EKSEKUSI PUTUSAN MK DALAM MEWUJUDKAN NEGARA HUKUM KONSTITUSIONAL Oleh : Dr. Lita Tyesta ALW, S.H., M.Hum. Email : litatyestalita@yahoo.com Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang Jl. Prof. H. Soedarto, S.H. Tembalang, Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah 50275 ABSTRACT One of the authorities granted by the 1945 Constitution of The Republic of Indonesia to the Constitution Court is a judicial review of the 1945 Constitution of The Republic of Indonesia, which means there is progress in the provisions of Republic of Indonesia dan Constitutional Law has had the Constitutional Procedural Code. In the period of 2004 to 2015 in the testing of the Act (Judicial Review) there is quite a lot of decisions produced by the Constitutional Court. From verdicts granted by the Constitutional Court which som of them has been implemented, not yet implemented, and some are not implemented at all. Not executing The Constitutional Court's verdict will certainly have an impact for the nation and state, whereas based on the provisions of Article 24 C paragraph (1): “The decision of the Constitutional Court is final and binding.� This means that the decision of the Constitutional Court had a legal Force, remains since being read out in the Constitutional Court hearing. It also has a binding legal force. The un-implementation of the Constitutional Court ruling need a concrete actions from the legislators to be immediately implemented, though they does not have an instrument or an executorial institution. The Formulators of The Law must be aware that by not compliancing the Constitutional Court's verdict means an offense to the constitutional. In the future there must be a firm action those who disobey and not immediately implement Constitutional Court's verdict. Keywords: Constitutional Court, Decision Execution, Tests of Act
I.
Pendahuluan Lahirnya lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi adalah akibat adanya perubahan UUD1945. Dalam Pasal 24 ayat (2) pasca perubahan UUD 1945 berbunyi: ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi“. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara.1 Mahkamah Konstitusi memberikan jaminan perlindungan hak konstitusional warga negara melalui kewenangannya.2 Khusus mengenai kewenangan MK diatur dalam Pasal 24 C yang menegaskan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum“. Di samping itu Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban, yaitu memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pelanggaran hukum yang dimaksud berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, 1 Janedjri M. Gaffar, “Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, (Makalah Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2009, hlm. 7. 2
Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat 1
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3 Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan MPR, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden ( Pasal 7 A UUD NRI 1945 )4 Dalam Judical review yang merupakan pengujian oleh lembaga yudikatif tentang konsistensi Undang Undang Dasar atau peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam konteks kewenangan Mahkamah Konstitusi, judical review adalah menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, sedangkan kewenangan untuk menguji peraturan di bawah undang undang yang bertentangan dengan undang undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung.5 Selama kurun waktu awal berdirinya Mahkamah Konstitusi, Tahun 2003 sampai dengan tahun 2015 mahkamah Konstitusi telah banyak melakukan pengujian Undang Undang, sebagaimana data yang ada di bawah ini
3 Ibid, Pasal 10 ayat 2 4 5
Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, hlm. 135.
Ja’far Baehaqi, Perspektif Penegakan Hukum Progesif dalam Judical Review di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi vol. 10, nomor 3 (Jakarta: 2013), hlm. 421
Gambar-1 : Pengajuan Judicial Review Peraturan Perundangan6
Sumber : Modifikasi data MK 2003 - 2014 (Sumber : Mahkamah Konstitusi, Rekap PUU) 7 Data tersebut menggambarkan betapa pengajuan judicial review Undang Undang terhadap UUD 1945 makin bertambah dari tahun ke tahun. Dari jumlah tersebut ternyata tidak semua diterima dan dikabulkan. Data pada Tabel 1 di bawah ini menunjukan bahwa dari perkara yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi terkait pengajuan undang undang ternyata setiap tahunnya tidak ada yang dikabulkan secara keseluruhan. Ini mengindikasikan bahwa pengajuan Judicial review yang dilakukan selama ini tidak secara keseluhan dapat dibuktikan melanggar UUD 1945. Sementara putusan yang dikabulkanpun menunjukan jumlah yang tidak sediki, hampir kurang lebih 30 % dari keseluruhan pengajuan Judicial review dikabulkan. Hal ini juga dapat menjadi indikasi bahwa sesungguhnya tidak semua produk berupa undang undang itu taat pada UUD 1945 sebagai hukum dasarnya. Dapat dikatakan pula cukup banyak selama ini undang undang yang telah melanggar hak konstitusional warga Negara, baik yang hanya diatur dalam ayat, pasal ataubahkan substansi undang undang secara keseluruhan. 6 Lita Tyesta ALW, Aspek Penting Reformasi Regulasi (Perprektif Pembentukan UndangUndang ), Orasi Ilmiah Disampaikan Pada Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 9 januari 2018. 7
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php/page.web.Rekap PUU.
