INFO JURNAL
ALSA Indonesia Law Journal adalah terbitan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Asian Law Students’ Association National Chapter Indonesia dengan frekuensi 2 (dua) kali setahun, yang dimulai pada tahun 2019 dan direncanakan diakreditasi pada tahun ketiga, dengan sasaran: 
Menjadi alat komunikasi antar berbagai elemen komunitas hukum, baik sebagai anggota dan alumni ALSA, ataupun pihak lain untuk memajukan hukum Indonesia;

Menyediakan wadah hasil kajian ilmiah atas berbagai isu hukum di tingkat nasional dan internasional untuk mengembangkan dunia hukum.
ALAMAT REDAKSI Sekretariat ALSA Indonesia Law Journal: Jl. MT. Haryono No. 169, Ketawanggede, Lowokwaru Malang, Jawa Timur Indonesia Website: alsaindonesia.org
DEWAN REDAKSI
Junio Ananda Mahendra (Ketua)
Jesika Althea Widhia Nugraha
MITRA BESTARI
Dr. Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M. in ITLaw, FCBArb. o Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, Bandung
Dina Tsalist Wildana, S.H.I., LL.M. o Fakultas Hukum, Universitas Jember, Jember
Amelia Cahyadini, S.H., M.H. o Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, Bandung
Veri Antoni, S.H., M.H. o Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Muh. Zainul Arifin, S.H., M.H. o Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, Palembang
EDITORIAL Perkembangan dunia informasi dan teknologi serta peningkatan jumlah pengguna internet di Indonesia sangatlah signifikan dan tidak dapat dipandang sebelah mata. Yang membuat setiap orang dapat melaksanakan aktivitas tanpa adanya batas (borderless). Faktanya adalah setiap orang dapat mengakses segala bentuk informasi dimana saja dan kapan saja dengan sangat cepat. Lahirnya hukum siber (Cyber Law) di Indonesia, disebabkan adanya prinsip serta aspek hukum yang dilakukan oleh subjek hukum yang memanfaatkan internet untuk bisa masuk dan mengakses dunia maya. Kemudian lahirlah hukum yang mengkaji permasalahan teknologi, informasi, dan komunikasi di Indonesia. Terjadinya revolusi informasi dan dominasi kebebasan informasi internasional yang luar biasa telah membawa masalah etika, budi pekerti dan kearifan manusia dalam mengelola masalah informasi. Dalam bukunya, Susie Rodwel menyebutkan, telah terjadi krisis etika komunikasi internasional, sehingga komoditas informasi dan media kian mendominasi daripada fungsi sosial. Bahkan, menurut Marshal Mcluhan, terjadinya perubahan nilai-nilai kemanusiaan yang radikal akibat revolusi informasi ini, lebih bersifat menghancurkan nilai kemanusiaan (dehumanisasi) dibandingkan dengan sebuah peperangan dengan senjata api modern. Pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang teknologi informasi pada hakekatnya bertumpu pada disiplin ilmu hukum yang telah lebih dulu ada, yaitu terutama Hukum Kekayaan Intelektual atau disebut juga HAKI (yang terdiri dari Hak Cipta, Hak Paten, Merek, Disain Industri), di samping juga Hukum Internasional, Hukum Perdata Internasional, Hukum Pidana Internasional, Hukum Telekomunikasi dan lain-lain. Inilah yang menjadi alasan diangkatnya mengenai hukum siber dalam ALSA Indonesia Law Journal ini yang diharapkan artikel di dalamnya dapat memberikan suatu pengetahuan yang baru bagi pembacanya. Selamat Membaca! Junio Ananda Mahendra
DAFTAR ISI
ISSN 2656-5429
Nikolaus Baptista Ruma Quo Vadis Perlindungan Konsumen Dalam Pemberlakuan Tanda Tangan Elektronik di Sektor Jasa Keuangan Muhammad Haris Adz Dzakiy Implikasi Hukum Penyebaran Berita Bohong Melalui Internet Sebagai Bentuk Kampanye Agung Kurniawan Sihombing dan Muhammad Nur Mahatmanta Safe Harbor 4.0: Exemption of Platform Providers Liability Under Indonesia Cyber Laws Jefferson Hakim Penarikan Pajak Penghasilan Pada Pelaku Usaha Perdagangan Elektronik (E-Commerce) Melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) Bunga Yuliana Limitasi Akses Media Sosial Ditinjau dari Perspektif Hukum Positif di Indonesia Muhammad Harits Implikasi Penggunaan Teleconference Sebagai Alternatif Pemeriksaan Dalam Peradilan di Indonesia
1-22
23-34
35-56
58-79
80-93
94-110
QUO VADIS PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PEMBERLAKUAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK DI SEKTOR JASA KEUANGAN Nikolaus Baptista Ruma Universitas Gadjah Mada
Abstrak “Het recht hink achter de feiten aan. Hukum selalu tertinggal dibanding suatu peristiwa.� Dewasa ini, dunia tengah mengalami perubahan yang signifikan. Revolusi Industri 4.0 yang tengah mengubah wajah peradaban manusia menghadirkan tantangan-tantangan baru sebagai akibat dari pesatnya perkembangan teknologi. Salah satu dari perkembangan teknologi, utamanya di sektor jasa keuangan adalah tanda tangan elektronik. Tanda tangan elektronik membuat transaksi elektronik antar pelaku industri ekonomi digital berjalan efisien dan efektif. Namun, dalam implementasinya tanda tangan elektronik masih belum mempunyai regulasi hukum yang jelas, terkait dengan segala risiko yang akan dihadapi pelaku usaha digital sebagai konsumen. Maka dari itu, pemberlakuan tanda tangan elektronik dalam transaksi keuangan digital tentu sangat membutuhkan regulasi hukum yang jelas sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen. Regulasi yang ada saat ini, sayangnya masih belum mengatur secara konkret dan spesifik mengenai perlindungan konsumen terkait tanda tangan elektronik, utamanya bagi para pihak dalam perjanjian yang memberlakukan tanda tangan elektronik. Padahal regulasi terkait perlindungan konsumen menjadi titik vital yang menentukan kepercayaan masyarakat, khususnya para pelaku usaha digital dalam menggunakan tanda tangan elektronik dalam transaksi perdagangan digital. Maka dari itu, penting untuk melihat bagaimana kesiapan instrument hukum di Indonesia, seperti regulasi, kebijakan, dan kelembagaan yang dapat menjamin perlindungan para pelaku usaha digital sebagai konsumen dalam menggunakan tanda tangan elektronik, di tengah meningkatnya minat masyarakat untuk mempermudah transaksi bisnisnya dengan menggunakan tanda tangan elektronik di sektor jasa keuangan digital. Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Tanda Tangan Elektronik, Sertifikat Elektronik, Lembaga Sertifikasi Keandalan, Financial Technology.
1
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang “Het recht hink achter de feiten aan. Hukum selalu tertinggal dibanding suatu
peristiwa.” Adagium hukum tersebut nampaknya sungguh menggambarkan dengan jelas fenomena yang kini sedang terjadi, dimana hukum sebagai perangkat kaidahkaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,1 seringkali tertinggal dengan dinamisnya perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Fenomena ini berangkat dari adanya teori bahwa keadaan sosial di masyarakat selalu bergerak berkembang mengikuti naluri manusia yang selalu berusaha menuju ke arah kesejahteraan.2 Dewasa ini, dunia tengah mengalami perubahan yang signifikan. Meningkatnya proses transformasi industri menuju berbasis cyber physical system atau yang dikenal dengan Revolusi Industri 4.0,3 telah merubah berbagai wajah industri di masyarakat dari yang berbentuk kegiatan fisik (konvensional) menjadi industri berbasis digital, tak terkecuali dalam sektor industri keuangan. Industri keuangan digital yang seringkali disebut sebagai Financial Techonology (Fintech) merupakan dampak dari adanya inovasi teknologi dalam sektor keuangan. Perkembangan industri keuangan digital merubah pola kebiasaan masyarakat dalam melakukan suatu transaksi, dimana transaksi tradisional yang umumnya dilakukan secara konvensional berubah menjadi berbentuk digital. Sebagai contoh, Statistik Financial Techonology Lending pada periode Mei 2019 menunjukkan akumulasi transaksi sejumlah Rp. 41.038.865.255.579 dengan akumulasi rekening para pihak, baik lender maupun borrower sebanyak 9.230.687.4 Statistik tersebut menandakan besarnya minat masyarakat untuk melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan digital.
1
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional (Penerbit Bina Cipta, 1995), [31]. 2 Robert H. Laurer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, (PT. Rhineka Cipta, 1993), [19]. 3 Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution, (Crown Publishing Group New York, 2017) [29]. 4 Otoritas Jasa Keuangan, ‘Statistik Fintech Lending Periode Mei 2019’, (Otoritas Jasa Keuangan, 2019), <www.ojk.go.id>, accessed 11 Juni 2019.
2
Revolusi Industri 4.0 yang tengah mengubah wajah peradaban manusia tentu menghadirkan
tantangan-tantangan
baru
sebagai
akibat
dari
pesatnya
perkembangan teknologi. Meningkatnya transaksi digital membawa dampak pada perkembangan pemberkasan dokumen dan tanda tangan. Sebagai salah satu dari perkembangan teknologi, utamanya di sektor jasa keuangan digital muncul terobosan baru untuk mempermudah transaksi bisnis, yakni tanda tangan elektronik (digital signature). Digital Signature pertama kali digagas oleh Diffie dan Hellaman dalam karya ilmiah yang berjudul â&#x20AC;&#x153;New Direction in Cryptographyâ&#x20AC;?, dimana mereka mengusulkan agar setiap pengguna transkasi elektronik menggunakan suatu publik key yang digunakan untuk memvalidasi tanda tangan pengguna transaksi elektronik dan juga merahasiakan secret key yang digunakan untuk membuat suatu tanda tangan.5 Terdapat perbedaan terminologi antara Indonesia dan beberapa negara dalam menyikapi tanda tangan elektronik ini, dimana beberapa negara menggunakan terminologi digital signature sementara Indonesia menggunakan terminologi tanda tangan elektronik. Dalam keseharian, sebagian orang memiliki persepsi yang salah mengenai tanda tangan elektronik. Mereka menganggap, tanda tangan elektronik adalah tanda tangan basah dalam secarik kertas, yang kemudian dipindai dan disimpan sebagai sebuah file digital. Akan tetapi, pengertian yang sebenarnya dari tanda tangan digital bukanlah seperti itu. Tanda tangan digital adalah sebuah fungsi matematis yang dikembangkan dengan menggunakan asymmetric crypthography yang bertujuan untuk melindungi pengiriman informasi kepada pihak tertentu. Pengembahan tanda tangan yang menggunakan asymmetric cryptography dikarenakan tingginya kebutuhan masyarakat akan perlindungan transaksi elektronik dan identitas elektronik, menyebabkan kebutuhan terhadap tanda tangan elektronik menjadi semakin penting.
Yoda Rifky Hanindya, â&#x20AC;&#x2DC;Quo Vadis Pemberlakuan Tanda Tangan Elektronik dalam Industri Keuangan Non-Bankâ&#x20AC;&#x2122;, (CTRLUGM, 2019), <www.ctrlugm.home.blog>, accessed 2 Juni 2019. 5
3
Proses pengiriman informasi dalam kriptografi berawal dari metode enkripsi dengan memakai sebuah kunci. Hasil dari ekripsi yang berbentuk chipertext dikirmkan sesuai dengan alamat tujuan dan oleh penerimanya, chipertext tersebut dibuka dengan menggunakan kunci tertentu. 6 Berbicara mengenai kriptologi tanda tangan elektronik, sejatinya ada dua metode untuk melakukan enkripsi, yaitu kriptografi simetris dan asimetris. Seiring berjalannya waktu, kriptografi simetris mulai ditinggalkan karena tingkat keamanannya yang rendah. Sementara kriptografi asimetris kemudian dijadikan cikal bakal tanda tangan elektronik yang kini telah banyak digunakan yang mengandalkan dua jenis kunci, yakni publik dan privat. Mengenai terminologi dari tanda tangan elektronik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberikan pengertian dari tanda tangan elektronik, yakni â&#x20AC;&#x153;Tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Eletronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentifikasi.â&#x20AC;?7 Kata kunci dari rumusan pasal di atas adalah verifikasi dan autentifikasi, dimana kedua hal tersebut wajib dipastikan oleh pihak yang membubuhkan tanda tangan sebelum menyepakati ketentuan tersebut. Tanda tangan elektronik sendiri merupakan sebuah tanda tangan yang berbasiskan aspek integritas data, otentifikasi, dan nonrepudiation. Algoritma untuk melakukan tanda tangan elektronik sendiri menggunakan metode Digital Signature Algorithm (DSA) dengan fungsi hash.8 Terkait dengan fungsi hash ada dua unsur yang terkait, yakni: 1). Pembuatan tanda tangan elektronik memiliki nilai hash yang berasal dari berkas dan kunci privasi, dimana tanda tangan elektronik diterapkan pada dua dokumen yang sama, tetapi memiliki kunci privat yang berbeda; 2). Saat verifikasi tanda tangan digital, prosesnya harus direferensikan ke berkas asli dan kunci publik. Dengan demikian,
BP Lawyers, â&#x20AC;&#x2DC;Dasar-Dasar Keabsahan Tanda Tangan Elektronik dalam Transaksi Onlineâ&#x20AC;&#x2122;, (BPLawyers.com, 2017), <www.bplawyers.co.id>, accessed 1 Juni 2019. 7 Vide Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 8 Dalam verifikasi tanda tangan digital, fungsi hash perlu diperhatikan. Hash adalah algoritma yang digunakan untuk membuat tanda sejenis sidik jari. Satu hash biasanya hanya bisa dipakai dalam 1 dokumen saja. (BP Lawyers, Loc.Cit.) 6
4
tanda tangan tersebut bisa diakses penerimanya. Bentuk dari tanda tangan elektronik
pun
biasanya
tidak
berbentuk
tanda
tangan
orang
yang
menandatanganinya. Namun, lebih kepada penggunaan kode tertentu yang diverifikasi menggunakan password, PIN, sidik jari, dan sebagainya. Sama halnya dengan tanda tangan basah, tanda tangan elektronik pun dapat menjalankan sejumlah fungsi tanda tangan secara umum, seperti mengidentifikasi penandatangan, memberikan kepastian tentang keterlibatan seseorang dalam penandatanganan tersebut, mengasosiasikan orang tertentu dengan isi dokumen, dan menyatakan kepemilikan dokumen pada si Penandatangan. 9 Melalui tanda tangan elektronik, para pelaku dalam industri keuangan digital akan memperoleh manfaat, seperti terjaminya validitas dan kerahasian data, biaya operasional perusahaan yang bisa ditekan, dan waktu untuk memproses dokumen yang bisa dipangkas tanpa harus mengorbankan prinsip Know Your Customer (KYC). Selain itu, kelebihan yang ditimbulkan dari penggunaan tanda tangan elektronik adalah dampak positif kepada lingkungan, yakni berkurangnya pemakaian kertas dan emisi karbon yang ditimbulkan dari semakin jarangnya penggunaan kertas yang menggunakan tanda tangan basah (konvensional). Pemerintah pun telah memperkenalkan Sistem Verifikasi Identitas Online Nasional (SiVION) sebagai program promosi dan pemanfaatan sertifikat digital dan tanda tangan digital nasional. 10 Bahkan mulai Maret 2019, Dinas Penanaman Modal Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan telah menerbitkan sebanyak 80 izin yang menggunakan tanda tangan elektronik sebagai bentuk pelayanan publik berbasis teknologi informasi. 11 Melihat pesatnya perkembangan industri keuangan digital sudah sewajarnya diimbangi dengan pengaturan dan penggunaan tanda tangan elektronik yang selaras dengan perkembangan industri dan teknologi, sehingga dapat mengakomodasi
Adrian Mccullagh, Peter Little, dan William Caelli, ‘Electronic Signatures: Understand The Past To Develop The Future’, (1998), 21 (2) UNSW Law Journal, [455-456]. 10 Marsya Nabila, ‘Kominfo Sosialisasikan Platform Sivion untuk Tanda Tangan Digital’, (Dailysocial.id, 2016), <www.dailysocial.id>, accessed 10 Juni 2019. 11 Indonesia Government Certification Authority, ‘Penerapan Tanda Tangan Elektronik di DPMPTSP Kabupaten Ogan Komering Ilir’, (Govca.id, 2019) <www.govca.id>, accessed 11 Juni 2019. 9
5
pesatnya perkembangan industri keuangan digital. Oleh karena itu, dalam mendukung perkembangan teknologi di industri keuangan digital dibutuhkan keamanan regulasi tanda tangan elektronik untuk mendukung bisnis tersebut dalam memperhatikan aspek perlindungan konsumen. Maka, segala hubungan hukum yang dilakukan para pelaku industri keuangan digital sebagai konsumen tentu harus dilindungi. Namun, di tengah pesatnya penggunaan tanda tangan elektronik dalam industri keuangan digital, Indonesia masih belum memiliki produk hukum yang secara komprehensif mengatur perihal perlindungan konsumen dalam penggunaan tanda tangan elektronik. Beberapa aturan hukum yang dimiliki oleh Indonesia masih memberikan porsi minimal terkait dengan perlindungan para pelaku usaha digital sebagai konsumen dari risiko dalam penggunaan tanda tangan elektronik. Aturan-atruan tersebut diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PP PSTE), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (Peraturan OJK) Nomor 1/POJK/07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik, sampai kepada Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (Surat Edaran OJK) Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Padahal perlindungan konsumen ini menjadi titik vital yang menentukan kepercayaan masyarakat, khususnya para pelaku usaha digital dalam menggunakan tanda tangan elektronik dalam transaksi perdagangan digital. Maka dari itu, penting untuk melihat bagaimana kesiapan instrumen hukum di Indonesia, seperti regulasi, kebijakan, dan kelembagaan yang dapat menjamin perlindungan para pelaku usaha digital sebagai konsumen dalam menggunakan tanda tangan elektronik, di tengah
6
meningkatnya minat masyarakat untuk mempermudah transaksi bisnisnya dengan menggunakan tanda tangan elektronik di sektor jasa keuangan digital.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan
yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1.2.1
Bagaimana perlindungan hukum atas pemberlakuan tanda tangan elektronik di sektor jasa keuangan?
1.2.2
Bagaimana kondisi instrumen hukum di Indonesia terkait perlindungan konsumen dalam pemberlakuan tanda tangan elektronik di sektor jasa keuangan?
1.3
Dasar Hukum Terdapat beberapa aturan hukum yang memiliki relevansi dengan pokok
permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, yakni: 1.3.1
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
1.3.2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
1.3.3
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
1.3.4
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik;
1.3.5
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK/07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan;
1.3.6
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi;
1.3.7
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan;
1.3.8
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik;
7
1.3.9
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
ANALISIS 2.1
Perlindungan Hukum atas Pemberlakuan Tanda Tangan Elektronik di Sektor Jasa Keuangan Sejarah Regulasi Hukum Tanda Tangan Elektronik Landasan yuridis internasional dan nasional terkait pelaksanaan tanda tangan
elektronik diawali dengan munculnya The UNCITRAL Model Law on Electronic Signature of 2001 (the 2001 Model Law) yang dikeluarkan oleh UNCITRAL (United Nations Commision on International Trade Law). UNCITRAL merupakan organisasi internasional yang memiliki fokus dalam perkembangan teknologi informasi dan yang membahas mengenai dampak penting teknologi informasi terhadap perniagaan elektronik. The 2001 Model Law ini diadopsi sebagai implementasi dari UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce (with Guide to Enactment 1996), untuk mempertegas hukum dari Model Law sebelumnya dan berfokus terkait dengan penyelenggaraan tanda tangan elektronik yang mulai diadposi oleh berbagai negara. Di Amerika Serikat, contohnya, tanda tangan elektronik diatur dalam Electronic Signatures in Global and Commerce Act sejak tahun 2000. Sedangkan di Uni Eropa, aturan terkait tanda tangan elektronik yang berlaku adalah Electronic, Identification, Authentication and trust Services (eIDAS) yang ditetapkan pada tahun 2014. Jauh sebelumnya, Australia telah menetapkan peraturan tanda tangan elektronik dalam Section 10 of the Electronic Transactions Act 1999. Disusul pada tahun 2004, Tiongkok mengeluarkan Electronic Signature Law. Lalu, Singapura yang memiliki Electronic Transaction Act yang dibuat dan ditetapkan sejak 2010.12 Regulasi tanda tangan elektronik di beberapa negara tersebut pun dimaksudkan
PrivyID, â&#x20AC;&#x2DC;Mengenai Tanda Tangan <www.blog.privy.id>, accessed 19 Juli 2019. 12
8
Digital Lebih
Jauhâ&#x20AC;&#x2122;,
(PrivyID, 2019),
untuk memberikan pengaturan terhadap penggunaan bentuk tanda tangan elektronik lainnya, termasuk biometrik, PIN Number, dan lain sebagainya.13 Lalu, bagaimana dengan kondisi regulasi hukum terkait tanda tangan elektronik yang ada di Indonesia? Indonesia sejatinya telah memiliki regulasi hukum terkait tanda tangan elektronik sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), disusul lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) yang telah mengakui keabsahan penandatanganan suatu kontrak secara elektronik. Dengan adanya dua aturan tersebut, menunjukkan bahwa regulasi terkait tanda tangan elektronik di Indonesia sudah lengkap.
Keabsahan Tanda Tangan Elektronik dalam Regulasi Hukum Nasional Tanda tangan elektronik perlu ditafsirkan dengan menitikberatkan pada substansi, yaitu fungsi (function) daripada bentuk (form). Hal ini dapat dengan jelas dilihat di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Singapura, dan Malaysia yang tidak menentukan bentuk tertentu suatu tanda tangan, sehingga keabsahan tanda tangan elektronik diakui. Keabsahan suatu tanda tangan elektronik dan integritas suatu informasi elektronik dalam suatu komunikasi jaringan virtual ditentukan oleh: 1). Jaminan teknis bahwa jaringan yang dioperasikan secara professional dan didukung oleh metode perbaikan dari setiap kerusakan, keabsahan, serta kekacauan; 2). Metode cryptography; 3). Jaminan teknis protocol komunikasi, pengendalian jaringan dan penggunaan software pengatur; 4). Kontrol data dan teknik preservasi; dan 5). Berfungsinya auditor.14 UU ITE dan PP PTSE secara jelas telah menyebut bahwa tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang mengikat apabila: 1). Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan; 2). Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan hanya 13
Lorna Brazell, Electronic Signature & Identities Law and Regulation (Sweet & Maxwell 2008), [77]. 14 A. Sitompul, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace (Citra Aditya Bakti 2001). [53].
9
berada dalam kuasa Penanda Tangan; 3). Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; 4). Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; 5). Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penanda Tangannya; dan 6). Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait. 15 Maka berdasarkan aturan tersebut, dapat ditafsirkan bahwa tanda tangan elektronik yang memenuhi kualifikasi di atas memiliki kekuatan dan akibat hukum yang sama dengan tanda tangan basah.16 Pada dasarnya tanda tangan elektronik pun merupakan persetujuan penandatangan atas informasi elektronik dan/atau informasi elektronik yang ditandatangani sama seperti halnya tanda tangan basah dalam sebuah dokumen.17 Untuk menjamin keabsahan bahwa tanda tangan elektronik tersebut memang milik seseorang yang berhak diperlukan adanya pihak yang menjamin, yakni Certificate Authority, sebagai lembaga resmi yang menerbitkan tanda tangan elektronik. Dalam terminologi yang dipakai dalam regulasi hukum nasional, Certificate Authority atau Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh professional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam transaksi elektronik.18 Nantinya, hasil dari proses pembuatan dan verifikasi suatu tanda tangan elektronik adalah sertifikat elektronik, dimana sertifikat elektronik tersebut mempunya struktur internal yang mewajibkan adanya beberapa bagian yang perlu diinformasikan atau dilekatkan pada sertifikat tersebut, 15
Vide Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 53 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. 16 Vide poin 1 Bab X tentang Penggunaan Tanda Tangan Elektronik Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/Seojk.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. 17 Vide Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. 18 Vide Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
10
seperti identitas dan tanda tangan elektronik itu sendiri. 19 Dengan adanya sertifikat elektronik, dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik yang ada dapat dibuktikan siapa pemiliknya dan apabila dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik tersebut diubah, maka akan memunculkan pesan bahwa data tersebut tidak autentik. Pada tahun 2016, Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi telah meluncurkan program Sistem Verifikasi Online (SiVION) yang menyediakan sertifikat
elektronik kepada pemohon yang menjadi validasi untuk menggunakan tanda tangan elektronik dalam melakukan transaksi pada sistem elektronik.20 Gambar 1. Proses Sistem Verifikasi Identitas Online Nasional (Sumber : Ditjen Aptika Kominfo) 19
Vide Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik. 20 Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, â&#x20AC;&#x2DC;SiVION â&#x20AC;&#x201C; Solusi Identitas Digital Terpercayaâ&#x20AC;&#x2122;, (Ditjen Aptika, 2016), <www.aptika.kominfo.go.id>, accessed 13 Juni 2019.
