksimum defisit
yang dibiayai oleh pinjaman adalah sebesar 4,5% dari total pendapatan dan bagi yang melampaui batas yang ditentukan harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan. Daerah yang melampau batas tersebut dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Tabel 4.2. Daerah dengan % Pinjaman diatas ketentuan di PMK No. 149/PMK.07/2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Daerah
Kab. Penajam Paser Utara Kab. Mamasa Prov. Sulawesi Tenggara Kab. Samosir Kab. Kepulauan Sula Kab. Simeulue Kab. Barru Kab. Jeneponto Kota Palopo Kota Langsa Kab. Sambas Kota Semarang Kota Pare-Pare Kab. Agam Kab. Maros
DJPK – KEMENKEU RI
Total Pendapatan (Juta Rupiah) 947,704 397,357 1,220,581 394,227 527,793 373,865 481,975 533,862 472,300 411,013 768,406 1,713,581 530,065 655,528 583,510
Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah (Juta Rupiah) 324,645 95,216 280,000 60,000 73,284 47,898 47,383 50,561 44,121 32,980 51,510 103,416 31,903 35,761 30,000
% Pinjaman
34.26 23.96 22.94 15.22 13.89 12.81 9.83 9.47 9.34 8.02 6.70 6.04 6.02 5.46 5.14 54
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Lanjutan Tabel 4.2
16 17 18 19 20 21
Kab. Sidenreng Rappang Kota Bogor Kab. Tapanuli Selatan Kab. Tanjung Jabung Timur Kota Sawahlunto Kab. Biak Numfor
677,852 964,699 599,384 602,510 371,261 574,134
34,817 49,262 30,000 30,000 17,500 26,936
5.14 5.11 5.01 4.98 4.71 4.69
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Terdapat 20 daerah yang melampaui batas yang ditentukan, daerah yang mempunyai persentase tertinggi adalah Kab. Penajam Paser Utara (34,3%). Dari 20 daerah tersebut baru daerah yang mengajukan pelampauan defisit yang dibiayai oleh pinjaman ke Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan. Jika dilihat secara nasional jumlah pinjaman APBD adalah 2,65 triliun rupiah atau setara dengan 0,04% dibanding dengan perkiraan PDB tahun 2011. Persentase pinjaman tersebut masih dibawah batas pinjaman APBD secara Nasional yang ditetapkan oleh PMK No. 149/PMK.07/2010, yaitu 0,3% dari PDB sehingga secara nasional pinjaman APBD 2011 masih dapat disetujui. 6.
Daerah yang Menganggarkan Pinjaman dengan APBD Surplus Sebagian besar APBD dianggarkan defisit, dimana defisit tersebut dapat ditutup dengan
penerimaan pembiayaan. Namun terdapat daerah yang menganggarkan pinjaman walaupun surplus/defisit ditambah pembiayaan masih bernilai positif. Beberapa daerah tersebut dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Tabel 4.3. Daerah yang Menganggarkan Pinjaman dengan APBD Surplus No
Daerah
1 2 3 4
Kab. Aceh Utara Kota Dumai Kab. Nias Kab. Sijunjung
SURPLUS/ (DEFISIT)
Pembiayaan Netto
Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah
Surplus/Defisit + Pembiyaan Netto (SiLPA th Berkenaan)
(116,369) 5,137 (58,553) (80,376)
336,369 19,345 72,689 87,214
41,600 778 3,970 1,900
220,000 24,482 14,135 6,837
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Kab. Aceh Utara merupakan daerah yang mengganggarkan SiLPA tahun berkenaan paling besar yaitu 220 miliar rupiah, dimana SiLPA tersebut lebih besar dari pinjaman yang dianggarkan yaitu sebesar 41,6 miliar Rupiah.
Hal tersebut menunjukkan dengan tidak
menganggarkan pinjaman di APBD, daerah masih mempunyai kelebihan dana yang dapat DJPK – KEMENKEU RI
55
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 digunakan dalam belanja daerah. Kejadian tersebut juga
terjadi di Kab. Nias dan Kab.
Sijunjung, sedangkan untuk daerah lainnya pinjaman yang dilakukan lebih besar dibanding dengan kebutuhan, sehingga terdapat sisa dana di akhir tahun berkenaan atau dapat dikatakan terjadi ketidakefisiensian dana APBD. Sisa dana tersebut sekiranya dapat juga dianggarkan dalam belanja melihat dana tersebut masih cukup besar. D.