Tabel 1 : JUMLAH PUTUSAN DENGAN AMAR DIKABULKAN DARI TAHUN 2004 SAMPAI DENGAN 2015 (PER 31 DESEMBER 2015) NO.
TAHUN
JUMLAH PUTUSAN DIKABULKAN
1
2004
11
2
2005
10
3
2006
8
4
2007
4
5
2008
10
6
2009
15
7
2010
18
8
2011
21
9
2012
30
10
2013
22
11
2014
29
12
2015
25
Jumlah
203
Sumber : modifikasi data MK, 2016 Jumlah putusan yang dikabulkan sampai tahun 2015 akhir, ternyata berjumlah 203 perkara. Dari jumlah tersebut ternyata tidak semua putusan dilaksanakan dengan baik. Ada yang dilaksanakan, ada yang belum dilaksanakan dan bahkan ada yang tidak dilaksanakan. Persoalan muncul mengapa ada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan binding belum dan bahkan tidak dilakasanakan. Inilah yang menarik untuk dikaji secara mendalam dan langkahlangkah apa yang nantinya ada daya dorong dari para pihak untuk mentaati hasil putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ?
II. Pembahasan A. Mahkamah Konstitusi Sebagai The Guardian of the Constitution Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia antara lain turut menata sistem peri kehidupan masyarakat dalam berkonstitusi. Melalui kewenangan konstutisional yang diamanatkan langsung oleh UUD 1945, pada dasarnya Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution).8 Sebagai pengawal konstitusi terdapat didalam penjelasan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang biasa disebut dengan “the guardian of constitution� atau pengawal konstitusi. Sebagai pengawal konstitusi dimaksudkan untuk menjaga konstitusi melalui putusan-putusan Hakim Konstitusi khususnya dalam pengujian undang undang yang tidak sesui dengan substansi konstitusi dan terbukti adanya pelanggaran hak konstutisional warganegara. Konstitusi hadir sebagai perwujudan demokrasi, yakni sebagai perjanjian sosial tertinggi, dan oleh karenanya, nilai-nilai demokrasi bersemayan di dalamnya sekaligus sebagai fondasi dari demokrasi. Bahkan merupakan prasyarat bagi demokrasi yang sehat dan berjalan baik. Artinya Demokrasi yang benar dan baik didasarkan pada konstitusi (hukum), sehingga hubungan demokrasi dan konstitusi , diyakini
dapat
menghantarkan
suatu
negara
menjadi
Negara
demokrasi
konstutisional. Dalm kontek inilah, Mahkamah Konstitusi dihadirkan, untuk menjaga dan mengawal Negara demokrasi konstitusional.9 Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pada pengujian undang undang yang merupakan salah satu
dari keempat kewenangan yang dimiliki Mahkamah
8 Arief Hidayat, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Kuliah Umum Ketua MK RI Pada Acara FGD “Penguatan Kelembagaan dan Hukum Acara MK RI�, Semarang, 16 September 2016. 9
Arief Hidayat, Ibid
Konstitusi, praktis sampai akhir tahun 2015, kewenangan menguji undang-undang (judicial review )terhadap UUD 1945 sangat dominan dalam pelaksanaan kewenangan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukan salah satunya adanya kesadaran yang tinggi dari masyarakat akan hak konstitusionalnya. Pada dasarnya pengujian konstitusional bertujuan untuk mereduksi adanya kerugian hak konstitusional yang akan terjadi di kemudian hari pasca terjadinya kerugian hak konstitusional terhadap pemohon dan/atau mencegah terjadinya kerugian hak konstitusional di kemudian hari tanpa ada kerugian konstitusional yang menyeluruh yang dilekatkan kepada pemohon.10 Pelaksanaan judical review oleh Mahkamah Konstitusi saat ini menjadi gambaran bahwa seolah-olah pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara hanya terjadi jika pembetukan undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden) membuat undang-undang yang ternyata melanggar hak konstitusional warga negara. Padahal, pelaggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara tersebut tidak hanya terjadi karena kesalahan undang-undang, tetapi juga karena perbuatan atau kelalaian pejabat publik.11 Kewenangan menguji undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi (judicial review) mengikuti tradisi yang dibangun oleh Hans Kelsen di Austria. Pada bulan Oktober 1920, di Austria dibentuk Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh Hans
10 Ibnu Sina Chandranegara, Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang dan Jalan Mencapai Keadilan Konstitusional, Jurnal Konstitusi Vol. 9 Nomor 1, (Jakarta:2012), hlm. 44 11
