(Dampak Politis Isu SARA di Tahun Politik 2019)
Politik Identitas dan Anomali Demokrasi: Mendekonstruksi SARA dalam Perpolitikan Indonesia Iklimah Dinda Indiyani Adiesta (Universitas Jember)
Pendahuluan : Politik Identitas Politik identitas menjadi anomali demokrasi dan telah beberapa kali menyebabkan turbulensi politik di Indonesia khususnya sejak lima tahun terkahir. Misalnya Pilkada Jakarta tahun 2017 yang mengakibatkan kegaduhan politik sebagai akibat Penulis
dari eksploitasi kontroversi Ahok terkait
penodaan agama. 1
meyakini kasus tersebut mengindikasikan penggunaan identitas
dimanipulasi oleh sebagian orang untuk mengamankan kepentingannya dalam sistem demokrasi Indonesia. Bukan tanpa alasan, Ahok memiliki kapasitas baik saat melaksanakan jabatan tetapi prestasinya di bidang pemerintahan tersebut dikalahkan dengan sentimen anti ras dan agama.2 Pilkada DKI menjadi salah satu bukti bahwa sistem demokrasi kita masih rapuh karena etnis mayoritas menguasai suara pemilih. Keadaan seperti ini memang tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah karena memilih berdasarkan kesamaan identitas menjadi naluri dari setiap manusia. Terlebih lagi hal ini didukung oleh kebebasan memilih sepenuhnya ada ditangan rakyat. 1 Razif Syauqi Adriananta, â&#x20AC;&#x2DC;Politik Identitas di Indonesia Kiniâ&#x20AC;&#x2122;, GEOTIMES, 2018 <https://geotimes.co.id/opini/politik-identitas-di-indonesia-kini/> [accessed 11 October 2018]. 2 Ibid
Berdasarkan argumentasi diatas, pada realitasnya politik identitas tidak bisa dilepaskan dari dunia perpolitikan Indonesia terutama pada masa Pemilu seperti saat ini yang digunakan sebagai cara untuk menarik suara pemilih. Merujuk pada aktivitas politik di Indonesia, politik identitas tersebut didasarkan atas suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA)3 yang berbenturaan dengan makna demokrasi. Selain
itu,
politik
identitas
dapat
mencakup
rasisme,
bio-feminisme,
environmentalism (politik isu lingkungan), dan perselisihan etnis.4 Kemudian, jika melihat situasi politik saat ini, tahun 2018 membuka jalan bagi politisi untuk menjadikan identitas sebagai taktik policalmarketing.5 Ini didasarkan atas keberagaman budaya dan agama di Indonesia yang sayangnya hingga saat ini masih sering dipolitisasi untuk membeli suara rakyat sehingga jika tidak dikelola dengan baik, keragaman budaya, etnis, dan agama justru akan menjadi pendorong terbentuknya politik identitas dalam konteks yang negatif. Tanpa disadari masyarakat akan lebih percaya terhadap pemimpin yang memiliki suatu kesamaan identitas dengan mereka yang tentunya model pemilihan pemimpin seperti ini merupakan hasil dari sikap primordialisme yang tumbuh dimasyarakat. Anomali demokrasi dapat menghilangkan sisi keadilan di masyarakat yang berujung pada kecurangan dalam Pemilu. Haus akan jabatan menyebabkan calon banyak melakukan manipulasi demokasi untuk memenangkan kontestasi Pemilu. Penggunaan isu-isu yang berafiliasi dengan SARA telah mengakar pada Pemilu di negara ini. Untuk menganalisis dan menjawab paradoks-paradoks tersebut, penulis melalui tulisan ini penulis mengkaji dampak yang akan timbul akibat penggunaan politik identitas dan isu SARA saat Pemilu dengan menelusuri sebab munculnya paradoks tersebut. Kemudian penulis juga mencoba membenturkan dampak tersebut dengan nilai demokrasi di negara ini. Tak lupa juga dalam tulisan 3 Purwanto, ‘Politik Identitas dan Resolusi Konflik Transformatif’, Jurnal Review Politik, 5 (2015), 61. 4 Edwi Arief Sosiawan and Rudi Wibowo, ‘Representasi Politik Identitas Dalam Kampanye Online Calon LegislatifPartai Politik Peserta Pemilu 2014’, Jurnal Ilmu Komunikasi, 13 (2015), 236. 5 Abd Hannan, ‘Kembalinya Politik Identitas’, Detiknews<https://news.detik.com/read/2018/01/03/111948/3796760/103/kembalinya-politikidentitas> [accessed 14 October 2018].