Rasio Keseimbangan Primer Dalam Format APBD yang berstruktur I-Account, pendapatan dan belanja dipisah
dengan pembiayaan dan ditunjukkan adanya surplus/defisit pendapatan atas belanja, Keseimbangan Primer (Primary Balance) atau Surplus/Defisit Primer merupakan selisih pendapatan daerah dengan belanja daerah setelah belanja dikurangi dengan belanja bunga. Penghitungan tersebut berbeda dibandingkan
saat digunakan APBD berbentuk T-Account
dimana Surplus/Defisit Primer diperoleh dari selisih seluruh penerimaan daerah terhadap pengeluaran daerah setelah pengeluaran daerah dikurangi pembayaran pokok pinjaman dan belanja bunga. Sejak pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara beserta turunannya,
Indonesia
menggunakan
konsep
Keseimbangan
Primer
yang
pertama.
Keseimbangan Primer menunjukkan kemampuan belanja daerah dalam rangka menjalankan program dan kegiatannya setelah dihilangkan belanja yang tidak terkait seperti belanja bunga. Keseimbangan primer dapat berupa defisit primer jika bernilai negatif atau surplus primer jika bernilai positif. Nilai tersebut selain dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dan belanja, juga dipengaruhi oleh besarnya bunga. Semakin besar bunga, semakin besar perbedaan nilainya dengan keseimbangan umum (pendapatan dikurangi belanja). Keseimbangan primer juga mampu menunjukkan kondisi likuiditas pemda dalam melaksanakan program dan kegiatannya, yaitu dengan menggunakan rasio keseimbangan primer terhadap PDRB yang merupakanjumlah keseimbangan primer dibagi dengan PDRB. Semakin besar rasio surplus keseimbangan primer, maka semakin likuid APBD dalam membayar kewajiban jangka pendeknya.
Sebaliknya, semakin rendah rasio surplus primer
semakin rendah kemampuannya. Bahkan, jika rasio menunjukkan rasio negatif (defisit primer), itu berarti keuangan pemda
dalam kondisi ilikuid, atau pemda bukan hanya tidak memiliki
kemampuan yang cukup untuk melunasi kewajiban jangka pendeknya, namun bahkan untuk membelanjai program kegiatan pokoknya. Hal ini mengakibatkan semakin besar belanja yang harus dibiayai dari penerimaan pembiayaan, terutama utang. Jika hal ini terjadi dalam jangka panjang, dikhawatirkan daerah tersebut akan mengalami kondisi yang biasa disebut jebakan utang (debt trap), sebagaimana pernah disampaikan oleh Irving Fisher tahun 1933 dengan konsepnya yang terkenal, Fisher Paradox.
DJPK – KEMENKEU RI
56
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 4.16 Rasio Primary Balance Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
-2.0
%
-4.0
-0.1 -0.5 -0.5 -0.7 -0.8 -1.0 -1.0 -1.3 -1.3 -1.4 -1.4 -1.6 -1.7 -1.9 -1.9 -2.0 -2.1 -2.2 -2.7 -2.7 -3.0 -3.1 -3.2 -3.5 -3.5 -3.6 -3.7 -3.7 -3.9 -4.2
0.0 -1.6
-6.2
-6.0 -7.6
-8.0
-9.7
-10.0 -12.0
Malut NTT Gorontalo Kaltim Babel Bali Kepri Aceh Kalsel Maluku Jambi Kalteng Sumbar Riau Sultra Bengkulu DIY NTB Sulbar Sulut Banten Kalbar Papua Jabar Jatim Jateng Sulsel Sumut Papbar Sulteng Lampung DKI Sumsel Sumber: APBD 2011 (Diolah)
2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi Primary Balance pemkab dan Pemkot setiap provinsi dapat dilihat dalam grafik 3.13.
Pemkab dan Pemkot se-Provinsi Papua Barat dan Sumatera Selatan primary balance-nya bernilai positif. Nilai tersebut bernilai positif karena kedua wilayah tersebut menganggarkan surplus pada APBD-nya.
2.0
0.7 0.1
Grafik 4.17 Rasio Primary Balance Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
-6.7
-6.0 -8.0 -10.0
Malut NTT Gorontalo Kaltim Kepri Kalsel Kalteng Babel Maluku Sumbar Jambi Riau Bali Papua Bengkulu Sulut NTB Sulbar Kalbar DIY Jateng Sultra Aceh Jatim Banten Jabar Sumut Sulsel Lampung Sulteng Sumsel Papbar
-9.5
-4.0
-1.2
-5.0
%
-2.0
-0.3 -0.5 -0.8 -0.9 -1.0 -1.0 -1.0 -1.0 -1.1 -1.1 -1.3 -1.3 -1.6 -1.6 -1.7 -2.1 -2.1 -2.5 -2.5 -2.6 -2.6 -3.0 -3.0 -3.1 -3.1 -3.1 -3.4
0.0
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta DJPK – KEMENKEU RI
57
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Primary Balance yang paling rendah terdapat pada pemkab dan pemkot se-provinsi Maluku Utara (9,5%). Nusa Tenggara Timur (6,7%), Gorontalo (5,0%), sedangkan wilyah lainnya dibawah 5,0%. 3.