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Kosntitusional Warganegara, (Jakarta: Sinara Grafika, 2013 ), hlm. 6
Kelsen.12 Indonesia sendiri merupakan negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi.13 Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi diharapkan berperan sebagai negative legislator yang diberi kewenangan mengesampingkan bahkan membatalkan undang-undang yang nyatanyata bertentangan dengan konstitusi. Namun, dalam perkembangan hukum ketatanegaraan di berbagai negara, karena banyaknya undang-undang yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi maka muncul pendapat bahwa peran Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator bergeser menjadi positive legislator.14 Dilihat dari sudut pandang perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, pelembagaan pengujian konstitusionalitas undang-undang atau judicial review merupakan penegasan sekaligus jaminan bahwa hak konstitusional adalah hak fundamental, sehingga pelanggaran terhadapnya merupakan terhadap konstitusi.15 Tidak hanya pengujian konstitusionalitas undang-undang saja yang menegaskan jaminan hak konstitusionalitas, pengujian konstitusionalitas perbuatan (perbuatan atau kelalaian) pejabat publik yang menyebabkan terlanggarnya hak konstitusional seseorang juga merupakan penegas sekaligus menjadi jaminan hak konstitusional, sehingga pelanggaran terhadapnya juga merupakan pelanggaran konstitusi.16
12 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta : Konstitusional Press, 2006 ), hlm. 187 13
Lihat http://www.mahkamahkonstitusi.go.id diakses pada 12/1/2018 Pukul 21.50 wib
14
Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 95-96 15
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan..., op.cit, hlm. 264
16
Ibid, hlm. 265
Selain itu, dengan adanya kewenangan pengujian undang undang terhadap UUD 1945 ini telah menggeser paradigma supremasi parlemen dengan prinsip undang undang tidak dapat diganggu gugat keparadigma supremasi konstitusi dengan prinsip-prinsip turunannya dalam hierarki hukum. Dengan demikian tidak ada lagi lembaga Negara yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Semua lembaga Negara memiliki kedudukan yang sama sejajar, yang membedakan hanya pada fungsi masing-masing. Dengan demikian masing-masing lembaga Negara utama memiliki hubungan satu sama lain yang bersifat check and balances.17 B.
Jenis Putusan Hasil Pengujian Undang Undang Pasal 56 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur 3 jenis amar putusan, yaitu permohonan tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak. Sementara Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ( UU MK ) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU MK, menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan,
Mahkamah Konstitusi
sekaligus menyatakan suatu undang undang yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 baik seluruhnya maupun sebagian dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum ( legally null anvoid ) . Data yang diperoleh dari Disertasi Fajar laksono18, menunjukan bahwa dari jumlah pengajuan pengujian undang undang dari tahun 2003 sampai dengan 2015 sejumlah 853 perkara. Dari sejumlah itu, yang ditarik kembali berjumlah 89 17 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006 18
Fajar Laksono, Relasi MK Dengan DPR Dengan Presiden SElaku Pembentuk UU (Studi Terhadap Dinamika Pelaksanaan Putusan MK Melalui Legislasi Tahun 2004-2005, Disertasi Pada PDIH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2017. Bandingkan dengan Hasil Peneltian dari Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty, Hilipito, Mohammmad Mahrus Ali, yang telah dimuat di Jurnal Konstitusi Volume 10. Nomer 4, Desember 2013.
perkara; 13 dinyatakan gugur; 203 dikabulkan; sejumlah 297 ditolak dan 251 tidak dapat diterima. Data di atas menunjukan betapa secara kuantitatif telah cukup banyak pengajuan pengujian undang undang dan ternyata hampir 30 % dari jumlah pengajuan dinyatakan dikabulkan. Hal ini mengindikasikan bahwa ternyata produk hukum legislasi berupa undang undang terbukti tidak sesuai secara substasi dengan UUD 1945.