ini memperlihatkan studi perbandingan negara sebagai cerminan mutu demokrasi dan sikap anti diskriminatif dalam perpolitikan di Indonesia. Demokrasi Pada awal kemunculannya demokrasi dianggap sebagai penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan individu yang terkadang hanya dipahami sebagai proses pemilihan pemimpin.6 Sejarah mencatat jika gagasan demokrasi dapat
dihubungkan dengan deklarasi Perancis tahun 1776 yang
cenderung kapitalis. Tentu hal ini menimbulkan kerugian bagi rakyat karena sistem ekonomi dimonopoli oleh swasta dan negara tidak dapat mengintrusi hal tersebut.7 Kemudian gagasan demokrasi berkembang dan berkaitan dengan penuntutan kesamaan dimuka hukum dan perlindungan hak asasi manusia yang meluas dengan adanya pemisahaan dan pembagian kekuasaan pemerintah.8 Pada dasarnyaa, demokrasi memiliki nilai-nilai kontributif dan independensi yang harus dihormati dan dilaksanakan seluruh elemen warga negara.9 Konsep kekuasaan rakyat dapat dikaitkan dengan parlemen yang bertugas untuk menjembatani aspirasi rakyat di pemerintahan. Demokrasi juga selalu bertumpu pada asas kesamaan yang bermakna bahwa setiap warga negara memiliki derajat yang sama.10 Selain itu demokrasi diartikan sebagai proses pemilihan yang cerdas berdasarkan fakta fakta dan menggunakan akal bukan atas dasar SARA. Namun sikap yang ditunjukkan adalah publik terpancing untuk memperjuangkan dan mendukung calon bukan berdasarkan program kerja yang ditawarkan tetapi atas suatu kesamaan yang membuat makna demokrasi tidak dijalankan sebagaimana 6 Demokrasi telah lama berkembang sebagai sesuatu proses penghargaan terhadap HAM, bebas berorganisasi dan aktif dalam pemerintahan menjadi sebuah hal lama. Namun kemudian demokrasi terus berkembang dan memiliki makna baru. Lihat David Efendi, Lokalisasi Demokrasi: Politik Identitas Dalam Gerakan Keistimewaan Di Yogyakarta Pasca Orde Baru, 2003-2012 (Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 11 January 2018), pp. 1–2. 7 Agustam, ‘Konsepsi Dan Implementasi Demokrasi Pancasila Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia’, Jurnal TAPIs, 7 (2011), 79. 8 Benny Bambang Irawan, ‘Perkembangan Demokrasi di Negara Indonesia’, Hukum dan Dinamika Masyarakat, 5 (2007), 63. 9 Farahdiba Rahma Bachtiar, ‘Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi dari Berbagai Representatif’, 3 (2014). 10 Munawar Noor, ‘Tahun Politik: Antara Demokrasi Prosedural-Substansial’, Mimbar Administrasi FISIP UNTAG Semarang, 13.18 (2018), 80.
seharusnya.11 Tentu ini menyebabkan sistem demokrasi menjadi tidak sehat dan cenderung menampakkan sisi nepotisme sebagai akibat pelaksanaan demokrasi tradisional di Indonesia. Penulis sependapat dengan Benny Susetyo selaku pemerhati agama yang menurutnya dalam suatu pesta demokrasi diperlukan akal dan pemikiran yang matang melalui penggunaan logika secara sadar.12 Pendapat dari Beny dapat diperkuat dengan pendekatan Rational Choice Theory13 dimana inti sari dari teori ini yaitu individu adalah pemilih yang rasional dan menetapkan pilihan dengan cara dan pertimbangan yang rasional pula termasuk perhitungan untung dan ruginya. Sebagian besar penganut pendekatan tersebut merupakan individu berstrata sosial moderat, kaum elite dan berintelektual. 14 Namun kendala muncul saat negara memberikan kebebasan mutlak kepada rakyat untuk menentukan pilihan dan tidak
ada paksaan untuk menggunakan legal rational yang
berimplikasi pada munculnya nepotisme dalam demokrasi. Selanjutnya jika melihat besarnya potensi SARA dalam Pemilu di Indonesia menunjukkan jika masyarakat hanya memaknai demokrasi sebagai pesta demokrasi yang prosedural sehingga menunjukkan demokrasi liberal. 15 Selain itu, iklim politik yang memanas dengan banyaknya kampanye
hitam maupun
kampanye negatif, memungkinkan pendekatan Rational Choice Theory sulit diterapkan pada Pemilu 2019. Definisi dan Dimensi Politik Identitas Menurut Kauffam tidak hanya pentingnya pengakuan dari kelompok lain atas jati diri suatu budaya namun dukungan terhadap segregasi
juga dapat
dinamakan politik identitas.16Aksi ini telah mendunia dan diasumsikan sebagai 11 Benny Sumardiana, ‘Formulasi Kebijakan Penanganan Tindak Pidana Berbasis Isu Sara dalam Pemilihan Umum’, 11 (2016), 81 (p. 80). 12 Notre Dame, ‘Indonesia Itu Berbeda, Namun Tetap Satu’, Sekolah Notre Dame, 2 January 2017, 6. 13 Subhan El Hafiz, ‘Teori Pilihan Rasional’, in Teori Psikologi Sosial Kontemporer, 2016. 14 Mohammad Supriyadi, ‘Politisasi Agama di Ruang Publik: Komunikasi SARA dalam Perdebatan’, Jurnal Keamanan Nasional, 1 (2015), 404. 15 Efendi. 16 LA Kauffmanand Barbara Ryan, The Anti-Politics of Identity,IdentityPolitics in theWomwn’sMovement, 2001.