Pemerintah Provinsi
0.7
Grafik 4.18 Rasio Primary Balance Pemerintah Provinsi 1.0 0.5 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.2 -0.2 -0.2 -0.2 -0.2 -0.2 -0.3 -0.3 -0.3 -0.4 -0.4 -0.4 -0.5 -0.5 -0.5 -0.6 -0.6 -0.7 -0.8 -0.8 -0.8 -0.9 -1.2 -1.2 -1.5 -1.6
%
0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0
-0.4
-2.6
-2.5 -3.0
Aceh Sultra Papbar Bali Gorontalo Babel DIY NTT Kaltim Banten Kepri Jambi Maluku Jabar DKI Kalsel Sulteng Kalbar Sulbar NTB Sumbar Malut Sulut Jatim Sumsel Riau Sulsel Sumut Bengkulu Jateng Kalteng Lampung Papua Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Pemerintah Provinsi Papua mempunyai Primary Balance yang bernilai positif, sedangkan provinsi lainnya bernilai negatif. Namun untuk provinsi lain yang bernilai negatif APBD masih dapat seimbang jika dimasukkan SiLPA yang berasal dari APBD tahun sebelumnya atau dengan kata lain APBD tersebut masih dapat mendanai belanja dari penerimaan sendiri. 4.
Per Wilayah Grafik 4.19 Rasio Primary Balance Per wilayah *) 0.0 -0.5
-1.68
-1.4
-1.5
-1.1
%
-1.0
-1.9
-2.0 -2.5
-2.9
-3.0
-3.5
-3.5 -4.0 Jawa Bali
Sulawesi
Sumatera
NT Maluku Papua
Kalimantan
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) tidak termasuk DKI Jakarta DJPK – KEMENKEU RI
58
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011 Primary Balance APBD per wilayah dapat dilihat dalam grafik 4.19. Primary Balance yang bernilai negatif menunjukkan bahwa APBD tidak Liquid atau APBD tidak dapat membayar Bunga Pinjaman dari penerimaan sendiri. Namun, hal tersebut belum termasuk penerimaan pembiayaan yang berasal dari SiLPA karena sebagian besar defisit APBD ditutup dengan menggunakan SiLPA. Kalimantan adalah wilayah yang mempunyai Primary Balance yang paling kecil (3,51%) menunjukkan dibanding wilayah lain Kalimantan merupakan daerah dengan APBD tidak likuid.
DJPK – KEMENKEU RI
59
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DAFTAR PUSTAKA Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149 Tahun 2010 tentang Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah. _______________ , Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. _______________ , Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. _______________ , Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. _______________ , Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. _______________ , Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. _______________ , Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. _______________ , Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Heller, Stephen. S., “Policy Discussion Paper”, IMF, 2005.
DJPK – KEMENKEU RI
60
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
UCAPAN TERIMA KASIH Penyusunan buku “Deskripsi dan Analisis APBD 2011” tidak akan terselesaikan tanpa kontribusi dari seluruh pihak yang berperan sehingga apresiasi yang setinggi-tingginya dimanifestasikan dalam ucapan terima kasih berikut ini:
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – DR. Marwanto Harjowiryono – dan Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah – Drs. Yusrizal Ilyas, MPA – yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga diselesaikannya penyusunan buku ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Subdirektorat Data Keuangan Daerah Direktorat
Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah
yang
telah
menyediakan data Ringkasan APBD 2011 melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah.
Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana Desentralisasi dan Perekonomian Daerah (Putut Hari Satyaka, SE, MPP; Krisnandar, SE; Nasrullah, SE; Aris Sudjatmiko, S.Sos, MM; Wahyu Widjayanto, SE, MM; Arif Zainuddin Fansyuri, Ak, ME; Dhani Kurniawan, SE; Nanag Garendra Timur, S.Si; Mauliate H. Silitonga, SE; Dastam Wijaya, SIP; Shinta Theresia; Femmy Ferdiansyah, SH; Rizki Anggunani S.Si; dan Virgin Marthalia yang telah melakukan pengolahan data dan sekaligus menyusun buku, melakukan editing hingga melakukan setting layout pencetakan buku ini. Terima kasih atas kerja kerasnya.
DJPK – KEMENKEU RI
61