Pada dasarnya pengujian konstitusional undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi adalah menilai kesesuaian antara produk hukum yakni undang-undang dengan UUD 1945 yang didasarkan pada norma-norma yang tertulis di dalamnya.19 Dengan demikian pengujian ini menjadi sangat penting terkait bagaimana relasi hubungan antara Demokrasi dan Konstitusi sekaligus mengandung arti penting fungsi Mahkamah Konsttusi dalam menjaga marwah UUD 1945. Dalam perkembangannya, putusan yang ada selama ini, hasil penelitian yang dilakukan oleh para
peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara,
Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia20
menunjukan bahwa selama kurun waktu tahun 2003-2012 tersbut
ternyata menghasikan putusan yang beragam. Ada 4 karakteristik bentuk putusan , yaitu : (1) model putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan (2) model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) . Kedua model ini pada dasarnya merupakan model putusan yang secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan tetapi kedua model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya penafsiran (interpretative decision) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang undang ataupun undang undang secara keseluruhan yang pada dasarnya dinyatakan 19 Mohammad Mahrus Ali, Kostitusionalitas dan Legalitas Norma Dalam Pengujian Undang Undang Dasar 1945, Jurnal Konstitusi Vol. 12 Nomor 1 ( Jakarta : 2015 ).. 20
Sukry Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty, Hilipito, Mohammmad Mahrus Ali, yang telah dimuat di Jurnal Konstitusi Volume 10. Nomer 4, Desember 2013.
bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (3) Model putusan yang menunda pemberlakuan putusan (limited constitutional) pada dasarnya bertujuan untuk memberi ruang transisi aturan yang bertentangan dengan konstitusi untuk tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai waktu tertentu. (4) Model putusan yang lain, yaitu yang merumuskan norma baru dalam rangka mengatasi inskonstitusionalitas penerapan norma baru. Putusan yang sudah mengalami perkembangan di dalam proses mengawal konstitusi ternyata dalam praktek terkait pelaksanaan putusan (Eksekusi) tidak serta merta dilaksanakan oleh para pihak. Dalam prakteknya pelaksanaan hasil putusan Mahkamah Konstitusi ada yang sudah dilaksanakan, belum dilaksanakan dan tidak dilaksanakan. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan binding yang berarti terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun. Konsekuensi harus menerima dan melaksanakan tanpa kecuali, karena UUD 1945 telah mendesain seperti ini. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang undang yang menyatakan bahwa undang undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sudah barang tentu mengandung kebijakan hukum baru yang harus ditempuh di masa depan. Meskpun bersifat declaratoir, akan tetapi keputusan Mahkamah Konstitusi secara konstitutif mengubah hukum yang berlaku. Artnya, putusan Mahkamah Konstitusi memuat legal policy baru.21 Terhadap utusan yang demikian jelas harus bisa diterima oleh pembentuk undang –undang, karena hasil pembentukan undang undang yang terdahulu sudah terbukti tidak sesuai dan bahkan bertentangan secara substasi dengan materi muatan UUD 1945. Maka menjadi kewajiban bagi pembentuk undang undang dilakukan perubahan supaya materi muatan undang undang yang baru sesuai dengan UUD 21 Arief Hidayat, Op Cit
1945, karena salah satu materi muatan Undang undang adalah melaksanakan UUD 1945 baik langsng maupun tidak langsung, di samping itu UUD 1945 merupakan hukum dasar Negara yang menjadi sumber hukum bagi peraturan di bawahnya utamanya adalah undang undang.. Kenyataan yang sekarang terjadi ternyata masih ada putusan Mahkamah Konstitusi yang belum dilaksanakan bahkan ada juga yang tidak dilaksanakan oleh pembentuk undang undang. Putusan No. 82/PUU-XII/2014 perihal Keterwakilan Perempuan Dalam Pengisian Pimpinan DPR, ternyata dalam revisi UU tentang MD 3, yaitu UU No. 42 Tahun 2014 tidak diakomodir sesuai dengan hasil putusan Mahkamah konstitusi, ini salah satu contoh yang membuktikan bahwa ada putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dilaksanakan. Sementara terdapat pula contoh putusan Mahkamah Konstitusi yang belum dilaksakan, antara lain Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011 perihal pengujian UU Mahkamah Konstitusi. Diharapkan hasil putusan ini akan diakomodir saat revisi UU tentang Mahkamah Konstitusi yang akan datang, karena draft rancangan sudah mulai disusun dan ada penyesuaian dengan hasil putusan dari Mahkamah Konstitusi. Adapun salah satu contoh putusan yang dengan seta merta dilakukan penyesuaian dengan hasil putusan Mahakamh Konstitusi, atara lain adalah Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 perihal inkonstitusionalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili perselisihan hasil pilkada. Hasil putusan ini kemudian diakomodir dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dengan adanya putusan ini memang Mahkamah Konstitusi tidak lagi memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilhan kepala daerah, dan memang dalam UU Pemilihan kepala daerah ini sudah secara eksplisit tertuang dalamnya, namun mengingat peradilah khusus yang seharusnya menyelesaikan hasil perselisihan pemilihan kepala daerah belum terbentuk, maka Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 masih memberikan kewenangan sementara kepada Mahkamah Konstitusi sampai
