TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN MENGIKAT PUTUSAN JUDICIAL REVIEW MAHKAMAH KONSTITUSI Farhan Maulana Mahasiswa Srata 1 (satu) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111 farhan_maulana15081997@yahoo.com
Abstrak - Mahkamah Konstitusi yang merupakan salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki wewenang dalam mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir dan putusannya ialah bersifat ďŹ nal. Namun demikian, masih ditemukan faktor dan kendala yang membuat putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi tidak dipatuhi sebagaimana mestinya, sehingga kemudian menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kekuatan daripada putusan Mahkamah Konstitusi sesungguhnya. Penulisan ini kemudian mencoba mengkaji secara lebih lanjut untuk menemukan jawaban daripada pertanyaan yang dimaksud. Kata Kunci : Mahkamah Konstitusi, Kekuatan Mengikat, Judicial Review Abstract - The Constitutional Court which is one of the Judiciary institution who has the authority to prosecute the case at the first and last level and the the verdict is final. However, it still found the factors and constraints that make the judgments of the constitutional court are not followed properly. So it raises a question of how the power of the Constitutional Court's verdict really is. This writing then tries to further examine to find the answers of the question. Keywords : Constitutional Court, Binding Force, Judicial Review
I. PENDAHULUAN Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki tugas serta wewenang dalam melakukan Judicial Review terhadap putusan badan legislasi dan atau eksekutif. Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia juga tidak luput dari tanggapan salah satu pakar hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo. Ia mengemukakan pendapat dalam salah satu bukunya bahwa:1 “UUD 1945 telah mengamanatkan pembuatan sebuah Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya yang boleh melakukan pengujian terhadap UUD�. Hal ini menunjukan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga istimewa. Judicial Review sendiri adalah merupakan suatu pranata hukum yang memberikan kewenangan kepada badan pelaksana kekuasaan kehakiman dan atau badan lainnya yang telah ditetapkan untuk dapat melakukan tindakan pengujian kembali ataupun peninjauan kembali dengan cara melakukan interpretasi hukum dan atau interpretasi konstitusi untuk memberikan penyelesaian yuridis. Judicial Review dalam hal Konstitusi, adalah peninjauan kembali dan
atau pengujian oleh suatu badan
kekuasaan negara untuk dapat membatalkan putusan badan pembuat undang-undang dan atau 1
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta, Kompas, hlm . 163.
badan Pemerintahan. Judicial Review bidang ini di Indonesia menjadi kompetensi dan kewenangan daripada Mahkamah Konstitusi. Disamping itu, terdapat lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman lainnya yang juga memiliki kewenangan untuk melakukan Judicial Review yaitu Mahkamah Agung Negara Republik Indonesia, namun kewenangannya terbatas hanya pada pengujian materil terhadap peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang- undang. Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengujian legalitas, bukan konstitusionalitas.2 Secara konstitusional kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia mengenai Judicial Review dapat dilihat pada Pasal 24C UUD NRI 1945 yang diatur lebih lanjut pada Pasal 10 UU. No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta perubahannya dalam UU. No. 8 Tahun 2011. Dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 dikatakan bahwa : Mahkamah Konstitusi berwenang dan putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Berdasar Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 tersebut dapat dilihat bahwa kewenangan untuk melakukan Judicial Review ditegaskan pada poin pertama. Putusan daripada Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final namun tidak mengikat. Dikatakan final karena terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum dan dikatakan tidak mengikat karena hanya bersifat declatoir.3 Tampak bahwa dengan sifat putusan yang demikian maka putusan Mahkamah Konstitusi secara normatif mempunyai kekuatan yang setara dengan Undang-undang, namun dalam realitas empirik, masalah implementasi putusan Mahkamah Konstitusi seringkali mengalami kesulitan, setidaknya menunjukkan banyak variasi masalah dalam pola implementasinya selama ini yang kemudian memunculkan pertanyaan seperti apa sebenarnya kekuatan daripada Putusan Mahkamah Konstitusi dalam “Judicial Review”?
