ALSA Indonesia Law Journal - Volume 2, Nomor 1, Maret 2020

Page 1



INFO JURNAL

ALSA Indonesia Law Journal adalah terbitan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Asian Law Students’ Association National Chapter Indonesia dengan frekuensi 2 (dua) kali setahun, yang dimulai pada tahun 2019 dan direncanakan diakreditasi pada tahun ketiga, dengan sasaran: 

Menjadi alat komunikasi antar berbagai elemen komunitas hukum, baik sebagai anggota dan alumni ALSA, ataupun pihak lain untuk memajukan hukum Indonesia;



Menyediakan wadah hasil kajian ilmiah atas berbagai isu hukum di tingkat nasional dan internasional untuk mengembangkan dunia hukum.

ALAMAT REDAKSI Sekretariat ALSA Indonesia Law Journal: Jl. MT. Haryono No. 169, Ketawanggede, Lowokwaru Malang, Jawa Timur Indonesia Website: alsaindonesia.org


DEWAN REDAKSI

Junio Ananda Mahendra

Jesika Althea Widhia Nugraha

MITRA BESTARI

Dr. Agung Sujatmiko S.H., M.H. o Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya

Agus Mardianto, S.H., M.H. o Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Poerwokerto

Veri Antoni, S.H., M.H. o Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Ashari Kurniawan, SH., MH.Li. o Kasi Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta

Muhammad Syahri Ramadhan, S.H., M.H o Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, Palembang


EDITORIAL Ide merupakan rancangan yang timbul dalam pikiran manusia. Ide-Ide yang muncul dan direalisasikan pun banyak mewarani dunia seiring dengan perkembangan jaman. Hasil olah pikir manusia tersebut, baik berupa invensi maupun proses yang berguna bagi manusia, dapat disebut sebagai Kekayaan Intelektual. Kekayaan Intelektual sendiri merupakan hal yang pada dasarnya tidak berwujud. Kekayaan Intelektual merupakan inti dari diskusi mengenai ekonomi serta kebijakan yang berkitan dengan kreativitas dan inovasi. Sistem Kekayaan Intelektual merupakan sistem yang penting dalam masyarakat modern. Hal tersebut dikarenakan Kekayaan Intelektual menopang industri-industri besar seperti arsitektur, farmasi, media, dan hiburan. Selain itu, Kekayaan Intelektual juga merupakan dasar dari argumen-argumen mengenai perdagangan, ekspor dan persaingan. Mengingat peran dari Kekayaan Intelektual, perlindungan Kekayaan Intelektual merupakan hal yang penting sebab sudah seharusnya para pencipta dari Kekayaan Intelektual memiliki hak eksklusif atas penggunaan kreasinya untuk jangka waktu tertentu. Pemalsuan dan pembajakan adalah contoh dari penyalahgunaan dari hak ekslusif tersebut yang dapat merugikan pencipta. Hak eksklusif bagi pencipta tersebut menjadi hal yang mendorong Hukum Kekayaan Intelektual. Pengaturan mengenai Kekayaan Intelektual merupakan hal yang rumit dan sulit untuk dipahami. Di Indonesia sendiri penghargaan terhadap Kekayaan Intelektual masih rendah. Oleh karena itu pengetahuan mengenai Hukum Kekayaan Intelektual penting untuk ditingkatan. Melalui ALSA Indonesia Law Journal kali ini, diharapkan artikel-artikelnya dapat mengedukasi serta menambah pengetahuan baru mengenai isu terkait bagi pembacanya. Selamat membaca! Jesika Althea Widhia Nugraha


DAFTAR ISI Nina Amelia Novita Sari Penerapan Unjust Enrichment

ISSN 2656-5429

1-20 Doctrine

Sebagai

Bentuk

Perlindungan Hukum Terhadap Desain Industri di Indonesia Nikolaus Baptista Ruma

21-45

Efektifitas Penerapan Hak Prioritas dan Hak Eksklusif Dalam Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual di Indonesia Sebagai Negara Hukum Tri Prasetyo Dharma Yoga

46-63

Pengaturan dan Pemidanaan Subyek Hukum Korporasi dalam Tindak Pidana Hak Kekayaan Intelektual Muhammad Rezka Eki Prabowo

64-81

Perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual Terhadap Tari Petik Kopi Sebagai Warisan Budaya Kabupaten Jember

Dini Wininta Sari

82-100

Problematika Pembatasan Pemberian Lisensi Hak atas Kekayaan Intelektual dalam Perusahaan Penyiaran

Aranty Fahira Ardiva dan Fadhilah Nuraini Rustam

101-118

Perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual pada Produk Merek Terkenal di Indonesia Anissah Maharani Analisis Yuridis Scanlation di Internet yang Berdampak Pada Hak Cipta yang Dimiliki oleh Pencipta Komik

119-129


Islamia Tanjung

130-147

Tindakan Hukum Terhadap Pihak yang Covering Version Tanpa Izin Pencipta Lagu

Rahmi Wulandari

148-161

Penggandaan Hak Cipta Film dalam Perspektif Hukum Bisnis Sari Rahmatullah

162-175

Analisis Yuridis Pembajakan Musik Luar Negeri ditinjau dari Sistem Hukum Indonesia

Balqis Namira

176-188

Perlindungan Hukum Rahasia Dagang dalam Bisnis Waralaba di Indonesia

Melani Tania Wijaya

189-206

Hak Ekonomi Pencipta dalam Pemutaran Lagi di Kafe Terkait dengan Pembayaran Royalti

A Muflih El Zuhdi Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Terhadap Pengunggah Kembali Video di Youtube

207-216


PENERAPAN UNJUST ENRICHMENT DOCTRINE SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DESAIN INDUSTRI DI INDONESIA Nina Amelia Novita Sari Universitas Airlangga ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk mengkaji Unjust Enrichment Doctrine sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap perbuatan yang melanggar hak dari Pemegang Hak Desain Industri. Penulisan ini merupakan penulisan hukum dogmatik. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer yaitu ketentuan mengenai Desain Industri dan Unjust Enrichment, sedangkan bahan hukum sekunder terdiri dari buku, jurnal, internet, dan bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa Unjust Enrichment Doctrine hadir untuk mengakomodir prinsip keadilan ketika terjadi situasi dimana Pemegang Hak Desain Industri menderita kerugian dan disaat yang sama, pihak lain memperoleh keuntungan secara tidak patut atau tanpa adanya pengorbanan. Sedangkan para pihak tidak memiliki hubungan kontraktual maupun perbuatan melanggar hukum. Maka, dalam hal ini dapat dilakukan pendekatan melalui penerapan Unjust Enrichment Doctrine. Pendekatan ini diperlukan dalam kerangka Hukum Kekayaan Intelektual agar hak eksklusif dari Pemegang Hak Desain Industri dapat lebih terjamin serta untuk mendukung adanya penyelesaian sengketa yang mampu memberikan keadilan bagi pihak yang dirugikan. Di Indonesia, berdasarkan literatur dan Putusan Pengadilan, Unjust Enrichment Doctrine dipersamakan dengan ketentuan Pasal 1359 ayat (1) BW mengenai pembayaran tak terhutang. Dengan menerapkan Unjust Enrichment Doctrine dalam kerangka Hukum Kekayaan Intelektual, maka Pemegang Hak Desain Industri bisa mendapatkan restitusi atas kerugian yang dialaminya. Kata Kunci : Unjust Enrichment Doctrine; Desain Industri. ABSTRACT This article aims to examine the Unjust Enrichment Doctrine as a form of legal protection against acts that violate the rights of Industrial Design Rights Holders. This writing is writing dogmatic law. The types of legal materials used are primary and secondary legal materials. The primary legal materials are provisions regarding Industrial Design and Unjust Enrichment, while the secondary legal materials consists of books, journals, internet, and other materials related to this research. Based on the results of the study, it can be concluded that the Unjust Enrichment Doctrine is present to accommodate the principle of justice when a situation arises where Industrial Design Rights Holders suffer losses and at the same time, other parties benefit improperly or without sacrifice. While the parties do not have contractual relationships or conduct unlawful acts. Therefor in this case, the approach can be done through the application of the Unjust Enrichment Doctrine. This approach is not only needed within the framework of Intellectual Property Law so that the exclusive rights of Industrial Design Rights Holders can be more secure, but also to support the dispute resolution that is able to provide justice for the injured party. In Indonesia, based on the literature and the Court's Decision, the Unjust Enrichment Doctrine is equal to the provisions of Article 1359 paragraph (1) of BW regarding unpaid payments. By implementing the Unjust Enrichment Doctrine within the framework of Intellectual Property Law, the Right Holder for Industrial Design can get restitution for the losses he experienced. Keywords: Unjust Enrichment Doctrin, Industrial Design

1


I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Merespon adanya globalisasi perdagangan, Indonesia telah meratifikasi Agreement on Establishing the World Trade Organization, yang mencakup pula Agreement on Trade-Related Aspects on Intellectual Property Rights (selanjutnya disebut sebagai TRIPs) sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Selain mewujudkan komitmen terhadap TRIPs, pengaturan tersebut ditujukan untuk memberikan landasan perlindungan atas hak kekayaan intelektual agar tidak terjadi penjiplakan, pembajakan atau peniruan atas sebuah karya. 1 Sistem Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak privat (private rights). Seseorang dapat secara bebas mengajukan permohonan atau mendaftar karya intelektual atau tidak. Hak eksklusif yang diberikan oleh negara pada pelaku hak kekayaan intelektual

(inventor, pencipta, pendesain) merupakan bentuk

penghargaan hasil karya tersebut. Hak kekayaan intelektual juga mendorong agar orang lain dapat mengembangkan kreativitasnya. 2 Indonesia perlu memajukan bidang industri untuk dapat berkompetisi dalam persaingan bisnis secara global. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memaksimalkan sistem hak kekayaan intelektual, termasuk desain industri. Sejarah yang melatarbelakangi perlindungan desain industri adalah kombinasi antara hukum hak cipta dan hukum desain. Ide dari hak cipta adalah perlindungan untuk seni, sedangkan area desain industri lebih bersifat kegunaan praktis dan komersial, dan produk fungsional yang dapat diperbanyak secara massal (mass product), seperti produk household perabotan dapur (kitchenware), perlengkapan kamar mandi (bathroom accessories), mebel (furniture), mainan (toys), suku cadang (sparepart), perlengkapan komputer (computer, keyboards), telepon (telephones), lampu-lampu (light fitting) dan lain-lain.3

1

Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (Sinar Grafika 2009).[139]. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 2013).[iii]. 3 Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual: Penyalahgunaan Hak Eksklusif (Airlangga University Press 2007).[198]. 2

2


Whitford, membagi desain ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu :4 1. Kategori A berupa desain yang hanya berbentuk permukaan rata seperti 2 (dua) dimensi dan bentuk yang lain bersifat tiga dimensi, yang mana unsur estetiknya mendorong konsumen untuk membeli barang hasil desain tersebut. Hal yang dilindungi dari desain kelompok ini adalah unsur estetik penampilan barang tersebut, bukan pokok yang mendasarinya berupa ide dan prinsip yang umum seperti dalam hukum hak cipta. Juga tidak diperlukan pendaftaran maupun uang tanggungan. 2. Kategori B berupa desain yang berbentuk tiga dimensi hanya bentuk desain itu tidak memberi dorongan konsumen membelinya. Pembelian barang oleh konsumen karena kegunaan, dan peruntukan barang tersebut.

Desain industri diatur dalam Article 25 (1) Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights:

Members shall provide for the protection of independently created industrial designs that are new or original. Members may provide that designs are not new or original if they do not significantly differ from known designs or combinations of known design features. Members may provide that such protection shall not extend to designs dictated essentially by technical or functional considerations�. Dalam hukum Indonesia, definisi desain industri terdapat pada pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri yakni: Suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. Tujuan utama hukum desain industri adalah meningkatkan dan melindungi HKI yang terkait dengan bentuk, konfigurasi atau ornamentasi dari suatu barang 4

Muhamad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia (Citra Aditya Bakti 1997).[202].

3


yang memiliki kontribusi penting dalam pengembangan industri dan kerajinan tangan.5 Perlindungan desain industri dibutuhkan untuk menghindari adanya peniruan dan penjiplakan atas desain industri hasil karya seseorang. Di Indonesia, dianut prinsip first to file, artinya hak desain industri diberikan melalui pendaftaran dan diberikan untuk desain yang baru. Dalam hal ini, untuk mengidentifikasi kebaruan dari suatu desain industri, maka pertama akan dilakukan pemeriksaan administratif oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang meliputi pemeriksaan fisik, persyaratan formalitas dan kejelasan pengungkapan desain industri. Kemudian dilakukan pengumuman dan bila terdapat keberatan terhadap desain industri tersebut, maka Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual akan melakukan pemeriksaan substantif sesuai Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri mengatur mengenai desain industri yang mendapat perlindungan, yakni dalam Pasal 2 ayat (2), bahwa “Desain Industri dianggap baru apabila pada Tanggal Penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya”. Permasalahannya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri tidak memberikan uraian dan batasan yang jelas mengenai frasa “tidak sama”. Sehingga, penentuan identifikasi persamaan dan perbedaan dengan desain industri yang telah ada dibebankan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Tidak adanya indikator yang merinci mengenai frasa “tidak sama” ternyata menimbulkan permasalahan dan menyebabkan banyaknya gugatan pembatalan desain industri. Dalam beberapa perkara desain industri yang diputus sebelum

5

Rahmi Jened, Op.Cit., [199].

4


2014, fokus perdebatan adalah mengenai unsur kebaruan dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.6 Pasal 46 jo. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri mengatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yakni melalui gugatan di Pengadilan Niaga dan alternatif penyelesaian sengketa. Selain itu, dimungkinkan pula adanya penuntutan pidana berdasarkan Pasal 54 UndangUndang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri namun harus didahului dengan adanya aduan. Penyelesaian sengketa tersebut di atas pada kenyataannya belum cukup efektif untuk memberikan perlindungan bagi para pemegang hak desain industri. Khususnya mengenai penyelesaian sengketa melalui gugatan ganti rugi. Dasar gugatan ini harus diperluas untuk memberikan perlindungan bagi pemegang hak desain industri. Gugatan ganti rugi yang diajukan oleh Penggugat jika terdapat pelanggaran Pasal 4 dan/atau Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri menggunakan dasar gugatan perbuatan melanggar hukum, bukan wanprestasi karena tidak terdapat hubungan kontraktual atau perjanjian antara Penggugat dan Tergugat. Namun harus dipahami bahwa gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum mensyaratkan adanya kerugian materiil maupun immateriil yang akan dinilai dengan uang. Dalam beberapa kasus, identifikasi adanya kerugian secara langsung yang diderita oleh Penggugat tidaklah mudah. Misalnya, produk kosmetik B meniru desain produk dari produk kosmetik A dari segi warna dan bentuk packaging. Karena terdapat perbedaan dari desain produknya yakni pada bagian font merek dan aplicator produk, maka kemiripan tersebut dipandang sebagai “desain industri yang tidak sama�. Branding dari produk A yang sangat baik dan menjadi tren, namun harga dari produk A lebih mahal jika dibandingkan dengan produk B. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, adanya kemiripan

MYS, ‘Unsur Kebaruan, Celah Hukum dalam Desain Industri’ (Hukumonline.com, 2015) <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55b2cb7b8fe14/unsur-kebaruan--celah-hukumdalam-desain-industri/> accessed 12 Januari 2020. 6

5


dari produk A dan produk B ini tidak melanggar ketentuan Pasal 4 maupun Pasal 9. Namun bagi konsumen dan industri kecantikan kemiripan tersebut mampu mengubah preferensi konsumen dari produk A ke produk B. Oleh karena itu perubahan preferensi tersebut juga akan memberikan perubahan pada potensi keuntungan yang bisa didapat oleh produk A. Terlebih, jika informasi tidak diterima konsumen secara keseluruhan, konsumen dapat mengira bahwa produk yang menjadi tren adalah produk B, bukan produk A. Hal inilah yang tidak dapat diselesaikan melalui gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum. Sehingga, diperlukan dasar gugatan lain agar dapat mengembalikan keadaan perusahaan produk A, yakni menggunakan penerapan unjust enrichment doctrine. Unjust enrichment doctrine dalam hukum perdata dikenal di berbagai negara. Belanda telah menormakan konsep ini dalam Article 212 Book 6 NBW yang pada pokokmya mengatur bahwa, “a person who has been unjustifiably enriched at the expensed of another is obliged, insofar as reasonable, to make good the other’s loss up to the amount of his enrichment”.7 Ketentuan ini menunjukkan bahwa pihak yang mendapatkan manfaat secara tidak wajar atau tidak sah wajib mengembalikan kekayaan itu pada pihak yang berhak. Konsep ini diperlukan untuk menciptakan keadilan yang proporsional. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles, yakni “Equals should be treated equally and unequals unequally, but in proportion to their relevant similarities and differences.”8 Sehingga, dalam hal ini, adil juga dapat dimaknai sebagai tindakan memberikan perlakuan pada pemegang hak secara sama dalam persamaannya, berbeda dalam perbedaannya, berdasarkan proporsi yang relevan.

1.2. Rumusan Masalah 1.2.1 Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak Desain Industri di Indonesia.

7 Faizal Kurniawan et al, ‘Unsur Kerugian Dalam Unjustified Enrichment Untuk Mewujudkan Keadilan Korektif (Corrective Justice)’ (2018) 33 Yuridika.[28]. 8 Stephen T.Worland, Economics and Justice, Dalam Justice: Views from the Social Sciences, Editor Ronald L.Cohen (Plenum Press 1986).[49].

6


1.2.2 Penerapan Unjust Enrichment Doctrine dalam Penyelesaian Sengketa Hak Desain Industri.

1.3. Dasar Hukum 1.3.1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 1.3.2 Agreement on Trade-Related Aspects on Intellectual Property Rights (TRIPs); 1.3.3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri; 1.3.4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.

II.

ANALISIS

2.1

Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak Desain Industri di Indonesia 2.1.1. Pemegang Hak Desain Industri Dalam Pasal 9 ayat (1) diatur mengenai lingkup hak pemegang desain indusri, bahwa “Pemegang hak desain industri memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan hak desain industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang diberi Hak Desain Industri�. Namun terdapat pengecualian terhadap ketentuan tersebut pada Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, bahwa pemakaian desain industri untuk kepentingan penelitian dan pendidikan diperbolehkan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang hak desain industri. Uraian mengenai kepentingan yang wajar terdapat pada Penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Kepentingan yang wajar adalah penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian secara umum tidak termasuk dalam penggunaan hak desain industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dalam pendidikan, misalnya, kepentingan yang wajar dari Pendesain akan dirugikan apabila

7


desain industri tersebut digunakan untuk seluruh lembaga pendidikan yang ada di kota tersebut. kriteria kepentingan tidak semata-mata diukur dari ada tidaknya unsur komersial, tetapi juga dari kualitas penggunaan. Pemegang hak desain industri dapat beralih atau dialihkan melalui pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Selain itu, pemegang hak desain industri berhak memberikan lisensi pihak lain berdasarkan perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Perjanjian lisensi dapat bersifat eksklusif atau non eksklusif. Perjanjian lisensi wajib dicatatkan dalam daftar umum desain industri pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan dikenai biaya sesuai ketentuan. Perjanjian lisensi yang tidak dicatatkan tidak berlaku terhadap pihak ketiga.9 2.1.2. Perlindungan Hukum Pemegang Hak Desain Industri Perlindungan bagi pemegang hak desain industri ini lahir jika telah diajukan permohonan atas desain industri yang dibuat. Dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, diatur bahwa “Pihak yang untuk pertama kali mengajukan permohonan dianggap sebagai pemegang hak desain industri, kecuali jika terbukti sebaliknya�. Dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dinyatakan bahwa ketentuan “kecuali jika terbukti sebaliknya� adalah ketentuan yang merupakan pengejawantahan dari prinsip iktikad baik yang dianut dalam sistem hukum Indonesia. Berdasarkan teori perlindungan hukum Salmond, hukum bertujuan mengintegrasi dan mengkoordinasikan ragam kepentingan yang ada di

9

Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal Hak Kekayaan Intelektual : Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk-beluknya (Erlangga 2008).[65].

8


masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan dilakukan dengan membatasi kepentingan orang lain. 10 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.11 Beberapa elemen desain industri yang menjadi scope perlindungan, yakni:12 a. Kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi; b. Tampilannya baru (new), menarik secara estetika; c. Diterapkan pada barang yang diproduksi secara massal (mass product). Perlindungan diberikan pada tampilan desain (design features) secara kasat mata (visual appearance) yang diterapkan pada suatu barang (article) dan bukan barangnya itu sendiri.13 Perlindungan desain industri lebih mengarah pada bentuk desain dan nilai estetik dari wujud produknya. Aspek nilai estetis pada penampilan suatu produk mengacu pada nilai visual dari desain yang dilandasi pertimbangan seperti bentuk keseluruhan, unsur penampilan, pembuatan detil, proporsi, tekstur, warna, grafis dan penyelesaian akhir yang memberikan nilai keindahan.14 Walaupun dalam terminologi hukum nilai estetik tidak mempunyai batas yang jelas namun harus diakui bahwa bentuk desain sangat mempengaruhi penampilan sebuah produk. Secara psikologis, produk yang ditampilkan dalam desain yang 10

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (PT. Citra Aditya Bakti 2000).[53]. Yuliasih, ‘Perlindungan Hukum Desain Industri Dalam Pelaksanaan Prinsip Keadilan Menurut Teori Keadilan John Rawls (Studi Kasus Putusan Nomor 35 PK/PDT.SUS-HKI/2014)’ (2015) 08 Notarius.[160]. 12 Jened, Loc.Cit, dikutip dari Rahmi Jened, “Perlindungan Hukum Desain Industri dan Rahasia Dagang”, Seminar HKI, IP Clinic-IIPS dan JIII, Surabaya, Mei 2000. 13 Ibid.[201]. 14 Natalia Arinasari Nadeak dan Indirani Wauran, ‘Tumpang-Tindih Pengaturan Bentuk Tiga Dimensi Dalam Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri’ (2019) 26 Jurnal Hukum Ius Quia Istum.[29] dikutip dari Jhon Heskett, Desain Industri, terjemahan Chandra Johan (Rajawali 1968).[5]. 11

9


menarik pada akhirnya dapat meningkatkan preferensi konsumen dan nilai komersialnya.15 Di Indonesia, dianut prinsip first to file, artinya hak desain industri diberikan melalui pendaftaran dan diberikan untuk desain yang baru (new).16 Artinya, desain harus dibandingkan dengan desain yang sudah ada. Pengaturan mengenai kebaruan desain industri ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 2 ayat (3) jo. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, bahwa “Desain Industri dianggap baru apabila pada Tanggal Penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya�. Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, bahwa Pengungkapan sebelumnya, sebagaimana dimaksud ayat (2) adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum: a. Tanggal penerimaan; atau b. Tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan hak prioritas; c. Telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri diatur mengenai batasan suatu desain industri tidak dianggap telah diumumkan yakni apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaannya, desain industri tersebut: a. Telah dipertunjukkan dalam suatu pameran nasional ataupun internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi; atau b. Telah digunakan di Indonesia oleh pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian, atau pengembangan. Desain Industri tidak mendapat perlindungan apabila desain industri tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, 15 16

Adrian Sutedi, Op.Cit.[145]. Rahmi Jened, Op.Cit.[205].

10


ketertiban umum, agama atau kesusilaan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. 2.1.3. Permasalahan Perlindungan Hak Desain Industri di Indonesia Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum merupakan suatu sistem yang meliputi substansi, struktur dan budaya hukum. Substansi adalah keseluruhan asas hukum, norma hukum, dan aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Struktur hukum adalah keseluruhan institusi penegakan hukum beserta aparatnya. Sedangkan, budaya hukum adalah kebiasaan, opini, cara berpikir dan cara bertindak, dari para penegak hukum dan masyarakat.17 Permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan sistem penyelenggaraan hukum perlindungan hak desain industri dapat terbagi dalam tiga kelompok permasalahan, yakni yang berkaitan dengan struktur hukum, substansi hukum, budaya hukum. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:18 a. Substansi hukum (legal substance) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri tidak memberikan uraian dan batasan yang jelas mengenai frasa “tidak sama� pada pasal 2 ayat (2). Terlebih, perlindungan hak desain industri diberikan kepada desain industri yang baru. Sehingga, diperlukan penjelasan atas frasa tersebut agar tidak terjadi kesalahan dalam penerbitan serifikat desain industri. b. Struktur hukum (legal structure) Dalam penegakan hak desain industri, masih banyak terjadi gugatan pembatalan desain industri. Terdapat beberapa perkara desain industri yang diputus sebelum 2014 tampak jelas bahwa fokus perdebatan adalah

17

Lawrence M. Friedman, The Legal System : A Social Science Perspective (Russel Sage Foundation 1975).[54]. 18 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, ‘Laporan Akhir Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Desain Industri’, (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2015) <https://www.bphn.go.id/data/documents/Penyelarasan-NA-RUU-ttg-Desain-Industri.PDF> accessed 12 Januari 2020.

11


mengenai unsur kebaruan dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.19 Terdapat putusan kasasi tentang desain industri ‘Tempat Disk’, Mahkamah Agung menyatakan desain industri yang dimiliki tergugat tidak baru karena ‘tidak berbeda’ secara signifikan dengan tempat disk yang diproduksi dan diperdagangkan oleh penggugat. Selain itu, dalam perkara lain, yakni perkara desain industri karpet dengan motif pilar dan karpet dengan motif masjid. Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan penggugat. Mahkamah Agung menyatakan bahwa tergugat adalah pendaftar pertama atas desain industri sehingga harus mendapat perlindungan hukum, sedangkan penggugat tidak mendaftarkan desain industrinya sehingga secara formal tidak memperoleh perlindungan hukum.20 Hal ini menunjukkan bahwa sarana yang tersedia untuk melakukan pemeriksaan administratif dan substantif masih belum memadai. Sehingga, masih terdapat pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat penerbitan sertifikat desain industri yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. Maka, untuk dapat

melakukan pemeriksaan

administratif dan substantif mengenai kebaruan dari desain industri, dibutuhkan kapasitas personil dan sarana prasarana yang lebih baik. c. Budaya hukum (legal culture) Masyarakat Indonesia masih belum memiliki kesadaran akan pentingnya perlindungan hak kekayaan intelektual. Sehingga, masih terjadi peniruan dan penjiplakan di kalangan masyarakat. Pendaftaran desain industri pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual tidak menutup kemungkinan adanya desain industri yang tidak baru yang dikabulkan permohonannya dan memperoleh sertifikat desain industri. Hal ini akan menyebabkan sengketa di kemudian hari. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dengan interpretasi 19 20

MYS, Loc.Cit. Ibid.

12


sistematis, maka perlindungan hukum terhadap desain industri didasarkan atas pendaftar pertama yang beritikad baik. Sehingga, ketika dapat dibuktikan bahwa pemegang hak desain industri tidak memiliki itikad baik, yakni desain industrinya meniru atau menjiplak desain industri yang sudah ada, maka sertifikat desain industri dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan.21 2.1.4. Penyelesain Sengketa Hak Desain Industri Pemegang hak desain industri mempunyai hak monopoli, artinya dia dapat

mempergunakan

haknya

dengan

melarang

siapapun

tanpa

persetujuannya membuat apa yang telah didaftarkannya. Jadi dia mempunyai kedudukan yang kuat terhadap pihak lain. Apabila terdapat perbuatan dengan sengaja melanggar hak pemegang desain industri atau pemegang lisensinya, perbuatan itu disamakan sebagai perbuatan melanggar hukum, dan pelaku dapat dituntut membayar ganti rugi. Penuntutan ganti rugi tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran desain tersebut.22 Berdasarkan pasal 38 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, pelanggaran pasal 2 atau pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dapat digugat ke Pengadilan Niaga oleh pihak yang berkepentingan. Akibat hukumnya

adalah pembatalan

pendaftaran hak desain industri. Hal ini akan menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan hak desain industri dan hak-hak lain yang berasal dari desain industri tersebut. Terhadap putusan Pengadilan Niaga itu hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi. Selain itu, dapat diajukan gugatan berdasarkan pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri terhadap siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan membuat, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau

Dinar Aulia Kusumaningrum dan Kholis Roisah, ‘Implementasi Penilaian Kebaruan dan Prinsip Itikad Baik Dalam Perlindungan Desain Industri’, (2016), 12 Jurnal Law Reform.[283]. 22 Muhamad Djumhana dan Djubaedillah, Op.Cit.[219]. 21

13


mengedarkan barang yang diberi hak desain industri. Gugatan ini berupa gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan tersebut di atas. Pelanggaran Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri juga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, yakni sebagaimana ketentuan dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri bahwa “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”. Namun, tindak pidana dalam pasal 54 tersebut adalah delik aduan. Sehingga, hanya bisa ditindaklanjuti oleh penyidik apabila terdapat aduan dari pemegang hak desain industri. 2.2 Penerapan Unjust Enrichment Doctrine dalam Penyelesaian Sengketa Hak Desain Industri Menurut Black’s Law Dictionary, “Unjust Enrichment doctrine is a general principle that one person should not be permitted unjustly to enrich himself at expense of another but should be required to make restitution of or property or benefits received, retained or appropriated, where it is just and equitable that such restitution be made, and where such action violation or frustration of law or opposition to public policy, either directly or indirectly”.23 Artinya doktrin unjust enrichment merupakan prinsip umum bahwa seseorang tidak boleh memperkaya dirinya secara tidak adil yaitu dengan biaya yang dikeluarkan oleh pihak lain dan oleh karenanya, ia harus mengembalikan manfaat yang diterimanya, ditahannya atau diambilnya. Pengembalian itu adalah adil dan layak serta tidak bertentangan atau menghalangi hukum atau berlawanan dengan kepentingan umum baik secara langsung maupun tidak langsung. Unjust Enrichment doctrine ini dikenal di berbagai negara, baik negara dengan sistem hukum common law maupun civil law. Namun ruang lingkup

23

Pertimbangan Hakim Agung dalam Putusan Nomor 980 K/Pdt/2014.

14


penerapan doktrin ini berbeda-beda di berbagai negara. Dalam hukum Indonesia, unjust enrichment doctrine dapat disamakan dengan Pasal 1359 ayat (1) KUHPerdata, “Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang, apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali�. Gugatan atas dasar unjust enrichment ini dibutuhkan dalam hukum perdata di Indonesia karena terdapat keadaan dimana sebuah tindakan tidak didasarkan hubungan kontraktual dan tidak melanggar hukum maupun asas kepatutan dan kesusilaan, namun perolehan keuntungan yang dilakukan tidak sah. Hal ini tidak dapat diakomodir melalui gugatan atas dasar wanprestasi maupun gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum. Dari sisi petitum yang diajukan pun berbeda. Untuk gugatan atas dasar wanprestasi, maka petitumnya berupa kompensasi atas kegagalan pelaksanaan prestasi. Untuk gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum, petitumnya adalah kompensasi atas kerugian yang timbul dari adanya pelanggaran hukum, baik hukum positif serta asas kepatutan dan kesusilaan. Sedangkan, untuk gugatan atas dasar unjust enrichment, petitumnya adalah restitusi atau pemulihan manfaat yang diperoleh secara tidak sah.24 Dalam kasus Everhart v. Miles, 47 Md.App 131, 136, 422 A 2d 28 dijelaskan dalam pertimbangan hakim bahwa terdapat tiga unsur untuk menentukan terjadinya unjust enrichment, yakni:25 a. Ada suatu manfaat atau keuntungan yang diberikan atau diperbuat oleh penggugat kepada tergugat; b. Manfaat atau keuntungan ini adalah berharga atau dimengerti oleh tergugat; c. Tergugat menerima atau menahan manfaat itu adalah merupakan hal yang tidak patut bila tidak disertai dengan pembayarannya.

24

Kurniawan, Loc.Cit. Ibid.[29], dikutip dari Eddy Neumann, ‘Equity and Trust-Unjust Enrichment’ (FindLaw Australia) http://www.findlaw.com.au/articles/2163/equity-and-trusts-8211-unjustenrichment.aspx. accessed 3 November 2016 25

15


Konsep unjust enrichment mulai dikenal sebagai salah satu bentuk perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban, selain perikatan yang lahir dari perjanjian dan undang-undang. Unjust Enrichment doctrine akan memberikan keadilan bagi para pihak karena tergugat tidak mengganti kerugian yang diderita penggugat, namun hanya terhadap kekayaan atau manfaat yang diperolehnya secara tidak sah atau tidak patut. Misalnya A mengirim uang kepada B sejumlah Rp 1.000,00 dan B mengirim uang kepada A sejumlah Rp 200,00 maka tidak adil apabila memaksa B untuk mengembalikan sejumlah Rp 1.000,00 kepada A. Menjadi adil apabila resitusi yang diberikan B adalah Rp 800,00.26 Penyelesaian sengketa hak desain industri melalui gugatan dilakukan atas dasar perbuatan melanggar hukum. Namun, dalam beberapa kasus, identifikasi adanya kerugian secara langsung akibat perbuatan melanggar hukum tidak mudah. Misalnya terdapat kemiripan produk yang tidak ditetapkan sebagai “desain industri yang tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya�. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, adanya kemiripan produk ini tidak melanggar ketentuan Pasal 4 maupun Pasal 9. Namun, bagi konsumen dan pasar, kemiripan tersebut mampu mengubah preferensi konsumen yang juga akan memberikan perubahan pada potensi keuntungan yang bisa didapat. Terlebih, jika informasi tidak diterima konsumen secara keseluruhan, dapat terjadi misleading information. Hal inilah yang tidak dapat diselesaikan melalui gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum. Sehingga, diperlukan dasar gugatan lain yakni menggunakan penerapan unjust enrichment doctrine. Potensi keuntungan yang didapat tidak dapat dipersamakan dengan kerugian secara langsung. Dalam unjust enrichment doctrine, petitum gugatannya adalah restitusi atau pemulihan manfaat yang diperoleh secara tidak sah. Sehingga hal ini memberikan keadilan bagi pemegang hak desain

26

Ibid.[31], dikutip dari Sarah Worthington, Equity (Oxford University Press 2003).[251].

16


industri dan memberikan perlindungan pula bagi desain industri yang telah didaftarkan tersebut.

III.

PENUTUP

3.1

Kesimpulan Perlindungan hukum terhadap pemegang hak desain industri di Indonesia

masih belum efektif. Hal ini tercermin dari banyaknya gugatan atas pembatalan pendaftaran hak desain industri serta gugatan ganti rugi atas pelanggaran Pasal 4 dan/atau Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Terlebih, dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri belum terdapat indikator yang jelas mengenai “desain industri yang tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya�. Sehingga, hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memperoleh keuntungan dari desain industri orang lain. Mekanisme penyelesaian sengketa hak desain industri dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri belum dapat mengakomodir hak-hak yang dimiliki oleh pemegang hak desain industri. Khususnya mengenai gugatan ganti rugi yang sampai saat ini terbatas pada gugatan atas dasar perbuatan melanggar hukum. Padahal bentuk pelanggaran desain industri semakin beragam seiring perkembangan zaman, sehingga dasar gugatan untuk menjamin hak-hak pemegang desain industri tidak dapat terbatas pada perbuatan melanggar hukum saja, namun juga menggunakan penerapan doktrin, yang dalam hal ini adalah unjust enrichment doctrine untuk memberikan keadilan proporsional bagi pemegang hak desain industri. 3.2

Saran Pemerintah sebaiknya melakukan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2000 tentang Desain Industri untuk memberikan indikator dalam Pasal 2 ayat (2) agar terdapat perlindungan hukum yang lebih maksimal kepada para pemegang hak desain industri. Selain itu, perlu dilakukan perbaikan kapasitas personil dan sarana prasarana agar pemeriksaan administratif dan pemeriksaan substantif oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dapat terlaksana secara lebih efektif.

17


Karena pada prakteknya, banyaknya sengketa hak desain industri juga terjadi akibat kesalahan dan ketidakcermatan dalam proses pemeriksaan administratif dan pemeriksaan substantif. Demi memaksimalkan perlindungan hukum bagi pemegang hak desain industri, maka diperlukan pula penerapan unjust enrichment doctrine sebagai dasar gugatan dalam sengketa hak desain industri. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri masih memberikan celah bagi para pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memanfaatkan desain industri yang sudah ada demi kepentingan pribadinya. Sehingga, penerapan gugatan atas dasar unjust enrichment doctrine dibutuhkan untuk mengembalikan manfaat yang diterima secara tidak sah atau tidak patut kepada pemegang hak desain industri yang memiliki hak atas manfaat tersebut.

18


DAFTAR PUSTAKA Buku Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (Sinar Grafika 2009). Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 2013). Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal Hak Kekayaan Intelektual: Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk-beluknya (Erlangga 2008). Lawrence M. Friedman, The Legal System : A Social Science Perspective (Russel Sage Foundation 1975). Muhamad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia (Citra Aditya Bakti 1997). Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual: Penyalahgunaan Hak Eksklusif (Airlangga University Press 2007). Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (PT. Citra Aditya Bakti 2000). Stephen T.Worland, Economics and Justice, Dalam Justice : Views from the Social Sciences, Editor Ronald L.Cohen (Plenum Press 1986).

Jurnal Dinar Aulia Kusumaningrum dan Kholis Roisah, ‘Implementasi Penilaian Kebaruan dan Prinsip Itikad Baik Dalam Perlindungan Desain Industri’, (2016), 12 Jurnal Law Reform. Faizal Kurniawan et al, ‘Unsur Kerugian Dalam Unjustified Enrichment Untuk Mewujudkan Keadilan Korektif (Corrective Justice)’ (2018) 33 Yuridika. Natalia Arinasari Nadeak dan Indirani Wauran, ‘Tumpang-Tindih Pengaturan Bentuk Tiga Dimensi Dalam Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri’ (2019) 26 Jurnal Hukum Ius Quia Istum.[29] dikutip dari Jhon Heskett, Desain Industri, terjemahan Chandra Johan (Rajawali 1968). Yuliasih, ‘Perlindungan Hukum Desain Industri Dalam Pelaksanaan Prinsip Keadilan Menurut Teori Keadilan John Rawls (Studi Kasus Putusan Nomor 35 PK/PDT.SUS-HKI/2014)’ (2015) 08 Notarius.

19


Laman Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, ‘Laporan Akhir Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan UndangUndang Tentang Desain Industri’, (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2015) <https://www.bphn.go.id/data/documents/PenyelarasanNA-RUU-ttg-Desain-Industri.PDF> MYS, ‘Unsur Kebaruan, Celah Hukum dalam Desain Industri’ (Hukumonline.com, 2015) <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55b2cb7b8fe14/unsurkebaruan--celah-hukum-dalam-desain-industri/>

Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / Burgerlijk Wetboek, (Staatsblaad Tahun 1847 Nomor 23). Agreement on Trade-Related Aspects on Intellectual Property Rights (TRIPs) yang diratifikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4465)

20


EFEKTIFITAS PENERAPAN HAK PRIORITAS DAN HAK EKSKLUSIF DALAM PERLINDUNGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM Nikolaus Baptista Ruma Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Problematika yang kerap terjadi di bidang Kekayaan Intelektual di beberapa negara termasuk Indonesia, yakni kebutuhan perlindungan hukum atas Kekayaan Intelektual. Perlindungan tersebut dimaksud agar pemilik Kekayaan Intelektual, baik perorangan, kelompok, atau badan usaha dapat menggunakan haknya atau mengeksplorasi kekayaannya dengan aman yang pada gilirannya dapat menciptakan iklim ekonomi dari hasil yang dikaryakannya, termasuk menciptakan iklim ekonomi yang kondusif bagi negara, sehingga dapat memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi bangsanya karena adanya perlindungan. Pada umumnya, perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual dilakukan melalui pendaftaran yang melahirkan hak eksklusif. Pendaftaran memberikan perlindungan terhadap Kekayaan Intelektual dalam batas-batas teritorial suatu negara. Hak eksklusif dimiliki selama jangka waktu tertentu, yang memberikan kewenangan hanya kepada si pemegang hak untuk menggunakan haknya dan mencegah pihak lain menggunakan Hak atas Kekayaan Intelektual tersebut. Namun akibat perdagangan bebas dan fasilitas internet, kemungkinan hak eksklusif tersebut bisa saja digunakan oleh pihak lain yang beritikad buruk di luar batas teritorial untuk mendapatkan keuntungan dengan menggunakan hak eksklusif secara tanpa hak dan melawan hukum. Kondisi ini dapat diantisipasi oleh rezim Hak atas Kekayaan Intelektual melalui penggunaan hak prioritas. Bentuk perlindungan terhadap Kekayaan Intelektual kepada masyarakat merupakan konsep dari rechstaat, yang mengutamakan prinsip wetmatigheid. Selain konsep rechstaat ada juga konsep the rule of law yang memberikan perlindungan bagi HAM melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak mengikat, dengan mengutamakan equality before the law. Pembahasan dalam Penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan dengan menggunakan metode deskriptif analitis untuk membuktikan bahwa dengan pemanfaatan fasilitas hak prioritas, maka hak eksklusif orang asing di Indonesia sebagai negara hukum dapat diberikan perlindungan. Kata Kunci: Kekayaan Intelektual, Hak Prioritas, Hak Eksklusif, Perlindungan, Negara Hukum ABSTRACT An issue that often occurs in the field of Intellectual Property in several countries including Indonesia, is the need of legal protection for Intellectual Property. Such protection is intended so that the owner of Intellectual Property, whether an individual, group, or business entity can exercise their rights safely which in turn can create an economic climate from the results of his work, including creating a conducive economic climate for the country, so that it can provide benefits and welfare for the people because of protection. In general, protection of Intellectual Property Rights is ensured through registration which gives birth to exclusive rights. Registration of Intellectual Property provide protection within a country's territorial boundaries. Exclusive rights are owned for a certain period of time, which gives the right holder only the right to exercise their rights and prevent other parties from using the Intellectual Property Rights. Nonetheless, due to free trade and internet facilities, the possibility of exclusive rights may be used by other parties who have bad intentions outside the territorial boundaries to gain benefits by using the exclusive rights without rights and against the law. This condition however, can be anticipated by the Intellectual Property Rights regime through the use of priority rights. Form of protection of Intellectual Property to the community is a concept of rechtstaat, which prioritizes the wetmatigheid principle. In addition to the concept of rechtstaat there is also the concept of the rule of law which provides protection for human rights through the institutionalization of a free and unbinding court, by prioritizing equality before the law. This research was conducted through a literature study using descriptive analytical

21


methods to prove that by utilizing priority right facilities, the exclusive rights of foreigners in Indonesia as a rule of law can be protected. Keywords: Intelectual Property, Priority Right, Exclusive Right, Protetion, Rule of Law

22


I.

Pendahuluan

1.1

Latar Belakang Masalah Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut sebagai KI) merupakan kreasi

manusia sebagai mahluk yang berbudaya.1 Kreasi manusia dapat berupa naskah (literary), hasil kerja yang memiliki seni (artistic work), dan teknologi.2 Semua kreasi manusia yang berasal dari sebuah ide tersebut sesungguhnya sejalan dengan dasar teori dari rezim Hak atas Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut sebagai HaKI), yaitu “kreatifitas akan berkembang jika kepada orang-orang yang kreatif diberikan imbalan ekonomi”.3 Kreasi manusia yang dihasilkan oleh seorang pencipta di bidang seni, sastra, dan ilmu pengetahuan atau seorang penemu di bidang teknologi (selanjutnya disebut sebagai inventor) tersebut masuk dalam kategori kelompok industri yang masing-masing memiliki keterkaitan dalam proses perwujudan suatu ide atau gagasan menjadi suatu KI yang mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi kesejahteraan serta dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.4 Bahwa KI mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut sebagai UUD NRI 1945).5 Pasal 33 UUD NRI 1945 yang dijelaskan lebih lanjut dalam konsideran Ketetapan Majelis Permusyarakatan Rakyat (Tap MPR) Nomor IX/MPR/2001 pun telah tegas mengatur perihal pengelolaan sumber daya nasional, termasuk KI yang harus dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.6 1

Napoleon Hill, Think and Grow Rich (Ramala Books 2007).[5]. Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, (Alumni 2006).[8]. 3 Budi Agus Riswandi dan Syamsudin, Hak Kekekayaan Intelektual dan Budaya Hukum (Raja Grafindo Persada 2005).[11]. 4 Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia (Depdag RI 2008).[2]. 5 Vide Konsideran Poin a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 6 Maria Alfons, ‘Implementasi Hak Kekayaan Intelektual Dalam Perspektif Negara Hukum’ (2017), Volume 14 No. 03 Jurnal Legislasi Indonesia.[357-368]. 2

23


Ketentuan hukum tersebut tentu menjadi kaidah fundamental dalam merumuskan konsep negara yang menyelenggarakan kesejahteraan bagi masyarakat atas pengelolaan sumber daya nasional miliki bangsa Indonesia, khususnya KI dan untuk menilai sejauh mana peran negara dalam upaya untuk memberikan perlindungan terhadap KI tersebut. Bahwa disamping kedua hal tersebut, tentu kita tidak dapat memandang sebelah mata bahwa perkembangan pesat ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan sastra memerlukan adanya peningkatan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi para inventor, pemegang HaKI, dan pemilik Hak Terkait.7 Kurangnya perlindungan terhadap KI selama satu dekade ke belakang mengakibatkan banyaknya KI milik bangsa Indonesia diambil dan dimanfaatkan bahkan memberikan keuntungan ekonomi bagi negara lain.8 Salah satu kasus pelanggaran kepemilikan kebudayaan yang terjadi adalah kasus klaim kebudayaan Indonesia oleh Malaysia, dimana dalam sebuah iklan di Discovery Channel dalam Enigmatic Malaysia, ditayangkan tarian Pendet, Wayang, dan Reog Ponorogo yang dianggap merupakan kekayaan tradisional Malaysia. 9 Maraknya klaim terhadap kebudayaan-kebudayaan Indonesia yang diklaim kepemilikannya oleh negara asing menjadi suatu urgensi tersendiri tentang perlu adanya perlindungan bagi kebudayaan sebagai hak komunal bangsa Indonesia. Namun demikian, sebenarnya isu ini telah menjadi salah satu bahan perdebatan di tingkat internasional sejak 2001, ketika sidang pertama Intergovernmental Committee in Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore yang diselenggarakan di markas besar World Intellectual Property Organization (WIPO) di Jenewa, Swiss.10 7

Vide Konsideran Poin b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 8 Dyah Permata Budi Asri, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Kebudayaan Melalui World Heritage Centre UNESCO’ (2018), Volume 25 No. 02 Jurnal Hukum Ius Quia Iustum.[256-276]. 9 Tempo.co, ‘Malaysia Sudah Tujuh Kali Mengklaim Budaya Indonesia’, (Tempo.co, 2012) <https://nasional.tempo.co/read/411954/malaysia-sudah-tujuh-kali-mengklaim-budaya-ri>, diakses pada 14 Januari 2020. 10 Basuki Antariksa, ‘Peluang dan Tantangan Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional’ Dalam Konsinyering Pencatatan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2011).[1].