terbentuknya peradilan khusus yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2015. C. Upaya Eksekusi Putusan Mahkamah Konstitusi Ditetapkannya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan Hukum Tata Negara, ternyata mulai dari awal berdiri tahun 2003 sampai saat ini, masih terdapat putusan Mahkamah Konstitusi yang belum bahkan tidak dilaksanakan oleh para pembentuk undang undang, padahal sudah jelas diatur bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and binding (final dan mengikat). Salah satu alasannya karena selama ini memang tidak ada instrumen hukum maupun lembaga yang melaksanakan eksekusi tersebut. Tetapi apakah ini menjadi satu alasan? Kalau para pembentuk undang undang menyadari bahwa model peradilan Mahkamah Konstitusi memang di disain oleh UUD 1945 seperti itu, artinya pembentuk undang undang dengan sadar dan demi tegaknya demokrasi dalam Negara hukum mentaati hasil putusan dari Mahkamah Konstitusi utamanya yang terkait dengan pengujian suatu undang undang. Suatu undang undang yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi terbukti bertentangan dengan materi muatan UUD 1945 berarti bahwa undang undang tersebut bertentangan dengan hukum dasarnya dan terbuki pula melanggar hak konstitusional warga Negara yang jelas-jelas diatur dalam UUD 1945. Apakah dengan bukti ini belum cukup bagi pembentuk undang undang untuk tata hukum dan taat konstitusi? Sehingga sebetulnya tidak diperlukan adanya instrument khusus maupun lembaga eksekutorial khusus untuk itu. Langkah yang perlu diambil untuk taatnya para pembentuk undang undang adalah menyadarkan secara penuh bahwa dengan melaksanakan putusan Mahkamah Konstutusi memiliki nilai strategis bagi tegaknya Negara hukum dan demokrasi serta dijunjungnya konsep check and balances diantara lembaga Negara yang memiliki kedudukan yang sejajar ( antara Mahkamah Konstitsi, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat ). Karena dalam negara hukum yang demokratis, maka
prinsip prinsip dan norma norma dasar, yang menjadi penopang tegaknya hukum harus menjadi kekuatan dalam upaya menegakan hukum secara adil. Jika tidak maka sulit untuk mengatakan bahwa negara kita adalah negara hukum, karena asas legalitas tidak dipraktekan secara baik dan benar. 22 Secara moral kalau sampai lembaga pembentuk undang undang tidak melakukan putusan Mahkamah Konstitusi, sebenarnya sudah melanggar norma dasar Negara sehingga akan mendapat penilaian buruk dari masyarakat, oleh karena itu langkah massif yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah sosialisasi ke berbagai lapisan masyarakat tentang keberadaan Mahkamah Konstitusi maupun hasil putusannya. Sehingga masyarakat paham betul makna putusan karena sering kali terjadi penafsiran yang simpang siur oleh banyak pihak, sehingga justru membuat masyarakat makin tidak paham inti dari putusan tersebut. Andai Mahkamah Konstitusi dapat lebih cepat memberi penjelasan yang mudah dipahami masyarakat tentang hasil putusannya, akan berdampak positif bagi masyarakat. Sehingga ada daya paksa dari masyarakat untuk lembaga pembentuk undang undang segera melaksanakan putusan tersebut, bukankah Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan salah satu lembaga pembentuk undang undang adalah cerminan dari wakil rakyat.23 Secara hukum, memang tidak harus menuangkan dalam instrument tersendiri tetapi bisa dilakukan dengan memasukan ketentuan hukum bagi lembaga pembentuk undang undang untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstutusi dalam rencana revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tidak cukup hanya memasukan bahwa putusan Mahkamah 22 . M. J. Saptenno, Langkah Strategis Dalam Rangka Eksekusi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-XII/2014. 23
Lihat dan ingat Kasus putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 tentang LGBT, yang hingga saat ini masih cukup menuai kontraversial dan masyarakat, karena memang masyarakat merasa belum paham betul apa sesungguhnya isi putusan tersebut. Olh karena itu aka kewajiban bagi Mahkamah Konstutisi memberi penjelesan yang dapat dipahami masyarakat khususnya yang terkait dengan putsan yang cukup kontraversial di masyarakat.