11
SiVION menyediakan sertifikat elektronik bagi individu, organisasi, dan server milik Pemerintah dan milik masyarakat. Validasi sertifikat elektronik akan langsung dilakukan pada masing-masing Lembaga Sertifikasi Keandalan atau Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE). 21 Khusus untuk transaksi elektronik, penggunaan tanda tangan elektronik berada di bawah pengawasan Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia (Kominfo) yang juga berkedudukan sebagai Root Certificate Authority (Induk Lembaga Sertifikasi Keandalan) yang akan melegalisasi Lembaga Sertifikasi Keandalan Pemerintah maupun swasta.22 Sampai dengan saat ini, Lembaga Sertifikasi Keandalan yang tersedia terdiri dari Pemerintah dan Swasta. Dari pihak Pemerintah, saat ini sudah ada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang melayani tanda tangan digital untuk transaksi eFaktur, Badan Siber dan Sandi Negara, IPTEKnet BPPT.23 Akhir-akhir ini pun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyusul sebagai penerbit sertifikat elektronik yang menjadi otoritas dalam industri jasa keuangan, dimana tujuan akhir dari yang ingin dicapai dari penetapan OJK sebagai Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah untuk mengatasi isu perlindungan konsumen terkait pemberlakuan tanda tangan elektronik.24 Sementara dari pihak swasta, sampai saat ini, perusahaan penyelenggara tanda tangan elektronik resmi yang telah diakui Kominfo adalah Digisign dan PrivyID.25
Pembuktian di Pengadilan Secara umum dikatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah, yang merupakan
21
Ibid. Lembaga Sertifikasi Keandalan atau Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE) harus terdaftar di Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia sebagao salah satu kualifikasi yang harus dipenuhi. (Vide poin 4a Bab X tentang Penggunaan Tanda Tangan Elektronik Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/Seojk.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi). 23 Marsya Nabila, Loc.Cit.. 24 Marsya Nabila, â&#x20AC;&#x2DC;OJK Jadi Penerbit Sertifikat Tanda Tangan Digitalâ&#x20AC;&#x2122;, (Dailysocial.id, 2016), <www.dailysocial.id>, accessed 10 Juni 2019. 25 Yoda Rifky Hanindya, Loc.Cit.. 22
12
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.26 Terkait dengan pembuktian orisinalitas tanda tangan elektronik di Pengadilan dibedakan menjadi pembuktian tanda tangan elektronik yang tersertifikasi dan tidak tersertifikasi. 27 Pembuktian orisinalitas tanda tangan elektronik tersertifikasi statusnya hampir sama dengan akta otentik, dimana Hakim, Penggugat, dan Tergugat mendapatkan keterangan dari Lembaga Sertifikasi Keandalan terkait validitas tanda tangan digital tersebut. 28 Sebab apabila terjadi penyalahgunaan tanda tangan elektronik yang tersertifikasi oleh pihak lain yang tidak berhak, tanggung jawab pembuktian penyalahgunaan tanda tangan elektronik dibebankan kepada penyelenggara sistem elektronik, dalam hal ini adalah Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagai penerbit sertifikat elektronik yang didalamnya terkandung tanda tangan elektronik.29 Terkait dengan hal tersebut, seorang Hakim dalam mengintepretasikan keabsahan tanda tangan elektronik juga harus dibekali pengetahuan yang cukup terkait skema pembayaran elektronik, dimana seorang hakim dapat menggunakan metode intepretasi analogis dan intepretasi ekstensif.30 Sementara pembuktian tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi melalui uji digital forensik yang hasil ujinya akan dituangkan dalam bentuk berita acara pengujian digital forensik.31
2.2
Kondisi Instrument Hukum di Indonesia Terkait Perlindungan Konsumen dalam Pemberlakuan Tanda Tangan Elektronik di Sektor Jasa Keuangan Teknologi telah merubah tatanan industri jasa keuangan. Masyarakat yang
sudah mengenai internet dan kemudahan mengakses layanan jasa keuangan, telah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, ‘Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Suatu Perjanjian dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Online’ (Kemenkumham, 2006) <www.ditjenpp.kemenkumham.go.id>, accessed 5 Juni 2019. 27 Hamalatul Qur’ani, ‘Tanda Tangan Elektronik: Keabsahan dan Pembuktiannya di Hadapan Pengadilan’, (Hukumonline.com, 2018) < www.hukumonline.com>, accessed 1 Juni 2019. 28 Ibid. 29 Vide Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. 30 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Liberty, 1999), [160-162]. 31 Hamalatul Qur’ani, Loc.Cit. 26
13
mendorong para pelaku industri untuk terus menciptakan produk dan jasa keuangan yang mudah, cepat, dan nyaman untuk digunakan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Akan tetapi, perkembangan Fintech di Indonesia yang dikembangkan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan tetap harus memperhatikan aspek perlindungan konsumen. Adanya regulasi hukum terkait tanda tangan elektronik, sebagaimana dimuat dalam UU ITE dan PP PSTE, nampaknya belum cukup mengatur perihal perlindungan bagi para pelaku usaha digital yang menjadi konsumen dari penggunaan tanda tangan elektronik. Padahal aturan hukum yang jelas, spesifik, komprehensif, dan melindungi para pelaku usaha digital sebagai konsumen dalam sektor keuangan tentu akan semakin meningkatkan kredibilitas tanda tangan elektronik dan kepercayaan para pelaku usaha digital untuk menggunakan tanda tangan elektronik dalam informasi dan/atau dokumen elektronik yang dipakai dalam setiap transaksi elektroniknya. Maka dari itu, penting untuk mengkaji terkait kondisi instrumen hukum di Indonesia, baik regulasi, kebijakan, maupun kelembagaan perihal perlindungan konsumen dalam pemberlakuan tanda tangan elektronik di sektor jasa keuangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mendefinisikan konsumen sebagai â&#x20AC;&#x153;Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain, dan tidak
untuk
diperdagangkan.â&#x20AC;?32 Berdasarkan
pengertian
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud sebagai konsumen dalam perlindungan konsumen terkait tanda tangan elektronik adalah pengguna tanda tangan elektronik sebagai pengguna sistem elektronik. Perlindungan konsumen menurut UUPK diartikan sebagai â&#x20AC;&#x153;Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.â&#x20AC;?33 Maka dari it, dapat dilihat bahwa UUPK tidak hanya melindungi konsumen semata, tetapi juga memberikan 32
Vide Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 33 Vide Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
14
kepastian hukum pada setiap kegiatan transaksi yang dilakukan oleh pelaku usaha, termasuk pelaku usaha di sektor jasa keuangan, dalam hal ini pengguna tanda tangan elektronik. Tanda tangan elektronik dapat menjadi alat untuk menentukan keaslian atau keabsahan suatu informasi dan/atau dokumen elektronik. Tanda tangan elektronik dapat memberikan jaminan lebih terhadap keamanan dokumen yang dikirimkan melalui internet dibandingkan tanda tangan basah. Di era transaksi bisnis digital, dengan diadopsinya teknologi asymmetric cryptography, penerimaan pesan yang dibubuhi tanda tangan digital dapat memeriksa validitas pesan dari pengirim yang benar, memverifikasi integritas pesan, dan perubahan pada pesan setelah ditandatangani, baik disengaja atau tidak. 34 Marshal Pribadi (CEO & Founder PrivyID) menjelaskan bahwa untuk menghasilkan pasangan kunci cryptography suatu tanda tangan elektronik harus menggunakan Hardware Security Module (HSM).35 Apabila HSM ini di-hack, baik secara fisik maupun remote atau tidak melalui akses yang sudah dirancang, maka HSM akan menghancurkan sendiri (selfdestruct) semua kunci yang disimpan, termasuk master-key yang dimiliki penyelenggara sertifikasi elektronik.36 Maka dari itu 3 tingkat keamanan yang melekat pada suatu tanda tangan elektronik, yakni kombinasi hardware, software, dan prosedur tentu akan berpengaruh pada tingginya tingkat integritas dan validitas pesan yang dikirimkan konsumen tanda tangan elektronik. Sebelum sampai kepada penerimanya, tanda tangan elektronik harus melewati beberapa proses.37 Pertama, pengirim akan membuat message digest (intisari pesan) yang diambil dari pesan asli. Alatnya menggunakan hash (function dehachage). Karakteristik intisari pesan tersebut sangat identic dan unik, sehingga tidak mudah dipalsukan. Fungsinya hampir sama dengan sidik jari. Tahap berikutnya, intisari pesan ditandatangani dengan memanfatatkan kunci privat dari pengirim. Lalu, pesan asli yang sudah dibubuhkan tanda tangan dikirmkan ke Rehulina Sitepu, â&#x20AC;&#x2DC;Keabsahan Digital Signature dalam Perjanjian E-Commerceâ&#x20AC;&#x2122;, (2018), 1 Doktrina: Journal of Law.[51]. 35 Hamalatul Qurâ&#x20AC;&#x2122;ani, Loc.Cit. 36 Ibid. 37 A.J. Menezes, P.C. Van Oorschot & S.A. Vanstone, Hanbook of Applied Cryptography (CRC Press, 1996).[68]. 34
15
tujuan. Setelah sampai kepada penerima pesan, pengirim memberikan kunci publik untuk mendeskripsi. Persoalan keaslian, bisa dibedakan melalui sidik jari. Apabila tidak ada perubahan, maka pesan tersebut masih autentik. Proses pembuatan tanda tangan elektronik yang kompleks tersebut merujuk pada aturan pada Pasal 12 ayat (1) UU ITE yang mengamanatkan bahwa â&#x20AC;&#x153;Setiap orang yang terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas tanda tangan elektronik yang digunakannya.â&#x20AC;? Pasal 55 ayat (3) PP PSTE pun mengamatkan bahwa pembuatan tanda tangan elektronik harus memenuhi berbagai ketentuan yang ketat guna menjamin keamanan dan kerahasiaan data yang ada di dokumen dan/atau informasi elektronik saat menjalankan informasi elektronik. Kedua aturan hukum tersebut secara tegas diimplementasikan dalam hal sertifikat elektronik yang digunakan untuk mendukung tanda tangan elektronik, Dalam hal tersebut Penandatangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan sertifikat elektronik tersebut. Sementara bagi Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagai penyelenggara tanda tangan elektronik, sebelum tanda tangan elektronik digunakan, wajib memastikan identifikasi awal penandatangan.38 Dalam penyelenggaraan transaksi keuangan digital, OJK sebagai salah satu stakeholders berperan dalam menyelenggaran sistem pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan, tak terkecuali sektor jasa keuangan digital. 39 Salah satu tindakan pengawasan yang dilakukan oleh OJK dalam sektor jasa keuangan digital adalah memberlakukan tanda tangan elektronik sebagai salah satu komponen pengamanan transaksi keuangan menggantikan sistem one time password yang dianggap kurang menjamin keamanan pengguna jasa keuangan digital. Bahkan OJK melalui Peraturan OJK Nomor 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, menyebut bahwa perjanjian38
Vide Pasal 58 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. 39 Otoritas Jasa Keuangan berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Vide Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otoritas Jasa Keuangan).
16
perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 18 Peraturan OJK tersebut dilaksanakan melalui tanda tangan elektronik.40 Maka dari itu, tanda tangan elektronik menjadi salah satu elemen penting terkait perlindungan konsumen karena maraknya kasus pemalsuan dokumen (forgery) dalam sektor jasa keuangan digital. Pada aspek perlindungan konsumen yang diatur pada Peraturan OJK Nomor 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, diatur mengenai prinsip dasar perlindungan pengguna sebagaimana pada Peraturan OJK Nomor 1/POJK/07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Peraturan tersebut mengatur mengenai kewajiban penyelenggara untuk memliki standar prosedur operasional dalam melayani pengguna yang dimuat dalam Dokumen Elektronik dan larangan bagi penyelenggara dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi mengenai Pengguna kepada Pihak Ketiga. Hal tersebut terkait dengan risiko yang mungkin muncul dari penggunaan tanda tangan elektronik, yakni risiko keamanan data (cyber security) pada data konsumen yang digunakan. Maka dari itu, sesuai dengan kewenangannya yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK sedang menyiapkan sejumlah aturan untuk mengatur dan mengawasi perkembangan jenis usaha sektor jasa keuangan yang menggunakan kemajuan teknologi atau Fintech. Kehadiran
fintech
merupakan
peluang
untuk
terus
meningkatkan
perkembangan sektor jasa keuangan, termasuk mendorong program inklusi keuangan. Namun, tantangan akan kerap hadir guna memastikan keandalan, efisiensi, dan keamanan dari transaksi digital tersebut agar tidak merugikan konsumen. OJK pun sudan membentuk â&#x20AC;&#x153;Tim Pengembangan Inovasi Digital Ekonomi dan Keanganâ&#x20AC;? yang terdiri dari gabungan sejumlah satuan kerja di OJK untuk mengkaji dan mempelajari perkembangan fintech serta menyiapkan peraturan dan strategi pengembangannya yang bertujuan untuk mengawal evolusi dalam perekonomian agar mampu mendukung perkembangan industri jasa keuangan ke depan dan terus menjamin upaya perlindungan konsumen. 40
Vide Pasal 41 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
17
Aturan terkait perlindungan konsumen pun masuk dalam ruang lingkup aturan yang masih dipersiapkan OJK di bidang Fintech, walaupun OJK telah memiliki aturan terkait perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan dalam Peraturan OJK Nomor 1/POJK/07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.41 OJK menyadari bahwa regulasi hukum yang ada saat ini belum mengatur secara komprehenif dan jelas terkait dengan perlindungan konsumen di bidang fintech, terlebih mengenai perlindungan konsumen terkait dengan pemberlakuan tanda tangan elektronik.42 Padahal adanya regulasi hukum yang komprehensif dan jelas perihal perlindungan konsumen dalam penggunaan tanda tangan elektronik menjadi titik vital yang akan menumbuhkan kepercayaan pelaku usaha digital untuk menggunakan tanda tangan elektronik dalam transaksi elektronik yang mereka jalani. Diharapkan dengan adanya kepastian hukum terkait perlindungan konsumen dalam pemberlakuan tanda tangan elektronik akan meningkat kesadaran konsumen untuk melindungi diri dan menghindarkan konsumen dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, yang mana dalam hal ini adalah penggunaan tanda tangan elektronik, sebagaimana tujuan dari perlindungan konsumen itu sendiri.43
KESIMPULAN Revolusi Industri 4.0 yang tengah mengubah wajah peradaban manusia menghadirkan tantangan-tantangan baru sebagai akibat dari berkembangannya teknologi secara pesat. Salah satu dari perkembangan teknologi yang menyebabkan perubahan signifikan, utamanya di sektor jasa keuangan adalah tanda tangan digital yang menjadi kunci dari perkembangan ekonomi digital yang efisien dan efektif. Melihat pesatnya perkembangan industri keuangan digital tentu sewajarnya diimbangi dengan pengaturan dan penggunaan tanda tangan elektronik yang selaras
Otoritas Jasa Keuangan, â&#x20AC;&#x2DC;Siaran Pers No. 99/DKNS/OJK/2016 (OJK Siapkan Aturan Pengembangan Financial Technology)â&#x20AC;&#x2122;, (OJK, 2016) < www.ojk.go.id>, accessed 5 Juni 2019. 42 Ibid. 43 Vide Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 41
18
dengan perkembangan industri dan teknologi, sehingga dapat mengakomodasi pesatnya perkembangan industri keuangan digital. Tingginya tingkat keamanan yang dapat dilihat dari penggunaan infrastruktur fisik, seperti hardware, software, dan prosedur yang kompleks telah menjamin tingginya tingkat validitas data yang dicantum tanda tangan elektronik dari kemungkinan risiko yang mengancam pelaku usaha digital sebagai konsumen tanda tangan elektronik. Akan tetapi, tingginya tingkat keamanan penggunaan tanda tangan elektronik, tentu harus selaras dengan adanya regulasi yang mampu memberikan kepastian hukum terkait perlindungan kepada pelaku usaha digital sebagai konsumen dari risiko yang kemungkinan muncul dari penggunaan tanda tangan digital. Regulasi perlindungan konsumen sebagai double protection dari infratruktur fisik yang menjamin keamanan penggunaan tanda tangan elektronik akan menjadi titik vital yang menentukan kepercayaan masyarakat, khususnya para pelaku usaha digital dalam menggunakan tanda tangan elektronik dalam transaksi perdagangan digital. Maka dari itu, seiring dengan meningkatnya minat masyarakat untuk menggunakan tanda tangan elektronik di sektor jasa keuangan digital guna mempermudah transaksi bisnisnya, penting bagi Indonesia untuk menyiapkan instrument hukumnya seperti regulasi, kebijakan, dan kelembagaan demi menjamin perlindungan bagi para pelaku usaha digital dalam menggunakan tanda tangan elektronik.
19
DAFTAR PUSTAKA Buku A. Sitompul, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace (Citra Aditya Bakti 2001). A.J. Menezes, P.C. Van Oorschot & S.A. Vanstone, Hanbook of Applied Cryptography (CRC Press, 1996). Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution, (Crown Publishing Group New York, 2017). Lorna Brazell, Electronic Signature & Identities Law and Regulation (Sweet & Maxwell 2008). Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional (Penerbit Bina Cipta, 1995). Robert H. Laurer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, (PT. Rhineka Cipta, 1993). Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Liberty, 1999).
Jurnal Adrian Mccullagh, Peter Little, dan William Caelli, ‘Electronic Signatures: Understand The Past To Develop The Future’, (1998), 21 (2) UNSW Law Journal. Rehulina Sitepu, ‘Keabsahan Digital Signature dalam Perjanjian E-Commerce’, (2018), 1 Doktrina: Journal of Law.
Laman BP Lawyers, ‘Dasar-Dasar Keabsahan Tanda Tangan Elektronik dalam Transaksi Online’, (BPLawyers.com, 2017), <www.bplawyers.co.id>. Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, ‘SiVION – Solusi Identitas Digital Terpercaya’, (Ditjen Aptika, 2016), www.aptika.kominfo.go.id. Hamalatul Qur’ani, ‘Tanda Tangan Elektronik: Keabsahan dan Pembuktiannya di Hadapan Pengadilan’, (Hukumonline.com, 2018) <www.hukumonline.com>. Indonesia Government Certification Authority, ‘Penerapan Tanda Tangan Elektronik di DPMPTSP Kabupaten Ogan Komering Ilir’, (Govca.id, 2019) <www.govca.id>.
20
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, ‘Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Suatu Perjanjian dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Online’ (Kemenkumham, 2006) <www.ditjenpp.kemenkumham.go.id>. Marsya Nabila, ‘OJK Jadi Penerbit Sertifikat Tanda Tangan Digital’, (Dailysocial.id, 2016), <www.dailysocial.id>. , ‘Kominfo Sosialisasikan Platform Sivion untuk Tanda Tangan Digital’, (Dailysocial.id, 2016), <www.dailysocial.id>. Otoritas Jasa Keuangan, ‘Siaran Pers No. 99/DKNS/OJK/2016 (OJK Siapkan Aturan Pengembangan Financial Technology)’, (Otoritas Jasa Keuangan, 2016) <www.ojk.go.id>. , ‘Statistik Fintech Lending Periode Mei 2019’, (Otoritas Jasa Keuangan, 2019), <www.ojk.go.id>. PrivyID, ‘Mengenai Tanda Tangan Digital Lebih Jauh’, (PrivyID, 2019), <www.blog.privy.id>. Yoda Rifky Hanindya, ‘Quo Vadis Pemberlakuan Tanda Tangan Elektronik dalam Industri Keuangan Non-Bank’, (CTRLUGM, 2019), <www.ctrlugm.home.blog>.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843). Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 189, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK/07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431).
21
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 324, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6005). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6238). Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1238). Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
22
IMPLIKASI HUKUM PENYEBARAN BERITA BOHONG MELALUI INTERNET SEBAGAI BENTUK KAMPANYE Muhammad Haris Adz Dzakiy Universitas Jember Abstrak Masa Pemilu dijadikan momentum bagi partai untuk melakukan manuver politik dimana salah satu bukti yaitu munculnya kubu oposisi dan koalisi, kampanye yang bersifat masif dan penyebaran isu negatif untuk memenangkan kontesasi politik. Hal ini perlu menjadi fokus perhatian dikarenakan dapat menggiring opini yang salah melalui penyebaran hoax dan dapat mempengaruhi pemilih serta mencederai demokrasi di Indonesia. Hoax rentan terjadi saat Pemilu berlangsung dan dijadikan alat oleh beberapa oknum untuk kepentingan golongan. Kejadian tersebut memperlihatkan rapuhnya kesadaran masyarakat akan ancaman yang dirumuskan dalam Peraturan Perundang-undangan terkait dengan hoax. Kebebasan berpendapat dan pers yang dilindungi Indonesia tidak dimaknai secara benar dan cenderung disalahgunakan untuk kepentingan golongan sehingga memunculkan situasi yang sarat akan kebohongan. Kemudian, pada tulisan ini metode kualitatif, normatif-empiris, dan yuridis dalam memahami akibat hukum penyebaran berita bohong dan hoax di tahun politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebaran hoax pada masa Pemilu menimbulkan dampak yang negatif bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat dan disini digunakan untuk mencari implikasi hukum akibat adanya hoax selama pemilu. Selain itu, keadaan semacam ini menyebabkan demokrasi dan keadilan kehilangan kewibawaannya di masyarakat. Kata Kunci: Pemilu, Hoax, Demokrasi Indonesia. Abstract The Election Period was used as a momentum for the party to carry out political maneuvers where one of the proofs was the emergence of opposition and coalition camps, massive campaigns and the spread of negative issues to win political contests. This needs to be the focus of attention because it can lead wrong opinions through the spread of hoax and can influence voters and injure democracy in Indonesia. Vulnerable hoax occur when elections take place and are used as tools by some people for the interests of the group. The incident shows the fragility of public awareness of the threats formulated in the Laws and Regulations related to hoax. Freedom of opinion and the press protected by Indonesia are not interpreted correctly and tend to be misused by group so big situation is the emergence of fake news. Then, in this paper qualitative, normative-empirical, and juridical methods of understanding the legal consequences of the spread of fake news and deception in political years. The results of the study show that the spread of hoax during the election period has a significant impact on the survival of the community. In addition, this kind of situation causes democracy and justice to lose its authority in society. Keywords: Elections, Hoax, Indonesian Democracy.
23
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penyebaran berita bohong atau seringkali disebut hoax dalam kurun waktu 3
tahun terakhir menjadi pembicaraan yang hangat di tengah masyarakat, khususnya oleh pengguna internet pada umumnya. Berita hoax telah menjadi virus di segala aspek kehidupan termasuk pada bidang politik. Kemudian, penulis juga menemukan indikasi bahwa politisasi agama dan kepercayaan melalui penyebaran hoax. Hal ini dibuktikan dengan munculnya sebuah narasi politik bahwa, rezim pemerintahan yang berlangsung pada saat ini menunjukkan ketidakberpihakan pada umat beragama tertentu. Lalu berikutnya dikarenakan perspektif ini, maka muncul asumsi yang menimbulkan perpecahan, tidak sekedar di lini keagamaan dan kepercayaan, namun juga pada ras dan suku. Sentimen kepada golongan minoritas kembali menajam dan menimbulkan gesekan sosial dalam masyarakat seperti pelecehan akan suku tertentu di Indonesia. Ditemukannya permasalahan di lini sosial menimbulkan kualitas demokrasi yang sedikit terancam, salah satunya pada bidang politik dan kepercayaan. Berita bohong ini menciptakan konflik sosial bersifat horizontal dan vertikal yang mengakibatkan munculnya asumsi publik yang menyesatkan yang diakibatkan oleh media. Tudingan-tudingan maupun isu-isu tersebut menciptakan kualitas demokrasi sendiri menjadi semakin buruk karena perbedaan akan pandangan politik, kepercayaan atas agama, dan etnis menjadi masalah dan tidak diakomodir dengan selayaknya. Dibalik keberhasilan dan masifnya penyebaran berita bohong dan hoax sendiri, justru tidak memberikan keuntungan sekali bagi elite politik ataupun masyarakat Indonesia. Selain menimbulkan perpecahan di masyarakat, juga memberikan tudingan yang belum tentu atas kebenarannya atas suatu pihak atau disebut fitnah, mencemarkan nama baik atas orang maupun lembaga di bidang kenegaraan ataupun bagi partai politik, juga menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan hukum mengenai penyebaran berita bohong dan hoax masih rendah. Data akhir 2017 oleh Kominfo menunjukkan terdapat 800.000 Situs
24
penyebar hoax yang ada di Indonesia. Jumlah ini menunjukkan bahwa penyebaran berita bohong akan semakin meningkat dan amat sangat disayangkan jika tidak ditindaklanjuti oleh proses hukum yang berlaku di Indonesia.
1.2
Rumusan Masalah Terdapat beberapa rumusan masalah dalam makalah ini, antara lain : 1.2.1
Apakah berita bohong dan hoax masih diminati oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab dalam tahun politik?
1.2.2
Bagaimana upaya pemerintah dalam menanggulangi berita bohong atau hoax ?