24


Bahkan, sebenarnya substansi mengenai pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional telah menjadi bahan perdebatan sejak 1967, ketika Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic Works menambahkan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (4). Pasal tersebut menyatakan bahwa karya yang belum dipublikasikan dan yang tidak dikenal inventor, dapat dilindungi sebagai hak cipta jika diduga si inventor adalah warga negara pihak pada konvensi tersebut. 11 Di samping itu, negara pihak pada konvensi ini diminta untuk menunjuk otoritas yang berwenang untuk memberikan perlindungan. 12 Perlindungan tersebut dimaksudkan agar pemilik KI baik perseorangan (hak pribadi) maupun kelompok (hak komunal) dapat menggunakan haknya atau mengeksplorasi produk KI dengan aman. Dalam hal ini tanpa klaim dari pihak lain, yang pada gilirannya dapat menciptakan iklim ekonomi dari hasil yang dikaryakan dan dapat menciptakan iklim ekonomi juga bagi negara, sehingga dapat memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi bangsa sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945 karena adanya perlindungan tersebut.13 Pemerintah sangat menyadari bahwa implementasi sistem HaKI merupakan suatu tugas besar. Terlebih lagi dengan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) dengan konsekuensinya melaksanakan ketentuan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization.14 Berbagai KI seperti yang diatur dalam TRIP’s pada hakekatnya jenis ragamnya sudah dikenal di Indonesia yang dalam undang-undang, dibagi menjadi dua bagian, yakni hak Cipta dan hak Kekayaan Industri. Berikut merupakan klasifikasi HaKI

11

Vide Pasal 15 ayat (4) huruf a Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic

Works. 12

Vide Pasal 15 ayat (4) huruf b Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic

Works. 13 Sulasi Rongiyati, ‘Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Pada Produk Ekonomi Kreatif’ (2018), Volume 9 No. 01 Jurnal Negara Hukum.[40]. 14 Purba Afrillya,[et.al.], TRIP’s-WTO dan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, (Rineka Cipta 2005).[24].

25


Gambar 1.1 Klasifikasi Hak atas Kekayaan Intelektual

Hak Cipta

• Hak Cipta • Hak-Hak Terkait

Hak Kekayaan Industri

• Hak Paten/Patent • Hak Merek/Trademark • Hak Desain Industri/Industrial Design • Hak Rahasia Dagang • Hak Tata Letak Sirkuit Terpadu • Hak Varietas Tanaman

Sumber: olahan Penulis Akan tetapi, perlindungan KI yang berkembang dewasa ini lebih memihak kepada negara maju yang lebih menekankan pada kepentingan individu. Hal ini tentu bertentangan dengan “atmosfer pemikiran” masyarakat di negara berkembang, seperti Indonesia yang lebih mengenai perlindungan KI yang lebih menekankan pada kepentingan komunal (masyarakat).15 Hal itu dikarenakan dalam rezim perlindungan hukum atas HaKI dikenal ada dua hak khusus yang dipegang oleh pemilik KI, yakni hak eksklusif dan hak prioritas (khusus bagi pemilik KI yang berada diluar wilayah negara yang sudah didaftarkan HaKI-nya), sehingga manfaat dari HaKI secara khusus hanya dapat dinikmati oleh pemilik KI maupun pihak lain yang mendapat izin dari pemilik KI. Namun, dalam Pasal 7 TRIP’s Agreement sudah mengatur bahwa perlindungan melalui adanya HaKI dilakukan untuk mengusahakan adanya ‘mutual advantage of producers and users of technological knowledge’, maksud dari poin tersebut adalah mewujudkan keseimbangan di antara hak eksklusif atas KI yang dimiliki oleh inventor dengan hak bagi masyarakat yang menggunakan KI tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.16 Maka dari itu, penting untuk dilihat bagaimana kemudian hak eksklusif dan hak prioritas yang merupakan hak khusus bagi pemilik KI dapat secara efektif memberikan perlindungan atas produk KI tanpa meninggalkan hak masyarakat

15 16

Sulasi Rongiyati, Op.Cit.. Vide Pasal 7 Agreement On Trade Related Aspects Of Intellectual Property Rights.

26


untuk menikmati manfaat atas produk KI tersebut (mutual advantage) guna mencapai kesejahteraan umum yang menjadi dasar konstitusi Indonesia sebagai negara hukum 1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan

yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1.2.1 Apa Saja Prinsip-Prinsip Umum Yang Berlaku dalam Hak atas Kekayaan Intelektual? 1.2.2 Bagaimana Ketentuan Mengenai Hak Prioritas dan Hak Eksklusif dalam Pendaftaran Hak atas Kekayaan Intelektual? 1.2.3 Bagaimana

Implementasi

Perlindungan

Kekayaan

Intelektual

Mencerminkan Konsep Negara Hukum? 1.3

Dasar Hukum Terdapat beberapa aturan hukum yang memiliki relevansi dengan pokok

permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, yakni: 1.3.1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.3.2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization; 1.3.3 The Agreement On Trade Related Aspects Of Intellectual Property Rights (selanjutnya disebut sebagai TRIPs Agreement); 1.3.4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman (selanjutnya disebut sebagai UU Varietas Tanaman); 1.3.5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (selanjutnya disebut sebagai UU Rahasia Dagang); 1.3.6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan Tata Letak Sirkuit Terpadu (selanjutnya disebut sebagai UU DITLST); 1.3.7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut sebagai UU Hak Cipta); 1.3.8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Hak Paten (selanjutnya disebut sebagai UU Hak Paten);

27


1.3.9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut sebagai UU MIG); 1.3.10 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (selanjutnya disebut sebagai Berne Convention); 1.3.11 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2018 tentang Permohonan Paten (selanjutnya disebut sebagai Permen HumHAM Permohonan Paten).

II.

ANALISIS

2.1

Prinsip-Prinsip Umum yang Berlaku Dalam Hak atas Kekayaan Intelektual Hak atas Kekayaan Intelektual HaKI merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR) yang didefinisikan sebagai hasil olah pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.17 HaKI sendiri lahir setelah Revolusi Industri, dimulai dari Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Berne Convention for the Protection of Artistic and Literaty Works di abad ke-19.18 Dalam hal ini, hukum atas KI diperlukan untuk: a). melindungi karyakarya intelektual yang dihasilkan oleh inventor yang kemudian dieksploitasi oleh pihak lain tanpa izin, b) melindungi merek yang dimiliki seseorang atau suatu perusahaan yang mempresentasikan reputasi atau kualitas suatu barang atau jasa, c) melindungi informasi yang dinilai komersial atau bisnis, dan d) melindungi karya yang timbul atau lahir dari intelektual manusia yang dibentuk dalam karya sastra, seni, ilmu pengetahuan dan invensi. Pada akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual.19

17 Sufiarna, ‘Hak Prioritas dan Hak Eksklusif Dalam Perlindungan HKI’ (2018), Volume 03 No. 02 Jurnal Hukum Adil.[267-282]. 18 Ahamad Zen Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs (Alumni 2005).[vii]. 19 Sufiarna, Loc.CIt.

28


Jenis HaKI adalah hak privat, dimana dalam hal ini negara memberikan suatu hak eksklusif kepada inventor sebagai suatu penghargaan atas karya dan kreatuvitasnya sekaligus memberikan hak kepada inventor KI untuk menentukan pihak mana saja yang mempunyai hak ekonomi atas KI tersebut.20 Filosofis perlindungan KI adalah untuk mendorong kemajuan dan munculnya ide-ide baru, serta menciptakan iklim yang kondusif. 21 Dengan adanya bentuk perlindungan, maka inventor akan mendapat penghargaan berupa keuntungan finansial, sedangkan masyarakat akan menikmati serta mengembangkan hasil ciptaan yang diperoleh dari pemikiran intelektual tersebut.

Prinsip-Prinsip Umum yang Berlaku Dalam Hak atas Kekayaan Intelektual Menurut Robert M. Sherwood pengakuan dan perlindungan hukum atas kreatifitas intelektual manusia perlu dilakukan berdasarkan teori-teori di bawah ini:22 a. Reward Theory, bahwa seseorang yang telah berhasil menemukan atau menciptakan karya-karya intelektual perlu diberikan pengakuan dan penghargaan berupa perlindungan terhadap karya-karyanya sebagai immbangan atas upaya-upaya kreativitas tersebut. b. Recovery Theory, bahwa inventor yang telah mengeluarkan waktu, biaya, serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektualnya perlu diberi kesempatan untuk memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut.

20

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Panduan Hak Kekayaan Intelektual Dilengkapi dengan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, (Ditjen HKI-ECAP, 2006),[35]. 21 Ahmad Zen Purba, Loc.cit.,[48]. 22 Hamdan Zoelva, ‘Globalisasi dan Politik Hukum HaKI’ (2011), Voleme X No. 3 Law Review.[323-324].

29


c. Incentive Theory, bahwa inventor memerlukan insentif untuk memacu pengembangan penemuan dan penelitian yang berguna. d. Risk Theory, bahwa HaKI merupakan hasil karya yang mengandung risiko, yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu menemukan cara tersebut atau memperbaikinya, sehingga wajar apabila diberikan perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung risiko tersebut. e. Economic Growth Stimulus Theory, bahwa perlindungan terhadap HaKI merupakan suatu alat pembangunan ekonomi, yaitu keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem perlindungan HaKI yang efektif. Selain teori tersebut, masih ada beberapa prinsip-prinsip lain yang umumnya berlaku dalam HaKI, seperti:23 a. Prinsip HaKI sebagai Hak Eksklusif Dalam rezim HaKI, hak yang akan diberikan bersifat khusus dan hanya dimiliki oleh orang yang terkait langsung dengan KI yang dihasilkan. Melalui hak tersebut, pemegang HaKI tersebut dapat mencegah orang lain untuk membuat, menggunakan, atau berbuat sesuatu tanpa izin atau dengan kata lain menikmati manfaat ekonomi dari KI tersebut tanpa izin dari pemilik/pemegang hak. b. Prinsip Perlindungan HaKI Berdasarkan Pendaftaran Secara umum pendaftaran merupakan syarat bagi KI yang dihasilkan oleh seseorang untuk mendapatkan perlindungan. Beberapa cabang HaKI, seperti merek, paten, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, dan Perlidungan Varietas Tanaman mewajibkan seseorang untuk melakukan pendaftaran. Prinsip ini mendasari semua regulasi di seluruh dunia dan membawa konsekuensi bahwa pemilik KI yang tidak melakukan pendaftaran tidak dapat menuntut seseorang yang dianggap telah menggunakan kekayaannya secara melawan hukum. Beberapa

23

Maria Alfons, Op.CIt.

30


pengecualian diberikan oleh hukum nasional negara tertentu yang dapat melakukan tuntutan terhadap pelanggaran hukum terkait HaKI meskipun KInya belum terdaftar.24 c. Prinsip Teritorial Dalam Perlindungan HaKI Sistem HaKI mengatur bahwa pendaftaran yang melahirkan perlindungan hukum bersifat teritorial. Artinya perlindungan hukum hanya diberikan di tempat pendaftaran tersebut dilakukan atau dengan kata lain perlindungan terhadap HaKI dibatasi oleh batasan teritorial. Sistem ini selaras dengan kedaulatan negara di dalam hukum publik, dimana keputusan yang dihasilkan oleh perangkat administrasi negara tidak dapat dipaksakan untuk berlaku pula di negara lainnya. Dalam rezim HaKI setiap negara bebas untuk menerima sebuah pendaftaran KI. Keputusan yang diambil oleh sebuah negara tidak berpengaruh terhadap putusan yang akan diambil oleh negara lain. d. Prinsip Pemisahan (Separation) Maksud dari adanya prinsip pemisahan dalam perlindungan HaKI adalah adanya pemisahan antara benda dalam hal ini produk KI dengan HaKI yang melekat dalam produk tersebut. Sistem ini tergolong unik dan merupakan ciri khas dari HaKI karena dalam cabang hukum lain yang bersifat berwujud (tangible), penguasaan secara fisik dari sebuah benda sekaligus membuktikan kepemilikan yang sah atas benda tersebut. Namun, dalam sistem HaKI, seseorang yang menguasai benda secara fisik tidaklah secara otomatis memiliki hak eksklusif dari benda fisik tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang membeli sebuah buku, maka Pembeli buku tersebut hanya berhak atas buku tersebut (fisik buku) untuk penggunaan secara pribadi dan bukan berarti Pembeli tersebut secara otomatis menjadi pemegang HaKI dari buku yang dibelinya.

24

Tomy Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual di Era Global (Graha Ilmu 2010).[13]

31


e. Prinsip Terbatasnya Perlindungan HaKI Meskipun ada cabang HaKI, yakni merek yang dapat diperpanjang jangka waktu perlindungannya, secara umum jangka waktu perlindungan HaKI tidak bersifat selamanya (jangka waktunya terbatas). Tujuan pembatasan perlindungan ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses HaKI tersebut secara optimal melalui usaha-usaha pengemangan lebih lanjut dan sekaligus mencegah monopoli atas KI tersebut, sehingga konsep mutual advantage sebagaimana dimuat dalam TRIPs Agreement dapat tercapai. f. Prinsip Pengalihan Melanjutkan penjelasan dari prinsip sebelumnya, maksud dari adanya prinsip Pengalihan ini adalah apabila HaKI telah berakhir jangka waktu perlindungannya, maka berlaih menjadi publik domain. HaKI yang telah berakhir jangka waktu perlindungannya akan menjadi milik umum (publik domain). Semua orang berhak untuk mengakses HaKI yang telah berakhir waktu perlindungan. Pasca berakhirnya perlindungan hukum, pemegang HaKI tidak boleh untuk menghalangi atau melakukan tindakan yang seolah-olah masih memiliki hak eksklusif dari produk KI tersebut. Sebagai contoh dalam perjanjian lisensi yang didalamnya terdapat kewajiban membayar royalty pagi pihak licensee tidak boleh dilakukan jika jangka waktu perlindungan HaKI yang menjadi dasar bagi terjadinya perjanjian tersebut telah berakhir. 2.2

Ketentuan Mengenai Hak Prioritas dan Hak Eksklusif dalam Pendaftaran Hak atas Kekayaan Intelektual Sistem Pendaftaran dan Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual Dalam sistem pendaftaran HaKI dikenal terdapat 2 cara pendaftaran HaKI, yaitu:25

25

Tomy Suryo Utomo, Op.Cit.,[41].

32


a. First to File Sistem (Sistem Konstitutif) Sistem pendaftaran ini didasarkan pada pendaftar pertama. Artinya, jika ada dua orang yang mendaftarkan KI pada hari yang sama dengan objek yang sama, maka pihak yang mendaftarkan lebih dahululah yang diprioritaskan untuk diproses. b. First to Use Sistem (Sistem Deklaratif) Sistem ini didasarkan pada pengguna pertama, artinya pemilik KI yang akan didaftar adalah orang yang pertama menggunakan KI tersebut, sistem ini dinamakan juga dengan sistem deklaratif. Melalui pendaftaran HaKI ini, maka negara memberikan perlindungan kepada orang yang memenuhi persyaratan untuk mendaftar, dan akan memberikan hak eksklusif kepada pihak yang telah berhasil melakukan pendaftaran. Perlindungan yang dimaksud berupa penerimaan hak eksklusif yang bersifat monopoli untuk waktu tertentu dan hanya dimiliki oleh orang yang terkait langsung dengan KI yang didaftarkan tersebut.26 Melalui hak eksklusif, pemilik HaKI dapat mencegah orang lain untuk membuat, menggunakan atau berbuat sesuatu terhadap HaKI tersebut tanpa izin.27 Hak eksklusif28 mempunyai dua muatan yaitu hak ekonomi29 untuk memperoleh keuntungan finansial dari perolehan pengakuan HaKI berupa pengalihan dan pemberian izin penggunaan HaKI-nya dengan memperoleh royalti dan hak moral30 yang selalu melekat atas diri si pemilik HaKI yang bersifat tetap dan tidak dapat dialihkan.

26

Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (PT SInar Grafika, 2010).[52]. Ibid. 28 Hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya, sehingga pemegang hak dapat mencegah orang lain untuk meniru atau menggunakan HAKI tanpa izin. (Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia, (Alumni Bandung 2008).[63]). 29 Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas HAKI, (Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HAKI Yang Benar, (Pustaka Yustisia, 2010).[61]). 30 Hak moral adalah hak yang melekap pada pihak yang menghasilkan HAKI yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun. Ada kemanunggalan yang integral antara HAKI dan pihak yang berhasil melahirkan HAKI. (Otto Hasibuan, Loc.CIt.,[69]) 27

33


Hak eksklusif yang diberikan tersebut sesungguhnya berupa hak monopoli untuk jangka waktu yang terbatas, sebagai imbangan yang diberikan negara kepadanya atas banyak pengorbanan yang telah dilakukan untuk perolehan HaKI.31 Hak monopoli tidak untuk selamanya namun hanya dalam jangka waktu tertentu (terbatas). Dalam waktu yang telah ditentukan tersebut hanya yang memiliki hak yang dapat berbuat bebas terhadap HaKInya, sedangkan bagi pihak lain harus mengakui HaKInya tersebut melalui permintaan izin terlebih dahulu untuk dapat berbuat atas HaKI pihak lain dengan membayar sejumlah royalti.32 Apabila menggunakan Hak eksklusif tersebut tanpa izin dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar HaKI pihak lain baik dari aspek perdata maupun dari aspek pidana secara sekaligus.33 Apabila masa perlindungan telah habis, maka hak eksklusif yang bersifat ekonomis menjadi lenyap, maka si pemilik HaKI tidak lagi dilindungi dalam penggunaan HaKI nya berarti hak eksklusifnya hilang dan pihak lain dapat mempergunakan HaKI tersebut secara bebas, tanpa izin dan tanpa royalty. Lenyapnya hak eksklusif penguasaan HaKI yang telah habis masa perlindungannya beralih mempunyai fungsi sosial.34 Ada 2 jenis hak yang dimana pendaftaran bukan menjadi unsur yang dipersyaratkan, yakni hak cipta dan hak atas rahasia dagang. Perlindungan hak cipta lahir pada saat ide telah diwujudkan ke dalam bentuk nyata (fixation). Oleh karena itu, hak cipta ini tidak memerlukan pendaftaran guna memperoleh perlindungan, perlindungan tersebut ada secara otomatis ketika ide tersebut kemudian telah diwujudkan, walaupun beberapa negara mencantumkan juga tentang pendaftaran hak cipta, namun tujuan pendaftaran tersebut adalah sebagai alat bukti di pengadilan jika terjadi sengketa terhadap hak cipta yang dimiliki seseorang.35 31

Adrian Sutedi, Op.CIt. Ibid. 33 Haris Munandar, Mengenal HaKI , Hak Cipta, Paten, Merek, dan Seluk Beluknya (Erlangga, 2010).[40] 34 Maria Alfons, Op.CIt. 35 Sufiarna, Op.Cit. 32

34


Perlindungan bagi rahasia dagang tidak memerlukan adanya syarat untuk pendaftaran, mengingat sifat “rahasia� dari rahasia dagang perihal informasi yang tidak boleh diketahui oleh publik. Namun, perjanjian lisensi terkait rahasia dagang masih tetap dapat didaftarkan. Hanya saja yang didaftarkan adalah syarat dan isi perjanjiannya, bukan rahasia dagang itu sendiri.36 Namun, HaKI selain hak cipta dan rahasia dagang, memperoleh perlindungan hukum karena pendaftaran. Dengan adanya pendaftaran akan diperoleh perlindungan bagi pemilik HaKI berupa perolehan hak eksklusif, sehingga tanpa adanya upaya pendaftaran tidak akan ada perlindungan, maka dari itu pemilik HaKI dalam konteks ini tidak akan pula memperoleh hak eksklusif.37 Pendaftaran HaKI memberikan konsekuensi pada adanya perlindungan, tetapi perlindungan yang diberikan bersifat teritorial, dimana perlindungan hanya diperoleh di dalam wilayah negara dimana pendaftaran itu dilakukan.38 Di negara lain yang belum dilakukan pendaftaran HaKI tersebut tentu tidak akan memperoleh perlindungan hukum. Hak Prioritas dan Hak Eksklusif Dalam Pendaftaran Hak atas Kekayaan Intelektual Prinsip teritorial yang kemudian diterapkan dalam proses pendaftaran suatu KI, tentu akan menjadi suatu sebilah mata pedang. Di satu sisi, akan memberikan perlindungan yang maksimal bagi KI yang telah didaftarkan dalam suatu negara, namun seiring dengan perkembangan zaman yang semakin cepat tentu akan membawa konsekuensi dalam perdagangan internasional, sehingga dapat ditemukannya produk KI tersebut di negara lain tentu akan memperbesar peluang bagi pihak lain yang tidak berhak yang kemudian akan menikmati hak ekonomi atas produk KI tersebut di luar

36

Tomy Suryo Utomo, Op.CIt. Ibid. 38 Sufiarna, Op.CIt. 37

35


wilayah negara yang telah mendapatkan pendaftaran atas produk KI tersebut.39 Tentu hal tersebut akan menimbulkan ketidakadilan bagi si pemilik HaKI, yakni tidak diakui hak eksklusif atas produk KI tersebut. Namun, keadaan ini dapat diantisipasi dengan adanya hak prioritas dalam perlindungan HaKI di negara lain. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris Tentang Pelindungan Kekayaan Industri (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan perjanjian internasional dimaksud.40 Hak Prioritas ini merupakan aspek perlindungan dalam HaKI di negara lain (bukan negara asal inventor/diciptakannya KI) yang tidak dapat dilepaskan dari perdagangan internasional.41 Hak Prioritas berasal dari Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works yang asasasasnya telah digabungkan di dalam TRIP’s Agreement. Beberapa poin-poin penting terkait hak prioritas antara lain:42 a. Penanganan nasional atau similasi nasional yang mengatur bahwa sejauh berkaitan dengan milik industrial, setiap Anggota harus memberikan perlindungan yang sama kepada warga Negara dari Negara anggota lain sebagaimana ia berikan kepada warga negaranya sendiri. Penanganan seperti ini dikenal dengan principle of national treatment. Inti dari national treatment adalah pada pemberlakuan yang

39

Ibid. Vide Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Hak Paten. 41 H.OK.Saidin, Mengenal Hukum Hak Kekayaan Intelektual (PT. Raja Grafindo, 2003).[39]. 42 Sufiarna, Op.CIt. 40

36


sama dalam kaitannya dengan perlindungan KI antara yang diberikan kepada warga Negara sendiri maupun warga Negara lain.43 b. Penggunaan hak prioritas atas dasar permintaan pendaftar pertama di Negara anggota, Pemohon dalam periode tertentu (6 – 12 bulan) dapat meminta perlindungan, seolah-olah didaftarkan pada hari yang sama pada permintaan pertama. Khusus bagi negara bukan anggota diberlakukan asas principle of independence, artinya pemberian HaKI di suatu Negara tidak mewajibkan negara lain untuk memberikan HaKI. Inti dari pengertian prioritas adalah menggunakan tanggal penerimaan permintaan pendaftaran (filling date).44 Jadi hak prioritas berkaitan dengan jangka waktu pendaftaran yang memberikan anggapan mendaftar lebih awal dari fakta yang sesungguhnya. Berarti disini hak prioritas didasarkan pada adanya permohonan, dan tidak terjadi dengan sendirinya secara otomatis. Maksud dari pengertian prioritas adalah dengan menggunakan dan menempatkan tanggal penerimaan yang dianggap sama dengan tanggal penerimaan di negara asal. 45 Dianggap sama tentunya dalam arti seolah-olah, bukan yang sesungguhnya. Berarti ini adalah suatu fiksi suatu anggapan. Fiksi berarti bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai suatu hal yang benar. Dengan kata lain bahwa kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.46 Bahwa tiap-tiap konstruksi atau pembentukan pengertian terletak sesuatu fiksi, karena orang hanya melihat sifat-sifat dari sesuatu yang konkrit yang bersamaan dengan sifat-sifat yang lain menjadi sifat-sifat yang umum dan mengabrasinya dari sifat-sifat khusus.47 Dengan pelaksanaan pendaftaran HaKI di negara lain, maka secara yuridis HaKI yang telah didaftarkan tersebut memperoleh perlindungan

Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIP’s (Alumni 2005).[24]. Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis (Ghalia Indonesia 2010).[135]. 45 Tomy Suryo Utomo, Op.CIt. 46 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Pradnya Paramita, 1996).[407]. 47 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Citra Aditya Bakti, 2012),[32]. 43 44

37


dengan mendapatkan hak eksklusifnya di negara tersebut selama jangka waktu perlindungan. Bagi negara-negara sesama anggota Paris Convention jo. Berne Convention, dalam pendaftaran HaKI bagi warga asing dapat menggunakan permohonan dengan hak prioritas, dalam arti HaKI didaftarkan dengan maksud memperoleh perlindungan, serta dengan hak prioritas maka perlindungan berupa hak eksklusif itu dianggap sudah ada sebelum pendaftaran dilakukan.48 Sebelum pendaftaran dalam arti, perlindungan telah dianggap ada pada sejak penerimaan pendaftaran di negara asal. Bagi pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan HaKI yang didaftarkan tersebut, baik sebelum ataupun sesudah pendaftaran HaKI dapat dikenakan tuntutan ganti rugi atau dilaporkan melakukan tindak pidana dan penyelesaian menurut hukum.49 Prinsip pokok dalam Paris Convention jo. Berne Convetion adalah tidak diperkenankan negara peserta konvensi melakukan diskriminasi terhadap negara sesama peserta anggota Paris Convention jo. Berne Convetion. Jadi tidak ada alasan untuk lebih memprioritaskan warga negaranya dibandingkan dengan warga negara lain. Dalam regulasi HaKI di Indonesia pengaturan hak prioritas dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan berikut: a). Pasal 1 angka 12 UU Varietas Tanaman; b) Pasal 1 angka 12 UU DITLST; c) Pasal 1 angka 10 UU Hak Paten; d) Pasal 1 angka 17 UU MIG; dan e) Pasal 4 Permen HumHAM Permohonan Paten. 2.3

Implementasi Perlindungan KI Mencerminkan Konsep Negara Hukum Sering

dikatakan

bahwa

perlindungan

KI

dapat

menunjang

pembangunan ekonomi masyarakat yang menerapkan sistem KI. Dalam hasil kajian yang dilakukan oleh WIPO dinyatakan bahwa KI merupakan sebuah

48 49

Haris Munandar, Op.CIt. Ibid.

38


kekuatan yang dapat dipergunakan untuk memperkaya kehidupan seseorang dan masa depan suatu bangsa secara material, budaya, dan social.50 Perlindungan terhadap KI dimulai dari teori hukum alam yang menyatakan bahwa KI merupakan the absolut ownership atau kepemilikan yang mutlak. Teori ini mendorong perlunya perlindungan terhadap KI demi memajukan dan mengembangkan ide-ide dan inovasi baru dalam KI. Perlindungan tersebut membutuhkan peran Pemerintah dalam mewujudkan fungsinya sebagai pemerintahan negara, dimana wewenang ada pada lembaga pemerintahan sebagai alat negara.51 Wewenang ini timbul karena secara atributif diberi wewenang oleh undang-undang (wewenang delegatif).52 Perlindungan atas KI dalam kaitannya dengan peran negara adalah bagaimana Negara mewujudkan cita hukum sebagaimana diatur dalam pembukaan UUD NRI 1945. Cita perlindungan dengan konsep tanggung jawab Pemerintah adalah untuk melindugi seluruh rakyatnya, hal ini telah diatur secara eksplisit dalam UUD NRI 1945 yang telah memberikan pengaturan yang bersifat perlindungan (protection) dan promosi (promotion) terhadap kesejahteraan rakyat.53 Ketika membaca Konstitusi sebuah negara, tentu tidak hanya terhenti pada teks yang tercantum dalam Konstitusi negara tersebut. Namun, harus ada telaah yang lebih mendalam dalam membacanya agar ditemukan prinsipprinsip yang terkandung di dalamnya. Tugas “melindungi” oleh negara terhadap rakyatnya merupakan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 34.54

Ni Ketut Supasti Dharmawa dan Wayan Wiryawan, ‘Keberadaan dan Implikasi Prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment Dalam Pengaturan Hak kekayaan Intelektual di Indonesia’ (2014), Volume 6 No. 02 Jurnal Magister Hukum Udayana.[357-368]. 51 A.V.Dicey, Introduction to The Study of The Law of The Constitution (Macmillan and Co.Limited 1952).[202‐203]. 52 Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi (Liberty, 2000).[21]. 53 Moh.Mahfud MD., Hukum dan Pilar ‐ Pilar Demokrasi (GamaMedia 1999).[12]. 54 Vide Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 50

39


Satjipto Rahardjo mengkonsepsi bahwa, negara hukum Indonesia sebagai negara yang peduli atau negara dengan kepedulian.55 Selanjutnya ditegaskan pula bahwa sebagai jaminan konstitusional, negara wajib mengembangkan kebijakan kesejahteraan yang bersifat affirmative action bagi kepentingan warga masyarakatnya.56 Sebagai contoh dapat kita lihat perlindungan hak cipta pada Folklore dalam UU Hak Cipta yang mengatur bahwa “Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara,�57 dimana folklore dari hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya masuk dalam salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi budaya tradisional.58 Hal ini menggambarkan bahwa sebagai negara hukum yang mempunyai seperangkat peraturan perundang-undangan dalam sistem hukumnya tentu saja tidak menafikan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai living law.59 Terkait dengan potensi yang sangat besar atas perwujudan KI yang dilindungi oleh negara, Indonesia sebagai salah satu sibyek dalam hukum internasional tentunya terikat dnegan hukum-hukum yang berlaku berdasarkan perjanjian internasional dalam konvensi-konvensi yang telah diratifikasi. Pada titik persoalan perlindungan KI sebagai kekayaan bangsa, maka ini menjadi suatu yang sangat krusial. Sebab secara realita masih sangat jauh dari harapan untuk bagaimana Pemerintah dapat mengakomodir KI bangsa Indonesia sebagai suatu harta yang perlu mendapatkan perlindungan. Sejumlah peraturan dibidang KI telah diterapkan di masyarakat, tetapi masih saja masyarakat belum mau melakukan perlindungan atas KI mereka.

55

Satjipto Rahardjo, Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat, (PT Angkasa, 1980).[78]. Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Usaha Negara Indonesia (Alumni 1997).[29]. 57 Vide Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 58 Vide Penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 59 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia (Bina Ilmu Surabaya 1987).[2]. 56

40


Memang dalam tahapan perlindungan KI, Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk melindungi KI, seperti diadakannya pelatihan, seminar, maupun sosialisasi dan atau implementasi akan tetapi kesadaran untuk melakukan perlindungan yang belum berjalan secara efektif.60 Banyak sekali HaKI Indonesia dipergunakan tanpa melakukan pendaftaran karena masyarakat Indonesia masih berpikir bahwa kekayaan yang ada hanya dipakai oleh mereka saja, dan pihak luar dapat memakai atau memilikinya apabila membutuhkan. Dari segi substansi, apabila dikaji dari ciri khas sebuah negara hukum, maka perlindungan terhadap KI pada dasarnya telah dilaksanakan untuk melindungi kekayaan bangsa sekaligus melindugi hak asasi manusia. Hanya saja penegakan hukum KI harus tetap berjalan. Maka dari itu, keberadaan hak eksklusif maupun hak prioritas dapat menjamin adanya perlindungan KI bangsa Indonesia dari klaim bangsa lain maupun meminimalisir potensi pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang mengklaim KI bangsa lain.

III. PENUTUP Dalam HaKI terdapat beberapa prinsip-prinsip umum yang berlaku, seperti prinsip HaKI sebagai hak eksklusif, prinsip perlindungan HaKI berdasarkan pendaftaran, prinsip teritorial dalam perlindungan HaKI, prinsip pemisahan (separation), prinsip terbatasnya perlindungan HaKI, dan prinsip pengalihan. Selain itu, dalam rezim peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah mengatur ketentuan mengenai hak eksklusif dan hak prioritas dalam pendaftaran hak atas kekayaan intelektual, dimana hak eksklusif diberikan kepada segala jenis KI yang ditemukan inventor pada saat KI ditemukan atau digunakan (sesuai prinsip deklaratif), seperti hak cipta maupun rahasia dagang maupun didaftarkan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI (sesuai prinsip konstitutif), seperti paten, merek, desain industri/industrial design, Daniel Hendrawan, ‘Ekonomi Kreatif dan Merek’ (2015), Volume 4 No. 01 Jurnal Zenit.[247-258]. 60

41


tata letak sirkuit terpadu, dan varietas tanaman. Sementara hak prioritas hanya diadposi dibeberapa ketentuan perundang-undangan, seperti a). Pasal 1 angka 12 UU Varietas Tanaman; b) Pasal 1 angka 12 UU DITLST; c) Pasal 1 angka 10 UU Hak Paten; d) Pasal 1 angka 17 UU MIG; dan e) Pasal 4 Permen HumHAM Permohonan Paten. Maka dari itu, hak eksklusif dan hak prioritas yang merupakan hak khusus bagi pemilik KI dinilai efektif memberikan perlindungan atas produk KI tanpa meninggalkan hak masyarakat untuk menikmati manfaat atas produk KI tersebut (mutual advantage). Sehingga cita negara hukum yang melindugi HAM, termasuk hak pribadi atas KI yang diciptakannya disamping hak masyarakat untuk menggunakan KI guna mencapai kesejahteraan umum yang menjadi dasar konstitusi Indonesia sebagai negara hukum dapat tercapai secara seimbang (mutual advantage).

42


DAFTAR PUSTAKA

Buku Afrillya, Purba [et.al.], TRIP’s-WTO dan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, (Rineka Cipta 2005). Apeldoorn, Van, Pengantar Ilmu Hukum (Pradnya Paramita, 1996). Dicey, A.V., Introduction to The Study of The Law of The Constitution (Macmillan and Co.Limited 1952). Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Panduan Hak Kekayaan Intelektual Dilengkapi dengan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, (Ditjen HKI-ECAP, 2006) Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia (Depdag RI 2008). Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia (Bina Ilmu Surabaya 1987). Hariyani, Iswi, Prosedur Mengurus HAKI Yang Benar, (Pustaka Yustisia, 2010). Hasibuan, Otto, Hak Cipta di Indonesia, (Alumni Bandung 2008). Hill, Napoleon. Think and Grow Rich (Ramala Books 2007) Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Usaha Negara Indonesia (Alumni 1997). MD., Moh.Mahfud, Hukum dan Pilar � Pilar Demokrasi (GamaMedia 1999). Munandar, Haris, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek, dan Seluk Beluknya (Erlangga, 2010). Purba, Ahmad Zen, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs (Alumni 2005). Purwaningsih, Endang, Hukum Bisnis (Ghalia Indonesia 2010). Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum (Citra Aditya Bakti, 2012), _______________, Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat, (PT Angkasa, 1980). Riswandi, Budi Agus dan Syamsudin, Hak Kekekayaan Intelektual dan Budaya Hukum (Raja Grafindo Persada 2005). Saidin, H.OK., Mengenal Hukum Hak Kekayaan Intelektual (PT. Raja Grafindo, 2003). Sardjono, Agus. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, (Alumni 2006).

43


Sutedi, Adrian, Hak Atas Kekayaan Intelektual (PT SInar Grafika, 2010). Thaib, Dahlan Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi (Liberty, 2000). Utomo, Tomy Suryo, Hak Kekayaan Intelektual di Era Global (Graha Ilmu 2010).

Jurnal Alfons, Maria, ‘Implementasi Hak Kekayaan Intelektual Dalam Perspektif Negara Hukum’ (2017), Volume 14 No. 03 Jurnal Legislasi Indonesia. Asri, Dyah Permata Budi, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Kebudayaan Melalui World Heritage Centre UNESCO’ (2018), Volume 25 No. 02 Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. Dharmawa, Ni Ketut Supasti dan Wayan Wiryawan, ‘Keberadaan dan Implikasi Prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment Dalam Pengaturan Hak kekayaan Intelektual di Indonesia’ (2014), Volume 6 No. 02 Jurnal Magister Hukum Udayana. Hendrawan, Daniel, ‘Ekonomi Kreatif dan Merek’ (2015), Volume 4 No. 01 Jurnal Zenit. Rongiyati, Sulasi, ‘Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Pada Produk Ekonomi Kreatif’ (2018), Volume 9 No. 01 Jurnal Negara Hukum. Sufiarna, ‘Hak Prioritas dan Hak Eksklusif Dalam Perlindungan HKI’ (2018), Volume 03 No. 02 Jurnal Hukum Adil. Zoelva, Hamdan, ‘Globalisasi dan Politik Hukum HaKI’ (2011), Voleme X No. 3 Law Review.

Internet Tempo.co, ‘Malaysia Sudah Tujuh Kali Mengklaim Budaya Indonesia’, (Tempo.co, 2012) <https://nasional.tempo.co/read/411954/malaysiasudah-tujuh-kali-mengklaim-budaya-ri>, diakses pada 14 Januari 2020.

Makalah Antariksa, Basuki. ‘Peluang dan Tantangan Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional’ Dalam Konsinyering Pencatatan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2011).

44


Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4044). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain dan Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Hak Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953). Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 35). Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2018 tentang Permohonan Paten (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1764).

45


PENGATURAN DAN PEMIDANAAN SUBYEK HUKUM KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Tri Prasetyo Dharma Yoga Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Dalam menghadapi era globalisasi dimana perdagangan menjadi semakin masif yang sudah tidak terbatas ruang dan waktu, perlindungan hak kekayaan intelektual para pelaku usaha dipandang sebagai suatu hal yang fundamental dan esensial demi mewujudkan persaingan usaha yang sehat. Hak kekayaan intelektual merupakan sektor strategis dalam kelangsungan sebuah kegiatan usaha, akibatnya banyak pelaku usaha menempuh berbagai cara untuk mempertahankan eksistensi usahanya, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya tindak pidana di bidang hak kekayaan intelektual yang dilakukan subyek hukum orang perseorangan maupun korporasi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui Pengaturan Subyek Hukum Korporasi dalam Peraturan Perundang-undangan Sebagai Pelaku Tindak Pidana di Bidang Hak Kekayaan Intelektual dan Proses Pemidanaan Subyek Hukum Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana di Bidang Hak Kekayaan Intelektual. Hasil studi ini menjelaskan terdapat kurangnya kepastian hukum, juga ketidakseragaman aturan dalam pengaturan subyek hukum korporasi dan juga mengenai proses pemidanaan subyek hukum korporasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur hak kekayaan intelektual. Kata Kunci: Tindak Pidana, Korporasi, Hak Kekayaan Intelektual, Proses Pemidanaan Korporasi, Teori Pemidanaan Korporasi ABSTRACT In the globalization era where trade is becoming increasingly massive withouth the limitation of space and time, the protection of intellectual property rights of business actors is seen as fundamental and essential for the realization of fair business competition. Intellectual property rights are a strategic sector in the continuity of a business activity. As a result many business actors take various ways to maintain the existence of their business, so that it does not rule out the possibility of criminal acts in the field of intellectual property rights carried out by individual or corporate legal subjects. This study aims to determine the Arrangement of Corporate Legal Subjects in Legislation as Actors of Criminal Acts in the Field of Intellectual Property Rights and the Criminal Process of Corporate Legal Subjects Committing Crimes in the Field of Intellectual Property Rights. The results of this study explain the lack of legal certainty, the non-uniformity of the provisions in the regulation of corporate legal subjects and also the criminal proceedings of corporate legal subjects in various statutory regulations governing Intellectual Property Rights. Keywords: Criminal Act, Corporation, Intelectual Property Rights, Corporate Criminalization Process, Theory of Corporate Criminalization

46


I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Dalam menghadapi era globalisasi dimana perdagangan menjadi semakin masif

yang sudah tidak terbatas ruang dan waktu, perlindungan hak kekayaan intelektual para pelaku usaha dipandang sebagai suatu hal yang fundamental dan esensial demi mewujudkan persaingan usaha yang sehat. Sebagaimana telah dipahami, Hak Kekayaan Intelektual biasa disebut HKI atau Intellectual Property Rights (IPR)1 pada dasarnya merupakan hak yang lahir berdasarkan hasil karya intelektual seseorang. HKI merupakan konstruksi hukum terhadap perlindungan kekayaan intelektual sebagai hasil cipta karsa pencipta atau penemunya. 2 Apabila ditarik lebih jauh lagi secara substansif, maka pengertian HKI dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. HKI dikategorikan sebagai hak atas kekayaan megingat HKI pada akhirnya menghasilkan karya-karya intelektual berupa: pengetahuan, seni, sastra, teknologi, dimana dalarn mewujudkannya membutuhkan pengorbanan tenaga, waktu, biaya dan pikiran. 3 Persaingan usaha yang ketat akibat arus globalisasi yang ditandai dengan masuknya berbagai produk asing ke pasar nasional, ataupun produk nasional ke pasar asing semakin membuka peluang terjadinya pelanggaran kekayaan intelektual. Hal tersebut dapat terjadi karena para pelaku usaha berupaya mempertahankan dan menjalankan bisnisnya. Pelaku usaha dituntut untuk dapat beradaptasi dengan 1

Pada dasarnya, Intellectual Property Rights (IPR) sudah dikenal sejak lama untuk melindungi hasil kreativitas manusia dan perdagangan. Pada awalnya berlaku pada merek dagang yang telah berlangsung sejak 3500 tahun yang lalu, ketika para perajin gerabah menjadikan suatu tanda (merek) tertentu dari hasil keahliannya tersebut. Tidak ada pemahaman tunggal di seluruh dunia tentang IPR, meskipun banyak negara telah mengakui beberapa jenis IPR, seperti paten, hak cipta, merek dagang, rahasia dagang, dan desain industri. Perkembangan selanjutnya, dipengaruhi perkembangan perdagangan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memunculkan kreativitas baru dalam semua jenis IPR, misalnya musik, photografi, film, program komputer, dan inovasi teknologi baru. Dorris Estelle dan Anthony D’Amato, A Coursebook in International Intellectual Property (West Group, ST. Paul. 2000). [10–11]. Hal senada juga diungkapkan oleh Rocque Reynolds dan Natalie Stoianoff, ‘Intellectual Property, Text and Essential Cases, Second Edition’ (The Federation Press 2005).[1]. 2 Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi (Mandar Maju 2012).[1]. 3 Budi Agus Riswandi,[et.,al], Hak Kekayaan lntelektual dan Budaya Hukum, (Raja Grafindo Persada 2004).[31].

47


perkembangan zaman, yaitu dengan melakukan berbagai inovasi maupun strategi lainnya terhadap bisnisnya. Karena itu, agar tetap dapat bersaing dalam suatu pasar, tidak jarang banyak pelaku usaha menempuh berbagai cara untuk mempertahankan eksistensi usahanya, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya tindak pidana di bidang hak kekayaan intelektual yang dilakukan oleh subyek hukum 4, baik orang perseorangan maupun korporasi. Oleh karenanya, dengan memperhatikan kenyataan dan kecenderungan seperti itu maka menjadi hal yang dapat dipahami adanya tuntutan kebutuhan bagi pengaturan dalam rangka perlindungan hukum yang memadai, apalagi beberapa Negara semakin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk-produk yang hasilnya atas dasar kemampuan intelektualitas manusia seperti karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.5 Maka diperlukan aturan yang jelas dan tegas yang mengatur bagaimana perlindungan kekayaan intelektual apabila terjadi pelanggaran tersebut, sebagaimana pada dasarnya HKI merupakan konstruksi hukum terhadap perlindungan kekayaan intelektual sebagai hasil cipta karsa pencipta atau penemunya. 6 Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, pada awal berkembangnya hukum pidana baik di dunia termasuk Indonesia sendiri, subyek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana hanyalah orang perseorangan (natuurlijk persoon)7, hal tersebut dapat terjadi karena pemidanaan subyek hukum tidak terlepas dari asas tiada pidana tanpa kesalahan atau actus non facit reum nisi men sit rea. Sehingga, pada awalnya hanya orang perseorangan saja yang dapat menjadi subyek

4

Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Liberty 2003).[73]. 5 Sentosa Sembriring, Prosedur Dan Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Inteltual (Yrama Widya 2002).[5]. 6 Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi (Mandar Maju 2012).[1]. 7 Terkait subyek hukum tersebut, berbeda dengan yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengatur subyek hukum terbatas pada orang. Hal ini dapat dilihat pada rumusan-rumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir dari pelaku tindak pidana dan juga terlihat dari wujud pidana yang termuat dari pasal-pasal KUHP, yaitu pidana penjara, kurungan, dan denda. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Refika Aditama 2003).[59].

48


hukum dalam hukum pidana.8 Tetapi dalam perkembangan berbagai teori atau doktrin oleh para ahli hukum di dunia, perlahan suatu korporasi diakui keberadaannya sebagai subyek hukum dalam ilmu hukum pidana, yang mana hal tersebut juga diakui dalam hukum pidana Indonesia. Dalam hukum pidana Indonesia, korporasi mulai diakui sebagai pelaku tindak pidana, sementara tanggung jawab atas tindak pidana masih dibebankan kepada pengurusnya, seperti dianut dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api.9 Baru pada Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, tidak hanya mengakui eksistensi korporasi sebagai subyek hukum, tetapi juga menjelaskan tentang pertanggungjawabannya. Perkembangan lebih lanjut kemudian termuat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang pada undang-undang tersebut telah mengatur prosedur dan tanggung jawab korporasi terhadap tindak pidana yang dilakukan. Lebih lanjut, Mahkamah Agung juga telah mengakomodir proses penjatuhan pidana terhadap korporasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penangangan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Senada dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Tindak 8

Hal ini tidak terlepas dari actus non facit reum nisi men sit rea yang mengartikan bahwa untuk dapat dipidananya suatu subyek hukum, perlu dibuktikan kesalahan yang melekat pada dirinya, dengan demikian apabila tidak ada kesalahan dalam pelaku tindak pidana, maka tidak ada tindak pidana. Oleh karena itu terdapat perbedaan pandangan oleh para ahli hukum di dunia, yaitu terkait apakah korporasi memiliki mens rea atau sikap batin untuk dapat melakukan suatu tindak pidana. sebagaimana Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa actus reus merupakan unsur suatu delik, sedangkan mens rea termasuk pertanggungjawaban pembuat. Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan. Oleh karena suatu pemidanaan terhadap subyek hukum perlu dibuktikan. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I (Sinar Grafika 1995).[35]. 9 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana (Aksara Baru 1983).[47].

49


Pidana Korupsi, beberapa produk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang HKI pada hakikatnya telah mengatur ketentuan subyek hukum korporasi. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta10; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten11; dan 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis 12. Namun, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, ketiganya belum diatur secara expressive verbis apakah korporasi dapat menjadi subyek hukum apabila terjadi suatu tindak pidana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan a quo. Berangkat dari permasalahan di atas mengenai bagaimana kedudukan subyek hukum korporasi dan juga pemidanaan korporasi dalam tindak pidana di bidang HKI, maka Penulis berusaha menuangkan ide dan pemikiran dalam sebuah penulisan hukum ini yang berjudul “Pengaturan dan Pemidanaan Subyek Hukum Korporasi dalam Tindak Pidana Hak Kekayaan Intelektual�. 1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang

terkandung dalam penulisan hukum ini, yaitu sebagai berikut: 1.2.1. Bagaimana pengaturan subyek hukum korporasi dalam peraturan perundang-undangan sebagai pelaku tindak pidana di bidang hak kekayaan intelektual?

10

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang dimaksud Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 11 Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, yang dimaksud Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 12 Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 19 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang dimaksud Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.