Konstitusi sebagai salah satu materi muatan pembentukan undang undang.24 Memasukan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi dilakukan dari tahap perencanaan dengan memasukan dalam daftar Program Legislasi Nasional tentu waktunya disesuaikan dengan hasil putusan Mahkamah Konstitusi ( jarak waktu yang terdekat dengan penyusunan Prolegnas ), ini salah satu wujud komitmen dari pembentuk undang undang untuk melaksanakan hasil putusan Mahkamah Konstitusi dan sekaligus sebagai konsekuensi langkah check and balances di dalam memperkuat Indonesia sebagai Negara hukum yang Demokratis. Materi putusan juga harus dimunculkan dalam tahap penyusunana naskah akdemik, utamanya bagi putusan Mahkamah Konstitusi yang berupa pembatalan suatu undang undang dan perlu dilakkan perubahan terhadap undang undang yang menggantikan. Secara teknis pembentkan perundang-undangan, maka hasil putusan dari Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu dasar pertimbangan pembentuk undang undang yang dimasukan dalam “dasar pertimbangan“ dari undang undang pengganti sekaligus masuk dalam Penjelasan Umum sebagai bagian uraian pertimbangan dlakukannya perubahan suatu undang undang. III. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan 1. Putusan Mahkamah Konstitusi sebenarnya mempunyai kekuatan eksekutorial, karena Mahkamah Konstitusi diberi wewenang secara konstitusional dan merupakan lembaga peradilan yang memiliki wewenang dalam sistem dan proses hukum di Indonesia. 2. Tidak perlu adanya instrument khusus atau suatu lembaga eksekutorial untuk melaksanakan eksekusi putusan Mahkamah Konstutusi karena Lembaga Pembentuk 24 Lihat Pasal 10 ayat ( 2 ) huruf d UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
undang undang (Presiden dan DPR) adalah salah satu lembaga yang melaksanakan putusan Mahhkamah Konstutusi. 3. Dibutuhkan adanya komitmen yang tinggi bagi lembaga pembentuk undang undang bahwa melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi adalah jalan menuju tegaknya Negara Hukum yang Demokratis dengan melaksnakan fungsi check and balances. B.
Rekomendasi
Memasukan materi hasil putusan Mahkamah Konstitusi ke dalam revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Materi putusan dimasukan ke dalam materi Prolegnas, Naskah Akademik dan Penjelasan Umum suatu undang unang penggantinya sehingga ada kepastian dan kejelasan baik secara substansi maupun secara teknik pembentukannya.
Daftar Pustaka Arief Hidayat, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Kuliah Umum Ketua MK RI Pada Acara FGD “Penguatan Kelembagaan dan Hukum Acara MK RI”, Semarang, 16September 2016. Fajar Laksono, Relasi MK Dengan DPR Dengan Presiden SElaku Pembentuk UU (Studi Terhadap Dinamika Pelaksanaan Putusan MK Melalui Legislasi Tahun 2004-2005, Disertasi Pada PDIH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2017. I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Kosntitusional Warganegara, (Jakarta: Sinara Grafika, 2013). Ibnu Sina Chandranegara, Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang dan Jalan Mencapai Keadilan Konstitusional,
Jurnal Konstitusi Vol. 9 Nomor 1,
(Jakarta:2012). Ja’far Baehaqi, Perspektif Penegakan Hukum Progesif dalam Judical Review di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi vol. 10, nomor 3 (Jakarta: 2013). Janedjri M. Gaffar, “Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, (Makalah Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2009). Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2006). ……………….., Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta : Konstitusional Press, 2006). ……………….., Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006.
Lita Tyesta ALW, Aspek Penting Reformasi Regulasi (Perprektif Pembentukan UndangUndang), Orasi Ilmiah Disampaikan Pada Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 9 januari 2018. Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press. M. J .Saptenno, Langkah Strategis Dalam Rangka Eksekusi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-XII/2014. Hasil Peneltian dari Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty, Hilipito, Mohammmad Mahrus Ali, yang telah dimuat di Jurnal Konstitusi Volume 10. Nomer 4, Desember 2013. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php/page.web.Rekap PUU. Undang Undang Dasar Negara RI 1945 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU MK UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan