Unpad 17/18: PENGARUH KONTEKS POLITIK TERHADAP PEMBENTUKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Page 1

PENGARUH KONTEKS POLITIK TERHADAP PEMBENTUKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Abdurrachman Satrio1 Reyhan Gustira Anwar2 Abstrak Hukum tak selalu steril dari politik, seringkali politik mempengaruhi berjalannya hukum. Pada penelitian ini penulis berusaha membuktikan anggapan bila politik kerap mempengaruhi hukum tersebut terutama dalam lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) menguji konstitusionalitas undang-undang, mengingat MK sebagai lembaga penegak hukum di Indonesia sejak awal didirikannya saja sudah kental dengan pengaruh politik. Untuk membuktikannya, maka penulis memilih tiga putusan pengujian konstitusionalitas undang-undang di MK yang menurut penulis kental dengan pengaruh konteks politik. Ternyata penulis menemukan bahwa di dalam ketiga kasus tersebut, terdapat bukti kuat akan adanya pengaruh konteks politik. Menariknya pengaruh konteks politik ini tak hanya disebabkan oleh agenda politik di tataran suprastruktur politik seperti lembaga-lembaga negara lain, tetapi juga terdapat pengaruh konteks politik di tataran infrastruktur politik atau rakyat. Kata kunci: Mahkamah Konstitusi, konteks politik, putusan

The Political Context of the Decision-Making of Indonesian Constitutional Court Abstract Law is not necessarily sterile from politics, and more often than not it influenced how the law works. This preliminary research tries to demonstrate on what if the political realm influencing the decision making of constitutional court, especially in exercising its judicial review power. We analyze three major decisions and found that there is a significant amount of politically-nuanced consideration along the way. Interestingly, this political context is not only sourced from the suprastructure’s political agenda, but also from the infrastructure’s interest, or generally, the people. Keywords: Constitutional Court, political context, decision

I.

Pendahuluan Sebagaimana dinyatakan oleh Sri Soemantri hukum dan politik ibarat rel

dan lokomotif, dimana hukum menjadi relnya sedangkan politik ialah lokomotif. Jika lokomotif ingin selamat maka dia harus berjalan sesuai relnya, atau dengan kata lain berjalannya politik amat ditentukan oleh hukum yang memberikan kerangka normatifnya3. Ilustrasi tersebut tentunya menggambarkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang tak terpisahkan antara satu dan lainnya karena 1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, surel abdurrachmanmarley@gmail.com 2 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, surel gustirareyhan@gmail.com


tidak mungkin ada rel tanpa adanya lokomotif, dan tak mungkin juga ada hukum tanpa adanya politik. Namun pada kenyataannya, hubungan antar keduanya dapat bersifat lebih kompleks dan tak seperti yang diidealkan tersebut. Malah sudah bukan rahasia lagi, bila kadang kala politiklah yang justru mempengaruhi berjalannya hukum. Karenanya penulis hendak mengkaji pengaruh politik terhadap berjalannya hukum, khususnya dalam rangka putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, memang tak dapat dimungkiri keberadaan MK sebagai sebuah lembaga penegak hukum sejak awal dibentuknya saja sudah dipengaruhi politik, mengingat terbentuknya MK dilatari oleh konflik politik yang terjadi di tahun 2001, terkait pemberhentian Abdurrahman Wahid sebagai Presiden.4 Saat itu, tak terlalu jelasnya mekanisme pemberhentian Presiden mengakibatkan krisis ketatanegaraan yang kemudian mendorong dibentuknya MK sebagai lembaga yang bertujuan memutus persoalanpersoalan ketatanegaraan. Pada tulisan ini penulis akan mengkaji beberapa putusan dimana konteks politik mempengaruhi putusan MK, atau setidak-tidaknya MK menjadikan konteks politik yang melingkupinya sebagai dasar pertimbangan tatkala memutus perkara, seperti Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 mengenai pengujian UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ Penodaan Agama (Putusan mengenai UU penodaan agama), Putusan MK Nomor 58/PUU-XIV/2016 mengenai UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Putusan mengenai UU tax amnesty), serta Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 mengenai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Putusan mengenai Presidential Treshold). Kajian ini sendiri dipilih penulis, mengingat sampai sekarang masih sedikitnya