50


1.2.2. Bagaimana proses pemidanaan subyek hukum korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang hak kekayaan intelektual? 1.3

Dasar Hukum Terdapat beberapa dasar hukum yang relevan dengan pembahasan penulisan

hukum ini, yaitu sebagai berikut: 1.3.1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana; 1.3.2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang; 1.3.3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri; 1.3.4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu; 1.3.5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta; 1.3.6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten; 1.3.7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis; 1.3.8. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 1.3.9. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi; 1.3.10. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; 1.3.11. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 1.3.12. Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api; 1.3.13. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi; 1.3.14. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penangangan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi; dan 1.3.15. Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara dengan Subjek Hukum Korporasi.

51


II.

ANALISIS

2.1

Pengaturan subyek hukum korporasi dalam peraturan perundangundangan sebagai pelaku tindak pidana di bidang hak kekayaan intelektual. Dalam konteks ilmu hukum, subyek hukum secara garis besar dibagi menjadi 2

(dua), yaitu orang perseorangan (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtpersoon). Kemudian mengenai alasan badan hukum (rechtpersoon) dapat menjadi subyek hukum adalah karena badan hukum (rechtpersoon) merupakan kumpulan dari manusia yang memiliki tujuan tertentu yang bertindak sebagai satu kesatuan dalam lalu lintas hukum selayaknya orang yang dapat menyandang hak dan kewajiban. 13 Pada dasarnya, pengaturan mengenai subyek hukum sendiri didasarkan pada bagaimana suatu subyek dapat mengemban hak dan kewajiban hukum. Bahwa implikasi pentingnya perumusan suatu subyek hukum dengan konteks hukum pidana yaitu mengenai apakah suatu subyek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atau kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvarbaarheid) yang akan Penulis jelaskan lebih lanjut pada sub-bab selanjutnya. Berkaitan denagn pengertian korporasi, Kenneth S. Ferber berpendapat bahwa korporasi adalah orang buatan. Korporasi dapat melakukan apa saja yang dapat dilakukan oleh manusia alamiah. Korporasi dapat membeli dan menjual properti, baik yang nyata secara pribadi dan atas namanya sendiri. Hal ini menyebabkan korporasi dapat menuntut dan dituntut secara resmi atas namanya sendiri.14 Rudi Prasetya menyatakan istilah Korporasi merupakan sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain khususnya perdata, sebagai Badan Hukum atau yang biasa dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtpersoon, atau yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.15 Sedangkan Utrecht mengartikan badan hukum (rechtpersoon)

13

Soedikno Mertokusumo, Op.Cit., 74. Kristian, Kejahatan Korporasi di Era Modern & Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Refika Aditama 2017).[161-162]. 15 Muladi,[et.,al], Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana (STHB , 1991).[13]. 14

52


merupakan badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau yang lebih tepatnya bukanlah manusia.16 Apabila dicermati lebih lanjut, sebenarnya terdapat perbedaan pandangan terhadap makna daripada korporasi dan badan hukum, yang dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelompok. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa batasan pengertian korporasi merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata. Artinya korporasi sama dengan badan hukum, karena korporasi adalah istilah yang digunakan oleh sebagian ahli hukum pidana untuk menggantikan istilah yang digunakan oleh ahli hukum perdata, yaitu badan hukum. Kedua, kalangan yang tidak mempermasalahkan apakah korporasi itu berarti badan hukum atau bukan. Ketiga, pendapat yang menyatakan korporasi bisa dan tidak selalu harus berbentuk badan hukum, sebab pengertian korporasi dalam hukum perdata dibatasi sebagai badan hukum, sedangkan pengertian korporasi dalam hukum pidana lebih luas, sehingga korporasi diartikan luas yaitu merupakan badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum.17 Konsekuensi yuridis dari perbedaan pandangan tersebut adalah terjadinya ketidakseragaman pemaknaan subyek hukum sebuah korporasi. Sebagai contoh, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU PTPK), yang dimaksud dengan unsur setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.18 Sedangkan yang dimaksud korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik

16

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Gramedia Pustaka Utama 2003).[99]. 17 Munir Fuady, Teori-Teori Garis Besar (Grand Theory) Dalam Hukum (Kencana 2013).[144]. 18 Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

53


merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.19 Selaras dengan UU PTPK, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut dengan UU PPTPPU), pada pokoknya memaknai korporasi sama seperti UU PTPK. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa dalam kedua peraturan perundang-undangan a quo, memaknai korporasi berbeda dengan badan hukum. Karena tidak semua korporasi adalah sebuah badan hukum. Sedangkan dalam konteks hukum di bidang HKI, dalam ketentuan pidana yang diatur baik dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta 20 (selanjutnya disebut dengan UU Hak Cipta), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten21 (selanjutnya disebut dengan UU Paten); maupun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis22 (selanjutnya disebut dengan UU MIG), ketiganya mengartikan bahwa subyek hukum yang diakui dalam produk peraturan perundang-undangan a quo hanyalah badan hukum.23 Hal ini tentunya mengganggu keselarasan dan kepastian hukum (legal certainty) dalam hal terjadi sebuah tindak pidana di bidang HKI yang dilakukan oleh suatu korporasi.24 19

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi 20

Pada Pasal 112 hingga Pasal 118 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam rumusan deliknya adalah Setiap Orang. Kemudian, lebih lanjut dalam Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang dimaksud Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 21 Pada Pasal 161 hingga Pasal 164 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam rumusan deliknya adalah Setiap Orang. Kemudian, lebih lanjut dalam Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, yang dimaksud Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 22 Pada Pasal 100 hingga Pasal 102 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam rumusan deliknya adalah Setiap Orang. Kemudian, lebih lanjut dalam Pasal 1 butir 19 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang dimaksud Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 23 Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut dalam bab ketentuan umum menyatakan bahwa orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 24 Sebagaimana telah dijelaskan pula, bahwa pada dasarnya ada korporasi yang berbadan hukum dan ada korporasi yang bukan berbadan hukum. Apabila dicermati, Mulhadi menjelaskan baik secara teoritis maupun ditnjau dari status hukumnya, bentuk usaha atau perusahaan memiliki dua bentuk: a. bentuk usaha atau perusahaan bukan berbadan hukum; dan b. bentuk usaha atau perusahaan badan

54


Karena oleh Mulhadi25 ada yang berbadan hukum ataupun bukan berbadan hukum apabila ditinjau dari status hukumnya. Perusahaan yang bukan badan hukum meliputi bentuk-bentuk perusahaan sebagai berikut: 1. Perusahaan Perseorangan, yang wujudnya berbentuk Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD); 2. Persekutuan, yang wujudnya terdiri dari bentuk-bentuk: a. Perdata (maatschap); b. Persekutuan Firma (Fa); dan c. Persekutuan Komanditer (CV). Sedangkan perusahaan berbadan hukum meliputi bentuk-bentuk perusahaan antara lain sebagai berikut: 1. Maskapai Andil Indonesia (IMA); 2. Perseroan Terbatas; 3. Koperasi; dan 4. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), baik Perusahaan Perseroan (Persero); dan Perusahaan Umum (Perum). Oleh sebab itu, maka semakin sukar untuk diperoleh kepastian hukum dalam hal terjadi tindak pidana di bidang HKI oleh suatu korporasi. Karena apabila yang melakukan tindak pidana adalah korporasi yang bukan berbadan hukum, maka korporasi tersebut tidak dapat diakui sebagai subyek delik, karena sesuai dengan prinsip lex certa, yaitu ketentuan undang-undang harus diartikan secara jelas atau merujuk kepada kepastian hukum. Kemudian permasalahan mengenai subyek hukum yang diatur dalam konteks HKI tidak hanya berhenti disitu saja. Dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang26 (selanjutnya disebut dengan UU Rahasia Dagang), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri27 (selanjutnya disebut dengan UU Desain Industri), dan Undang-Undang hukum. Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia (Ghalia Indonesia 2017).[23]. 25 Ibid. 26 Pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam rumusan deliknya adalah barangsiapa. 27 Pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam rumusan deliknya adalah barangsiapa.

55


Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu28 (selanjutnya disebut dengan UU DTLST), ketiganya tidak secara expressive verbis memaknai bahwa korporasi termasuk sebagai subyek hukum dalam peraturan perundangundangan a quo. Hal tersebut dikarenakan bahwa ketiga peraturan perundangundangan a quo menggunakan kata ganti “barangsiapa� dalam rumusan deliknya, sama seperti pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP). Lalu apabila merujuk kepada pernyataan Hazewinkel-Suringa pada bukunya, Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Strafrecht, bahwa pada rumusan delik yang diawali dengan kata “hij die� (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia sebagai barangsiapa) yang menunjuk pada manusia.29 Maka, maksud dari kata barangsiapa adalah bahwa rumusan ketentuan pidana yang ada secara limitatif hanya dimaksudkan atau hanya dapat dimintai pertanggungjawaban kepada orang perseorangan (natuurlijkpersoon), bukan badan hukum (rechtpersoon). Sehingga, apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan

oleh

korporasi,

maka

korporasi

tersebut

tidak

dapat

dimintai

pertanggungjawaban, melainkan pengurus atau pengendali korporasinya saja. Dengan demikian, dalam konstruksi produk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang HKI, subyek hukum korporasi hanya diakui eksistensinya pada UU Hak Cipta, UU Paten; dan UU MIG. Sedangkan, pada UU Rahasia Dagang; UU Desain Industri; dan UU DTLST masih terbatas pada orang perseorangan saja yang menjadi subyek hukum. 2.2

Proses pemidanaan subyek hukum korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang hak kekayaan intelektual. Mengenai bagaimana proses pemidanaan korporasi yang melakukan tindak

piadana di bidang HKI, hemat Penulis perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Awalnya, pertanggungjawaban 28

Pada Pasal 42 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam rumusan deliknya adalah barangsiapa. 29 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia (Rajawali Pers 2016).[83].

56


korporasi didasarkan pada doktrin respondent superior, suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan. Hanya agen-agen yang bertindak untuk dan atas nama korporasi saja yang dapat melakukan

tindak

pidana

dan

memiliki

kesalahan.

Oleh

karenanya,

pertanggungjawaban korporasi merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban atas tindakan orang lain/agen (vicarious liability), dimana ia bertanggung jawab atas tindak pidana dan kesalahan yang dimiliki oleh para agen.30 Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk adanya pertanggungjawaban korporasi, yaitu: agen melakukan suatu tindak pidana (commits a crime); tindak pidana yang dilakukan itu masih dalam ruang lingkup pekerjaannya (within a scope of employment); dan dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan korporasi (with intent to benefit corporation).31 Pada perkembangannya, terdapat teori untuk menilai pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu: Teori Strict Liability, teori ini menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana korproasi semata-mata berdasarkan bunyi undang-undang dengan tanpa memandang siapa yang melakukan kesalahan. Oleh karena itu unsur kesalahan dalam teori ini tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu. Selanjutnya Teori Vicarious Liability, teori ini lebih menekankan pada pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi sebagai agen perbuatan dari korporasi. Teori ini bertolak dari teori respondent superior, berdasarkan pada employment dan the dlegation principle. Kemudian ada Teori Identifikasi, yang disebut dengan teori pertanggungjawaban pidana secara langsung. Menurut teori ini, perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Selanjutnya, Teori Agregasi, yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada badan hukum jika perbuatan tersebut dilakukan oleh sejumlah orang yang memenuhi unsur delik yang mana antara satu dengan yang lain salng terkait dan bukan berdiri sendiri. Lalu yang terakhir ialah Teori Corporate Culture Model, 30

Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kebijakan Legislasi (Prenada Media Group 2017).[100-101]. 31 Ibid

57


teori ini berfokus pada kebijakan badan hukum yang tersurat dan tersirat mempengaruhi cara kerja badann hukum tersebut. Sebagaimana orang perseorangan pada umumnya, apabila ingin menjatuhkan pidana kepada korporasi perlu diperhatikan kemampuan pertanggungjawabannya, yaitu salah satunya berkaitan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan kesalahan. Pada hakikatnya yang dimaksud oleh Moeljatno, asas tiada pidana tanpa kesalahan32 atau geen straf zonder schuld, atau keine strafe ohne schuld, atau actus non facit reum nisi men sit rea, dikenal sebagai salah satu asas penting dalam hukum pidana. 33 Asas kesalahan atau

schuldprinzip

ini

adalah menyangkut

personal

guilt

dan

blameworthiness yang dipersyaratkan untuk bisa menentukan parameter bagi pertanggungjawaban pidana dan pemberian hukumnya. 34 Senada dengan hal tersebut, dasar dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, yang dalam arti sempit kesalaan dapat berupa kesengajaan (opzet) ataupun kelalaian (culpa).35 Untuk Indonesia sendiri, Mahkamah Agung telah memberikan guideline dalam membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh korporasi, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penangangan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi (selanjutnya disebut dengan Perma 13 Tahun 2016). Pada Pasal 4 ayat (2) Perma 13 Tahun 2016, telah dijelaskan syarat dalam menilai sebuah kesalahan korporasi.36 Sehingga implikasinya adalah hakim memiliki 32 Adagium “tiada pidana tanpa kesalahan� dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti: tiada pidana tanpa kesalahan subyektif atau kesalahan tanpa dapat dicela. Tetapi sesungguhnya, pasti dalam hukum pidana, orang tidak dapat berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang patut. Karena itu kesalahan di sini diartikan sebagai: “tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut yang obyektif, yang dapat dicelakakan kepada pelakunya�. D. Schaffmeister,[et.,al]., Hukum Pidana, Liberty Yogya, hlm 82 33 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Rineka Cipta 1993).[153]. 34 Michael Bohlander, Principles of German Criminal Law (Oxford and Portland: Hart Publishing 2002).[20]. 35 H.M. Rasyid Ariman,[et.,al], Hukum Pidana (Setara Press 2016).[207]. 36 Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi sebagaimana ayat (1) antara lain: a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi; b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

58


acuan yang jelas secara legalistis formil dalam menilai kesalahan korporasi, tidak lagi hanya menggunakan doktrin-doktrin yang ada. Namun patut diperhatikan juga dalam Pasal 4 ayat (1) Perma 13 Tahun 2016, menyatakan bahwa “Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana Korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang Korporasi”.37 Hal tersebut menunjukkan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban apabila pada rumusan delik yang dilanggarnya telah mengatur secara expressive verbis eksistensi korporasi sebagai subyek hukum. Akibatnya tidak semua tindak pidana di bidang HKI dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi, seperti UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri, dan UU DTLST, karena ketidakjelasannya dalam mengatur kedudukan korporasi sebagai subyek hukum dalam rumusan deliknya. Jika dibandingkan dengan UU PTPK38 ataupun UU PPTPPU39, sudah terang bahwa dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Bahkan dalam UU PPTPPU sendiri hemat Penulis secara implisit telah mengakomodir salah satu teori pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu Teori Identifikasi, hal tersebut ditunjukan oleh frasa “dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi” atau dalam kata lain dilakukan oleh directing mind korporasi tersebut. Kemudian sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara dengan Subjek Hukum Korporasi (selanjutnya disebut dengan Perja Nomor 28 Tahun 2014), terhadap korporasi bukan berbadan hukum, pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada pengurus serta dapat dikenakan pidana tambahan dan/atau tindakan tata tertib terhadap korporasi. Walaupun memang tidak semua perbuatan dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap

37

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penangangan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. 38 Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 39 Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

59


korporasi, tetapi sesuai dengan Perja Nomor 28 Tahun 2014, apabila dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak mengatur subyek hukum korporasi, maka tuntutan diajukan kepada pengurus. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konsekuensi yuridisnya yaitu apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan korporasi terhadap UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri, dan UU DTLST, maka yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana adalah hanya pengurusnya saja.

III. PENUTUP Berdasarkan hasil studi dan pembahasan di atas yang dihubungkan dengan rumusan masalah yang ada, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu kurangnya kepastian hukum juga ketidakseragaman aturan dalam pengaturan subyek hukum korporasi, sehingga timbul disparitas dalam penegakkan hukum terhadap tindak pidana di bidang HKI yang dilakukan oleh korporasi. Hal tersebut dikarenakan terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang telah mengakui korporasi sebagai subyek hukum, walaupun sebatas korporasi berbadan hukum, seperti UU Hak Cipta, UU Paten, dan UU MIG. Lain halnya dengan UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri, dan UU DTLST, yang sama sekali belum secara tegas mengakui korporasi sebagai subyek hukum. Padahal, untuk masa yang sudah semakin maju dan terbawa arus globalisasi ini, kejahatan terhadap kekayaan intelektual tidak lagi hanya dilakukan oleh orang perseorangan, tetapi tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh suatu korporasi. Selanjutnya mengenai proses pemidanaan subyek hukum korporasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur hak kekayaan intelektual, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan tentang HKI yang mengatur secara tegas bagaimana proses dan alur dalam pemidanaan korporasi. Dengan demikian, dikhawatirkan dapat menghambat law reinforcement oleh aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti tindak pidana di bidang HKI. Oleh karena itu, Penulis sendiri berharap bahwa dalam masa yang akan datang, pemerintah serius dalam menangani problematika dan juga melakukan sinkronisasi hukum mengenai pengaturan dan pemidanaan subyek hukum korporasi dalam bidang HKI. 60


DAFTAR PUSTAKA

Buku Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan lntelektual dan Budaya Hukum, (Raja Grafindo Persada 2004). Dorris Estelle dan Anthony D’Amato, A Coursebook in International Intellectual Property (West Group, ST. Paul. 2000). D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. Sutorius, Editor Penerjemahan, J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, (Liberty) Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi (Mandar Maju 2012). Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Gramedia Pustaka Utama 2003). Kristian, Kejahatan Korporasi di Era Modern & Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Refika Aditama 2017). Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana (STHB 1991). Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia (Rajawali Pers 2016).[83]. Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kebijakan Legislasi (Prenada Media Group 2017). H.M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana (Setara Press 2016). Michael Bohlander, Principles of German Criminal Law (Oxford and Portland: Hart Publishing 2002). Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Rineka Cipta 1993). Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia (Ghalia Indonesia 2017). Munir Fuady, Teori-Teori Garis Besar (Grand Theory) Dalam Hukum (Kencana 2013).

61


Rocque Reynolds dan Natalie Stoianoff, Intellectual Property, Text and Essential Cases, Second Edition (The Federation Press 2005). Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana (Aksara Baru 1983). Sentosa Sembriring, Prosedur Dan Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Inteltual (Yrama Widya 2002). Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Liberty 2003). Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Refika Aditama 2003). Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I (Sinar Grafika 1995).

Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4044) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953)

62


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1948 Nomor 17) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 801) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penangangan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2058) Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara dengan Subjek Hukum Korporasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1492)

63


PERLINDUNGAN HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL TERHADAP TARI PETIK KOPI SEBAGAI WARISAN BUDAYA KABUPATEN JEMBER Nuzulia Kumala Sari1 dan Muhammad Rezka Eki Prabowo2 Fakultas Hukum Universitas Jember ABSTRAK Budaya adalah berkembangnya cara hidup yang secara bersama dimilikioleh suatu kelompok masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari berbagai unsur diantaranya seni, sastra, pakaian, dan adat istiadat. Indonesia merupakan negara yang memiliki beraneka ragam warisan budaya dari sabang sampai merauke. Salah satu warisan budaya Indonesia adalah tari Petik Kopi yang merupakan kesenian tari tradisional dan berasal dari Kabupaten Jember. Kesenian tari Petik Kopi perlu dilindungi dan dilestarikan sebagai suatu pengetahuan tradisional dan ekspresi seni tradisional milik Indonesia. Hal ini merupakan langkah konkrit agar Indonesia mendapatkan pengakuan terkait warisan budaya serta terhindar dari pengakuan klaim atas negara lain seperti seni tradisional Reog Ponorogo sebelumnya. Selain itu, adanya perlindungan hukum terhadap tari Petik Kopi bertujuan untuk meningkatkan minat dan kesadaran masyarakat Indonesia terkhususnya masyarakat Kabupaten Jember untuk lebih mencintai dan melestarikan warisan budaya lokal. Tulisan ini menggunakan jenis metode yuridis normatif (legal research) yaitu dengan menganalisis dan difokuskan untuk mengkaji suatu isu hukum berdasarkan kaidah atau norma hukum positif yang berlaku. Tulisan ini akan membahas isu hukum yang diulas dan diuraikan serta dikaji dari berbagai aturan hukum yang bersifat formiil seperti Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, dan Literatur yang bersifat teoritis. Kata Kunci: Tari Petik Kopi, Warisan Budaya, Perlindungan Hukum. ABSTRACT Culture is the developing way of life which is jointly owned by a group of public and is inherited from generation to generation. Culture is formed by various elements including art, philology, clothes and tradition. Indonesia is a country that has various cultural heritage from Sabang to Merauke. One of the Indonesia cultural heritage is Petik Kopi dance which is a traditional dance from Jember. Petik Kopi dance is need to be protect and preserve as the traditional knowledge and the expression of traditional art of Indonesia. This is a concrete step so that Indonesia get recognition related to cultural heritage and be spared from claim recognition of other country like the traditional art Reog Ponorogo before. Besides that, there is legal protection of Petik Kopi dance is to increase the interest and the awareness of Indonesian people especially Jember people to be more love and conserve the local cultural heritage. This article is using legal research methods that is with analyzing and focused to study a legal issue based on rules or positive legal norms that applicable. This article will take up the legal issues which is will be review and be describe also study from various formal rule of law like Legislation and Regulation, Government Regulation, and Theoretical Literature. Keywords: Petik Kopi Dance, Cultural Heritage, Legal Protection

1 2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember & Ketua Pusat Sentra HKI UNEJ Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember & Secretary ALSA LC UJ Period 2019

64


I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Keanekaragaman adat istiadat, ras dan suku menjadikan Indonesia sebagai

negara yang kaya akan warisan budaya. Selain itu, warisan budaya Indonesia juga dipengaruhi oleh kreatifitas berpikir setiap masyarakat di berbagai daerah pada bidang seni, sastra, dan budaya sehingga dapat tercipta suatu warisan budaya yang memiliki keunikan sebagai ciri khas wilayah tersebut.3 Warisan budaya pada umumnya diturunkan dari generasi ke generasi, baik dalam bentuk material (gedung bersejarah) maupun immaterial (nilai-nilai budaya). Menurut Davidson, warisan budaya adalah produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jati diri suatu kelompok atau bangsa. 4 Warisan budaya (cultural heritage) adalah jenis hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh umum atau milik sebuah bangsa, sehingga tidak dapat diklaim sebagai milik pribadi (privat) apalagi diklaim sebagai milik pihak asing. Selain itu, warisan budaya dapat berbentuk warisan budaya benda (tangible cultural heritage) dan warisan budaya tak benda (intangible Cultural heritage)5 dimana keduanya merupakan perwujudan peninggalan budaya dari generasi masa lalu yang harus dilestarikan. Pada hakikatnya, hak kepemilikan warisan budaya bangsa Indonesia dipegang sepenuhnya oleh negara sebagai perwakilan yang sah untuk mewakili seluruh lapisan masyarakat Indonesia.6 Dengan demikian, jika ada pihak asing yang ingin memanfaatkan warisan budaya Indonesia harus terlebih dahulu meminta ijin kepada pemerintah Indonesia yakni Direktorat Jenderal HKI pada Kementerian Hukum dan HAM terkait pemanfaatan warisan budaya Indonesia.

3

Guntur Hamzah, Peranan Hukum Dalam Upaya Pelestarian Warisan Budaya, vol 12 (Jurnal Ilmu Hukum Amannagappa, 2004). 4 Amalia, 2013, ‘Kajian Sosial Budaya Tentang Warisan Budaya Masyarakat’ hlm.1. 5 Warisan Budaya Tak Benda (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan 2017). 6 Dapat dilihat pada Pasal 10 ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta’.

65


Kemudian, perlindungan hukum atas warisan budaya tersebut telah diakomodir dalam Peraturan Perundang-undangan Pasal 40 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta bahwasannya kesenian termasuk pada suatu karya yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintahan Indonesia baik yang sudah atau belum diumumkan hasil karyanya. Salah satu bentuk warisan budaya Indonesia adalah seni tari tradisional yang secara harfiah merupakan tari koreografis mengalami proses kulturasi atau pewarisan budaya yang sudah cukup lama dari pendahulunya.7 Jenis tari ini bertumpu pada tradisi atau kebiasaan yang sudah ada sejak nenek moyang dan tari ini bersifat turun-temurun. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dilihat bagaimana tari tradisional merupakan bagian penting dari warisan budaya bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai sejarah dan wajib dilestarikan keberadaannya. Salah satu seni tari tradisional di wilayah Indonesia yaitu tari Petik Kopi yang berasal dari Kabupaten Jember. Tari Petik Kopi adalah tarian yang menggambarkan aktivitas masyarakat saat memetik kopi dengan perpaduan unsur gerak tari Jawa Timur. Selain itu, Tari Petik Kopi menggambarkan berbagai etnis di Jember dengan kondisi masyarakat dan budayanya yang cenderung dijadikan sebagai ungkapan atas ide-ide, perasaan, dan pengalaman kepada orang lain. Tari Petik Kopi ini diciptakan oleh Soeparmin Ras yang berasal dari Jawa Timur. Menurut Soeparmin, tari merupakan alat ekspresi ataupun sarana komunikasi seorang seniman kepada orang lain dan tari mampu menciptakan untaian gerak yang membuat audience peka terhadap sesuatu yang ada dan terjadi disekitarnya. 8 Tari Petik Kopi memiliki keunikan dan kekhasan yaitu adanya perpaduan alunan musik Jawa dan Madura yang menjadi satu kesatuan. Tarian ini dilakukan dengan interaksi antara sepasang penari pria dan wanita yang menggambarkan suasana riang Poppy Lisafri Yolanda, ‘Peranan Olah Tubuh Terhadap Teknik Tari Dalam Karya Tari Autis Karya Vivi Sumanti’, hlm. 9. 8 ‘Tari Petik Kopi, Tarian Tradisional Jember Untuk Dunia’ (rasakopi.com, 7 August 2016) <https://rasakopi.com/tari-petik-kopi-tarian-tradisional-jember-untuk-dunia/> accessed 28 October 2019. 7

66


gembira diwaktu memanen kopi. Lalu, datanglah penari berikutnya yang berjumlah 5 (lima) orang dan mulai menarikan dengan peragaan sedang memetik kopi diladang. Keseluruhan tarian tersebut menggambarkan suasana masyarakat yang begitu riang gembira sembari memetik kopi.9 Seperti yang dijelaskan diatas bahwa, setiap kesenian termasuk seni tari dalam hal ini adalah tari Petik Kopi merupakan suatu karya intelektual yang perlu dilindungan dan dapat dimanfaatkan secara ekonomi demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat terkhususnya masyarakat Jember. Instrumen hukum nasional maupun internasional telah berusaha mengatur tentang perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional yang ditinjau dari perspektif HKI yakni Hak Cipta.10 Pada Undang-Undang Hak Cipta telah diatur mengenai perlindungan yang salah satunya adalah seni yaitu koreografis. 11 Namun dengan adanya Undang-Undang mengenai Hak Cipta belum sepenuhnya mengakomodir perlindungan seni tradisional seperti halnya pengklaiman kesenian Reog Ponorogo oleh negara lain. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang baik antara Pemerintah Indonesia dengan masyarakat terkait upaya perlindungan terhadap kesenian tradisional di Indonesia. Sehingga nantinya diharapkan kerjasama tersebut dapat menciptakan pelestarian terhadap seni tradisional serta dapat meningkatkan rasa cinta, minat, dan bakat dari masyarakat untuk melindungi warisan budayanya. Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan perlindungan dan pelestarian dari suatu seni tari tradisional terutama pada tarian Petik Kopi yang merupakan tarian khas Kabupaten Jember.

‘Tari Petik Kopi Jember’ (Informasi Budaya Jawa, 7 June 2018) <https://budayajawa.id/tari-petik-kopi-jember/> accessed a28 October 2019. 10 Dapat dilihat pada Pasal 40 ayat 1, ‘Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta’. 9

67


1.2

Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana perlindungan hukum terhadap seni tradisional Tari Petik Kopi Kabupaten Jember sesuai dengan sistem pengaturan hukum yang berlaku di Indonesia? 1.2.2 Bagaimana upaya yang dilakukan untuk melestarikan warisan budaya kesenian tradisional Tari Petik Kopi yang berasal dari Kabupaten Jember? 1.2.3 Bagaimana langkah preventif untuk menjaga Tari Petik Kopi terhadap pelanggar perampasan warisan budaya?

1.3

Dasar Hukum 1.3.1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization Pada landasan yuridis ini mengatur mengenai ruang lingkup dari HKI tersendiri. Pengaturannya terbagi menjadi 7 ruang lingkup dan salah satunya adalah Hak Cipta (copyrights). Oleh karena itu, peraturan tersebut menghubungkan antara perlindungan warisan budaya dengan sistem pengaturan HKI terkhususnya Hak Cipta yang berlaku di Indonesia. 1.3.2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pada landasan yuridis ini menjelaskan mengenai warisan budaya terkhususnya warisan budaya benda (tangible cultural heritage) yang dimana terdapat pada pasal 12 yakni mengatur mengenai kepemilikan cagar budaya oleh warga negara Indonesia. 1.3.3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pada landasan yuridis tersebut mengatur dan menjelaskan sepenuhnya mengenai

karya

intelektual

yang

mendapatkan

perlindungan

hukum

terkhususnya pada bidang seni dan koreografi. Kedua karya intelektual tersebut tercantum pada pasal 40 Ayat 1 dimana ciptaan yang dilindungi meliputi ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.

68


II.

ANALISIS

2.1.

Perlindungan Hukum terhadap Seni Tradisional Tari Petik Kopi Kabupaten Jember sesuai dengan Hukum di Indonesia Perlindungan terhadap kesenian warisan budaya di Indonesia terdapat dalam

pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization yang merupakan ratifikasi dari peraturan Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights pada dasarnya sudah diatur perihal mengenai Hak Cipta (copyrights). Pada Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights mengatur tujuh jenis HKI yang mendapatkan perlindungan hukum yaitu:12 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Hak Cipta; Merek; Indikasi Geografis; Desain Produk Industri; Paten; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu; dan Rahasia Dagang.

Pada TRIPs tersebut diatur mengenai Hak Cipta dimana memiliki kesamaan dengan pengaturan HKI di Indonesia yaitu seni atau koreografi. Akan tetapi, lebih lengkap terkait seni atau pengetahuan tradisional belum dijelaskan secara rinci terkait perlindungan hukumnya terkhusus negara Indonesia yang memiliki seni dan budaya beraneka ragam. Hal ini tentunya menjadi permasalahan bagi negara berkembang seperti Indonesia, karena belum cukup kuat untuk melindungi pengetahuan karya tradisionalnya. Di negara Indonesia sebenarnya sudah diatur mengenai perlindungan hukum warisan budaya yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 28

Dapat Dilihat Pada Pasal 1 Ayat (2), Huala Adolf, ‘Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights And Developing Countries’ The Developing Economies 36. 12

69


Tahun 2014. Pada peraturan perundang- undangan sebelumnya yakni terdapat pada Pasal 10 yang menyatakan bahwa:13 1. Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. 2. Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. 3. Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang buka warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yan terkait dalam masalah tersebut. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Akan tetapi sejak berlakunya Undang-Undang Hak Cipta yang terbaru yakni Nomor 28 Tahun 2014 maka Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 sudah tidak berlaku lagi. Namun lebih lanjut dalam perlindungan terhadap warisan budaya, pemerintah Indonesia telah mengatur mengenai hal tersebut yang tercantum pada pasal 38 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 menerangkan bahwa hak cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh negara, selanjutnya negara wajib menginventarisasi, menjaga dan memelihara ekspresi budaya tradisional, dan penggunaan ekspresi budaya tradisional harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya.14 Selain itu di Indonesia, pemerintah sedang melakukan proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk melindungi penggunaan kekayaan intelektual yang ada pada pengetahuan kesenian tradisional dan ekspresi budaya tradisional Indonesia. Urgensi perlindungan pengetahuan kesenian tradisional dan Dapat Dilihat Pada Pasal 10, ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta’ (N 4). 14 Dapat diihat pada Pasal 38, ‘Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta’ (n 8). 13

70


ekspresi warisan budaya tradisional ini untuk meminimalisir dan menjamin adanya payung hukum dari penyalahgunaan dan pemakaian tanpa izin oleh asing sebelah seperti kasus tari Pendet dan Reog Ponorogo yang diklaim oleh negara Malaysia. Adanya kejadian tersebut, memaksa pemerintah untuk fokus pada penyusunan hukum nasional sembari menunggu kesepakatan internasional untuk perlindungan warisan budaya.15 Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang mengenai warisan budaya masih dalam tahap pembuatan dan sampai saat ini pun belum diundangkan. Untuk mengisi kekosongan hukum (vacuum of law) di Indonesia terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual terkhususnya kesenian tari Petik Kopi yang berasal dari Kabupaten Jember, maka dapat digunakan dan dimanfaatkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebagai langkah upaya untuk melindungi karya intelektual kesenian tradisional di Indonesia. Selain dari upaya diatas, terdapat upaya lain yang dapat dijadikan langkah untuk melindungi kesenian tradisional di Indonesia dengan cara yaitu:16 1. Perlindungan Positif Cara perlindungan positif bagi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dilakukan melalui pembentukan hukum. Disebut demikian karena perlindungan ini mengandalkan pembuatan ketentuanketentuan hukum baru yang menjadi positif melalui pemberlakuan. 2. Perlindungan Negatif Pada hakikatnya perlindungan negatif dilakukan dengan cara mengandalkan sistem perlindungan hukum yang telah ada. Di negara

Afifah Kusumadara, ‘Pemeliharaan Dan Pelestarian Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia: Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dan Non-Hak Kekayaan Intelektual’ (2011) 18 Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 20. 16 Miranda Risang Ayu, ‘Sistem Perlindungan Sumber Daya Budaya Tak Benda Di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia’ (2017) 29 Mimbar Hukum 205. 15

71


Indonesia aturan hukum yang mengatur mengenai warisan budaya sudah ada yakni pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 3. Perlindungan Defensif Perlindungan defensif adalah perlindungan dengan cara melakukan pendaftaran warisan budaya sebagai wujud melestarikan pengetahuan tersebut bagi generasi mendatang dan melindungi pengetahuan tersebut sebagai aset kekayaan intelektual. Oleh karena itu, untuk melestarikan kesenian tari Petik Kopi sebagai warisan budaya tak benda nasional dapat dilakukan dengan mengetahui dan mengenali kesenian tersebut sehingga terbangun rasa memiliki dan menghargai warisan budaya tersebut. Selanjutnya pelestarian terhadap kesenian tari Petik Kopi ini sebagai warisan budaya tak benda dapat dilakukan dalam bentuk pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Dari 3 cara diatas merupakan langkah yang dapat dijadikan sebagai upaya untuk melakukan perlindungan hukum terhadap kesenian tradisional di Indonesia. 2.2

Upaya yang Dilakukan untuk Melestarikan Warisan Budaya Kesenian

Tradisional Tari Petik Kopi yang Berasal dari Kabupaten Jember Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional harus mendapatkan perlindungan mengingat hal tersebut dapat dijadikan pengetahuan tradisional sekaligus identitas serta keunikan dari wilayah tersebut. Daerah yang memiliki karakteristik serta ciri khas kebudayaan harus dikembangkan dan dilindungi demi menjaga eksistensi dari daerah yang memiliki kebudayaan tradisional. Perlindungan yang dilakukan dapat memberikan manfaat yakni berupa pemeliharaan pengetahuan budaya, adat tradisi turun-temurun dari suatu daerah, memberikan keadilan serta mencegah terjadinya perampasan terhadap kesenian budaya seperti seni Reog Ponorogo yang diklaim oleh

72


negara Malaysia pada tahun 2007.17 Oleh karena itu, kesenian tari Petik Kopi sebagai seni tradisional dari Kabupaten Jember perlu mendapatkan perlindungan hukum agar dapat menarik minat masyarakat Jember dan Indonesia serta mendapatkan pengakuan perlindungan yang nantinya seni tari Petik Kopi tetap lestari dan terjaga keasliannya. Mayoritas masyarakat Kabupaten Jember terutama daerah-daerah yang terpencil belum paham terkait perlindungan kesenian tradisional ini sehingga kurangnya edukasi ke masyarakat membuat seni tari Petik Kopi terabaikan dari perhatian masyarakat lokal. Namun, dilain sisi masyarakat Jember tetap berusaha melestarikan kesenian tradisional ini agar tetap terjaga dengan melakukan pelatihan yang dibuat melalui berbagai komunitas tari yang ada di Jember namun usaha tersebut belum kuat untuk dijadikan sebagai upaya untuk melestarikan kesenian tersebut. Pemerintah Kabupaten Jember pada dasarnya harus berperan dan ikut andil dalam pelestarian seni tari Petik Kopi tersebut mengingat kesenian tersebut dapat menarik minat masyarakat Indonesia serta menghasilkan keuntungan perkenomian untuk wilayah Kabupaten Jember. Dari kurangnya edukasi yang dimiliki oleh masyarakat Jember tidak menutup kemungkinan akan mengulang kembali kasus pengakuan kesenian Indonesia oleh negara lain. Kasus yang pernah menjadi pembicaraan masyarakat Indonesia seperti kasus Wayang Kulit yang pernah diklaim oleh negara Malaysia, akan tetapi pada tahun 2003 Wayang Kulit telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai kebudayaan negara Indonesia.18 Lain hal dengan kasus yang pernah hangat di negara Indonesia yakni Batik, dimana Batik pernah diklaim oleh negara Malaysia pada tahun 2008 yang sontak menimbulkan perdebatan serta konflik dari kedua negara tersebut.19 Adanya kasuskasus diatas menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum sepenuhnya mengakomodir ‘Malaysia Sudah Tujuh Kali Mengklaim Budaya RI - Nasional Tempo.Co’ <https://nasional.tempo.co/read/411954/malaysia-sudah-tujuh-kali-mengklaim-budaya-ri> accessed 4 November 2019. 18 Liputan6.com, ‘8 Warisan Budaya Indonesia yang Pernah Diklaim Malaysia’ (liputan6.com, 5 January 2015) <https://www.liputan6.com/citizen6/read/2156339/8-warisan-budayaindonesia-yang-pernah-diklaim-malaysia> accessed 4 November 2019. 19 ‘Perang Batik, Skor 1-0 Untuk Indonesia - Nasional Tempo.Co’ <https://nasional.tempo.co/read/198190/perang-batik-skor-1-0-untuk-indonesia> accessed 4 November 2019. 17

73


perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual di Indonesia. Selain regulasi yang ada di Indonesia, penyelesaian kasus pengakuan karya intelektual Indonesia oleh negara lain pada akhirnya terselesaikan dengan penetapan UNESCO yang menetapkan kesenian tersebut merupakan milik negara Indonesia dengan berbagai pembuktian yang telah dilakukan oleh negara Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jember untuk melindungi kekayan intelektual tersebut dan tidak berakhir dengan tangan kosong. Hal ini dibuktikan dengan didapatkannya perlindungan dari hukum internasional seperti Convention for The Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage 2003, Convention of World Intellectual Property Organization, dan Agreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs). Namun adanya perlindungan hukum internasional tersebut tidak akan bermakna apabila tidak ada peran secara langsung pemerintah untuk turut melindungi warisan budaya tersebut. Perbuatan konkrit yang dapat dilakukan oleh pemerintah salah satunya yaitu melalui pembuatan Peraturan Perundang-undangan terkait warisan budaya seni tradisional dan dikerucutkan lebih lagi dengan pembuatan Peraturan Daerah yang telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Jember. Dengan adanya Peraturan Perundang-undangan perihal warisan budaya tersebut nantinya dapat memberikan pengakuan dari identitas wilayah yang bersangkutan serta menjaga kesenian tersebut sebagai ciri khas atau keunikan terhadap seni tradisi. Selain itu upaya lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan melestarikan nilainilai yang terkandung dari seni tari Petik Kopi seperti nilai sejarah yang dapat disampaikan agar nantinya dapat mengetahui dan memahami nilai history yang terkandung dari kesenian tersebut serta melakukan dengan cara pewarisan dini kepada generasi selanjutnya. Sistem pewarisan dini dilakukan dengan mengajarkan kesenian tari Petik Kopi pada anak-anak atau generasi muda dilingkungan Kabupaten Jember. Dengan adanya sistem pewarisan dini tersebut dapat menjaga eksistensi kesenian tersebut hingga generasi selanjutnya. Selain itu, orangtua dan guru berperan penting dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada anak-anak mengenai pentingnya 74


menjaga kesenian tradisional. Terlebih lagi seni tari Petik Kopi ini pada hakikatnya dapat dilakukan baik oleh pria maupun wanita sehingga tidak terjadi pembeda untuk melindungi kesenian tersebut. Upaya selanjutnya adalah dengan cara memodifikasi dan mengemas kesenian tari Petik Kopi tersebut sesuai dengan perkembangan zaman saat ini untuk menarik minat dan perhatian lebih dari masyarakat Indonesia. Namun, yang perlu diperhatikan adalah modifikasi tersebut jangan sampai merubah nilai-nilai yang terkandung dari seni tari Petik Kopi. Modifikasi yang dapat dilakukan seperti mengaransemen kesenian tari Petik Kopi dengan menambahkan alat musik atau instrument musik yang nantinya dapat meningkatkan perhatian masyarakat saat pertunjukan seni tari Petik Kopi berlangsung. Upaya berikutnya adalah dengan cara mendaftaran warisan budaya Indonesia ke United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Hal tersebut dilakukan agar warisan budaya yang ada di Indonesia terdaftar dan tercatat sehingga mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai lembaga internasional. Kemudian berbagai bentuk publikasi budaya itu seluas-luasnya secara nasional ataupun internasional juga dapat dilakukan sebagai bentuk upaya melindungi kesenian tari tradisional tersebut. Seperti halnya pada Peraturan Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 bahwasannya pemerintah telah memberikan perlindungan terhadap warisan budaya di Indonesia dengan memuat database terkait kekayaan yang tersebar pada suatu wilayah. Database tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk mengenai biodata dari kesenian tersebut seperti nama kesenian, asal kesenian, mentor seni tersebut, dan sebagianya. Upaya terakhir yang dapat ditempuh yaitu dengan dokumentasi atau pendataan tehadap seni tradisional yang tersebar di Indonesia. Peran pemerintah Kabupaten Jember disini dalam melakukan pendataan bertujuan agar nantinya seni tari Petik Kopi terdaftar dalam buku sejarah ilmu pengetahuan yang dapat dibaca dan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Kemudian, pemerintah Jember diharapkan membentuk suatu lembaga untuk seniman tradisional dengan tujuan untuk mengembangkan kreativitas 75


dan memperluas jaringan agar dapat mempermudah akses untuk pertunjukan di luar daerah. Pengetahuan tradisonal warisan budaya yang dilindungi nantinya, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dimana warisan budaya tersebut berasal. Selain itu dengan adanya perlindungan hukum juga dapat menjaga warisan tradisional bangsa Indonesia dari ancaman pengakuan atau klain budaya oleh negara lain dan pemanfaatan warisan budaya lainnya. 2.3

Langkah Preventif untuk Menjaga Tari Petik Kopi terhadap Pelanggar yang Perampasan Warisan Budaya Telah sejak lama Indonesia telah mengatur mengenai warisan budaya yang

dibuktikan dengan membuat daftar inventarisasi warisan budaya tak benda. Dengan adanya inventarisasi tersebut, pemerintah dapat mengetahui jumlah kekayaan warisan yang dimiliki oleh Indonesia setiap tahunnya. Selain itu, langkah selanjutnya yakni dengan mendaftarkan warisan budaya Indonesia ke kancah Internasional melalui UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Pendaftaran tersebut bertujuan agar kebudayaan dari Indonesia mendapatkan pengakuan di mata internasional dan menarik minat terhadap wisata budaya di Indonesia. Langkah preventif yang pernah dilakukan Indonesia yakni bergabung menjadi anggota UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage pada tahun 2003 dan menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.20 Akan tetapi, dalam melaksanakan perlindungan tersebut terdapat tantangan yang dihadapi oleh Indonesia. Tantangan tersebut salah satunya ialah proses penanaman

Kompas Cyber Media, ‘Langkah Praktis Menangkal Klaim Warisan Budaya oleh Pihak Asing Halaman all’ (KOMPAS.com) <https://nasional.kompas.com/read/2009/08/26/16294067/langkah.praktis.menangkal.klaim.warisan.bu daya.oleh.pihak.asing> accessed 7 December 2019. 20

76


kembali keyakinan serta moral bangsa Indonesia terkait pentingnya budaya Indonesia sebagai aset negara. Selain itu, biaya yang tidak sedikit dan harus dilakukan secara bersama juga menjadi tantangan dalam melaksanakan perlindungan tersebut. Hal ini menjadi tantangan dikarenakan tidak semua masyarakat Indonesia memiliki kepedulian akan pelestarian dan perlindungan terhadap warisan budaya Indonesia dan menjadi pekerjaan rumah semua elemen masyarakt untuk saling menyadarkan akan pentingnya hal tersebut. Kemudian langkah untuk meminimalisir biaya yang besar contohnya dapat dilakukan dengan memanfaatkan media elektronik yaitu dengan menyebarkan informasi perihal warisan budaya secara cepat kepada masyarakat yang berguna untuk kepentingan melestarikan warisan budaya. Jika tidak ada upaya atau langkah tersebut, seiring berkembangnya zaman warisan budaya di Indonesia akan pudar dan masyarakat Indonesia akan terpengaruh dengan budaya-budaya yang masuk ke negara Indonesia tanpa melalui filter dari efek akses internet secara efisien. Tentunya hal tersebut akan mengikis warisan budaya Indonesia dan lambat laun hanya menjadi cerita sejarah bagi generasi mendatang tanpa mengetahui bagaimana bentuk dari warisan budaya tersebut secara langsung.

III. PENUTUP 3.1

Kesimpulan Bentuk perlindungan hukum terhadap seni tradisional tari Petik Kopi Kabupaten

Jember dapat dilakukan dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk melindungi penggunaan kekayaan intelektual yang ada pada pengetahuan kesenian tradisional dan ekspresi warisan budaya tradisional Indonesia. Selain itu dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu dengan perlindungan positif, perlindungan negatif, dan perlindungan defensif. Cara perlindungan tersebut merupakan upaya pelestarian terhadap kesenian tari Petik Kopi sebagai warisan budaya tak benda. Cara-cara diatas merupakan langkah yang dapat ditempuh untuk melakukan perlindungan hukum terhadap kesenian tradisional di Indonesia.