II. METODE PENELITIAN
2 3
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hlm. 6.
Maruarar Siahaan, 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Konstitusi Press. Jakarta. him. 197-199
Berdasarkan isu hukum yang dikaji dalam penelitian ini, maka penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif,4 dengan bentuk analisis logis normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan (statutaapproach), serta pendekatan konseptual (conseptualapproach), dengan penggunaan data primer serta data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan sebagai dasar atau landasan penelitian.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah suatu putusan yang tidak hanya mengikat para pihak tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes). Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang menyatakan bahwa putusan MK dapat langsung dilaksanakan tanpa memerlukan keputusan pejabat yang berwenang secara lebih lanjut, kecuali apabila peraturan perundang-undangan mengatur lain. Dalam pasal 10 ayat (1) berikut penjelasan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dikatakan bahwa Asas putusan MK berkekuatan hukum tetap dan bersifat final sebagaimana disebutkan yang berbunyi : “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)�. Asas putusan mengikat secara erga omnes tersebut di atas tercermin melalui kalimat sifat final dalam putusan MK dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Erga omnes berasal dari bahasa latin yang artinya berlaku untuk setiap orang (toward every one). Asas erga omnes atau perbuatan hukum adalah berlaku bagi setiap individu, orang atau negara tanpa perbedaan (A erga omnes law or legal act applies as against every individual, person or state without distinction).5 Suatu hak atau kewajiban yang bersifat erga omnes dapat dilaksanakan dan ditegakkan terhadap setiap orang atau lembaga, jika suatu waktu ditemukan pelanggaran terhadap hak tersebut atau tidak memenuhi suatu kewajiban. 4 5
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia, 2007, hlm. 295.
Erga Omnes Definition, http://www.duhaime.org/LegalDictionary/E/ErgaOmnes.aspx, diakses pada tanggal 14 Februari 2018.
Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan di hadapan sidang yang terbuka untuk umum dapat mempunyai tiga kekuatan, yaitu6 : 1. Kekuatan mengikat Kekuatan mengikat disini artinya adalah sebagai konsekuensi logis dari putusan yang bersifat final, yang bahwa putusan Mahkamah Konstitusi akan langsung berlaku mengikat bagi seluruh wilayah Indonesia. Kekuatan mengikat ini berbeda dengan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara, yaitu pemohon ataupun pihak-pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, akan tetapi putusan tersebut juga berlaku dan mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Kemudian Hakim Mahkamah Konstitusi juga dikatakan sebagai negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes, dan memiliki kedudukan sebagaimana hukum yang diciptakan oleh para pembentuk undang-undang lainnya. 2. Kekuatan Pembuktian Putusan Mahkamah yang telah menguji suatu Undang-undang merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh suatu kekuatan pasti (gezag van gevijsde). Dikatakan kekuatan pasti karena bisa bersifat negatif maupun positif. Kekuatan pasti suatu putusan secara negatif diartikan bahwa hakim tidak boleh lagi memutus perkara permohonan yang sebelumnya pernah diputus sebagaimana disebut dalam Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk dilakukan pengujian kembali7. Dalam hukum perdata hal demikian diartikan, hanya jika diajukan pihak yang sama dengan pokok perkara yang sama. Kaitannya dengan perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapa pun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan
6
Maruarar Siahaan, 2012, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Sinar GraďŹ ka, hlm 214. 7
Walaupun saat ini aturan tersebut telah disimpangi oleh Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06 Tahun 2005 tentang Pengujian Undang-Undang yang menentukan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah diuji dapat diuji kembali sepanjang alasan pengujiannya berbeda dengan alasan pengujian sebelumnya.
sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang telah diputus oleh hakim itu telah dianggap benar. Pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan. 3. Kekuatan Eksekutorial Sebagai satu perbuatan hukum pejabat negara yang dimaksudkan untuk mengakhiri sengketa yang akan menghilangkan atau menciptakan hukum yang baru, maka tentu saja diharapkan bahwa putusan tersebut tidak hanya berupa kata-kata mati di atas kertas. Sebagai suatu putusan hakim, setiap orang setiap orang kemudian akan berbicara bagaimana pelaksanaannya dalam kenyataan. Akan tetapi sebagaimana telah disinggung di atas berbeda dengan putusan hakim biasa, maka suatu putusan yang telah mengikat para pihak dalam perkara perdata memberi hak kepada pihak yang dimenangkan untuk meminta putusan tersebut dieksekusi jikalau menyangkut penghukuman atas pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Dalam hal demikian dikatakan bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu agar putusan dilaksanakan dan jika perlu dengan kekuatan paksa. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dengan kata lain tidak ada upaya hukum lain. Mengenai sifat final putusan MK juga ditegaskan dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan di atas maka putusan MK bersifat final yang berarti: (1) secara langsung memperoleh kekuatan hukum, (2) dan karena telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka putusan MK akan memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang memiliki keterkaitan dengan putusan. Hal ini menunjukkan bahwa putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara (interparties). Para pihak harus dan wajib mematuhi serta melaksanakan putusan MK, (3) karena ia merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Sebuah putusan yang apabila tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh berarti telah memperolah kekuatan mengikat (resjudicata pro veritate habeteur) serta memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Tegasnya, putusan MK yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dengan serta merta memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Namun demikian, putusan MK dalam perjalanannya memiliki permasalahan dalam hal pengimplementasiannya. Hal ini bisa dilihat pada putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Pasal 268 ayat 3 KUHAP adalah inkonstitutional. Pasal 268 ayat 3
KUHAP mengatur Peninjauan kembali dalam perkara pidana hanya dapat dilakukan satu kali namun MK menyatakan bahwa PK dalam perkara pidana dapat dilakukan lebih dari satu kali atau dapat dilakukan berkali-kali. Mahkamah Agung juga enggan melaksanakan putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan PK dalam perkara pidana dapat dilakukan berulang kali dengan alasan akan menambah penumpukan perkara yang menjadi permasalahan laten lembaga ini. Selanjutnya MK mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali karena SEMA ini mendasar pada ketentuan dalam undang-undang Mahkamah Agung dan undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa PK hanya dilakukan satu kali bukan ketentuan di dalam KUHAP yang dibatalkan oleh MK. Selain itu, Kejaksaan merasa keberatan terhadap PK yang berulang kali, karena Kejaksaan beranggapan hal tersebut akan menghambat pelaksanaan eksekusi dimana Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga eksekutor dalam perkara pidana. Contoh kasus putusan MK yang keberatan untuk dilaksanakan oleh MA dan Kejaksaan menunjukkan adanya masalah implementasi dalam pelaksanaan putusan MK. Kondisi ini menunjukkan adanya perbedaan antara kaidah, norma (das Sollen) dalam pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang menganut asas Erga Omnes. Sedangkan secara faktual terdapat perbedaan pandangan dari institusi terkait yaitu Kejaksaan dan Mahkamah Agung dalam melaksanakan ketentuan tentang PK (das Sein) terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Peninjauan Kembali yaitu Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013, dimana terdapat kecenderungan putusan MK diabaikan oleh MA dan Kejaksaan. Permasalah implementasi putusan MK seringkali mengalami kesulitan, dan persoalan implementasi putusan MK tersebut setidaknya disebabkan oleh 3 (tiga) hal yaitu: (1) sebagaimana dituangan dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD RI 1945, putusan MK hanya bersifat final akan tetapi tidak disertai kata