tulisan

yang

membahas

bagaimana

peran

aktor-aktor

politik

mempengaruhi putusan MK, dikarenakan umumnya para pengkaji hukum tata 3 Mahfud MD, “Sri Soemantri Meneriakan Supremasi Hukum atas Politik”, dalam Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, dan Negara Hukum Kumpulan Esai guna Menghormati Prof. Dr. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H., disusun oleh Bagir Manan (Ed.), Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996, Hlm. 23. 4 Simon Butt, “Indonesia’s Constitutional Court Conservative Activist or Strategic Operator?”, dalam Bjorn Dressel (Ed.), The Judicialization of Politics in Asia, London and New York: Routledge, 2012.


negara di Indonesia lebih banyak meneliti mengenai implementasi atau dampak dari suatu putusan MK.5 Adapun mengingat keterbatasan waktu, maka tulisan ini hanya membahas sedikit putusan saja yang penulis nilai membuktikan akan adanya pengaruh konteks politik terhadap Putusan MK, nantinya tulisan ini mungkin dapat menjadi pengantar bagi kajian yang lebih mendalam mengenai pengaruh konteks politik terhadap Putusan MK, II. Pembahasan A. Pengaruh Konteks Politik kepada Pengadilan Konstitusi Selayaknya yang telah dibahas di muka, sudah tak aneh bila politik mempengaruhi bekerjanya hukum. Bahkan dalam lingkup pengadilan konstitusi seperti MK, terdapat beberapa kajian yang menganggap berjalannya pengadilan konstitusi dalam suatu sistem ketatanegaraan tak hanya bergantung pada kewenangannya yang tertulis dalam konstitusi semata. Tak jarang konteks politik

yang

terdapat

di

lingkungan

beroperasinya

mempengaruhi

kewenangannya tersebut dijalankan. Stephen Gardbaum misalnya, menjelaskan mengapa dua pengadilan konstitusi di negara berbeda yang memiliki kewenangan serupa dalam konstitusinya

bisa

memiliki

pengaruh

yang

berlainan

pada

sistem

ketatanegaraannya.6 Menurutnya hal ini disebabkan berjalannya pengadilan konstitusi tak hanya bergantung pada kewenangannya secara legal-formal saja, tetapi juga kepada kultur hukum seperti independensi pengadilan, serta konteks politik yang berlaku.7 Konteks politik ini menurut Gardbaum bisa bermacam-macam, seperti apakah kekuasaan yang terdapat dalam suatu lingkungan politik terfragmentasi ke banyak pihak ataukah terkonsentrasi ke beberapa pihak saja. 8 Hal tersebut dapat berakibat berbeda bagi bekerjanya pengadilan, kekuasaan politik yang 5 Lihat Fritz Siregar, The Political Context of Judicial Review in Indonesia, Indonesian Law Review, Vol. 2, 2015. Tulisan Fritz Siregar ini ialah sedikit tulisan yang mencermati pengaruh konteks politik pada pembentukan MK, khususnya pengaruh konteks politik dalam memberi legitimasi bagi kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. 6 Stephen Gardbaum, What Makes for More or Less Powerful Constitutional Courts?, UCLA School of Law Public Law & Legal Theory Research Paper Series No. 17-37, 2017. 7 Ibid, Hlm. 19. 8 Ibid, Hlm. 20-24.


cenderung terkonsentrasi dapat berimplikasi kepada lemahnya suatu pengadilan konstitusi ketika menjalankan kewenangannya, seperti dicontohkan Jepang yang berada pada konteks politik dominant party liberal democracies, karena berada dalam negara yang kekuasaan politiknya cenderung dikuasai satu pihak yaitu Liberal Democratic Party (LDP), ditambah dengan besarnya kewenangan Perdana Menteri mengangkat hakim-hakim Mahkamah Agung Jepang. Tak pelak jika kemudian Mahkamah Agung Jepang cenderung memiliki peran yang lemah dan diisi oleh hakim-hakim yang loyal kepada pemerintahan LDP, 9 sebaliknya dalam kekuasaan politik yang terfragmentasi pengadilan cenderung bersifat independen serta memiliki pengaruh yang kuat ketika menjalankan kewenangannya selayaknya dicontohkan MK Federal Jerman.10 Pendapat mirip dengan Gardbaum mengenai pengaruh konteks politik terhadap berjalannya kewenangan pengadilan konstitusi juga dicetuskan oleh Tom Ginsburg, hanya saja Ginsburg lebih menyoroti pengaruh konfigurasi politik tersebut kepada bagaimana nantinya desain kewenangan suatu pengadilan konstitusi dibentuk. Menurutnya makin terfragmentasi kekuasaan ketika pengadilan konstitusi dibentuk, makin kuat desain kewenangan yang diberikan padanya oleh konstitusi karena dengan tak adanya pihak yang benarbenar dominan semua pihak yang merumuskannya cenderung menginginkan pengadilan yang netral untuk menjaga posisi mereka ketika tak lagi berkuasa, sebaliknya ketika konfigurasi kekuasaan dikuasai satu pihak yang dominan pengadilan yang dibentuk cenderung memiliki kewenangan lemah agar nantinya tak mengganggu kepentingan yang berkuasa.11 Studi lainnya, semisal yang dilakukan Stefanus Hendrianto mengenai MK di Indonesia berbeda dengan yang telah dilakukan Gardbaum serta Ginsburg yang lebih menitikberatkan pada pengaruh politik terhadap pengadilan konstitusi. Hendrianto justru menunjukan bila mau tak mau MK harus ikut terlibat dalam urusan politik, terutama lewat peran Ketua MK. Semakin lihai seorang Ketua MK menjalankan tugasnya, termasuk melalui peran politiknya di luar 9 Ibid, Hlm. 25. 10 Ibid, Hlm. 30. 11 Lihat Tom Ginsburg, Constitutional Court in New Democracies: Understanding Variation in East Asia, Global Jurist Advance, Vol. 2 Issue 1, 2002.


pengadilan (extra judicial role) guna menghindari konflik politik dengan lembaga-lembaga negara lainnya, maka akan semakin kuat MK dalam menjalankan kewenangannya.12 B. Pengaruh Politik pada Putusan MK 1. Putusan mengenai UU Penodaan Agama Salah satu putusan yang cukup menarik terkait pengaruh konteks politik terhadapnya adalah Putusan MK mengenai UU Penodaan Agama. Putusan ini sendiri bermula ketika tahun 2009, beberapa organisasi nonpemerintah (NGO), serta tokoh-tokoh agama seperti Abdurrahman Wahid mengajukan permohonan kepada MK untuk membatalkan UU Penodaan Agama.13 Para pemohon beralasan UU tersebut melanggar kebebasan beragama seseorang karena mengizinkan negara mengatur tafsiran yang tepat atas suatu agama. Sebaliknya, pemerintah merasa eksistensi UU tersebut diperlukan guna melindungi agama, sebab meniadakan UU itu akan mengganggu harmoni antar agama dalam kondisi masyarakat Indonesia yang plural.14 Pada akhirnya, MK menolak permohonan para pemohon dengan tak membatalkan UU tersebut. Argumen MK dilandasi alasan berikut: Pertama, Indonesia ialah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pembukaan dan Pasal 29 UUD 1945) karenanya sekalipun mengakui jaminan kebebasan beragama seseorang sebagai hak asasi manusia (HAM), tetapi jaminan tersebut dapat saja dibatasi oleh nilai-nilai keagamaan yang merupakan pencerminan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.15 Kedua, MK memandang UU tersebut tidaklah benar-benar membatasi kebebasan beragama, melainkan membatasi tindakan atau ujaran di ranah publik yang mendukung

tafsir

keagamaan

yang

bertentangan

dengan

doktrin

12 Hendrianto menjelaskan bila peran politik di luar pengadilan ini seperti mempersuasi pemerintah untuk mengimplementasi putusan MK, serta dengan melakukan interview di media mengenai perkara-perkara politis yang sedang di tangani MK untuk menekan pihak-pihak yang terkait agar menaati putusan MK. Lihat Stefanus Hendrianto, The Rise and Fall of Historic Chief Justice: Constitutional Politics and Judicial Leadership in Indonesia, Washington International Law Journal, Vol. 25, No. 3, 2016. 13 Lihat Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009. 14 Ibid. 15 Ibid, Hlm. 274-278.


fundamental atas suatu agama.16 Ketiga, MK memandang tanpa adanya UU tersebut akan tercipta konflik di masyarakat jika tafsir atas suatu agama tak diatur serta sensitifitas keagamaan dibiarkan begitu saja.17 Mencermati argumen di atas, Dian A.H. Shah kemudian menganggap MK terbukti telah menciptakan putusan dengan pertimbangan konteks politik yang ada, yaitu dengan mengutamakan kelompok mayoritas dalam suatu agama, khususnya dalam argumen kedua dan ketiganya yang melegitimasi negara untuk mengatur tafsir yang benar atas suatu agama.18 Sebab, cara untuk menentukan tafsir yang benar atas agama ini diwujudkan lewat penerimaannya pada peran internal dari otoritas masing-masing agama guna menentukan mana tafsir yang benar dan dapat diterima.19 Berhubung tak setiap agama memiliki otoritas internal diakui yang bersifat sentralistik, hal itu menyebabkan otoritas yang diakui di tiap-tiap agama oleh negara umumnya adalah otoritas yang merepresentasikan kelompok mayoritas di dalamnya. Dian A.H. Shah kemudian mencontohkan dalam Islam. Negara tentunya baru dapat menyatakan suatu tafsir mengenainya benar atau tidak dengan terlebih dahulu bertanya kepada organisasi-organisasi Islam yang otoritasnya diakui,20 organisasi-organisasi Islam yang biasanya dianggap pemerintah memiliki otoritas diakui adalah organisasi yang mewakili suara mayoritas umat Islam Indonesia dan lazimnya didominasi kelompok Islam beraliran Sunni semisal MUI, NU, dan Muhammadiyah.21 Hal ini tak jarang menyebabkan kelompok minoritas dalam agama Islam yang memiliki tafsir berbeda seperti Syiah terpinggirkan, dan kerap tafsiran atas Islam yang

16 Ibid, Hlm. 287. 17 Ibid. 18 Dian A. H. Shah, Constitutions, Religion and Politics in Asia: Indonesia, Malaysia, and Sri Lanka, Cambridge: Cambridge University Press, 2017, Hlm. 162 19 Putusan MK Nomor 140, Op. Cit, Hlm. 289. 20 Dian A.H. Shah, Op. Cit, Hlm. 162. 21 Ibid.


mereka anut dinyatakan salah oleh negara dengan berpegang pada tafsir kelompok Islam mayoritas yang diwakili organisasi seperti MUI.22 Apa yang disuguhkan Putusan tersebut dengan mengutamakan kelompok mayoritas, membuktikan bila terkadang konteks politik yang terdapat ketika pengadilan konstitusi hendak memutus suatu perkara mempengaruhi putusan yang dikeluarkan. Yang menarik, dalam putusan ini yang menjadi pertimbangan hakim ialah pengaruh konteks politik yang terdapat dalam tataran infrastruktur politik atau rakyat, bukan dalam tataran pemegang kekuasaan seperti yang sebelumnya dicetuskan Gardbaum. Hal ini disebabkan saat perkara tersebut berlangsung tekanan kelompok agama mayoritas yang menginginkan UU tersebut dipertahankan sedemikian kuat, mengingat saat itu tiga organisasi Islam terbesar yang dianggap merepresentasikan hampir keseluruhan umat Islam selaku agama mayoritas rakyat Indonesia ikut terlibat sebagai pihak terkait yang menolak dibatalkannya UU tersebut.23 2. Putusan mengenai Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) Pada 13 Juli 2016, Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (selanjutnya UU Tax Amnesty) terhadap UUD 1945 kepada MK. Menurut SPRI, implementasi tax amnesty akan mendudukkan warga negara tidak sama di hadapan hukum dan pemerintahan, karena klausul tersebut memberikan keistimewaan (privilege) kepada para pengemplang pajak (tax evaders) dibandingkan dengan para wajib pajak yang taat (honest taxpayers). Selain itu, tax amnesty juga membatasi kewenangan dari kekuaasaan kehakiman untuk melakukan pemeriksaan dan/atau penyelidikan/penyidikan karena menghilangkan sifat memaksa dari pajak, serta berpotensi menghambat proses penegakan hukum 22 Permasalahan terkait tafsir ini, pernah dipertanyakan Kelompok Syiah kepada MK dalam Putusan Nomor 84/PUU-X/2012 atau yang lebih dikenal sebagai Putusan MK tentang pengujian UU Penodaan Agama Kedua. Dalam permohonannya kelompok minoritas Syiah mempertanyakan mengenai siapa yang berhak menilai apakah suatu tafsir agama salah atau benar? Mereka mempertanyakan hal ini karena merasa penentuan benar atau salahnya tafsir atas agama sering dimanfaatkan kelompok mayoritas dalam suatu agama untuk menekan minoritas. 23 Kendati salah satu pemohon dibatalkannya UU ini ialah Abdurrahman Wahid yang merupakan tokoh besar NU, tetapi NU justru memosisikan diri sebagai pihak yang menentang dibatalkannya UU Penodaan Agama. Lihat Putusan MK Nomor 140, Op. Cit, Hlm. 250.


karena adanya larangan penggunaan data dan infomasi yang berkaitan dengan UU untuk dijadikan penyelidikan tentang tindak pidana. Pada 14 Desember 2016, MK memutuskan untuk menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, sehingga UU Tax Amnesty dinyatakan konstitusional. Pertimbangan Mahkamah didasarkan oleh adanya kebutuhan yang mendesak dan mendasar bagi pemerintah untuk mengambil

kebijakan pengampunan pajak,24 dengan tujuan untuk

mengumpulkan pendapatan negara dalam bentuk pajak untuk membiayai pembangunan di tengah kepatuhan pajak yang masih rendah.25 Menariknya, selama proses uji materi, terdapat kecurigaan adanya ikut campur pemerintah untuk memberi tekanan kepada MK. 26 Kecurigaan ini bermula ketika Ketua MK, Arief Hidayat, Wakil Ketua Anwar Usman (yang juga ketua Majelis Hakim dalam perkara tax amnesty) serta Sekjen MK Guntur Hamzah mendatangi Presiden Joko Widodo di Istana Presiden. Meskipun

membantah

kecurigaan

ini

serta

menegaskan

bahwa

kedatangannya untuk melaporkan hasil simposium MK dan lembaga sejenis se-Asia.27

Arief

Hidayat

juga

mengatakan

terdapat

kemungkinan

mengutamakan penyelesaian gugatan uji materi UU Tax Amnesty, melihat seberapa mendesaknya penyelesaian UU yang menjadi senjata negara untuk mengembalikan uang dari luar negeri ke Indonesia itu.28 Pernyataan ini tentu membuktikan bahwa terdapat pembicaraan antara Ketua MK dengan Presiden Joko Widodo mengenai UU Tax Amnesty.

24 Lihat Putusan MK No. 57/PUU-XIV/2016, hlm. 204 25 Lihat Putusan MK No. 57/PUU-XIV/2016, ibid. 26 Lihat Stefanus Hendrianto dan Fritz Siregar, “Developments in Indonesia Constitutional Law”, dalam Richard Albert (Et.Al) (Eds.), ICONnect-Clough Center 2016 Global Review of Constitutional Law, Boston: ICONnect and Clough Center for the Study of Constitutional Democracy, 2017, hlm. 95. 27 Diberitakan oleh Kompas, “Ketua MK Jamin Jokowi tak Intervensi Hakim Persidangan UU Tax Amnesty”, http://nasional.kompas.com/read/2016/09/01/16114411/ketua.mk.jamin.jokowi.tak.intervensi.hakim. persidangan.uu.tax.amnesty. 28 Diberitakan oleh Media Indonesia, “Jika ada Gugatan dan Mendesak, MK Prioritaskan UU Tax Amnesty”, http://mediaindonesia.com/news/read/64688/jika-ada-gugatan-dan-mendesakmk-prioritaskan-uu-tax-amnesty/2016-09-01


Perlu dipahami, bahwa Tax Amnesty merupakan kebijakan prioritas pemerintah Joko Widodo pada 2016 lalu, mengingat kebutuhan akan pendaanan untuk pembangunan infrastruktur secara masif memerlukan pendapatan negara yang sebagian besar berasal dari pajak. Pertemuan antara hakim MK dan Presiden, tentu saja memunculkan keraguan akan independensi Hakim Konstitusi. Apalagi terbukti dengan begitu cepatnya perkara ini diselesaikan (sekitar 5 bulan).29 Padahal dilihat dari agenda pertemuannya, tentu tidak ada kebutuhan mendesak untuk hakim konstitusi yang secara langsung mendatangi Presiden, cukup diwakilkan oleh Sekjen MK saja. Menurut Stefanus Hendrianto dan Fritz Siregar, apapun alasan dari pertemuan tersebut, tetap tidak bijak bagi seorang Hakim Konstitusi untuk mendatangi Presiden, ditengah berjalannya uji materi yang memposisikan pemerintah sebagai tergugat di MK,30 apalagi terbukti terdapat pembicaraan mengenai perkara tersebut. Hal ini pun menunjukan secara jelas akan adanya pengaruh konteks politik dalam Putusan MK mengenai Tax Amnesty, dimana pemerintah guna memuluskan agenda politiknya mempengaruhi MK ketika akan membuat suatu putusan. 3. Putusan mengenai Presidential Threshold dalam UU Pemilu Pada 8 Agustus 2017, Partai Islam Damai dan Aman (Partai Idaman) pimpinan Rhoma Irama, mengajukan permohonan uji materi terhadap pasal 173 ayat (1), ayat (3) dan pasal 222 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945. Pada permohonannya, Partai Idaman menguji ketentuan mengenai presidential threshold ssebagai syarat partai politik/gabungan partai politik mengajukan calon presiden dalam Pemilu, serta kewajiban partai politik untuk mengikuti proses verifikasi faktual sebagai syarat keikutsertaan dalam Pemilu 2019 mendatang. Pemohon menjelaskan bahwa presidential threshold dalam pemilu serentak sudah tidak relevan keberadaannya, karena hanya akan 29 Jangka waktu 5 (lima) bulan diputusnya perkara ini semenjak pertama dimohonkan pada Juli 2016 sampai diputusnya pada Desember 2016, terbilang cepat. Mengingat rata-rata jangka waktu MK memutus perkara pengujian UU jika dihitung semenjak tahun 2003-2016 adalah 6,5 bulan. Selengkapnya lihat penelitian Veri Junaidi (Et. Al), Tiga Belas Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi Memutus Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Kode Inisiatif, 2016. 30 Lihat Stefanus Hendrianto dan Fritz Siregar, Op. Cit, hlm 93-97


menguntungkan partai politik yang telah ikut serta pada Pemilu 2014. Sedangkan berkaitan dengan verifikasi faktual, pemohon meminta MK untuk juga mewajibkan partai politik lama mengikuti proses tersebut, agar menjamin kesamaan derajat antara partai lama dengan partai baru. Pada 11 Januari 2018, MK memutus untuk mengabulkan permohonan sebagian, yakni berkaitan dengan kewajiban partai lama mengikuti proses verifikasi faktual.

Namun

MK

menolak

permohonan

pemohonan

mengenai

presidential threshold, dengan alasan bahwa keberadaan ambang batas untuk menciptakan sistem presidesial yang kuat.31 Keberadaan presidential threshold sejak awal sudah menjadi perdebatan dalam proses pembentukan UU Pemilu, karena selain tidak masuk akal untuk diterapkan pada pemilu serentak, juga akan memberatkan partai politik untuk memunculkan nama baru dalam Pemilu nanti. Perlu dicermati bahwa UU Pemilu dibuat oleh DPR yang saat ini dikuasai oleh partai pendukung pemerintahan Joko Widodo, yang gencar dalam mempertahankan keberadaan klausul presidential threshold ini.32 Selain itu, Arief Hidayat juga merupakan Hakim Konstitusi yang dipilih dari DPR, dan baru-baru ini pada tanggal 6 Desember 2017 kembali dipilih DPR untuk masa jabatan 2018-2023. Di tengah proses uji kelayakan dan kepatutan, Arief Hidayat terbukti melanggar kode etik karena diketahui bertemu sejumlah pimpinan Komisi III DPR tanpa undangan, dan diduga melakukan lobi-lobi politik dalam pertemuan tersebut. Dewan Etik MK kemudian menyatakan Arief Hidayat terbukti melakukan pelanggaran ringan dan dijatuhi sanksi berupa teguran lisan. Meski telah dijatuhi sanksi, dan mendapat tekanan dari berbagai LSM untuk mundur jabatannya, Arief tetap dipilih kembali oleh DPR untuk menjabat sebagai Hakim Konstitusi.33

31 Lihat Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017, hlm 120-135 32 Saat ini 2/3 atau 67% dari anggota-anggota DPR mendukung pemerintahan Joko Widodo. 33 Diberitakan oleh Kompas, Terlibat Kasus-kaasus Etik, Arief idayat Diminta Mundur dari Ketua MK, http://nasional.kompas.com/read/2018/01/25/20110941/terlibat-kasus-kasus-etik-ariefhidayat-diminta-mundur-dari-ketua-mk


Lobi-lobi politik yang terjadi selama proses pengangkatan kembali Arief Hidayat sebagai Hakim Konstitusi ini tentu menimbulkan kecurigaan akan adanya kontrak politik antara dirinya dengan anggota-anggota DPR tersebut. Terutama guna meloloskan klausul presidential treshold yang terdapat dalam UU Pemilu. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat rekam jejak dirinya dalam kasus yang dibahas sebelumnya yaitu Tax Amnesty, membuktikan lobi-lobi politik yang terjadi antara Arief Hidayat dengan lembaga politik kerap diiringi pembicaraan mengenai kasus yang sedang berlangsung. Apalagi saat melakukan lobi-lobi politik tersebut uji materi ketentuan mengenai presidential treshold dalam UU Pemilu sedang berlangsung di MK, dan tak lama setelah Arief Hidayat dilantik kembali oleh DPR, MK mengeluarkan Putusan yang menyatakan klausul Presidential treshold konstitusional.34 Kesimpulan Ada dua poin kesimpulan yang dapat diambil, pertama dalam putusan MK mengenai Tax Amnesty dan Presidential Threshold, terlihat bahwa putusan MK sangat dipengaruhi oleh konteks politik di lapisan suprastruktur. Mengutip Fritz Siregar, fragmentasi politik (political fragmentation) umumnya menciptakan legitimasi serta independensi yang kuat bagi kekuasaan kehakiman. Penulis berpandangan bahwa dalam kondisi yang berkebalikan dengan fragmentasi politik, yakni konsolidasi politik, legitimasi serta independensi kekuasaan kehakiman sangat mungkin “ditekan� oleh lapisan suprastruktur politik. Ini menjadi masuk akal mengingat sebuah konsolidasi politik memerlukan legitimasi yang kuat ketika mengambil

sebuah

kebijakan.