77


Namun peran masyarakat Indonesia berpengaruh dalam perlindungan warisan budaya. Rendahnya wawasan masyarakat perihal tersebut membuat kebudayaan Indonesia dimafaatkan oleh negara lain untuk diekploitasi terhadap warisan budaya Indonesia. Perlu adanya upaya dan peran dari pemerintah Kabupaten Jember untuk memaksimalkan perlindungan terdahap warisan budaya yang telah mendapatkan perlindungan dari hukum internasional seperti Convention for The Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage 2003, Convention of World Intellectual Property Organization, dan Agreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs). Upaya selanjutnya dengan melestarikan nilai-nilai yang terkandung dari seni tari Petik Kopi seperti nilai sejarah yang dapat disampaikan agar nantinya dapat diketahui dan memahami nilai history yang terkandung dari kesenian tersebut serta melakukan pewarisan dini kepada generasi selanjutnya. Selain itu dapat dilakukan dengan cara memodifikasi dan mengemas kesenian tari Petik Kopi tersebut sesuai dengan perkembangan zaman saat ini untuk menarik minat dan perhatian dari masyarakat Indonesia terkhususnya warga Jember. Setelah melakukan perlindungan terhadap kesenian warisan budaya, upaya selanjutnya yakni mempublikasikan kesenian tersebut seluas-luasnya secara nasional ataupun internasional agar kebudayaan tersebut dapat tersampaikan pada mata dunia. Akan tetapi, dari semua upaya tersebut masih terdapat kendala baik dari segi pengimplemetasian ataupun biaya. Seiring dengan perkembangan zaman bahwasannya semua kembali kepada individu untuk melindungi aset kebudayaan Indonesia, dengan adanya kesadaran pada diri sendiri dapat memberikan manfaat serta peluang untuk melindungi warisan budaya di Indonesia. 3.2

Saran Sesuai dengan tujuan yakni melindungi warisan budaya Indonesia, alangkah

baiknya pemeritah Kabupaten Jember perlu berpartisipasi lebih dalam upaya untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan Indonesia terkhususnya tari Petik Kopi dari Jember. Pemerintah dapat berperan dalam melakukan pembuatan peraturan perundangundangan seperti Peraturan Daerah yang berisi mengenai sejarah maupun wawasan 78


kesenian tersebut. Selain itu, dibutuhkan juga peran masyarakat Jember dalam upaya untuk melestarikan tari Petik Kopi yaitu dengan menanamkan moral kesadaran betapa pentingnya untuk menjaga eksistensi tari Petik Kopi.

79


DAFTAR PUSTAKA Buku Adolf H, ‘Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights And Developing Countries’ The Developing Economies Amalia, ‘Kajian Sosial Budaya Tentang Warisan Budaya Masyarakat’ Warisan Budaya Tak Benda (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan 2017) Yolanda Pl, ‘Peranan Olah Tubuh Terhadap Teknik Tari Dalam Karya Tari Autis Karya Vivi Sumanti’ Jurnal Ayu Mr, ‘Sistem Perlindungan Sumber Daya Budaya Tak Benda Di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia’ (2017) 29 Mimbar Hukum 205 Guntur Hamzah, Peranan Hukum Dalam Upaya Pelestarian Warisan Budaya, Vol 12 (Jurnal Ilmu Hukum Amannagappa, 2004) Kusumadara A, ‘Pemeliharaan Dan Pelestarian Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia: Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dan Non-Hak Kekayaan Intelektual’ (2011) 18 Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 20 Internet/Media Online Liputan6.Com, ‘8 Warisan Budaya Indonesia Yang Pernah Diklaim Malaysia’ (Liputan6.Com, 5 January 2015) <Https://Www.Liputan6.Com/Citizen6/Read/2156339/8-Warisan-BudayaIndonesia-Yang-Pernah-Diklaim-Malaysia> Accessed 4 November 2019 ‘Malaysia Sudah Tujuh Kali Mengklaim Budaya Ri - Nasional Tempo.Co’ <Https://Nasional.Tempo.Co/Read/411954/Malaysia-Sudah-Tujuh-KaliMengklaim-Budaya-Ri> Accessed 4 November 2019 Media Kc, ‘Langkah Praktis Menangkal Klaim Warisan Budaya Oleh Pihak Asing Halaman All’ (Kompas.Com) <Https://Nasional.Kompas.Com/Read/2009/08/26/16294067/Langkah.Prakti s.Menangkal.Klaim.Warisan.Budaya.Oleh.Pihak.Asing> Accessed 7 December 2019

80


‘Perang Batik, Skor 1-0 Untuk Indonesia - Nasional Tempo.Co’ <Https://Nasional.Tempo.Co/Read/198190/Perang-Batik-Skor-1-0-UntukIndonesia> Accessed 4 November 2019 ‘Tari

Petik Kopi Jember’ (Informasi Budaya Jawa, 7 June 2018) <Https://Budayajawa.Id/Tari-Petik-Kopi-Jember/> Accessed 28 October 2019

‘Tari Petik Kopi, Tarian Tradisional Jember Untuk Dunia’ (Rasakopi.Com, 7 August 2016) <Https://Rasakopi.Com/Tari-Petik-Kopi-Tarian-Tradisional-JemberUntuk-Dunia/> Accessed 28 October 2019

Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599)

81


PROBLEMATIKA PEMBATASAN PEMBERIAN LISENSI HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PERUSAHAAN PENYIARAN Dini Wininta Sari Universitas Jember ABSTRAK Salah satu permasalahan di dunia perusahaan penyiaran yaitu adanya kasus tentang penolakan untuk menyediakan lisensi bagi penggunaan hak atas kekayaan intelektual. Penolakan lisensi atas hak kekayaan intelektual menimbulkan hak eksklusif berupa monopoli terhadap hak atas kekayaan intelektual. Hak eksklusif tersebut dianggap telah disalahgunakan oleh perusahaan penyiaran untuk menguasai informasi-informasi rahasia dari program televisi sampai proses publikasi. Hal ini juga merupakan penyalahgunaan posisi dominan di dalam pasar. Situasi yang demikian mengharuskan pemerintah untuk segera mencari jalan tengah dan melaksanakan strategi yang tepat demi melindungi hak-hak pemegang atau pemilik hak kekayaan intelektual. Penulis menggunakan dua metode yaitu doktrinal untuk menganalisis peraturan perundang-undangan tentang hak kekayaan intelektual serta nondoktrinal untuk mengetahui fakta sosial dengan melihat regulasi serta pemberlakuannya. Penulis menggunakan contoh kasus MacGill, sebuah kasus di Kanada di mana terdapat dua perusahaan penyiaran yang menolak memberikan sebuah lisensi kepada MacGill untuk memasukkan program televisi di dalam petunjuk acara televisi mingguan. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan anti monopoli dan mengaitkannya dengan upaya hukum dalam menangani permasalahan tersebut. Kata kunci: pemberian lisensi, hak kekayaan intelektual, perusahaan penyiaran

ABSTRACT One of the problem in the broadcasting company world is the case about refusal to provide licenses for the use of intellectual property rights. Refusal of a license for it has created an exclusive rights in the form of monopoly towards intellectual property rights. This exclusive rights have been abused by broadcasters to control confidential information from television programs to the publication process. This is also an abuse of the dominant position in the market. Such condition requires the government to immediately find a middle ground and implement an appropriate strategies to protect the rights of holders or owners of intellectual property rights. The author uses two methods, namely doctrinal to analyze the laws and regulations regarding intellectual property rights and non-doctrinal to discover social facts by looking at the current regulations and enforcement. The author uses the example of the MacGill case, which happened in Canada where there were two broadcasting companies refusing to give a license to MacGill to insert a television programs in the instructions for the weekly television program. This paper aims to analyze the antitrust regulations and connect them with legal efforts to handle the issue. Keywords: licensing, intellectual property rights, broadcasting companies

82


I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tidak lagi semata-mata menjadi persoalan hukum tentang kepemilikan, tetapi telah berkembang menjadi perebutan kekuasaan ekonomi yang melibatkan pejabat negara. Oleh karena itu, dalam perusahaan penyiaran dapat dikatakan bahwa perlindungan terhadap HKI sama pentingnya dengan perlindungan terhadap kepentingan publik. Hal ini karena isu HKI tidak lagi hanya menjadi masalah teknis hukum, tetapi menyangkut bisnis, bahkan beberapa negara besar tertentu seperti Amerika dan Inggris berusaha mempengaruhi percepatan perkembangan HKI melalui mekanisme pasar dan menggunakan media hukum untuk mengembangkan konsepsi HKI. 1 Seseorang cenderung merancang dan mengembangkan kreatifitas dan inovasi di bidang HKI dengan maksud untuk memperoleh hak eksklusif yang terkandung dalam hak ekonomi di samping hak moral yang melekat pada HKI dan diakui dalam konvensikonvensi HKI internasional. Hak eksklusif ini dikategorikan memiliki nilai komersial yang dapat diperoleh dari hasil melaksanakan HKI. Namun, menurut penulis tidak semua pemilik HKI melaksanakan sendiri haknya tersebut, ada yang memberikan hak ekonominya itu kepada pihak lain. Seperti halnya dalam perusahaan penyiaran ini, sistem HKI memiliki wadah hukum khusus yaitu pemberian lisensi yang melahirkan akibat finansial berupa royalti. Lisensi merupakan pemberian izin kepada pihak yang bukan pemilik atau pemegang HKI untuk mengambil manfaat secara ekonomi dari HKI milik seseorang.2 Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Hak Cipta menyatakan bahwa pemegang lisensi adalah pihak yang diberikan izin tertulis oleh pemegang atau pemilik hak terkait untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak terkait dengan

1 2

Endar Hidayati, ‘Komersialisasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Melalui Lisensi’ 22, hlm. 2. Ibid hlm. 2-3.

83


syarat tertentu.3 Pemberian lisensi ini harus dilakukan melalui perjanjian lisensi yang berlaku selama jangka waktu tertentu dan tidak melebihi masa berlaku hak cipta dan hak terkait.4 Perjanjian ini dapat memberikan perlindungan para pihak yang saling terikat dalam kerangka hukum perjanjian sehingga dapat mengakomodir kepentingan para pihak dalam suatu perjanjian tersebut.5 Berkenaan dengan keberadaan hak terkait yang disebutkan di atas tidak dapat dilepaskan dari keberadaan hak cipta itu sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Hak Cipta dapat diketahui bahwa yang dimaksud Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan hak cipta dan merupakan hak eksklusif bagi Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram atau Lembaga Penyiaran. Dalam praktiknya, muncul berbagai permasalahan hukum yang berkaitan dengan hak terkait, yaitu perlindungan atas hak siar suatu Lembaga Penyiaran, terutama pada saat suatu Lembaga Penyiaran yang telah memiliki hak siar berdasarkan perjanjian lisensi atas suatu karya cipta seperti film atau program tertentu yang direkam, namun ternyata ada pihak lain yang memanfaatkan secara komersial hak siar tersebut.6 Persoalan hak siar mengemuka dalam perusahaan penyiaran di Kanada, diantaranya yaitu salah satu kasus yang menjadi perhatian masyarakat internasional adalah terdapat dua perusahaan penyiaran yang menolak memberikan sebuah lisensi

3

Pemberi lisensi sebagai pemilik atau pemegang hak kekayaan intelektual memberikan izin atau hak kepada pihak lain untuk membuat, memproduksi, menjual, memasarkan, mendistribusikan produk berupa barang dan atau jasa yang dihasilkan dengan mempergunakan hak kekayaan intelektual yang dilisensikan tersebut. Lihat Sulasno, ‘Lisensi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam Perspektif Hukum Perjanjian di Indonesia’ (2019) 3 ADIL: Jurnal Hukum hlm. 355-356 <http://academicjournal.yarsi.ac.id/index.php/Jurnal-ADIL/article/view/815> accessed 3 December 2019. 4 Pasal 80 ayat (2) UU Hak Cipta serta dapat dikaitkan dengan Pasal 82 ayat (3) UU Hak Cipta: Mengenai hal-hal yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian lisensi, perlu diketahui juga bahwa pada dasarnya perjanjian lisensi dilarang menjadi sarana untuk menghilangkan atau mengambil alih seluruh hak cipta dari penciptanya. 5 Letezia Tobing, ‘Ulasan lengkap : Pemegang Hak Cipta dan Pemegang Lisensi’ (hukumonline.com/klinik) <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt550077782a2fb/pemegang-hak-cipta-danpemegang-lisensi/> accessed 3 December 2019. 6 I Gusti Bagus Arya Anggara Paramarta, Ida Bagus Wyasa Putra and Ni Ketut Sri Utari, ‘Akibat Hukum Perjanjian Lisensi terhadap Pihak Ketiga’ (2017) 1 Acta Comitas 75, hlm. 79.

84


kepada MacGill untuk memasukkan program televisi di acara televisi mingguan. 7 Penolakan lisensi atas HKI tersebut menimbulkan hak eksklusif berupa monopoli terhadap pemegang HKI. Pada dasarnya hukum anti monopoli terkait erat dengan hukum kekayaan intelektual untuk dapat menciptakan inovasi dalam perusahaan melalui persaingan.8 Pemberian hak eksklusif dari negara berupa monopoli kepada pencipta sebagai timbal balik dari kerja keras pencipta dan pendorong pada potensial pencipta untuk menyediakan barang publik melalui intelektualnya. Dengan demikian, konsekuensinya adalah monopoli yang terbentuk dari HKI dianggap sebagai monopoli yang dilindungi melalui undang-undang, bukan bentuk monopoli dari sifat serakah seseorang yang menjadi perhatian dari hukum anti monopoli. Dalam konteks lisensi inilah konflik antara hukum anti monopoli dan hukum kekayaan intelektual muncul. Konflik terjadi karena lisensi menjadi obyek dari hukum kekayaan intelektual, sedangkan akibat kepada konsumen menjadi obyek hukum anti monopoli.9 1.2.

Rumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Hukum Anti Monopoli terhadap Lisensi Hak Kekayaan Intelektual dalam Perusahaan Penyiaran 1.2.2 Upaya Pemerintah dalam Menangani Permasalahan tentang Penolakan Pemberian Lisensi bagi Pemilik HKI

1.3

Dasar Hukum Penulis dalam hal ini menggunakan beberapa landasan hukum yang relevan

dengan rumusan masalah untuk dapat menghubungkannya dengan pendapat penulis dan fakta-fakta terkait : 1.3.1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 1.3.2 Peraturan perundang-undangan terkait dengan HKI di Indonesia (UndangUndang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 7

Judhar Iksawan, Hukum Penyiaran (PT RajaGrafindo Persada, 2010) [137]. Carl Shapiro, ‘Antitrust Limits to Patent Settlements’ (2003) 34 [906]. 9 Ibid, [394]. 8

85


tentang Desain Industri, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang memberi

ruang yang memungkinkan

pengalihan HKI melalui mekanisme lisensi serta melalui perjanjian perdata antara pemilik atau pemegang HKI dengan pihak lain yang juga ingin memperoleh manfaat komersial dari ciptaan HKI tersebut. 1.3.3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Larangan Persaingan Usaha Tidak Sehat. II.

ANALISIS

2.1. Pembatasan Hukum Anti Monopoli terhadap Lisensi Hak Kekayaan Intelektual dalam Perusahaan Penyiaran Elemen terpenting dalam perumusan perjanjian lisensi adalah ruang lingkup pemberian izin pemanfaatan HKI yang dimiliki licensor kepada licensee. Klausul tersebut biasanya memberikan hak kepada licensee untuk membuat, menjual, atau menggunakan obyek dari eksploitasi HKI yang dimiliki licensor.10 Berdasarkan klausul tersebutlah otoritas publik dapat menganalisis apa yang menjadi obyek perjanjian, dan apakah obyek itu bertentangan dengan peraturan perundangan atau tidak. Jika bertentangan, maka otoritas publik dapat menolak permintaan pendaftaran lisensi, yang berarti tidak ada akibat hukum dari perjanjian tersebut. Sebaliknya, jika otoritas publik menerima pendaftaran perjanjian yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan, maka lisensi memiliki akibat hukum.11 Salah satu kritik terhadap konsep HKI adalah kecenderungan tidak proposionalitasnya antara aset privat subyek pemilik atau pemegang HKI dengan kepentingan masyarakat.12 Hal ini dapat menyebabkan hak eksklusif berupa monopoli

10

Gordon V Smith and Russell L. Parr, Intellectual Property Licensing and Joint Venture Profit Strategies (Third Edition) (John Wiley & Sons Inc 2004) [260]. 11 Dalam UU Hak Cipta dikatakan: Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian Lisensi wajib dicatatkan di Direktorat Jenderal. Lihat Arvie Johan, ‘Lisensi HAKI dalam Kaedah Normatif Anti Monopoli’ 37, [176]. 12 Tim Lindsey, Hak Kekayaan Intelektual (PT Alumni 2006) [17]

86


yang diberikan negara khususnya perusahaan penyiaran kepada pemilik HKI yaitu membuka peluang untuk menentukan syarat-syarat dalam lisensi yang bukan hanya tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat, namun dapat merugikan kepentingan umum. Dalam pemahaman demikian, tidak sedikit anggapan bahwa hukum kekayaan intelektual berada di posisi berlawanan terhadap hukum anti monopoli. Di satu sisi, hukum anti monopoli di kontruksikan untuk menghilangkan pembatasan perdagangan dan perilaku anti persaingan atau yang memiliki kecenderungan untuk menciptakan monopoli. Sedangkan di sisi lain, hukum kekayaan intelektual melindungi eksploitasi HKI untuk mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya melalui pemberian lisensi. 13 Dengan demikian, menurut penulis dalam rangka menyeimbangkan kepentingan publik dan privat di atas serta memperjelas obyek yang menjadi kaitan hukum anti monopoli dan lisensi HKI, maka diperlukan adanya pembaharuan. Pembaharuan ini ditujukan untuk mendapatkan keuntungan dari keduanya, yaitu adanya perlindungan lisensi HKI tanpa membatasi kepentingan publik. Sifat monopoli yang melekat pada HKI dapat menciptakan permasalahan tertentu jika HKI tersebut disalahgunakan. Hak eksklusif menguntungkan perusahaan penyiaran yang memegang HKI, tetapi dapat menjadi sesuatu yang merugikan bagi para konsumen.14 Sebagai contoh: Suatu Penyedia Jasa Televisi Berlangganan (PayTV) menyediakan acara yang sangat diminati oleh penikmat acara, lalu dikarenakan hanya PayTV tersebut yang memiliki hak siar di Indonesia, maka PayTV dapat saja melakukan kenaikan biaya berlangganan sehingga PayTV dapat memperoleh keuntungan yang cukup besar. Pembatasan hukum anti monopoli terhadap lisensi HKI di Indonesia menyatakan bahwa lisensi pada awalnya termasuk sebagai perjanjian yang dikecualikan dari keberlakuan kaedah normatif anti monopoli. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 50

13 14

Johan (n 11) hlm. 183. Hak Kekayaan Intelektual (n 12) hlm. 284.

87


huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyatakan: “Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.”15 Apabila dilihat dari kaedah normatif HKI di atas, ketentuan pengecualian tersebut justru terlihat kontradiktif dengan diberikannya larangan licensor untuk menentukan persyaratan dalam perjanjian lisensi yang dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat. Dapat diketahui bahwa hak istimewa berupa monopoli yang terkandung dalam HKI bukan hak yang tanpa batas. Sifat persaingan yang merupakan filosofi dari perlindungan HKI harus tetap terpelihara, sehingga eksploitasi HKI yang merugikan persaingan itu dilarang.16 Menurut pendapat penulis, hal seperti itu dikembalikan ke hukum anti monopoli itu sendiri. Walaupun pada awalnya perjanjian terkait HKI dikecualikan dari keberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, namun dalam praktiknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berpendapat bahwa eksploitasi HKI haruslah sesuai dengan hukum anti monopoli. Prinsip ini dilakukan KPPU dalam penanganan perkara persaingan usaha yang berkaitan dengan HKI yakni lisensi hak cipta dalam kasus penyiaran Liga Inggris. 17 Berpangkal dari putusan KPPU di atas dapat diketahui bahwa lisensi hak cipta yang terkandung dalam penyiaran Liga Inggris tidak secara mutlak mengesampingkan 15

Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 16 Johan (n 11) hlm. 193. 17 Putusan Perkara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nomor: 03/KPPU-L/2008. Sejak 12 Agustus 2007, tayangan Liga Inggris hanya dapat ditonton oleh sebagian masyarakat Indonesia yang berlangganan Astro. Sangkin kecewanya, beberapa waktu lalu, masyarakat Bandung melakukan unjuk rasa di Konsulat Malyasia untuk meminta Liga Inggris ditampilkan kembali. Bahkan, tiga perusahaan penyiaran yakni Indovision, Telkomvision dan Indosat kabarnya telah melayangkan laporan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menggugat Astro dan PT Direct Vision, selaku pemegang merek dagang Astro di Indonesia. Lihat ‘Kasus Siaran Liga Inggris Berlanjut Ke KPPU Hukumonline.Com’ <https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17570/kasus-siaran-liga-inggrisberlanjut-ke-kppu/> accessed 7 December 2019.

88


hukum anti monopoli, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adanya akibat negatif dari eksploitasi lisensi yang membatasi persaingan meningkatkan kesadaran perlu adanya harmonisasi peraturan HKI dengan hukum anti monopoli. Kesadaran itulah yang mendorong KPPU untuk menetapkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berkaitan dengan HKI. 18 Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa peraturan tersebut merupakan pembaharuan peraturan yang menegaskan bahwa hukum anti monopoli berlaku terhadap lisensi HKI yang berakibat persaingan tidak sehat. Berdasarkan penjabaran diatas, dapat diketahui bahwa keberadaan lisensi HKI dan hukum anti monopoli tidak bertentangan antara satu dengan lainnya. Harmonisasi keduanya melalui Peraturan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan suatu proposionalitas antara kepentingan privat yang terkandung dalam lisensi HKI dengan kepentingan publik yang diakomodir oleh hukum anti monopoli. Seperti yang disebutkan sebelumnya, penolakan pemberian lisensi HKI yang merugikan kepentingan umum dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum anti monopoli.19 Hukum anti monopoli dimaksudkan untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dari pemanfaatan kepentingan privat yang kuat. Hukum tersebut menganggap bahwa alokasi sumber daya yang paling baik dan paling efisien di dalam pasar akan diperoleh melalui persaingan yang nyata. Persaingan tersebut hanya dapat diperoleh jika praktik-praktik yang bersifat penipuan dan anti kompetitif dilarang oleh

18

Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Berkaitan dengan HKI, [2]. 19 Deslaely Putranti, ‘Pembatasan Perjanjian Lisensi Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam Hukum Persaingan Usaha’ [19].

89


kekuatan hukum.20 Pada prinsipnya, penulis meyakini bahwa hukum HKI dan hukum anti monopoli memiliki tujuan kebijakan yang sama. Keduanya bertujuan untuk memajukan pembangunan dengan menyediakan dorongan untuk menarik penelitian, perdagangan, dan kegiatan kreatif dengan syarat tidak merugikan kepentingan publik. Sementara itu, hak eksklusif yang diberikan oleh sistem HKI baik di bidang hak cipta, paten, merek atau rahasia dagang dapat dialihkan kepada orang lain dengan beberapa cara, salah satunya melalui perjanjian lisensi. Dengan mengadakan perjanjian lisensi, seseorang atau sebuah perusahaan dapat menggunakan invensi atau ciptaan orang lain. Namun terkadang perjanjian lisensi memberikan syarat-syarat yang dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dalam suatu pasar. Oleh sebab itu, dipandang perlu dibentuknya peraturan perihal batasan-batasan dalam penggunaan HKI dalam hukum anti monopoli.21 Dengan demikian, penulis menegaskan bahwa walaupun terdapat pengecualian dalam Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, namun dalam penafsirannya masih diperlukan perhatian pada arah dan tujuan dari undang-undang tersebut dibentuk, sehingga dapat ditemukan batasan yang dapat digunakan dalam pemahaman pasal tersebut. Hal ini dapat menimbulkan suatu keharmonisan antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Berkaca dari kasus penyiaran di Kanada, yaitu kasus MacGill yang merupakan sebuah program pasar penyuplai medis sejak 1904. Bermula dari adanya dua perusahaan penyiaran yang menolak memberikan sebuah lisensi bagi penggunaan HKI kepada MacGill untuk memasukkan program televisi tersebut di dalam petunjuk acara televisi mingguan Kanada. Hal ini menimbulkan HKI dari MacGill telah

20 21

Hak Kekayaan Intelektual (n 12) [285]. Ibid, [286].

90


disalahgunakan oleh perusahaan penyiaran untuk menguasai informasi-informasi rahasia dari program televisi tersebut.22 Pada dasarnya Kanada memiliki hukum penyiaran yang diatur oleh undangundang (Broadcasting Act), yang dibentuk tahun 1991 untuk menciptakan badan regulator mandiri bernama The Canadian Radio-Television and Telecommunication Commission (Komisi Radio, Televisi, dan Telekomunikasi Kanada). Berdasarkan kiprah lembaga ini, sistem penyiaran publik yang berkembang di Kanada akhirnya memilih model Inggris dengan lahirnya CBC (Canadian Broadcasting) yang didirikan sebagai organisasi milik publik. Tugas dan kewenangan lembaga ini yaitu mengatur dan melakukan pengawasan semua aspek yang terkait sistem penyiaran di Kanada, serta secara umum mengatur agar terjadi keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya dalam publik.23 Kemudian kaedah normatif anti monopoli di Amerika Serikat dan Kanada khususnya berasal dari larangan-larangan terhadap tindakan pelaku usaha untuk melakukan pembatasan perdagangan yang berkembang melalui common law. Asumsi dasar dari ketentuan anti monopoli tersebut diperkuat dengan pendapat John Bates Clark yang menyatakan bahwa pasar menginginkan untuk di atur dengan tujuan untuk mencegah tindakan pelaku usaha dalam menjalankan praktik bisnis yang sanggup menghalangi persaingan.24 Dalam perkembangannya, penerapan doktrin essential facilities (EF) di Pengadilan Amerika Serikat yang mengkaitkan kepemilikan monopoli alami dengan mengabaikan utilitas, fasilitas transportasi atau aset fisik lainnya mulai ditinggalkan karena dinilai dalam jangka panjang tidak dapat mendorong munculnya inovasi sebagaimana tujuan hukum anti monopoli. Selanjutnya, Pengadilan di Amerika Serikat

I Gusti Ngurah Putra, ‘Transformasi Agropolitan TV dari Penyiaran Pemerintah menjadi LPP Lokal (The Transformation of Agropolitan TV from Government Broadcasting to Public Broadcasting)’ (2018) 20 JURNAL IPTEKKOM : Jurnal Ilmu Pengetahuan & Teknologi Informasi [5] <https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/iptekkom/article/view/1-16> accessed 14 December 2019. 23 Regulasi Penyiaran ; Dari Otoriter Ke Liberal (Cet 1, LKiS Yogyakarta 2007), [27-28]. 24 Johan (n 11), [188-189]. 22

91


menggunakan metode analisis ekonomi terhadap hukum (economic analysis of law) untuk menganalisis kasus anti monopoli yang terkait dengan HKI. 25 Penggunaan analisis ekonomi terhadap hukum dalam kasus anti monopoli bertujuan mengukur sifat dari perilaku pelaku usaha dalam pasar, sehingga dapat ditentukan ada tidaknya akibat negatif terhadap persaingan.26 Penulis meyakini jika ada sifat anti persaingan, maka lisensi HKI baru dapat dinyatakan melanggar kaedah normatif anti monopoli. Sebaliknya jika tidak adanya sifat anti persaingan, maka tidak akan mengakibatkan adanya pelanggaran ketentuan hukum anti monopoli. 2.2. Upaya Pemerintah dalam Menangani Permasalahan tentang Penolakan Pemberian Lisensi bagi Pemilik HKI Hak Cipta meliputi bidang ilmu pengetahuan, karya sastra dan seni seperti buku, hasil karya tulis, tafsir, terjemahan, ceramah, pidato, novel, film, drama, syair, lagu, musik, logo, potret, perangkat lunak komputer, database dan seni rupa dalam segala bentuk. Hak-hak Terkait adalah hak para pelaku pertunjukan, produser rekaman musik dan lembaga penyiaran. Walaupun tidak wajib didaftarkan, namun pendaftaran ciptaan pada Direktorat Jenderal (Ditjen) HKI dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari.27 Maka dari itu, pemerintah dan masyarakat pemilik atau pencipta karya itu sendiri seharusnya memiliki kesadaran akan hak-haknya dan segera mendaftarkan hasil karya ciptanya kepada lembaga yang berwenang.28

Rita Coco, ‘Antitrust Liability For Refusal To License Intellectual Property: A Comparative Analysis and the International Setting’ (2008) 12 hlm. 28. 26 Shidarta, ‘Catatan Seputar Hukum Persaingan Usaha’ (Business Law) <https://businesslaw.binus.ac.id/2013/01/20/catatan-seputar-hukum-persaingan-usaha/> accessed 14 December 2019. 27 Irma Devita, ‘Lindungilah Hasil Karya Anda Sebelum Diakui Oleh Orang Lain.’ (30 April 2012) <https://irmadevita.com/2012/lindungilah-hasil-karya-anda-sebelum-diakui-oleh-orang-lain/> accessed 19 December 2019. 28 Alternatif Pengajuan Permohonan Hak adalah sama, pemohon dapat melakukan pengajuan permohonan dengan memilih salah satu cara berikut ini langsung ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di kantor pusatnya yang beralamat di Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 8-9, Jakarta Selatan 12940, Indonesia, melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI di seluruh Indonesia, melalui Kuasa Hukum Konsultan HKI terdaftar. Selengkapnya lihat Tri Jata Ayu Pramesti, ‘Ulasan Lengkap : Cara Mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual’ (2015) 25

92


Kemudian upaya hukum yang dapat dilakukan salah satu pihak apabila merasa dirugikan dengan adanya perjanjian lisensi diantaranya dengan penyelesaian sengketa Alternatif yang diatur dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Selain itu, penyelesaian sengketa alternatif dalam Undang-Undang Hak Cipta lebih khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.29 Secara khusus, undang-undang Hak Cipta telah mengamanatkan dalam pasalnya untuk mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi dengan Peraturan Pemerintah (PP).30 Dalam kaitannya dengan perjanjian lisensi, pemerintah telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Lisensi, namun permasalahan yang terjadi adalah belum disahkannya PP yang dimaksud sampai saat ini. Adanya kenyataan tersebut membawa konsekuensi pada kurangnya pengaturan secara formal mengenai perjanjian lisensi terutama yang akan digunakan untuk melengkapi perundang-undangan terkait dengan tujuan melindungi para pihak dalam perjanjian lisensi.31 Dibentuknya ketentuan mengenai perjanjian lisensi tersebut sangat penting dalam upaya pengaturan secara rinci, sebab dalam pelaksanaannya perjanjian lisensi sendiri merupakan suatu perjanjian yang wajib di daftarkan. 32 Hal ini dapat menyebabkan banyak kasus mengenai lisensi di pengadilan yang sampai saat ini belum ada aturannya sehingga upaya penyelesaiannya hanya berdasarkan hukum perjanjian, khususnya kasus mengenai penolakan pemberian lisensi bagi pemilik HKI itu sendiri.

<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt55fe6e132fa14/cara-mendaftarkan-hakkekayaan-intelektual/> accessed 21 December 2019. 29 Ida Rofida, ‘Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek dalam Praktek Bisnis Hak Atas Kekayaan Intelektual’ (2015) 3 JURNAL CITA HUKUM hlm. 71-72 <http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/citahukum/article/view/1847> accessed 19 December 2019. 30 Pasal 86 angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam bidang hak cipta, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Lisensi dan Lisensi Wajib Hak Cipta belum di tetapkan, dalam RPP Lisensi dan Lisensi Wajib Hak Cipta sebagai pelaksanaan UU Hak Cipta. Lihat http : //www. Ristek.go.id, accessed 21 December 2019. 31 ‘Lisensi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam Perspektif Hukum Perjanjian di Indonesia’ (n 3) hlm. 357-358. 32 ibid hlm. 358.

93


Perjanjian lisensi pada dasarnya melibatkan pihak lokal sebagai licensee (penerima lisensi) dan pihak licensor (pemberi lisensi) yang terjadi dalam kerangka internasional sehingga potensi tersebut memunculkan berbagai permasalahan yang menyangkut keseimbangan tawar (bargaining position) para pihak atau perjanjian itu sendiri. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran dalam menyelenggarakan perjanjian lisensi yang tidak merugikan para pihak dengan memberikan pengawasan terhadap lembaga negara agar menghindari hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Peran ini tidak hanya sebatas hal yang disebutkan di atas akan tetapi sampai pada tahap bahwa perjanjian lisensi itu akan dapat membawa perubahan yang baik terhadap perusahaan penyiaran.33 Oleh karena itu penulis meyakini bahwa diperlukan upaya dan sinergi dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian khususnya pemerintah untuk mewujudkan penyelenggaraan perjanjian lisensi yang dapat memberikan perlindungan hak terhadap para pihak agar pembatasan pemberian lisensi dapat di kurangi. Masalah mengenai penolakan pemberian lisensi yang terjadi dalam upaya perlindungan hukum perjanjian lisensi HKI sebenarnya dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum perjanjian itu sendiri dengan catatan para pihak memiliki itikad baik dan inisiatif dalam upaya menyelesaikan sengketa. Sehingga, hal tersebut dapat memberikan kesepakatan yang disetujui bersama demi terwujudnya hukum perjanjian yang saling menguntungkan diantara para pihak (win-win solution contract), di satu sisi memberikan kepastian hukum dan di sisi lain memberikan keadilan.34 Selain itu, dalam upaya membentuk pengaturan secara formal mengenai perjanjian lisensi sebagai pelengkap perundang-undangan terkait dalam perjanjian lisensi maka pemerintah membuat kebijakan dan regulasi dengan memperkuat perundang-undangan dan kelembagaan.35 Upaya tersebut diawali dengan penyelarasan

33

Ibid. Ibid, [376]. 35 Efridani Lubis, Elisa Anggraeni and M Hendra Wibowo, ‘Hak Kekayaan Intelektual dan Tantangan Implementasinya di Perguruan Tinggi’ 262, [12]. 34

94


semua peraturan perundangan undangan di bidang HKI dengan Persetujuan TRIPs, yaitu pada tahun 2000 Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Pada pertengahan tahun 2016, disahkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Kedua undang-undang ini menggantikan undang-undang yang lama di bidang terkait. Yang terbaru dan berkaitan dengan perusahaan penyiaran yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menggantikan undang-undang yang lama.36 Penulis meyakini bahwa upaya tersebut dapat meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan simplifikasi pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan pencatatan perjanjian lisensi kekayaan intelektual sehingga mempermudah pembuktian.Kemudian adanya konvergensi dari industri telekomunikasi, informatika dan multimedia termasuk penyiaran dapat menjadikan ketiga bidang ini tidak dapat dipisahkan atau dibedakan satu sama lain, terutama dalam penggunaan sarana, cara penyampaian muatan informasi serta aplikasinya. Konvergensi memungkinkan jaringan yang berbeda menyalurkan layanan yang sama dan beragam layanan dapat disalurkan melalui jaringan yang sama. 37 Hal ini dilakukan dengan maksud paradigma baru tersebut dapat memberikan manfaat bagi percepatan peningkatan penetrasi telematika di Indonesia dengan pelayanan yang beragam. 38 36

Selengkapnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual yang merupakan pelaksanaan amanat dari beberapa undang-undang di bidang kekayaan intelektual mendelegasikan mengenai perlunya pencatatan Lisensi dalam peraturan pelaksanaannya. Lihat ‘PP 36 tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual’ <https://www.jogloabang.com/ekbis/pp-36-2018-pencatatan-perjanjian-lisensikekayaan-intelektual> accessed 21 December 2019. 37 Konvergensi media adalah penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan kedalam satu titik tujuan. Konvergensi media biasanya merujuk pada perkembangan teknologi komunikasi digital yang dimungkinkan dengan adanya konvergensi jaringan. 38 Telematika adalah singkatan dari Telekomunikasi dan Informatika. Telematika merupakan adopsi dari bahasa Prancis yang sebenarnya adalah “Telematique� yang kurang lebih dapat diartikan sebagai bertemunya sistem jaringan komunikasi dengan teknologi informasi. Telekomunikasi di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 berikut PP yang terkait (Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, sedangkan

95


Dalam upaya peningkatan kelembagaan, pemerintah saat ini telah membentuk Badan Regulasi Penyiaran, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Badan Regulasi Telekomunikasi (BRT).39 Kedua lembaga ini telah menyatu, saling bekerja sama dan terintegrasi dalam mencegah dan menangani permasalahan di dunia penyiaran. KPI dapat melakukan pengawasan terhadap berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, terutama dengan BRT agar hak-hak masyarakat pemilik HKI dapat dilindungi dalam regulasi industri telematika nasional dan perkembangan konvergensi ini. 40 Dalam kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam upaya melindungi hak kekayaan intelektualnya, AS menempatkan China dan Kanada dalam daftar pengawasan prioritas HKI. Amerika Serikat dalam memenuhi komitmen bilateral dengan negara tersebut harus memiliki standar obyektif dan keadilan. Pelaksana dari sistem HKI di AS dilakukan oleh UM Tech Transfer Offices dari University of Michigan, unit kerja ini berfungsi sebagai Technology Transfer Office/ Technology Lisensing Office.41 Dalam melaksanakan transfer teknologi dan HKI, ada beberapa pilihan cara yang ditentukan oleh inventor bersama-sama dengan UM Tech Transfer Offices. Pilihan yang diambil haruslah merupakan pilihan terbaik untuk Universitas. Dalam hal pemberi keputusan dapat dicapai melalui Vice President of Research sebagai pemutus terakhir.42

penyiaran dan informatika diatur atau akan diatur oleh perangkat perundang-undangan berikut PP tersendiri. 39 Masyarakat Telematika Indonesia, ‘Cetak Biru Telekomunikasi (Mastel)’. 40 ‘Pengawasan Penyiaran’ (Komisi Penyiaran Indonesia) <http://www.kpi.go.id/index.php/id/pengawasan-penyiaran> accessed 21 December 2019. 41 University technology transfer offices (TTOs), or Technology Licensing Offices (TLOs), bertanggung jawab atas transfer teknologi dan aspek-aspek lain dari komersialisasi penelitian yang terjadi di universitas. 42 Lubis, Anggraeni and Wibowo (n 35) [127].

96


III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang dikemukakan dan setelah diadakan analisis permasalahan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa hukum HKI dan hukum anti monopoli tidak bertentangan satu sama lain. Keduanya memiliki tujuan kebijakan yang sama, yaitu untuk memajukan pembangunan dengan mendorong penelitian, perdagangan, dan pembuatan karya. Hal ini dilakukan dalam rangka menyeimbangkan kepentingan privat yang terkandung dalam lisensi HKI dan kepentingan publik yang diatur oleh hukum anti monopoli, serta melindungi hak-hak bagi pemilik HKI. Dalam hal pembatasan pemberian lisensi HKI dalam perusahaan penyiaran yang merugikan kepentingan publik dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum anti monopoli. Sehingga perlu adanya upaya penanganan oleh pemerintah terhadap permasalahan tersebut. Upaya hukum yang dilakukan apabila perjanjian lisensi merugikan salah satu pihak adalah penyelesaian sengketa alternatif melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Selain itu, dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum perjanjian, yang dilakukan para pihak dengan itikad baik apabila terjadi penolakan pemberian lisensi agar tercapai win-win solution contract. Adanya upaya penyelarasan peraturan perundangan-undangan di bidang HKI, konvergensi dari industri telekomunikasi, informatika dan multimedia termasuk penyiaran, dan peningkatan kelembagaan oleh pemerintah, yaitu Badan Regulasi Penyiaran, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Badan Regulasi Telekomunikasi (BRT) dapat meningkatkan kinerja pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi peningkatan penetrasi telematika dengan pelayanan yang beragam di dunia penyiaran.

97


DAFTAR PUSTAKA Buku Iksawan J, Hukum Penyiaran (PT RajaGrafindo Persada, 2010) Masduki, Regulasi Penyiaran ; Dari Otoriter Ke Liberal (Cet 1, LKiS Yogyakarta 2007) Smith GV and L. Parr R, Intellectual Property Licensing and Joint Venture Profit Strategies (Third Edition) (John Wiley & Sons Inc 2004) Tim Lindsey, Hak Kekayaan Intelektual (PT Alumni 2006) Jurnal A. Lemley M, ‘The Economics of Improvement in Intellectual Property Law’ (1997) 75 Anggara Paramarta IGBA, Wyasa Putra IB and Sri Utari NK, ‘Akibat Hukum Perjanjian Lisensi terhadap Pihak Ketiga’ (2017) 1 Acta Comitas 75 Bohannan C and Hovenkamp H, ‘IP Dan Antitrust: Reformation and Harm’ (2010) 51 Coco R, ‘Antitrust Liability For Refusal To License Intellectual Property: A Comparative Analysis and the International Setting’ (2008) 12 Hidayati E, ‘Komersialisasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Melalui Lisensi’ 22 Ismail E, ‘Regulasi Penyiaran Digital: Dinamika Peran Negara, Peran Swasta, dan Manfaat Bagi Rakyat’ (2019) 17 22 Johan A, ‘Lisensi HAKI dalam Kaedah Normatif Anti Monopoli’ 37 Lubis E, Anggraeni E and Wibowo MH, ‘Hak Kekayaan Intelektual dan

Tantangan

Implementasinya di Perguruan Tinggi’ 262 Masyarakat Telematika Indonesia, ‘Cetak Biru Telekomunikasi (Mastel)’ Putra IGN, ‘Transformasi Agropolitan TV dari Penyiaran Pemerintah menjadi LPP Lokal (The Transformation of Agropolitan TV from Government Broadcasting IPTEKKOM :

to

Public

Broadcasting)’

(2018)

20

JURNAL

Jurnal Ilmu Pengetahuan & Teknologi Informasi

98


<https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/iptekkom/article/view/1-16> accessed 14 December 2019 Putranti D, ‘Pembatasan Perjanjian Lisensi Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam Hukum Persaingan Usaha’ 19 Rofida I, ‘Penyalahgunaan Perjanjian Lisensi Merek dalam Praktek Bisnis Hak Atas Kekayaan Intelektual’ (2015) 3 JURNAL CITA HUKUM <http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/citahukum/article/view/1847> accessed 19 December 2019 Shapiro C, ‘Antitrust Limits to Patent Settlements’ (2003) 34 Sulasno, ‘Lisensi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam Perspektif Hukum Perjanjian

di

Indonesia’

(2019)

3

ADIL:

Jurnal

Hukum

<http://academicjournal.yarsi.ac.id/index.php/JurnalADIL/article/view/815> accessed 3 December 2019 Syafa’At M, ‘Komersialisasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Melalui Lisensi’ Internet ‘Kasus

Siaran

Liga

Inggris

Berlanjut

Ke

KPPU

-

Hukumonline.Com’

<https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17570/kasus-siaranliga- inggris-berlanjut-ke-kppu/> accessed 7 December 2019 ‘Pengawasan

Penyiaran’

(Komisi

Penyiaran

Indonesia)

<http://www.kpi.go.id/index.php/id/pengawasan-penyiaran> accessed 21

December 2019

‘PP 36 tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual’ <https://www.jogloabang.com/ekbis/pp-36-2018-pencatatanperjanjian-

lisensi-kekayaan-intelektual> accessed 21 December 2019

Devita I, ‘Lindungilah Hasil Karya Anda Sebelum Diakui Oleh Orang Lain.’ (30 April

2012)

<https://irmadevita.com/2012/lindungilah-hasil-karya-

anda- sebelum-diakui-oleh-orang-lain/> accessed 19 December 2019 Jata Ayu Pramesti T, ‘Ulasan Lengkap : Cara Mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual’

(2015) 99


<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt55fe6e132fa14/ cara- mendaftarkan-hak-kekayaan-intelektual/> accessed 21 December 2019 Shidarta,

‘Catatan

Seputar

Hukum

Persaingan

Usaha’

(Business

Law)

<https://business-law.binus.ac.id/2013/01/20/catatan-seputar-hukumpersaingan-usaha/> accessed 14 December 2019 Tobing L, ‘Ulasan lengkap : Pemegang Hak Cipta dan Pemegang Lisensi’ (hukumonline.com/klinik) <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt550077782a2fb/ pem egang-hak-cipta-dan-pemegang-lisensi/> accessed 3 December 2019 Perundang-undangan Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Berkaitan dengan HKI. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual (Lembaran Negara

Republik

Indonesia Tahun 2018 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6229). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817).

100


PERLINDUNGAN HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL PADA PRODUK MEREK TERKENAL DI INDONESIA Aranty Fahira Ardiva dan Fadhilah Nuraini Rustam Universitas Jenderal Soedirman ABSTRAK Merek adalah tanda yang memiliki daya pembeda yang digunakan dalam perdagangan barang/jasa dan yang mampu membedakan pelaku usaha satu dengan pelaku usaha lainnya. Sebagai negara kepulauan yang memiliki pengetahuan, tradisi dan budaya dan iklim tropis yang menghasilkan berbagai macam barang/produk yang mempunyai potensi ekonomi yang tinggi, sudah seharusnya Indonesia mempunyai suatu konsep perlindungan hukum merek yang ada sehingga menimbulkan hak eksklusif yang diberikan suatu hukum kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya dengan nilai ekonomi yang dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Permasalahan yang terjadi di bidang Kekayaan Intelektual dibeberapa negara termasuk Indonesia, sangat menginginkan perlindungan hukum atas Kekayaan Intelektual. Perlindungan dimaksud agar pemilik Kekayaan Intelektual baik perorangan, kelompok atau badan usaha dapat menggunakan haknya atau mengeksplorasi kekayaannya dengan aman karena adanya perlindungan. Oleh karena itu hukum harus melindungi merek karena merupakan salah satu properti dari Hukum Kekayaan Intelektual. Kata kunci: kekayaan Intelektual, Perlindungan, Merek

ABSTRACT A brand is a sign that has the distinguishing power used in the trade of goods / services and is able to distinguish one business actor from another business actor. As an archipelago that has knowledge, traditions and culture and a tropical climate that produces a variety of goods / products that have high economic potential, Indonesia should have a concept of existing brand legal protection so as to give rise to exclusive rights granted by a law to a person or group people for their work with economic value that can create prosperity for their people. Problems that occur in the field of Intellectual Property in several countries including Indonesia, really want legal protection for Intellectual Property. Protection is intended so that the owner of Intellectual Property whether individual, group or business entity can use their rights or explore their wealth safely because of the protection. Therefor, the law must protect the brand because it is one of the properties of the Intellectual Property Law. Key Words: Intellectual property, Protection, Brand.

