Legal Opinion Penerapan Hukuman Kebiri di Indonesia Oleh Felula Salma Desfealucy & Valerie Irene Patricia ALSA Local Chapter Universitas Indonesia A. Kasus Posisi (Facts) Pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun, siswi kelas VIII SMP di Kecamatan Padang Ulak Tanding (PUT), Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu terjadi pada tanggal 2 April 2016. Pemerkosaan dilakukan oleh sekelompok laki-laki berjumlah 14 orang. 1 Kasus pemerkosaan yang terjadi terhadap Yuyun menimbulkan urgensi untuk memerangi kekerasan terhadap anak di Indonesia. Hal ini direalisasikan salah satunya melalui pembentukan Perppu 1/2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satu pengaturan baru yang tercantum pada Perppu 1/2016 mengenai tindakan kebiri kimia sebagai pidana tambahan untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Kebiri kimia adalah jenis pengibirian yang menggunakan obat-obatan untuk mengurangi libido atau daya tarik seksual.2 Negara-negara seperti Amerika Serikat, Polandia, Rusia, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Argentina telah memberlakukan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Hukuman kebiri ini akan menyebabkan testis dari laki-laki menjadi tidak berfungsi sebagai reaksi dari obat-obatan kimia. Dampak lainnya yakni mensterilisasi, mengurangi produksi hormon, dan menurunkan libido laki-laki.3 Pro dan kontra terus bermunculan terkait isu pengibirian kimia tersebut. Banyak anggapan muncul yakni hukuman kebiri ini terkesan sebagai tindakan sadis, memperlihatkan kemunduran dalam pola pikir, kuno dan tidak manusiawi. Namun, ternyata penjara dirasa tidak lagi memberikan efek jera oleh para pelaku tindak kekerasan seksual sehingga jumlah kasus kekerasan terhadap anak masih terbilang tinggi bahkan terus mengalami peningkatan tiap tahunnya.4 1Phesi Ester Jukikawati,, Tempo, 2016, Tragedi Yuyun: Misteri Meja Basah & Orangtua Pun Terancam https://m.tempo.co/read/news/2016/05/06/063768792/tragedi-yuyun-misteri-meja-basah-orangtua-pun-terancam diakses pada 25 Juni 2016. 2Peter J. Gimino, III, Mandatory Chemical Castration for Perpetrators of Sex Offenses Against Children: Following California’s Lead, 25 PEPP. L. REV. 67, 74–75 (1997). 3Andy Budiman, DW, 2016, Kebiri Kimia: Kemanusiaan vs Perlindungan Korban http://www.dw.com/id/kebiri-kimia-kemanusiaan-vs-perlindungan-korban/a-16494556 diakses pada 25 Juni 2016.
Pada tahun 2010, Komisi Nasional Perlindungan Anak menerima 2,046 laporan kasus kekerasan terhadap anak, dimana 42% diantaranya merupakan kekerasan seksual. 5 Kemudian pada tahun 2012, jumlah kasus meningkat menjadi 2,637 kasus, dimana 62% diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.6 Angka di atas tidak serta merta mencakup semua kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia. Hingga akhirnya, tahun 2013 ditetapkan menjadi tahun darurat kekerasan seksual terhadap anak. Sejumlah kasus baru-baru ini mendorong pemerintah Indonesia untuk membuat kemajuan yang signifikan dalam melindungi anak-anak Indonesia dari segala bentuk kekerasan. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini yaitu Presiden, memperkenalkan sanksi pidana baru melalui Perppu 1/2016. Pasal 81 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur sanksi pidana bagi mereka yang memiliki niat melakukan tindak pidana atau mencoba memaksa anak-anak untuk melakukan tindakan seksual dengan pelaku. Ancaman tidak hanya berlaku bagi mereka yang memaksa dirinya dengan anak-anak, tetapi juga memaksa anak-anak untuk melakukan hal tersebut dengan orang lain. Namun demikian, prevalensi kekerasan seksual terhadap anak telah menunjukkan kegagalan dalam sistem hukum Indonesia. B. Isu Hukum Meskipun telah terdapat pengaturan yang menunjukan kemajuan dalam melindungi anak-anak Indonesia terhadap segala bentuk kekerasan, terdapat pula prinsip-prinsip hukum konstitusional yang ditinggalkan. C. Dasar Hukum 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 / PUU-VII / 2009 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak D. Analisa Perppu 1/2016 mengintensifkan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual dengan meningkatkan beratnya pidana pokok berupa pidana mati dan pidana seumur hidup. Perppu 4Hukum
Online, 2016, 8 Alasan Komnas Perempuan Tolak Perppu Kebiri, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt569f46225d153/8-alasan-komnas-perempuan-tolak-perppu-kebiri, diakses pada 30 Mei 2016. 5Ibid. 6Soraya Bunga Larasati, 2013, Kejahatan Seksual terhadap Anak Marak di Tahun 2013, https://komnaspa.wordpress.com/2013/07/24/kejahatan-seksual-terhadap-anak-marak-di-tahun-2013/ diakses pada 30 Mei 2016.
tersebut juga mengatur tiga hukuman tambahan yakni kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku kepada publik, dan pemasangan alat deteksi elektronik (chip) pada tubuh pelaku. Kebiri kimia diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 81A Perppu 1/2016. Dalam arti luas, Perppu 1/2016 mengubah dua pasal dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu Pasal 81 dan Pasal 82 serta menambahkan Pasal 81A. Seperti yang tertulis pada Pasal 81 ayat 7, tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik (chip) dapat dilakukan terhadap pelaku yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dijelaskan dalam ayat 4 dan ayat 5. Pada Pasal 81 ayat 3 dijelaskan bahwa terdapat penambahan sepertiga dari ancaman pidana apabila pelaku merupakan orang tua, wali, hubungan keluarga, pendidik, lembaga yang menjembatani komisi perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang. Pada ayat 4 dan 5 diatur mengenai syarat-syarat yang apabila terpenuhi, sanksinya adalah pengebirian kimia. Tertulis juga pada ayat 5, dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Penjabaran lebih lanjut tentang kebiri kimia terdapat pada Pasal 81A. Pertama, tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Kedua, pengebirian kimia harus berada di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial dan kesehatan. Ketiga, pengebirian kimia harus diikuti dengan tindakan rehabilitasi. Keempat, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Dengan catatan, hukuman hanya akan berlaku untuk pelaku yang melakukan kejahatan sejak Perppu ditetapkan. Hukuman tambahan kebiri kimia pada Perppu ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai penerapan hukum, efektivitas hukum, dan keputusan untuk membuat Perppu ini sebagai hukum. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Yasonna Laoly menekankan bahwa tindakan kebiri kimia akan diputuskan berdasarkan pertimbangan hakim, dan karena itu hukuman ini berlaku sebagai hukuman tambahan. 7 Para hakim akan
7Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2016, Menkumham: Perppu Kebiri Otomatis Sudah Berlaku http://setkab.go.id/menkumham-perppu-kebiri-otomatis-sudah-berlaku/ diakses pada 30 Mei 2016.
memberikan putusan berdasarkan pertimbangan yang matang melalui fakta-fakta yang ada, apakah pelaku tersebut sepatutnya dihukum dengan pengebirian kimia. Pada tahun 2012, 100 pelaku kejahatan seksual di Penjara Whatton menjalani hukuman kebiri kimia.8 Riset tersebut menekankan bahwa kebiri kimia memerlukan supervisi yang intensif. Terdapat pandangan bahwa kebiri kimia bukanlah solusi yang definit. Ditinjau dari segi substansi Perppu 1/2016, hukuman kebiri kimia terkesan hanya sebagai pidana tambahan untuk menyakiti pelaku, sehingga hanya berlaku sebagai hukuman yang retributif karena sistem reproduksi hanya merupakan alat untuk melakukan kejahatan. 9 Dr. Ludwig Lowensitein, seorang psikolog, berpendapat bahwa dorongan seksual muncul karena fantasifantasi yang membuat mereka tertarik dengan anak, sehingga pengurangan hormon tidak akan efektif10. Obat yang digunakan dalam pengebirian kimia tidak akan mempengaruhi sikap tersebut dan malah berdampak pada fisik seorang laki-laki yang akan menyerupai perempuan. Selain itu, hukuman kebiri dapat membuat pelaku lebih sulit untuk menyesuaikan diri ke masyarakat. Hal lain yang perlu digaris bawahi adalah hukuman kebiri juga dinilai melanggar hak asasi manusia. Penerapan hukuman kebiri dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku tetapi tidak dapat pula dibenarkan jika dilakukan dengan cara-cara yang melanggar HAM. Meskipun Aliansi 99 dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkategorikan kekerasan seksual terhadap anak sebagai tindak pidana luar biasa 11, namun adanya hukuman kebiri dinilai tidak akan menghilangkan adanya tindak pidana tersebut. Banyak kritik yang kemudian muncul atas terbitnya Perppu 1/2016. Meski jika ditinjau dari segi konstitusional, Perppu 1/2016 menunjukkan berjalannya kekuasaan eksekutif di Indonesia. Ciri dijalankannya kekuasaan eksekutif salah satunya adalah dengan menangani kondisi tertentu dengan adanya urgensi atau yang di dalam konstitusi ditulis sebagai "kegentingan yang memaksa". Tertuang dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yaitu Presiden berhak untuk membuat suatu Perppu atas dasar pertimbangan "kegentingan yang memaksa". Presiden
memiliki
hak
subjektif
dalam
kondisi
konstitusional
abnormal
8Karen
Harrison, 2012, Should Sex Offenders be Chemically Castrated, http://www.theguardian.com/politics/reality-check-with-polly-curtis/2012/mar/13/prisons-and-probationcriminal-justice, diakses pada 28 Juni 2016. 9Joanna H. D’Avella, Note, Death Row for Child Rape? Cruel and Unusual Punishment under the RoperAtkins “Evolving Standards of Decency� Framework, 92 CORNELL L. REV. 129, 131 n.7 (2006). 10Karen Harrison, Op.Cit.