MK

adalah

lembaga

yang

dilihat

dari

kewenangannya sangat mungkin menghambat agenda atau kebijakan tersebut, sehingga kekuatan politik dominan sangat mungkin melakukan intervensi agak dapat mengamankan agenda politiknya.

34 Putusan MK mengenai presidential treshold diputus sebulan pasca Arief Hidayat dilantik kembali sebagai Hakim sekaligus Ketua MK. Arief Hidayat dilantik pada 6 Desember 2017 sedang Putusan mengenai UU Pemilu keluar tanggal 11 Januari 2018.


Kedua, pengaruh politik dalam putusan MK juga dapat dilihat dalam perkara UU PNPS, perbedaannya adalah pengaruh politik dalam putusan ini muncul dari lapisan suprastruktur politik. Dalam perkara UU PNPS terlihat bahwa infrastruktur politik (masyarakat, lembaga masyarakat, dan sebagainya) dapat memberikan pengaruh politik ketika terlibat aktif dalam proses pengujian, serta merepresentasikan kekuatan dominan yang ada di masyarakat, dalam kasus ini tekanan yang muncul dari lembaga seperti NU, Muhammadiyah dan MUI. Ini menarik dan bisa dikatakan menjadi kontribusi utama (insight) dalam penelitian ini, melihat selama ini penelitian mengenai MK yang dilakukan, misalnya oleh Garbaum berfokus kepada bagaimana suprastruktur memberikan pengaruh politik dalam putusan MK. Kedepannya, menjadi sebuah kebutuhan untuk memperdalam penelitian di bidang ini, agar dapat memperluas persepsi terhadap bagaimana suatu putusan MK dibangun. Daftar Pustaka Buku Bagir Manan (Ed.), Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, dan Negara Hukum Kumpulan Esai guna Menghormati Prof. Dr. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996 Bjorn Dressel (Ed.), The Judicialization of Politics in Asia, London and New York: Routledge, 2012 Dian A. H. Shah, Constitutions, Religion and Politics in Asia: Indonesia, Malaysia, and Sri Lanka, Cambridge: Cambridge University Press, 2017, Hlm. 162 Fritz Siregar, The Political Context of Judicial Review in Indonesia, Indonesian Law Review, Vol. 2, 2015 Stefanus Hendrianto, The Rise and Fall of Historic Chief Justice: Constitutional Politics and Judicial Leadership in Indonesia, Washington International Law Journal, Vol. 25, No. 3, 2016. Stefanus Hendrianto dan Fritz Siregar, “Developments in Indonesia Constitutional Law�, dalam Richard Albert (Et.Al) (Eds.), ICONnect-Clough Center 2016 Global Review of Constitutional Law, Boston: ICONnect and Clough Center for the Study of Constitutional Democracy, 2017, hlm. 95. Stephen Gardbaum, What Makes for More or Less Powerful Constitutional Courts?, UCLA School of Law Public Law & Legal Theory Research Paper Series No. 17-37, 2017.


Tom Ginsburg, Constitutional Court in New Democracies: Understanding Variation in East Asia, Global Jurist Advance, Vol. 2 Issue 1, 2002 Veri Junaidi (Et. Al), Tiga Belas Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi Memutus Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Kode Inisiatif, 2016 Putusan MK Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009

Putusan MK Nomor 58/PUU-XIV/2016 Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.