101


I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Pengaturan tentang hak cipta, paten, merek dan Hak Atas Kekayaan Intelektual

termasuk dalam bidang hukum perdata yang merupakan bagian hukum benda. Khusus mengenai hukum benda disana terdapat peraturan tentang hak kebendaan. Hak kebendan itu sendiri terdiri dari hak kebendaan materil dan immateril. Hak atas benda immateril juga banyak macamnya. Ada hak atas tagihan, hak yang ditimbulkan dari penerbitan surat berharga, termasuk juga dalam lingkup ini hak sewa, hak guna uasaha dan hak huna bangunan. Dalam tulisan ini kami hanya mengetengahkan tentang hak atas benda immateril, yang dalam kepustakaan hukum sering disebut dengan istilah Hak Milik Intelektual atau Hak Atas Kekayaan Intelektual (intellectual property rights) yang terdiri dari copy rights (hak cipta) dan industrial property rights (hak atas kekayaan perindustrian). Hak cipta adalah merupakan hak eksklusif yang merupakan hasil buah pikiran atau kreasi manusia di bidang seni, sastra, dan ilmu pengetahuan. Ruang lingkup perlindungan hak cipta sangat luas, karena ia tidak saja menyangkut hak-hak individu dan badan hukum lainnya yang berada dalam lingkup nasional, tetapi lebih jauh ia menembus dinding-dinding dan batas-batas suatu negara yang untuk selanjutnya lebur dalam hiruk pikuk pergaulan hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya dan dunia internasional. Sama halnya dengan hak cipta dalam hal perlindungannya hak atas kekayaan perindustrian yang terdiri dari merek, paten, desain produk industri dan lain-lain, perlindungannya juga menembus dinding-dinding nasional. Merek secara eksplisit disebut sebagai benda immateril dalam konsiderasi UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disingkat UUM 2001) bagian menimbang butir a, yang berbunyi: Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merk

102


menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat;1 UUM 2001 tidak menyebutkan bahwa merek merupakan salah satu wujud dari karya intelektual. Sebuah karya yang didasarkan kepada olah pikir manusia, yang kemudian terjelma dalam bentuk benda immateril. Berdasarkan Pasal 3 UU No.14 Th 1994 jo UU No.15 Th 2001, hak atas Merek adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemilik merek terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum atau menggunakannya. Hak atas merek merupakan salah satu hak kekayaan intelektual yang harus dilindungi oleh Negara. Karena merek mempunyai fungsi yaitu sebagai alat pembeda antara barang atau jasa yang satu dengan barang atau jasa yang lain, terutama barang atau jasa yang sejenis. Sehingga masyarakat dapat mengerti serta dapat membedakannya antara merek terkenal dan tidak terkenal. Karena merek mempunyai arti yang sangat penting maka perlu adanya perlindungan terhadap merek atau hak atas merek kepada pemegang merek terdaftar. Pemberian perlindungan hak atas merek, hanya diberikan kepada pemilik merek yang mereknya sudah terdaftar saja. Perlindungan merek diberikan manakala terjadi suatu pelanggaran merek yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hak terhadap suatu merek. Dalam dunia perdagangan merek mempunyai peranan yang penting, karena dengan merek yang terkenal maka akan dapat mempengaruhi keberhasilan suatu usaha terutama dalam hal pemasaran. Dalam dunia perdagangan sering terjadi pelanggaran terhadap merek terkenal. Pelanggaran terjadi karena ada pihak yang tidak mempunyai hak menggunakan merek terdaftar untuk kepentingannya. Penyebab pelanggaran merek yang terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut:

1

Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2001 No. 110, Undang-Undang No.15 Tahun 2001, Tentang Merek, Jakarta, 1 Agustus 2001, bagian “menimbang� butir a.

103


a. Undang-Undang HAKI di Indonesia masih lemah, Pangsa pasar umumnya masyarakat lebih senang membeli produk yang harganya murah walaupun kualitasnya rendah b. Lemahnya pengawasan dan pelaksanaan peraturan tersebut c. Animo masyarakar terhadap produk bermerek tetapi harganya murah d. Daya beli masyarakat yang masih rendah e. Kurang memperhatikan kualitas suatu produk f. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pelanggaran merek yang masih rendah g. Kondisi perekonomian dimana masyarakat cenderung membeli merek palsu, karena murah Selain itu juga disebabkann oleh persaingan curang yang disebut “passing of�. Passing of adalah persaingan curang yang dilakukan dengan cara memproduk suatu barang yang menggunakan bentuk, tampilan atau desain tertentu dan tidak terdaftar sebagai merek. Contoh kasus adalah Produk Wafer dan Permen Camilio yang hampir sama dengan desain dan komposisi warna dengan Merek Milo (susu coklat dan coklat yang diproduksi PT. Nestle). Ternyata Camilo terdaftar di Dirjen HAKI. Hal ini merupakan pelanggaran merek baru. Karena memproduksi barang yang tidak sama (antara susu coklat dan coklat–Milo dengan wafer dan permen-Camilo) tetapi menggunakan desain dan komposisi yang sama, yang disebut Passing Off. Pelanggaran ini jika dituntut sulit penegakan hukumnya. Perlindungan terhadap merek terkenal diberikan oleh Negara melalui undangundang baik perlindungan yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif. Perlindungan yang preventif terdapat dalam Pasal 4, 5, 6 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, sedang perlindungan represifnya ada dalam Pasal Ketentuan Pidana dari Pasal 90 sampai dengan Pasal 95 UU No 15 Tahun 2001. Apabila terjadi pelanggaran merek maka pemilik merek akan dilindungi oleh pasal preventif dan pasal represif.

104


Dengan adanya perlindungan tersebut menunjukkan bahwa Negara berkewajiban dalam menegakkan hukum merek. Oleh karena itu apabila ada pelanggaran merek terdaftar, pemilik merek dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. Dengan perlindungan tersebut maka akan terwujud keadilan yang menjadi tujuan dari hukum. Salah satu tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan masyarakat. Dengan perlindungan hukum maka pemilik merek yang sah terlindungi hak-haknya. Negara wajib memberikan perlindungan terhadap pihak-pihak yang dirugikan sesuai dengan konteks State Law. 1.2

Rumusan Masalah 1.2.1 Sejarah Pengaturan Merek di Indonesia 1.2.2 Perlindungan Merek Secara Internasional 1.2.3 Perlindungan Hukum atas Merek Terkenal di Indonesia

1.3

Dasar Hukum

II.

ANALISIS

2.1. Sejarah Pengaturan Merek di Indonesia Dalam sejarah perundang-undangan merek di Indonesia dapat dicatat bahwa pada masa kolonial Belanda berlaku Reglement Industriele Eigendom (RIE) yang dimuat dalam Stb. 1912 No. 545 Jo. Stb. 1913 No. 214. Setelah Indonesia merdeka peraturan ini juga dinyatakan terus berlaku, berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Ketentuan itu masih terus berlaku, hingga akhirnya sampai pada akhir tahun 1961 ketentuan tersebut diganti dengan UU No. 21 Tahun 1961tentang merek perusahaan dan merek perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan dimuat dalam lembaran negara RI No. 290 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 2341 yang mulai berlaku pada bulan November 1961. Undang-Undang Merek tahun 1961 mampu bertahan selama 31 tahun dan akhirnya di cabut dan di gantikan dengan oleh Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang “Merek� yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI. Tahun 1992 No. 81

105


danpenjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3490, pada tanggal 28 Agustus 1992. UU ini berlaku sejak 1 April 1993. Selanjutnya Tahun 1997 UU Merek Tahun 1992 tersebut juga diperbaharui lagi dengan UU No. 14 Tahun 1997 dan pada saat ini tahun 2001 UU No. 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No. 14 Thun 1997 dinyatakan tidak berlaku dan sebagai gantinya kini adalah Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001. Selain tentang perlindungan terhadap merek dagang dan merek jasa, dalam Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 ini juga diatur juga mengenai perlindungan terhadap indikasi geografis, yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam atau faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilakan. Selain itu diatur juga mengenai indikasi asal. Pada tahun 2016 lahir Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. UU ini yang diundangkan pada tanggal 25 November 2016 dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 252 Tahun 2016. Pada saat UU ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hingga saat ini UU yang berlaku untuk merek dan indikasi geografis ialah Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Dengan undang-undang ini terciptalah pengaturan merek dalam satu naskah (single text) seingga lebih memudahkan masyarakat menggunakannya. Dalam hal ini ketentuan – ketentuan dalam undang – undang merek yang lama, yang substantifnya tidak diubah, dituangkan kembali dalam UU ini. 2.2. Perlindungan Merek Secara Internasional Di samping peraturan perundang-undangan nasional tentang Merek, masyarakat juga terikat dengan peraturan merek yang bersifat Internasional seperti pada Konvensi 106


Paris Union yang diadakan pada tanggal 20 Maret 1883 yang khusus diadakan untuk memberikan perlindungan pada hak milik perindustrian (Paris Convention for the Protection of Industrial Property). Mula – mula konvensi ini ditandatangani oleh 11 negara peserta. Kemudian angotanya bertambah hingga pada tanggal 1 Januari 1976 berjumlah 82 Negara, termasuk Indonesia. Teks yang berlaku untuk Republik Indonesia adalah revisi dari teks Paris Convention yang dilakukan di London pada tahun 1934. Karena merupakan peserta pada Paris Union Convention ini, maka Indonesia juga turut serta dalam International Union for the Protection of Industrial Property yaitu organisasi Uni-Internasional khusus untuk memberikan perlindungan pada Hak Milik Perindustrian, yang sekarang ini sekretariatnya turut diatur oleh Sekretariat International WIPO (World Intellectual Property), berpusat di Jenewa, Swiss. WIPO merupakan salah satu dari 14 “specialized agencies” dari Perseikatan Bangsa – Bangsa (PBB UNO)2. Walaupun Indonesia terikat pada ketentuan Paris Union, kita masih memiliki kebebasan mengatur Undang Undang Merek sendiri, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang sudah dibkukan dalam Konvensi Paris. Beberapa catatan penting mengenai isi dari Paris Union Convention dapat diturunkan sebagai berikut:3 a. Kriteria Pendaftaran b. Hilangnya merek dagang karena tidak digunakan c. Perlindungan khusus bagi merek- merek dagang terkenal d. Merek dagang jasa dan merek dagang kolektif e. Pengalihan Selanjutnya perjanjian internasional lainnya mengenai merek adalah Madrid Agreement (1891)yang direvisis di Stockholm tahun 1967.Perjanjian internasional 2

Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti, 1989, [2-3] E.A. Mout – Bouwman, Merek Dagang Internasonal, Makalah pada Seminar Hak Milik Intelektual, [1- 8] 3

107


yang lain yang juga menyangkut perlindungan merek adlah traktat pendaftaran merek dagang (TRT)- 1973. Traktat ini telah dibuat elama konferensi WIPO di Wina pada tanggal 12 Juni 1973. Seperti Madrid Agreement, Traktat pendaftaran merek dagang ini memungkinkan diperolehnya pendaftaran internasional dengan satu permohonan saja. Akan tetapi berbeda dengan Madrid Agreement dalam hal bahwa pendaftaran internasional berdasarkan TRT tersebut tidak bergantung pada pendaftaran sebelumnya di negara asal. Sebagai akibatnya permohonan dapat langsung diajukan ke kantor internasional di Jenewa, dan bukan melalui kantor merek dagang di negara asal. Akibat lain dari TRT ini adalah bahwa pendaftaran merek dagang internasonal tidak bergantung pada masa berlakunya pendaftaran merek dagang nasional sebagaimana halnya dalm Madrid Agreement. Perbedaan ini telah menjadi alas an bagi banyak negara untuk mengatakan bahwa TRT ini terlalu liberal dan mereka tidak mau mengikuti konvensi ini. Selanjutnya konvensi Nice untuk penggolongan barang dan jasa secara internasional (1957), diubah di Stockholm (1967) dan Jenewa (1977). Penggolongan ini berfungsi untuk mempermudah perbandingan antara merek-merek dagang dan karena itu mempermudah penelitian kemungkinan persamaan barang yang telah terdaftar dalam kelas yang sama.4 2.3. Perlindungan Hukum atas Merek Terkenal di Indonesia Ada dua macam mekanisme perlindungan, perlingdungan hukum preventif dan perlindungan hukum prefesif. 2.3.1. Perlindungan Hukum preventif : a. Pendaftaran Merek Sebagai konsekuensi dari sistem konstitutif yang dianut oleh UU No. 15 tahun 2001, hak atas merek tercipta karena pendaftaran. Dengan melakukan

4

OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Rajagrafindo Persada, 2006, [342]

108


pendaftaran, pemilik merek akan memperoleh hak eksklusif atas penggunaan merek tertentu atau untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya selama jangka waktu tertentu serta pendaftaran merek sebagai upaya perlindungan hukum preventif dari negara terhadap merek terkenal.5 Ada dua sistem yang dianut dalam pendaftaran merek yaitu sistem deklaratif dan konsitutif (atributif). Undang-undang merek tahun 2001 dalam sistem pendaftarannya menganut sistem konstitutif. Secara international menurut Soegondo Soemodiredjo ada dikenal 4 sistem pendaftaran Merek yaitu: 1. Pendaftaran merek tanpa pemeriksaan merek terlebih dahulu. Menurut sistem ini merek yang dimohonkan pendaftarannya segera didaftarakan asal syarat-syarat permohonannya telah dipenuhi antara lain, pembayaran biaya permohonan, pemeriksaan dan pendaftaran. 2. Pendaftaran dengan pemeriksaan merek terlebih dahulu. Sebelum didaftarkan merek yang bersangkutan terlebih dahulu diperiksa mengenai

syarat-syarat

permohonannya

maupun

syarat-syarat

mengenai merek-merek itu sendiri. Hanya yang memenuhi syarat dan tidak mempunyai persamaan pada keseluruhan atau pada pokoknya dengan merek yang telah didaftarkan untuk barang sejenis atas nama orang lain dapat didaftarkan. 3. Pendaftaran dengan pengumuman sementara. Sebelum merek yang bersangkutan didaftarkan, merek itu diumumkan terlebih dahulu untuk memberi kesempatan pada pihak lain mengajukan keberatan-keberatan tentang pendaftaran merek tersebut.

5

Kurnia, Titon Slamet, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di INDONESIA Pasa Perjanjian TRIPs, (Bandung : P.T. Alumni, 2011), Cet 1, [158]

109


4. Pendaftaran merek dengan pemberitahuan terlebih dahulu tentang adanya merek-merek terdaftar lain yang ada persamaannya. Pemohon pendaftaran merek diberitahu bahwa mereknya mempunya persamaan pada keseluruhan atau pada pokoknya dengan merek yang telah didaftarkan terlebih dahulu untuk barang sejenis atau nama orang lain.6 Dalam hal ini Indonesia menganut sistem pendaftaran dengan pemeriksaan terlebih dahulu. Tentang tata cara permohonan pendaftaran merek di Indonesia menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis diatur dalam pasal 4 yang menentukan bahwa (1) Permohonan pendaftaran Merek diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Menteri secara elektronik atau non-elektronik dalam bahasa Indonesia. (2) Dalam Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencantumkan: a. tanggal, bulan, dan tahun Permohonan; b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon; c. nama lengkap dan alamat Kuasa jika Permohonan diajukan melalui Kuasa; d. warna

jika

Merek

yang

dimohonkan

pendaftarannya

menggunakan unsur warna; e. nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; dan f. kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jenis jasa.

6

Saidin, Op.Cit., [362-363]

110


(3) Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya. (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan label Merek dan bukti pembayaran biaya. (5) Biaya Permohonan pendaftaran Merek ditentukan per kelas barang dan/atau jasa. (6) Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa bentuk 3 (tiga) dimensi, label Merek yang dilampirkan dalam bentuk karakteristik dari Merek tersebut. (7) Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa suara, label Merek yang dilampirkan berupa notasi dan rekaman suara. (8) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan surat pernyataan kepemilikan Merek yang dimohonkan pendaftarannya. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.7 b. Lisensi Lisensi

merupakan

institusi

yang

disediakan

hukum

untuk

mengeksploitasi secara ekonomis suatu hak milik atas benda-benda tidak berwujud tanpa yang bersangkutan harus kehilangan kontrol eksklusif atas kepemilikan bendanya. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu (Pasal 1 Angka 13 UU No. 15 Tahun 2001).8

7

Republik Indonesia,Lembaran Negara Tahun 2016 NO. 252, Undang-Undang No.20 Tahun 2016, Tentang Merek dan Indikasi Geografis, Jakarta, 25 November 2016, pasal 4. 8

Slamet, Op.Cit., [169]

111


Yang dimaksud Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam waktu dan syarat tertentu. Pasal 1 ayat 18 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis memberikan pengertian lisensi yaitu : “Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain berdasarkan perjanjian secara tertulis sesuai peraturan perundangundangan untuk menggunakan Merek terdaftar.�9 Meskipun Batasan tentang pengertian lisensi itu sudah ditetapkan secara tegas, namun ternyata pembuat Undang-Undang Merek Tahun 2001, masih rancu dalam memasangkan istilah lisensi itu dalam pasal-pasalnya. Selanjutnya dalam pemberian lisensi ini juga, undang-undang memberikan perlindungan hukum kepada mereka yang beritikad baik. Ini merupakan penerapan asas perlindungan hukum bagi yang beritikad baik. Meskipun untuk keadaan ini masih dapat dilakukan “penyelundupan� hukum oleh mereka yang beritikad tidak baik. 2.3.2. Perlindungan Hukum Represif : a. Penarikan kembali keputusan tentang pendaftaran merek Secara umum penarikan kembali suatu keputusan TUN pada hakikatnya tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum. Pada hakikatnya, penarikan kembali keputusan dapat dikonstuksikan sebagai suatu bentuk penegakan sanksi pemerintahan yaitu dalam hal yang

9

Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2016 NO. 252, Undang-Undang No.20 Tahun 2016, Tentang Merek dan Indikasi Geografis, Jakarta, 25 November 2016, pasal 1 ayat 4.

112


berkepentingan tidak memenuhi ketentuan atau syarat yang harus. Penarikan kembali keputusan sebagai bentuk penegakan sanksi pemerintahan hanya dapat dilaksanakan jika secara prosedural telah dipenuhi beberapa syarat : pertimbangan kepentingan yang pantas, kesempatan membela diri, memberikan alasan-alasan yang tepat atas penarikan kembali keputusan.10 b. Pembatalan merek oleh pengadilan dan ganti kerugian Dalam pasal 68 Ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001 menetapkan kaidah : “Gugatan pembatalan pendaftaran merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 4, 5 & 6 UU No. 15 Tahun 2001.�11 c. Hukum pidana Dalam hukum pidana berlaku asas menyangkut pemidanaan yang disebut dengan asas ultimatum remedium. Asas ini memiliki pengertian bahwa pemidanaan sebenarnya merupakan upaya terakhir. Tuntutan pidana dalam tiap delik yang ditetapkan dalam UUM 1997 adalah merupakan hak negara. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, tuntutan pidana juga dimaksudkan sebagai suatu bukti bahwa hak merek itu mempunyai ciri hak kebendaan (hak absolut). Pihak yang tidak berhak yang mencoba atau melakukan gangguan terhadap hak tersebut akan diancam dengan hukuman pidana. Ketentuan tindak pidana dalam kaitan dengan merek terdapat dalam BAB XIV Pasal 90 sampai dengan Pasal 95 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pasal 90 Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau 10 11

Slamet, Op.Cit., [175] Ibid., [190]

113


diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 91 Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 92 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi-geografis (3) milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). (4) Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 93 Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 94 (1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan 114


hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Pasal 95 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan delik aduan.12 Untuk penyidikan dalam tindak pidana ini pasal 89 UU Merek No. 15 tahun 2001 menentukan bahwa: 1. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Merek. 2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Merek; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Merek berdasarkan aduan tersebut pada huruf a; c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang Merek; d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang Merek;

12

Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2001 NO. 110, Undang-Undang No.15 Tahun 2001, Tentang Merek, Jakarta, 1 Agustus 2001, bagian “menimbang� pasal 90-95.

115


e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Merek; dan f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Merek. 3. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. 4.

Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan mengingat ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.13

III.

PENUTUP

3.1. Kesimpulan Merek adalah tanda yang memiliki daya pembeda yang digunakan dalam perdagangan barang atau jasa. Dalam sejarah perundang – undangan merek di indonesia mengalami perbahan terus menerus hingga pada Pada tahun 2016 lahir lah Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pemilik merek harus dilindungi oleh negara dengan adanya peraturan yang dikeluarkan dalam Hukum Kekayaan Intelektual. Di samping peraturan perundang-undangan nasional tentang Merek, masyarakat juga terikat dengan peraturan merek yang bersifat Internasional seperti pada Konvensi Paris Union. Macam macam merek ada dua, yaitu merek dagang dan merek jasa. Cara memperoleh Hak Atas Merek itu sendiri ada dua 13

Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2001 NO. 110, Undang-Undang No.15 Tahun 2001, Tentang Merek, Jakarta, 1 Agustus 2001, bagian “menimbang� pasal 89.

116


cara, yaitu cara deklaratif yaitu pemakaian pertamalah yang berlaku untuk terciptanya suatu hak atas merek dan konstitutif yaitu hak atas sesuatu merek akan karena pendaftarannya tercipta orang yang telah mendaftarkan mereknya. Dalam perlindungan hukum terhadap merek terkenal di Indonesia itu ada 2 macam perlindungan, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Dimana preventif mencegah dan represif menanggulangi jika terjadi permasalahan pada merek terkenal.

117


DAFTAR PUSTAKA Buku Gautama, Sudargo. 1989. HUKUM MEREK INDONESIA. Bandung: P.T. Alumni. Saidin, OK. 2006. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Depok: P.T. Raja Grafindo Persada. Kurnia, Titon Slamet. 2011. Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di INDONESIA Pasa Perjanjian TRIPs. Bandung: P.T. Alumni. Jurnal Bouwman, E.A. Mout. 2015. HUKUM BISNIS & ADMINISTRASI NEGARA.Fakultas Hukum Universitas DR. Soetomo Surabaya. Vol.1. Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia. 2006. Nomor 103.

118


ANALISIS YURIDIS SCANLATION DI INTERNET YANG BERDAMPAK PADA HAK CIPTA YANG DIMILIKI OLEH PENCIPTA KOMIK Anissah Maharani Universitas Sriwijaya ABSTRAK Scanlation (Scanning-translation) adalah metode yang dilakukan oleh penggemar komik asal jepang (manga). Scanlation di terbitkan di laman komik online dan diterjemahkan ke berbagai bahasa yang hampir selalu tidak mencantumkan izin dari pemilik hak cipta. Padahal dari hasil survey oleh Ernst And Young, di Indonesia pada tahun 2014 terhadap 600 responden di Jakarta juga menunjukan bahwa masyarakat sudah memahami perlindungan tentang hak cipta. Sebanyak 80% responden mengaku mengetahui adanya Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sementara, 70% juga tahu bahwa pemegang hak cipta pun menerima uang dari hasil karnyanya.Ditinjau dari pendekatan normatif berdasarkan Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan dasar hukum tersebut telah diatur mengenai hak cipta sebagai hak kekayaan intelektual dan mengenai perlindungan terhadap penyalahgunaan Informasi dan Transaksi Elektronik. Kata Kunci: Scanlation, manga, laman komik online, hak cipta, ITE ABSTRACT Scanlation (scanning-translation) is a method which has done by japanese comic (manga)'s fans. Scanlation published at comic online's websites and translated in various languages which almost never put the permission from the copyright holder. In Indonesia, based on Ernst And Young’s survey results of 600 respondents in Jakarta on 2014 shows that society has already understand about the protection of copyright. There are 80% respondents claimed knowing about Law Number 28 Year 2014 concerning Copyright. Meanwhile, 70% also knew that the copyright holder should receive money from their creation. In terms of normative approach based on Law Number 28 Year 2014 concerning Copyright and Law Number 19 Year 2016 concerning Changes to the Law Number 11 Year 2008 concerning Information and Electronic Transactions. Those legal standings has been regulated concerning copyright is an intellectual property rights and corcerning the protection against abuse of Information and Electronic Transactions. Keywords: scanlation, manga, comic online's websites, copyright, ITE

119


I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah suatu hak yang timbul dari hasil pola

pikir manusia yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Munculnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights (IPR) sebagai bahan pembicaraan dalam tataran nasional, regional dan bahkan internasional tidak lepas dari pembentukan organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO)1. Tujuan perlindungan HKI digunakan untuk inovasi teknologi atau penyebaran teknologi, dalam menunjang kesejahteraan social ekonomi, serta keseimbangan hak dan kewajiban.2 Dalam hal ini, hasil karya yang dilahirkan tidak hanya bersifat ekonomis namun juga mempungai implikasi yuridis, karena terdapat hubungan hukum antara pihak yang menciptakan dengan hasil ciptaannya. Hubungan hukum tersebut ialah adanya hak yang melekat pada hasil kreasi orang yang bersangkutan, baik hak moral (moral rights) yang berarti namanya sebagai pencipta harus tercantum dalam hasil karya tersebut, maupun hak ekonomis (economic rights) yang berarti berhak menikmati hasil (royalty) dari hasil penjualan karyanya. Hak inilah yang dalam sudut pandang hukum dikenal dengan Intellectual Property Rights (IPR) atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Hak merupakan lembaga/pranata sosial dan hukum. Hak selalu berkaitan dengan dua aspek, yaitu aspek kepemilikan (owner) dan sesuatu yang dimiliki (something owned). Terminologi hukum menggabungkan dan menyatukannya ke dalam istilah hak (rights). L. J. Van Aveldoorn menyatakan, hak adalah hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subjek hukum tertentu dan menjelma menjadi suatu kekuasaan dan suatu hak timbul apabila hukum mulai bergerak.3 Kemudian, kekayaan 1

Sentosa Sembiring, Prosedur dan Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Hak Cipta Paten dan Merek (Cv. Yrama Widya 2002).[5]. 2 Ibid. 3 C. S. T, Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Balai Pustaka 1989). [119].

120


(property) merupakan padanan kata kepemilikan (ownership). Maka kekayaan dapat diartikan kepemilikan atas suatu benda sebagai konsekuensi dari diberikannya hak kepada seseorang oleh hukum. Sementara kata intelektual (intellectual) bermakna kecerdasan, daya pikir dan kemampuan otak yang dimiliki oleh seseorang. Maka HKI dapat diartikan sebagai kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum (manusia/badan hukum) terhadap suatu benda yang merupakan hasil dari kecerdasan intelektual manusia.4 Di Indonesia, HKI ada dua jenis yang akan dilindungi, yaitu : pertama, HKI yang bersifat komunal yang diberikan kepada sekelompok masyarakat yang menetap ada suatu daerah tertentu, hak tersebut meliputi: pengetahuan tradisional masyarakat tersebut (traditional knowledge), ekspresi budaya tradisional (folklore), indikasi geografis (geographical indication), dan keanekaragaman hayati (biodiversity). Kedua, HKI yang bersifat Personal yang diberikan kepada individu yang menghasilkan suatu karya intelektual, hak tersebut meliputi: hak cipta (copyright), paten (patent), dan perlindungan varietas tanaman baru (new variety plant).5 Dalam hal ini penulis memfokuskan mengenai hak cipta dari sebuah karya yang dihasilkan oleh pengarang komik. Pembajakan komik yang paling marak terjadi di dunia adalah Scanlation (scanning-translation).

Scanlation

(Scanning-translation)

merupakan

proses

pemindaian dan penerjemahan bahasa asing dari komik (khususnya manga dan manhwa) ke berbagai bahasa, untuk disebarluaskan di internet.

Dalam hal ini

scanlation yang disebarluaskan di laman komik online hampir semuanya tidak mencantumkan izin dari pemilik hak cipta komik tersebut. Sebagaimana dijelaskan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Hak Cipta, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip

4

Candra Irawan, Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, (Cv. Mandar Maju 2012).

[48]. 5

Baskoro Suryo Banindro, Implementasi Hak Kekayaan Intelektual (Hak Cipta, Merek, Paten, Desain Industri) Seni Rupa, Kriya dan Desain, (2015). [1]

121


deklaratif suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sehingga seharusnya setiap komik yang disebarluaskan di laman komik online juga tercantum izin dari pemilik hak cipta sehingga pencipta komik tersebut juga dapat mendapatkan manfaat ekonomi dari hasil karya nya. 1.2

Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas penyusun dalam hal ini dapat merumuskan masalah

sebagai berikut: 1.2.1 Bagaimana analisis yuridis terhadap Hak Cipta yang dimiliki oleh pencipta komik dalam scanlation tanpa izin yang disebarluaskan di laman komik online? 1.3

Dasar Hukum 1.3.1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta 1.3.2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

II.

ANALISIS

2.1. Pembajakan komik dalam bentuk scanlation yang diterbitkan di laman komik online 2.1.1 Sejarah Scanlation Manga sejak awal tahun 1990-an hingga sekarang membanjiri Indonesia, sehingga dunia anak-anak dan remaja Indonesia banyak yang mengenal manga. Hal ini terlihat jelas dari data hasil survei komik yang dilakukan oleh litbang Kompas (Atyas, 2002). Dari survei tersebut dihasilkan data yang mengindikasikan mayoritas peminat manga adalah mereka-mereka yang berusia kurang dari 25 tahun.6 Pengalaman membaca (reading experience) pada penggemar tidak hanya mendorong mereka hanya sekadar membaca manga

6

Atus Saniyah, Studi Tentang Kelompok Penggemar Manga Online di Kalangan Remaja Surabaya dari Perspektif Cultural Studies), (Surabaya 2011)

122


saja, tetapi juga mendorong mereka untuk melakukan aktivitas yang berkaitan dengan manga, salah satunya adalah bergabung dalam fandom-fandom of manga. Studi ini mencoba memahami dan mengkaji pengalaman membaca (reading experience) penggemar manga yang mendorong mereka bergabung dalam kelompok-kelompok penggemar manga.7Di era perkembangan TI yang semakin canggih, mayoritas remaja perkotaan kini tidak lagi hanya tergantung pada komik cetak yang harus mereka beli atau sewa di berbagai persewaan komik, tetapi kini dengan bantuan komputer atau laptop dan dukungan internet, maka dengan mudah mereka bisa men-download dan mengakses komik-komik Jepang (manga) yang digemari.8 Semakin banyaknya penggemar manga dan munculnya kelompok-kelompok penggemar manga, timbullah tren baru di dunia komik Jepang tersebut yaitu Scanlation yaitu proses pemindaian dan penerjemahan bahasa asing dari komik untuk disebarluaskan di internet. Timbul nya scanlation di kalangan penggemar manga juga dikarenakan penggemar manga yang diterbitkan dalam Bahasa Indonesia memakan waktu cukup lama serta hal ini dianggap lebih ekonomis sehingga tidak mengharuskan penggemar manga untuk membeli komik berbentuk fisik. Mereka hanya perlu membaca di laman-laman komik online dengan gratis. Dalam penyebaran hasil scanlation manga di laman komik online hampir seluruhnya tidak mencantumkan izin dari pemilik hak cipta manga tersebut. Hal ini sangat berdampak bagi pencipta manga. 2.1.2 Dampak scanlation terhadap pengarang manga Menurut laporan dari Research Institute for Publications, penjualan manga versi cetak dan elektronik pada 2017 mengalami penurunan sebesar 2,8 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 433 miliar yen. Perkiraan jumlah penjualan seluruh komik cetak (buku komik dan majalah komik) mengalami

7 8

Ibid. Ibid

123


penurunan sebesar 12,8 persen dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 258,3 miliar yen. Ini merupakan penurunan penjualan komik cetak selama 16 tahun berturut-turut. Rinciannya adalah buku komik turun 14,4 persen menjadi 166,6 miliar yen dan majalah komik turun 9,7 persen menjadi 91,7 miliar yen. Penjualan buku komik elektronik tumbuh 17,2 persen menjadi 171,1 miliar yen. Ini pertama kalinya penjualan buku komik elektronik melampaui penjualan buku komik cetak. Secara keseluruhan, angka penjualan buku dan majalah komik elektronik tumbuh 17,2 persen menjadi 174,7 miliar yen. Pada 2016, kondisinya tidak kalah suram. Total penjualan manga cetak dan elektronik hanya tumbuh 0,4 persen menjadi 445,4 miliar yen, masih menurut data dari Research Institute for Publications. Dilansir dari Nikkei Asian Review, distributor komik Tohan mengatakan bahwa penjualan manga mereka sampai September 2017 turun hingga 18 persen. Penjual dan distributor buku Nippon Shuppan Hanbai juga melaporkan tingkat penjualan yang turun hingga 20 persen. Nikkei Asian Review

melaporkan bahwa pembajakan oleh situs

situs online diperkirakan telah merugikan industri manga sekitar 400 juta hingga 500 juta yen dalam sebulan. berdasarkan keterangan Kementerian Ekonomi Jepang pada 2014 yang dikutip Japan Times, jumlah kerugian mencapai 50 miliar yen. Di Amerika Serikat, jumlah kerugian ini bahkan mencapai 1,3 triliun yen.9 Menurut CODA (Content Overseas Distribution Association) alias asosiasi yang mengurus soal sirkulasi konten digital Jepang di luar Jepang, mereka telah melapor ke pemerintah Jepang kalau antara bulan September 2017 hingga Februari 2018. Diestimasi, nilai kerusakan yang disebabkan oleh pembajakan

Bhaskara, ‘Senjakala Industri Manga Jepang Akibat Pembajakan’ <https://tirto.id/senjakalaindustri-manga-jepang-akibat-pembajakan-c9Wn> accesed 20 December 2019 9

124


manga digital mencapai nominal tidak kurang dari 400 miliar Yen atau sekitar US$ 3,72 miliar. Jika dirupiahkan, tak kurang kurang dari 41.000 triliun.10 2.1.3 Upaya dalam memberantas scanlation Pembajakan manga dengan scanlation sudah terjadi hampir sama tuanya dengan usia internet. Seiring perkembangan zaman, distribusi penyebaran scanlation yang dahulu terbatas kini sudah dapat dibaca diberbagai laman komik online serta aplikasi di smartphone seluruh orang di dunia. Dalam hal ini sudah berbagai upaya dilakukan untuk memberantas pembajakan komik dengan metode scanlation ini. Surat kabar nasional Jepang Mainichi Shimbun dalam laporannya

pada

April

2018

mengungkap,

pemerintah

Jepang

berencana mengambil langkah keras dengan memerintahkan ISP alias penyedia jasa jaringan internet/network provider melakukan blokiran. Tak hanya itu, pemerintah juga meminta agar ISP melakukan pendataan situs web yang menyediakan produk bacaan digital bajakan seperti manga, majalah, dan kontenkonten lain secara illegal dan tanpa ijin di internet. Hal ini dikarenakan pembajakan manga tersebut sudah dikategorikan sebagai tindak pidana. Di Jepang, untuk menanggulangi pembajakan itu, pada tahun 2002 Ministry of Economics, Trade and Industry dan Agency for Cultural Affairs Government of Japan menginisiasi asosiasi perusahan-perusahaan di bidang industri kreatif. Asosiasi yang bernama Content Overseas Distribution Association (CODA) itu bertugas menghentikan distribusi illegal tak hanya di Jepang, tetapi juga di luar negeri. Selain mendapatkan dana dari APBN, CODA juga mengumpulkan iuran anggota untuk membiayai operasionalnya. Di Indonesia, hasil survey oleh Ernst And Young pada tahun 2014 terhadap 600 responden di Jakarta juga menunjukan bahwa masyarakat sudah memahami perlindungan tentang hak cipta. Sebanyak 80% responden mengaku mengetahui Rizky, ‘Berantas Pembajakan Manga, Jepang Gandeng Provider Internet’ <https://www.liputan6.com/tekno/read/3646822/berantas-pembajakan-manga-jepang-gandengprovider-internet> accesed 24 December 2019 10

125


adanya UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sementara, 70% juga tahu bahwa pemegang hak cipta pun menerima uang dari hasil karnyanya. Di Indonesia juga terdapat masalah bahwa pembajakan merupakan delik aduan sehingga jika tidak ada aduan dari pihak resmi, pihak pemerintah tidak dapat bergerak.11 2.1.4 Analisis yuridis terhadap Hak Cipta yang dimiliki pencipta komik berkenaan dengan maraknya scanlation Pencipta manga-scanlation dan pembaca manga-scanlation dipastikan berasal dari seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya berbagai situs penyedia manga-scanlation yang berbahasa Indonesia, misalnya mangaku.web.id, mangakita.net, dan komikid.com. 12 Padahal, judul-judul manga tersebut kebanyakan telah diterjemahkan, diterbitkan dan dijual di wilayah Indonesia oleh penerbit-penerbit dengan lisensi yang sah. Salah satu alasan mengapa masyarakat Indonesia lebih memilih untuk membaca komik tersebut di laman online dikarenakan tidak memerlukan untuk mengerluarkan uang untuk membeli buku komik di took buku. Padahal, Indonesia sendiri juga telah memiliki komitmen untuk melindungi ciptaan dan hak cipta yang melekat pada diri penciptanya dengan mengganti Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002 dengan peraturan yang lebih baru, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Singkat kata, komik-komik terjemahan yang merupakan produk derivatif (derivative works) yang diterbitkan oleh penerbit yang telah memiliki lisensi, turut menjadi objek yang dilindungi oleh

Undang-Undang

Hak

Cipta

Tahun

2014

dari

segala

bentuk

pelanggarannya.13 Seperti hal nya Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun KAR, ‘Begini Cara Jepang Mengatasi Pembajakan Hak Cipta <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56ab67afcc803/begini-cara-jepang-atasi-pembajakanhak-cipta/> accesed 16 Januari 2020 12 Andika Satyakusuma, Legalitas Eksistensi Manga-Scanlation “One Piece” dan Perlindungan Hak Cipta yang Diberikan Terhadap Komik “One Piece” Terbitan PT. Elex Media Komputindo DItinjau dari UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (2015) 13 Ibid. 11

126


2014 Tentang Hak Cipta, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan perundangundangan. Serta dikatakan bahwa pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan penerbitan ciptaan, penggandaan ciptaan, penerjemahan ciptaan, pengadaptasian, pendistribusian ciptaan atau salinan, pertunjukkan ciptaan, pengumuman ciptaan, komunikasi ciptaan, dan penyewaan ciptaan, kemudian setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi tersebut wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dan setiap orang yang tanpa izin dilarang melakukan hal tersebut. Namun, kenyataannya scanlation yang beredar di laman komik online tidak memiliki izin dari Pemegang Hak Cipta. Sehingga hal ini bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2014. Banyak orang dan berbagai komunitas mengunggah berjilid-jilid manga diluar izin penerbit. Bila satu buku manga biasanya setebal 120-400 halaman, dan satu seri bisa mencapai lebih dari 20 volume, bisa dibayangkan tingkat dedikasi para pemindai ini. Walaupun illegal, scanlation ini sering membantu pembaca manga untuk tidak ketinggalan dalam soal manga, termasuk menerima informasi tentang perkembangan subkultur manga. 14 Namun, tetap saja mangascanlation yang di sebarkan di internet juga bertentangan dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan pasal 25 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dinyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Anonym, ‘Menguak Subkultur Manga’ (Majalah.tempo.co, 2010) <https://majalah.tempo.co/read/134656/menguak-subkultur-manga> accesed 22 December 2019 14

127


Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah suatu hak yang timbul dari hasil pola pikir manusia yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Sehingga sudah dipastikan para pencipta manga memiliki hak kekayaan intelektual khususnya hak cipta (copyright) terhadap karyanya. Dengan dilindungi undang-undang, untuk penyebaran scanlation seharusnya memiliki izin dari pencipta manga tersebut bukan sekedar unggah dan dapat dinikmati oleh seluruh pengguna internet di seluruh dunia tanpa memikirkan hak yang dimiliki oleh pencipta manga. Walaupun scanlation ini merupakan hasil pemindaian dan penerjemahan dari komik aslinya, jika tidak mendapatkan izin dari pemilik hak cipta tetap saja hal ini dianggap illegal dan pemilik hak cipta berhak mengajukan ganti rugi. Berdasarkan pasal 96 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, menyatakan bahwa Pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemegang hak terkait atau ahli warisnya yang mengalami kerugian hak ekonomi berhak memperoleh ganti rugi. III.

PENUTUP Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa scanlation merupakan tindakan

melawan hukum yang sangat berdampak pada pencipta manga. Serta menimbulkan kerugian bagi penerbit buku komik, karena banyak pembaca manga yang lebih memilih untuk mengakses manga online melalui laman komik online. Namun, tetap saja pihak pemilik hak cipta dapat mengajukan ganti rugi terhadap pihak yang bertanggung jawab dengan pembajakan komiknya.

128


DAFTAR PUSTAKA Buku Baskoro Suryo Banindro, Implementasi Hak Kekayaan Intelektual (Hak Cipta, Merek, Paten, Desain Industri) Seni Rupa, Kriya dan Desain, (2015). C. S. T, Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Balai Pustaka 1989). Candra Irawan, Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, (Cv. Mandar Maju 2012). Sentosa Sembiring, Prosedur dan Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Hak Cipta Paten dan Merek (Cv. Yrama Widya 2002). Jurnal Andika Satyakusuma, Legalitas Eksistensi Manga-Scanlation “One Piece” dan Perlindungan Hak Cipta yang Diberikab Terhadao Komik “One Piece” Terbitan PT. Elex Media Komputindo DItinjau dari UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (2015) Atus Saniyah, Studi Tentang Kelompok Penggemar Manga Online di Kalangan Remaja Surabaya dari Perspektif Cultural Studies, (2011) Internet dan/atau media online Anonym, ‘Menguak Subkultur Manga’ (Majalah.tempo.co, 2010) <https://majalah.tempo.co/read/134656/menguak-subkultur-manga> accesed 22 December 2019 Bhaskara, ‘Senjakala Industri Manga Jepang Akibat Pembajakan’ <https://tirto.id/senjakala-industri-manga-jepang-akibat-pembajakan-c9Wn> accesed 20 December 2019 Rizky, ‘Berantas Pembajakan Manga, Jepang Gandeng Provider Internet’ <https://www.liputan6.com/tekno/read/3646822/berantas-pembajakanmanga-jepang-gandeng-provider-internet> accesed 24 December 2019 KAR,

‘Begini Cara Jepang Mengatasi Pembajakan Hak Cipta <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56ab67afcc803/begini-carajepang-atasi-pembajakan-hak-cipta/> accesed 16 Januari 2020

129


TINDAKAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG COVERING VERSION TANPA IZIN PENCIPTA LAGU Islamia Tanjung Universitas Sriwijaya ABSTRAK Sebuah buku yang berjudul “Du Contract Social” karya J.J. Rousseau mengatakan bahwa “Manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam hak–haknya”. Kalimat ini mencerminkan hak kekayaan intelektual yang dibuat berdasarkan ekspresi masyarakat. Salah satu ekspresi masyarakat dilakukan dengan cara mengkomersialkan lagu atau yang lebih dikenal dengan covering version. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, dimana bagi pecipta memiliki hak yang timbul dari lagu ciptaanya. Dan dikenal dua hak yaitu Hak Moral dan Hak Ekonomi. Dimana Hak Moral diatur di Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.28 Tahun 2014. Namun, prosedur dalam tindakan covering version tersebut tidak dilaksanakan. Sehingga banyak pihak yang melakukan tindakan covering version tanpa izin dari pencipta lagu. Bahkan pihak yang melakukan tindakan covering version mendapatkan royalti lebih besar dari pihak pencipta lagu.Dalam hal ini di Undang-Undang No.28 Tahun 2014 sudah mengatur terkait prosedur. Namun, apakah tindakan covering version yang ada di masyarakat sudah sesuai dengan aturan yang di Undang-Undang No. 28 Tahun 2014.Dalam hal ini perlunya penjelasan terkait hak dan kewajiban pencipta lagu dan pihak yang melakukan tindakan covering verison. Dan prosedur terkait pihak yang di rugikan dalam tindakan covering verison.Dengan adanya prosedur membuat tidak ada kesalahpahaman diantara kedua belah pihak. Kata Kunci : covering version, komersial, hak moral, hak ekonomi ABSTRACT A book titled ”Du Contract Social” by J.J. Rousseau said that “Man were born free and equal in their rights”. This sentence reflect intellectual property rights which are made based on people's expressions. One of people's expressions is done by commercialising song or better known called covering version. In Law Number 28 Year 2014 about Copyright, it was stated that the creator has rights of a song that he made, and those rights are: Moral rights and Economical rights. Where moral rights are regulated in article 5 paragraph 1 of Law Number 28 Year 2014. However, the procedure in the covering version is not implemented. So that many parties do the covering version without permission of the songwriter. Even those who do covering version get more royalties from the songwriter. In this case Law Number 28 Year 2014 already regulates procedures. However, is the covering version in the community in accordance with the rules in Law Number 28 Year 2014. In this case the need for an explanation related to the rights and obligations of the songwriter and the party carrying out the covering version. And the procedure related to injured party in covering verison. With the procedure there is no misunderstanding between the two parties. Key word: covering version, commercialize, moral rights, economical rights

130


I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini telah berkembang berbagai alat komunikasi dan

teknologi di seluruh belahan dunia. Media Internet pun kerap digunakan untuk upaya dalam melaksanakan berbagai kegiatan berbisnis baik di tingkat nasional maupun internasional. Beberapa jenis bentuk kegiatan bisnis ini pun justru tidak mungkin berlangsung tanpa adanya media internet. Teknologi media internet juga ikut terlibat dalam eksistensi dari hasil ciptaan atau kreatifitas seseorang yang berkaitan dengan industri musik di bidang usaha kreatif dalam berinvestasi yang merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI). HAKI merupakan suatu alat untuk meraih dan mengembangkan ekonomi, dalam arti sempit terhadap pencipta atau penemu itu sendiri, dan dalam arti luas untuk peningkatan ekonomi negara sebagai salah satu sumber devisa. Sebagai contoh salah satunya yang berpotensi untuk dikembangkan dalam era ekonomi kreatif saat ini adalah karya seni. Maka dari itu dibutuhkan hal-hal yang dapat menjamin dan melindungi hak-hak pencipta atas tiap karyanya berupa perlindungan hukum yang diberi kepada pencipta.1 Catatan sejarah perkembangan hukum tentang Hak Cipta di Indonesia menunjukkan bahwa pelindungan secara hukum terhadap hak cipta di Indonesia baru mulai zaman pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa-masa kerajaan sebelum Belanda masuk ke Indonesia, tidak ada referensi yang menginformasikan bahwa masalah Hak Cipta pernah diatur dalam hukum.2 Saat ini banyak penyanyi yang menyanyikan kembali lagu Ciptaan orang lain tanpa izin, dinyanyikan untuk didengar orang lain, dan mendapatkan bayaran. Cover version atau cover merupakan hasil reproduksi atau membawakan ulang sebuah lagu yang sebelumnya pernah direkam dan dibawakan penyanyi/artis lain. Tidak sedikit,

1

Sophar maru hutagalung, hak cipta kedudukan dan perannya dalam pembangunan (Jakarta Timur :sinar grafika, 2012), [4] 2 Bernard Nainggolan, Komentar Undang-Undang Hak Cipta, (Bandung: P.T. Alumni Bandung, 2016), [3]

131


sebuah lagu cover version bahkan menjadi lebih terkenal daripada lagu yang dibawakan oleh penyanyi aslinya. Karenanya, banyak artis baru mencoba peruntungannya dengan membawakan lagu cover version dengan tujuan agar lebih cepat sukses dan terkenal.3Kemudian para penjiplak, pembajak dan penyanyi yang menyanyikan ulang tidak meminta izin pada pencipta, melupakan bagian penting. Mereka berpikir bahwa mereka justru membantu mepopulerkan lagu tersebut. Dalam hal ini kurang komunikasi antara yang melakukan covering version dengan pencipta lagu. Salah satu contoh nyata yang terjadi di Indonesia adalah lagu Akad dari Payung Teduh. Dari sekian versi cover yang tersedia di YouTube, posisi puncak dengan jumlah viewer terbanyak ditempati oleh Hanin Dhiya. Cover “Akad” yang dinyanyikan Hanin ditonton sekitar 26 juta pasang mata. Jumlah itu bahkan melebih versi aslinya sendiri yang dimainkan Payung Teduh. Hanin merupakan penyanyi muda asal Bogor jebolan ajang pencarian bakat Rising Star Indonesia yang ditayangkan stasiun televisi RCTI pada 2014.Namun, sebagai pemilik asli lagu, Payung Teduh sebetulnya mengharap ada komunikasi dari mereka yang menyanyikan ulang “Akad” dalam bentuk izin lisan atau tertulis. Bagi Payung Teduh, izin menyanyikan ulang lagu mereka merupakan hal penting. Yurskie mencontohkan bagaimana Echa Soemantri dan Jubing Kristanto mengutarakan izin terlebih dahulu ketika akan membawakan lagu Payung Teduh.Tak bisa dipungkiri masalah semacam ini merupakan efek dari tumbuhnya bisnis musik digital. Budaya cover lagu, unggah ke YouTube lantas memperoleh ketenaran yang bahkan melebihi capaian musisi pembuat lagu. Payung Teduh yang merasa sebagai pemain"baru" dalam pusaran itu merasa harus lebih banyak belajar memahami kondisi di dalamnya. 4

Lucky Setiawati, ‘Apakah Menyanyikan Ulang Lagu Orang Lain Melanggar Hak Cipta?’ (2014) <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt506ec90e47d25/apakah-menyanyikanulang-lagu-orang-lain-melanggar-hak-cipta/> accessed 24 Desember 2019. 4 M Faisal Reza Irfan,’Laris Manis Cover Lagu "Akad", Bagaimana Hukumnya?’ (2017) <https://tirto.id/laris-manis-cover-lagu-akad-bagaimana-hukumnya-cxgV>, accessed 24 Desember 2019. 3

132


Dalam hal budaya cover lagu tak bisa dilepaskan dari hak cipta yang melekat di setiap musisi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menempatkan hak cipta sebagai “hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Hakikatnya, hak cipta merupakan hak menyalin suatu ciptaan yang berlaku pada berbagai karya seni atau cipta.�Melalui hak cipta, muncullah hak moral dan hak ekonomi. Hak moral diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang meliputi hak untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan nama kreator pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum, menggunakan nama samarannya, sampai mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi, pemotongan, modifikasi, dan hal-hal lain yang bersifat merugikan kehormatan atau reputasi sangkreator. Sedangkan hak ekonomi yang termaktub dalam Pasal 8 Undang-Undang Hak Cipta meliputi penerbitan, penggandaan dalam segala bentuk, adaptasi, aransemen, transformasi, pendistribusian, hingga penyiaran atas ciptaannya. 5 Kemudian semakin ke arah sini banyak orang yang melakukan tindakan dinyanyikan ulang lagu orang lain. Tanpa melakukan izin terlebih dahulu dari pencipta lagu. Yang kemudian dimana oleh pihak tersebut menyebarkan lagu tersebut sehingga mendapatkan royalti. Dan dimana sang pencipta lagu tidak mendapatkan royalti sama sekali. 1.2.

Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas maka penyusunan dalam hal ini dapat merumuskan

masalah sebagai berikut: 1.2.1 Bagaimana akibat hukum bagi pihak yang melakukan tindakan dinyanyikan ulang lagu (covering song) tanpa izin sang pencipta? 1.2.2 Bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap hak cipta lagu yang dinyanyikan ulang lagu (covering song) untuk kepentingan komersial ?

5

Ibid.

133


1.3

Dasar Hukum 1.3.1

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

II.

ANALISIS

2.1

Akibat Hukum Bagi Pihak Yang Melakukan Tindakan Dinyanyikan Ulang Lagu (Covering Song) Tanpa Izin Sang Pencipta Perlindungan hak cipta sangat esensial bagi kreativitas manusia, dimana si

pencipta diberikan pengakuan (hak moral) dan penghargaan yang layak (hak ekonomi). Penciptaan dan penyebarluasan pengetahuan, seni dan sastra menjadi berkembang. Dengan demikian, perlindungan ini pada akhirnya memperkaya kebudayaan, pengetahuan dan hiburan bagi umat manusia di seluruh dunia.6 Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2014 Hak Cipta, bahwa pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukandengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca dan didengar, atau dilihat orang lain.7 Pasal di atas menunjukkan bahwa perlindungan hukum hak cipta mencakup konten digital atau media elektronik (internet). Informasi yang dilindungi ketika suatu karya diubah ke bentuk digital sebagai contoh karya cipta lagu yang dinyanyikan ulang melalui proses perekaman lalu disebarkan atau diedarkan dilakukan pada media internet akan tetap mendapatkan perlindungan hukum dalam hak pencipta karya lagu. Konsep dasar perlindungan hak cipta yaitu:8 1. Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli, ditegaskan bahwa adanya suatu bentuk yang nyata dan berwujud dan sesuatu yang berwujud itu adalah asli atau bukan hasil plagiat merupakan syarat yang harus

6

Rinto Harahap, Kerjasama antara MA RI dan Pusat Pengkajian Hukum, Hak Kekayaan Intelektual dan Perkembangannya (Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum, 2004), hal.332. 7 Pasal 1 angka 11Undang-Undang No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. 8 Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society (P.T. Alumni 2008).[66-68].

134


dipenuhi untuk dapat menikmati perlindungan hukum hak cipta. Sebuah lagu yang dinyanyikan seseorang secara spontan dan kemudian suara dan syaiir yang terucapkan hilang ditelan udara tidak mendapatkan hak cipta. akan tetapi, kalau lagu itu direkam atau dituliskan dan terbukti tidak sebagai jiplakan, barulah mendapatkan perlindungan hak cipta. 2. Hak Cipta timbul dengan sendirinya (otomatis), untuk memperoleh hak cipta lagu tidak diperlukan tindakan lanjutan apapun seperti merekamnya dengan iringan musik yang komplit, menerbitkan syairnya dnegan notasi, atau merekamnya dalam kaset atau CD yang bisa dijual. Meskipun demikian , pecatatan hak cipta berguna apabila pada saat mengumumkan lagu (diperdengarkan secara umum) dan pada saat terjadi sengketa pelanggaran hak cipta. 3. Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta, hanya dengan dasar munculnya ide , suatu ciptaan sudah dianggap ada. Ciptaan yang ada dapat diumumkan atau pun tidak diumumkan. Kedua hal tersebut sudah mendapatkan hak cipta. 4. Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan, contohnya seseorang membeli kaset atau CD lagu secara legal, berarti pemilik kaset atau CD tersebut dapat mendengarkan danmenikmati lagu-lagu atau musik yang terdapat didalamnya, bukan berarti dia termasuk dalam pemilik hak cipta lagu tersebut. Jika pemilik kaset atau CD tadi memperbanyak dan menjual kembali lagu tersebut, orang itu telah melakukan pelanggaran hak cipta. 5. Hak Cipta bukan hak mutlak, secara konseptual hak cipta tidak mengenal konsep monopoli penuh sehingga kemungkinan saja seorang Pencipta mencipakan suatu Ciptaan yang sama dengan Ciptaan yang terdahulu dan dia tidak dianggap melanggar hak cipta. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Ciptaan yang mucul belakangan tidak merupakan duplikasi atau penjiplakan 135


murni dari Ciptaan yang terdahulu. Hal ini memang berpotensi menimbulkan persoalan. Dalam bidang Ciptaan tertentu, seperti lagu, menentukan mana yang disebut penjiplakan murni dengan yang bukan penjiplakan murni bukanlah hal yang mudah. Contoh nya pada Lagu Band Armada yang berjudul “Asal Kau Bahagia” yang diduga melakukan penjiplakan atau plagiat dari beberapa bar dengan lagu milik boyband asal Taiwan F4 dengan judul “Liu Xing Yu”, menanggapi hal tersebut Rizal sang vokalis menagku justru baru tahu ada lagu yang mirip dengan karyanya itu. Rizal mengaku dalam penggarapan lagu tersebut tidak meniru siapa-siapa.9 Kalau berbicara tentang pelanggaran hak cipta, ini berarti berkaitan dengan pelanggaran hak moral dan hak ekonomi. Perbuatan-perbuatan yang termasuk melanggar hak moral pencipta lagu adalah apabila tanpa izin: 10 1) Meniadakan atau tidak menyebutkan nama pencipta lagu ketika lagu dipublikasikan; 2) Mencantumkan namanya sebagai pencipta lagu padahal dia bukan pencipta lagu tersebut; 3) Mengganti atau mengubah judul lagu; dan/atau 4) Mengubah isi lagu Dan perbuatan-perbuatan yang tergolong pelanggaran hak ekonomi pencipta lagu adalah antara lain:11 1) Perbuatan tanpa izin mengumumkan ciptaan lagu; 2) Perbuatan tanpa izin memperbanyak ciptaan lagu. Hal-hal di atas tentu saja secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak pencipta dalam hal mengingat hak ekonomi yang harusnya diterima pencipta atau

Febriyantino Nur Pratama, ‘Dituduh Jiplak Lagu F4, Apa kata Armada?’, (2017)<https://hot.detik.com/music/d-3462403/dituduh-jiplak-lagu-f4-apa-kata-armada?>, accessed 24 Desember 2019 10 Otto Hasibuhan, Hak Cipta di Indonesia Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society (P.T. Alumni 2008).[232]. 11 Ibid.,[234-235] 9

136


pemegang hak cipta menjadi diabaikan karena orang-orang yang dengan mudahnya menikmati hasil ciptaannya tanpa mengeluarkan biaya. Salah satunya adalah menyanyikan ulang lagu atau cover version. Cover merupakan suatu pertunjukan atau perekaman baru yang dilakukan oleh seseorang terhadap lagu yang diciptakan performer atau komposer asli untuk tujuan komersial. Kunci dari cover adalah orisinalitas seseorang dalam membawakan sebuah lagu, apakah lagu tersebut merupakan ciptaannya atau tidak? Tidak sampai di situ, bagaimana komposisinya? Dan begitu seterusnya. Ketika seseorang menyanyikan kembali sebuah lagu yang diciptakan dan/atau dipopulerkan oleh penyanyi dan/atau pencipta lagu yang asli, lalu kemudian merekamnya untuk diunggah ke YouTube, Spotify, SoundCloud hingga iTunes, ia dapat disebut sebagai pelaku cover.12 Bila melakukan pendekatan pada Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, menyanyikan ulang lagu (cover) yang diumumkan di media internet tanpa adanya izin/lisensi tertulis dari pencipta ataupun pemegang hak terkait termasuk penggunaan yang wajar dan hal yang termasuk dalam pelanggaran hak cipta karya seni musik dapat dilihat dalam Pasal 43 huruf C Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.13 Tetapi apabila pelaku cover menyanyikan ulang lagu dan di unggah ke media internet sehingga ia mendapatkan keuntungan untuk tujuan komersialisasi, perlindungan hukum terhadapat hak cipta/pencipta dalam hal ini bekerja, yaitu dituntutnya seorang pelau cover untuk membuat lisensi. Perlindungan melalui ketentuan pidana di dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2014tentang Hak Cipta: Tindakan menyanyikan kembali lagu tanpa persetujuan atau lisensi dari musisi bersangkutan akan dikenai sanksi pidana. Menurut pasal 113 ayat (3)Undang-Undang No.28 Tahun 2014tentang Hak Cipta, penggunaan kembali lagu untuk kepentingan

Yessica Agnes Saragi,�Perlindungan Hukum Terhadap Lagu yang Dinyanyikan Ulang (Cover) untuk Kepentingan Komersial dalam Media Internet Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta�(2018),[10]. 13 Pasal 43 huruf C Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 12

137


komersial tanpa seizin pemilik lagu dikenai hukuman pidana penjara paling lama empat tahun dan atau denda maksimal satu miliar.14 Tindakan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2014tentang Hak Cipta merupakan delik aduan. Yang berarti, penegak hukum, khususnya polisi baru bertindak menangani pelanggaran pidana jika ada pengaduan dari orang-orang yang mengetahui hak-hak ekonominya dilanggar.15 Kendala yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Perlindungan Hukum Hak Cipta Terkait Lagu yang Dinyanyikan Ulang (Cover) untuk Kepentingan Komersial Melalui Media Internet Pelaksanaan perlindungan hukum bagi hak cipta ini ada beberapa kendala yang dihadapai yang mengakibatkan belum efektifnya pengaturan tentang perlindungan hukum hak cipta di Indonesia. Berikut adalah kendala yang dihadapi pelaksanaan perlindungan hak cipta yang dinyanyikan ulang (cover) untuk kepentingan komersial di media internet: a) Pandangan masyarakat tentang hak cipta sampai sekarang berbeda dengan Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, masyarakat masih memandang hak cipta sebagai milik bersama sedangkan Undang-Undang memandang hak cipta sebagai milik perseorangan. Perbedaan pandangan ini yang merupakan salah satu penyebab maraknya pelanggaran hak cipta di masyarakat.16 b) Kurangnya pengetahuan dan minimnya informasi yang dimiliki oleh pencipta lagu atau masyarakat tentang hal yang berkaitan dengan pendaftaraan hak cipta. Pencipta lagu atau masyarakat selama ini kurang memperhatikan pentingnya mendaftarkan hak cipta, hal ini juga disebabkan minimnya sosialisasi dan penyuluhan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan seperti Departemen Hukum dan HAM.

14

Pasal 113 ayat 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Bernard Nainggolan, Komentar Undang-Undang Hak Cipta (Rineka Cipta 2010).[241]. 16 Gatot Supramono, Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya (Rineka Cipta 2010).[150]. 15

138


c) Undang-undang hak cipta masih kurang memasyarakat17, hal ini terjadi karena masyarakat belum memahami apa hak cipta itu. Masyarakat mungkin tidak mengetahui adanya undang-undang hak cipta. d) Pelaku cover lagu tidak memahami hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta lagu berupa hak moral dan hak ekonomi. Pelaku cover menganggap bahwasanya meminta izin ke pencipta lagu tidaklah begitu penting, hanya mencantumkan nama pencipta dan judul lagu itu sudah termasuk tidak melanggar hak cipta. e) Kurangnya tindakan hukum yang serius bagi para pelaku cover yang melanggar Undang-Undang No.28 Tahun 2014tentang Hak Cipta, sehingga jika hal tersebut dibiarkan berlarut-larut maka akan menimbulkan sikap bahwa menyanyikan ulang lagu dengan tujuan komersial dianggap hal biasa. f) Kemajuan teknologi dan infomarsi yang memudahkan terjadinya pelanggaran hak cipta. 2.2

Upaya

Perlindungan

Hukum

Terhadap

Hak

Cipta

Lagu

Yang

Dinyanyikan Ulang Lagu (Covering Song) Untuk Kepentingan Komersial Di dalam Undang-Undang Hak cipta 2014 mengatur perihal pencatatan ciptaan (dalam Undang-Undang Hak Cipta 2002 dipakai istilah pendaftaran ciptaan). Berikut ini adalah persyaratan pencatatan hak cipta lagu perorangan:18 1. Mengisi formulir pencatatan 2. Melampirkan contoh ciptaan dan uraian ciptaan berupa judul lagu, not balok atau not angka beserta syairnya ditulis dalam selembar kertas dan contoh lagu dalam bentuk CD.

17

Ibid.,[152]. Risa Amrikasari, ‘Tata Cara Pendaftaran Hak Cipta Lagu’, <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4454/tata-cara-pendaftaran-hak-ciptalagu%20,>accessed 24 Desember 2019 18

139

(2019)


3.Melampirkan dokumen pendukung seperti identitas permohonan dan bukti kewarganegaraan, Surat Kuasa Khusus apabila melalui kuasa, Surat Pernyataan Kepemilikan Hak Cipta. 4. Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 300.000,- (Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan pajak Yang Berlaku Pada Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia). Waktu paling lama 9 bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan. Perlu dipahami dengan baik bahwa Pencatatan Ciptaan lagu bukan merupakan syarat untuk mendapatkan hak cipta karena prinsip hak cipta adalah timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata. 19 Dalam pasal 1 angka 20 Undang-UndangNo.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disebutkan, Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak terkait dengan syarat tertentu.20 Lisensi diberikan berdasarkan perjanjian tertulis, jangka waktu lisensi ditentukan, dan biasanya diikuti dengan pemberian royalti oleh penerima lisensi kepada lisensi.21 Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan Hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang di terima oleh penciptaan atau pemilik hak terkait.22 Dalam hal ini berdasarkan aturan di atas bearti pihak yang mengcover harus mengikuti prosedur di atas terlebih dahulu. Untuk lagu-lagu cover yang diciptakan untuk tujuan komersial tadi, pencantuman nama penyanyi asli saja pada karya cover tentu tidak cukup untuk menghindari tuntutan hukum pemegang hak cipta. Agar tidak melanggar hak cipta orang lain, untuk mereproduksi, merekam, mendistribusikan dan atau mengumumkan sebuah lagu milik orang lain, terutama untuk tujuan komersial,

19

Ibid. Pasal 1 angka 20 Undang-Undang No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. 21 Bernard Nainggolan, KomentarUndang-Undang Hak Cipta (Rineka Cipta 2010).[165]. 22 Pasal 1 angka 21 Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 20

140


seseorang perlu memperoleh izin (lisensi) dari pencipta/pemegang hak cipta sebagai berikut: 1. Lisensi atas Hak Mekanikal (mechanical rights), yakni hak untuk menggandakan, mereproduksi (termasuk mengaransemen ulang) dan merekam sebuah komposisi musik/lagu pada CD, kaset rekaman dan media rekam lainnya; dan atau 2. Hak Mengumumkan (performing rights), yakni hak untuk mengumumkan sebuah lagu/komposisi musik, termasuk menyanyikan, memainkan, baik berupa rekaman atau dipertunjukkan secara live (langsung), melalui radio dan televisi, termasuk melalui media lain seperti internet, konser live dan layananlayanan musik terprogram. Royalti atas mechanical right yang diterima dibayarkan oleh pihak yang mereproduksi atau merekam langsung kepada pemegang hak (biasanya perusahaan penerbit musik (publisher) yang mewakili komposer/pencipta lagu). Sementara pemungutan royalti atas pemberian performing rights pada umumnya dilakukan oleh sebuah lembaga (di Indonesia disebut Lembaga Manajemen Kolektif – “LMK”) berdasarkan kesepakatan antara pencipta dan lembaga tersebut. WAMI (Wahana Musik Indonesia) dan YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia) adalah dua dari beberapa LMK di Indonesia yang saat ini aktif menghimpun dan mendistribusikan royalti dari hasil pemanfaatan performing rights untuk diteruskan kepada komposer/pencipta lagu dan publisher.23 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 105 mengatur ketentuan-ketentuan baru yang memadai terkait penyelesaian sengketa secara perdata dengan mengajukan gugatan ganti rugi oleh

Lucky setiawati,’Apakah Menyanyikan Ulang Lagu Orang Lain Melanggar Hak Cipta?’(2014)<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt506ec90e47d25/apakahmenyanyikan-ulang-lagu-orang-lain-melanggar-hak-cipta/> accessed 24 Desember 2019. 23

141


pemegang hak cipta atas pelanggaran hak ciptanya kepada Pengadilan Niaga. Gugatan ganti rugi sejumlah uang dapat diajukan dengan perhitungan yang tentunya harus masuk akal.24 Pengalihan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya utnuk menggugat setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak dan tanpa persetujuan pencipta yang melanggar hak moral pencipta untuk: 1. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; 2. Menggunakan nama aslinya atau samarannya; 3. Mengubah ciptaanya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; 4. Mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan 5. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Mengenai prosedur mengajukan gugatan dalam menyelesaikan sengketa perdata melalui jalur litigasi, Pencipta dapat melakukan langkah-langkah hukum untuk mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam UU Hak Cipta Tahun 2014, antara lain:25 1. Gugatan atas pelanggaran hak cipta diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga. 2. Gugatan dicatat oleh panitera Pengadilan Niaga dalam register perkara pengadilan pada tanggal gugatan tersebut didaftarkan.

Yessica Agnes Saragi,�Perlindungan Hukum Terhadap Lagu yang Dinyanyikan Ulang(Cover) untuk Kepentingan Komersial dalam Media Internet Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta�(2018),[16]. 25 Pasal 100 Undang-Undang No.28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. 24

142


3. Panitera Pengadilan Niaga memberikan tanda terima yang telah ditandatangani pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. 4. Panitera Pengadilan Niaga menyampaikan permohonan gugatan kepada ketua Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal gugtan didaftarkan. 5. Dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan, Pengadilan Niaga menetapkan hari sidang. 6. Pemberitahuan dan pemanggialn para pihak dilakukan oleh juru sita dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan. Putusan atas gugatan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak gugatan didaftarkan. Dalam hal jangka waktu tidak dapat dipenuhi, atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung jangka waktu tersebut dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari. Putusan harus diucapkan dalam sidang.26 Upaya hukum terhadap Putusan Pengadilan Niaga menyangkut perkarahak cipta dibatasi hanya dapat diajukan kasasi, yang berarti tidak ada proses banding sebagaimana proses perkara perdata pada umumnya. Poin-poin penting dari Pasal 102 sampai dengan 104 UU Hak Cipta Tahun 2014 mengenai upaya hukum kasasi dalam perkara gugatan pelanggaran hak cipta atau hak terkait ini yang perlu dipahami oleh para pihak yang berperkara:27 1. Permohonan kasasi diajukan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan Niaga diucapkan dalam sidang terbuka atau diberitahukan kepada para pihak.

26

Pasal 101 Undang-Undang No.28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Bernard nainggolan, Komentar Undang-Undang Hak Cipta (P.T. Alumni Bandung 2016).[215]. 27

143


2. Permohonan kasasi didaftarkan pada Pengadilan Niaga yang telah memutus gugatan tersebut dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan oleh pengadilan. 3. Pemohon kasasi wajin menyampaikan memori kasasi kepada panitera Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan. 4. Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak termohon kasasi menerima memori kasasi. Proses waktu pengambilan Putusan kasasi dalam perkara gugatan pelanggaran hak cipta atau hak terkait dibatasi paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Tidak ada penambahan waktu sebagaimana pengambilan putusan di Pengadilan Niaga. Pasal 105 UU Hak Cipta Tahun 2014 menegaskan bahwa terhadap tindakan pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait menimbulkan hak bagi pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemilik hak terkait berhak untuk : 1. Mengajukan gugatan keperdataan ke Pengadilan Niaga; 2. Menuntut pihak pelanggar hak cipta dan/atau pelanggar hak terkait secara pidana. III.

PENUTUP

3.1.

Kesimpulan

3.1.1. Terkait perlindungan melalui kententuan pidana di dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu tindakan menyanyikan kembali lagu tanpa persetujuan atau lisensi dari musisi bersnagkutan atau bisa dikenai sanksi pidana. Dan di dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

144


terdapat prosedur mengajukan gugatan dalam menyelesaikan sengeketa perdata melalui jalur litigasi, pencipta dapat melakukan gugatan sebagaimana yang sudah diatur. 3.1.2. Dalam hal ini perlindungan hak cipta sangat bernilai bagi kreativitas manusia, yang kemudian dimana si pencipta ini diberikan hak moral dan hak ekonomi. Dimana hak moral ini diberikan secara pengakuan dan hak ekonomi dengan penghargaan yang layak. Dan di dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sudah mengatur terkait hal ini dengan pengumuman adalah pembacaan, penyiaraan, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat ataupun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca dan didengar, atau dilihat orang lihat.

145


DAFTAR PUSTAKA Buku Harahap, Rinto, Kerjasama Antara MA RI dan Pusat Pengkajian Hukum, Hak Kekayaan Intelektual dan Perkembanganya (Pusat Pengkajian Hukum 2004). Hasibuan, Otto, Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society (P.T.Alumni 2008). Hutagalung, Sophar Maru, Hak Cipta Kedudukan dan Perannya dalam Pembangunan (Sinar Grafika 2012). Margono, Suyud, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual (CV. Nuansa Aulia 2010). Nainggolan, Bernard, Komentar Undang-Undang Hak Cipta (P.T. Alumni Bandung 2016) Supramono, Gatot, Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya (Rineka Cipta 2010)

Jurnal Saragi, Yessica Agnes. 2018. Perlindungan Hukum Terhadap Lagu Yang Dinyanyikan Ulang (Cover) Untuk Kepentingan Komersial Dalam Media Internet Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Medan.

Laman Febriyantino Nur Pratama, ‘Dituduh Jiplak Lagu F4, Apa kata Armada?’, (2017)<https://hot.detik.com/music/d-3462403/dituduh-jiplak-lagu-f4-apakata-armada?>. Lucky setiawati,’ Apakah Menyanyikan Ulang Lagu Orang Lain Melanggar HakCipta?’(2014)<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt506

146


ec90e47d25/apakah-menyanyikan-ulang-lagu-orang-lain-melanggar-hakcipta/>. M Faisal Reza Irfan,’Laris Manis Cover Lagu "Akad", Bagaimana Hukumnya?’ (2017) <https://tirto.id/laris-manis-cover-lagu-akad-bagaimana-hukumnya-cxgV>. Risa

Amrikasari,

‘Tata

Cara

Pendaftaran

Hak

Cipta

Lagu’,

(2019)

<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4454/tata-cara-pendaftaranhak-cipta-lagu%20.

Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4220

147


PENGGANDAAN HAK CIPTA FILM DALAM PERSFEKTIF HUKUM BISNIS Rahmi Wulandari Universitas Sriwijaya ABSTRAK Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak yang timbul bagi seseorang dari hasil olah pikir atau proses yang berguna bagi manusia lain. Hak Kekayaan Intelektual adalah Hak Cipta, dan Hak Kekayaan Industri. Contoh Hak Cipta berupa film, buku, program komputer, pamphlet, tari, lagu atau musik, pidato, seni rupa, karya tulis, alat peraga ilmu pengetahuan, drama, arsitektur, peta, fotografi, seni batik, terjemahan, film. Contoh HKI pada Film seperti film kolosal, film dokumenter, film kartun, dan sebagainya. Film merupakan salah satu HKI yang berpeluang besar untuk diplagiat dan dibajak oleh orang lain. Perlindungan hak cipta film diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014. Dalam perspektif perekonomian, penggandaan atau pembajakan suatu HKI adalah kejahatan intelektual dan kerugian terhadap perekonomian. Tindakan penggandaan terhadap HKI merugikan perekonomian pencipta karena tidak mendapatkan haknya, dan merugikan perekonomian industri film yang akhirnya merugikan pendapatan negara. Tulisan ini mengulas tentang kerugian tindakan penggandaan hak cipta terhadap perspektif ekonomi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kerugian material dan immaterial terhadap penggandaam HKI dalam perfilman, diakibatkan karena lemahnya perjanjian kerjasama antar pihak. Kerugian angka secara nyata belum banyak diungkap di Indonesia. Dari sisi peradilan dan hukum, ada beberapa hasil kasus yang dapat diketahui dari hasil keputusan hakim tentang pembajakkan yang dilakukan. Penyelesaian kerugian sengketa hukum selain di pengadilan dapat juga melalui musyawarah. Penyelesaian kerugian dari perspektif ekonomi dilakukan secara preventif sebelum terjadi, melalui perjanjian antar pihak dengan jelas dan baik, atau secara refresif melalui Pengadilan. Kata Kunci: Penggandaan, Hak Cipta, Hukum Bisnis. ABSTRACT Intellectual Property Rights (IPRs) are rights that arise for a person from the results thought or processes that benefit other humans. Intellectual Property Rights are Copyright and Industrial Property Rights. Examples of copyrights consist of films, books, computer programs, pamphlets, dance, songs or music, speeches, fine arts, written works, visual aids, drama, architecture, maps, photography, senior batik, translations, films. Examples of IPR on film such as colossal films, documentaries, cartoons, and so on. The film is one of the IPRs that have a great opportunity to be plagiarized and hijacked by others. Law Number 28 of 2014 concerning Film Copyright Protection. In an economic perspective, piracy or doubling about IPR is an intellectual problem and a loss to the economy. Acts of doubling and piracy against IPR are detrimental to the creator because they do not get their rights, and detrimental to the film industry which ultimately harm the state. This paper reviews the disadvantages of copyright doubling against an economic perspective. IPR in the film industry, caused by the weak partnership of cooperation between the parties. Losses of real figures in Indonesia have not been revealed much. From the judicial and legal side, there are several results that can be known from the results of the decision about the piracy carried out. Settlement of losses from legal disputes other than in court can also be through deliberation. Settlement of losses from an economic perspective is carried out before being done, through clear and good agreements between parties, or through repressive measures through the Court. Keywords: Doubling, Copyright, Business Law.

148


I. 1.1

PENDAHULUAN Latar Belakang Hak Kekayaan Intelektual adalah istilah yang digunakan untuk hak eksklusif yang

diberikan kepada seseorang yang telah menghasilkan karya dari olah pikirnya, yang memiliki wujud, sifat atau memenuhi kriteria tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak Kekayaan Intelektual atau HKI merupakan sebuah "payung", umbrella term, untuk menaungi beragam jenis hak eksklusif yang masing-masing memiliki karakteristik, ruang lingkup dan sejarah perkembangannya sendiri-sendiri.1 Hak kekayaan intelektual (HKI) terbagi menjadi dua, yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Hak cipta adalah hakbagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan hak kekayaan industri terdiri dari hak paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, varietas tanaman.2 Hak cipta mengatur perlindungan berbagai ragam karya cipta seperti antara lain karya tulis, termasuk ilmu pengetahuan, karya seni, drama, tari, lagu, dan film atau sinematografi.3 Dalam dunia perfilman seringkali hak cipta seseorang diabaikan. Banyak film bajakkan yang beredar di internet tanpa memiliki izin. Semua pelanggaran yang dapat merugikan sang pencipta karya atau pemegang hak cipta seperti penggandaan film di internet bisa dilaporkan sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait Dalam Sistem Elektronik. Penggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara.4 Dalam peraturan ini para oknum yang melakukan penggandaan film di internet 1 HKI.co.id, ‘Hak Kekayaan Intelektual’, (Indonesia, 2014), <http://www.hki.co.id/hki.html> accessed 20 Desember 2019. 2 Directorate General for National Export Development, ‘Hak Kekayaan Intelektual’, (Jakarta Pusat, 2011), <http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/contents/99-hak-kekayaan-intelektual> accessed 20 Desember 2019. 3 WIPO Intellecrual Property Handbook, WIPO Publication, No 489 (E), 2001, hlm 43. Baca pula Pasal 40 UU Hak CIpta No. 28 Tahun 2014 mengenai jenis-jenis ciptaan yang dilindungi Hak CIpta. 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 1 angka 12 tentang Hak Cipta.

149


hanya ditindak lanjuti dengan cara penutupan konten yang dianggap melanggar hak cipta seseorang. Namun, dengan adanya penggandaan film dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat antara pemegang hak cipta dengan oknum yang melakukan penggandaan film. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas maka penyusun dalam hal ini dapat merumuskan masalah sebagai berikut: 1.2.1 Bagaimana upaya hukum yang dapat ditempuh untuk menghindari persaingan usaha tidak sehat dari penggandaan hak cipta film? 1.3 Dasar Hukum 1.3.1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 1.3.2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 1.3.3 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman. 1.3.4 Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik. 1.3.5 Traktat WIPO Mengenai Pertunjukan dan Perekaman Suara.

II.

ANALISIS

2.1 Upaya Hukum Terhadap Penggandaan Hak Cipta Film Masalah penggandaan hak cipta semakin marak terjadi. Penggandaan Film

merupakan perbuatan menggandakan satu salinan film tanpa izin dari pemilik hak cipta film tersebut. Beberapa tahun yang lalu, penggandaan film dilakukan dengan cara memperbanyak kepingan VCD/DVD film tersebut. Seiring perkembangan zaman, kemajuan teknologi mempermudah oknum tertentu untuk melakukan penggandaan film. Hanya melalui internet mereka bisa menggandakan film yang memiliki hak cipta. Perlu diketahui bahwa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi yang dalam hal ini melakukan penggandaan dan melangggar undang-undang tentang persaingan usaha

150


tidak sehat wajib mendapatkan izin dari pencipta atau seseorang yang memilikihak cipta film tersebut. Setiap orang dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. 5 Untuk mewujudkan ide cerita film ke dalam bentuk nyata, seorang produser harus mengeluarkan modal

untuk

menunjang pembuatan

suatu

film.

Modalnya

berupasumber daya alam, sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dana. Modal yang digunakan pencipta film tidaklah sedikit,maka dari itu sudah seharusnya negara memberikan perlindungan hukum sebagai bentuk apresiasi pembuatan suatu Ciptaan.6Seseorang harus mendapatkan persetujuan dari pencipta film agar bisa menyebarluaskan film karyanya. Biasanya, akan ada perjanjian kerjasama dengan lisensi tertentu yang berbunyi bahwa orang tersebut haruslah membayar sejumlah royalti kepada sang pencipta film sebagai bentuk kontraprestasi. Hal tersebut juga menghindarkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Namun, pada kenyataannya banyak pemilik situs hanya menduplikasi film tersebut dan menyebarkannya melalui internet tanpa persetujuan dari pemilik hak cipta film tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat antara sang pencipta film dengan pemilik situs film bajakkan di internet.7Dampak buruk yang dapat ditimbulkan adalah kerugian secara material maupun imaterial yang dialami oleh Pencipta. Di satu sisi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta tidak mendapatkan manfaat ekonomi berupa royalti atas penggunaan Ciptaan tersebut serta hak moral dengan tidak adanya pencantuman nama Pencipta pada situs tersebut sebagai sesuatu yang melekat pada Ciptaan.8

Abi Jam’an Kurnia, S.H., ‘Ancaman Hukuman Bagi Pengunduh Film Bajakan’, (Jakarta, 2018) <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt509b40da6ae66/download-film-bajakan> accessed 22 Desember 2019. 6 Daniel Andre Stefano, Perlindungan Hukum Pemegang Hak Cipta Film Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Yanng Dilakukan Situs Penyedia Layanan Film Streaming Gratis Di Internet(Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta), Diponegoro Law Journal, Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 7 Ibid 8 Ibid 5

151


2.1.1 Upaya Hukum berdasarkan Peraturan Pemerintah Dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik, dijelaskan tata cara penyampaian laporan pelanggaran hak cipta hingga prosedur terakhir diterima atau tidaknya laporan. Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dapat dilaporkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum.

9

Pada pasal 3

dijelaskan tata cara penyampaian laporan serta syarat laporan pelanggaran yaitu: 1) Bila terdapat pelanggaran hak cipta dapat dilaporkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum melalui Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual. Laporan mengenai pelanggaran hak cipta diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia. 2) Laporan mengenai pelanggaran hak cipta dapat dilakukan secara elektronik dan/atau nonelektronik. 3) Adapun syarat-syarat pengajuan laporan pelanggaran hak cipta yaitu: a. identitas pelapor; b. bukti hak atas Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait; c. alamat situs; d. jenis dan/atau nama konten yang melanggar Hak Cipta dan/atau Hak Terkait; e. jenis pelanggaran; f. keterangan lain terkait konten yang melanggar Hak Cipta dan/atau Hak Terkait; dan 9

Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik

152


4) Laporan mengenai pelanggaran hak cipta harus disertai dengan: a. fotokopi identitas pelapor; b. fotokopi bukti kepemilikan hak; c. dokumen alamat situs; d. dokumen mengenai pelanggaran atas Hak Cipta dan/atau Hak Terkait; e. surat kuasa jika laporan dilakukan melalui kuasa; dan f. dokumen lain yang terkait Setelah laporan diajukan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum melakukan verifikasi terhadap laporan yang telah diregistersebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). Verifikasi terhadap laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal laporan dicatat dalam register. Berdasarkan hasil verifikasi laporan ditemukan cukup bukti dan dianggap memenuhi unsur pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait, tim verifikasi membuat rekomendasi yang berupa penutupan sebagian atau seluruh konten yang melanggar Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam sistem elektronik atau menjadikan layanan system elektronik tidak dapat diakses. Dalam hal hasil verifikasi laporan tidak ditemukan cukup bukti dan dianggap tidak memenuhi unsur pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait, tim verifikasi menyampaikan hasil verifikasi laporan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum melalui Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual. Direktur

Jenderal

Kekayaan

Intelektual

atas

nama

menteri

yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum menyampaikan hasil verifikasi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pelapor, disertai dengan alasan. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2x24 jam (dua kali dua puluh empat jam) terhitung sejak tanggal hasil verifikasi laporan ditandatangani. Menteri yang

153


menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika melakukan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses pengguna yang melanggar Hak Cipta dan/atau Hak Terkait untuk sebagain atau seluruh konten berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. Penutupan Konten dan/atau Hak Akses pengguna yang melanggar Hak Cipta dan/atau Hak Terkait diumumkan dalam laman resmi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.10 2.2 Upaya Hukum Melalui Pengadilan 2.2.1. Upaya Melalui Hukum Perdata Upaya hukum perdata yang dapat dilakukan oleh si pemilik hak cipta yaitu dengan menuntut ganti rugi terhadap oknum yang melakukan penggandaan film. Pemilik karya berhak menuntu ganti rugi dikarenakan oknum tersebut mendapatkan keuntungan dari penggandaan film tanpa melalui izin dari pemilik hak cipta. Pemilik hak cipta mengalami kerugian material dan moral dikarenakan penggandaan film. Kerugian material yang dialami pemilik karya dikarenakan persaingan usaha yang tidak sehat oleh oknum tertentu. Sedangkan kerugian moral yang dialami pemilik karya dikarenakan tidak adanya izin menggandakan film yang mereka buat dan tidak mencantumkan nama pemilik hak cipta. Pemilik karya dapat menuntut ganti rugi dengan membawa semua bukti pelanggaran hak cipta ke pengadilan. 2.2.2 Upaya Melalui Hukum Pidana Pemilik hak cipta dalam hal ini dapat mengajukan gugatan tindak pidana atas tuntutan pelanggaran hak cipta yang dilakukan oknum tertentu ke pengadilan. Sanksi pidana bagi pelanggar hak cipta diatur dalam Pasal 113 Ayat (3) Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, yaitu: Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta 10

Ibid

154


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dapat kita perjelas disini bahwa kata setiap orang dalam pasal tersebut sesuai kasus ini mengacu pada oknum pembuat situs Indo XXI tanpa izin pencipta menggandakan dan menyebarkan film karya si pemilik hak cipta dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 Miliyar. 2.3

Upaya Hukum Melalui Cara Lainnya Pemilik hak cipta dapat juga menyelesaikan persoalan dengan cara mediasi.

Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di mana para pihak yang tidak memihak bekerjasama dengan pihak yang sedang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Pihak luar tersebut disebut dengan mediator, yang tidak berwenang untuk memutus suatu sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.11 2.4

Contoh Kasus Penggandaan Film Polisi menetapkan seorang tersangka dalam kasus pembajakan film Warkop DKI

Reborn: Jangkrik Boss Part I. Dirkrimsus Polda Metro Jaya Kombes M. Fadil Imran mengatakan, tersangka tersebut adalah perempuan 31 tahun berinisial P. Adapun P diketahui menyiarkan atau streaming film Warkop DKI ke aplikasi Bigo Live. Film yang disiarkannya itu adalah film yang direkam dengan ponsel ketika P menonton di bioskop. Kepada polisi, P mengatakan bahwa ia tak tahu aksinya ini melanggar hukum. P juga mengaku ia hanya iseng mengunggah film itu ke dunia maya. P diamankan di kediamannya di Jakarta pada Senin (26/9/2016). Kendati demikian, polisi tidak menahan P. Ia hanya diwajibkan melapor dan memenuhi panggilan penyidik. Kuasa hukum Falcon Picture, Lydia Wongso, mengucapkan terima kasih kepada jajaran Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Ia memperingatkan agar hal 11

Khotibul umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Yogakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hal. 10

155


serupa tidak diulangi. Lydia mengatakan, Falcon Picture maupun mereka yang berkecimpung di dunia perfilman, tidak akan segan untuk melaporkan aksi semacam ini ke polisi. Pelaku dijerat dengan Undang-undang Hak Cipta serta Pasal 48 UndangUndang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ancaman hukumannya, 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 4 miliar. 12 Menurut pengakuan Lidya, Falcon Pictures menderita kerugian sampai lebih dari Rp20 miliar. Mereka tidak hanya rugi secara material, namun mereka juga rugi secara moral.13 Seperti yang kita ketahui, penggandaan film dapat merugikan mereka yang memiliki hak cipta atas filmnya. Mereka tidak hanya rugi secara material namun rugi secara moral juga. Pelindungan hak cipta atas ciptaan berupa karya sinematografi berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. Adapun yang dimaksud dengan pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain. Jadi film yang Anda maksud pada dasarnya sudah dilindungi oleh hak cipta sejak pertama kali dilakukan pengumuman karena pelindungan terhadap ciptaan tersebut lahir secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata. Selain itu, perlu diketahui juga bahwa pelindungan tersebut termasuk pelindungan terhadap ciptaan yang tidak atau belum dilakukan pengumuman tetapi sudah diwujudkan dalam bentuk nyata yang memungkinkan penggandaan ciptaan tersebut.14

Nibras Nada, ‘Polisi Tetapkan Tersangka Kasus Pembajakan Film "Warkop DKI Reborn”’, (Jakarta,2016) <https://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/27/15233991/polisi.tetapkan.tersangka.kasus.pembaja kan.film.warkop.dki.reborn.> accessed 21 Desember 2019. 13 Martahan Sohuturon, ‘Pembajakan Rugikan Warkop DKI Reborn Sampai 20 M’, (Jakarta, 2016) <https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160927164826-220-161544/pembajakan-rugikanwarkop-dki-reborn-sampai-rp20-m> accessed 21 Desember 2019. 14 Abi Jam’an Kurnia, S.H., ‘Ancaman Hukuman Bagi Pengunduh Film Bajakan’, (Jakarta, 2018) <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt509b40da6ae66/download-film-bajakan> accessed 22 Desember 2019. 12

156


2.4.1 Upaya Pemerintah Mengatasi Situs Film Bajakan Pada zaman yang serba digital ini penggandaan film lebih mudah dilakukan oleh oknum tertentu. Terdapat banyak situs yang menyajikan film-film bajakan, salah satunya situs Indo XXI. Saat ini pemerintah sedang berupaya mengatasi penggandaan film di Indonesia. Salah satunya dengan cara penutupan situs tersebut. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah menjalankan upaya pemberantasan situs streaming film ilegal, seperti Indo XXI dan LK21. Pemerintah beralasan, upaya ini dilakukan sebagai dukungan terhadap hak cipta dan karya intelektual (HKI) seniman dan pembuat film.Kepala Plt. Biro Humas Kominfo, Ferdinandus Setu mengatakan, bahwa upaya pemberantasan situs film bajakan ini menjadi penting untuk mendukung pertumbuhan orisinalitas sebuah produk dan karya seseorang.15 Untuk melakukan upaya pembersihan situs ilegal tersebut, Kominfo bekerja sama dengan Coalition Against Piracy (CAP), Ditjen HKI Kemenkumham, serta Polri. Hingga saat ini, Kominfo membeberkan telah memblokir 1.130 situs streaming film bajakan.Kehadiran situs Indo XXI sendiri sebenarnya bagaikan kucing dan tikus dengan pemerintah. Setiap pemerintah menutup akses atau memblokir satu situs web Indo XXI, website itu kembali muncul dengan nama serupa namun domainnya berbeda.16 Dengan adanya situs ini membuat persaingan usaha antara pemilik hak cipta dengan pembuat situs menjadi tidak sehat. Definisi persaingan usaha tidak sehat terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada pasal (1) nomor 6 yang berbunyi: Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan Kumparan Tech, ‘Alasan Kominfo Blokir Situs Nonton Indo XXI’, (Jakarta, 2019) <https://kumparan.com/kumparantech/alasan-kominfo-blokir-situs-nonton-film-ilegal-indoxxi-danlk21-1sV8Kk396AA> accessed 23 Desember 2019. 16 Ibid. 15

157


atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Sesuai Undang-Undang diatas dapat kita lihat bahwa yang dilakukan oknum tertentu untuk menggandakan film dan menyebarkan melalui suatu web baik berbayar ataupun gratis menyebabkan persaingan usaha tidak sehat karena melawan hukum. Penggandaan film menyebabkan kerugian yang besar bagi rumah produksi yang memiliki hak cipta tersendiri atas film yang telah mereka buat. Karenanya pemerintah akan melalukan berbagai langkah untuk memberikan perlindungan hukum bagi karya kreatifitas. Bentuk dukungan dari Kominfo adalah dengan memblokir website streaming illegal yang sudah pasti melanggar ketentuan regulasi hak cipta dan karya intelektual.17 2.4.2 Pro dan Kontra Penutupan Situs Film Bajakan Survei dari YouGov yang didukung dari Coalition Against Piracy besutan Asia Video Industry Association menyebutkan bahwa hampir 60 persen konsumen online Indonesia mengakses website streaming bajakan tanpa berlangganan atau membayar. Survei ini juga menemukan bahwa 29 persen konsumen menggunakan TV Box yang dikenal sebagai Illicit Streaming Devices (ISDs), berisi aplikasi ilegal yang memberi akses terhadap acara televisi dan konten video in demand seperti dari Netflix.18 Masyarakat Indonesia banyak yang kontra dengan penutupan situs film bajakan dikarenakan masyarakat Indonesia memang suka menonton film bajakan. Salah satu alasan kuatnya karena gratis. Sebenarnya apa yang dilakukan pemerintah untuk melindungi hak cipta dari si pemilik karya adalah hal yang wajar karena sudah banyak UndangUndang yang mengatur masalah hak cipta. Namun, hal ini masih minim di benak masyarakat karena yang dipikirkan paling utama soal akses konten secara gratis 17

Ibid. Fahmi Fotaleno, ‘IndoXXI akan Dihapus, Warganet: I Stand with IndoXXI!’, (Jakarta,2019) <https://www.indozone.id/news/WYs4r6/indoxxi-akan-dihapus-warganet-i-stand-with-indoxxi> accessed 23 desember 2019. 18

158


tanpa keluar biaya. Hanya sedikit masyarakat Indonesia yang pro dengan penutupan situs film bajakan. Mereka yang pro dengan penutupan situs ini adalah mereka yang memang ingin menghargai karya anak bangsa.Seharusnya sebagai anak muda kita harus ikut andil mendukung usaha pemerintah dalam menegakkan HKI dengan tidak menonton film bajakan. III. PENUTUP 3.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa kita sebagai masyarakat Indonesia harus turut serta membanggakan hasil karya anak bangsa tanpa melakukan penggandaan film dan lain sebagainya. Jika terdapat kasus penggandaan hak cipta, si pemilik hak cipta dapat melaporkan pelanggaran hak cipta yang telah dilakukan melalui beberapa cara seperti pelaporan sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik, melakukan upaya hukum melalui pengadilan baik tuntutan perdata maupun pidana, dan melakukan upaya mediasi.