1.3
Landasan Hukum 1.3.1
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
1.3.2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana;
1.3.3
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
ANALISIS 2.1
Berita Bohong dan Hoax Berita bohong atau hoax di dalam Oxford-Dictionaries memiliki pengertian
yaitu ‘A humorous or malicious deception’,1 sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoax memiliki arti berita bohong.2 Berita bohong atau dikenal dengan hoax sendiri telah menjamur di berbagai bidang. Tidak sekedar dalam pendidikan maupun kesehatan, namun hoax dewasa ini di Indonesia telah menjamur di bidang sosial, politik dan kenegaraan. “Hoax: Definition of Hoax by Lexico” (Lexico Dictionaries | English) <https://www.lexico.com/en/definition/hoax> accessed 10 Agustus 2019. 2 Definisi hoaks adalah ‘berita bohong <https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hoax> accessed 10 Agustus 2019. 1
25
Sebelum mengenal dan memahami berita hoax sendiri, ada perlunya juga untuk memahami konsep Cyberdemokrasi.Cyberdemokrasi merupakan suatu konsep yang melihat Internet sebagai teknologi yang memiliki pengaruh sosial transformatif dan memperluas partisipasi demokrasi. 3 Cyberdemokrasi sendiri menjadi barometer bagaimana kualitas demokrasi di Internet. Apabila internet diisi dengan pengguna asli dan terjadi perbincangan maupun diskusi, maka kualitas dan pelaksanaan demokrasi bisa dikatakan baik. Sebaliknya, jika internet maupun media sosial diisi oleh buzzer ataupun pengguna akun berupa bot, maka kualitas dan pelaksanaan demokrasi masih belum dikatakan baik sebab segala informasi hingga opini telah dikendalikan oleh pihak tertentu. Sebab dalam penyebaran berita hoax ataupun opini tidak berdasar, sangatlah mudah dipercaya apabila penyebarannya semakin marak, maka berita hoax akan dianggap relevan dan mudah diterima oleh masyarakat.4 Selain dengan konsep dimana suatu masyarakat (mayoritas) menerima dan meyakini sesuatu sebagai kebenaran, maka sangatlah sulit bagi masyarakat untuk menyadari apa yang selama ini diyakini dan dipercaya sebagai kebenaran ternyata salah dan tidak relevan dengan fakta yang ada. Dengan adanya kebebasan dalam berdemokrasi, tentu banyak cara yang digunakan oleh beberapa pihak untuk merebut perhatian dan meyakinkan masyarakat untuk memilih ataupun memiliki kepentingan tertentu. Berita hoax menjadi salah satu cara untuk mencuri atensi masyarakat sebab judul yang ada di berita tersebut memiliki daya pancing / clickbait. Berita hoax sebenarnya sangat mudah untuk dikenali, utamanya di dalam tahun politik. Selain judul yang terkesan berbeda dan cukup tidak relevan, jika dibaca keseluruhan dari berita hoax, biasanya konten dari berita hoax memiliki muatan tertentu, seperti kebencian atau biasa dikenal dengan fitnah.5 Penekanan atas menyerang pihak-pihak yang dituju kerap terjadi. Tidak mungkin jika suatu berita hoax muncul di internet tanpa adanya
Salim Alatas, â&#x20AC;&#x2DC;Media Baru, Partisipasi Politik dan Kualitas Demokrasiâ&#x20AC;&#x2122;, Konferensi Nasional Komunikasi 2014, (2014).[5]. 4 Christiany Juditha, â&#x20AC;&#x2DC;Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinyaâ&#x20AC;&#x2122; (2018) 3 Pekommas.[1]. 5 ibid. 3
26
kepentingan pihak-pihak tertentu tanpa adanya kepentingan tersendiri, utamanya berita hoax sebagai sarana politik praktis. Di saat menuju penghujung tahun politik 2019 dimana pemilihan umum sebagai pesta demokrasi bagi rakyat yang diadakan lima tahun sekali, keberadaaan berita hoax semakin banyak, apalagi menjelang pelaksanaan Pemilu 2019. Ada beberapa faktor penyebaran berita hoax sendiri, antara lain: a. Hanya untuk mencari sensasi belaka. Dengan membuat sesuatu yang mengehebohkan, maka akan memberikan kepuasan batin bagi penggunanya. Selain memberi kepuasan, maka pamor dari akun pengguna juga semakin dikenal pengguna lainnya di internet; b. Mencari perhatian masyarakat. Dengan mencenangkannya suatu berita di masyarakat walaupun tidak benar adanya di masyarakat, yang dibutuhkan adalah perhatian masyarakat dalam menyikapi suatu kabar maupun berita meskipun belum benar adanya. Dengan ditaruhnya perhatian dari masyarakat ataupun pengguna internet maupun media sosial, banyak pengguna yang mulai konsen pada informasi tertentu yang sedang hangat; c. Mencari sumber pendapatan melalui berita hoax. Motif ekonomi menjadi salah satu alasan di balik masifnya penyebaran berita hoax. Dengan adanya kasus Saracen membuktikan bahwa pembuatan berita hoax untuk menyerang lawan politik masih menjadi senjata bagi beberapa pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab serta menjadi sumber pemasukan bagi pelaku di situs saracen; d. Hanya sekedar untuk mengikuti tren atau apa yang sedang hangat dibicarakan. Hal ini muncul ketika masyarakat mengetahui dan meyakini atas suatu tren, kabar, berita, hingga sebuah informasi namun belum tentu benar adanya. Serta memiliki kecenderungan untuk menyudutkan orang ataupun pihak maupun masyarakat lainnya yang belum mengetahui dan mengikuti suatu tren, kabar, maupun berita, meskipun belum benar adanya dengan sebutan â&#x20AC;&#x2DC;ketinggalan jamanâ&#x20AC;&#x2122;. e. Menimbulkan rasa resah di masyarakat. Keresahan yang ditimbulkan akan menimbulkan pro-kontra dalam suatu masyarakat, sehingga tidak heran jika
27
kerap kali banyak perbedaan sikap atas suatu informasi, kabar maupun berita dalam suatu masyarakat. Dengan adanya pro-kontra yang seharusnya dianggap hal yang lumrah, justru oleh beberapa pihak yang terlalu memihak menyatakan sikap untuk mendukung secara berlebihan atau fanatis. Justru rasa resah di masyarakat makin meningkat apabila muncul fanatisme. f. Adanya niatan / kesengajaan untuk mengadu domba. Hal ini memang benarbenar disengaja sebab telah direncanakan secara matang oleh pihak-pihak tertentu. Dengan hadirnya berita hoax di masyarakat,telah menimbulkan keributan di masyarakat, maka akan timbul pihak pro-kontra atas suatu pemberitaan. Jika tidak menemui titik tengah diantara pihak-pihak tersebut, maka setiap pihak akan mudah dihasut melalui berita hoax yang belum tentu benar adanya.6 Selain itu, hal ini didukung oleh Deddy Mulyana, guru besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung. Menurut Deddy Mulyana bahwa terdapat faktor utama yang menyebabkan berita hoax mudah tersebar di Indonesia adalah karakter asli masyarakat Indonesia yang dianggap tidak terbiasa atas perbedaan pendapat. Masyarakat Indonesia terbiasa hidup dalam kolektifitas, kebersamaan, serta memiliki kebenaran tersendiri yang diakui secara bersama dan siapapun yang dianggap memiliki perbedaan, maka kerap kali dianggap musuh bersama. Jika masyarakat tetap mempertahankan kebenarannya sendiri tanpa mau mengakomodir perbedaan pendapat, maka belum bisa dikatakan masyarakat berdemokrasi secara sehat.7 Di dalam hukum pidana, kesalahan memiliki dua jenis, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian / kealphaan (culpa). Dalam konteks berita hoax sendiri, tidak mungkin jika penyebar melakukan hal tersebut karena lalai sebab apa yang diperbuat, dilakukan secara sadar. Mengingat kasus saracen yang telah menyebarkan berita hoax, bahwa penyebaran berita hoax dilakukan oleh perintah dari pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab.
6
M. Ravii Marwan, â&#x20AC;&#x2DC;Analisis Penyebaran Berita Hoax di Indonesiaâ&#x20AC;&#x2122;, (2018), UG
7
ibid.
Jurnal.[5].
28
Dengan ditunjukkannya kualitas demokrasi yang masih kurang baik di Indonesia, ditambah dengan munculnya berita hoax, kerap kali hal tersebut digunakan pihak politik tertentu. Perlu disadari bahwa tiap kekuatan politik memiliki peran tersendiri dalam mempengaruhi kehidupan suatu komunitas dalam masyarakat ataupun sistem sosial tertentu8. Maka kegunaan berita hoax inilah tergantung pada pihak tertentu yang menggunakan berita tersebut dan sebagai kebutuhan untuk golongan masyarakat ataupun sistem sosial tertentu. Namun seiring waktu, penggunaan berita hoax dalam ranah politik dan keagamaan mulai merajalela, utamanya melalui media internet. Internet sebagai wadah bagi sosial media salah satunya menjadi ramai dan dewasa ini telah menjadi bagian kehidupan bagi manusia. Salah satu platform penyebaran berita hoax adalah Twitter.9 Twitter dipilih bagi penyebar hoax untuk sebab twitter menggunakan sistem tagar / hashtag sehingga apa yang akan disampaikan mengenai suatu isu, baik benar maupun belum benar adanya, akan mudah disebarkan melalui partisipasi pengguna twitter (baik pengguna asli maupun buzzer). Selain dengan sistem tagar/hashtag, twitter memiliki fitur thread dimana akan diisi narasi, opini, ataupun segala hal yang akan dibahas dalam suatu topik. Dengan fitur thread di twitter, maka akan jauh lebih rapi dan mudah dibaca pengguna twitter. Twitter adalah salah satu media sosial yang sifatnya terbuka dan segala orang bisa menggunakan twitter. Berbeda dengan Whatsapp, Facebook, ataupun Telegram. Whatsapp, Facebook, dan Telegram menawarkan fitur grup dimana komunikasi antar pengguna akan intensif sebab sifatnya lebih tertutup. Selain itu siapapun yang berada di dalam grup tersebut sangat acuh akan moral dan etika. 10 Dengan kondisi grup yang memiliki banyak anggota serta tingginya antusiasme tiap anggota grup, maka sangat rentan sekali bagi anggota untuk menyebarkan berita hoax, contoh paling kongkrit berupa broadcast yang dikirim berantai, baik ke grup lain bahkan secara jaringan pribadi / personal. Tidak sedikit pengguna yang
8
Christiany Juditha, Op.Cit.[38]. Iswandi Syahputra, â&#x20AC;&#x2DC;Demokrasi Virtual dan Perang Siber di Media Sosial: Perspektif Netizen Indonesiaâ&#x20AC;&#x2122;, (2017), 3 Jurnal Aspikom.[459]. 10 ibid. 9
29
memiliki kesamaan kepentingan dan tujuan juga ikut serta membagikan broadcast secara sukarela.
2.2
Penegakan Hukum dalam Penyebaran Berita Bohong dan Hoax Ketentuan hukuman pidana bagi penyebar hoax yang telah merugikan dan
mencemarkan nama baik dari pihak dalam politik, dapat dikenai pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang tertuang: “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Maka hukuman bagi pihak penyebar berita hoax dalam pencemaran nama baik dikenai pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Jika berkenaan dengan penyebaran berita hoax mengenai isu SARA, maka dapat dikenali pasal 28 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang tertuang: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”. Maka hukuman bagi pihak penyebar berita hoax mengenai SARA terdapat pada pasal 45 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal, 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
30
2.2.1 Upaya Pemerintah dalam Menyikapi Berita Bohong atau Hoax Pemerintah (state) sebagai wasit bagi warga negara dan media massa dalam menyampaikan segala informasi di Internet maupun Media Sosial.11 Telah banyak upaya yang telah pemerintah lakukan, utamanya dalam menangkal berita hoax yang beredar di masyarkat. Presiden Indonesia ke-7, Joko Widodo telah mengungkapkan mengenai bahaya berita hoax dimana akan memunculkan disintegrasi sosial (perpecahan di lini sosial/masyarakat).12 Hal ini diyakini karena siapapun bisa menjadi ‘aktor’ dalam penyebaran informasi di internet, baik informasi yang benar adanya atau hanya sekedar fitnah yang tidak relevan dengan realita. Selain itu masih rendahnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat mengenai penyaringan berita hoax di internet turut menjadi faktor pendukung hal tersebut terjadi. Meskipun sudah marak mengenai penyaringan berita itu benar adanya atau hoax, namun belum tersosialisasi secara baik di masyarakat. Tentu ini menjadi hal yang perlu diperhatikan jika ingin meminimalisir munculnya hoax di masyarakat. Selain itu, pemerintah telah membentuk lembaga khusus untuk memberantas penyebaran berita hoax di internet, yaitu Badan Siber Nasional (BSN). 13 Dilansir dari Kompas 5 Januari 2017, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa para ahli IT akan mengikuti pelatihan maupun pendidikan diberbagai institusi, baik di dalam maupun luar negeri. Mereka juga akan diberikan materi mengenai belanegara. Hal ini dianggap perlu karena para ahli IT tidak hanya sekedar memiliki keahlian di bidang IT, namun juga memiliki rasa nasionalisme untuk menjaga dan membela negara dari segala serangan, baik dari dalam maupun luar negeri. Menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto bahwa dibentuknya BSN untuk meningkatkan pertahanan negara dalam menghadapi segala ancaman di internet ataupun cyberspace, utamanya berita hoax yang marak. Selain dibentuknya Badan Siber Nasional, pemerintah juga menggandeng Dewan Pers serta Facebook dan Twitter dalam menanggulangi penyebaran berita 11
ibid. Kurniawan Hari Siswoko, ‘Kebijakan Pemerintah Menangkal Penyebaran Berita Palsu atau ‘Hoax’’, (2017), 1 Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora dan Seni.[14]. 13 ibid. 12
31
hoax.14 Tujuan kerjasama pemerintah dengan Dewan Pers supaya segala pemberitaan yang dilakukan oleh perusahaan pers dapat diverifikasi terlebih dahulu, supaya kebenaran atas suatu berita bisa dijamin dan relevan dengan fakta yang ada. Selain itu diharapkan dengan adanya verifikasi oleh Dewan Pers, perusahaan pers dapat menjalankan kegiatan jurnalistik / pers dengan menjunjung tinggi nilai demokrasi, keadilan, kepentingan publik / masyarakat atas pemberitaan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai media pers. Selain bekerja sama dengan Dewan Pers, Pemerintah juga bekerja sama dengan Facebook dan Twitter sebab pengguna Facebook di Indonesia telah mencapai 70 juta pengguna dan diikuti oleh Instagram dengan 19,9 juta pengguna serta Twitter dengan 14,4 juta pengguna.15 Pemerintah melakukan kerjasama dengan Facebook setelah mempelajari apa yang sudah terjadi pada media sosial pada saat Pemilihan Presiden Amerika Serikat dalam menyikapi tuduhan bahwa facebook memiliki peran untuk menyebarkan berita hoax pada saat kampanye Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Menanggapi tuduhan tersebut, Facebook kemudian mengambil langkah tersendiri dengan bekerja sama dengan lembaga PolitiFact dan Associated Press untuk mengetahui mana berita yang benar-benar terjadi dan sesuai dengan fakta dan membedakan berita tersebut dari berita hoax yang merajalela di media sosial, utamanya Facebook. Pengguna Facebook memiliki hak untuk melaporkan berita yang mereka anggap sebagai berita hoax dan Facebook akan melanjutkan laporan tersebut kekedua lembaga â&#x20AC;&#x2DC;Penguji Faktaâ&#x20AC;&#x2122; tersebut, PolitiFact dan Associated Press.
KESIMPULAN Berita bohong atau dalam bahasa Inggris disebut dengan Hoax telah menyebar dan marak di internet, utamanya di tahun politik menuju pemilihan umum dan marak beredar media sosial. Media sosial yang seharusnya menjadi wadah informasi dan komunikasi justru digunakan oleh beberapa pihak-pihak yang 14 15
Ibid. Ibid.
32
berkepentingan dan tidak bertanggung jawab. Selain sebagai strategi untuk mendapatkan hati masyarakat supaya memilih salah satu pihak di pemiihan umum, hal ini makin diperparah dengan pengetahuan masyarakat yang masih rendah akan cara penyaringan suatu berita yang beredar di internet. Selain dengan kecenderungan masyarakat Indonesia yang belum terbiasa menerima pendapat, berita hoax dapat diyakini pula apabila semakin disebar dan membuat marak dunia media sosial dan membuat kalangan pengguna internet percaya. Pemerintah sebagai penengah antara pelaku maupun pengguna media sosial di Internet telah melakukan berbagai upaya, baik dari segi pencegahan penyebaran berita hoax hingga memberikan kepastian hukum melalui dibentuknya peraturan perundang-undangan yang salah satu pasalnya mengatur mengenai penyebaran berita hoax di internet. Upaya pemerintah dalam mencegah penyebaran berita hoax yaitu dengan dibentukan Badan Siber Nasional, adanya kerjasama dengan Dewan Pers dan Facebook. Dengan adanya Dewan Pers, maka perusahaan pers tidak sembarangan menyebarkan kabar apapun karena akan melalui tahap verifikasi pers. Facebook sebagai salah satu media sosial yang digemari masyarakat Indonesia telah berpengalaman dalam pencegahan penyebaran berita hoax dalam masa Pemilihan Presiden di Amerika. Facebook telah bekerja sama dengan PolitiFact dan Associated Press dimana berita yang benar adanya akan disaring dari sekumpulan berita hoax yang beredar di Facebook.
33
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Christiany Juditha, ‘Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya’, (2018), 3 Pekommas. Iswandi Syahputra, ‘Demokrasi Virtual dan Perang Siber di Media Sosial: Perspektif Netizen Indonesia’, (2017), 3 Jurnal Aspikom. Kurniawan Hari Siswoko, ‘Kebijakan Pemerintah Menangkal Penyebaran Berita Palsu atau ‘Hoax’’, (2017) 1 Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni. M. Ravii Marwan, ‘Analisis Penyebaran Berita Hoax di Indonesia’, (2018), UG Jurnal. Salim Alatas, ‘Media Baru, Partisipasi Politik dan Kualitas Demokrasi’ Konferensi Nasional Komunikasi 2014 (2014). Laman “Hoax: Definition of Hoax by Lexico” (Lexico Dictionaries | English) <https://www.lexico.com/en/definition/hoax>. KBBI Daring. <https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hoax>. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
34
SAFE HARBOR 4.0: EXEMPTION OF PLATFORM PROVIDERS LIABILITY UNDER INDONESIAN CYBER LAWS Agung Kurniawan Sihombing and Muhammad Nur Mahatmanta Universitas Padjadjaran Abstract The world has entered the new era of the Fourth Industrial Revolution, a time that aims to explore the potentials of new technologies and inventions. The main benefit of this revolutionary era is the presence of innovation, inclusiveness and increased efficiency in accessing the needs of people. Platforms are one of the innovations that is a testament to how technology has grown and has allowed the ease of access for people towards digital media that they seek in this digital era. Platforms provide facilities for internet users in many ways, such as sharing information, trading, and allowing users to upload content to the internet. However, innovations like these platforms often raise risks, which then raise questions about the existence of the applicable laws, including on the existence of platform. One of the risks that may arise in the utilization of platforms is the question of the platform provider’s responsibility against the content uploaded to the platform. It is not rare for platform users to misuse the program, provoking an insecurity to the platform providers’ liability. This is where the safe harbor doctrine comes into play, exempting the plaform providers’ liability due to user misuse on the platform they provide. This paper seeks to explain the existence of safe harbor doctrine, specifically under Indonesian law system in encouraging security efforts for platform providers in Indonesia. Keywords: Cyber Law, Liability, Platform, Safe Harbor.
INTRODUCTION 1.1
The Development of Technology in The Fourth Industrial Revolution and Its Challenges As cliched as it may sound, any development in life must pose a new
challenge. This also happens in the era of the Fourth Industrial Revolution which was first discussed in Germany in 2011, and was introduced by Professor Klaus Schwab at the World Economic Forum in 2015. 1 Revolution concerns a fundamental change in aspects of our life that is sudden. In the case of the industrial revolution, this has to do with changes in the process of technological development driven by innovation and inventions, resulting in the emergence of new types of
1
Mix Xu and others, 'The Fourth Industrial Revolution: Opportunities and Challenges' (2018) 9 International Journal of Financial Research.[90].
35
technology at each stage of their development that people are utilizing. This phenomenon greatly affects aspects of human life, physically and virtually. 2 In the era of the Fourth Industrial Revolution, change is marked as the development of very rapid communication and connectivity by technologies that are very different from the previous three stages of revolution. The first three stages of the industrial revolution were only focused on the development of physical technologies and the discovery of technologies that have now been renewed and become simpler. Meanwhile, the fourth stage of the industrial revolution focuses on digital developments and seeks potential in modern technologies that are faster than ever.3 One of the products of this era is the internet, or a massive digital space that connects users located within different parts of the world. Those “users” that take part in the internet usually utilize platforms, or intermediary facilities provided by providers of electronic systems to interact in the cyberspace. These platforms vary in use; some are used to trade, and others to transfer data. Examples of the most well-known platforms in Indonesia are namely Facebook, Youtube, Whatsapp, and Tokopedia. The more users, the more valuable the platform. This can be correlated to a market, where the more visitors and consumers come, the better the market opportunity.4 Unfortunately, in some cases, the internet, and by extension platforms, have become a sort of breeding ground for criminal acts and infringement of rights. Consider the internet as flea markets, where goods are being traded towards users in a location that is under the oversight of a larger authority. However, the trade of these goods do not necessarily guarantee that those goods are real, legal, or were not the product of theft. The same can be said of certain services within the internet.5
2
Danrivanto Budhijanto, Cyber Law dan Revolusi Industri 4.0 (LOGOZ Publishing 2019).[232]. 3 Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (World Economic Forum 2016).[1112]. 4 Maximilian Schreieck and others, ‘Governing Platforms in the Internet of Things’ (2011) 304 Springer.[2]. 5 cf Danrivanto (n 2).[13].
36
The law generally provides a method on which people whose rights are violated through the internet could seek remedy. However, in light of the sheer number of potential violations, it is deemed unwise and ineffective to seek remedy for each individual breach. Returning to the flea market analogy; it is better to close the entire flea market (the platform) if it is already known that most of its shops sell illegal goods.6 An understanding of the concept of accountability for platform providers that explains when and how the responsibility must be borne by the platform provider, and when the platform provider cannot be held liable for the user's own mistakes is therefore required. The acknowledgement of this need is what gave way to the creation of â&#x20AC;&#x153;safe harborâ&#x20AC;?, which drew limitations of the liability of platforms. The question that will be asked is whether the Indonesian cyber laws adequately address platform liability. Further more, considering the fact that platform liability has grown much further in practice in other countries, comparisons will also be made with the existence of safe harbor laws in other countries using the theory of law convergency approach.7
1.2 Problem Identification 1.2.1
How did the concept of Safe Harbor emerged?
1.2.2
How do other countries regulate Safe Harbor?
1.2.3
How does Indonesia regulate Safe Harbor under its national law?
1.2.4
Is the Indonesian legal instruments sufficient in protecting the interests of all parties concerned under its Safe Harbor?
6
cf Gerard M Stegmaier, Digital Millennium Copyright Act - 2005 Supplement (Pike and Fischer, Inc. 2005).[582]. 7 Danrivanto Budhijanto, Teori Hukum dan Revolusi Industri 4.0 (LOGOZ Publishing 2018).[120].
37
1.3 Legal Basis 1.3.1
Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions;
1.3.2
Law of the Republic of Indonesia Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions;
1.3.3
Government Regulation of the Republic of Indonesia Number 82 of 2012 concerning Implementation of Electronic Transactions and Systems;
1.3.4
Circular of the Minister of Communication and Information of the Republic of Indonesia Number 5 of 2016 concerning the Limits and Responsibilities of Platform Providers and Trade Traders through the Electronic System in the Form of User Generated Content;
1.3.5
Digital Millenium Copyright Act of 1998 and its amendments;
1.3.6
EU Copyright Directive;
1.3.7
EU E-Commerce Directive;
1.3.8
International Safe Harbor Privacy Principles.
ANALYSIS 2.1
The Legal Concept of Safe Harbor 2.1.1 The History and Concept of Safe Harbor Generally, the providers of services, conventional or digital, operate under the legal umbrella of “service providers”; that is, a service being sold as a product, whereby those who provide are then burdened with a certain level of duty of care towards consumers.8 The legal act of using these services, as is the case with the purchase of an object, involves the law of contracts that cover basic transactions. In addition, social media websites usually involve a myriad of things that necessitate other matters that require further legal attention. One such example is how copyright is usually underlined within the
Christopher Escobedo Hart, ‘Social Media Law: Significant Developments’ (2017) 72 The Business Lawyer [237]. 8
38
agreement between the service provider and the consumer. All of these legal obligations and the agreements upon which they are written always come in the form of terms and conditions. The development of knowledge that service providers must be given a higher duty standard of care towards the data given towards them was the basis of the creation of the International Safe Harbor Privacy Principles, developed from 1998; an idea first proposed by The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) and the first to bring that idea to the international level. Previously, such concerns were only addressed regionally within the European Union. The document stressed the importance of adherence to the 7 principles of safe harbor: a. Notice: To notify towards users as to the type of data collected, the purpose of such collection, the method of collection, and the disclosure (or lack thereof) towards third parties. b. Choice: To provide the right to â&#x20AC;&#x153;withdrawâ&#x20AC;? permission of data collection and dissemination. c. Onward Transfer: To guarantee that transfer of data will only take place to parties within countries that adhere to the principles. d. Access: To facilitate users to access and correct their own data. e. Security: To undertake "reasonable precautions" to ensure data security. f.
Data Integrity: To use the data for and only for the purposes as agreed to by the users.
g. Enforcement: Apply enforcement mechanisms to ensure compliance, such as creating government bodies towards which complaints could be lodged by the public. As the principles are rather abstract, their implementation are dependent on how each states decide to interpret them within their regulations. The same can be said of the Privacy Shield, which up to this point is in contention in its application within the U.S. These principles are non-binding, although tighter regulations that laid out stricter obligations based on these principles were put into force in the
39
European Union, and were essentially a two-way conversation between the U.S. and the European Union. Throughout the following years, the two parties have even strayed apart within their approaches towards the limits of safe harbor: the United States adopting more lenient policies in regard to data protection as opposed to states within the Euroepean Union. These principles were in a sense “updated” with a new framework agreed upon by the U.S. and the E.U in 2016, which is the EU-US Privacy Shield (Privacy Shield). The framework was designed by the U.S. Department of Commerce and the European Commission and Swiss Administration to provide companies on both sides of the Atlantic with a mechanism to comply with data protection requirements when transferring personal data from the European Union and Switzerland to the United States in support of transatlantic commerce.9 In addition to the development of the applicable principles, the idea of providers have also developed, as the services provided have become more varied. The advent of electronic services that allow members of society to interact virtually with each other through the internet, also known as social media, has been nothing short of a revelation. The ease of use and convenience of most of these services has reached a point where many people could not imagine how life would be without them. Moreover, the establishment of a sustainable system through the existence of things like advertisement spaces within those services has allowed them to be accessible, as most of these social media services are free. However, the depth of data being handed over by the users of social media to the providers, such as through their profiles, and the easiness of those digital data being misused when compared to conventional businesses that also process or store customer data has throughout the years given birth to a new concern. This is not unwarranted, as the misuse of those data, much of which is private data, could potentially violate privacy rights.10
‘Privacy Shield Framework’ <https://www.privacyshield.gov>, accessed 20 July 2019. Paul Bernal, Internet Privacy Rights: Rights to Protect Autonomy (Cambridge University Press 2014).[12]. 9
10
40
The advent of media sharing sites such as YouTube, Imgur, and Vimeo have also given way to not just the trade and distribution of personal information, but also of created content. The involvement of this content also logically leads to the involvement of other branches of law, such as intellectual property law, and with it the complexity of how intellectual property laws interact with laws related to service providers on the internet. Indeed, this too has led to differences in approach in different jurisdictions. Nowhere is this clearer than the recent adoption of the European Union Copyright Directive and its provisions, most recently in May 2019, and the stark difference of its contents with the Digital Millennium Copyright Act of the U.S., two documents that apply different levels of liability towards internet service providers vis-à-vis copyright infringement. Another concept that arises as a result of these virtual activities is a virtual liability.11 It is where the platform provider’s accountability can be questioned over the violation committed in real life or on the internet that is 'affected' or 'related' to the content available on the platform. 12 This, for example, challenged in a case of shooting by Michael Carneal in Heath High School which caused deaths and injuries to his schoolmates as a result of 'exposure' from contents on the internet platform, such as a violent video games. For that question, the court concluded that there could not be proven a form of causation that could prove the platform provider's negligence, nor the intention that could cause strict liability. 13 This emphasizes the importance to understand the basic limitations of platform providers’ liability in internet activity.
11
Virtual liability is a developing concept derivated from the concept of virtual jurisdiction. Virtual jurisdiction is the convergence of the application of principles, rules, processes, and institutions that cover virtual legal subjects carrying out virtual legal actions that have the virtual and factual legal consequences. See also Danrivanto Budhijanto, BIG DATA: Virtual Jurisdiction and Financial Technology (FinTech) in Indonesia (LOGOZ Publishing 2018).[3]. 12 cf Julian Burnside, ‘Virtual Liability’ (1996) 29 Journal for the Australian and New Zealand Societies for Computers and Law. 13 James v. Meow Media, Inc., 300 F.3d 683 (6th Cir. 2002). See also Perry A. Zirkel, ‘Virtual Liability?’ (2003) 84 Sage Journal.
41
2.1.2 The Practices of Safe Harbor and Copyright What the “safe harbor” concept essentially entails is protection; protection towards those who fulfil the prerequisites of a safe harbor provision from any blame or fault for a breach against another party. 14 That is not to say it clears companies from any wrongdoing, as they are only protected from breaches that are specific to those provided by the relevant safe harbor regulations. Originally, safe harbor provisions, such as that laid out within the now-invalid International Safe Harbor Privacy Principles, applied on a certification-basis. This means that companies had to apply to be certified of the protection, and that such certification had to be done regularly over certain periods of time. However, modern safe harbor provisions, especially those related to digital services such as that contained within the Online Copyright Infringement Liability Limitation Act, that is a part of the DMCA which it itself amends Title 17 of the United States Code on Copyright, apply on a case-to-case factual-findings basis. For these type of provisions, the assessment of safe harbor provisions essentially only takes place in court, and that the court will find on the basis of the relevant facts whether a service provider is protected, giving merit to the possibility that the same provider could be liable for one breach but not another.15 The question related to the limits of safe harbor, especially on service providers on the internet or platforms, is what has lately been a warm topic of debate. As is reflected between the difference in reception towards the abovementioned OECD effort, platforms and their liability also currently experience different levels of expectations, depending on if the applicable law are those from the E.U, or the U.S.
Alina Yordanova Trapova & Maria Lillà Montagnani, ‘Safe harbours in deep waters: a new emerging liability regime for Internet intermediaries in the Digital Single Market’ (2018) 26 International Journal of Law and Information Technology [294]. 15 See: U.S. Code Title 17. COPYRIGHTS. Chapter 5. COPYRIGHT INFRINGEMENT AND REMEDIES. Section 512. 14
42
2.1.3 DMCA Safe Harbor Section 512 of Chapter 17 of the United States Code of Law, which was amended by the DMCA, specifically Title II or the Online Copyright Infringement Liability Act, contained the basic provisions of safe harbor. The main idea behind these provisions were to favour those that would be protected from it. By limiting liability, internet service providers (or ISPs) would be incentivized to operate and develop. 16 Indeed, many cases have been ruled with the DMCA provisions as a basis. One well-known case is that between Viacom, a mass media company holding the copyrights of many television works, and YouTube, a globally-renowned video media platform. The gist of the case facts is as follows: Viacom brought YouTube and its parent company Google to court after it had discovered the television shows towards which they held the copyrights to being uploaded by users without a license (a breach of its right to, reproduction, publication and display; three rights granted to copyright holders by U.S. copyright law). Viacom sought remedy from YouTube for being negligent and therefore bearing secondary liability. The case was finally brought to federal court in 2013, whereby the judge ruled in favour of YouTube by referring to the DMCA. The case had since been settled. Judge Stanton, the presiding judge for the case within the District Court, took into account four questions in order to answer the problem of liability, all of which revolved around the concept of whether YouTube received financial benefit, was “aware” of the breach taking place, and the actions that it took upon knowledge of any breaches. This, in turn, refers to §512(c) of the U.S.C. where online service providers are required to 1) not receive a financial benefit directly attributable to the infringing activity; 2) not be aware of the presence of infringing material or know any facts or circumstances that would make infringing material apparent; and Hannibal Travis, ‘Opting Out of the Internet in the United States and the European Union: Copyright, Safe Harbors, and International Law’ (2008) 84 Notre Dame Law Review [331]. 16
43
3) upon receiving notice from copyright owners or their agents, act expeditiously to remove the purported infringing material, if that service provider wishes to be free from the payment of monetary relief of a breach. One can say that the DMCA safe harbor only expects online service providers to have a system that isn’t conducive to or encouraging infringements,17 and that any infringements only need to be reacted to ex post.18
2.1.4 European Union Safe Harbor The safe harbor provisions adopted by the European Union is a bit more restrictive, at least in the context of copyright infringements. The relevant regulation could be found within article 17 of the DIRECTIVE (EU) 2019/790 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL of 17 April 2019 on copyright and related rights in the Digital Single Market and amending Directives, or EU Copyright Directive. Previously, many believed that had the case between Viacom and YouTube be a dispute within the EU, the ruling would be more or less the same with what was decided by the US district court.19 However, the above 2019 addition to the applicable law on copyright could potentially change the status quo. Article 17 calls for the need of authorization of the communication of copyrighted works. Paragraph 4 of the article addresses if authorization is not granted: If this is the case, the regulation would make liable any platforms for the communication of unauthorized works, barring the following being fulfilled by the platform: a. made best efforts to obtain an authorization; b. made, in accordance with high industry standards of professional diligence, best efforts to ensure the unavailability of specific works and
17
See: MGM Studios Inc. v. Grokster, Ltd, 545 U.S. 913 (2005), where the defendants lost against a similar claim. 18 Jennifer L. Hanley, ‘ISP Liability and Safe Harbor Provisions: Implications of Evolving International Law for the Approach Set Out in Viacom v. YouTube’ (2012) 11 Journal of International Business and Law [186]. 19 Ibid.[189].
44
other subject matter for which the rightholders have provided the service providers with the relevant and necessary information; and in any event c. acted expeditiously, upon receiving a sufficiently substantiated notice from the rightholders, to disable access to, or to remove from their websites, the notified works or other subject matter, and made best efforts to prevent their future uploads in accordance with point (b). One particular thing to note is the liability of not only removing works that are unauthorized, but also to prevent “their future uploads”. This is an extension not found within the DCMA version of copyright, and is one of the reasons why this document is so contentious. Indeed, if the applicability of copyright infringement within a given state within the EU could go as far as criminal liability, this could mean that platforms could very well be implicated in a criminal act should article 17 be applied within those states. Safe harbor for e-commerce platforms can also be found within the EU E-Commerce Directive, agreed upon in 2000. The contents of the document reflect much of what was already acceptable as safe harbor limits at that time (before the copyright directive in 2019), where the principle of “mere conduit” is applied and therefore strongly limiting the liability of platforms under this regulation. The same could be said for platforms that are categorized as merely “caching” and “hosting” sites.20 2.2
Safe Harbor Implementation and Copyright Infringement under Indonesian Law 2.2.1
Safe Harbor in Indonesian Cyber Laws In response to the increasing number of internet usage in Indonesia,
especially in the field of e-commerce,21 the Indonesian government issued the Circular of the Minister of Communication and Information of the Republic
20
Alexandre de Streel and others, LIABILITY OF ONLINE HOSTING PLATFORMS: Should Exceptionalism End? (Centre on Regulation in Europe (CERRE) Report 2018). 21 ‘Transaksi E-Commerce Indonesia Naik 500% dalam 5 Tahun’, (Katadata, 2016) <https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/11/16/transaksi-e-commerce-indonesia-naik500-dalam-5-tahun> accessed 11 July 2019.
45
of Indonesia Number 5 Year 2016 concerning the Limits and Responsibilities of Platform Providers and Trade Traders through Electronic Generated Content. User Generated Content (UGC) itself is a form of platform that allows users to create or upload their own content to the internet so that it is possible to be accessed by other internet users.22 The purpose of this Circular Letter is to support the implementation of electronic systems and provide legal protection for platform providers and merchants by ensuring their respective limits and responsibilities in conducting trading activities through electronic systems. Unlike the DMCA of 1998 which regulates the limitation of specific liability for copyright violation, the Circular regulates the limitation of liability for prohibited content in the form of negative content and illegal content. Negative content itself is defined as goods or services that contain pornography, gambling, violence and content on goods and services that violate other laws and regulations, while illegal content encompass goods and services that do not have permits such as weapons and explosive goods, drugs and prohibited foods, protected flora and fauna, hazardous chemicals, government subsidy houses, siri marriage services, and health-related content that is not in accordance with existing regulations. When compared to the Safe Harbor concept that is applied to U.S and E.U companies, this SE has included several important components. 23 One of them is to explain the obligations and responsibilities of each platform provider and its traders. To platform providers, this SE requires: a. To set out various terms and conditions in the operation of the platform which must at least include the details of the rights and obligations of both users and the provider; and provisions regarding accountability for the content uploaded;
22
Alex Comninos, The Role of Social media and user-generated Content in Post-Conflict Peacebuilding (Transitional Demobilization and Reintegration Program 2013).[5]. 23 Martin A. Weiss and others, â&#x20AC;&#x2DC;U.S.-EU Data Privacy: From Safe Harbor to Privacy Shieldâ&#x20AC;&#x2122; (2016) Congressional Research Service Report.[5].
46
b. The company has a complaint about Prohibited Content, and has reported complaints and delays or blockages for specified timeframes within specified timeframes; c. To actively evaluate and monitor Merchants' activities on their Platforms; and d. Obligations under the applicable laws. Regarding its responsibility, the Circular obliges the UGC platform provider to be responsible for the implementation of electronic systems and management of content within the Platform, unless when there is an error or negligence on the part of the merchant or platform users. This is consistent with the contents of the Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions of Indonesia (ITE Law), specifically article 15, which will be elaborated below. As for electronic users or merchants, Circular requires to provide clear details about the products sold, ensure that the products uploaded do not conflict with applicable laws in Indonesia, and comply with the stipulated terms and conditions or other related regulations. This Circular also regulates the merchant's responsibility for the uploaded content, reports or complaints regarding the content or according to the terms and conditions of the platform provider. However, there is still a hole that can lead to various interpretations, especially in the part of obligations and liabilities held by the provider of the platform itself. This Circular does not define the extent to which platform providers must monitor user activities. This could potentially lead to excessive monitoring, which can curb the activities and freedoms of platform users. In addition, even though e-commerce platforms are now implementing auto-filtering systems and notice and take down mechanism to block and erase negative or illegal contents,24 it does not escape system failures,
Kanina Cakreswara, â&#x20AC;&#x2DC;Tanggung Jawab Pengelola Tempat Perdagangan Online Atas Pelanggaran Hak Ciptaâ&#x20AC;&#x2122; (Master thesis, Universitas Indonesia 2016).[207-212]. 24
47
allowing prohibited content to be missed. 25 The insecurity of platform providers liability is even exacerbated by article 28 of ITE Law which obliges electronic systems providers to be responsible for any failure of information systems.26 When the Circular itself does not set clear limits on the accountability of e-commerce platform providers, we must bear the fact that the law also does not protect the platform providers’ liability in general. In fact, UGCshaped platforms are also widely used as a means of social media, such as in BlogSpot, Twitter, Facebook, and others. These providers also need legal certainty so that they are not sued by any party for prohibited content upon which they should not be liable had they been covered by regulations such as the Circular.27 In addition, in the Indonesian legal system, Circulars do not have binding legal force.28 The nature of Circular is only as an annotation or instruction to carry out certain matters on a regulations which are considered as unclear. It also does not have legal sanctions, so that any violators of the provisions may only be sanctioned only by imposing the regulations that are above the Circular, namely the Government Regulation of the Republic of Indonesia Number 82 of 2012 concerning Implementation of Electronic Transactions and Systems (PP 82/2012) and the ITE Law and its amendment in 2016. While the Circular does not cover the platform providers in general, we can see the provisions from the three laws above regarding electronic system providers. ITE Law is a legal umbrella for the utilization of information and electronic systems that covers issues such as copyright, electronic 25 Miriam Buiten and others, ‘Rethinking Liability rules for Online Hosting Platforms’ (2019) Collaborative Research Center Transregio 224.[9]. 26 Masitoh Indriani and others, ‘Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Sebagai Upaya Negara Mencegah Cybercrime Dalam Sistem Transaksi Elektronik’ (2014) 29 Yuridika.[338]. 27 Edmon Makarim, ‘Kerangka Kebijakan Dan Reformasi Hukum Untuk Kelancaran Perdagangan Secara Elektronik (E-Commerce) Di Indonesia’ (2014) 44 Jurnal Hukum & Pembangunan.[334]. 28 See: Law Number 12 of 2011 concerning the Establishment of Legislation.
48
transactions, disputes, jurisdiction and others. In article 15, the Law regulates the obligation of electronic system providers in general, where each provider is required to carry out an electronic system reliably, safely and responsibly. Regarding its responsibilities, this law states the Electronic System Operator is responsible for all the operation of the system, except in cases of coercion, error, and / or negligence by users of the Electronic System. Furthermore, article 16 lists the minimum requirements for electronic system operators, as follows: a. able to re-display Electronic Information and / or Electronic Documents in their entirety in accordance with the retention period stipulated by Legislation; b. able to protect the availability, integrity, authenticity, confidentiality, and accessibility of Electronic Information in the Implementation of the Electronic System; c. able to operate in accordance with procedures or instructions in the Implementation of the Electronic System; d. equipped with procedures or instructions announced with language, information or symbols that can be understood by the parties concerned with the Implementation of the Electronic System; and e. have a sustainable mechanism to maintain the novelty, clarity, and accountability of procedures or instructions. Subsequent, the provisions for the provider of the electronic system are added to Law 19/2016, especially in article 26 which contains provisions including the following: a. That the use of personal data must be based on the consent of the person concerned, as well as for the violation of a person who feels his right to be violated can sue for losses incurred; and b. Require providers of electronic systems to delete electronic data that is irrelevant at the request of the person concerned, and provide a mechanism for its removal in accordance with government regulations.
49
More specifically, Government Regulation Number 82 of 2012 regulates the implementation of systems and electronic transactions. Even so, it seems that the regulation also does not cover clear obligations and responsibilities by providers of electronic systems in the context of Safe Harbor. The provider's responsibility is regulated in Article 27 where the electronic system operator is obliged to protect the user and the general public from the losses incurred by the Electronic System they are carrying out. Following, Article 28 also includes the obligation of the electronic system provider to be responsible for safeguarding and protecting Electronic System facilities and infrastructure. The matter of criminal liability is regulated in chapter XI of ITE Law, namely Article 45 to Article 52 and followed by changes and additions stipulated in Article 45 to Article 45B of Act Number 19 of 2016. These provisions regulate the criminal penalty of both the perpetrators and those that allow the spread of prohibited content. However, these provisions do not discuss the limitations of liability at all. The limitation of liability is also determined entirely on the evidence in court regarding the extent to which the electronic system operator's liability is forbidden content. After dissecting the rules above, we can see that general principles have been included in the implementation of electronic systems such as the implementation of responsibility and protection of personal data. However, the regulation does not cover the actual Safe Harbor concept as stated in the DMCA. What's more, the regulation does not cover liability for violations in the form of prohibited content such as pornography and copyright or intellectual property violations, which are the most common problems in limiting these liabilities. Instead of fulfillng the need for protection of electronic system providers, the three regulations above seem to focus on the obligations of the sistem providers and data that are within the system alone, without providing protection for the system providers. The only provision that limits the liability of electronic system providers is only found in Article 15 (3) where the
50
liability can be limited if it can be proven to be a situation of coercion, error, and / or negligence by users of the electronic system as said above.
2.2.2 Accountability for Copyright Infringement in Indonesia In the context of copyright, Safe harbor is intended for providers of electronic systems to protect the copyright and privacy of the owners of uploaded content by giving notifications to uploaders and providing a means of reporting on the system for violations found by users. 29 However, these obligations and responsibilities are not included in the Indonesian Cyber Law, except in Circular Letters that specialize in the trading platform (which itself does not cover all available platforms, as many social media platforms are not for the purpose of trade and e-commerce and therefore outside the scope of the Circular elaborated above). While the issue of copyright itself is inclusive discussed in Law Number 28 of 2014 concerning Copyright (Law 28/2014). Although copyright basically concerns individual rights, the law also regulates articles about criminal penalty in it.30 As discussed earlier, the concept of copyright infringement covers two types of liability for violations, namely direct infringement, and indirect infringement. Indirect infringement is further divided into vicarious liability, and contributory liability or what is referred to as the concept of secondary liability. These forms of violations are not explicitly stated, but are implicit in the articles on criminal penalty. 31 Basically, direct infringement is a violation that is carried out directly and violates the exclusive rights of the creator by means of, among others, reproducing, announcing and renting out a work without a legitimate permit.
29 Bambang Pratama, ‘Prinsip Moral Sebagai Klaim Pada Hak Cipta Dan Hak Untuk Dilupakan (Right To Be Forgotten)’ (2012) 2 Veritas et Justitia.[342]. 30 Sutejo, ‘Kriminalisasi Pelanggaran hak Cipta di Indonesia Kepada Pengguna Akhir terhadap Perbanyakan Pengguna Program Komputer Tanpa Izin’ (Master Thesis, Universitas Indonesia 2012).[50]. 31 Annisa Syaufika Yustisia R., ‘Tanggung Jawab penyedia jasa File Hosting terhadap Pelanggaran hak Cipta Yang Dilakukan Pengguna’ (Master Thesis, Universitas Islam Indonesia 2013).[104].
51
The concept of accountability is borne by the perpetrators of their own violations.32 This differs from the concept of indirect infringement accountability, which allows the accountability of a person or body for violations caused by other people. Indirect infringement occurs when the perpetrator deals with objects that have infringed copyright law. 33 The form of direct infringement can be seen implicitly in Articles 113 and 115 of Law 28/2014. The direct violation is marked by an act that directly and intentionally violates the rights of the copyright holder regulated in article 9 and article 10 of Law 28/2014. Article 114 is the clearest example of the form of indirect infringement in which the provider of the place of trade is prohibited from deliberately managing, knowing, and allowing copyright infringement in the place of trading. Whereas, Articles 112, 116, 117, and 118 of Law 28/2014 include concepts both direct and indirect infringement, where violations can be carried out directly against the rights of copyright owners, or by assisting in the form of distribution, leasing and provision of goods that have been have copyright.34 Similar to the cyber law, this copyright law does not determine the limitations of liability, so that the limitation of liability depends on the evidence before the court. By only assessing the above regulations, one will not find the limitations of accountability and protection of electronic system operators. This includes the provisions of the obligation of electronic system operators to avoid liability for violations caused by their users. It is different from the law that has been implemented in E.U-U.S which has provided guidance so that the liability electronic systems providers are exempted from infringement. Thus, it can be concluded that the government has not paid attention to the importance of the accountability of electronic system operators in Indonesia. Although the Circular regulates the limitations of the 32
Ibid, [86]. William M. Landes and others, â&#x20AC;&#x2DC;Indirect Liability for Copyright Infringement: An Economic Perspectiveâ&#x20AC;&#x2122; (2003) 16 Harvard Journal of Law and Technology.[395-396]. 34 Sutejo (n 27).[97-105]. 33
52
accountability of e-commerce platform providers, this is far from enough to provide clear protection in general, primarily for the electronic systems providers in the form of social media platforms in Indonesia. This is compounded by the fact that there are 150 million internet users and 150 million active social media users from Indonesia. Each of these shows an increase of 13% and 15% from 2018. 35 With that amount, the Indonesian government should have been more responsive in providing clear regulations in terms of Indonesian cyber law, especially in limiting the accountability of its platform providers to support Indonesia's readiness in this era the Fourth Industrial Revolution.
CONCLUSION a. The development of the Fourth Industrial Revolution has led to the advent of many things towards which the law should pay more attention. The internet, platforms, and their conductors are just few of those things. The recognition of the importance of this issue has led to the creation of the safe harbor concept, which addresses the limitation of liability of platforms towards certain infringements. b. The application of the concept of safe harbor varies between states. Originally an idea pushed between EU and the US, the two have separated within their approaches towards the limits of safe harbor. This can be seen as the law of the two states develop. c. Indonesia has applied the concept of safe harbor through a Circular, aimed to better regulate e-commerce and for-trade platforms. However, there are still problems within the application, such as the fact that the Circular itself is not binding. Moreover, the same depth of regulation cannot be found for non-ecommerce platforms and towards copyright infringement.
â&#x20AC;&#x2DC;Digital 2019 Indonesiaâ&#x20AC;&#x2122; (DataReportal, <https://datareportal.com/reports/digital-2019-indonesia> accessed 12 July 2019. 35
53
2019)
BIBLIOGRAPHY Books Danrivanto Budhijanto, BIG DATA: Virtual Jurisdiction and Financial Technology (FinTech) in Indonesia (LOGOZ Publishing 2018). Danrivanto Budhijanto, Cyber Law dan Revolusi Industri 4.0 (LOGOZ Publishing 2019). Danrivanto Budhijanto, Teori Hukum dan Revolusi Industri 4.0 (LOGOZ Publishing 2018). Gerard M Stegmaier, Digital Millennium Copyright Act - 2005 Supplement (Pike and Fischer, Inc. 2005). Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (World Economic Forum 2016). Paul Bernal, Internet Privacy Rights: Rights to Protect Autonomy (Cambridge University Press 2014).
Journals Alina Yordanova Trapova & Maria Lillà Montagnani, ‘Safe harbors in deep waters: a new emerging liability regime for Internet intermediaries in the Digital Single Market’ (2018) International Journal of Law and Information Technology. Christopher Escobedo Hart, ‘Social Media Law: Significant Developments’ (2017) 72 The Business Lawyer. Bambang Pratama, ‘Prinsip Moral Sebagai Klaim Pada Hak Cipta Dan Hak Untuk Dilupakan (Right To Be Forgotten)’ (2012) 2 Veritas et Justitia. Edmon Makarim, ‘Kerangka Kebijakan Dan Reformasi Hukum Untuk Kelancaran Perdagangan Secara Elektronik (E-Commerce) Di Indonesia’ (2014) 44 Jurnal Hukum & Pembangunan. Hannibal Travis, ‘Opting Out of the Internet in the United States and the European Union: Copyright, Safe Harbors, and International Law’ (2008) 84 Notre Dame Law Review. Jennifer L. Hanley, ‘ISP Liability and Safe Harbor Provisions: Implications of Evolving International Law for the Approach Set Out in Viacom v. YouTube’ (2012) 11 Journal of International Business and Law.
54
Martin A. Weiss and others, ‘U.S.-EU Data Privacy: From Safe Harbor to Privacy Shield’ (2016) Congressional Research Service Report. Masitoh Indriani and others, ‘Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Sebagai Upaya Negara Mencegah Cybercrime Dalam Sistem Transaksi Elektronik’ (2014) 29 Yuridika. Maximilian Schreieck and others, ‘Governing Platforms in the Internet of Things’ (2011) 304 Springer. Miriam Buiten and others, ‘Rethinking Liability rules for Online Hosting Platforms’ (2019) Collaborative Research Center Transregio. Mix Xu and others, 'The Fourth Industrial Revolution:Opportunities and Challenges' (2018) 9 International Journal of Financial Research. William M. Landes and others, ‘Indirect Liability for Copyright Infringement: An Economic Perspective’ (2003) 16 Harvard Journal of Law and Technology.
Thesis Annisa Syaufika Yustisia R., ‘Tanggung Jawab penyedia jasa File Hosting terhadap Pelanggaran hak Cipta Yang Dilakukan Pengguna’ (Master Thesis, Universitas Islam Indonesia 2013). Kanina Cakreswara, ‘Tanggung Jawab Pengelola Tempat Perdagangan Online Atas Pelanggaran Hak Cipta’ (Master thesis, Universitas Indonesia 2016). Sutejo, ‘Kriminalisasi Pelanggaran hak Cipta di Indonesia Kepada Pengguna Akhir terhadap Perbanyakan Pengguna Program Komputer Tanpa Izin’ (Master Thesis, Universitas Indonesia 2012).
Websites Ray Jordan, "Jokowi: Anak Muda Harus Siap dengan Revolusi Industri 4.0", (detikNews, 2018) <https://news.detik.com/berita/4035590/jokowi-anakmuda-harus-siap-dengan-revolusi-industri-40 >. ‘Transaksi E-Commerce Indonesia Naik 500% dalam 5 Tahun’, (Katadata, 2016) <https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/11/16/transaksi-ecommerce-indonesia-naik-500-dalam-5-tahun> . ‘Digital
2019 Indonesia’ (DataReportal, <https://datareportal.com/reports/digital-2019-indonesia>.
55
2019)
‘Privacy Shield Framework’ < https://www.privacyshield.gov/welcome>. Regulations Law of the Republic of Indonesia Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions (State Gazette of the Republic of Indonesia of 2008 Number 58, Supplement to the State Gazette of the Republic of Indonesia Number 4843). Law Number 12 of 2011 concerning Establishment of Legislation (State Gazette of the Republic of Indonesia of 2011 Number 82, Supplement to the State Gazette of the Republic of Indonesia Number 5234). Government Regulation of the Republic of Indonesia Number 82 of 2012 concerning Implementation of Electronic Transactions and Systems (State Gazette of the Republic of Indonesia of 2012 Number 189, Supplement to the State Gazette of the Republic of Indonesia 5348). Law of the Republic of Indonesia Number 28 of 2014 concerning Copyright (State Gazette of the Republic of Indonesia of 2014 Number 266, Supplement to the State Gazette of the Republic of Indonesia Number 5599). Circular of the Minister of Communication and Information of the Republic of Indonesia Number 5 of 2016 concerning the Limits and Responsibilities of Platform Providers and Trade Traders through the Electronic System in the Form of User Generated Content. Digital Millenium Copyright Act of 1998. DIRECTIVE (EU) 2019/790 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL of 17 April 2019 on copyright and related rights in the Digital Single Market. The Electronic Commerce Directive 2000/31/EC.
Others Alex Comninos, The Role of Social media and user-generated Content in PostConflict Peacebuilding (Transitional Demobilization and Reintegration Program 2013). Alexandre de Streel and others, LIABILITY OF ONLINE HOSTING PLATFORMS: Should Exceptionalism End? (Centre on Regulation in Europe (CERRE) Report 2018).
56
PENARIKAN PAJAK PENGHASILAN PADA PELAKU USAHA PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E-COMMERCE) MELALUI GERBANG PEMBAYARAN NASIONAL (GPN) Jefferson Hakim Universitas Padjadjaran
Abstrak Revolusi Industri 4.0 membawa dampak yang besar terhadap pertumbuhan perekonomian di Indonesia, terutama pada perdagangan yang diselenggarkan melalui media elektronik. Sebagai sektor baru yang menghasilkan penghasilan yang besar bagi pelaku usaha, maka perlu diatur mengenai pemajakan atas pajak penghasilan yang diterima pelaku usaha. Dengan ditariknya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik, maka tidak ada regulasi yang secara tegas mewajibkan para pelaku usaha perdagangan elektronik untuk membayar pajak penghasilan. Selain itu, masalah yang dihadapi Pemerintah ialah sulitnya untuk melakukan pendataan serta pengawasan terhadap pelaku usaha karena minimnya basis data pajak yang dimiliki. Guna mengoptimalkan penerimaan pajak penghasilan, maka Direktorat Jenderal Pajak bersinergi dengan Bank Indonesia untuk mengintegrasikan sistem pembayaran melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). GPN diharapkan dapat mencatat serta merekam segala transaksi perdagangan yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui media elektronik sehingga Pemerintah akan lebih mudah untuk menentukan kapasitas pelaku usaha menjadi wajib pajak. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu pendekatan dengan menggunakan berbagai sumber data seperti pasal perundangan, berbagai teori hukum, dan hasil karya ilmiah para sarjana sehingga menciptakan sistem dan dasar aturan untuk diterapkan di negara Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga tidak mengesampingkan fakta empiris yang terjadi di lapangan seiring dengan perkembangan yang terjadi. Kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu untuk mengetahui penarikan pajak penghasilan pada pelaku usaha dalam perdagangan elektronik serta menerapkan GPN sebagai instrumen untuk optimalisasi penarikan pajak penghasilan dari pelaku usaha perdagangan elektronik. Kata Kunci: Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), Pajak Penghasilan, Pelaku Usaha, Perdagangan Elektronik. Abstract Industrial Revolution 4.0 had a major impact on economic growth in Indonesia, especially in electronic commerce (e-commerce). As a new sector that generates large income for businesses, it is necessary to regulate taxation on income tax received by entrepreneur. By the withdrawal of the Minister of Finance Regulation Number 210 / PMK.010 / 2018, there is no regulation that explicitly requires electronic commerce businesses to pay income tax. In addition, the problem faced by the Government is the difficulty in carrying out data collection because of the lack of the database. In order to optimize income tax revenues, the Directorate General of Taxes synergized with Bank Indonesia to integrate the payment system through the National Payment Gate (NPG). NPG is expected to be able to record and record all trade transactions carried out by businesses through electronic media to determine the capacity of business actors to become taxpayers. The research method that will be used in this study is normative juridical approach using various data sources such as articles of legislation and scientific works of scholars to create a system and basic rules to be applied in the country Indonesia. In addition, this study also does not rule out empirical facts that occur in the field along with the developments that occur. The conclusion of this research is to find out the withdrawal of income tax on entreprenur in electronic commerce by applying the NPG as an instrument to optimize the withdrawal of income tax from electronic commerce businesses.
57
Keyword(s): National Payment Gate (NPG), Taxation, Entrepreneur, E-Commerce.
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi telah membawa dampak yang signifikan
terhadap cara berpikir, perubahan perilaku, dan berbagai aspek di kehidupan umat manusia. Perkembangan teknologi informasi didasari melalui penemuan alat atau media untuk penyampaian dan pertukaran informasi.1 Dalam bidang perekonomian, Revolusi Industri 4.0 memberikan pengaruh berupa penggunaan berbagai alat elektronik seperti komputer, laptop, tablet, dan telepon genggam yang terhubung dengan internet guna melakukan berbagai kegiatan perekonomian. Adapun kegiatan ekonomi yang dimaksud seperti perdagangan elektronik (e-commerce), ebanking, pembayaran tagihan dan sebagainya. Yustinus Prastowo menyebutkan bahwa perdagangan elektronik mengacu kepada aktivitas jual beli melalui sistem elektronik yang memanfaatkan jaringan internet serta memungkinkan transaksi tersebut dilakukan tanpa harus adanya bangunan usaha secara fisik dan tatap muka antara pembeli dan penjual. 2 Sebuah riset yang dilakukan oleh Statista menunjukkan bahwa perdagangan elektronik menyumbang 8,6% pada penjualan ritel global di tahun 2016, lalu menjadi 10.2% di tahun 2017 dan di tahun 2018 menjadi 11,9%. Sebagian besar ahli ekonomi memperkirakan bahwa di tahun 2020 penjualan retail melalui perdagangan elektronik akan meningkat menjadi 15,5% serta mendapat sejumlah $ 4.4 triliun (dalam mata uang dollar Amerika Serikat).3 Perdagangan elektronik harus dipandang sebagai suatu bentuk kegiatan perekonomian baru yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat struktur perekonomian negara. Selain itu, pelaku usaha yang berkecimpung dalam aktivitas ini juga mendapatkan manfaat yang lebih besar seperti penghematan pengeluaran, Erlangga Fausa, ‘Beberapa Aspek dalam Perkembangan Teknologi Informasi’, (1995), III Unisia.[19]. 2 Abdul Aziz, ‘Keseteraan Pajak Untuk E-Commerce’, (2018), XIII Media Keuangan.[23]. 3 J. Clement, “E-commerce Share of Total Global Retail Sales From 2015 to 2021”, (Statista, 2018) <https://www.statista.com/statistics/534123/e-commerce-share-of-retail-salesworldwide/>, accessed 28 Juni 2019. 1
58
peningkatan pemasaran dan penjualan produk yang memiliki berdampak pada peningkatan pendapatan atau penghasilan. Penghasilan yang diterima oleh pelaku usaha dapat dijadikan objek penerimaan negara atau biasa disebut dengan istilah pajak. Di Indonesia, setiap orang maupun badan hukum yang telah memenuhi syarat untuk menjadi wajib pajak, dibebani kewajiban untuk membayar pajak penghasilan (PPh) kepada negara, termasuk di dalamnya pelaku usaha dalam perdagangan elektronik. Namun, Pemerintah Indonesia masih menghadapi permasalahan yang besar dalam melakukan penarikan pajak terhadap pelaku usaha di bidang perdagangan elektronik. Hal ini disebabkan karena perdagangan elektronik memiliki karakteristik khusus yang mengakibatkan implikasi pajak yang rumit, seperti dalam pengawasan, penentuan jumlah pelaku usaha serta berapa pendapatan yang mereka peroleh.4 Akibatnya, hal tersebut diperkirakan akan mengurangi potensi pajak yang dapat diterima negara.5 Sebagaimana diketahui, pajak merupakan komponen penting bagi pemerintah Indonesia yang menggunakan sistem ekonomi model mekanisme pasar sehingga pajak memainkan peran yang sangat signifikan.6 Sistem ekonomi model pasar dapat diartikan sebagai suatu sistem dimana pelaku usaha memiliki peran sebagai penggerak roda perekonomian guna memproduksi barang dan/atau jasa yang bermanfaat bagi konsumen dan masyarakat luas.7 Selain itu, pajak merupakan salah satu komponen utama dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.8 Pemerintah mempunyai tugas yang berat dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak penghasilan dari pelaku usaha perdagangan elektronik
4 Amelia Cahyadini dan Indra Oka Margana, ‘Kebijakan Optimalisasi Pajak Penghasilan Dalam Kegiatan E-Commerce’, (2018), 4 VeJ. [358]. 5 Devie Koerniawan, Tak Perlu Gaduh Pajak E-Commerce, (Direktorat Jenderal Pajak) <https://pajak.go.id/artikel/tak-perlu-gaduh-dengan-pajak-e-commerce>, accessed 28 Juni 2019. 6 Lamijan, ‘Problematika penegakan hukum perpajakan (kajian tindak pidana ekonomi bidang mafia dan korupsi perpajakan)’, (2014), I Jurnal Pembaharuan Hukum.[42]. 7 Daniel Agustino, ‘Pendahuluan’, (2010), 3 Jurnal Persaingan Usaha.[5]. 8 Bustamar Ayza, Hukum Pajak Indonesia, (Kencana 2017).[2].
59
dikarenakan model penarikan pajak di Indonesia menggunakan sistem selfassesment.9 Secara singkat, sistem self-assesment memberikan kewenangan kepada para wajib pajak untuk menghitung, melaporkan dan membayar besaran utang pajaknya sendiri.10 Sistem penarikan pajak tersebut diatur dalam Pasal 12 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut “UU KUP”). Dengan demikian, pemerintah harus meningkatkan fungsi pengawasan dalam hal tersebut. 11 Pengawasan haruslah dianggap sebagai faktor penting dalam upaya optimalisasi pemasukan dana ke kas negara melalui pemungutan pajak.12 Dengan sistem self-assessment dalam penarikan pajak penghasilan di Indonesia, maka pemerintah menganggap data yang dilaporkan oleh wajib pajak telah sesuai dengan hasil yang sebenarnya, kecuali fiskus memiliki data pembanding lain yang dapat mengecualikan data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan suatu langkah konkrit untuk memperoleh data yang valid mengenai penghasilan wajib pajak. Guna mengantisipasi hal tersebut, pemerintah melalui Bank Indonesia mengeluarkan produk bernama Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) pada tahun 2017 sebagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional yang diharapkan mampu meningkatkan interkoneksi dan interoperabilitas sistem pembayaran secara menyeluruh di Indonesia.13 Berkaitan dengan penarikan pajak, GPN diharapkan mampu merekam seluruh transaksi yang dilakukan dan dapat digunakan pemerintah untuk mengawasi kepatuhan pembayaran pajak masyarakat.14
9
Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, (Granit 2005).[108]. Rostan dan Abd. Rahman Mus, ‘Pengaruh Perilaku Wajib Pajak, Sanksi Pajak, Self Assessment System Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi’, (2019), 2 Jurnal Ilmu Ekonomi Paradoks.[26]. 11 Amelia Cahyadini dan Indra Oka Margana, Op. Cit.[377]. 12 Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan: Konsep, Teori dan Isu, (Kencana 2006).[26]. 13 Agusman, ‘Bank Indonesia Meluncurkan Gerbang Pembayaran Nasional’, (Bank Indonesia, 2017) <https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_199071.aspx> accessed 28 Juni 2019. 14 Yuli Yanna Fauzie, ‘Gerbang Pembayaran Nasional Bisa Banjiri Penerimaan Pajak’, (CNN Indonesia, 2019),<https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171204142635-532260006/gerbang pembayaran-nasional-bisa-banjiri-penerimaan-pajak> accessed 22 Juni 2019. 10
60
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis mengemukakan dua
rumusan masalah sebagai berikut: 1.2.1 Bagaimana
penarikan
pajak
penghasilan
pada
pelaku
usaha
perdagangan elektronik ditinjau dari hukum perpajakan di Indonesia? 1.2.2 Bagaimana
penerapan
Gerbang
Pembayaran
Nasional
dalam
optimalisasi penarikan pajak penghasilan pada pelaku usaha perdagangan elektronik?
1.3
Dasar Hukum 1.3.1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan bahwa penarikan pajak dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara harus diatur melalui undang-undang. Hal ini menunjukkan
bahwa
penarikan
pajak
untuk
kepentingan
penyelenggaran negara telah dibenarkan oleh konstitusi serta pelaksanaannya harus didasarkan melalui undang-undang. 1.3.2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Bahwa undang-undang tersebut memiliki relevansi berupa pengaturan tentang ketentuan umum (hal-hal yang mendasari penarikan pajak di Indonesia) serta tata cara pelaksanaan dalam penarikan pajak, yang diatur lebih lanjut dalam UU Pajak Penghasilan. 1.3.3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Juncto (selanjutnya disebut dengan â&#x20AC;&#x153;Jo.â&#x20AC;?) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 Jo. UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000 Jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Bahwa Undang-Undang tersebut memiliki relevansi dalam meningkatkan dan mengamankan penerimaan negara melalui pajak
61
penghasilan serta mewujudkan sistem perpajakan yang memiliki kepastian hukum. 1.3.4 Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Undang-Undang ini memiliki relevansi dalam hal bidang keperdataan berupa perdagangan yang dilakukan melalui media elektronik dan telah menjadi bagian dari sistem perdagangan nasional maupun internasional. Selain itu, perdagangan melalui media elektronik meskipun bersifat virtual namun tetap harus dinyatakan sebagai perbuatan hukum yang nyata. 1.3.5 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Bahwa Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang pelaksanaan kewajiban penarikan pajak penghasilan dari usaha yang diperoleh oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang telah nersofat final dalam jangka waktu tertentu. 1.3.6 Peratuan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 Tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway) Peraturan Bank Indonesia mengatur tentang pemrosesan transaksi pembayaran massal yang terintegrasi pada seluruh kanal pembayaran yang berada di dalam wilayah Indonesia melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Relevansi peraturan tersebut dengan tulisan ini adalah pemanfaatan GPN sebagai instrumen untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak penghasilan dari pelaku usaha dalam perdagangan elektronik. 1.3.7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi
62
Kaitan peraturan tersebut dengan tulisan ini adalah dalam hal tata cara atau pelaksanaan dari pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak dari pelaku usaha atas penghasilan yang diterima olehnya melalui perdagangan elektronik. 1.3.8 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak ini memiliki relevansi dalam hal mengatur serta menegaskan ketentuan tentang penarikan pajak penghasilan yang diterima oleh pelaku usaha yang melakukan perdagangan elektronik. 1.3.9 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-06/PJ/2015 tentang Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Transaksi E-Commerce Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak ini memiliki relevansi dalam hal dijadikan acuan dalam rangka pemotongan dan/ atau pemungutan pajak pengasilan yang diterima oleh pelaku usaha dalam perdagangan elektronik.
ANALISIS 2.1
Penarikan pajak penghasilan pada pelaku usaha perdagangan elektronik ditinjau dari hukum perpajakan di Indonesia Pajak merupakan salah satu penerimaan negara yang digunakan untuk
mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional guna mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. 15 Konstitusi Republik Indonesia melalui Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan â&#x20AC;&#x153;UUD NRI 1945â&#x20AC;?) mengamanatkan bahwa penarikan pajak oleh negara harus diatur melalui undangLeonard Makalalag, â&#x20AC;&#x2DC;Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pengusaha Dalam Transaksi Perdagangan Online (E-commerce)â&#x20AC;&#x2122;, (2016), 4 Legal Opinion.[1]. 15
63
undang, jika tidak diatur melalui undang-undang maka dapat dikatakan sebagai perampokan terhadap rakyat.16 Ketentuan penarikan pajak haruslah menggunakan produk hukum berupa undang-undang sebagai produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut dengan “DPR”) bersama dengan Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 UUD NRI 1945. DPR merupakan representasi rakyat di pemerintahan sehingga apa yang dibentuk oleh DPR maka memiliki esensi sebagai “kehendak rakyat”. Oleh karena itu, penarikan pajak (yang dilandasi dengan undang-undang) tidak bisa dikatakan sebagai perampokan terhadap rakyat karena rakyat telah menyetujui untuk diadakannya penarikan pajak. Pasal 1 ayat (1) UU KUP mendefinisikan pajak sebagai kontribusi wajib kepada negara oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selaras dengan pengertian tersebut, Rochmat Soemitro menyebutkan bahwa pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
17
Dalam hukum perpajakan di Indonesia, terdapat beberapa jenis dan macam dari pajak itu sendiri, salah satunya adalah pajak penghasilan. Pasal 1 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 Jo. UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000 Jo. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (selanjutnya disebut dengan “UU Pajak Penghasilan”) menyebutkan bahwa pajak penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak. Selain itu, dalam Pasal 2 UU KUP disebutkan bahwa setiap wajib pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagaimana diatur dalam ketentuan
16
R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Refika Aditama 1978).[33]. 17 Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, (Eresto 1990).[5].
64
perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan dirinya ke Direktorat Jenderal Pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Persyaratan subjektif memiliki makna sebagai persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam UU Pajak Penghasilan. Kemudian, persyaratan objektif diartikan sebagai persyaratan yang dimana subjek pajak telah memperoleh
penghasilan
dan/
atau
diwajibkan
melakukan
pemotongan
sebagaimana diatur dalam UU Pajak Penghasilan. Kemudian, Pasal 2 UU KUP menyebutkan 3 subjek pajak, antara lain: a. Orang pribadi dan/ atau warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak b. Badan; dan c. Bentuk usaha tetap. Sedangkan, dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pajak Penghasilan, subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Selanjutnya, Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa objek pajak penghasilan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dalam hal ini termasuk dalam laba usaha. Apabila dikaitkan dengan perdagangan elektronik, maka objek penghasilan pelaku usaha merupakan penghasilan atas penyediaan barang dan/ atau jasa yang wajib dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, atau PPh Pasal 26 melalui media elektronik seperti internet untuk mengoperasikan toko, memajang konten, dan sebagainya. 18 Darussalam menyebutkan bahwa pada dasarnya terdapat tiga prinsip yang dikembangkan dalam aktivitas pemajakan atas perdagangan elektronik, yaitu: 19
Emma Rosalinawati dan Syaiful. â&#x20AC;&#x2DC;Analisis Pajak Penghasilan atas Transaksi ECommerce di Kabupaten Gresikâ&#x20AC;&#x2122;, (2018), 1 Journal of Islamic Accounting and Tax.[6]. 19 Darussalam & Danny Septriadi, Konsep dan Aplikasi: Cross-Border Transger Pricing untuk Tujuan Perpajakan, (Danny Darussalam Tax Center 2008).[130]. 18
65
a. Pemajakan atas transaksi yang dilakukan secara elektronik tidak boleh diterapkan secara berbeda dengan transaksi yang dilakukan secara konvensional; b. Apabila ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini memungkinkan untuk ditarapkan terhadap perdagangan elektronik, maka ketentuan inilah yang diterapkan; c. Adanya kesepakatan diantara tax regime masing-masing negara untuk menghindari konflik pajak berganda. Pada dasarnya, perdagangan barang dan/ atau jasa melalui media elektronik tidak memiliki perbedaan dengan perdagangan barang dan/ jasa lainnya dalam hal penarikan pajak penghasilan. Hal yang membedakan secara pasti hanyalah kepada cara dan alat dalam merealisasikan transaksi tersebut. 20 Oleh karena itu, penarikan pajak penghasilan pada perdagangan elektronik tetap merujuk pada UU Pajak Penghasilan sebagai umbrella act dan produk perundang-undangan lainnya sepanjang mengatur hal yang lebih khusus. 21 Sebelum penarikan pajak dilakukan, terlebih dahulu harus dipastikan bahwa pelaku usaha tersebut telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak. Dalam hukum perpajakan di Indonesia, terdapat dua istilah penting yaitu subjek pajak dan wajib pajak. Secara hukum, subjek pajak tidak dianggap sebagai subjek hukum dikarenakan tidak memenuhi syarat objektif maupun syarat objektif dalam pengenaan pajak. Di sisi lain, wajib pajak berasal dari subjek pajak yang dapat dikenakan pajak secara hukum karena telah memenuhi unsur subjektif dan unsur objektif dalam pengenaan pajak sehingga wajib pajak merupakan subjek hukum dalam hukum pajak. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa perbedaan mendasar antara wajib pajak dan subjek pajak bertolak pada apakah subjek tersebut telah memenuhi syarat objektif dan syarat subjektif dalam pengenaan pajak. Selain harus memenuhi syarat sebagai wajib pajak, hal penting lainnya adalah harus adanya utang pajak yang melekat pada wajib pajak tersebut. Secara umum, terdapat dua teori mengenai timbulnya hutang pajak, yaitu teori materil dan teori 20 21
Amelia Cahyadini dan Indra Oka Margana, Op. Cit.[364]. Emma Rosalinawati dan Syaiful, Op. Cit.[6].
66
formil.22 Teori materil menyebutkan bahwa utang pajak timbul karena disebutkan melalui Undang-Undang, tanpa diperlukan suatu perbuatan manusia yang mana merupakan penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) asalkan telah memenuhi syarat tatbestand, yang terdiri dari perbuatan-perbuatan, keadaan-keadaan atau peristiwaperistiwa tertentu. Sedangkan, teori formil menyebutkan bahwa utang pajak timbul ketika fiskus (Pemungut Pajak) mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Dengan demikian, penarikan pajak penghasilan di Indonesia yang menerapkan sistem self-assesment memiliki kaitan yang erat dengan teori materil atas utang pajak.
2.1.1 Model transaksi dalam perdagangan elektronik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan Surat Edaran yang berkaitan dengan penarikan PPh dalam transaksi perdagangan elektronik, salah satunya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-06/PJ/2015 tentang Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Transaksi ECommerce yang pada pokoknya menguraikan 4 (empat) model transaksi dalam perdagangan elektronik, antara lain: 1.
Online Marketplace Online Marketplace merupakan penyediaan tempat usaha layaknya
sebuah mall dengan memanfaatkan jaringan internet dan perangkat elektronik atau online mall sebagai tempat menjual barang dan jasa. Berikut merupakan pihak yang berkaitan dengan Online Marketplace, antara lain: a. Mal Internet merupakan situs perbelanjaan yang berbasis pada internet yang terdiri dari atas beberapa Toko Internet yang dikelola oleh Penyelenggara Online Marketplace. b. Toko Internet merupakan bagian dari Mal Internet yang disediakan oleh Penyelenggara Online Marketplace kepada Online Marketplace
22
Mardiasmo, Perpajakan, (Andi 1997).[9].
67
Merchant
(pedagang
yang
memanfaatkan
fasilitas
online
marketplace)sebagai tempat kegiatan usaha. c. Penyelenggara Online Marketplace merupakan pihak yang menjalankan kegiatan usaha Mal Internet. d. Online Marketplace Merchant merupakan pihak yang membuka dan mengoperasikan Toko Internet untuk melakukan penjualan barang dan/atau jasa di Toko Internet melalui Mal Internet. e. Pembeli, adalah pihak yang melakukan pembelian barang dan/atau jasa dari Online Marketplace Merchant di Toko Internet melalui Mal Internet.
2.
Classified Ads Classified Ads merupakan kegiatan untuk menyediakan tempat dan/
atau waktu untuk mengiklankan konten seperti teks, grafik, video penjelasan, dan lainnya yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa bagi pengiklan untuk memasang
iklan
menggunakan
situs
yang
telah
disediakan
oleh
penyelenggara. Lebih lanjut, terdapat beberapa pihak yang terkait, yaitu : a. Penyelenggara Classified Ads merupakan pihak yang menyediakan tempat bagi pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada pengguna iklan dengan menggunakan situs yang disediakan oleh penyelenggara Classified Ads. b. Pengiklan
merupakan
pihak
yang
memasang
iklan
dengan
memanfaatkan situs yang disediakan oleh Penyelenggara Classified Ads. c. Pengguna iklan merupakan pihak yang dipasang pada situs yang disediakan oleh Penyelenggara Classified Ads.
3.
Daily Deals Daily Deals dapat diartikan sebagai tempat bagi Daily Deals Merchant
untuk menjual barang dan/ atau jasa kepada Pembeli dengan menggunakan kupon atau voucher sebagai alat pembayaran.
68
Berikut merupakan pihak-pihak yang berada dalam Daily Deals: a. Penyelenggara Daily Deals merupakan pihak yang mengoperasikan kegiatan usaha berupa situs Daily Deals sebagai tempat Daily Deals Merchant untuk menjual barang dan/ atau jasa miliknya. b. Daily Deals Merchant merupakan pihak yang menjual barang dan/ atau jasa dengan memanfaatkan fasilitas voucher melalui situs Daily Deals. c. Voucher merupakan alat untuk bertransaksi guna mendapatkan produk yang ditawarkan oleh Daily Deals Merchant yang dapat diterbikan oleh Daily Deals Merchant maupun Penyelenggara yang mana hanya bisa diperoleh melalui situs Daily Deals. d. Pembeli merupakan pihak yang membeli barang dan/ atau jasa yang ditawarkan oleh Daily Deals Merchant melalui situs Daily Deals dengan memanfaatkan fasilitas voucher tersebut.
4.
Online Retail Online Retail merupakan kegiatan menjual barang dan/atau jasa yang
dilakukan oleh Penyelenggara Online Retail kepada pembeli di situsnya. Adapun pihak yang terkait dalam kegiata ini adalah : a. Situs Online Retail merupakan situs perbelanjaan yang menggunakan internet yang dikelola oleh penyelenggara Online Retail. b. Penyelenggara Online Retail merupakan pihak yang memiliki situs online retail dan sekaligus sebagai pihak yang melakukan penjualan barang dan/ atau jasa. c. Pembeli merupakan pihak yang melakukan pembelian barang dan/ atau jasa dari penyelenggara online retail melalui situs tersebut. Berdasarkan pemarapan di atas, semakin ditegaskan bahwa pelaku usaha yang menggunakan model-model transaksi elektronik tersebut untuk dikenakan penarikan dan pemungutan pajak penghasilan sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi ECommerce dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-06/PJ/2015
69
tentang Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Transaksi E-Commerce. Oleh karena itu, pelaku usaha dalam perdagangan elektronik merupakan wajib pajak yang memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Pada dasarnya pelaku usaha tersebut dapat dikenakan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai sebagaimana diatur dalam UU Pajak Penghasilan Jo. PP Nomor 23 Tahun 2018. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pelaku usaha perdagangan elektronik dengan penghasilan/omset bruto yang tidak melebihi 4,8 Miliar Rupiah dikenakan pajak sama dengan UMKM, yaitu 0,5% dari omset. Sedangkan Bagi Pelaku usaha perdagangan elektronik yang omsetnya mencapai Rp 4,8 Miliar per tahun atau melebihi itu, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.23 Dengan demikian pelaku usaha dalam pedagangan elektronik sangat dimungkinkan untuk dikenakan pajak, apabila pelaku usaha merupakan orang pribadi maupun badan usaha yang melakukan perdagangan elektronik apabila pengasilan yang diterima melebihi ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Pajak Penghasilan, meskipun fiskus belum menerbitkan SKP, selama pelaku usaha tersebut telah terkualifikasi sebagai wajib pajak.
2.2
Penerapan
Gerbang
Pembayaran
Nasional
dalam
optimalisasi
penarikan pajak penghasilan pada Pelaku usaha perdagangan elektronik Seperti yang dikemukakan di atas, permasalahan utama yang dihadapi oleh pemerintah dalam penarikan pajak penghasilan terhadap pelaku usaha perdagangan elektronik ialah kurang terdatanya para pelaku usaha serta masih rendahnya pengawasan yang dilakukan. Sedangkan dari sisi wajib pajak, masih banyak pelaku
Sitorus, Riris Rotua, â&#x20AC;&#x2DC;Pengaruh E-Commerce terhadap Jumlah Pajak yang Disetor dengan Kepatuhan Wajib Pajak sebagai Variabel Interveningâ&#x20AC;&#x2122;, (2017), 2 Media Akuntansi Perpajakan.[70]. 23
70
usaha yang memiliki kesadaran rendah untuk mendaftar NPWP serta melaporkan penghasilan yang mereka terima dalam periode tertentu. 24 Dengan meningkatnya perkembangan teknologi informasi di bidang perdagangan elektronik, maka dibutuhkan juga pengaturan hukum yang menggunakan teknik pendekatan teknologi dalam hal pengenaan pajak penghasilan dalam kegiatan perdagangan elektronik.25 Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama serta sinergi antar para pihak yang berkaitan dalam perdagangan elektronik baik dari lembaga/ instansi pemerintah dengan pelaku usaha baik dari penyedia platform marketplace maupun penyedia platform selain marketplace seperti Classfied Ads, Online Retail, dan Daily Deals sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, diperlukan sebuah pendekatan penyelenggaraan pemerintahan yang menyatukan kerjasama pemerintah dari berbagai sektor dalam ruang lingkup koordinasi atau dikenal dengan Whole of Government.26 Bank Indonesia sebagai otoritas yang diamanatkan oleh Undang-Undang untuk mengatur dan menyelenggarakan perizinan serta melakukan pengawasan dalam sistem pembayaran nasional pada tahun 2018 menciptakan suatu produk dalam transaksi pembayaran yang bernama Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) atau National Payment Gateway. Pengaturan mengenai GPN diatur lebih lanjut dalam Peratuan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 Tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway) (selanjutnya disebut “PBI GPN”). Pasal 1 ayat (1) PBI GPN memberikan pengertian GPN sebagai sistem yang terdiri atas standar, switching, dan services yang dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme untuk mengintegrasikan berbagai instrument dan kanal pembayaran secara nasional. Kemudian, GPN dapat digunakan sebagai alat transaksi pembayaran di dalam wilayah Republik Indonesia yang meliputi: a.
Interkoneksi switching;
Melisa Rahmaini Lubis, Nurmayani, Marlia Eka Putri, ‘Kebijakan Pengaturan Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Transaksi E-commerce’, (2017), 4 Jurnal Ilmiah Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung.[3]. 25 Amelia Cahyadini dan Indra Oka Margana, Op. Cit.[381]. 26 Yogi Suwarno dan Tri Atmojo Sejati, Modul: Pelatihan Dasar Calon PNS Whole of Government, (Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia 2017).[4]. 24
71
b.
Interkoneksi dan interoperabilitas kanal pembayaran berupa kanal ATM, electronic data captured (EDC), agen, payment gateway dan kanal pembayaran lainnya; dan
c.
Interoperabilitas instrument pembayaran berupa kartu ATM dan/ atay kartu debet, uang elektronik, dan instrument pembayaran lainnya. GPN diadakan dengan tujuan untuk memudahkan serta mengefisiensikan
pembayaran ritel yang mana dengan meningkatkan sharing dalam penggunaan infrastruktur diantara sistem pembayaran, terutama membentuk interlinkages atau interconnections
secara
teknis
diantara
seluruh
penyelenggara
sistem
pembayaran.27 Dengan kata lain, kehadiran GPN diharapkan dapat menciptakan suatu keadaan yang efisien dalam penyelenggaraan sistem pembayaran. Selain itu, pelaku indsustri di bidang sejenis tidak perlu mengembangkan infrastruktur sendirisendiri untuk sistem pembayaran yang dilakukannya, namun melalui sharing infranstruktur dengan pelaku industri lainnya.28 Selain manfaat di atas, GPN dapat juga dimanfaatkan sebagai instrumen dalam menentukan pajak penghasilan yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak baik orang pribadi maupun berbentuk badan. Wijaya menyebutkan bahwa Pemerintah melalui Kementerian Keuangan Republik Indonesia harus membuat suatu regulasi mengenai prosedur dan tata cara penarikan pajak pada perdagangan elektronik yang melibatkan pihak pelaku usaha, penjamin keautentikan data penjual, dan masyarakat Indonesia.29 Oleh karena itu, GPN tidak dapat berjalan sendiri tanpa bantuan dari pihak-pihak lain maupun suatu langkah yang mendahului. Penulis berpendapat bahwa langkah awal terealisasinya GPN sebagai instrumen dalam penarikan pajak penghasilan pada pelaku usaha perdagangan 27 Bank Indonesia, ‘Laporan Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang 2009; Peran dan Kinerja Sistem Pembayaran dalam Mendukung Upaya Pemulihan Ekonomi’, (Jakarta: Bank Indonesia, 2010).[71]. 28 Vania Nurjanitra, ‘Analisis Layanan Automated Teller Machine Perbankan Melalui Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway)’, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012.[64]. 29 Andy Wijaya, (2013). ‘Pemungutan Pajak atas Transaksi-Commerce (online)’ (SCRIBD, 2013) <https://id.scribd.com/document/182255936/Pemungutan-Pajak-atas-TransaksiE-C ommerce-pdf> accessed 24 Juni 2019.
72
elektronik ialah dengan terintegrasinya serta tersertifikasinya para pelaku usaha melalui suatu Lembaga Sertifikasi Keandalan (selanjutnya disebut “LSK”). Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (selanjutnya disebut “UU ITE”) menyebutkan bahwa LSK sebagai lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik. Akan tetapi, Pasal 10 ayat (1) UU ITE hanya menyebutkan bahwa setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi atau perdagangan elektronik dapat disertifikasi melalui LSK. Penulis menyoroti penggunaan frasa “dapat” dalam pasal tersebut yang memiliki pengertian dapat dilakukan maupun dapat untuk tidak dilakukan sehingga hal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk mewajibkan setiap pelaku usaha untuk mendapatkan sertifikasi kenadalan. Padahal, selain menyediakan kemanan dan kenayaman bagi para pengguna (pelaku usaha dan pembeli), sertifikasi keandalan dapat dijadikan alat untuk mendata pihak-pihak yang berkaitan dalam perdagangan elektronik seperti pelaku usaha perdagangan elektronik.30 Oleh karena itu, dengan diwajibkannya setiap pelaku usaha dalam perdagangan elektronik untuk memiliki sertfikasi kenadalan, maka pemerintah (dalam hal ini DJP) dapat lebih mudah untuk mengetahui siapa saja yang terdaftar sebagai pelaku usaha serta memudahkan dalam pengenaan pajak bagi pelaku usaha sebagai wajib pajak. Selanjutnya pemerintah harus menjadikan penyedia wadah elektronik (platform) baik platform marketplace maupun penyedia platform selain marketplace
sebagai
mitra
untuk
mengoptimalisasikan
penarikan
pajak
penghasilan. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, pelaku usaha (merchant) memasarkan produknya di dalam pasar elektronik yang disediakan oleh penyedia wadah elektronik, sehingga terjadi hubungan langsung antara merchant dan Ririn Puspita Sari, ‘Kebijakan Perpajakan Atas E-Commerce’, (2018), 15 Jurnal Akuntabel.[70]. 30
73
penyedia wadah elektronik tersebut. Oleh karena itu, Pemerintah dapat membuat kerjasama serta menerapkan peraturan yang pada pokoknya menyatakan bahwa penyedia wadah pasar elektronik mewajibkan setiap merchant untuk memberikan NPWP-nya sebagai persyaratan dalam membuka usaha di dalam pasar tersebut. Selain itu, apabila merchant belum memiliki NPWP, maka merchant dapat secara mandiri mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di wilayah kerjanya untuk mendapatkan NPWP. Selain itu, atas kesepakatan bersama antara pemerintah dan penyedia wadah elektronik, maka penyedia wadah tersebut dapat membantu mendaftarkan para merchant guna mendapatkan NPWP. Ketiga, pemerintah harus membangun infrastruktur GPN secara baik dan komprehensif terlebih dahulu, baik dari kemudahan pembayaran dalam perdagangan elektronik, kerjasama antar bank secara menyeluruh di Indonesia serta sosialisasi yang baik di masyarakat. Onny Widjanarko, Kepala Pusat Program Transformasi Bank Indonesia menyebutkan bahwa pada tahun 2022 setiap nasabah wajib memiliki setidaknya 1 (satu) kartu berlogo GPN. 31 Oleh karena itu, dengan diwajibkannya setiap orang/ nasabah untuk memiliki kartu GPN, maka hal tersebut juga berlaku pada pelaku usaha perdagangan elektronik. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah juga membentuk kesepakatan bersama dengan penyedia wadah elektronik serta membuat kebijakan yang pada pokoknya mengharuskan bahwa merchant yang ingin membuka usaha di pasar elektronik wajib menggunakan akun/rekening bank yang telah terafiliasi sebagai pemegang Kartu GPN. Berdasarkan hal tersebut, segala transaksi yang dilakukan oleh Pelaku usaha perdagangan elektronik akan terekam serta tercatat dengan baik dalam riwayat transaksi kartu GPN yang dimilikinya. Dengan demikian, bank sebagai salah satu penyelenggara GPN dapat memberikan laporan mengenai riwayat transaksi (penghasilan) yang diterima oleh nasabahnya tersebut kepada Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas bank serta otoritas penyelenggaran GPN. Lebih lanjut, dalam meningkatkan penerimaan pajak penghasilan, maka Kementerian Keuangan
Martha Ruth Thertina, â&#x20AC;&#x2DC;Nasabah Wajib Punya 1 Kartu Debit GPN, Visa Mastercard Bisa Tergeserâ&#x20AC;&#x2122;, (Katadata, 2017), < https://katadata.co.id/berita/2017/12/06/nasabah-wajib-punya1-kartu-debit-gpn-visa-mastercard-bisa-tergeser> accessed 25 Juni 2019. 31
74
melalui Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai langkah konkrit untuk peningkatkan basis data perpajakan pelaku usaha dengan melakukan analisa atas transaksi tersebut guna menentukan apakah pelaku usaha tersebut dapat dikenakan pajak penghasilan atau tidak. Dengan demikian, atas terekamnya segala transakasi yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, maka transparansi dalam pembukuan serta data perpajakan yang diterima akan menjadi lebih faktual dan jelas. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan bagi wajib pajak untuk memalsukan atau meniadakan niat untuk menghindari kewajibannya sebagai wajib pajak untuk membayar pajak penghasilan sebagaimana mestinya. Selain itu, penggunaan GPN sebagai instrumen untuk penarikan pajak penghasilan dapat mengurangi perbuatan pelanggaran berupa penggelapan pajak oleh pemungut pajak bersama dengan wajib pajak.
KESIMPULAN Penulis berpendapat bahwa pada dasarnya pelaku usaha dalam pedagangan elektronik sangat dimungkinkan untuk dikenakan pajak, apabila Ia merupakan orang pribadi maupun badan usaha yang telah memenuhi kualifikasi sebagai subjek pajak serta penghasilan yang diperoleh telah melebihi ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Pajak Penghasilan. Guna mengoptimalkan penerimaan pajak penghasilan, Penulis berpendapat bahwa GPN dapat dijadikan sebagat alat untuk merekam riwayat transaksi dari pelaku usaha guna menentukan jumlah pajak penghasilan yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak baik orang pribadi maupun berbentuk badan. Dengan demikian, penulis menyampaikan 3 (tiga) gagasan untuk meningkatkan penerimaan pajak penghasilan melalui GPN, antara lain: a. Melakukan sertifikasi keandalan terhadap pelaku usaha perdagangan elektronik melalui LSK; b. Pemerintah menjadikan Penyedia Wadah Pasar Elektronik sebagai mitra dalam penerimaan pajak; dan
75
c. Membangun Infrastruktur GPN dengan baik serta membuat kebijakan yang menyatakan bahwa Pelaku Usaha harus menggunakan GPN sebagai alat transaksi.
76
DAFTAR PUSTAKA
Buku Bustamar Ayza, Hukum Pajak Indonesia, (Kencana 2017). Darussalam & Danny Septriadi, Konsep dan Aplikasi: Cross-Border Transger Pricing untuk Tujuan Perpajakan, (Danny Darussalam Tax Center 2008). Mardiasmo, Perpajakan, (Andi 1997). Nurmantu Safri, Pengantar Perpajakan, (Granit 2005). R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Refika Aditama 1978). Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, (Eresto 1990). Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan: Konsep, Teori dan Isu, (Kencana, 2006). Yogi Suwarno dan Tri Atmojo Sejati, ‘Modul: Pelatihan Dasar Calon PNS Whole of Government’, (Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 2017).
Jurnal Abdul Aziz, ‘Keseteraan Pajak Untuk E-Commerce’ (2018) XIII Media Keuangan. Amelia Cahyadini dan Indra Oka Margana, ‘Kebijakan Optimalisasi Pajak Penghasilan Dalam Kegiatan E-Commerce’ (2018) 4 VeJ. Bank Indonesia, ‘Laporan Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang 2009; Peran dan Kinerja Sistem Pembayaran dalam Mendukung Upaya Pemulihan Ekonomi’, (Jakarta: Bank Indonesia, 2010). Emma Rosalinawati dan Syaiful. ‘Analisis Pajak Penghasilan atas Transaksi ECommerce di Kabupaten Gresik’, (2018), 1 Journal of Islamic Accounting and Tax. Erlangga Fausa, ‘Beberapa Aspek dalam Perkembangan Teknologi Informasi’ (1995) III Unisia. Lamijan, ‘Problematika penegakan hukum perpajakan (kajian tindak pidana ekonomi bidang mafia dan korupsi perpajakan)’ (2014) 1 Jurnal Pembaharuan Hukum. Leonard Makalalag, ‘Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pengusaha Dalam Transaksi Perdagangan Online (E-commerce)’ (2016) 4 Legal Opinion.
77
Ririn Puspita Sari, ‘Kebijakan Perpajakan Atas E-Commerce’, Jurnal Akuntabel. Rostan dan Abd. Rahman Mus, ‘Pengaruh Perilaku Wajib Pajak, Sanksi Pajak, Self Assessment System Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi’ (2019) Jurnal Ilmu Ekonomi Paradoks. Vania Nurjanitra, ‘Analisis Layanan Automated Teller Machine Perbankan Melalui Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway), (2012), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Laman Devie Koerniawan, ‘Tak Perlu Gaduh Pajak E-Commerce’, (Direktroat Jenderal Pajak 2018) <https://pajak.go.id/artikel/tak-perlu-gaduh-dengan-pajak-ecommerce>. J. Clement, ‘E-commerce Share of Total Global Retail Sales From 2015 to 2021’ (Statista, 2018) <https://www.statista.com/statistics/534123/e-commerceshare-of-retail-sales-worldwide/>. Martha Ruth Thertina, ‘Nasabah Wajib Punya 1 Kartu Debit GPN, Visa Mastercard Bisa Tergeser’ (Katadata 2017) < https://katadata.co.id/berita/2017/12/06/nasabah-wajib-punya-1-kartudebit-gpn-visa-mastercard-bisa-tergeser> (Katadata, 2017). Wijaya, Andy, ‘Pemungutan Pajak atas Transaksi-Commerce (online)’ (SCRIBD 2013) <https://id.scribd.com/document/182255936/Pemungutan-Pajakatas-Transaksi-E-Commerce-pdf>. Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3459)
78
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3567) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketigas atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 113). Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6214). Peratuan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway). (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6081) Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-06/PJ/2015 tentang Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Transaksi E-Commerce.
79
LIMITASI AKSES MEDIA SOSIAL DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA Bunga Yuliana Universitas Sriwijaya
Abstrak Hukum mengikuti perkembangan dinamika masyarakat. Demikian juga dengan Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information Communication Technology (ICT) yang membuat media sosial sebagai inovasi dari TIK yang membuat percepatan penyebaran informasi yang dewasa ini digunakan oleh masyarakat global khususnya masyarakat di Indonesia. Dalam Konstitusi Indonesia tepatnya di pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi. Namun, saat ini terjadi pergolakan di dalam tubuh masyarakat Indonesia akibat pembatasan akses media sosial yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia walaupun bersifat sementara, hal ini merupakan kebijakan yang kontradiktif dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam jurnal ini penulis menggunakan metode yuridis normatif untuk mengkaji masalah diatas berdasarkan studi kepustakaan dan peraturan - peraturan yang berlaku di Indonesia. Kata Kunci: Pembatasan, Media Sosial, Komunikasi, Informasi. Abstract The development of contents and substances of law are following the growth of the society itself, as well as the improvements of our Information Communication and Technology (ICT), making social media to be a quick communications and sharing place that is been using by people around the world, especially in Indonesia. Also, it is written in Article 28F Constitution of Indonesia 1945 and Article 19 Public Declaration of Human Rights about giving people freedom to seek, receive, and share information. However, a mass upheaval happened among societies in Indonesia, because the government decides to limit the access of social media. Even though it is only temporary, this act by the government is so contradictive with the positive law in Indonesia. In this journal, the writer is using normative juridical method to study this case according to literature studies and regulations in Indonesia. Keywords: Limitation, Social Media, Communication, Information.
80
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Sosial media diawali pada era 70-an, yaitu ditemukannya sistem papan
buletin yang memungkinkan manusia dapat berhubungan dengan manusia lain menggunakan surat elektronik ataupun mengunggah dan mengunduh perangkat lunak, semua ini dilakukan masih dengan menggunakan saluran telepon yang terhubung dengaan modem. Pada tahun 1995 lahirlah situs GeoCities, yaitu situs yang melayani web hosting (layanan penyewaan penyimpanan data-data website agar website dapat diakses dari manapun). GeoCities merupakan tonggak awal berdirinya website. Pada tahun 1997 sampai tahun 1999 munculah sosial media pertama yaitu Sixdegree.com dan Classmates.com. Tak hanya itu, di tahun tersebut muncul juga situs untuk membuat blog pribadi, yaitu Blogger. Situs ini menawarkan penggunanya untuk bisa membuat halaman situsnya sendiri, sehingga pengguna dari Blogger ini bisa memberikan informasi tentang apapun. Pada tahun 2002 Friendster menjadi sosial media yang sangat booming dan kehadirannya sempat menjadi fenomenal. Setelah itu dari tahun 2003 sampai saat ini bermunculan berbagai sosial media dengan berbagai karakter dan kelebihan masing-masing, seperti LinkedIn, MySpace, Facebook, Twitter, Wiser, Google+ dan lain sebagainya. Sosial Media juga kini menjadi sarana atau aktivitas digital marketing, seperti Social Media Maintenance, Social Media Endorsement dan Social Media Activation. Oleh karena itu, Social Media kini menjadi salah satu servis yang ditawarkan oleh Digital Agency.1 Media sosial merupakan situs dimana seseorang dapat membuat web page pribadi dan terhubung dengan setiap orang yang tergabung dalam media sosial yang sama untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Jika media tradisional menggunakan media cetak dan media broadcast , maka media sosial menggunakan internet. Kelebihannya ialah pengguna dapat mengajak siapa saja yang tertarik Anang Sugeng Cahyono, â&#x20AC;&#x153;Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Indonesiaâ&#x20AC;?. [143] 1
81
untuk berpartisipasi dengan memberi feedback secara terbuka, memberi komentar, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. 2 Masyarakat global tidak bisa dipisahkan dari infiltrasi aplikasi-aplikasi media sosial (medsos). Dalam sejarah perjalanan medsos, beragam aplikasi datang dan pergi. Ada yang hilang dari dunia maya, namun ada yang terus bertahan karena dibutuhkan dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Jumlah pemakai internet di Indonesia mencapai 70 juta atau 28% dari total populasi. Pemakai medsos seperti Facebook berjumlah sekitar 50 juta atau 20% dari total populasi, sementara pengguna Twitter mencapai 40 juta atau 16% dari total populasi. Angka-angka di atas dari tahun ke tahun akan terus bertumbuh pesat mengingat kebutuhan manusia akan informasi.3 Hasil survei We Are Social yang dilakukan di Singapura pada 2017 (Triastuti, Prabowo, & Nurul, 2017, h. 18) menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang menggunakan media sosial mencapai 106 juta dari total populasi 262 juta. Aktivitas tertinggi pengguna media sosial di Indonesia dilakukan oleh para digital native dengan persentase 62% menggunakan smartphone, 16% menggunakan computer, dan 6% menggunakan tab. Tapscott (2009, h. 11-16) menguraikan tentang generasi internet di Amerika yang terbagi ke dalam empat kelompok generasi. Pertama, generasi baby boom (Januari 1946-Desember 1964) yang berlangsung selama 19 tahun dan menghasilkan 77,2 juta anak atau 23% jumlah penduduk. Kedua, generasi X (Januari 1965-Desember 1976) yang berlangsung selama 12 tahun dan menghasilkan 44,9 juta anak atau 15% jumlah penduduk. Kelompok ini juga disebut baby bust. Ketiga, generasi internet (Januari 1977-Desember 1997) yang berlangsung selama 21 tahun dan menghasilkan sekitar 81.1 juta anak atau 27% jumlah penduduk. Kelompok ini juga disebut generasi milenial atau generasi Y. Keempat, generasi Z yang (Januari 1998-sekarang). Generasi milenial dan generasi
2
Ibid. [152] Kementerian Perdagangan RI, Panduan Optimalisasi Media Sosial Untuk Kementrian Perdagangan RI (Pusat Humas Kementerian Perdagangan RI). [2] 3
82
Z masuk dalam kaum digital native yang menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk berinteraksi melalui media sosial. 4 Media sosial telah banyak merubah dunia. Memutarbalikkan banyak pemikiran dan teori yang dimiliki. Tingkatan atau level komunikasi melebur dalam satu wadah yang disebut jejaring sosial/media sosial. Konsekuensi yang muncul pun juga wajib diwaspadai, dalam arti media sosial semakin membuka kesempatan tiap individu yang terlibat di dalamnya untuk bebas mengeluarkan pendapatnya. Akan tetapi kendali diri tetaplah harus dijalankan, agar kebebasan yang dimiliki juga tidak melanggar batasan dan tidak menyinggung pihak lain.5 Indonesia sebagai negara yang plural dan memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika menunjukkan hakikat dirinya kaya akan perbedaan baik itu suku, agama, ras maupun antar golongan penduduk. Dengan kondisi demikian Indonesia memiliki hal yang positif jika tercipta kerukunan antar kelompok. Namun, akan menimbulkan kerusuhan jika terdapat permusuhan. Hal ini menjadi hal yang bersifat sensitif keberadaannya dan harus dijaga kerukunan antar pihak-pihak yang merasa mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lain. 6 Bukanlah suatu hal yang tabu ketika ada kejadian yang terjadi di Indonesia apabila informasi dengan cepat menyebar dan masyarakat merespon dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indoneisa tahun 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, termasuk menyampaikan pendapat dimedia sosial. Merujuk pada langkah yang diambil oleh pemerintah dengan membuat kebijakan pembatasan akses media sosial merupakan salah satu kebijakan yang kontradiktif dengan apa yang telah diamanatkan oleh konstitusi dan membatasi ruang gerak masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan mempublikasinya di media sosial.
Lucy Pujasari Supratman, â&#x20AC;&#x153;Penggunaan Media Sosial oleh Digital Nativeâ&#x20AC;?. [49] Errika Dwi Setya Watie, â&#x20AC;&#x153;Komunikasi dan Media Sosial (communication and social media)â&#x20AC;?, Volume III, Nomor 1, Edisi Juli 2011. [69] 6 Budi Suhariyanto, Tindak Pidana teknologi informasi (cybercrime), (PT RajaGrafindo Persada: 2013). [127] 4 5
83
1.2
Rumusan Masalah 1.2.1 Apakah kebijakan pembatasan akses media yang dibuat oleh pemerintah sudah efektif? 1.2.2 Bagaimana pembatasan akses media jika ditinjau dari perspektif hukum positif di Indonesia? 1.2.3 Bagaimana dampak pembatasan akses media sosial yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia?
1.3
DASAR HUKUM 1.3.1 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945; 1.3.2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik; 1.3.3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
ANALISIS 2.1
Efektivitas Kebijakan Pembatasan Akses Media Oleh Pemerintah Indonesia Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Kebijakan sosial (sosial policy) dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare” dan “social policy”.7 Namun apabila kebijakan tersebut menghambat kesejahteraan, membatasi hak dan ruang gerak masyarakat, maka kebijakan tersebut bukanlah social welfare melainkan social illfare.
7 Hermin Indah Wahyuni, kebijakan media baru di Indonesia (harapan, dinamika, dan capaian kebijakan baru di Indonesia, (Gadjah Mada University Press Yogyakarta: 2013). [32]
84
Pemerintah melakukan pembatasan media sosial bersamaan dengan adanya aksi 22 Mei 2019. Hal tersebut menurut Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara untuk mencegah viralnya berita negatif terkait aksi 22 Mei di media sosial terutama WhatsApp dan fitur yang tidak diaktifkan untuk sementara yakni pengiriman video dan foto.8 Kebijakan tersebut kurang tepat dan tidak efektif untuk dilaksanakan karena untuk meminimalisir penyebaran foto dan video negatif tidak perlu sampai melakukan pembatasan fitur dan mengganggu aktivitas masyarakat di dunia maya, cukup melakukan pemutusan akses terhadap Informasi yang memiliki muatan yang melanggar hukum. Negara dapat mengontrol seluruh jaringan yang ada, tetapi pada saat yang sama, kekuatan/power negara tidaklah lagi diperhitungkan karena informasi bukan lagi domain negara, melainkan informasi yang sudah terdistribusikan secara terbuka kepada masyarakat 9 serta perlu diingat setiap orang berhak untuk berkomunikasi, memperoleh informasi dan kebebasan media. Masalah viability atau keberlangsungan kebijakan adalah problem yang terkait dengan bagaimana regulator atau pengambil kebijakan merumuskan bagaimana fungsi dan peran aktor-aktor yang terlibat dalam kebijakan sedemikian rupa sehingga terjadi pembagian peran yang menjamin keberlangsungan implementasi sebuah regulasi. Sebagai contoh, terlalu besarnya peran negara akan mengancam pihak-pihak lain sebagai unsur dalam masyarakat untuk ikut terlibat dalam proses implementasi kebijakan. Hal ini juga berlaku jika rezim berganti. Keberlangsungan juga akan terancam karena kemungkinan adanya perbedaan paradigma yang dikembangkan. Masuknya aktor, baik dari domain pasar maupun masyarakat yang tidak mendapat porsi tepat akan berpotensi merugikan kepentingan publik10. Ketika kebijakan publik berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat
Pernita Hastin Untari, â&#x20AC;&#x153;Alasan Utama Pemerintah Batasi Akses media Sosialâ&#x20AC;? 22 Mei 2019, <https://techno.okezone.com/read/2019/05/22/207/2059012/alasan-utama-pemerintahbatasi-akses-media-sosial> accessed 21 Juli 2019. 9 Hermin Indah Wahyuni, Op.Cit. [10] 10 Hermin Indah Wahyuni, Op.Cit. [5] 8
85
resistensi ketika di implementasikan. Sebaliknya suatu kebijakan publiK harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dan praktika-praktika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.11
2.2
Pembatasan Akses Media Ditinjau Dari Perspektif Hukum Positif Indonesia Amanat para pendiri republik yang tercantum dalam pembukaan Undang â&#x20AC;&#x201C;
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengandung pesan yang sangat dalam maknanya. Bagaimana supaya rakyat indoensia dapat melaksanakan kehidupan yang bebas dan merdeka. Baik yang menyangkut perangkat hukum dan perundang-undangan,
maupun sistem hubungan sosial dalam kehidupan
masyarakat dengan berbagai aspek kehidupannya. Namun, berlakunya aturan hukum dalam masyarakat, tidak dengan sendirinya akan terbentuk tata hubungan masyarakat yang sesuai dengan cita ideal dari pembentuk Undang â&#x20AC;&#x201C; Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tersebut. Keberadaan berbagai macam aturan perundangan di dalam masyarakat tidak secara otomatis dapat mewujudkan tata hubungan dan kehidupan masyarakat yang berkeadilan.
12
Dari aspek regulasi, kehadiran new media yang perkembangan dan implementasinya sangat cepat di berbagai bidang, memiliki kecenderungan tidak mudah dikendalikan dan diregulasi. Hal inilah yang membuat pihak â&#x20AC;&#x201C; pihak yang terlibat dan bertanggung jawab atas pengaturan media dalam negara dapat dikatakan tidak siap untuk menjawab berbagai permasalahan yang muncul. Dalam konteks regulasi media ini, kelahiran new media menuntut skema rasionalisasi yang lebih kuat dalam memperjelas logika pengaturan. Permasalahan yang muncul baik di skala internasional maupun di skala nasional, hal ini terkait dengan perbedaan kontekstualisasi problem dan prioritas yang berbeda-beda dari masing-masing negara.13
11
Taufiqurrohman, kebijakan public, (Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Moestopo Beragama Pers: 2014). [13] 12 Budi Suhariyanto, Op.Cit.[29] 13 Hermin Indah Wahyuni, Op.Cit. [1-2]
86
Kebijakan yang belakangan ini dikeluarkan yaitu terkait pembatasan secara parsial dan temporer akses media sosial yang dilakukan oleh pemerintah walaupun bersifat sementara tetap menghalangi hak masyarakat Indonesia yang telah tercantum dalam Pasal 28F Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” dan Pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi. Pasal 1 (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang berbunyi “hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan demikian orang bebas mengeluarkan pendapat tetapi juga perlu pengaturan dalam mengeluarkan pendapat tersebut agar tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan antar anggota masyarakat. Selanjutnya, Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berbunyi “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum”. Sudah jelas bahwa pemerintah terlihat memaksakan apabila pembatasan akses media sosial dilandasi oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena sudah jelas pada pasal 40 ayat (2b) disebutkan pemutusan akses itu hanya untuk informasi yang memiliki muatan yang melanggar hukum bukan berarti pemerintah sewenang-wenang memutuskan, mengeluarkan kebijakan untuk membatasi akses media sosial bagi masyarakat dalam kurun waktu tertentu dan itu jelas bertentangan dengan hukum positif di Indonesia. Persoalan mengatasi
87
kegaduhan yang terjadi di media sosial melalui suatu kebijakan demi tegaknya hukum juga tidak perlu sampai merusak hak yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Dalam konteks semacam itu, kini pemerintah harus berfokus pada ‘hulu’ persebaran informasi palsu itu, dan bukan hanya melakukan pembatasan atau pemblokiran, melainkan lebih kepada bagaimana mengembangkan literasi masyarakat. Masyarakat diharapkan lebih bijak dalam memanfaatkan media sosial. Misalnya, memastikan terlebih dahulu akurasi konten yang akan dibagikan, mengklarifikasi
kebenarannya,
memastikan
manfaatnya,
baru
kemudian
menyebarkannya.14 Proses keterbukaan juga sangat diperlukan ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan ini. Dalam hal ini pemerintah belum miliki aturan dan protokol tersendiri bagaimana seharusnya pembatasan itu dilakukan, situasi seperti apa yang dapat menjadi tolak ukur dilakukannya pembatasan akses media sosial dan juga perlu langkah – langkah konkrit dan terukur dalam menentukan keputusan tersebut bisa dilaksanakan atau tidak. Hal ini menjadi tuntutan bagi pemerintah Indonesia untuk merumuskan konsep regulasi dalam mengatur lalu lintas media sosial di Indonesia khususnya agar tercipta kerukunan dalam berbangsa.
2.3
Dampak Pembatasan Akses Media Sosial Yang Dilakukan Oleh Pemerintah Indonesia Pemerintah melakukan pembatasan media sosial terutama WhatsApp dan fitur
yang tidak diaktifkan untuk sementara yakni pengiriman video dan foto. Selain membatasi hak berpendapat, memperoleh informasi dan kebebasan media dan berdampak kepada masyarakat tidak dapat mengakses fitur – fitur tersebut karena tidak semua masyarakat mengirimkan foto ataupun video dengan muatan negatif dan apabila kebijakan ini tidak dihentikan dapat berdampak pada kegaduhan yang dapat terjadi baik di media sosial maupun kehidupan nyata. Kegaduhan yang terjadi Vibriza Juliswara, “Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial”. [144] 14
88
di media sosial dinilai bisa merambat ke dunia nyata jika tidak segera diatasi. Perbincangan yang terdapat di media sosial berpotensi mengkonstruksi pemahaman publik mengenai suatu hal dalam kehidupan masyarakat. Kegaduhan di media sosial dapat berdampak dalam kehidupan riil karena media sosial ini juga membentuk konstruksi pemaknaan tentang asumsi sosial kita. Kegaduhan yang terjadi di media sosial semacam itu kerap kali menggunakan sentimen identitas yang bermuara pada hujatan dan kebencian dan karenanya dapat melunturkan semangat kemajemukan yang menjadi landasan masyarakat dalam berbangsa. Pada akhirnya konsep tentang kebinekaan mengalami dekonstruksi oleh argumenargumen yang ikut dibentuk melalui media sosial. 15 Kebijakan ini pun berdampak pada sektor ekonomi terutama masyarakat yang menjalankan bisnis online (e-commerce) menjadi terhambat karena utamanya mereka berdagang online menggunakan foto dan video, hal ini menimbulkan kerugian bagi para pengusaha yang menjalankan bisnis online selama beberapa hari konsumen mereka yang dikarenakan tidak dapatnya mengakses foto â&#x20AC;&#x201C; foto maupun video yang barang aslinya itu dijual. Omzet bisnis online turun habis secara drastis bahkan tidak ada transaksi karena fasilitas transaksi yang selama ini digunakan adalah media sosial. Diperoleh data tahun 2017 bahwa pembelian produk melalui e-commerce di seluruh Indonesia mencapai angka US$ 10,9 miliar, atau setara dengan jumlah Rp 146,7 trilun. Angka ini naik sekitar 41% dari volume transaksi pada tahun 2015, sebagaimana dilaporkan data dari Google dan Temasek. Dan dipastikan angkaangka ini akan lebih tinggi lagi di tahun 2018. Jika nilai transaksi 2017 dibagi rata dalam setahun, maka akan keluar angka sekitar Rp 400 miliar nilai transaksi setiap hari. Jadi mau menjelaskan bahwa apabila dengan pembatasan sosmed oleh pemerintah selama 3 (tiga) hari, tanggal 22 - 25 Mei 2019, maka kerugian yang dialami oleh bisnis online ini sekitar 3 hari x Rp 400 miliar, mendekati angka Rp 1.200 triliun. Kerugian yang dialami oleh bisnis online seperti ini juga berdampak kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dengan berbagai
15
Ibid. [143]
89
dampak bawaan dari setiap jenis dan besaran bisnis yang dikelola oleh para pelaku bisnis.16 Sudah seharusnya pemerintah dalam mengambil kebijakan dapat menimbang dan memikirkan dampak yang akan terjadi apabila kebijakan tersebut nantinya di implementasikan kepada masyarakat, tentunya masyarakat tidak terkena dampak negatif atau dampak yang merugikan karena adanya kebijakan tadi. Kedaulatan berada ditangan rakyat sesuai yang diamanahkan dalam konstitusi negara, lalu rakyat yang dirugikan karena kebijakan yang dilakukan pemerintah.
KESIMPULAN Media sosial selalu berkembang dan banyak berkontribusi dalam merubah dunia. Memutar-balikkan banyak pemikiran dan teori yang dimiliki. Tingkatan atau level komunikasi melebur dalam satu wadah yang disebut jejaring sosial/media sosial. Beriringan dengan kemajemukkan masyarakat di Indonesia semua informasi dari media sosial dengan cepat menyebar dan masyarakat merespon dengan berbagai sudut pandang yang kaya pemikiran. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terkait pembatasan akses media sosial khususnya fitur foto dan video. Penulis melihat kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kali ini bertentangan dengan hukum positif di Indoneisa dan tidak efektif ketika implementasinya berjalan, tentunya dampak yang terjadi merugikan masyarakat. Kebijakan ini dinilai bertentangan dengan Pasal 28F Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 19 Deklarasi Umum HAM, dan Pasal 1 (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Di sisi lain pemerintah belum memiliki aturan baku dalam pengaturan pembatasan akses media sosial ini dan terlihat memaksakan aturan untuk menerapkan kebijakan ini.
Yupiter Gulo, â&#x20AC;&#x153;Kerugian Bisnis Online Akibat Pembatasan Media Sosialâ&#x20AC;? 26 Mei 2019, <https://www.kompasiana.com/yupiter/5ce976e26b07c53fae3bb3c3/kerugian-bisnis-onlineakibat-pembatasan-medsos-fb-ig-dan-wa?page=all> accessed 21 Juli 2019. 16
90
Belum dampak yang diakibatkan oleh kebijakan tersebut baik masyarakat secara pribadi maupun berdampak kepada sector ekonomi yaitu pengusaha online yang mengalami banyak kerugian. Kebebasan berpendapat, memperoleh informasi dan kebebasan media merupakan hak mutlak bagi masyarakat. Sudah seharusnya pemerintah membuat regulasi atau kebijakan tersendiri sebagai tolak ukur bagaimana pembatasan akses media sosial ini dapat dilaksanakan atau tidak.
91
DAFTAR PUSTAKA Buku Kementerian Perdagangan RI. 2014, Panduan Optimalisasi Media Sosial Untuk Kementrian Perdagangan RI (Pusat Humas Kementerian Perdagangan RI). Wahyuni, Hermin Indah. 2013, kebijakan media baru di Indonesia (harapan, dinamika, dan capaian kebijakan baru di Indonesia, (gajah mada university perss Yogyakarta desember). Taufiqurrohman. 2014, kebijakan public,(Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Moestopo Beragama Pers). Suhariyanto. 2013, Budi. Tindak Pidana teknologi informasi (cybercrime) (PT RajaGrafindo Persada).
Internet Pernita Hastin Untari, “Alasan Utama Pemerintah Batasi Akses media Sosial” 22 Mei 2019, <https://techno.okezone.com/read/2019/05/22/207/2059012/alasanutama-pemerintah-batasi-akses-media-sosial>. Yupiter Gulo, “Kerugian Bisnis Online Akibat Pembatasan Media Sosial” 26 Mei 2019, <https://www.kompasiana.com/yupiter/5ce976e26b07c53fae3bb3c3/kerugianbisnis-online-akibat-pembatasan-medsos-fb-ig-dan-wa?page=all>.
Jurnal Cahyono, Anang Sugeng. Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Indonesia. Supratman, Lucy Pujasari, 2011, Penggunaan Media Sosial oleh Digital Native Errika Dwi Setya Watie, Komunikasi dan Media Sosial, THE MESSENGER, Volume III, Nomor 1, Edisi Juli. Juliswara, Vibriza. Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial.
Peraturan Perundang-Undangan
92
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
93
IMPLIKASI PENGGUNAAN TELECONFERENCE SEBAGAI ALTERNATIF PEMERIKSAAN DALAM PERADILAN DI INDONESIA Muhammad Harits Universitas Sriwijaya Abstrak Friedrich Carl von Savigny menyebutkan bahwa das Recht wird nicht gemach, es ist und wird mit dem volke yang artinya hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Lili Rasjidi. 1996: 69). Asas hukum tersebut masih relevan dapat dibuktikan karena perkembangan teknologi modern memberikan perubahan besar dalam dunia hukum. Salah satu perkembangan teknologi yang mempengaruhi dunia hukum adalah proses peradilan ataupun pemberikan keterangan saksi melalui teleconference. Akan tetapi dalam penggunaan teleconference memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Di satu sisi teleconference memberikan terobosan yang positif karena sejalan dengan asas peradilan di Indonesia yaitu â&#x20AC;&#x153;sederhana, cepat, dan biaya ringanâ&#x20AC;? sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun, di sisi lain penggunaan teleconference dalam peradilan di Indonesia hanya terdapat satu lingkup peradilan yang mempunyai landasan hukum penggunaannya secara eksplisit yaitu Mahkamah Konstitusi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Teleconference). Sedangkan di lingkungan peradilan umum sendiri seperti pidana dalam KUHAP belum mengenal adanya persidangan jarak jauh (teleconference) pada saat proses pemeriksaan. Hal tersebut bertentangan dengan asas legalitas yang mana menjadi patokan dalam menjalankan hukum di Indonesia sendiri. Kata Kunci: Teleconference, Pemeriksaan, Saksi, Hukum Acara.
Abstract Friedrich Carl von Savigny once said, das Recht wird nicht gemach, es ist und wird mit dem volke, means that law is not made, it is grew and developed within the society (Lili Rasjidi. 1996:69). This principle is still relevant and can be proven because of the growth of modern technology that gives a big impact in the legal world. One of the outputs of the growth of modern technology that really gives a big impact to the legal world is a new way for the witness to state his testimony which is by using a teleconference. However, the implementation of this technology has its positives and negatives side to deal with. On one side, teleconference is a positive breakthrough because it is relevant to our court systems principle, that is simple, quick, and less-cost, according to Article 2 Verse (4) Law Number 48 Year 2009 about Judiciary Power. On the other hand however, there is only one court that has the regulation to explicitly use teleconference, and it is the Indonesian Constitutional Court (MK), according to Indonesian Constitutional Court Regulation Number 18 Year 2009 about Electronic Filing and Teleconference. Whilst in the public court such as criminal law in Criminal Procedure Code, there are no such regulations about teleconference. It is contradictive with our legal principle, which is the standard of the implementation of our law in Indonesia itself. Keywords: Teleconference, Investigation, Witness, Procedural Law.
PENDAHULUAN
94
1.1
Latar Belakang Teknologi informasi memegang peran yang penting, baik dimasa kini
maupun masa yang akan datang. Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan dan kepentingan yang besar bagi negara-negara di dunia.1 Maka dari itu perkembangan teknologi dan masyarakat yang sangat cepat mengharuskan hukum beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan tersebut dan hal ini sejalan dengan asas hukum yang disampaikan Friedrich Carl von Savigny yaitu â&#x20AC;&#x2DC;hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakatâ&#x20AC;&#x2122; dan membatahkan anggapan bahwa hukum akan selalu tertinggal oleh peradapan. Dapat dilihat pada penggunaan video conference (teleconference) dewasa ini kian berkembang hampir diseluruh negara di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Pemanfaatan video conference (teleconference) digunakan pada berbagai institusi, diantaranya pemerintahan, pendidikan, perbankan, dan industri. Terdapat 2 (dua) aspek
yang
perlu
diperhatikan
dalam
penggunaan
video
conference
(teleconference) sebagai media komunikasi antara dua arah atau lebih yaitu, aspek kenyamanan dan keamanan.2 Pada aspek keamanan di lingkup pemerintahan, institusi Peradilan di Indonesia telah mengupayakan untuk menjaga keamanan dalam penggunaan teleconference. Hal tersebut dapat dilihat dari pemberian kesaksian dalam peradilan di Indonesia melalui sarana elektronik yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, walaupun secara khusus mengenai penggunaan teleconference dalam memberikan keterangan di muka persidangan masih belum diatur dalam perundang-undangan.3 Adapun dalam sejarah penggunaan teleconference sebagai alat bantu untuk memberikan keterangan dalam proses pemeriksaan di persidangan mengundang
1
Agus Raharjo, Cybercrime Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Citra Aditya Bakti, 2002). 2 Fazrie Mohammad, â&#x20AC;&#x2DC;Analisis Performansi Video Conference Menggunakan Codec H264 Baseline dan H264-High Profile dengan Enkripsi Terintegrasiâ&#x20AC;&#x2122;, (2017) IncomTech, Jurnal Telekomunikasi dan Komputer. 3 Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635).
95
pendapat pro dan kontra. Pada tahun 2002, untuk pertama kalinya Mahkamah Agung memberikan izin kepada Pengadilan Jakarta Selatan untuk melaksanakan persidangan yang saat itu Presiden ke tiga Indonesia B.J Habibie memberikan keterangan secara langsung dari Hamburg, Jerman dalam kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tandjung. 4 Di lain sisi teleconference juga mendapat seperti peristiwa penolakan dari pengacara terdakwa Abu Bakar Baasyir untuk mendengarkan keterangan saksi melalui teleconference pada kasus terduga terorisme bom bali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2011.5 Prof. Achmad Ali, akademisi yang juga anggota Komnas HAM, berpendapat bahwa selama teleconference belum diatur dalam hukum positif Indonesia, maka teleconference tidak dapat digunakan sebagai alat bukti. Karena itu, keterangan saksi dengan menggunakan teleconference tidak sah. Menurut Ali, KUHAP menentukan ada tiga kewajiban dari seorang saksi. Pertama, kewajiban untuk menghadap sendiri di muka persidangan. Kedua, kewajiban untuk disumpah dan ketiga kewajiban untuk memberikan keterangan tentang apa yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri dan ia alami sendiri. Dengan penggunaan teleconference terhadap mereka yang dianggap saksi dalam kasus Baasyir, ada dua kewajiban saksi yang tidak terpenuhi yaitu, kewajiban untuk menghadap sendiri di persidangan dan kewajiban untuk disumpah.6 Dalam kasus Baasyir, saksi adalah warga negara Singapura dan kesaksian diberikan di wilayah Singapura yang jelas di luar yurisdiksi pengadilan Indonesia. Sebab itu menurut Ali, sumpah para saksi itu tidak bernilai sumpah karena tidak mempunyai akibat hukum. Padahal sesuai Pasal 174 ayat 1 dan 2 KUHAP, pada hakikatnya, fungsi sumpah bagi seorang saksi adalah agar saksi itu dapat dituntut 4 Kusumasari Diana, ‘Tentang Pemeriksaan Saksi Lewat Teleconference’, (Hukumonline.com, 2011) <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5644/suratedara-ma/> accessed 10 July 2019. 5 Inggried, ‘Tim Baasyir Tetap Tolak Teleconference’, (Kompas.com, 2011) <https://travel.kompas.com/read/2011/03/21/09033078/tim.baasyir.tetap.tolak.quotteleconferenceq uot> accessed 10 July 2019. 6 Nay, ‘Akademisi dan Hakim Beda Pendapat Soal Keabsahan Teleconference’, (Hukumonline.com, 2003) <https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8365/akademisi-danhakim-beda-pendapat-soal-keabsahan-teleconference-/>, accessed 10 July 2019.
96
berdasarkan delik pidana bila memberikan keterangan palsu sesuai Pasal 242 KUHP. Menurut Ali, sumpah yang diberikan oleh seorang warga negara asing, di negara asing tidak mungkin dapat dituntut berdasarkan Pasal 242 KUHP. Maka dari itu meskipun saksi-saksi itu telah mengucapkan sumpah di Singapura, menurut hukum Indonsia, sumpah itu tidak mempunyai akibat hukum sehingga harus dianggap bukan perbuatan hukum.7 Persidangan menggunakan teleconfrence merupakan salah satu wujud lahirnya peradilan informasi yang modern dan dapat dijangkau global, lintas batas, karena melihat semakin meningkatnya jenis kejahatan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi informasi yang melibatkan lintas negara sepeti narkotika, terorisme, cybercrime, dan lain-lain. Hukum acara disuatu proses peradilan di Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan kebenaran materiil, sehingga pemeriksaan saksi yang menggunakan teleconference hanya merupakan sarana untuk mendapatkan kebenaran materiil. Berdasarkan uraian di atas penulis mencoba menelaah seberapa besar implikasi dari penggunaan teleconference sebagai alternatif pemeriksaan dalam peradilan di Indonesia, serta idak penggunaan teleconference digunakan secara masif untuk seluruh bidang hukum acara (peradilan) yang ada di Indonesia.
1.2
Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas maka penyusun dalam hal ini dapat merumuskan
masalah sebagai berikut: 1.2.1
Apakah akibat dari penggunaan teleconference dalam sistem Peradilan di Indonesia?
1.3 Dasar Hukum 1.3.1
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
7
Ibid.
97
1.3.2
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;
1.3.3
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
1.3.4
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
1.3.5
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
1.3.6
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana;
1.3.7
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik Penuntut Umum, Dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme;
1.3.8
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat;
1.3.9
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 18 TAHUN 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference);
1.3.10 Putusan Mahkamah Agung No. 112 PK/Pid/2006.
98
ANALISIS 2.1 Penggunaan teleconference dalam sistem Peradilan di Indonesia 2.1.1 Sejarah Penggunaan Teleconference di Indonesia Sejarah perkembangan teknologi informasi bertitik tolak pada terjadinya revolusi industri dengan diketemukannya telegram oleh Samuel Morse pada tahun 1844, sampai dapat dikatakan Negara maju harus memiliki sistem informasi yang canggih. Dan dapat dikatakan Negara modern syarat utamanya adalah masyarakatnya harus memiliki akses yang terbuka luas ke berbagai bentuk dan sumber informasi. 8 Teknologi informasi dan media elektronik dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, mulai dari aspek sosial budaya, hukum, ekonomi, keuangan. Dari sistem sistem kecil lokal dan nasional, berproses dengan cepat menuju suatu sistem global. Dunia akan menjadi global village yang menyatu, saling tahu dan terbuka serta saling bergantung satu sama lain. 9 Teleconference merupakan bagian dari teknologi informasi yang berkembang saat ini. Perkembangan teleconference mulai berjalan kembali pada tahun 1956 AT & T menciptakan telepon gambar sistem uji pertama. Teknologi ini secara bertahap berkembang hingga tahun 1991 yang pertama teleconference diadakan di DARTnet. Pemanfaatan teleconference telah banyak digunakan di instansi pemerintah, perusahaan, maupun kegiatan akademik. Teleconference adalah komunikasi antara orang-orang (pihak-pihak) yang berjauhan meliputi komunikasi suara dan gambar.10 Teleconference menurut kamus istilah teknologi informasi adalah: pertemuan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang
Michael cannors, ‘The race to the intelligent state’, (Capstone Publishing Limited, 1997) Didik J. Rachbini, ‘Mitos dan Implikasi Globalisasi’, (Yayasan Obor, 2001) 10 Saifudin, ‘Analisa Dan Implementasi Teleconference Dengan ISDN Pada Telkom Divisi Regional V’, (Binadarma, 2003) <http://digilib.binadarma.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2003saifuddin9-108> 8 9
99
dilakukan melalui telepon atau koneksi jaringan. Pertemuan tersebut, dapat hanya menggunakan suara (audio conference) atau menggunakan video (video conference) yang memungkinkan peserta konferensi saling melihat.11 Penggunaan di Indonesia untuk pertama kali yaitu setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mendapat dukungan dari stasiun TV swasta (SCTV) untuk membantunya. Kesaksian Habibie ini penting, karena Habibie merupakan saksi kunci atas penyalahgunaan dana Bulog pada masa pemerintahannya. Saat ini, dua orang menteri pada era Habibie, Akbar Tandjung selaku mantan Mensesneg dan Rahardi Rammelan mantan Menperindag yang juga sekaligus (Pjs) Kabulog, menjadi terdakwa dalam kasus korupsi di Bulog.12 Penggunaan teleconference dianggap Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut dalam Surat Penetapan Nomor: 354/Pid.B/2002/PN. Jakarta Selatan memberikan pertimbangan bahwa: Pemeriksaan terhadap B.J Habibie oleh Majelis Hakim dipandang sangat perlu untuk mendapat kebenaran materiil tetapi karena mendapat permasalahan keberadaan saksi yang berada di Hamburg, Jerman karena harus menemani istri yang sedang berobat, maka solusinya adalah menggunakan teleconference dalam memberikan keterangan.13 Hakim dalam pertimbangan hukumnya putusan pengadilan menyatakan bahwa, Pertama, penggunaan teknologi teleconference sebagai solusi untuk kepentingan persidangan khususnya terhadap pemeriksaan saksi yang tidak dapat dihadirkan di persidangan, di mana keterangan tersebut sangat perlu untuk mendapatkan kebenaran materiil, sehingga eksistensinya tidak bertentangan dengan KUHAP.
11
Fathul Wahid, ‘Kamus Istilah Teknologi Informasi, Edisi I’, ( Penerbit Andi Offset
2002) 12 Tim Redaksi liputan6, ‘Besok Habibie Bersaksi Lewat Video Teleconference’, (Liputan6 2002) <https://www.liputan6.com/news/read/37019/besok-habibie-bersaksi-lewativideo-teleconferencei> accessed 10 july 2019 13 Supriyadi W. Eddyono, ‘Pemberian Keterangan Saksi Lewat Videoconference dalam Rancangan KUHAP Institute for Criminal Justice Reform’, (Institute for Criminal Justice Reform 2015) <http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2015/08/Pengaturan-Pemberian-keterangan-Saksilewat-Videoconference-dalam-R-KUHAP_Final.pdf> accessed 10 july 2019
100
Kedua, pemanfaatan kemajuan teknologi komunikasi elektronik melalui pemberian keterangan melalui teleconference dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dalam hukum acara manakala timbul kendala sebagaimana dihadapi oleh saksi B.J. Habibie. Diharapkan langkah yang ditempuh majelis hakim ini mendapatkan respon positif dari pihak eksekutif maupun legislatif dalam kerangka penyempurnaan hukum acara pidana di masa yang akan datang. Ketiga, pemeriksaan saksi melalui teleconference di satu sisi sesuai dengan peran dan tugas hakim dalam menggali dan menemukan hukum (rechtsvinding), dan di sisi lain sebagai salah satu terobosan terhadap hukum acara yakni mempermudah mendengar keterangan saksi B.J. Habibie yang berada di benua Eropa sehingga dapat didengar dan diikuti secara langsung dan transparan oleh masyarakat secara luas di Indonesia. Oleh karena itu, penggunaan teknologi teleconference dinilai sah dan mempunyai nilai pembuktian. Keempat, walaupun saat pemeriksaan persidangan saksi B.J Habibie berada di Hamburg, tepatnya di Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia dan persidangan dilaksanakan di gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hal demikian tetap merupakan satu kesatuan dari persidangan itu sendiri karena saksi telah mengucapkan sumpah yang dituntun oleh Ketua Majelis dalam persidangan ini. Kelima, fakta persidangan menunjukkan bahwa
proses
pelaksanaan pemeriksaan saksi
melalui
video
teleconference telah berlangsung dengan baik, dalam arti terjadi tanya jawab antara Majelis Hakim dengan saksi, antara Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum, dan Terdakwa dengan saksi sebagaimana tertuang secara lengkap dalam berita acara persidangan serta rekaman persidangan teleconference itu sendiri.14 Penggunaan teleconference untuk kedua kalinya di Indonesia pada kasus Abu Bakar Baâ&#x20AC;&#x2DC;asyir pada 2003, Penuntut Umum
14
Ibid.
101
menghadirkan 32 orang saksi, dan 7 di antaranya memberikan keterangan melalui teleconference, yaitu Faiz Abu Bakar Bafana, Hasyim bin Abbas alias Osman alias Rudi, Jaâ&#x20AC;&#x2122;far bin Mistoki alias Saad alias Badar, Ahmad Sajuli bin Abd Rahman alias Fadlul Rahman alias Fadlul alias Uyong alias Mat, Agung Biyadi alias Husain, Muhammad Faiq bin Hafidh, dan Ferial Muchlis bin Abdul Halim. Dari ketujuh saksi yang memberikan keterangan melalui teleconference, hanya saksi Faiz Abu Bakar Bafana yang sebelumnya tidak diperiksa di penyidikan. Dalam perkara ini, pihak yang meminta agar ketujuh orang saksi memberikan keterangan melalui teleconference adalah Jaksa Penuntut Umum. Alasannya adalah karena saksi-saksi tersebut tidak dapat dihadirkan ke persidangan karena sedang ditahan oleh Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Singapura sehingga tidak mungkin dihadirkan ke persidangan. Lokasi kesaksian ketujuh orang saksi melalui teleconference adalah di wilayah Negara Malaysia dan Negara Singapura. Jadi, saat keterangan disampaikan melalui teleconference, lokasinya tidak berada di wilayah hukum Negara Indonesia.15 2.2.2 Penggunaan Teleconference sebagai alat bukti di Negara lain. Sistem Pembuktian Singapura Berkaitan dengan aturan bukti ditemukan dalam Undang-undang Bukti (the Evidence Act) Pasal 97 dan dalam common law. Kemudian sejak tahun 1960 alat bukti elektronik mulai dikenal di Singapura dengan digunakannya rekaman audio (audio recording) sebagai bukti dalam pemeriksaan perkara di persidangan. Pada tahun 1980 baik rekaman audio (audio recording) maupun rekaman video (video recording) telah meningkat menggantikan tempat keterangan saksi. Dalam Criminal Justice Act Tahun 1988 pada Pasal 32, saksi yang berada di luar United Kingdom dapat memberikan kesaksiannya melalui hubungan video (video link). Bukti yang direkam secara elektronik dapat dimasukkan sebagai bukti kesaksian yang sesungguhnya termasuk juga kesaksian yang diberikan 15
Ibid.
102
melalui teleconference, atau sebagai bukti tertulis untuk dokumen atau data elektronik. Hasil cetak komputer diakui sebagai alat bukti yang secara sah diatur dalam undang-undang.16 Berdasarkan
hukum Inggris,
pemberian
bukti
melalui
video
conferencing secara eksplisit diatur dalam Statuta Roma. Statuta Roma dalam Pasal 68 ayat (2) tentang Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dan Keikut-Sertaan Mereka dalam Proses Pengadilan menyebutkan bahwa “Sebagai suatu perkecualian teradap prinsip pemeriksaan publik yang ditetapkan dalam pasal 67, Sidang-Sidang Mahkamah, untuk melindungi para korban dan saksi atau seorang tertuduh, dapat melakukan sebagian dari persidangan in camera atau memperbolehkan pengajuan bukti dengan sarana elektronika atau sarana khusus lainnya. Secara khusus, tindakan-tindakan tersebut harus dilaksanakan dalam hal seorang korban kekerasan seksual atau seorang anak yang menjadi korban atau saksi, kecuali kalau diperintahkan lain oleh Mahkamah, setelah mempertimbangkan semua keadaan, terutama pandangan-pandangan para korban atau saksi.”17 Selanjutnya, lebih jelas lagi diatur dalam Pasal 69 ayat (2) tentang bukti menyebutkan bahwa “Kesaksian seorang saksi pada persidangan harus diberikan secara pribadi, kecuali sejauh yang ditetapkan oleh tindakantindakan yang disebutkan dalam pasal 68 atau dalam Hukum Acara dan Pembuktian. Mahkamah juga dapat memberi izin diberikannya kesaksian viva voce (lisan) atau kesaksian terekam dari seorang saksi dengan sarana teknologi video atau audio, maupun diajukannya dokumen atau traskripsi tertulis, yang tunduk pada Statuta ini dan sesuai dengan Hukum Acara dan
Efa Laela Fakhriah, ‘Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata’, ( Penerbit PT. Alumni 2011) 17 ELSAM Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat, ‘Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional’, (Terjemahan Indonesia 2014) Naskah asli dari Statuta ini, di mana naskah dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Prancis, Rusia dan Spanyol sama autentiknya, harus disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang akan mengirimkan salinan-salinan daripadanya kepada semua Negara. DENGAN KESAKSIAN INI, para penanda tangan, yang diberi wewenang dengan semestinya untuk hal itu oleh masing-masing Pemerintah, telah menandatangani Statuta ini. Dilakukan di Roma, hari ke-17 bulan Juli 1998.< https://referensi.elsam.or.id/2014/10/statuta-roma/> 16
103
Pembuktian. Tindakan-tindakan ini tidak boleh merugikan atau tidak sesuai dengan hak-hak tertuduh.”18 Dapat diambil kesimpulan bahwa Negara singapura dan inggris menggunakan teknologi teleconference bertujuan mempermudah proses pemeriksaan saksi dan menjamin adanya perlindungan terhadap saksi yang memberikan keterangan tanpa harus berhadapan langsung dengan para pihak lainnya. 2.2.3 Pro dan Kontra Penggunaan Teleconference dalam proses pemeriksaan di Peradilan Indonesia Apabila melihat ketentuan Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP yang berbunyi “saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum” dan Pasal 167 ayat (1) KUHAP berbunyi “setelah saksi memberikan keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya”, memang terlihat secara implisit “dituntut” untuk kehadiran saksi secara fisik di ruang persidangan, akan tetapi kenyataannya untuk menegakan kebenaran materiil yang bermuara pada keadilan dalam praktiknya mulai sedikit telah ditinggalkan, hal ini bisa dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 661 K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1991 yang pada kaidah dasarnya menyatakan bahwa keterangan saksi yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan dan saat memberikan keterangannya tersebut saksi telah disumpah, namun karena suatu halangan yang sah ia tidak dapat hadir di persidangan, dan keterangannya tersebut dibacakan maka nilai keterangannya itu “disamakan” dengan keterangan saksi (kesaksian) yang disumpah di persidangan.19 Dari konteks tersebut terlihat bahwa praktek dunia peradilan telah melakukan suatu terobosan dimana kehadiran saksi secara fisik di depan persidangan ada kalanya dapat disimpangi. Meskipun KUHAP sendiri juga telah mengatur dalam hal ketidakhadiran saksi yakni 18
Ibid. Lilik Mulyadi, ‘Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik, (PT. Alumni, 2008). 19
104
dalam Pasal 162 KUHAP. Melihat yang terjadi dalam praktik dan dikaitkan dengan teoritik maka sebenarnya perdebatan pro dan kontra terhadap penggunaan teknologi teleconference dalam persidangan disebabkan beberapa faktor, yaitu bahwa di Indonesia baik itu kebijakan formulatif (pembuatan undang-undang) maupun kebijakan aplikatif (penegakan hukum) mengacu pada ketentuan hukum positif (ius constitutum), sehingga penegakan hukum yang terjadi bersifat formal legalistik, ini berarti keadilan yang dikejar dan diformulasikan oleh kebijakan formulatif adalah keadilan undang-undang. Selain itu, karena KUHAP tidak mengatur teleconference maka pro dan kontra pengunaannya tergantung apakah akan merugikan ataukah menguntungkan masing-masing pihak. Hal ini terlihat dari sikap antara jaksa/penuntut umum maupun sikap penasihat hukum, yakni pada saat sidang tindak pidana korupsi (atas nama Rahardi Ramelan), penuntut umum menolak dan pihak penasihat hukum lah yang mengajukan permintaan dilakukan teleconference dalam pemeriksaan saksi.20 Sedangkan pada sidang tindak pidana HAM berat dan tindak pidana terorisme (atas nama Abu Bakar Baâ&#x20AC;&#x;asyir dan Ali Gufron alias Mukhlas) kebalikannya. Dan terhadap eksistensi teleconference dalam praktik persidangan yang terjadi hakim menyetujui dilakukan pemeriksaan saksi melalui teleconference, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian maka dalam menggali, mengikuti, memahami dan mengejar kebenaran materiil dalam hukum pidana sebaiknya aspek formalistik hendaknya ditinggalkan secara selektif.21 Sedangkan disisi lain penggunaan teleconference dalam pemeriksaan saksi untuk perkara tindak pidana terorisme, berdasarkan Undang-Undang
20
Lilik Mulyadi, â&#x20AC;&#x2DC;Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsiâ&#x20AC;&#x2122;, (PT Alumni,
21
Ibid.
2007).
105
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang merupakan ketentuan lex specialis dari KUHAP, mengatur bahwa pemberian keterangan saksi pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilakukan tanpa bertatap muka dengan terdakwa salah satunya melalui teleconference.22 dengan demikian keterangan saksi melalui teleconference merupakan alat bukti keterangan saksi sekaligus termasuk alat bukti lain sebagaimana ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.23 Pada sisi lain di luar lingkup kekuasaan kehakiman lainnya yaitu Mahkamah
Konstitusi
teleconference
dalam
sudah
mengatur
memberikan
secara
memberikan
penuh
penggunaan
keterangan
dalam
persidangan. Sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference) pada Pasal 16 menyebutkan bahwa â&#x20AC;&#x153;mahkamah melaksana pemeriksaan melalui persidangan jarak jauh (video conference) berdasarkan permohonan pemohon dan/atau termohon atau kuasanya. Pemohon dan/atau termohon atau kuasanya dapat mengajukan kepada ketua mahkamah melalui kepaniteraan agar dapat dilaksanakan pemeriksaan melalui persidangan jarak jauh (video conference).24
22
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4232) 23 Ibid. 24 Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).
106
2.2.4 Legalitas Penggunaan Teleconference dalam proses pemeriksaan di Peradilan Indonesia. Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat fundanmental. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu penting untuk menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diperlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi.25 Adapun beberapa peraturan hukum dapat diberlakukan yang mendukung penggunaan teleconference salah satunya Pasal 9 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan ayat (1) “Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang di periksa. ayat (2) “ Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.” dam terakhir ayat (3): Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. 26 Masih berkaitan perlindungan saksi dalam memberikan keterangan di proses pemeriksaan melalui persidangan di Indonesia dapat menggunakan teknologi teleconference apabila dianggap perlu hal ini sesuai Pasal 4 huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat, yaitu: “Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa Mahrus Ali, ‘Dasar-Dasar Hukum Pidana’, (PT. Sinar Grafika 2012). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635) 25 26
107
bertatap muka dengan tersangka.â&#x20AC;?27 Adapun dasar hukum untuk dapat menggunakan teleconference dalam memberikan keterangan seperti: 1. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003; 2. Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; 3. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; 4. Pasal 86 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
KESIMPULAN Berdasarkan uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa penggunaan teknologi teleconference hanya dapat digunakan apabila dianggap perlu baik oleh penyidik, penuntut umum, penasehat hukum atas persetujuan dari majelis hakim. Hal ini dikarenakan instrument Hukum berupa Peraturan Perundang-undangan Hukum acara yang menjadi dasar tegaknya penggunaan teleconference belum mengatur secara menyeluruh, penggunaan teleconference dapat digunakaan secara menyeluruh apabila lembaga legislatif Indonesia melakukan kebijakan formulatif (pembuatan undang-undang) yang berkaitan dengan penggunaan teleconference dalam peradilan Indonesia.
27
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat
108
DAFTAR PUSTAKA Buku Agus Raharjo, Cybercrime Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Citra Aditya Bakti, 2002). Didik J. Rachbini, ‘Mitos dan Implikasi Globalisasi’, (Yayasan Obor, 2001). Efa Laela Fakhriah, ‘Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata’, (Penerbit PT. Alumni, 2011). Fathul Wahid, ‘Kamus Istilah Teknologi Informasi, Edisi I’, (Penerbit Andi Offset 2002). Lilik Mulyadi, ‘Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik, (PT. Alumni, 2008). Lilik Mulyadi, ‘Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi’, (PT Alumni, 2007). Mahrus Ali, ‘Dasar-Dasar Hukum Pidana’, (PT. Sinar Grafika 2012). Michael Cannors, ‘The race to the intelligent state’, (Capstone Publishing Limited, 1997). Jurnal Fazrie Mohammad, ‘Analisis Performansi Video Conference Menggunakan Codec H264 Baseline dan H264-High Profile dengan Enkripsi Terintegrasi’, (2017) IncomTech, Jurnal Telekomunikasi dan Komputer.
Internet dan/atau Media Online ELSAM Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat, ‘Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional’, (Terjemahan Indonesia 2014) <https://referensi.elsam.or.id/2014/10/statuta-roma/>. Kusumasari Diana, ‘Tentang Pemeriksaan Saksi Lewat Teleconference’, (Hukumonline.com, 2011) <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5644/surat-edarama/>. Nay, ‘Akademisi dan Hakim Beda Pendapat Soal Keabsahan Teleconference’, (Hukumonline.com, 2003) <https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8365/akademisi-danhakim-beda-pendapat-soal-keabsahan-teleconference-/>. Saifudin, ‘Analisa Dan Implementasi Teleconference Dengan ISDN Pada Telkom Divisi Regional V’, (binadarma, 2003) <http://digilib.binadarma.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptu mm-gdl-s1-2003-saifuddin9-108>. Supriyadi W. Eddyono, ‘Pemberian Keterangan Saksi Lewat Videoconference dalam Rancangan KUHAP Institute for Criminal Justice Reform’,
109
(Institute for Criminal Justice Reform 2015) < http://icjr.or.id/data/wpcontent/uploads/2015/08/Pengaturan-Pemberian-keterangan-Saksi-lewatVideoconference-dalam-R-KUHAP_Final.pdf>. Tim Redaksi liputan6, â&#x20AC;&#x2DC;Besok Habibie Bersaksi Lewat Video Teleconferenceâ&#x20AC;&#x2122;, (Liputan6 2002) <https://www.liputan6.com/news/read/37019/besokhabibie-bersaksi-lewat-ivideo-teleconferencei>.
Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4232). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).
110
About ALSA Indonesia ALSA Indonesia is a full and founding member of ALSA, tracing its roots from the 1989 formation of the ASEAN Law Studentsâ&#x20AC;&#x2122; Association along with students from Singapore, Malaysia, Thailand and the Philippines. Ever since, ALSA Indonesia has been on every journey and has been growing rapidly. Since 2002 when we progressed from only making great things happen in the ASEAN region, to building unlimited networks with our friends on the other parts of the Asia. Making us the organization we are today,The Asian Law Studentsâ&#x20AC;&#x2122; Association. Law students from the Faculty of Law, in 14 member universities, are eligible to become ALSA Indonesia members. As a National Chapter, ALSA Indonesia is well-respected for its contributions to developing ALSA internationally, and maintains a reputation for organizing so many diverse and beneficial programs each year. ALSA Indonesia has also been credited for fostering closer cooperation between students from all members in the law faculties, by increasing the opportunities for its members to collaborate, befriend, and share networks. With more than 3000 active members and even more alumnus, ALSA Indonesia has been setting examples on how students are and should be prepared to fit in the global era. Its diverse traditions and various characteristics among each Local Chapter never prevent all the elements of the organization to gather in one harmoniously united entity, ALSA Indonesia.
Board Of 2019-2020
BIODATA PENULIS 1. Nikolaus Baptista Ruma TTL Pekerjaan Keanggotaan Pengalaman
Pencapaian
: Tangerang Selatan, 6 Desember 1998 : Mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Anggota ALSA LC Universitas Airlangga : - Staff Law Development Division ALSA LC UGM - Content Editor Of Editorial Board ALSA LC UGM : - Deanâ&#x20AC;&#x2122;s Award For Most Oustanding Student 2017, Faculty Of Law UGM - Champion and Best Paper of the Student Scientific Research Competition in Pekan Hukum Nasional 2017, Faculty of Law Universitas Sebelas Maret Surakarta, Indonesia (International Law) - Runner Up of ALSA Indonesia Legal Opinion Competition, Indonesia (Comparative Law) - National Representative of Indonesia and Top 8 of 2019 International Negotiation Competition, Sophia University Law School, Tokyo, Japan
2. Muhammad Haris Adz Zakiy Pekerjaan Keanggotaan
: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember : ALSA LC Universitas Jember
3. Agung Kurniawan Sihombing TTL : Medan, 26 Desember 1999 Pekerjaan : Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Keanggotaan : ALSA LC Universitas Padjajaran Pencapaian : - Juara 1 di Internal International Moot Court Competition Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. - Best Memorial Award di Internal International Moot Court Competition Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. - Peringkat 5 di 2018 Asia Cup International Law Moot Court Competition Best Memorial Award di 2018 Asia Cup International - Law Moot Court Competition Peringkat 4 di 2019 Indonesia National Round of Phillip C. Jessup International Law Moot Court Competition 4. Muhammad Nur Muhatmanta TTL : Tasikmalaya, 11 April 1996 Pekerjaan : Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Keanggotaan Pengalaman Pencapaian
: Anggota ALSA Local Chapter Universitas Padjajaran : Chairman, Moot Court Society of Faculty of Law, Universitas Padjadjaran : Delegate, 4th ALSA International Moot Court Competition, University of Yangon, Myanmar Finalists (4th Best Contract and 2nd Best Negotiation Performance), Contract Drafting and Negotiation, Business Law Competition 2017, Universitas Pelita Harapan, Jakarta 3rd Place and Finalist, Legal Debate, Ubaya Lawfair, Universitas Surabaya, Surabaya Delegate, 17th International Maritime Law Arbitration Moot (IMLAM), University of Exeter, Exeter 3rd Place and Best Paper, Pekan Hukum Nasional 2015, Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo Delegate, 16th International Maritime Law Arbitration Moot (IMLAM), RMIT University, Melbourne Best Spokesperson, Parahyangan Model United Nations 2014, Universitas Parahyangan, Bandung Best Speaker, High School Debate, Annual English Competition and Seminar 2012, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 1st Place, English Days High School Debating Competition 2012, Universitas Parahyangan, Bandung
5. Jefferson Hakim Pekerjaan : Keanggotaan Pengalaman Pencapaian
6. Bunga Yuliana TTL Pekerjaan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran : ALSA LC Universitas Padjajaran : HEAD OF LEGAL ACTIVITIES Mootcourt Society Fakultas Hukum Universitas Padjajaran : AS FINALIST OF MAHASISWA BERPRESTASI ON THE INTERNAL FACULTY OF LAW UNIVERSITAS PADJADJARAN DELEGATES FOR NATIONAL MOOT COURT COMPETITION TJOKORDA RAKA DHERANA V (BEST TRIAL MEMORANDUM) AS PART OF AIESEC GLOBAL VOLUNTEER ON DREAM SCHOOL PROJECT IN REPUBLIC OF CHINA (TAIWAN)).â&#x20AC;¨ AS FINALIST AT BANDUNG ESSAY COMPETITION I : Palembang, 14 Juli 1999 : Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Keanggotaan Pengalaman Pencapaian
: ALSA LC Universitas Sriwijaya : Manager Of Academic & Law Development ALSA LC Universitas Sriwijaya : - Best Legal Opinion in ALSA Indonesia Legal Opinion III - Best Legal Review in Semworknas ALSA LC UNSRI 2018
7. Muhammad Harits TTL : Palembang, 6 November 1999 Pekerjaan : Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Keanggotaan : ALSA LC Universitas Sriwijaya Pengalaman : Vice Director Of Academic Activities & Training ALSA LC Universitas Sriwijaya Pencapaian : Juara 1 NMACC Piala KPK Best Saksi Ahli NAMCC Piala KPK
111