salah satu cara oleh kaum identitas untuk mendapatkan legalisasi. 17Agnes Heller yang dalam teks politiknya mengartikan politik identitas menempati perbedaan sebagai atensi tertinggi dalam sistem politik. 18Kemudian pernyataan Heller diperkuat dengan argumentasi KlausvonBeymekeadaan dapat dikatakan politik identitas jika terdapat suatu tuntutan untuk merekonstruksi keadaan masyarakat dan tidak ada kaitannya dengan menguasai pemerintahan sebagai mana biasanya.19 Merujuk pada dua pendapat diatas dapat dilihat jika penerapan identitas dalam perpolitikan selalu berkaitan dengan menguasai suatu keadaan sesuai dengan identitas pelaku politik identitas. Seperti yang telah penulis kemukakan di awal, menyeruaknya isu SARA di Indonesia tidak terlepas dari cerdasnya aktor politik dalam melihat keadaan untuk memainkan isu SARA. Lemahnya kemampuan partai politik dalam mengelola masalah dan didukung dengan literasi politik masyarakat kita yang lemah menimbulkan ketidakmampuan masyarakat menanggapi dan menentukan sikap terhadap hal tersebut. Selain itu literasi komunikasi juga menjadi hal krusial dalam menyikapi isu SARA. Penggunaan media sosial sebagai salah satu alat yang ampuh untuk menebar isu SARA tidak disikapi dengan bijak oleh masyarakat. Kecenderungan masyarakat terbawa arus mengakibatkan isu SARA semakin mengalir deras saat Pemilu. Selanjutnya, lemahnya penegakan hukum juga menjadi pendorong berkembangnya politisasi SARA saat kampanye untuk mendulang suara rakyat. Hukum domestik kita telah mengatur pelarangan penggunaan SARA saat berkampanye yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 atau yang biasa disebut UU Legislatif.20 Namun regulasi tersebut tidak ampuh menghentikan
politisasi
SARA
dan
memunculkan
perpecahan
bangsa.
17 Dalam perpolitikan Indonesia isu SARA menjadi masalah yang harus diperhatikan, hal ini diakibatkan kemunculan SARA tidak hanya dalam bentuk berita bohong atau yang sering disebut hoax tetapi juga dapat berwujud diskriminasi budaya. Selengkapnya lihat Laode MachdaniAfala, Politik Identitas di Indonesia (Universitas BrawijayaPress, 2018). 18 Muhtar Haboddin, Politik Primordialisme: dalam Pemilu di Indonesia (Universitas BrawijayaPress, 2015). 19 Gm Sukamto, ‘Politik Identitas (Suatu Kajian Awal Dalam Kerangka dan Interaksi “Lokalitas” dan “Globalisasi”)’, Jurusan Sejarah FIS Universitas Negeri Malang, 2010, 17. 20 Terkait pelarangan penggunaan SARA saat Pemilu selengkapnya lihat Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012
Menyeruaknya isu SARA memberikan sinyal jika sistem Pemilu kita belum merangkak dari konstruksi tribalisme dan tidak terakomodirdi dalam sistem perundang-undangan.21 Luputnya legislator dalam mengatur hal ini menyebabkan faham ini secara tersirat diterapkan baik saat Pemilu maupun dalam penyelenggaraan negara. Eksploitasi
Identitas
dalam
Politik:
Mendekonstruksi
Kemapanan
Demokrasi di Indonesia Uraian Penggunaan Identitas dalam Sejarah dan Realitas Politik Indonesia Berkaca dari negara Malaysia, penggunaan identitas sangat kuat dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Selain itu, terdapat segregasi hak dalam kehidupan berdemokrasi di negara tersebut. Sebagai salah satu negara jajahan Inggris, Malaysia pada realitasnya masih menganut warisan dari Inggris yang berbentuk lembaga demokrasi. Lembaga tersebut diperkenalkan saat kolonial Inggris menduduki tanah Malaysia dengan membuat strategi reformasi. Strategi ini digunakan sebagai jembatan untuk mentransmisi kekuasaan kepada Malaysia yang dilegalkan melalui Perjanjian Federasi Malaya tahun 1948. 22 Oleh karena itu, Malaysia adalah suatu negara yang menganut