159


DAFTAR PUSTAKA Buku Khotibul umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010) WIPO Intellecrual Property Handbook, WIPO Publication, No 489 (E), 2001. Jurnal Daniel Andre Stefano, Perlindungan Hukum Pemegang Hak Cipta Film Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Yanng Dilakukan Situs Penyedia Layanan Film Streaming Gratis Di Internet(Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta), Diponegoro Law Journal, Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016. Internet dan/atau Media Online Abi Jam’an Kurnia, S.H., ‘Ancaman Hukuman Bagi Pengunduh Film Bajakan’, (Jakarta, 2018) <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt509b40da6ae66/downl oad-film-bajakan> accessed 21 Desember 2019. Directorate General for National Export Development, ‘Hak Kekayaan Intelektual’, (Jakarta Pusat, 2011) <http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/contents/99-hak-kekayaanintelektual> accessed 20 Desember 2019. Fahmi Fotaleno, ‘IndoXXI akan Dihapus, Warganet: I Stand with IndoXXI!’, (Jakarta,2019) <https://www.indozone.id/news/WYs4r6/indoxxi-akan-dihapus-warganet-i-standwith-indoxxi> accessed 23 desember 2019. HKI.co.id, ‘Hak Kekayaan Intelektual’, (Indonesia, 2014)<http://www.hki.co.id/hki.html> accessed 20 Desember 2019. Kumparan Tech, ‘Alasan Kominfo Blokir Situs Nonton Indo XXI’, (Jakarta, 2019) <https://kumparan.com/kumparantech/alasan-kominfo-blokir-situs-nontonfilm-ilegal-indoxxi-dan-lk21-1sV8Kk396AA> accessed 23 Desember 2019. Martahan Sohuturon, ‘Pembajakan Rugikan Warkop DKI Reborn Sampai 20 M’, (Jakarta, 2016) <https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160927164826220-161544/pembajakan-rugikan-warkop-dki-reborn-sampai-rp20-m> accessed 21 Desember 2019. Nibras Nada, ‘Polisi Tetapkan Tersangka Kasus Pembajakan Film "Warkop DKI Reborn”’, (Jakarta,2016)

160


<https://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/27/15233991/polisi.tetapkan .tersangka.kasus.pembajakan.film.warkop.dki.reborn.> accessed 21 Desember 2019. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599) Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik.

161


ANALISIS YURIDIS PEMBAJAKAN MUSIK LUAR NEGERI DI TINJAU DARI SISTEM HUKUM DIINDONESIA Sari Rahmatullah Universitas Sriwijaya ABSTRAK Di Indonesia, Undang-Undang yang melindungi karya cipta adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, dan telah melalui beberapa perubahan serta telah diundangkan undang-undang yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai berlaku 12 bulan sejak diundangkan. Pembajakan pada bidang music dan lagu semakin memprihatinkan, terlebih saat ini semakin mudah mendistribusikan lagu lewat internet. Bahkan penegakan hukum UU Hak Cipta (HKI) masih jauh dari yang diharapkan. Di lain sisi, setiap pemilik hak cipta berhak mendapatkan perlindungan untuk setiap karyanya. Hak atas kekayaan Intelektual (HKI) perlu didokumentasikan agar kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat dihindari atau dicegah. Kata kunci: Pembajakan Musik, Hukum, Undang-Undang Hak cipta. ABSTRACT In Indonesia, the Law that protects copyright works is Law 6 of 1982 about Copyright, and has gone through several changes and has enacted the latest Law, which is Law No. 19 of 2002 about Copyright that will be regulated 12 (twelve) months after promulgation. Piracy in the field of music and songs is increasingly alarming, especially it's easier now to distribute songs through the internet. Even the enforcement of the Copyright Law (IPR) is still far from what was expected. On the other hand, every copyright owner is entitled to get protection for each of his works. Intellectual property rights (IPR) need to be documented so that the possibility of the production of technology or other similar works can be avoided or prevented. Keywords: Music Piracy, Law, Copyright Law

162


I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Secara sederhana kekayaan intelektual merupakan kekayaan yang timbul atau

lahir dari kemampuan intelektual manusia. Karya-karya yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual manusia dapat berupa karya-karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Kekayaan atau aset berupa karya-karya yang dihasilkan dari pemikiran atau kecerdasan manusia mempunyai nilai atau manfaat ekonomi bagi kehidupan manusia sehingga dapat dianggap juga sebagai aset komersial. Karya-karya yang dilahirkan atau dihasilkan atas kemampuan intelektual manusia baik melalui curahan tenaga, pikiran dan daya cipta, rasa serta karsanya sudah sewajarnya diamankan dengan menumbuhkembangkan sistem perlindungan hukum atas kekayaan tersebut yang dikenal sebagai sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI). HKI merupakan cara melindungi kekayaan intelektual dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang ada, yakni Hak Cipta, Paten, Merek dan Indikasi Geografis, Rahasia Dagang, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Perlindungan Varietas Tanaman.1 Di era globalisasi ini, kemajuan teknologi dan informasi mempermudah orang-orang dalam melakukan suatu hal dan lebih mudah dalam mendapatkan informasi. Dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi ini semakin banyak orang yang menggunakan akses internet. Baik itu diakses dan digunakan untuk pendidikan, jejaring sosial, maupun hiburan. Pembajakan Musik adalah tindakan menyalin (copy)/menjiplak/membajak suatu karya baik melalui fisik, CD, DVD, maupun digital yang memiliki hak cipta dan mengakibatkan para musisi Indonesia rugi hingga karyanya tidak bisa diharapkan lagi karena pembajakan yang semakin menggila. Akibat dari seringnya aktifitas pembajakn suatu karya cipta tyaitu

Krisnani Setyowati, Efridani Lubis, Elisa Anggraeni dan M. Herman Wibowo, ‘Hak Kekayaan Intelektual dan Tantangan Implemetasinya di Perguruan Tinggi’ (Bogor 2005).[1]. 1

163


musik, banyak dampak negatif yang timbul dari aktifitas ini tersebut dan diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Menurunkan kreativitas para generasi muda maupun mereka yang memiliki bakat. Pembajakan bisa membuat masyarakat menjadi malas untuk menyalurkan bakatnya karena tidak ada yang menghargai hasil karyanya namun justru dibajak oleh orang lain. 2. Pemerintah tidak mendapatkan pemasukan dari pajak penjualan suatu karya cipta. Seperti yang telah diutarakan di atas, kurangnya penerimaan pajak tentu akan menghambat pertumbuhan ekonomi negara. 3. Situs/Web/Blog illegal bakal semakin merambah. Kemudahan yang lebih parahnya lagi saat mengakses di situs illegal dapat membuat masyarakat lebih memihak ke situs illegal karena lebih mudah, murah tanpa harus mengeluarkan banyak uang, bahkan gratis. Timbulnya pelanggaran hak cipta tersebut karena rendahnya pemahaman masyarakat akan arti dan fungsi hak cipta dan keinginan untuk memperoleh keuntungan dagang dengan cara yang lebih praktis, dan tentunya hal tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja karena sangat tidak menguntungkan bagi sang pencipta dan mengurangi minat seseorang dalam mengekspresikan suatu karya cipta.2 Di Indonesia kasus tersebut, dapat diberikan suatu sanksi yang cukup berat yang sebagaimana tercantum dalam pasal 113 ayat 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, adapun hal yang akan

dibahas dari jurnal ini adalah: 1.2.1 Bagaimana pengaturan dan tindaklanjut hukum di Indonesia terhadap kasus mengenai pembajakan musik tersebut? Sujud Margono, ‘Prinsip Deklaratif Pendaftaran Hak Cipta’ (2012) 1 Nomor 2 Rechtsvinding.[238] 2

164


1.3

Dasar Hukum Dalam penetapan penegakan hak cipta tentu berdasarkan hukum-hukum yang

sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dasar-dasar hukum tersebut antara lain adalah: 1.3.1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta 1.3.2 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta II.

ANALISIS

2.1. Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia 2.2.1 Sejarah Perkembangan Perlindungan Kekayaan Intelektual Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an. Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek (1885), UU Paten (1910), dan UU Hak Cipta (1912). Pada saat tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU peningggalan Belanda tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten yang berada di Batavia ( sekarang Jakarta ), namun pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda. Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan semetara permintaan paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G. 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.

165


Pada tanggal 11 Oktober 1961 pemerintah Republik Indonesia mengundangkan UU No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (UU Merek 1961) untuk menggantikan UU Merek kolonial Belanda. UU Merek 1961 yang merupakan undang-undang Indonesia pertama di bidang HKI. Undang-undang tersebut mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek 1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan. Saat ini, setiap tanggal 11 November yang merupakan tanggal berlakunya UU No. 21 tahun 1961 juga telah ditetapkan sebagai Hari KI Nasional. Pada tanggal 10 Mei1979 berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris [Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967)]. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan,yaitu Pasal 1 s.d. 12, dan Pasal 28 ayat (1). Untuk menggantikan Undang-Undang Hak Cipta peninggalan Belanda, pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan Undang-Undang U No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta 1982). Pengesahan UU Hak Cipta 1982

dimaksudkan

untuk

mendorong

dan

melindungi

penciptaan,

penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa. Hingga pada tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem HKI di tanah air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui Keputusan No. 34/1986 (Tim ini lebih dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Tugas utama Tim Keppres 34 adalah mencangkup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas. Pada

166


tanggal 19 September 1987 karena berkembang suatu kehidupan hukum di pemerintahan Republik Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta diubah dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1987 tentang Hak Cipta dan kemudian disahkan. Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreativitas masyarakat. Menyusuli pengesahan UU No. 7 tahun 1987 Pemerintah Indonesia menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta sebagai pelaksanaan dari UU tersebut. Pada tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 di tetapkan pembentukan Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek (DJ HCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jendral Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman. Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 tahun 1989 (UU Paten 1989) oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991. Pengesahan UU Paten 1989 mengakhiri perdebatan panjang tentang seberapa pentingnya sistem paten dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan UU Paten 1989, perangkat hukum di bidang paten diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan penemuan teknologi. Hal ini disebabkan karena dalam pembangunan nasional secara umum dan khususnya di sektor indusri, teknologi memiliki peranan sangat penting. Pengesahan UU Paten 1989 juga dimaksudkan untuk menarik investasi asing dan mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri. Namun demikian, ditegaskan pula bahwa upaya untuk mengembangkan sistem KI, termasuk paten, di Indonesia tidaklah semata-mata karena tekanan dunia

167


internasional, namun juga karena kebutuhan nasional untuk menciptakan suatu sistem perlindungan HKI yang efektif. Pada tanggal 28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku tanggal 1 April 1993. UU Merek 1992 menggantikan UU Merek 1961. Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights(Persetujuan TRIPS). Tiga tahun kemudian, pada tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang KI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989, dan UU Merek 1992. Di penghujung tahun 2000, disahkan tiga UU baru di bidang KI, yaitu UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Dalam upaya untuk menyelaraskan semua peraturan perundang-undangan di bidang KI dengan Persetujuan TRIPS, pada tahun 2001 Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten, dan UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek. Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak diundangkannya. 2.2.2 Sistem Hukum di Indonesia Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau member izin untuk itu dengan

tidak

mengurangi

pembatasan-pembatasan

menurut

peraturan

perundangn-undangan yang berlaku.3 Perlindungan terhadap suatu ciptaan

3

Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Tangerang 2013).[1].

168


timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk nyata. Perlindungan hak cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan, karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreatifitas atau keahlian, sehingga ciptaan itu dapat dilihat, dibaca atau didengar. 4 Pada umumnya bentuk tindak pidana hak cipta antara lain berupa pengambilan, pengutipan, perekaman, pertanyaan, dan pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apapun tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan dengan undang-undang atau melanggar perjanjian. Dilarang undang-undang artinya undang-undang hak cipta tidak memperkenankan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena tiga hal yakni:5 1. Merugikan pencipta/pemegang hak cipta, misalnya memfotokopi sebagian atau seluruhnya ciptaan orang lain kemudian dijualbelikan kepada masyarakat luas; 2. Merugikan kepentingan Negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan atau; 3. Bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak dan menjual video compact disc (VCD) porno. Pembajakan terhadap karya orang lain seperti rekaman adalah salah satu bentuk dari tindak pidana hak cipta musik yang dilarang dalam Undang-Undang Hak Cipta. Pekerjaannya liar, tersembunyi, dan tidak diketahui orang banyak apalagi oleh petugas penegak hukum dan pajak. Pekerjaan tersembunyi ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari penangkapan pihak kepolisian. Hal ini dapat lihat dalam bentuk pelanggaran counterfeit dan piracy. Counterfeit lebih

4

Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Tangerang 2013).[2]. 5 Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Tangerang 2013).[2]

169


dikenal sebagai album rekaman aspal (asli/palsu). Sedangkan Piracy merupakan bentuk pembajakan karya rekaman yang dilakukan dengan memasukan berbagai lagu yang sedang populer kedalam suatu album, dikenal dengan istilah “kompilasi�. Banyak sekali pembajakan bentuk ini di pusat-pusat perbelanjaan. Bahkan mall dimana banyak pedagang yang dengan bebas dan leluasa menjual dan mengedarkan album hasil pembajakan karya seni tersebut. Dari ulah pembajak tersebut telah merugikan negara triliunan rupiah. Para pembajak hak cipta karya musik tidak akan mungkin menunaikan kewajiban hukum untuk membayar pajak kepada negara sebagaimana layaknya warga negara yang baik. Pembajakan merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan iptek di bidang grafika dan elektronika yang dimanfaatkan secara melawan hukum (ilegal) oleh mereka yang ingin mencari keuntungan dengan jalan cepat dan mudah.6 Undang-Undang memberikan sanksi bagi siapa saja yang tidak melindungi karya cipta seseorang dengan melakukan penciplakan atau pembajakan tanpa izin dari pemilik hak cipta. Lebih jauh dalam Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 sudah ditentukan bentuk perbuatan pelanggaran hak cipta karya musik sebagai delik undang-undang (wet delict) yang dibagi tiga kelompok, yakni: 1. Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini

antara

lain

melanggar

larangan

untuk

mengumumkan,

memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, dan ketertiban umum; 2. Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta.

Oksidelfa Yanto, ‘Konsep Perlindungan Hak Cipta Karya Musik Dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual Dari Tindak Pidana Pembajakan’ (2015) 3 Cita Hukum.[106]. 6

170


Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan VCD bajakan; 3. Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer. Dari ketentuan pasal 72 tersebut, ada dua golongan pelaku pelanggaran hak cipta karya musik yang dapat diancam dengan sanksi pidana. Pertama, pelaku utama adalah perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang. Termasuk pelaku utama ini adalah penerbit, pembajak, penjiplak, dan pencetak. Kedua, pelaku pembantu adalah pihak-pihak yang menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum setiap ciptaan yang diketahuinya melanggar hak cipta atau melanggar larangan Undang-Undang Hak Cipta. Termasuk pelaku pembantu ini adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual, dan pengedar yang menyewakan setiap ciptaan hasil kejahatan/pelanggaran hak cipta atau larangan yang diatur oleh undang-undang. Kedua golongan pelaku pelanggaran hak cipta diatas dapat diancam dengan sanksi pidana oleh ketentuan UU No. 19 Tahun 2002. Pelanggaran dilakukan dengan sengaja untuk niat meraih keuntungan sebesar-besarnya, baik secara pribadi, kelompok maupun badan usaha yang sangat merugikan bagi kepentingan para pencipta.7 Jika kita lihat pengaturan tentang ketentuan pidana atau hukuman dalam Undang-Undang Hak Cipta, maka kejahatan pembajakan hak cipta karya musik dikategorikan sebagai tindak yang diatur dalam Pasal 72 ayat (2) yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Sementara itu akibat adanya perubahan atas UUHC Nomor 19 tahun 2002, maka ketentuan pidana bagi pelaku kejahatan hak cipta sekarang 7

Andi Hamzah, ‘Asas-Asas Hukum Pidana’ (Jakarta, 1994).[92].

171


diatur dalam Pasal 112 hingga Pasal 120 UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Ketentuan mengenai pembajakan karya cipta secara lebih spesifik ditegaskan dalam Pasal 113 ayat 4 yang berbunyi; “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000,000,00 (empat miliar rupiah). Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur mengenai tindak pidana hak cipta. Dalam pasal 480 KUHP disebutkan: “Di pidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah�. Kasus pembajakan industri musik di Indonesia ini sangat banyak terjadi, bahkan hasil dari pembajakan industri musik ini bisa menguasai pasar, diperbanyak dan di perjual belikan secara bebas. Menurut Asosiasi Industri Rekaman Indonesia, sejak tahun 2007, industri musik bajakan telah menguasai 95,7% pasar. Mayoritas bahkan hampir semua masyarakat di negara-negara berkembang menggunakan CD Bajakan dan mengunduh file musik secara gratis via internet yang ke-legal-annya di pertanyakan. Tidak peduli kalangan bawah maupun kalangan atas, bahkan para penegak hukum yang seharusnya mencegah masalah ini malah ikut-ikutan menggunakan produk-produk bajakan ini. Kasus pembajakan industri musik di Indonesia ini sangat banyak terjadi, bahkan hasil dari pembajakan industri musik ini bisa menguasai pasar, diperbanyak dan di perjual belikan secara bebas. Mayoritas bahkan hampir semua masyarakat di negara-negara berkembang menggunakan CD Bajakan dan mengunduh file musik secara gratis via internet yang kelegalannya di pertanyakan. Hal ini menyebabkan banyak dari para musisi yang mengalami banyak kerugian. Kerugian yang dialami para musisi bukan hanya kerugian materil, tapi kerugian daya kreatifitas musisi yang dijiplak oleh para tangan kreatif. Menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya intelektual di

172


bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap. Dalam lingkup hukum hak cipta, yang dipersoalkan tidak hanya apakah tujuannya untuk komersial atau tidak, tetapi apakah merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang hak cipta atau tidak. Dengan demikian, walaupun seseorang melakukan perbanyakan tidak untuk mencari profit / keuntungan, tetapi kalau tindakan itu merugikan kepentingan (tentunya kepentingan ekonomi) yang wajar dari pemegang hak cipta, maka dapat dianggap melanggar Hak Cipta. hal ini tertuang dalam pasal 2 ayat 2 UU No. 19 tahun 2002. III.

PENUTUP Dari ketentuan Undang-Undang diatas beserta contoh kasusnya, terlihat bahwa

ancaman pidana bagi pelaku pelanggaran hak cipta karya musik sangat tegas sekali. Untuk itu, persoalan yang mendasar yang paling penting sekarang adalah bagaimana law enforcement dalam pelanggaran HKI ini dapat dioptimalkan dan diterapkan dilapangan. Pelaku pelanggaran tersebut harus di kenai sanksi pidana sesuai dengan hukum yang berlaku. Hanya dengan cara seperti itulah perlindungan atas karya cipta terutama karya cipta musik dapat dilindungi.

173


DAFTAR PUSTAKA Buku Hamzah Adi, ‘Asas-Asas Hukum Pidana’ (Jakarta, 1994) Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Tangerang 2013) Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Tangerang 2013)

Jurnal Setyowati Krisnani, Lubis Efridani, Anggraeni Elisa Angg, Wibowo M. Herman, ‘Hak Kekayaan Intelektual dan Tantangan Implemetasinya di Perguruan Tinggi’ (Bogor 2005) Yanto Oksidelfa, ‘Konsep Perlindungan Hak Cipta Karya Musik Dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual Dari Tindak Pidana Pembajakan’ (2015) 3 Cita Hukum Laman Ratriansyah Fanandi Prima, ‘(Efek Pembajakan Musik di Dunia Internet) ’ ( kavling10.com, 2014) < https://kavling10.com/2014/10/efek-pembajakanmusik-di-dunia-internet/> Setyowati Krisnani, ‘(Hak Kekayaan Intelektual dan Tantangan Implementasinya di Perguruan Tinggi)’ (kms.ipb.ac.id, 2005) <http://kms.ipb.ac.id/1004/1/Hak%20Kekayaan%20Intelektual.pdf> Direktor Jenderal Kekayaan Intelektual, ‘(Sejarah Perkembangan Perlindungan Kekayaan Intelektual) (dgip.go.id) <https://dgip.go.id/sejarahperkembangan-perlindungan-kekayaan-intelektual-ki>,

Perundang-undangan

174


Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4220)

175


PERLINDUNGAN HUKUM RAHASIA DAGANG DALAM BISNIS WARALABA DI INDONESIA Balqis Namira Universitas Sriwijaya ABSTRAK Konsep bisnis waralaba telah menjadi salah satu pusat perhatian yang memberi terobosan baru dalam dinamika perekonomian Indonesia khususnya sebagai salah satu bentuk pengembangan usaha mengingat waralaba adalah bisnis yang teruji keberhasilannya sehingga banyak usaha yang kemudian diwaralabakan seperti bisnis waralaba minuman boba yang saat ini sedang berkembang pesat. Namun sangat rentan terhadap kebocoran maupun pencurian resep rahasia dagang dimana dalam hal ini sangatlah penting karena suatu rahasia dagang seperti resep merupakan suatu aset terpenting dalam bisnis waralaba. Tetapi pemilik rahasia dagang dapat memberikan lisensi bagi pihak lain yang berupa pemberian lisensi yaitu izin yang diberikan kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak yang diberikan untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberikan tersebut dengan batas waktu tertentu atau sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak dan pemilik rahasia dagang berhak untuk melarang untuk menggunakan rahasia dagang tersebut atau mengungkap rahasia dagang tersebut kepada pihak ketiga. Rumusan masalah dari penulisan ini yaitu “bagaimana perlindungan hukum rahasia dagang dalam bisnis waralaba� dan “sanksi apa saja yang dapat dikenakan kepada pihak atau seseorang yang membocorkan rahasia dagang tersebut sesuai dengan undang undang rahasia dagang�. Kata Kunci: Rahasia dagang, waralaba, perlindungan hukum ABSTRACT The concept of a franchise business has become one of the centers of attention that has given new breakthroughs in the evolution of the Indonesian government as a form of business development, considering that franchising is a proven business that has succeeded in starting more franchises such as the boba beverage franchise business which is currently developing rapidly. Secret secrets everywhere are important secrets for the franchise business. Except the secret owner who can give licenses to other parties consisting of licenses and permits granted to other parties related to the granting of licenses granted to enjoy the economic benefits of trade secrets given within a certain time limit in accordance with the agreement of both parties and the owner of the trade secret has the right to use the trade secret or reveal trade secrets for third parties. The purpose of this discussion is to discuss how to protect trade secrets in the franchise business and penalize what can be paid to the party or someone who leaked trade secrets in accordance with trade secret regulations. Keywords: Trade secrets, franchises, legal protection

176


I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Hak Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan Pemerintahan kepada penemu, pencipta, atau pendesain atas hasil karya cipta dan karsa yang dihasilkannya. Hak eksklusif adalah hak monopoli untuk memperbanyak karya cipta dalam jangka waktu tertentu, baik dilaksanakan sendiri atau dilisensikan.1 Bryce Webster mengemukakan pengertian Waralaba (Franchise) dari aspek yuridis, yaitu: lisensi yang diberikan oleh franchisor dengan pem-bayaran tertentu, lisensi yang diberikan itu bisa berupa lisensi paten, merek perdagangan, merek jasa, dan lain-lain yang digunakan untuk tujuan perdagangan tersebut.2 Rahasia Dagang adalah suatu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual yang memiliki pengertianyaitu suatu informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang. Memiliki ruang lingkup meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.3 Pengertian rahasia dagang menurut Pasal 1 angka 1 dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang ialah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.4 Suatu rahasia dagang dapat mendapatkan perlindungan apabila informasi tersebut sejatinya bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga

1

https://kemenperin.go.id/download/140/Kebijakan-Pemerintah-dalam-Perlindungan-HakKekayaan-Intelektual-dan-Liberalisasi-Perdagangan-Profesi-di-Bidang-Hukum, diakses pada tanggal 16 Agustus 2020, Pukul 15:25 2 Ridhwan Khaerandy,�Aspek Aspek Hukum Fran-chise dan Keberadaannya Dalam Hukum Indonesia�, Majalah Anisa. Yogjakarta: UII,Yogjakarta, 1992. 3 https://dgip.go.id/pengenalan-rahasia-dagang, diakses pada tanggal 16 Agustus , Pukul 15.29 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang Pasal 1 Ayat 1

177


kerahasiaannya melalui upaya-upaya sebagaimana mestinya. Suatu informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat. Informasi juga dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi.5 Di Negara Indonesia bisnis dibidang minuman banyak para pelaku usaha untuk memulai usaha dan memperluas jaringannya dalam berbagai perjanjian sehingga perlu adanya perlindungan hukum terhadap rahasia dagang pada usaha dibidang minuman seperti minuman boba yang sekarang sedang merajalela, salah satu perjanjian yang terdapat didalam rahasia dagang ini perjanjian waralaba. Waralaba diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (Franchise) adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti hasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.6 Lahirnya Peraturan ini berupaya untuk meningkatkan pembinaan usaha franchise di seluruh Indonesia terutama pada pengusaha kecil agar tumbuh menjadi pemberi waralaba yang handal dan mempunyai daya saing dalam memasarkan produk terutama produk dalam negeri. Rahasia dagang yang merupakan aset perusahaan yang wajib dijaga sampai kapan pun tanpa batas waktu. Apabila telah terungkap rahasia dagang tersebut kepada pihak lain baik yang memiliki perdagangan sejenis maupun yang tidak sejenis akan menimbulkan kerugian bagi penemu. Dasar pemikiran untuk perlindungan informasi rahasia di bawah persetujuan TRIPs adalah sama dengan dasar pemikiran untuk perlindungan bentuk HAKI yang lain, seperti hak cipta, paten, desain atau merek. Yaitu untuk menjamin pihak yang

5 6

Yusran Isnaini, 2010, Buku Pintar HAKI, Jakarta, Ghalia Indonesia, [97]. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

178


melakukan investasi untuk mengembangkan konsep, ide dan infor-masi yang bernilai komersial dapat bermanfaat dari investasi itu dengan memperoleh hak eksklusif untuk menggunakan konsep atau informasi, maupun untuk mencegah pihak lain menggunakannya atau mengungkapkannya tanpa izin. Perlindungan hukum atas informasi rahasia juga mendorong usaha dan pengembangan komersial dengan menjamin pihak pengusaha mengembangkan pengetahuan, konsep, dan informasi daripada hanya mencuri atau meniru kekayaan pihak lain. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan maka permasalahan yang dapat diajukan yaitu: 1.2.1 Apa akibat hukum jika ada orang yang membocorkan rahasia dagang? 1.2.2 Bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap rahasia dagang dalam bisnis waralaba? 1.3.

Dasar Hukum 1.3.1 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat 1.3.2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang 1.3.3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

II.

ANALISIS

2.1

Akibat Hukum Bagi Pihak yang Membocorkan Rahasia Dagang Apabila seseorang membuka atau membocorkan rahasia dagang suatu

perusahaan kepada perusahaan lain, maka orang tersebut dapat dituntut secara pidana dengan dasar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Sedangkan secara perdata diatur pada Pasal 1234 BW yang menyatakan “bahwa tiap – tiap perikatan memberikan sesuatu untuk berbuat sesuatu atau tidak melakukan perbuatan sesuatu, yang artinya para pihak membuat perjanjian yang obyeknya� Pembocoran atau penyalahgunaan terhadap rahasia dagang didalam 179


perjanjian akan dikenakan sanksi perdata yang terdapat dalam Pasal 1242 BW. Sedangkan pada ancaman pidana terdapat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Pasal 323 mengatakan bahwa “barang siapa yang sengaja telah memberitahukan hal khusus mengenai perusahaan dagang, pertanian maupun kerajiinan ditempat ia bekerja maupun ditempat dahulu dia bekerja yang seharusnya dirahasiakan akan diancam hukuman penjara selama Sembilan bulan lamanya, dan dikenakan denda sebanyak Sembilan ribu rupiah.�7 Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, rahasia dagang tidak perlu didaftarkan atau dicatatkan. Sebab, dengan didaftarkan, maka informasi pada rahasia dagang tersebut akan terkuak ke publik dan sifat kerahasiaannya tidak terdapat lagi. Kepemilikan rahasia dagang otomatis dimiliki oleh pemegang haknya, ketika unsur-unsur obyek atas hak rahasia dagang terpenuhi. Adapun pencatatan rahasia dagang wajib dilakukan hanya saat terjadi saat pengalihan hak, yaitu atas terjadinya pewarisan, hibah, wasiat perjanjian tertulis atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan undang-undang. Salah satu bentuk pengalihan hak adalah dengan pemberian lisensi. Lisensi, dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, dapat didefinisikan sebagai izin yang diberikan oleh pemegang hak rahasia dagang kepada pihak lain melalui perjanjian pemberian hak (bukan pengalihan hak). Dengan diberikan lisensi, maka penerima hak akan menikmati manfaat ekonomi dari Rahasia Dagang yang diberikan perlindungan, melalui jangka waktu dan syarat tertentu.8 2.2

Perlindungan Hukum terhadap Rahasia Dagang dalam Bisnis Waralaba Rahasia dagang seperti yang telah disebutkan pada pendahuluan adalah informasi

yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi atau bisnis, dan mempunyai nilai

7

Gerungan, A. E. (2016). Perlindungan Hukum terhadap Rahasia Dagang Ditinjau dari Aspek Hukum Perdata dan Pidana di Indonesia oleh: Anastasia E. Gerungan. Jurnal Hukum Unsrat, 22(5). Hal. 73 8 https://www.pphbi.com/2016/12/23/perlindungan-rahasia-dagang-di-indonesia/, Diakses pada tanggal 16 Januari 2020, Pukul 20:26

180


ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang. Elemen pertama suatu Rahasia Dagang harus merupakan suatu “informasi�, baik informasi dibidang teknologi maupun informasi bisnis seperti daftar pelanggan, resep makanan dan minuman, komposisi obat, dan serta proses-proses internal untuk menghasilkan produk atau jasa. Elemen kedua dari suatu rahasia dagang adalah bahwa informasi tersebut harus mempumyai nilai ekonomis yang berguna dalam kegiatan usaha, karena secara umum, informasi tersebut tidak diketahui oleh pihak lain (kompetitor) dan tidak dapat dengan mudah diperoleh pihak lain sehingga rekayasa ulang susah dilakukan. Serta, elemen ketiga dari suatu rahasia dagang adalah bahwa informasi tersebut harus dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang, dengan upaya sebagaimana mestinya. Rahasia dagang bukanla hal baru dalam dunia bisnis, sejak abad ke-11 masalah kerahasiaan khususnya yang berhubungan dengan rahasia perusahaan, sehingga memperoleh perhatian lebih dari peradilan. 9 Jika merujuk pada pengertian rahasia dagang menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang maka dapat ditarik beberapa unsur dari rahasia dagang sebagai berikut: 1. Adanya Informasi Jika Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang sama sekali tidak memberikan informasi, maka apakah harus mencari pengertiannya. Apakah dengan ini pula berarti informasi yang dimaksud hanya merupakan informasi berbentuk tertulis ataupun lisan 2. Tidak diketahui Oleh Umum Meskipun dapat mengambil pengertian informasi umum dan ketentuan Undang-Undang Paten, namun harus diingat sifat kerahasiaan dagang adalah permanen dan tidak dapat diakhiri dengan apapun. Hal yang harus diperhatikan yaitu perlu adanya pertimbangan hal-hal berikut ini : a. Sampai seberapa jauh informasi tersebut diketahui orang lain

9

Gunawan Wijaya, 2001, “SHB: Rahasia Dagang�, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 1

181


b. Sampai seberapa jauh informasi tersebut diketahui karyawan atau pihak lain c. Sampai seberapa jauh usaha telah dilakukan oleh perusahaan uuntuk mejaga kerahasiaan d. Nilai

kormesial

informasi

tersebut bagiperusahaan maupun

kompetitornya e. Besarnya biaya dan waktu yang dikeluarkan untuk memperoleh informasi tersebut f. Tingkat kesukaran bagi pihak lain untuk memperoleh atau menduplikasikan inofrmasi rahasia tersebut 3. Dalam lapangan Teknologi atau Bisnis Hal yang perlu diperhatikan mengenai makna teknologi adalah proses pembuatan produk atau metode produksi menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang 4. Memiliki Nilai Ekonomi 5. Kewajiban untuk menjaga kerahasiaan oleh pemiliknya.10 Dalam sudut pandang hukum, Pemilik rahasia dagang berhak menggunakan rahasia dagangnya, serta dapat memberikan lisensi rahasia dagang dan melarang pihak lain dalam menggunakan rahasia dagang tersebut serta tidak boleh mengungkapkan rahasia dagangnya kepada pihak ketiga.11 Rahasia dagang memiliki sifat tidak mutlak, yang artinya kerahasiaannya dapat diketahui oleh pihak - pihak lain dengan digunakannya suatu izin melalui perjanjian. Si pemilik rahasia dagang dapat tidak memberikan rahasia dagang sepenuhnya agar terdapat suatu inovasi dari si pemberi waralaba kepada si penerima waralaba, dan

10

Gunawan Wijaya, 2001, “SHB: Rahasia Dagang�, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 78-

83 Ni Nyoman Dalem Andi Yusianti, 2017, “Pengaturan Perlindungan Hukum Haki Bidang Rahasia Dagang Terkait Pembocoran Infromasi Oleh Pekerja Menurut UU No.30 Th 2000 Tentang Rahasia Dagang �. Kertha Semaya , 5 (5), Desember 2017, hal. 4 11

182


juga untuk berjaga-jaga agar tidak terjadinya persaingan yang ketat diantara keduanya. Karena pada dasarnya disetiap suatu usaha haruslah terdapat suatu ciri khas dari masing-masing pihak tersebut sehingga menimbulkan daya tarik tersendiri bagi setiap usaha para waralaba. Suatu rahasia dagang akan mendapatkan perlindungan apabila informasi tersebut sejatinya sebagai berikut: a.

Bersifat rahasia, maksudnya bahwa informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.

b.

Mempunyai nilai ekonomi, maksudnya bahwa sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi.

c.

Informasi dianggap dijaga kerahasiaannya, apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.12

Di Indonesia pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat dapat ditemukan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat, yang dimaksud dengan persaingan tidak sehat yaitu persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukkan secara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.13 Sesuai dengan rumusan tersebut dapat diketahui bahwa persaingan usaha tidak sehat berhubungan dengan kegiatan produksi ataupun pemasaran barang yang dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Cara tidak jujur 2. Melawan hukum

12

https://sis.binus.ac.id/2018/08/15/perlindungan-hukum-terhadap-rahasia-dagang/, diakses pada tanggal 16 januari 2020, Pukul 16:27 13 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

183


3. Menghambat persaingan usaha14 Dalam sistem waralaba mempunyai suatu yang abstrak yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu citra (image) dan nama baik (goodwill) tertentu. Citra dan nama baik diperlukan dalam dunia bisnis, di mana unsur persaingan serta upaya merebut pangsa pasar memegang peranan yang amat besar. Dengan menggunakan nama merek dan sistem eskploitasi, maka usaha yang dimiliki oleh penerima waralaba mendapatkan citra serta nama baik pemberi waralaba yang telah tertanam di masyarakat. Pemilik rahasia dagang tidak mempunyai batas waktu dalam kepemilikan, selama si pemilik bisa menjaga rahasia dagangnya dari pihak ketiga dan publik. Didalam rahasia dagang terdapat adanya perlindungan hukum prefentif dan represif. Perlindungan hukum secara prefentif bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa yang dilakukan oleh kedua belah pihak dari pelaku bisnis franchise, sedangkan perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa dari dua belah pihak pelaku usaha bisnis franchise. Perlindungan ini dapat diselesaikan melalui Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia. Dalam suatu bisnis juga harus terdapat etika. Etika dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah tindakan, aktivitas atau perilaku individu bisa dianggap baik atau tidak. Karena etika bisnis akan mengacu dan berbicara mengenai masalah baik atau tidak baiknya suatu aktivitas bisnis. 15 Oleh karena itu perlu adanya etika dalam setiap bisnis baik itu waralaba atau bisnis apapun itu karena walaupun si penerima waralaba sudah mendapat lisensi ataupun izin dari si pemberi waralaba sehingga mendapat suatu rahasia dagang tetapi harus tetap ada etika dalam berbisnis sehingga kedepannya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang pada Pasal 13 terdapat upaya hukum yang dapat dilakukan jika tejadinya kebocoran yaitu: a. Penyelesaian secara musyawarah 14

Gunawan Wijaya, 2001, “SHB: Rahasia Dagang�, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 4

15

Erni R Ernawan., 2011, “Business Ethics�, Alfabeta, Bandung, hal. 22

184


Penyelesaian ini dapat dilakukan melalui kekeluargaan yaitu mengutamakan penyelesaian secara damai melalui musyawarah mufakat, yaitu dengan cara para pihak bertemu dan membicarakan masalah dan kemudian mencari solusi yang terbaik kepada para pihak. b. Penyelesaian melalui litigasi atau nonlitigasi Pada Pasal 11 Melalui upaya pengadilan (litigasi) yang menyatakan “bahwa Pemegang Hak Rahasia Dagang (penerima lisensi) dapat menggugat siapa pun yang telah sengaja atau tanpa hak memberikan lisensi dan mengungkapkan Rahasia Dagang kepada pihak lain, untuk kepentingan yang bersifat komersial�. Dan di dalam Pasal 12 terdapat upaya hukum secara perdata yang dilakukan apabila terjadi pelanggaran terhadap usaha Rahasia Dagang dibidang makanan dan minuman yaitu “Melalui upaya diluar pengadilan (nonlitigasi) atau dengan alternative penyelesaian sengketa (ADR), lembaga penyelesaian sengketa atau melalui prosedur yang disepakati para pihak.�16

III.

PENUTUP

3.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 3.1.1. Perlindungan Hukum terhadap rahasia dagang dalam bisnis waralaba dapat lebih terlindungi apabila dalam Perjanjian Waralaba telah mengatur tentang perlindungan HaKI secara spesifik, yakni dengan memperjanjikan batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi oleh Penerima Waralaba (franchisee). Suatu pemilik rahasia dagang dapat mengalihkan haknya kepada pihak lain melalui cara-cara yang telah ditetapkan dalam undangundang yaitu melalui pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, dan

16

Zil Aidi, Hasna Farida, 2019, Perlindungan Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Makanan, Jurnal Cendekia Hukum, 4 (2), Semarang, hal. 22

185


sebab-sebab lainnya yang dibenarkan oleh undang-undang. Pemilik rahasia dagang dapat pula mengalihkan haknya melalui suatu perjanjian lisensi. 3.1.2. Seorang pemilih rahasia dagang sangatlah berhak untuk membatasi ataupun menghalangi seorang penerima waralaba untuk membocorkan atau menjual kepada pihak ketiga, dan kalaupun hal tersebut terjadi maka terdapat beberapa sanksi sesuai yang tertera pada UU No.30 Tahun 2000 tentang rahasia dagang.

186


DAFTAR PUSTAKA Buku Ernawan Erni R., 2011, “Business Ethics”, Alfabeta, Bandung. Isnaini Yusran, 2010, Buku Pintar HAKI, Jakarta, Ghalia Indonesia. Khaerandy Ridhwan,”Aspek Aspek Hukum Fran-chise dan Keberadaannya Dalam Hukum Indonesia”, Majalah Anisa. Yogjakarta: UII,Yogjakarta, 1992. Ni Nyoman Dalem Andi Yusianti, 2017, “Pengaturan Perlindungan Hukum Haki Bidang Rahasia Dagang Terkait Pembocoran Infromasi Oleh Pekerja Menurut UU No.30 Th 2000 Tentang Rahasia Dagang ”. Kertha Semaya, 5 (5), Desember 2017 Wijaya Gunawan, 2001, “SHB: Rahasia Dagang”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Jurnal Gerungan, A. E. (2016). Perlindungan Hukum terhadap Rahasia Dagang Ditinjau dari Aspek Hukum Perdata dan Pidana di Indonesia oleh: Anastasia E. Gerungan. Jurnal Hukum Unsrat, 22(5). Zil Aidi, Hasna Farida, 2019, Perlindungan Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Makanan, Jurnal Cendekia Hukum, 4 (2), Semarang.

Laman Binus,

Perlindungan Hukum Terhadap Rahasia Dagang <https://sis.binus.ac.id/2018/08/15/perlindungan-hukum-terhadap-rahasiadagang/>,

Dgip, Pengenalan rahasia dagang <https://dgip.go.id/pengenalan-rahasia-dagang,> Kemenperin, Kebijakan Pemerintah dalam Perlindungan HaKI <https://kemenperin.go.id/download/140/Kebijakan-Pemerintah-dalamPerlindungan-Hak-Kekayaan-Intelektual-dan-Liberalisasi-PerdaganganProfesi-di-Bidang-Hukum> PPHBI,

Perlindungan Rahasia Dagang di Indonesia <https://www.pphbi.com/2016/12/23/perlindungan-rahasia-dagang-diindonesia/>

187


Perundang-undangan

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4044) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

188


HAK EKONOMI PENCIPTA DALAM PEMUTARAN LAGU DI KAFE TERKAIT DENGAN PEMBAYARAN ROYALTI Melani Tania Wijaya Universitas Sriwijaya Abstrak Penggunaan musik di restoran maupun tempat-tempat rekreasi tidak pernah menguntungkan Pencipta atas musik yang diciptakannya. Padahal menurut konsep hukum kontinental Perancis, "hak pencipta" terbagi menjadi "hak ekonomi" dan "hak moral". Keduanya memberikan pencipta kewenangan dalam mengawasi dan eksploitasi karya ciptaannya. Namun nyatanya hak-hak tersebut justru sering disalahgunakan oleh beberapa individu selaku pemilik dari pihak restoran dan tempat rekreasi yang menyebabkan pengarang tidak diuntungkan. Hal tersebut justru memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan kreativitas tanpa pengakuan, penghargaan serta perlindungan yang jelas. Tidak pernah ada suatu perjanjian dalam bentuk “izin� dalam pemutaran musik di mana pun oleh pihak-pihak tersebut yang dampaknya adalah salah satu dari hak eksklusif berupa menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum, bukan menjadi hak dari si pencipta, tetapi oknum tersebut menyebarluaskan lagu tersebut tanpa diikat suatu perjanjian atas hak ekonomi dan moral yang seharusnya dimiliki oleh pencipta yaitu lisensi musik. Hal ini merupakan kejahatan terhadap hak atas kekayaan intelektual pada sektor hak cipta yang dampaknya berupa monopoli karya ciptaan seseorang. Pada kasus tersebut dipahami bahwa aspek perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual tersebut haruslah ditegakkan dengan dibuatnya suatu perjanjian yang memiliki unsur dari hak pengarang yaitu berupa hak ekonomi dan moral. Kata Kunci: Hak Cipta, Lisensi Musik , Pembayaran Royalti Abstract The use of music in restaurants or recreational places has never benefited the Creator for his creation. According to the concept of French continental law, "creator rights" are divided into "economic rights" and "moral rights". Both give creators the authority to supervise and exploit their work. However, these rights are often misused by some individuals as owners of restaurants and recreation areas that cause the Author to be disadvantaged. Instead, it enriches some parties at the expense of creativity without recognition, appreciation and clear protection. There has never been an agreement in the form of "permission" in music playback anywhere by those parties whose impact is one of the exclusive rights in the form of displaying or displaying a work in public, not the right of the creator, but the person distributes the song without an agreement on the economic and moral rights that should be owned by the Creator. This is a crime against intellectual property rights in the copyright sector whose impact is the monopoly of one's work. In this case, it is understood that the aspect of protection of intellectual property rights must be enforced by making an agreement that has elements of the author's rights in the form of economic and moral rights. Keywords: Copyright, Music License, Royalty Payment

189


I. PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Pada era modern ini banyak wirausahawan yang berkecimpung dalam bisnis

dibidang wisata kuliner. Peluang usaha di bidang wisata kuliner seperti restoran, kafe, warteg dan kedai menunjukkan betapa mudahnya meraih profit yang besar dengan modal yang terbilang cukup rendah. Dari segi pencapaian profit, bisnis kuliner merupakan 1 dari 10 peluang usaha pada tahun 2019 yang paling menguntungkan. 1 Namun dalam mencapai keuntungan tersebut di era modern seperti saat ini pelayanan tambahan menjadi salah satu aspek penting dari ramainya pengunjung contoh adanya wifi gratis, permainan kartu, desain yang menarik dan unik, pertunjukan musik secara langsung, latar belakang lagu terpopuler saat sedang menikmati makanan, dan sebagainya. Dalam hal ini restoran yang dimaksud adalah kafe-kafe. Pertunjukan musik secara langsung dan penggunaan lagu-lagu sebagai latar belakang musik di kafekafe tersebut menjadi faktor penting dalam kegiatan komersial, karena tanpa adanya layanan tambahan tersebut pengunjung khususnya pada kalangan usia remaja hingga dewasa akan merasa adanya kesenjangan atas ketertinggalan zaman yang merupakan reaksi dari globalisasi pada era modern saat ini. Efek samping adanya hal tersebut juga berhubungan dengan lagu-lagu yang dimainkan sebagai latar belakang maupun lagulagu yang di aransemen oleh band yang melakukan pertunjukan musik secara langsung. Yang patut dipertanyakan adalah apabila pihak dari restoran menggunakan lagu-lagu tersebut untuk kepentingan komersial yang merauh profit yang cukup besar, maka bagaimana dengan hak ekonomi yang ada dalam karya yang diciptakan oleh pencipta lagu. Seperti yang kita ketahui pencipta lagu memiliki hak ekonomi terkait hak cipta yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta�). Apabila lagu tersebut digunakan semena-mena oleh pihak restoran demi

1

Tri Andy, 10 Usaha Menjanjikan untuk Pemula yang Terbukti Menguntungkan , (Entrepeneurcamp.id 2008 ) http://entrepreneurcamp.id/usaha-menjanjikan-untuk-pemula/ accessed 16 Januari 2020

190


mencapai kepentingan yang bersifat komersial, maka setidaknya haruslah mendapatkan izin daripada penggunaan hak cipta tersebut. Penggunaan hak cipta merupakan bagian dari perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Hak tersebut merupakan hak ekonomis yang diberikan oleh hukum kepada seorang pencipta atau penemu atas suatu hasil karya dari kemampuan intelektual manusia. 2 HKI merupakan hak yang muncul karena hasil kreatifitas intelektual seseorang, dengan syarat harus di tuangkan dalam bentuk nyata (ada dimensi fisiknya), ada kreatifitas, sehingga tidak boleh sekedar ide, gagasan, konsep, atau fakta tertentu yang tidak memiliki dimensi fisik. (Budi Santoso, 2008 : 1) HKI adalah hak kebendaan. Hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio, dan hasil dari perkejaan manusia yang menalar.3 Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berkhayal, menghayati, kerohanian, termasuk juga kemampuan bersosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi ini disebut sebagai fungsi non-verbal, metaforik, intuitif, imajinatif, dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif holistik dan mampu memproses informasi secara simultan.4 Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika (metode berpikir), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis.5 Pada pokoknya, HKI merupakan hak untuk menikmati hasil kreativitas intelektual manusia dari segi ekonomis. Oleh karena itu, objek yang diatur dalam HKI adalah karya yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual manusia.6 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta�) telah mengatur mengenai

2

Khoirul Hidayah, Hukum Hak Kekayaan Intelektxual (Setara Press : 2017) Otak yang dimaksudkan bukanlah otak yang kita lihat seperti tumpukkan daging yang enak digulai, yang beratnya 2% dari total berat tubuh, tetapi otak yang berperan sebegai pusat pengaturan segala kegaitan fisik dan psikologis, yang terbagi menjadi dua belahan; kiri dan kanan. 4 Oki Saidin, Aspek Hak Kekayaan Intelektual (PT Raja Grafindo Persada Jakarta 2013 ). [ 9- 10] 5 Ibid [10] 6 Sudaryat, Sudjana [et.,al.], Hak Kekayaan Intelektual. (OASE MEDIA Bandung 2010) [15] 3

191


bagaimana lahirnya perlindungan hak cipta. Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta menyatakan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, dan keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.7 Selanjutnya, perlindungan hak cipta adalah perlindungan terhadap suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Namun demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di Pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan tersebut. Dalam memperoleh hak tersebut diperlukan perlindungan hukum yang kuat dan lebih dari sekedar keharusan dalam penegakannya. Ciptaan yang dilindungi, ialah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Dalam ciptaan yang dilindungi, musik dan lagu merupakan bagian dari seni yang memiliki hak cipta dan hak ekonomi. Kegiatan memperdengarkan lagu termasuk sebagai tindakan melakukan hak ekonomi yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta, yaitu termasuk dalam kategori "pertunjukan ciptaan" dan "pengumuman ciptaan�. Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Kegiatan memperdengarkan lagu yang dilakukan di restoran atau kafe bisa termasuk dalam kategori "pertunjukan ciptaan" dan "pengumuman ciptaan.8 1.2

Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana pengaturan terkait pemutaran lagu di kafe atau restoran?