11Elizabeth M. Tullio, Chemical Castration for Child Protectors: Practical, Effective, and Constitutional. Chapman (2010).
(noodverordeningrecht) yaitu untuk bertindak cepat, akurat, dan terukur untuk melindungi keamanan negara. Kedudukan Perppu sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly Ashiddiqie sebagai berikut, “Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perpu)”. 12 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 / PUU-VII / 2009, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan Perppu. Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Kedua, UndangUndang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau Undang-Undang yang dibutuhkan sudah ada namun tidak memadai. Terakhir, kekosongan dalam hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Maka dari itu, dalam menerbitkan Perppu 1/2016 Presiden perlu memerhatikan konsideran dan penjelasan umum mengenai urgensi untuk mengamandemen UU 23/2002. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menegaskan bahwa hukuman kebiri tidak memenuhi syarat untuk dibentuk sebagai Perppu 13. Selain substansi material dari Perppu 1/2016 yang banyak dipertanyakan, pembentukan Perppu dinilai bertolakbelakang dengan prinsip demokrasi karena pembuatan peraturan dilakukan tanpa adanya diskusi diantara Dewan Perwakilan Rakyat. C. Kesimpulan Terlepas dari tidak dipenuhinya syarat “kegentingan yang memaksa” dan pro kontra hukuman kebiri lainnya, bagaimana Perppu 1/2016 ini nantinya akan diterapkan juga masih dipertanyakan. Walaupun hukuman kebiri telah terbukti dapat menurunkan residivisme di beberapa negara, terdapat pandangan bahwa hukuman kebiri merupakan pelangaran terhadap hak asasi manusia. Apabila memang harus diterapkan, terhadap penerapan hukuman kebiri 12Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 209. 13Hukum Online, 2016. 2 Masalah Utama di Balik Wacana
101, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57397e712b73f/2-masalah-utama-di-balik-wacana-perppu-kebiri, diakses pada tanggal 30 Mei 2016.
harus dilaksanakan pengawasan yang intens disertai dengan perawatan psikologis dan kesehatan pelaku karena pengebirian kimia dapat membuat pelaku menderita migrain, batu empedu, pembekuan darah, reaksi alergi dan bahkan keinginan untuk bunuh diri14. Sedangkan tujuan dari penjatuhan hukuman itu sendiri bukanlah untuk menyiksa tetapi untuk memberi efek jera.
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. 2007. Hukum Tata Negara Darurat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 14Karen Harrison, Op.Cit.
Budiman, Andy. DW. 2016. Kebiri Kimia: Kemanusiaan vs Perlindungan Korban. http://www.dw.com/id/kebiri-kimia-kemanusiaan-vs-perlindungan-korban/a16494556. D'Avella, Joanna H. 2006. Death Row for Child Rape? Cruel and Unusual Punishment under the Roper-Atkins "Evolving Standards of Dencency" Framework. Cornell Review. Vol.129: 131. Gimino, Peter J. 1997. Mandatory Chemical Castration for Perpetrators of Sex Offenses Against Children: Following California's Lead. Pepperdine Law Review. Vol.67:7475. Harrison, Karen. 2012. Should Sex Offenders be Chemically Castrated. http://www.theguardian.com/politics/reality-check-with-polly curtis/2012/mar/13/ prisons-and-probation-criminal-justice. Hukum Online. 2016. 2 Masalah Utama di Balik Wacana. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57397e712b73f/2-masalah-utama-dibalik-wacana-perppu-kebiri. Hukum Online. 2016. 8 Alasan Komnas Perempuan Tolak Perppu Kebiri. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt569f46225d153/8-alasan-komnasperempuan-tolak-perppu-kebiri. Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. 2016. Menkumham: Perppu Kebiri Otomatis Sudah Berlaku. http://setkab.go.id/menkumham-perppu-kebiri-otomatissudah-berlaku/. Jukikawati, Phesi Ester. Tempo. 2016. Tragedi Yuyun: Misteri Meja Basah & Orangtua Pun Terancam. https://m.tempo.co/read/news/2016/05/06/063768792/ tragedi-yuyunmisteri-meja-basah-orangtua-pun-terancam. Larasati, Soraya Bunga. 2013. Kejahatan Seksual terhadap Anak Marak di Tahun 2013.https://komnaspa.wordpress.com/2013/07/24/kejahatan-seksual-terhadap-anakmarak-di-tahun-2013/. Tullio, Elizabeth M. 2010. Chemical Castration for Perpetrators of Sex Offenses Against Children: Practical, Effective, and Constitutional. London: Chapman & Hall.