sistem demokrasi
meskipun tidak berjalan dengan mulus.Hal ini dapat dilihat dilihat saat Malaysia melaksanakan Pemilu secara berkala yang jauh dari kata bebas dan adil. Keadaan dikarenakan Pemilu di Malaysia dikekang dengan kemandirian sipil dan hak berpolitik.23 Strategi reformasi yang diwariskan kepada Malaysia menggambarkan penggunaan identitas sangat dominan dan perlakuan diskriminasi terlihat jelas. Pada realitasnya keistimewaan yang didapat oleh masyarakat Melayu tidak terlepas dari sebuah perjanjian antara Malaysia dan Inggris. Perjanjian tersebut menghasilkan suatu kebijakan jika masyarakat Melayu menjalankan roda 21 Mukhtar Sarman, ‘Memahami Konflik Sosial Berbau SARA’, 1–2. 22 Mohammad Fauzi, ‘Demokrasi Di Malaysia: Studi Perbandingan Periode Pemerintahan Tiga Perdana Menteri Malaysia’, Jurnal Hubungan Internasional, 4.1 (2015), 59 <https://doi.org/10.18196/hi.2015.0066.58-66>. 23 Fauzi.
perpolitikan, agama dan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional sedangkan masyarakat
Tionghoa dan India menguasai bidang ekonomi.
Kenyataan menunjukkan jika kebijakan tersebut membuat Malaysia mengalami kesenjangan ekonomi yang signifikan. Ketika masalah ini muncul terlihat jelas jika pemerintah Malaysia melakukan diskriminasi yang ekstrim terhadap warga negaranya. Seolah-olah pemerintah Malaysia enggan membiarkan masyarakat Melayu mengalami kesulitan dan kesengsaraan di tanah sendiri. Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan aturan New EconomicPolicy24 untuk membentengi masyarakat
Melayu
dari
kesengsaraan
yang
mana
hal
itu
berbentuk
affirmativeaction.25 Menurut hemat penulis hal ini tidak terlepas dari sejahteranya kaum Tionghoa dan India pada masa itu sehingga timbul ketakutan dari masyarakat Melayu jika dua golongan masyarakat tersebut diberi akses politik maka eksistensi mereka akan pudar di negeri sendiri. Selain itu penulis meyakini pula kebijakan ini dikeluarkan juga untuk meningkatkan eksistensi etnis Melayu sebagai etnis mayoritos di Malaysia. Pada
akhirnya
pemerintah
Malaysia
menyadari
jika
diskriminasi
antargolongan terus bergulir akan menyebabkan perpecahan dalam negara. Selain itu tujuan utama adanya diskriminasi etnis tersebut tidak terwujud tetapi justru menyengsarakan etnis Melayu yang selama ini dilindungi. Penulis menyarankan seharusnya sebagai penganut demokrasi, Malaysia dalam membuat kebijakan dapat menggunakan rasa keadilan dan kesamaan dalam masyarakat. Pemerintah juga harus menghilangkan ketakutan terhadap warga negara dimana jika hal itu tetap dipelihara oleh pemerintah Malaysia ini akan menjadi api bagi negara. Ini beralasan karena jika kaum minoritas merasa dibaikan dan hak-haknya tidak diberikan memungkinkan adanya pemberontakan dalam masyarakat dan stabilitas negara akan terganggu.
24 NEP adalah kebijakan yang digunakan oleh pemerintah Malaysia untuk menyeimbangkan pendapatam serta menaikkan kesejahteraan ekonomi etnis Melayu dibandingkan dengan etnis lainnya. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Perdana Menteri Abdul Razak. 25 Siti Muslimah, â&#x20AC;&#x2DC;Integrasi Etnis India Pasca Penetapan Kebijakan 1Malaysia Policyâ&#x20AC;&#x2122;, JOM FISIP, 4.1 (2017), 2.