7 8

Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Ibid

192


1.2.2 Apa yang dapat dilakukan apabila dilakukan pemutaran lagu di kafe tanpa adanya pembayaran Royalti? 1.3 Dasar Hukum 1.3.1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

II. ANALISIS 2.1

Pengaturan pemutaran lagu di kafe atau restoran 2.1.1 Pengaturan pemutaran lagu Dalam peraturan yang tertera pada UU Hak Cipta merupakan hak untuk mempertunjukkan atau memutar lagu di depan umum merupakan salah satu hak eksklusif dari Pencipta/Pemegang Hak Cipta. Dari segi pengaturannya pada Hak Cipta merupakan hak untuk mempertunjukkan atau memutar lagu di depan umum merupakan salah satu hak eksklusif dari Pencipta/Pemegang Hak Cipta. 9 Dalam hal ini sesuai dengan aturan yang telah berlaku, seharusnya pemutaran musik ataupun lagu perlu mendapatkan izin atau lisensi jika memainkan musik/lagu di depan umum kecuali musik/lagu tersebut sudah masuk ke dalam domein publik atau penggunaannya memenuhi syarat pemakaian yang wajar. Musik atau lagu sebagai ciptaan yang dilindungi menimbulkan hak ekonomi bagi penciptanya. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan Ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;

Risa Amrikasari, ‘Haruskah Restoran Membayar Royalti Jika Memutar Lagu Orang Lain?’, (IPAS Institute 2015), https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5539b37fd20f8/haruskahrestoran-membayar-royalti-jika-memutar-lagu-orang-lain/ accessed 29 Desember 2019 9

193


f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi Ciptaan; dan i. Penyewaan Ciptaan; Kegiatan memperdengarkan lagu yang dilakukan di restoran atau tempat rekreasi bisa termasuk dalam kategori "pertunjukan ciptaan" dan "pengumuman ciptaan". Landasan hukum dari pemberian imbalan terhadap penggunaan hak ekonomi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 tahun 2014 adalah sebagai berikut: a. Pasal 8 UU Hak Cipta: “Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.� b. Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta: Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan Ciptaan; d. Pengadaptasian,

pengaransemenan,

atau

pentransformasian

Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi Ciptaan; dan i. Penyewaan Ciptaan. Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi pada Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta wajib mendapatkan izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta terkait hal-hal apa saja yang menimbulkan kewajiban yang harus ditepati. Dari pasal tersebut timbulnya hak ekonomi Pencipta/Pemegang Hak Cipta ini harus 194


diselesaikan oleh masing-masing pihak yang melaksanakan hak ekonominya. Dalam

arti, jika

pada

restoran dan/atau tempat

rekreasi

dilakukan

pertunjukan musik secara langsung ataupun memutar lagu dengan alasan yang nantinya akan menguntungkan pihak restoran dan/atau tempat rekreasi yang mengandung unsur “ekonomi�, maka harus dipastikan terlebih dahulu apakah band yang akan tampil dan musik yang diputar tersebut sudah mengurus royalti hak cipta dari lagu-lagu yang akan dinyanyikan. Jika hal tersebut telah dilakukan oleh band yang tampil, maka sepenuhnya tanggung jawab untuk membayar royalti ada pada band sebagai Pelaku Pertunjukan (Performer). Jika belum dilakukan, maka hal tersebut menjadi hal yang harus ditegaskan dalam kontrak antara restoran dan/atau tempat rekreasi dengan band mengenai siapa yang akan membayar royalti, pihak restoran atau pihak band, dibayar bersama-sama atau dengan melakukan perjanjian dan lain sebagainya. 2.2.2 Pengaturan pemutaran lagu di kafe atau restoran Apabila kegiatan memainkan lagu tersebut dilakukan dalam bentuk memperdengarkan rekaman musik atau lagu, maka sebagai pemilik kafe, restoran dan/atau tempat rekreasi harus mendapatkan izin dari Pemegang Hak Cipta dari lagu-lagu yang diperdengarkan. Di negara-negara maju, pembayaran royalti seperti ini sudah dilakukan oleh Lembaga Manajemen Koletif.10 Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna

mengelola

hak

ekonominya

dalam

bentuk

menghimpun

dan

mendistribusikan royalti.11 Hukum Hak Cipta Indonesia juga telah mengatur mengenai Lembaga Manajeman Koletif (“LMK�). Lembaga Manajemen

10 11

Ibid Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

195


Kolektif yang ada di Indonesia misalnya: YKCI dan WAMI. Pasal 87 UU Hak Cipta mengatur sebagai berikut.12 a. Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial. b. Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif. c. Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif yang berisi kewajiban untuk membayar Royalti atas Hak Cipta dan Hak Terkait yang digunakan. d. Tidak dianggap sebagai pelanggaran Undang-Undang ini, pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif.

12

Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

196


2.2 Upaya Hukum apabila memutarkan musik di restoran dan/atau tempat rekreasi tanpa adanya pembayaran Royalti 2.2.1 Pengaturan hukum tentang kewajiban pembayaran royalti oleh pemakai kepada pemegang hak cipta Berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, seorang pencipta lagu memiliki hak eksklusif untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya ataupun memberikan izin kepada pihak lain untuk melakukan hal tersebut. 13 Hal itu berarti bahwa apabila orang lain atau pihak lain mempunyai keinginan untuk menggunakan suatu karya cipta (lagu) milik seseorang, maka harus meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta atau orang yang memegang hak cipta atas karyanya. Sehubungan dengan hak eksklusif yang dimiliki oleh pemegang hak cipta lagu, maka pemegang hak cipta dapat memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan lagu ciptaannya tersebut, pemberian izin tersebut biasanya disebut sebagai pemberian lisensi yang ketentuannya diatur dalam Pasal 45- 47 UU Hak Cipta.14 Bersamaan dengan pemberian lisensi tersebut, biasanya akan diikuti oleh pembayaran royalti kepada pemegang hak cipta lagu tersebut. Royalti itu sendiri dapat diartikan sebagai kompensasi bagi penggunaan sebuah ciptaan termasuk karya cipta lagu.15 Sebagai seseorang yang menggunakan karya cipta lagu milik orang lain maka siapapun termasuk anda berkewajiban untuk terlebih dahulu meminta izin dari si pemegang hak cipta lagu tersebut. Apabila ditelaah terkait penggunaan karya cipta, pemegang hak cipta tidak memiliki kemampuan untuk memonitor setiap penggunaan karya ciptanya oleh pihak lain. Pemegang Hak Cipta tersebut

13

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) Pasal 45-47 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta 15 Bung Pokrol, Royalti hak cipta https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/ cl755/royalti-hak-cipta/ accessed 29 Desember 2019 14

197


tidak bisa setiap waktu mengontrol setiap stasiun televisi, radio, restoran, rekreasi untuk mengetahui berapa banyak karya cipta lagunya telah diperdengarkan di tempat tersebut. Oleh karena itu, untuk menciptakan kemudahan baik bagi si pemegang hak cipta untuk memonitor penggunaan karya ciptanya dan bagi si pemakai maka pencipta/pemegang Hak Cipta dapat saja menunjuk kuasa (baik individu ataupun lembaga) yang bertugas mengurus hal-hal tersebut. Di dalam prakteknya di beberapa negara maju, pengurusan lisensi, pembayaran dan pengumpulan royalti dilakukan melalui lembaga manajemen kolektif yang saat ini Di Indonesia, salah satu lembaga manajemen kolektif adalah Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI).16 Institusi ini merupakan fasilitator yang sangat penting bagi pencipta maupun pengguna karya cipta/pemakai, karena institusi ini menjembatani hubungan antara pemegang hak cipta dengan pemakai dan akan memastikan bahwa si pemegang hak cipta atau pencipta menerima pembayaran atas penggunaan karya mereka.17 Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) ini bertindak atas nama para anggotanya untuk menegosiasikan royalti dan syarat-syarat penggunaan karya cipta tersebut kepada pemakai, mengeluarkan lisensi untuk pemakai, mengumpulkan dan mendistribusikan royalti. Pemakai yang antara lain adalah stasiun televisi, radio, restoran, cafe, hotel, pusat perbelanjaan, diskotek, tempat rekreasi, teater, karaoke dan tempat-tempat lainnya yang memutarkan dan memperdengarkan lagu/musik untuk kepentingan komersial berkewajiban untuk membayar royalti karena lagu/musik adalah karya intelektual dari seseorang, di mana pembayaran royalti tersebut di Indonesia dapat dilakukan melalui KCI. Hal yang harus diingat bahwa sebenarnya royalti yang ada bayarkan tidak akan masuk kedalam institusi KCI melainkan kepada pada pencipta lagu yang

16

Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Sejarah Yayasan Karya Cipta Indonesia , http://kci-lmk.or.id/sejarah-kci/ accessed 31 Desember 2019 17

198


karyanya telah digunakan oleh pemakai. Demi mempermudah penggunaaan karya cipta, pemakai dapat pula memiliki lisensi dari KCI ini sehingga pemakai dapat menggunakan jutaan karya cipta musik untuk kepentingannya di mana sebagai konsekuensinya adalah membayar royalti kepada KCI atas lisensi tersebut.18 Akan tetapi penerapan hal terus cenderung tabu di beberapa daerah di Indonesia, sehingga hingga saat ini masih banyak restoran , cafe , bahkan tempat rekreasi yang belum melakukan pembayaran royalti ataupun memiliki lisensi dalam yang memutarkan dan memperdengarkan lagu/musik untuk kepentingan komersial. Sehubungan dengan lisensi tersebut, ada beberapa hal yang patut diperhatikan bahwasanya lisensi tersebut sesuai dengan sifatnya merupakan perjanjian yang pada dasarnya harus disepakati oleh kedua belah pihak tanpa adanya paksaan sesuai dengan hukum perjanjian yang berlaku khususnya di Indonesia.19 Sebagai suatu perjanjian, baik anda yang merupakan pengguna/ pemakai karya cipta musik maupun Pencipta/Pemegang Hak Cipta/ KCI (sebagai kuasa) yang merupakan para pihak dalam perjanjian pada dasarnya dapat melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan dalam perjanjian.20 Dalam negosiasi tersebut dapat dibahas hal-hal yang juga menyangkut kepentingan anda sebagai pemakai, diantaranya mengenai ruang lingkup pemanfaatan karya cipta tersebut apakah akan digunakan untuk kepentingan sendiri atau untuk komersial. di mana apabila suatu karya cipta digunakan untuk kepentingan sendiri tidak ada kewajiban untuk membayar royalti. Negosiasi tersebut juga dapat dilakukan terhadap besarnya royalti yang harus dibayarkan oleh anda sebagai pengguna dan

18

Bung Pokrol, Royalti hak cipta, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/ cl755/royalti-hak-cipta/ accessed 29 Desember 2019 19 Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan adanya 4 (empat ) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya; Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan; Suatu hal tertentu; dan causa yang halal. 20 Ibid.

199


sistem pembayaran royalti tersebut sesuai dengan kapasitas anda dalam melakukan pembayaran tersebut.21 2.2.2 Upaya Hukum dalam melakukan Pembayaran Royalti di Indonesia Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah memperlihatkan bahwa lembaga yang berhak memungut royalti pencipta ada dalam Pasal 87 s.d. Pasal 93 UU Hak Cipta yaitu Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). LMKN bertugas melakukan pengelolaan royalti hak cipta bidang lagu / musik yang masing-masing merepresentasikan dari keterwakilan kepentingan pencipta dan kepentingan pemilik hak terkait.22 Dengan begitu LMKN merupakan lembaga yang memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari pengguna yang bersifat komersial.23 Untuk maksud itulah maka pada tanggal 20 Januari 2015, Kemenkumham melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permohonan dan Penerbitan Izin Operasional serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif dan Keputusan Menteri No. M.HH01.01 Tahun 2014 tentang Penetapan Panitia Seleksi Calon Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Pencipta dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Hak Terkait, telah melantik sepuluh anggota LMKN. Keanggotaan LMKN terdiri dari lima orang Komisioner LMKN Pencipta (Rhoma Irama, James F. Sundah, Adi Adrian, Imam Haryanto, dan Slamet Adriyadie) dan lima orang Komisioner LMKN Hak Terkait (Rd. M. Samsudin DH, Ebiet G Ade, Djanuar Ishak, Miranda Risang Ayu, SH, LL.M, Ph.D dan Handi Santoso). 24

21

Bung Pokrol , Royalti hak cipta https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/ cl755/royalti-hak-cipta/ accessed 29 Desember 2019 22 Ibid. 23 Pasal 89 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta 24 Agus Riyanto, Penentuan Dan Penetapan Besaran Royalti , ( BINUS 2015 ) https://businesslaw.binus.ac.id/2015/04/21/penentuan-dan-penetapan-besaran-royalti/ accessed 30 Desember 2019

200


Kejelasan dalam pengaturan tentang pendistribusian dan besaran royalti menjadi penting untuk meminimalisasi terjadinya sengketa antara LMKN (sebagai pihak yang menetapkan besaran royalti) degan pengguna lagu yang bersifat komersial (sebagai pihak yang wajib membayar besaran royalti itu) maupun pihak lain yang terkait di dalam menghitung besaran royalti. Hal ini, karena ada tiga titik permasalah di dalam UU hak Cipta yang dalam implementasi akan multitafsir pengertiannya. Pertama, siapakah yang dimaksud dengan pengguna lagu yang bersifat komersial sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (24) juncto Pasal 87 ayat (1), (4) dan Pasal 89 ayat (2) UU hak Cipta. Kedua, arti terminologi imbalan yang wajar yang diatur oleh Pasal 87 (ayat 1) UU hak Cipta dan Ketiga, LMKN dalam penetapan besaran royalti haruslah sesuai dengan kelaziman di dalam praktik berdasarkan keadilan (Pasal 89 ayat (1) dan (2) UU hak Cipta). Hal ini terbilang abstar dikarenakan penentuan dari kelaziman tersebut tidak dijelaskan secara detail dalam pengaturannya. Pasal 1 ayat (24) UU Hak Cipta menggunakan kata penggunaan secara komersial tanpa adanya kata lagu. Penggunaan secara komersial diterjemahkan pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar. Terdapat dua kemungkinan, yaitu (1) merujuk kepada arti pengguna lagu secara komersial dan (2) juga terbuka tidak termasuk arti pengguna lagu secara komersial, sementara di dalam penjelasan UU hak Cipta dikatakan cukup jelas. Hal ini berarti membuka penafsiran yang berbedabeda dan semuanya kembali kepada yang memberikan penilaian terhadap kata penggunaan secara komersial.25 Dengan adanya hal tersebut apakah pengguna lagu secara komersial itu merujuk pada pengguna dengan memperdengarkan karya cipta yang telah dibelinya sepperti kaset tau CD sepanjang tidak bertujuan mendapatkan keuntungan yang bersifat materi atau komersial adalah

25

Agus Riyanto , Penentuan Dan Penetapan Besaran Royalti , ( BINUS 2015 ) https://businesslaw.binus.ac.id/2015/04/21/penentuan-dan-penetapan-besaran-royalti/ accessed 30 Desember 2019

201


diperbolehkan, dan kemudian hal tersebut menjadikan kegiatan itu tidaklah termasuk penggunaan lagu yang bersifat komersil. Kondisi yang berbeda terhadap karya cipta (lagu misalnya) kemudian dipergunakannya (diumumkan atau diperbanyak) untuk kepentingan komersial, maka ada kewajiban untuk membayar royalti. Misalnya, menjadikan musik sebagai bagian dari proses dan aktivitas pertunjukan yang memang memungut biaya dari penontonnya atau memperdengarkan musik itu sebagai daya tarik untuk berkunjungnya konsumen.26 Penggunaan karya cipta tersebut akan dapat dikenakan kewajiban pembayaran royalti. Jika hal itu termasuk, maka berarti industri hiburan dan para pengusaha harus membayar royalti jika menggunakan musik untuk kepentingan mereka. Seperti mal-mal besar (di mana perusahaan retail besar ada di dalamnya), kafe-kafe, tempat karaoke, tempat rekreasi, warung makan, konser, pentas seni mahasiswa, termasuk tempat seperti seperti kafe-kafe di pinggir jalan adalah pihak-pihak yang akan terkena membayar besaran royalti. Terminologi imbalan yang wajar yang diatur Pasal 87 ayat (1) UU hak Cipta juga mengundang tanya yang tidak terjawabkan UU hak Cipta itu sendiri. Adanya ketentuan yang seperti ini telah membuka peluang terjadinya salah pengertian penentuan jika di dalam menentukannya dilakukan secara sepihak saja dan pihak yang akan dikenakan tidak didiskusikan terlebih dahulu dengannya.27 Artinya, Ketika besaran royalti ditentukan sepihak, maka akan berakibat pada suatu penolakandari pihak lainnya. Kemudian besaran imbalan wajar menjadi relatif sulit ditentukan jika tidak ada standar jelas yang mengaturnya, walaupun pemereintah beberapa kali merancang undang undang baru. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2019 sempat diberitakan secara luas bahwasanya RUU permusikan yang dicanangkan pemerintah dihapuskan karena tidak sesuai dengan pasal pasal diatasnya.Dengan kondisi seperti ini , maka tidak 26 27

Ibid Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

202


tercapaianya kesepakatan menjadi kemungkinan terbesar yang akan terjadi . Apabila tidak terjadi kesepakatan bersama antar pihak pada akhirnya akan berdampak buruk kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait, termasuk juga kepada negara dari aspek pajaknya. LMKN dalam penetapan besaran royalti harus sesuai kelaziman dalam praktiknya berdasarkan keadilan (Pasal 89 ayat (1) dan (2) UU hak Cipta .Kesulitan dalam menentukan kelaziman menjadi hal yang akan mempengaruhi penetapan besaran royalti yang tepat. Hal ini berarti, Kelaziman dan keadilan yang diatur dalam pasal tersebut terlalu abstrak dan tidak memiliki parameter yang dapat dijadikan pegangan di dalam penentuan besaran royalti yang ditetapkan LMK dan yang harus dibayar oleh pengguna lagu secara komersial. Akibat dari masalah ini, maka sulit sekali mencari titik temu angka besaran royaltinya. Kata kelaziman dan keadilan itu menjadi sangat relatif dan tergantung sudut pandang mana menilainya. Terjadinya kondisi demikian terjadi karena dalilnya sendiri-sendiri. Hal ini semuanya bermula dari ketidakjelasan dan keabstrakan yang diatur oleh Pasal 89 (ayat 1) dan (2) UU Hak Cipta tersebut. Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, ketidakjelasan tersebut harus ada jalan keluar untuk memperjelasnya. Pasal 89 ayat (4) UU Hak Cipta itu sendiri telah membuka untuk dapat lebih memperjelasnya. Pasal tersebut mengatur bahwa mengenai pedoman di dalam penetapan besaran royalti ditetapkan oleh LMK (dalam hal ini yang dimaksud adalah LMKN) dan disahkan oleh Menkumham.28 Hal ini berarti kekurangan ketidakjelasaan yang ada di dalam hal penetapan besaran royalti itu masih dapat diselesaikan. Untuk itu adalah lebih tepat jika di dalam penetapannya juga melibatkan dan berdiskusi dengan pihak yang akan menjadi objek besaran royalti, yaitu pengguna secara komersial. 29 Alangkah baiknya ada suatu tahapan perundingan terlebih dahulu dan tercantum 28 29

Pasal 89 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Ibid, Agus Riyanto

203


jelas di dalam kesepakatan perdata antara LMKN dengan pengguna secara komersial dan untuk itu ada besaran royalti yang telah disetujui bersama. Kesepakatan tersebut juga harus memeiliki formula perhitungan yang jelas oleh LMKN dan disetujui Menkumhan serta tercapai kesepakatan dari pengguna atau pemakai lagu. Dengan adanya kejelasan, maka keraguan terhadap ketidakjelasan yang ada akan terhapuskan dan hal tersebut merupakan bukti tegas pengakuan hak ekonomi yang seharusnya memang menjadi hak-hak pencipta, Pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait. Hak-hak yang tidak dapat ditenggelamkan karena ketidakjelasan aturan. Kemudian jika telah tercapai kejelasan antar pihak, maka salah satu upaya yang harus dilakukan adalah dengan melakukan pembayaran royalti kepada pemegang hak cipta melalui LMKN. Mengenai prosedur pembayaran royalti, sebagaimana diatur oleh UU hak Cipta 2014 terdiri dari:30 a. Pengguna terdaftar sebagai anggota LMK; b. Pengguna membuat perjanjian dengan LMK untuk membayar royalti; c. LMK meminta laporan penggunaan dalam bentuk

log-sheet,

programme return, cue sheet, dan lain-lain dari para Pengguna. Selain itu bisa juga dengan sampling penggunaan musik; d. Pengguna membayar royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau Pemilik Hak Terkait melalui LMK. e. LMK menyerahkan royalti kepada Pencipta/Pemegang Hak Cipta Indonesia dengan cara transfer ke rekening atau diterima langsung oleh yang bersangkutan. Untuk Pemegang Hak Cipta Asing, penyerahan royalti dilakukan melalui LMK di negara tersebut untuk disampaikan kepada.

Risa Amrikasari, ‘Haruskah Restoran Membayar Royalti Jika Memutar Lagu Orang Lain?’, (IPAS Institute 2015), https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5539b37fd20f8/haruskahrestoran-membayar-royalti-jika-memutar-lagu-orang-lain/ accessed 29 Desember 2019 30

204


Namun apabila Pencipta/Pemegang Hak Cipta tidak terdaftar sebagai anggota LMK, maka Anda wajib meminta izin dan membayar royalti secara langsung kepada Pencipta/Pemegang Hak Cipta.

III. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa hak ekonomi pencipta dalam pemutaran lagu di restoran dan/atau tempat rekreasi terkait dengan pembayaran royalti bersifat wajib yang mana dalam peraturan perundang-undangan dijelaskan bahwa pemutaran lagu termasuk dalam kegiatan memainkan, memperdengarkan, menggunakan karya ciptaan yaitu lagu yang bersifat materi atau komersil. Hal ini diperjelas dengan adanya LMKN (lembaga manajemen kolektif nasional) yang bertugas melakukan pengelolaan royalti hak cipta bidang lagu dan/atau musik yang masing-masing merepresentasikan dari keterwakilan kepentingan pencipta dan kepentingan pemilik hak terkait.

205


DAFTAR PUSTAKA Buku Sudaryat, Sudjana [et.,al.], Hak Kekayaan Intelektual. (OASE MEDIA Bandung 2010) Khoirul Hidayah, Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Setara Press 2017) Oki Saidin, Aspek Hak Kekayaan Intelektual (PT Raja Grafindo Persada Jakarta 2013)

Jurnal Miladiyanto, Sulthon Royalti lagu/ Musik Untuk Kepentingan Komersial Dalam Upaya Perlindungan Hak Cipta Lagu/Musik, Malang, 2015, Rechtle Jurnal Hukum Vol 10 No.1

Laman Andy, Tri, 10 Usaha Menjanjikan untuk Pemula yang Terbukti Menguntungkan, (Entrepeneurcamp.id 2008) http://entrepreneurcamp.id/usaha-menjanjikanuntuk-pemula/ Risa Amrikasari, ‘Haruskah Restoran Membayar Royalti Jika Memutar Lagu Orang Lain?’, (IPAS Institute 2015), https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5539b37fd20f8/haruska h-restoran-membayar-royalti-jika-memutar-lagu-orang-lain/ Agus Riyanto, Penentuan Dan Penetapan Besaran Royalti, (BINUS 2015) https://business-law.binus.ac.id/2015/04/21/penentuan-dan-penetapanbesaran-royalti/

Perundang Undangan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599)

206


PERLINDUNGAN HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERHADAP PENGGUNGAH KEMBALI VIDEO DI YOUTUBE A Muflih El Zuhdi Universitas Sriwijaya Abstrak Sebagai suatu karya kreativitas, kekayaan intelektual adalah ciptaan atas kekayaan intelektual yang perlu mendapatkan jaminan perlindungan sebagai suatu ciptaan yang memiliki nilai ekonomis dan perlindungan hukum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peraturan yang berlaku dalam memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual terhadap polemik penggungah kembali video di YouTube dan penerapan peraturan atas perlindungan hukum hak kekayaan intelektual. Hasil penelitian menyatakan bahwa perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual terhadap produsen penggungah kembali video di YouTube telah dilakukan oleh pemerintah melalui undangundang dan kebijakan terkait dengan perlindungan. Perlindungan dan pencegahan telah diberikan melalui undang-undang dalam bentuk manfaat ekonomi untuk pelaku mendaftarkan akan hak paten. Namun, tingkat kesadaran dan memahami pentingnya hak kekayaan intelektual oleh masyarakat akan penegakan hukum terhadap plagiarism video masih terbilang sangat rendah. Kesadaran dan pemahaman akan pentingnya hak kekayaan intelektual oleh masyarakat adalah kunci keberhasilan perlindungan hak kekayaan intelektual oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus berperan secara aktif untuk mensosialisasikan dan memberikan fasilitas hak atas kekayaan intelektual. Dukungan lembaga dan peraturan pada tingkat lokal termasuk penting dalam mengembangkan dan melindungi akan hak kekayaan intelektual. Kata kunci: hak kekayaan intelektual; perlindungan hukum; penggugah kembali; youtube

Abstract A creativity work needs an intellectual property rights. Intellectual property rights is a creation of intellectual privilege that needs a guaranteed protection as a creation that has a economical value and legal protection. The purpose of this study is to analyze the regulations which was set by the government in providing protection of intellectual property rights and its implementation. The result of the research stated that intellectual property rights protection policy toward plagiarism on YouTube videos product has been done by the government through intellectual property rights legislations and the regional policy related to intellectual property rights protection for plagiarism product referring to the national policy. Protection and prevention has been given through the law and regulations in the form of economical value for those who register their intellectual property rights. However, the level of public awareness and understanding the importance of intellectual property rights, is not really optimal. For the implementation, those two things are the key to the success of intelligence property rights protection by the government. Therefore, the government should actively socializing the intellectual property rights and facilitate intellectual property rights. Institutional supports and regional regulations is also important in order to develop and protect intellectual property rights. Key Words: intellectual property rights; legal protection; re-uploader; youtube

207


I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sinematografi pada era globalisasi tidak pernah terlepas dari regulasi dan ketentuan umum mengenai hak cipta. Perlu dipahami secara komprehensif mengenai ketentuan hak cipta pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah. Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, producer fonogram, atau lembaga Penyiaran.1 Hak kekayaan intelektual secara hakikatnya adalah suatu hak dengan karakterisitik khusus dan istimewa karena hak tersebut dilindungi oleh negara. Berdasarkan ketentuan pada Undang-Undang memberikan hak istimewa tersebut hanya kepada objek ciptaan yang telah mengikuti prosedur dan syarat yang harus dipenuhi. Secara umum, terdapat kelompok besar dalam pembagian hak kekayaan intelektual yang pertama yaitu industrial property rights yang meliputi desain, rahasia dagang, dan hak paten. Selanjutnya yang kedua adalah literary and artistic work yang meliputi karya tulis, sastra dan seni. 2 Hak kekayaan intelektual mempunyai tujuan untuk memajukan perkembangan peradaban yang mempunyai nilai guna bagi masyarakat luas. Pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual pada Indonesia mempunyai manfaat dalam pembangunan berkelanjutan melalui kreativitas, dimana pembangunan berkelanjutan tersebut dipertanggung jawabkan oleh negara melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. UU Hak Cipta pada satu sisi memberikan pemenuhan hak ekonomi bagi

1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599). 2 Denny Kusmawan, ‘Perlindungan Hak Cipta Atas Buku’ (2014) 19 Jurnal Perspektif 137, [137].

208


para pencipta dan pemilik hak terkait dan di lain pihak tetap memelihara dan membuka akses publik terhadap semua konten yang ada dalam multimedia teknologi informasi dan komunikasi. Undang-undang ini juga memberikan sanksi lebih berat bagi para pembajak, karena pembajakan tidak hanya merugikan kepentingan ekonomi para pencipta dan kreator, tetapi telah melemahkan dan bahkan menghilangkan motivasi dan kreativitas pencipta pada era globalisasi. Meskipun sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun regulasi tersebut menjadi tanpa makna jika produk-produk ekraf tidak didaftarkan hak kekayaan intelektualnya. Hal ini menunjukan bahwa pelindungan hak kekayaan intelektual oleh undang-undang berfokus pada pendaftaran. Pada kenyataannya, kesadaran akan hak kekayaan intelektual di Indonesia masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya hak kekayaan intelektual ekraf yang didaftarkan dan maraknya pembajakan dan plagiat karya kreatif di Indonesia yang sangat merugikan pelaku ekraf. Data statistik dan hasil survei ekraf hasil kerjasama Badan Ekraf dan Badan Pusat Statistik yang diluncurkan pada Maret 2017 menunjukan rendahnya pendaftaran hak kekayaan intelektual yaitu 11,05%. Dengan demikian 88,95% produk ekraf belum mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual. Data tersebut merupakan data indikator makro ekraf tahun 2010-2015 dan hasil survei khusus ekraf (SKEK) 2016. 3 1.2. Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana bentuk perlindungan hukum hak kekayaan intelektual terhadap penggugah kembali di YouTube? 1.3. Dasar Hukum 1.3.1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta 1.3.2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 1.3.3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

Sulasi Rongiyati, ‘Pelindungan Hukum Hak kekayaan intelektual pada Produk Ekonomi Kreatif’ (2018) Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI 3

209


1.3.4 Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Dan Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Penutupan Konten Dan/Atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta Dan/Atau Hak Terkait Dalam Sistem Elektronik

II. ANALISIS 2.1. Hak Ekonomi dan Hak Moral Karya sinematografi sebagai suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta, merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Dari sisi moral, hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; menggunakan nama aliasnya atau samarannya; mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Sedangkan dari sisi hak ekonomi, pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan penerbitan ciptaan penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya penerjemahan ciptaan pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan pendistribusian ciptaan atau salinannya pertunjukan ciptaan pengumuman ciptaan, komunikasi ciptaan dan penyewaan ciptaan.4 Perlu diketahui bahwa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Kemudian setiap orang dilarang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. BerdasarkanUndang-Undang Hak Cipta:

Abi Jam’an Kurnia, S.H. , ‘Jerat Pidana Re-Uploader Video di YouTube’ <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt597f0045bbbe1/jerat-pidana-ire-uploader-ivideo-di-iyoutube-i > accessed 21 Desember 2019 4

210


Pasal 1 angka 11: “Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.” Perbuatan menyiarkan ulangpun dalam sebuah film atau video melalui internet dapat dikategorikan sebagai penyiaran. Penyiaran adalah pentransmisian suatu ciptaan atau produk hak terkait tanpa kabel sehingga dapat diterima oleh semua orang di lokasi yang jauh dari tempat transmisi berasal. Jadi perbuatan menyiarkan ulang sebuah film atau video melalui internet dapat dikategorikan sebagai penyiaran (pengumuman ciptaan dalam rangka melaksanakan hak ekonomi) dan hal tersebut wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta. 2.2. Keselarasan

Perundang-Undangan

Perlindungan

Hak

kekayaan

intelektual Pemerintah Republik Indonesia telah memutuskan mengesahkan Agreement The World Trade Organization pada tanggal 02 Nopember 1994 melalui diundangkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establising The World Trade Organization. Kebijakan tersebut menuntut penyesuaian atau harmonisasi peraturan perundang-undangan dibidang HaKi yang selama ini berlaku (misalnya Undang-Undang Hak Cipta tahun 1982 dan tahun 1987, Undang – Undang Paten 1989, dan Undang – Undang Merek tahun 1992) harus disesuaikan dengan peraturan Hak Kekayaan Intelektual yang disepakati dalam rangkaian World Trade Organization (WTO) maupun The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Kontruksi hukum hak kekayaan intelektual yang diharmonisasi dengan ketentuan WTO maupun TRIPs bermakna peraturan hak kekayaan intelektual merupakan bagian dari perdagangan internasional undang-undang Republik Indonesia dibidang Hak kekayaan intelektual adalah sebagai berikut: a. Rahasia Dagang, UU No. 30 Tahun 2000. b. Desain Industri, UU No. 31 Tahun 2000.

211


c. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU No. 32 Tahun 2000. d. Paten, UU No. 14 Tahun 2001. e. Merek, UU No. 15 Tahun 2001. f. Cipta, UU No. 19 Tahun 2002. g. Varitas Tanaman, UU No. 29 Tahun 2000 Pengaturan dibidang Hak kekayaan intelektual dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat dinyatakan bahwa suatu peraturan dibidang hak kekayaan intelektual telah distandarisasi dan berfungsi sebagai pranata yang mengatur dan mengarahkan perilaku masyarakat dalam melindungi dan mempertahankan karya intelektualnya. Dengan rumusan lain peraturan perundangundangan berfungsi sebagai a tool of social engineering. Di sisi lain, terdapat sanksi pidana yang dapat dilakukan untuk mendisiplinkan pelaku penggungah ulang video di YouTube. Pada dasarnya, setiap orang dilarang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan. Yang dimaksud dengan "penggunaan secara komersial" dalam media teknologi informasi dan komunikasi mencakup penggunaan komersial secara langsung (berbayar) maupun penyediaan layanan konten gratis yang memperoleh keuntungan ekonomi dari pihak lain yang mengambil manfaat dari penggunaan hak cipta dan/atau hak terkait dimaksud. Atas perbuatan menyiarkan ulang sebuah film atau video melalui internet tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta, seseorang dapat dikenakan Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).�

212


2.3. Penyelesaian Sengketa Hak Kekayaan Intelektual melalui Pengadilan Niaga Pengadilan Niaga adalah suatu Pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum, yang dibentuk dan bertugas menerima, memeriksa dan memutus serta menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain dibidang perniagaan. Pertama kalinya Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999 dibentuk 4 (empat) Pengadilan Niaga, yaitu Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Ujung Pandang (Makasar), Pengadilan Niaga Semarang, dan Pengadilan Niaga Surabaya. Khusus wilayah hukum Pengadilan Niaga Medan meliputi wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Propinsi Nangro Aceh Darusalam. Pembentukan Pengadilan Niaga awalnya hanya memeriksa dan mengadili perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sedangkan kewenangan terhadap perkara perniagaan akan lainnya akan ditentukan dengan peraturan perundang-undangan. Perkara tersebut antara lain adalah perkara di bidang Hak kekayaan intelektual. Pengadilan Niaga dalam berbagai UndangUndang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Niaga, diharapkan ketentuan yang abstrak didalam peraturan perundang-undangan akan menjadi solutif. Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan Khusus yang berada di dalam lingkungan peradilan umum. Sebagai peradilan khusus dilengkapi dengan organ berupa Hakim yang bersertifikasi dan di didik secara khusus, ia berasal dari Hakim Pengadilan Negeri yang berpengalaman, dan Hakim ad hoc yang berasal dari para pakar dan profesional dibidang perkara perniagaan. Hakim sebagai pejabat yang bertugas dan berwenang menerapkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang5.

5 Catur Iriantoro, ‘Penyelesaian Sengketa Hak kekayaan intelektual Melalui Pengadilan Niaga, <http://www.pnmedankota.go.id/v3/index.php?option=com_content&view=article&id=161:penyel esaian-haki&catid=101:kumpulan-artikel&Itemid=101> accessed 20 Desember 2019

213


Seperti halnya badan peradilan lainnya, Pengadilan Niaga juga diberi mandat menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, suatu kekuasaan yang mandiri yang mempunyai kewenangan menyelenggarakan peradilan secara jujur dan adil. Tugasnya adalah menerima, memeriksa, mengadili setiap perkara yang diajukan kepada Pengadilan Niaga Sebagai Hakim Niaga yang memeriksa sengketa hak kekayaan intelektual harus memahami kasus dan kriteria perlindungannya, yakni: a. Apakah termasuk objek yang dilindungi b. Apakah termasuk kriteria yang dikecualikan dari perlindungan c. Apakah memenuhi persyaratan yang dilindungi d. Apakah terdaftar di negara tujuan dimana perlindungan diharapkan Sedangkan penyebab perselisihan dalam sengketa hak kekayaan intelektual lazimnya adalah: a. Ketidakjelasan status kepemilikan b. Penggunaan hak kekayaan intelektual tanpa seizin pemilik c. Tidak dipenuhinya perjanjian lisensi hak kekayaan intelektual Dengan sarana Pengadilan Niaga yang dipandang memahami kriteria sengketa hak kekayaan intelektual diharapkan keadilan akan tercapai dan memuaskan tiga unsur penegakan hukum.

III. KESIMPULAN Kebijakan pelindungan hak kekayaan intelektual terhadap pengunggah kembali telah dilakukan oleh pemerintah dengan membentuk berbagai peraturan perundang-undangan pada peraturan pelaksanaannya. Pelindungan yang bersifat preventif diberikan melalui undang- undang khususnya berupa manfaat ekonomi bagi pemilik hak cipta. Perlindungan hukum terhadap merek pada dasarnya

214


ditujukan untuk mencegah atau melarang orang lain atau pihak lain untuk melakukan pelanggarang merek berupa pemanfaatan atau pemboncengan merek milik orang lain. Namun, mengingat belum semua pelaku ekraf yang memiliki kesadaran dan pemahaman terhadap pentingnya hak kekayaan intelektual untuk melindungi kekayaan intelektualnya, sifat komunal yang mendasari sebagian besar pelaku ekraf di Indonesia, dan sifat hak kekayaan intelektual yang didaftarkan

terlebih

dahulu untuk

harus

mendapat pelindungan atas kekayaan

intelektualnya, maka pelindungan hak kekayaan intelektual untuk pelaku ekraf belum optimal. Setiap hak kekayaan intelektual harus didaftarkan, karenanya pendaftaran yang memenuhi persyaratan perundang-undangan merupakan pengakuan dan pembenaran atas hak kekayaan intelektual seseorang yang diwujudkan dengan sertifikat pendaftaran, sehingga pemilik kekayaan intelektual yang terdaftar memperoleh perlindungan hukum. Hal ini mengandung makna video milik pencipta yang tidak didaftarkan tidak diakui dan dilindungi oleh negara melalui Undang-Undang, sehingga kemungkinan untuk ditiru atau dijiplak oleh pihak lain sangat besar. Dampak lebih lanjut, hak cipta yang tidak mendaftarkan mereknya tidak memperoleh keuntungan ekonomis dari merek produknya secara maksimal. Oleh Karena itu, setiap pelaku hak kekayaan intelektual telah disediakan jalur yang sah untuk mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual yang dapat ditempuh melalui jalur upaya peradilan niaga atas hak kekayaan intelektual.

215


DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Denny Kusmawan, ‘Perlindungan Hak Cipta Atas Buku’ (2014) 19 Jurnal Perspektif 137, 137. Sulasi Rongiyati, ‘Pelindungan Hukum Hak kekayaan intelektual pada Produk Ekonomi Kreatif’ (2018) Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Laman Abi Jam’an Kurnia, S.H., ‘Jerat Pidana Re-Uploader Video di YouTube’ <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt597f0045bbbe1/jer at-pidana-ire-uploader-i-video-di-iyoutube-i > accessed 21 Desember 2019 Catur Iriantoro, SH.M.Hum. , ‘Penyelesaian Sengketa Hak Kekayaan Intelektual Melalui Pengadilan Niaga’ <http://www.pnmedankota.go.id/v3/index.php?option=com_content&vie w=article&id=161:penyelesaian-haki&catid=101:kumpulanartikel&Itemid=101> accessed 20 Desember 2019 Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599).

216


About ALSA Indonesia ALSA Indonesia is a full and founding member of ALSA, tracing its roots from the 1989 formation of the ASEAN Law Students’ Association along with students from Singapore, Malaysia, Thailand and the Philippines. Ever since, ALSA Indonesia has been on every journey and has been growing rapidly.

Since 2002 when we progressed from only making great things happen in the ASEAN region, to building unlimited networks with our friends on the other parts of the Asia. Making us the organization we are today, The Asian Law Students’ Association.

Law students from the Faculty of Law, in 14 member universities, are eligible to become ALSA Indonesia members. As a National Chapter, ALSA Indonesia is well-respected for its contributions to developing ALSA internationally, and maintains a reputation for organizing so many diverse and beneficial programs each year.

ALSA Indonesia has also been credited for fostering closer cooperation between students from all members in the law faculties, by increasing the opportunities for its members to collaborate, befriend, and share networks.

With more than 3000 active members and even more alumnus, ALSA Indonesia has been setting examples on how students are and should be prepared to fit in the global era. Its diverse traditions and various characteristics among each Local Chapter never prevent all the elements of the organization to gather in one harmoniously united entity, ALSA Indonesia.

217


Board of 2019-2020

218


BIODATA PENULIS

1. Nina Amelia Novita Sari Tempat & Tanggal Lahir Pekerjaan Keanggotaan Pengalaman

: : : :o o

Pencapaian

:o o

2. Nikolaus Baptista Ruma Tempat & Tanggal Lahir Pekerjaan

: :

Keanggotaan

:

Pengalaman

:o o

Pencapaian

:o o o

Surabaya, 7 Agustus 1997 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga Anggota ALSA LC Universitas Airlangga Director, Generasi Baru Indonesia Komisariat Universitas Airlangga (20192020) Ketua Divisi Riset, Airlangga Criminal Law Research and Justice Monitoring (2018-2019 Juara 2, National Law Debate Competition 2018 di Universitas Pelita Harapan Tangerang Semifinalis, National Law Debate Competition 2018 di Universitas Atmajaya Yogyakarta

Tangeran Selatan, 6 Desember 1998 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Anggota ALSA LC Universitas Gadjah Mada Staff, Law Development Division ALSA LC UGM Content Editor, Editorial Board ALSA LC UGM Top 8, International Negotiation Competition, Sophia University Law School, Tokyo, Japan (2019) Mahasiswa Teladan, Penghargaan Dekan Fakultas Hukum UNiversitas Gadjah Mada (2017) Juara dan Peraih Karya Ilmiah Terbaik, Student Scientific Research Competition, Pekan Hukum Nasional 2017, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

219


3. Tri Prasetyo Dharma Yoga Pekerjaan Keanggotaan Pengalaman

Pencapaian

:

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Anggota ALSA LC Universitas Gadjah Mada : o Content Writer, ALSA Know Your Rights Volume 7 o : o Juara 1, National Moot Court Competition ALSA Piala Mahkamah Agung XXII (2019) o Juara 2, Moot Court Competition, Piala Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

4. Muhammad Rezka Eki Tempat & Tanggal Lahir Pekerjaan Keanggotaan Pengalaman

: :

Bekasi, 10 September 1997 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember : Anggota ALSA LC Universitas Jember : o Secretary I, ALSA Local Chapter Jember Periode 2019 o Delegasi, ALSA Karya Tulis Ilmiah CLFEST Universitas Brawijaya (2018) o Magang, Kejaksaan Negeri Jember (2018)

5. Nuzulia Kumala Sari, S.H., M.H. Tempat & Tanggal Lahir Pekerjaan Pengalaman

Tulisan Artikel

: Pasuruan, 17 Juni 1984 : Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember : o Ketua, Pusat Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Universitas Jember o Pengurus, Asosiasi Sentra Kekayaan Intelektual Indonesia (ASKII) : o “Perlindungan Hukum Produk Makanan dan Minuman Hasil Usaha Mikro Kecil Menengah di Desa Patemon Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo Dengan Pendaftaran”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 11. No. 2, November 2018. o “Pengaturan Perlindungan Hukum terhadap Penemu (Inventor) Produk Bioteknologi

220


Bidang Pertanian dan Kesehatan (Perspektif Hak Atas Kekayaan Intelektual�, Jurnal Arena Hukum Universitas Brawijaya (2018)

6. Dini Wininta Sari Tempat & Tanggal Lahir Pekerjaan Pencapaian

: Mojokerto, 1 April 2000 : Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember : o 10 Finalis Terbaik, National Essay Competition 2019 Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

7. Aranty Fahira Ardiva Pekerjaan Keanggotaan Pengalaman

:

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman : Anggota ALSA LC Universitas Jenderal Soedirman : o Staff, Law Development Division ALSA LC UNSOED (2019-2020) o Ofisial, National Moot Court Competition Prof. Soedarto VII (2019)

8. Fadhilah Nuraini Rustam Tempat & Tanggal Lahir Pekerjaan Keanggotaan Pengalaman

: :

Bekasi, 15 Juni 1999 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman : Anggota ALSA LC Universitas Jenderal Soedirman : o Manager, Law Development Divisioin ALSA LC UNSOED (2019-2020) o Delegasi, National Moot Court Competition Prof. Soedarto VII (2019)

9. Anissah Maharani Tempat & Tanggal Lahir Pekerjaan Keanggotaan Pengalaman

: :

Palembang, 15 Mei 2000 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya : Anggota ALSA LC Universitas Sriwijaya : o Peserta, The 23rd ALSA English Competition Universitas Indonesia

221


10. Islamia Tanjung Tempat & Tanggal Lahir Pekerjaan Keanggotaan Pengalaman

: :

Palembang, 29 Juni 2000 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya : Anggota ALSA LC Universitas Sriwijaya : o Content Writer, ALSA Courses Summary Book (2019) o Coordinator Content Writer, Journey Magazine Volume VII ALSA Local Chapter Universitas Sriwijaya (2019)

11. Rahmi Wulandari Pekerjaan Keanggotaan Pencapaian

:

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya : Anggota ALSA LC Universitas Sriwijaya : o Juara 1, Lomba Cerdas Cermat Biologi, SMAN 18 Palembang

12. Sari Rahmatullah Tempat & Tanggal Lahir Pekerjaan

: :

Keanggotaan

:

Baturaja, 20 Januari 2001 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Anggota ALSA LC Universitas Sriwijaya

13. Balqis Namira Tempat & Tanggal Lahir Pekerjaan

: :

Keanggotaan

:

_________, 1 Mei 2001 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Anggota ALSA LC Universitas Sriwijaya

14. Melani Tania Wijaya Tempat & Tanggal Lahir Pekerjaan Keanggotaan Pengalaman

Pencapaian

: :

Jakarta, 3 Mei 2000 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya : Anggota ALSA LC Universitas Sriwijaya : o PIC Debate, Olympiad Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya 2019 o Project Officer, ALSA Olympic Day 2019 : o Juara 3, Lomba Karya Tulis Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (2019)

222


15. A Muflih El Zuhdi Tempat & Tanggal Lahir Pekerjaan Keanggotaan Pengalaman

:

Palembang, 27 Agustus 2001

:

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya : Anggota ALSA LC Universitas Sriwijaya : o Delegasi, National Moot Court Competition ALSA Piala Mahkamah Agung XXIII (2020) o Delegasi, Olimpiade Nasional Bahasa Inggris Sains Indonesia (2018)

223


224


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.