URGENSI REVISI UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Oleh : Gregorius Alisander Ponglapik Lahirnya hukum kepailitan di Indonesia salah satunya disebabkan oleh terjadinya krisis moneter yang melanda negara-negara Asia sejak pertengahan tahun 1997. Peristiwa tersebut memberikan dampak yang merugikan pada sistem perekonomian dan perdagangan nasional, sehingga menyebabkan perlunya penyelesaian masalah utang piutang dalam dunia usaha di Indonesia pada saat itu. Sejarah mencatat bahwa kepailitan telah berada dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia bahkan pada masa pra-kemerdekaan. Sejak kemunculan hukum kepailitan ‘baru’ di Indonesia pada tahun 1998, dengan dikeluarkannya Perppu No. 1 Tahun 1998, yang bersumber pada hukum kepailitan peninggalan kolonial Belanda (Faillissementsverordening, Staatsblad 1905 No 217 dan 1906 No 348), praktik kepailitan menjadi salah satu praktik yang paling sering digunakan dalam penyelesaian sengketa antara debitur dengan kreditur. Soal kepailitan ini kemudian diakomodir dalam suatu undang-undang pada tahun 2004 melalui UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU). Dengan adanya peraturan hukum yang mengakomodir tentang kepailitan tersebut, maka negara memberikan jalan keluar bagi debitur yang sedang mengalami kesulitan keuangan agar dapat melakukan pelunasan utang meskipun tidak seeara penuh. Adanya UU No. 37 Tahun 2004 dimaksudkan untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan sebagai berikut; yaitu apabila terjadi perebutan harta debitur jika dalam waktu yang bersamaan terdapat beberapa kreditur yang menagih piutangnya kepada debitur. Hal kedua yang diantisipasi adalah apabila kreditur selaku pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya. Serta yang ketiga, mengantisipasi potensi kecurangan yang dilakukan oleh kreditur atau debitur itu sendiri.
Pada praktiknya, dengan masih berlakunya UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ternyata memberikan banyak kendala kepada berbagai pihak, baik debitur, kreditur, atau bahkan kurator. Oleh karena itu muncul banyak pemikiran yang menyatakan bahwa UU Kepailitan yang masih berlaku sekarang sudah tidak lagi sesuai dengan realita zaman. Adapun beberapa permasalahan yang terkait dengan urgensi revisi UU KPKPU itu sendiri, yang pertama adalah berkaitan dengan Pasal 2 ayat (3) UU KPKPU mengenai syarat dan putusan pailit, apabila dalam hal ini debitur adalah bank. Dalam pasal tersebut ditegaskan apabila dalam hal ini bank yang menjadi debitur, maka yang dapat mengajukan permohonan kepailitan adalah hanya Bank Indonesia. Dalam hal ini, dalam UU KPKU dijelaskan bahwa hanya Bank Indonesia yang berwenang mengajukan permohonan pailit terhadap bank, didasarkan penilaian terhadap kondisi keuangan dan perbankan secara keseluruhan. Hal ini kemudian menjadi bertentangan dengan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keungan (UU OJK). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia baik dalam hal pengawasan maupun pengaturan pada sektor perbankan beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini pun apabila dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (3) UU KPKPU menimbulkan perbenturan, karena dalam hal kewenangan pengajuan permohonan pailit menjadi ‘abu-abu’, apakah Bank Indonesia atau OJK yang berwenang untuk mempailitkan suatu bank dalam hal menjadi debitur. Melalui penjelasan di atas, maka perlu dibuat revisi dalam Pasal 2 ayat (3) UU KPKPU harus diubah sesuai dengan ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU OJK. Sama halnya dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4), (5) juga harus diubah sesuai dengan ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU OJK, yang mana mengalihkan kewenangan Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada OJK. Permasalahan kedua berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 mengenai pengajuan permohonan pailit yang berbunyi; “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.�
Pada bagian penjelasan, telah dijabarkan bahwa "utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang. Berkaitan dengan pasal ini, banyak anggapan para praktisi kepailitan yang beranggapan bahwa belum ada keseragaman dalam pemahaman ataupun pelaksanaan pasal tersebut yang kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum, yang kemudian dapat berimplikasi terhadap putusan terhadap permohonan pailit itu sendiri yang memperlihatkan bahwa hak debitur menjadi tidak terlindungi. Hal tersebut disebabkan karena tafsiran yang berbeda-beda mengenai apa yang dimaksud dalam unsur “utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih� dalam Pasal 1 ayat (2) UU KPKPU. Kedua permasalahan tersebut; yaitu berkaitan perbenturan kewenangan antara pihak yang berwenang mengajukan permohonan pailit dalam Pasal 2 ayat (1), (3), dan (4) UU No. 37 Tahun 2004 yang berbenturan dengan kewenangan yang dimiliki oleh OJK dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 2011. Kemudian berkaitan dengan ketidakseragaman pemahaman mengenai unsur “utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih� yang menjadi syarat pengajuan permohonan pailit terhadap debitur oleh kreditur dalam Pasal 1 ayat (2) UU KPKPU yang kemudian menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda di kalangan hakim Pengadilan Niaga dan pada tingkat kasasi sehingga dapat berimplikasi terhadap putusan permohonan pailit itu sendiri. Regulasi mengenai kepailitan di Indonesia yang diakomodir melalui UU No. 37 Tahun 2004 memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan regulasi sebelumnya, yaitu Perppu No. 1 Tahun 1998 merupakan respon terhadap kondisi perekonomian nasional yang diterjang oleh krisis moneter pada waktu itu. Hal tersebut demikian juga berlaku pada UU No. 37 Tahun 2004 yang nampaknya sudah lagi tak sesuai dengan praktik kepailitan yang berlaku dengan zaman yang semakin berkembang. Oleh sebab itu, urgensi terhadap revisi UU No. 37 Tahun 20004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat dikatakan amatlah mendesak dalam rangka menjaga stabilnya roda perekonomian nasional.