Sejauh ini tindakan yang dilakukan pemerintah Malaysia yaitu dengan menetapkan 1Malaysia Policy dengan harapan semua golongan di Malaysia dapat bersatu. Meskipun kebijakan tersebut
telah
dilaksanakan disintegrasi
antargolongan tidak mampu diatasi dan hingga saat ini diskriminasi etnis masih terjadi di Malaysia.26 Partai politik di Malaysia layaknya rumah bagi etnis tertentu sebagai akibat tidak ada peleburan etnis didalamnyakarena pendirian partai berdasarkan etnis masing-masing. Selain itu, etnis Melayu masih menguasai kursi parlemen di Malaysia. Berbeda halnya dengan Malaysia, bentuk diskriminasi etnis di Indonesia tidak ekstrim seperti Malaysia yang secara terang-terangan menunjukkan diskriminasi melalui kebijakan pemerintah. Namun di Indonesia bentuk diskriminasi
tersebut dilakukan secara tersirat. Padahal dalam landasan
konstitusional jelas menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara anti diskriminasi.27 Namun hal ini seakan-akan berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi dimana secara nyata diskriminasi masih dilaksanakan di Indonesia. Misalnya dengan dilarangnya mantan anggota PKI atau yang terlibat dalam G30S/PKI untuk mencalonkan diri sebagai Presiden ataupun wakil Presiden. 28 Namun aturan tersebut dinilai tidak sejalan dengan keadaan saat ini terlebih diperkuat dengan putusan MK dengan Perkara Nomor 011-01-017/PUU-I/2003 yang telah dikeluarkan sebelumnya.29 Apabila penggunaan identitas dijadikan bahan untuk membatasi pelaksanaan politik suatu golongan penulis melihat adanya kecacatan dalam demokrasi dinegara ini. Hal ini akan berdampak pada tidak tersalurkannya secara keseluruhan aspirasi segala golongan dan berimplikasi pada penurunan kepercayaan masyarakat terhadap politik. Selain itu, politik
identitas di
Indonesia
juga secara tidak langsung
mendiskreditkan etnis Tionghoadimana mereka sulit untuk menjadi pemimpin 26 Muslimah. 27 UUD NRI 1945secara gamblang menyatakan jika sikap diskriminasi tidak dapat diterapkan dinegara Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia adala negara multikultural dan negara wajib menjaga keadilan dalam masyarakat termasuk perlakuan yang adil terhadap semua etnis di Indonesia. Lihat pasal 28 I ayat 2 UUD NRI 1945 28 Lihat Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2014 pasal 10 huruf q 29 Castro, â&#x20AC;&#x2DC;Pemilu Dan Diskriminasi Politik | Arah Juangâ&#x20AC;&#x2122;, 2014 <http://www.arahjuang.com/2014/05/19/pemilu-dan-diskriminasi-politik/> [accessed 15 October 2018].
negeri ini. Kesulitan ini bukan karena suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah akan tetapi sosio-kultur masyarakat yang membuat praktik semacam ini bergulir dalam Pemilu. Masyarakat kita telah didoktrin untuk memilih pemimpin “Indonesia Asli” terlebih jika dia beragama Islam. Padahal dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah disebutkan makna dari kata “Indonesia Asli”.30 Selain itu, unsur agama juga dijadikan pertimbangan masyarakat dalam memilih pemimpin. Tidak dipungkiri kasus yang menimpa Ahok merupakan dampak dari adanya praktik semacam ini. Harus diakui
jika
Indonesia pernah khilaf
melakukan diskriminasi
terhadap non-muslim yang mana hal itu pernah tercantum dalam Piagam Jakarta. Disebutkan jika Indonesia menghendaki Presiden dan Wakil Presiden adalah beragama Islam sehingga hal tersebut meniscayakan orang yang non-muslim untuk memimpin Indonesia.31 Namun seiring berjalannya negara ini hal tersebut telah ditanggalkan dan segala kebijakan yang dibuat pemerintah telah mengakomodir kepentingan setiap golongan. Hanya saja yang menjadi permasalahan sulitnya non-muslim menjadi Presiden ialah mayoritas warga negara Indonesia beragama Islam dan didukung dengan sistem Pemilu secara langsung. Pentingnya Menghilangkan Politik Identitas Pada dasarnya, faktor politik identitas selalu ditunggangi oleh kekuasaan yang dibagi dan diperebutkan sehingga menjadi penyumbang terbesar munculnya
30 Masyarakat kita masih dibayang bayangi oleh kata “Indonesia Asli” pada setiap Pemilihan Presiden. Masyarakat belum sepenuhnya paham terkait makna tersebut. Padahal “Indonesia Asli” secara jelas ditujukan untuk orang yang yang memiliki keturunan Indonesia meskipun berbeda etnis. Terkait makna “Indonesia Asli” lihat UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan 31 Pada saat itu terjadi kompromi antara golongan nasionalis dan golongan muslim dimana mereka menginginkan Negara Republik Indonesia berdasarkaan agama Islam. Namun golongan Islam menginkan adanya kekutan untuk menjalankan hal tersebut sehingga saat itu pula Wahid Hasjim mengatakan “hanya orang Islam yang dapat dipilih menjadi pemimpin di negri ini dan mengusulkan penambahan kata”yang beragama Islam” dalam kata terakhir pasal 4 ayat 2. Selengkapnya bacaMujar Ibnu Syarif, ‘SPIRIT PIAGAM JAKARTA DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945’, JURNAL CITA HUKUM, 4.1 (2016) <https://doi.org/10.15408/jch.v4i1.3568>.
politisasi identitas pada tahun politik.32Permainan politik
identitas digunakan
untuk mendapatkan suara, terlebih pemilih yang memiliki identitas yang sama. Politik identitas ibarat pisau bermata dua dimana dia memiliki sisi tajam dan tumpul. Politik identitas dapat dijadikan sarana untuk memperkuat identitas karena pelaku identitas mampu menunjukkan eksistensi dirinya diantara identitas yang lain.
Sedangkan disisi
lain politik identitas menjadi sesuatu yang
membahayakan keutuhan persatuanapabila pelaku identitas terlalu berlebihan dalam menerapkannya. Misalkan dengan penggunaan sikap primordialisme yang membuat penganutnya merasa jika kebudayaannya menjadi yang paling baik dan merendahkan budaya lain. Selain itu penggunaan identitas politik saat kampanye juga akan menurunkan kepercayaan politik masyarakat.Kepercayaan politik berhubungan erat dengan penilaian masyarakat terhadap produk hukum yang dikeluarkan oleh suatusistem misal politisi, struktur politik dan lembaga-lembaga. 33Pada prinsipnya ketika masyarakat merasa jika pejabat negara melakukan tugasnya dengan benar dan masyarakat merasa puas disitulah kepercayaan masyarakat terbentuk.34 Penulis meyakini jika, karakter seorang pemimpin baik atau tidak dapat dilihat dari bagaimana dia mendapatkannya. Jika
seorang pemimpin mendapatkan
jabatannya menggunakan cara yang salah maka kemungkinan besar dia akan menjalankan roda kepemimpinan dengan cara yang salah pula. Selain itu kepercayaan masyarakat dapat menurun karena masyarakat jenuh dengan sistem yang ada. Menurut hemat penulis, sistem demokrasi di Indonesia beberapa tahun terakhir selalu menampakkan birokrasi demokrasi yang buruk 35dan berlangsung 32 Kamaruddin Salim, ‘Politik Identitas di Maluku Utara’, Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan, 11 (2015), 1668. 33 Hasbi Wahyudi andothers, ‘Peran Kepercayaan politik dan Kepuasan Demokrasi terhadap Partisipasi Politik Mahasiswa’, Jurnal Psikologi, 9.2 (2013), 96. 34 Handrix Chris Haryanto and Tia Rahmania, ‘Bagaimanakah Persepsi Keterpercayaan Masyarakat terhadap Elit Politik?’, Jurnal Psikologi, 42.3 (2015), 244 <https://doi.org/10.22146/jpsi.9913>. 35 Indikasi birokrasi demokrasi di negara ini buruk salah satunya adalah adanya fitnah yang dilakukan oknum untuk merusak citra baik lawan. Misalnya saja kasus fitnah terhadap Jokowi dimana dia dituduh sebagai PKI. Fitnah itu tetap berlanjut tetapi hanya pada saat Pemilu berlangsung. Selengapnya lihat Wishnugroho Akbar, ‘Jokowi Kembali Tegaskan Dirinya Bukan Kader PKI’, Nasional, 2018 <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180521124543-32-299959/jokowi-kembalitegaskan-dirinya-bukan-kader-pki> [accessed 11 October 2018].
secara konstan. Seakan-akan hukum yang ada hanya sebagai ilmu pengetahuan tanpa ada praktikdilapangan. Dampak selanjutnya yang ditimbulkan adalah meningkatnya kaum golongan putih (Golput). Penggunaan prosedur yang salah dan tidak diperbolehkan mendorong masyarakat tidak menggunakan hak pilih mereka
dalam
penyelenggaraan Pemilu. Tentu ini menghambat proses demokrasi yang sukses karena suksesnya sebuah Pemilu terlihat dari antusias masyarakat dalam menyalurkan suara mereka. Adanya golput dalam masyarakat telah menjadi kebiasaan dan merupakan hal yang wajar dilakukan dalam sistem demokrasi kita. Hal ini tidak terlepas dari berbagai masalah yang tidak dapat ditangani oleh pemerintah secara tuntas. Masyarakat juga dikecewakan dengan perilaku calon yang menggunakan isu SARA dan permainan politik identitas sebagai senjata mereka
dalam
Pemilu.
Tentu
ini
bukan
harapan
masyarakat
untuk
keberlangsungan demokrasi di negara hukum seperti Indonesia. Golput juga muncul karena adanya urusan politik yang berseberanganseperti
perbedaan
ideologi, partai yang mereka usung tidak lolos atau munculnya pemikiran jika calon yang maju dalam Pemilu tidak dapat menjadi representasi cita-citanya.36 Selanjutnya muncul sikap dingin masyarakat terhadap politik di Indonesia. Masyarakat menaruh sikap tidak peduli terhadap sistem politik dan demokrasi. Sikap seperti ini dapat menghambat perkembangan karena pemerintah membutuhkan aspirasi dari masyarakat untuk membangun negara dan membutuhkan bantuan warga negara untuk sama-sama menyokong negara. Jika keduanya tidak diperoleh negara maka negara akan berjalan otoriter tanpa adanya pengawasan dari rakyat. Kesimpulan Istilah demokrasi dalam negara hukum seperti di Indonesia telah lazim digunakan untuk menggambarkan rakyat sebagai pemegang otoritas tertinggi. Implementasi dari hal tersebut yaitu pelaksanaan Pemilu sebagai ujung tombak 36 Anton Yuliono, â&#x20AC;&#x2DC;Kepercayaan Mayarakat Pada Partai Politik ( Studi Kasus Kecenderungan Golongan Putih Pada Pemilihan Kepala Daerah Di Wilayah Surabaya)â&#x20AC;&#x2122;, Jurnal Administrasi Publik, 11.1 (2013), 174â&#x20AC;&#x201C;75.
demokrasi di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya demokrasi di Indonesia tidak terlepas dari sisi buruk. Begitu pluralistiknya masyarakat membuat persaingan identitas didalam Pemilu meningkat dengan penggunaan politik identitas sebagai senjata ampuh untuk mendulang suara. Selain itu penguatan isu SARA di tahun politik seperti saat ini menjadi ancaman untuk demokrasi di Indonesia. Kekhawatiran ini wajar terjadi karena penerapan kedua hal itu dapat menimbulkan sistem demokrasi yang tidak sehat dan mengesampingkan rasa keadilan di masyarakat. Lemahnya literasi politik masyarakat juga dimanfaatkan aktor politik memainkan perannya dalam Pemilu. Mereka menyebarkan berita hoax atau melakukan kampanye hitam untuk memainkan emosi pemilih. Hal ini berakibat pada kualitas pemilih yang mana dia memilih bukan atas dasar program kerja tetapi berdasarkan opini yang telah aktor politik bentuk. Selain itu adanya isu SARA, politik identitas dan kampanye hitam bertentangan dengan makna demokrasi. Hal demikian dikarenakan salah satu makna demokrasi ialah suatu proses pemilihan yang cerdas dan menggunakan akal dan pertimbangan yang matang. Dampak yang muncul jika makna demokrasi ini diabaikan maka akan memunculkan penuruan kualitas demokrasi, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap politik dan dapat memecah belah bangsa. Jika ini dibiarkan terus-menerus tanpa ada tindakan serius maka masyarakat akan bersikap apatis terhadap negara dan mengakibatkan negara berjalan tanpa kawalan rakyat.
Daftar Pustaka Adriananta, Razif Syauqi, â&#x20AC;&#x2DC;Politik Identitas di Indonesia Kiniâ&#x20AC;&#x2122;, GEOTIMES, 2018 <https://geotimes.co.id/opini/politik-identitas-di-indonesia-kini/> [accessed 11 October 2018] Afala, Laode Machdani, Politik Identitas di Indonesia (Universitas Brawijaya Press, 2018)
Agustam, ‘Konsepsi Dan Implementasi Demokrasi Pancasila Dalam Sistem Perpolitikan Di Indonesia’, Jurnal TAPIs, 7 (2011), 79 Akbar, Wishnugroho, ‘Jokowi Kembali Tegaskan Dirinya Bukan Kader PKI’, Nasional, 2018 <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180521124543-32299959/jokowi-kembali-tegaskan-dirinya-bukan-kader-pki> [accessed 11 October 2018] Bachtiar, Farahdiba Rahma, ‘Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi dari Berbagai Representatif’, 3 (2014) Castro, ‘Pemilu Dan Diskriminasi Politik | Arah Juang’, 2014 <http://www.arahjuang.com/2014/05/19/pemilu-dan-diskriminasi-politik/> [accessed 15 October 2018] Dame, Notre, ‘Indonesia Itu Berbeda, Namun Tetap Satu’, Sekolah Notre Dame, 2 January 2017, 6 Efendi, David, Lokalisasi Demokrasi: Politik Identitas Dalam Gerakan Keistimewaan Di Yogyakarta Pasca Orde Baru, 2003-2012 (Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 11 January 2018), pp. 1–2 El Hafiz, Subhan, ‘Teori Pilihan Rasional’, in Teori Psikologi Sosial Kontemporer, 2016 Fauzi, Mohammad, ‘Demokrasi Di Malaysia: Studi Perbandingan Periode Pemerintahan Tiga Perdana Menteri Malaysia’, Jurnal Hubungan Internasional, 4 (2015), 59 <https://doi.org/10.18196/hi.2015.0066.58-66> Haboddin, Muhtar, Politik Primordialisme: dalam Pemilu di Indonesia (Universitas Brawijaya Press, 2015) Hannan, Abd, ‘Kembalinya Politik Identitas’, Detiknews <https://news.detik.com/read/2018/01/03/111948/3796760/103/kembaliny a-politik-identitas> [accessed 14 October 2018] Haryanto, Handrix Chris, and Tia Rahmania, ‘Bagaimanakah Persepsi Keterpercayaan Masyarakat terhadap Elit Politik?’, Jurnal Psikologi, 42 (2015), 244 <https://doi.org/10.22146/jpsi.9913> Irawan, Benny Bambang, ‘Perkembangan Demokrasi di Negara Indonesia’, Hukum dan Dinamika Masyarakat, 5 (2007), 63 Kauffman, LA, and Barbara Ryan, The Anti-Politics of Identity,Identity Politics in the Womwn’s Movement, 2001
Muslimah, Siti, ‘Integrasi Etnis India Pasca Penetapan Kebijakan 1Malaysia Policy’, JOM FISIP, 4 (2017), 2 Noor, Munawar, ‘Tahun Politik: Antara Demokrasi Prosedural-Substansial’, Mimbar Administrasi FISIP UNTAG Semarang, 13 (2018), 80 Purwanto, ‘Politik Identitas dan Resolusi Konflik Transformatif’, Jurnal Review Politik, 5 (2015), 61 Salim, Kamaruddin, ‘Politik Identitas di Maluku Utara’, Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan, 11 (2015), 1668 Sarman, Mukhtar, ‘Memahami Konflik Sosial Berbau SARA’, 1–2 Sosiawan, Edwi Arief, and Rudi Wibowo, ‘Representasi Politik Identitas Dalam Kampanye Online Calon LegislatifPartai Politik Peserta Pemilu 2014’, Jurnal Ilmu Komunikasi, 13 (2015), 236 Sukamto, Gm, ‘Politik Identitas (Suatu Kajian Awal Dalam Kerangka dan Interaksi “Lokalitas” dan “Globalisasi”)’, Jurusan Sejarah FIS Universitas Negeri Malang, 2010, 17 Sumardiana, Benny, ‘Formulasi Kebijakan Penanganan Tindak Pidana Berbasis Isu Sara dalam Pemilihan Umum’, 11 (2016), 81 Supriyadi, Mohammad, ‘Politisasi Agama di Ruang Publik: Komunikasi SARA dalam Perdebatan’, Jurnal Keamanan Nasional, 1 (2015), 404 Syarif, Mujar Ibnu, ‘SPIRIT PIAGAM JAKARTA DALAM UNDANGUNDANG DASAR 1945’, JURNAL CITA HUKUM, 4 (2016) <https://doi.org/10.15408/jch.v4i1.3568> Wahyudi, Hasbi, Tantio Fernando, Azhari Ahmad, Ayu Khairani, Ivan Muhammad Agung, and Mirra Noor Milla, ‘Peran Kepercayaan politik dan Kepuasan Demokrasi terhadap Partisipasi Politik Mahasiswa’, Jurnal Psikologi, 9 (2013), 96 Yuliono, Anton, ‘Kepercayaan Mayarakat Pada Partai Politik ( Studi Kasus Kecenderungan Golongan Putih Pada Pemilihan Kepala Daerah Di Wilayah Surabaya)’, Jurnal Administrasi Publik, 11 (2013), 174–75