mengikat sehingga terkadang dipersepsikan tidak mengikat; (2) MK tidak memiliki unit eksekutor yang bertugas menjamin aplikasi putusan final (special enforcement agencies); dan (3) putusan final sangat bergantung pada cabang kekuasaan negara yang lain yakni eksekutif dan legislatif, yaitu kerelaan dan kesadaran untuk melaksanakan putusan. Dari ketiga hal tersebut di atas, tampak jelas bahwa di lapangan, putusan MK sangat rentan dan berpotensi mengalami masalah implementasi. Dalam hal ini, semata-mata menggantungkan pada ketentuan normatif dan imperatif baik dalam UUD 1945, undang-undang MK maupun putusan MK, belumlah cukup menjamin tidak adanya persoalan
dalam implementasi putusan. Ketentuan normatif imperatif mengenai sifat final dan keberlakuan putusan MK tidak serta merta menghilangkan hambatan dalam implementasinya. Sebab dalam kenyataannya, putusan MK tidak akan dapat ditegakkan manakala dipahami sebagai entitas yang berdiri sendiri, terpisah dari interaksinya dengan hal di luar itu. Pengimplementasian putusan MK akan sangat absurd tanpa adanya respon positif dari organ pembentuk undang-undang dan pemerintah pada umumnya. Selama ini kerap kali terjadi kesenjangan dan disparitas antara tahap pembacaan dengan implementasi putusan final di lapangan. Jika persoalan besar ini terus dibiarkan, niscaya putusan Mahkamah Konstitusi hanya akan memiliki kekuatan simbolik yang menghiasi lembaran berita negara. Ke depan, organ Mahkamah Konstitusi sebaiknya tidak sekedar memiliki kewenangan yang besar dalam hal pengujian konstitusionalitas, melainkan juga harus dibekali kewenangan untuk mengawasi putusannya, maksudnya putusan final haruslah disertai dengan judicial order yang diarahkan kepada perorangan ataupun institusi negara. Selanjutnya harus pula diadakan ketentuan formal yang mengatur implementasi putusan final dan mengikat, selain diperkuat dengan adanya kesepakatan kolektif dari lembaga-Iembaga negara dan aktor negara untuk melakukan tindakan koordinatif dan kolaboratif yang mendukung pelaksanaan implementasi dari putusan Mahkamah Konstitusi. Disertai dukungan publik untuk menekan organ-organ negara dalarn melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud. Selain itu, ada pula beberapa Putusan MK lainnya yang menarik untuk diamati. Sesuai dengan ketentuan Pasal 58 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dapat dipahami bahwa apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka putusan tersebut tidak diperbolehkan berlaku surut. Hal ini berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi berlaku ex nunc atau berlaku ke depan, semenjak putusan tersebut diucapkan di depan publik, tidak berlaku ex tunc atau ke belakang/surut.8 Keputusan MK yang tidak dilaksanakan dan diabaikan akan menggerogoti kewibawaan MK sebagai penjaga dan penafsir konstitusi sekaligus menurunkan kepercayaan masyarakat 8
Istilah ex tunc merupakan lawan kata ex nunc. Nunc berarti (sekarang) sedangkan tunc berarti (yang sudah lalu). lstilah lainnya Nunc pro tunc (nowfor then) yang berarti memungkinkan tindakan diambil sesudah tindakan tersebut selesai dilakukan (retroaktif). Lihat Steven H. Gifis. 1991. Law Dictionary, Barron's Educational Series. hlm. 345
terhadap MK. Meski MK tidak memiliki organ untuk untuk melaksanakan eksekusi putusannya, alangkah lebih baik apabila MK melakukan koordinasi secara kelembagaan dengan lembaga atau instansi yang terkait dengan pelaksanaan putusan MK dalam hal ini MA dan Kejaksaan. Apabila terdapat kendala dalam melaksanakan putusan-putusan MK tersebut maka MA dan Kejaksaan dapat berkomunikasi dengan MK untuk mempertanyakan esensi dari isi putusan MK dan bagaimana melaksanakannya berdasarkan kondisi realitas dari MA dan Kejaksaan. Terlepas dari permasaahan internal kelembagaan dalam melaksanakan putusan MK, MA dan Kejaksaan memiliki kewajiban moral untuk melaksanakan dan mematuhi putusan MK sesuai dengan asas erga omnes. Terlebih lagi, pasal 47 Undang-undang Mahkamah Konstitusi telah secara tegas menyatakan bahwa : “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.” Membaca ketentuan ini, maka tentu sudah sangatlah jelas dan dapat dipahami bahwa putusan Mahkamah Konstitusi haruslah mengikat Mahkamah Agung, sebab putusan tersebut tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum. Jika suatu putusan Pengadilan sudah tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum seperti upaya Banding, Kasasi, dan PK tentulah putusan tersebut langsung dapat dieksekusi. Selain itu juga dalam Pasal 53 Undang-undang yang sama ditentukan pula bahwa:9 “Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Ketentuan ini bermaksud agar Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dapat mengetahui bahwa pasal atau Undang-undang yang sedang digunakan untuk mengadili suatu perkara tengah dimohonkan untuk diuji di Mahkamah Konstitusi. Kemudian yang berikut ialah ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menetapkan bahwa : “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undangundang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.” Pasal 55 ini sejatinya memberikan nuansa kepastian hukum dalam penanganan
perkara judicial review oleh
Mahkamah Agung. Pastinya akan sangat tidak efisien jikalau perkara tersebut harus dihentikan prosesnya karena Undang-undang yang menjadi landasan batu uji bagi Mahkamah 9
Lihat Pasal 53 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Agung melakukan judicial review tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Mengatasi masalah ini, maka tepatlah jikalau pembentuk Undang-undang memanifestasikan rumusan kalimat dalam Pasal 55 dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Dapat kita katakan bahwa proses perkara judicial review di Mahkamah Agung harus dihentikan apabila Undangundang yang menjadi landasan batu uji dalam perkara itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sangat
didukung dengan ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi yang menetapkan bahwa : “Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.� Berdasarkan ketentuan Pasal 58 ini, maka jelaslah bahwa Undang-undang Mahkamah Konstitusi telah didesain sedini mungkin untuk mengatasi kekosongan-kekosongan yang mungkin saja terjadi di kemudian hari. Oleh karenanya agak sedikit keliru jikalau dikatakan bahwa Undang-undang Mahkamah Konstitusi tidak mengatur secara rinci tentang eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi dan juga berdasarkan ketentuan-ketentuan normatif ini. Kemudian hal lain yang juga berfungsi sebagai penegasan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung berlaku ialah ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 57 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menentukan bahwa : “Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkanuatu peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan atau ditetapkan�, agar diketahui khalayak layaknya peraturan perundang-undangan yang dapat berlaku mengikat umum apabila peraturan perundang-undangan tersebut diundangkan dalam suatu Lembaran Negara atau diumumkan dalam suatu Berita Negara. Jika Undang-undang saja langsung berlaku ketika dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Berita Negara
Republik Indonesia, maka tentulah putusan Mahkamah Konstitusi juga demikian ketika dimuat di dalam Berita Negara Republik Indonesia. Lagi pula sifat dari undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi itu ialah sama saja, yaitu mengikat umum (erga omnes).
VI. KESIMPULAN
Putusan Mahkamah Konstitusi sejatinya sangat bergantung kepada penerimaan para pihak. Pada perkara pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang, misalnya. Tidak jarang putusan Mahkamah Konstitusi tidak mendapat respon positif dari masyarakat atau pihak terkait. Akhirnya, keadaan kekosongan hukum pun tidak dapat dihindari. Ini
dikarenakan tidak adanya regulasi yang mangatur mengenai kekuatan eksekutorial dari putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itulah, perlu kiranya pemerintah mengatur regulasi khusus mengenai pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai wujud langkah preventif. Sehingga dimasa mendatang, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (final and binding) tidak lagi hanya sekedar putusan di atas kertas, tetapi juga dapat dijalankan secara efektif dalam penerapannya.
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta. Rahardjo, Satjipto, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta. Siahaan, Maruarar, 2005, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta. Siahaan, Maruarar, 2012, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sinar GraďŹ ka, Jakarta. Erga Omnes Definition http://www.duhaime.org/LegalDictionary/E/ErgaOmnes.aspx, diakses pada tanggal 14 Februari 2018.