ALSA INDONESIA LEGAL OPINION #1
Polemik PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Oleh: Ferdinandus Credo, Herdika Andre Pradana, Niko Baptista ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada LATAR BELAKANG Bahwa Negara Republik Indonesia telah menjamin hak setiap warga negara yang diakui dan diatur dalam konstitusi Indonesia terkhususnya hak warga negara mengenai memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam rangka pembangunan masyarakat, bangsa dan negara, masing-masing warga negara memiliki beberapa hak, salah satunya adalah hak sipil dan politik. Hak politik tersebut adalah hak dasar dan bersifat mutlak yang melekat di dalam setiap warga Negara yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh Negara dalam keadaan apapun1 dan berkaitan dengan proses pengambilan keputusan yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi dengan memberikan hak pilih pada saat pemilihan berlangsung2 serta hak untuk dipilih yang secara tersirat diatur dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945. Kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia dipegang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diamanahkan langsung dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang kemudian pengaturan mengenai pemilu diatur lebih lanjut melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan segala peraturan turunan maupun peraturan pelaksana yang berkaitan dengan pemilihan umum oleh KPU. Sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri3, KPU memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan pelaksana mengenai bagaimana teknis penyelenggaraan pemilihan umum yang harus didasarkan dengan adanya pendelegasian atau perintah dari undang-undang terkait.
1
“Mengenal Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik�, http://icjr.or.id/mengenal-kovenan-internasionalhak-sipil-dan-politik/, diakses pada 1 Juli 2018. 2 Fuad Fachruddin, 2006, Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama. Pustaka Alvabet. Hlm. 35-36 3 Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagaimana diketahui KPU beberapa waktu yang lalu mengeluarkan sebuah peraturan pelaksana yang cukup menyita perhatian khalayak luas, yakni PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU), yang menjadi sorotan adalah bunyi dari Pasal 7 ayat (1) huruf G yang menyatakan bahwa: “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap” Serta dalam Pasal 7 ayat (1) huruf H PKPU memuat norma baru yang tidak ada dalam UU Pemilu, bunyinya adalah: “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi” Bunyi dari kedua pasal tersebut sangatlah berbeda dari apa yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Pemilu dan sedikit menyimpang dari Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 tertanggal 9 Juli 2015. Hal ini menyebabkan terjadinya suatu pertentangan norma hukum dikarenakan tidak ada kesesuaian antara peraturan pelaksana dan undang-undang diatasnya, sehingga terjadilah suatu kondisi yang dinamakan kaburnya kepastian hukum.
RUMUSAN MASALAH 1. Apakah peraturan pelaksana dalam hal ini PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat norma baru yang berbeda dengan peraturan diatasnya? 2. Dalam hal terjadi pertentangan peraturan pelaksana dan undang-undang diatasnya lembaga manakah yang berwenang untuk menguji?
PERATURAN TERKAIT 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum; 3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (UU MA); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK); 5. PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU); 6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (UU Perundang-undangan); 7. Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015. Kajian Peraturan Pelaksana dapat/tidak dapat memuat norma baru Berdasarkan Pasal 8 UU Perundang-undangan PKPU merupakan peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaanya. PKPU dibentuk berdasarkan kewenangan KPU sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 huruf b UU Pemilu. Sebagai peraturan yang lebih rendah, PKPU harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya yakni UU Pemilu. Pada dasarnya sebuah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dapat memuat norma baru sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila terjadi konflik antara UU Pemilu dengan PKPU maka akan berlaku asas lex superior derogate legi inferior, kalau terjadi konflik antara peraturan yang lebih tinggi dengan yang rendah apabila mengatur materi yang sama4. Pengaturan persyaratan bakal calon DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terdapat dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu berbunyi :
4
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., 2005 “Mengenal Hukum Suatu Pengantar�, Cetakan Kedua, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hlm.94.
â€œâ€Ś diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.â€? Peraturan pelaksana tersebut berbeda dengan UU Pemilu dimana mantan terpidana yang diancam penjara 5 (lima) tahun atau lebih, mantan terpidana bandar narkoba, mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak, dan mantan terpidana korupsi tidak bisa mendaftarkan diri sebagai bakal calon DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Seharusnya persyaratan bakal calon tersebut sedianya merujuk Pasal 240 UU Pemilu dan PKPU tidak boleh bertentangan atau membuat norma baru yang menyimpang dari Pasal 240 UU Pemilu. Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa seseorang yang pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih bisa ikut mengimplementasikan haknya untuk dipilih akan tetapi dengan syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana. Sehingga Pasal 240 UU Pemilu dan Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 telah berkesesuaian. Semstinya Peraturan KPU merujuk terhadap sumber hukum tersebut dan tidak membuat norma baru yang bertentangan dengan sumber hukum lebih tinggi. Lembaga yang berwenang menguji peraturan pelaksana terhadap undang-undang Terdapat dua lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review undang-undang, yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Meskipun memiliki kewenangan yang sama namun domain pengujiannya berbeda. Jika merujuk Pasal 9 ayat (1) UU Perundang-undangan jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, domain dari MK adalah menguji undang-undang yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan domain dari MA berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU Perundang-undangan jo. Pasal 31A ayat (1) UU MA adalah melakukan pengujian peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan undang-undang. Namun, yang menjadi permasalahan adalah hierarki peraturan perundang-undangan5 tidak meletakkan posisi peraturan pelaksana dalam hierarki. Disatu sisi hierarkisitas menjadi problem solving disisi lain menimbulkan masalah yakni siapa yang berwenang menguji peraturan pelaksana jika terdapat aturan yang bertentangan dengan peraturan perundang5
Baca Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
undangan lainnya, karena tidak kejelasan letak hierarkis dari peraturan pelaksana. Untuk mengatasi hal ini, sebenarnya cukup senderhana dan dapat dilihat dari pendelegasian regulasi kepada peraturan pelaksana yang diamanatkan oleh undang-undang induknya. Maka, dapat diketahui bahwa letak hierarki peraturan pelaksana adalah dibawah undang-undang, sehingga menjadi domain dari MA untuk menguji PKPU yang diduga bertentangan dengan UU Pemilu.
KESIMPULAN Dalam pembentukan Undang-Undang wajib memerhatikan asas-asas hukum dengan fungsi sebagai landasan, sehingga tidak melanggar hak-hak esensial tiap individu yang diikat di bawahnya. Penggunaan asas-asas dalam pembentukan Undang-Undang sendiri juga menentukan kedinamisan Undang-Undang tersebut agar tidak mudah tergerus zaman. Dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, terdapat dua asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yakni formil dan materiil. Asas-asas formal meliputi6: 1. het beginsel van duidelijke doelstelling (asas tujuan yang jelas); 2. het baginsel van het juiste orgaan (asas organ/lembaga yang tepat); 3. het noodzakelijkheids beginsel (asas perlunya pengaturan); 4. het beginsel van uitvoerbaarheid (asas dapat dilaksanakan); 5. het beginsel van consensus (asas consensus). Dengan dilanggarnya asas lex superior derogate legi inferior seperti yang telah Penulis paparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa PKPU melanggar salah satu asas yakni asas het beginsel van uitvoerbaarheid (asas dapat dilaksanakan) dimana UndangUndang yang ada melanggar UUD 1945 perihal dapat atau tidaknya mantan terpidana mencalonkan diri menjadi calon Legislatif DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, karena hak politik adalah salah satu hak individu yang hakiki yang dimiliki setiap orang. Asas materiil dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga dilanggar dalam pembentukan PKPU menjadikan Peraturan ini cacat hukum. Berikut asas-asas materiil dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan7:
6 7
I.C. Van der Vlies, 1991 “Handboek wetgeving�, W.EJ. Tjeenk Willink Zwolle, hlm.192 I.C. Van der Vlies, 1991 “Handboek wetgeving�, W.EJ. Tjeenk Willink Zwolle, Op.Cit., hlm.192
1. het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek (asas terminologi dan sistematika yang jelas); 2. het beginsel van de kanbaarheid (asas dapat dikenali); 3. het rechtsgelijkheidsbeginsel (asas perlakuan yang sama dalam hukum); 4. het recht szekerheidsbeginsel (asas kepastian hukum); 5. het beginsel van de individuele rechtsbedeling (asas keadaan hukum sesuai dengan keadaan individual). Asas materiil sendiri adalah asas yang menjadi landasan substansi dari UndangUndang itu sendiri sehingga penggunaannya adalah suatu hal yang absolut karena menyentuh langsung pokok tujuan suatu Undang-Undang dibuat. Sudah sangat jelas dari pembahasan yang Penulis paparkan sebelumnya bahwa PKPU melanggar asas het rechtsgelijkheidsbeginsel (asas perlakuan yang sama dalam hukum) karena hak politik seorang mantan terpidana direnggut dengan tidak bolehnya mencalonkan diri menjadi anggota legislatif sehingga jelas tidak ada perlakuan yang sama dalam hukum.
Hak Buronan mengajukan Praperadilan dalam perspektif SEMA No. 1 Tahun 2018 Oleh: A. Muh. Fiqih Muhfidh Taufik ALSA Local Chapter Universitas Hasanuddin
Sema nomor 1 tahun 2018 tentang larangan pengajuan praperadilan bagi tersangka yang melarikan diri atau buron atau sedang berstatus DPO, mulai diberlakukan sejak disahakan 23 maret 2018. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang di atur dalam peraturan perundang-undangan. Tujuan utama dari praperadilan adalah sebagai mekanisme pengawasan terhadap penegak hukum dalam penggunaan upaya paksa pada prosedur penyidikan dan penuntutan. Fungsi praperadilan adalah sebagai kontrol vertikal eksternal dan internal serta kontrol horizontal antar aparat penyidik dan penuntut umum untuk dapat saling mengajukan permohonan praperadilan. Menurut Yahya Harahap pihak yang berhak mengajukan permintaan Praperadilan adalah: a. Tersangka, keluarganya, atau kuasanya, khusus tentang sah atau tidaknya: penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan. b. Penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan, khusus tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan. c. Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan, khusus tentang penghentian penuntutan. d. Tersangka, ahli warisnya, atau kuasanya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan atas alasan: penangkapan atau penahanan yang tidak sah, penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau
karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan. e. Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti rugi kepada Praperadilan atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan. Objek praperadilan diatur dalam Pasal 77 KUHAP, yang berisi: a) Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: b) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; c) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Perluasan objek praperadilan disematkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu meliputi, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Dalam prakteknya ada beberapa celah yang biasa di gunakan DPO yakni: 1. Status DPO oleh penyidikan, tapi masih bisa mengggunakan Praperadilan untuk menguji upaya paksa; 2. Status DPO di tingkat penuntutan tapi masih bisa menggunakan upaya hukum biasa (banding dan kasasi); 3. Status DPO di tingkat Penuntutan tapi masih bisa menggunakan Upaya Hukum Luar Biasa (PK).
Larangan yang tertera pada SEMA NO. 1 Tahun 2018 tersebut dikeluarkan oleh mahkamah agung didasarkan pada semakin maraknya orang-orang yang telah berstatus buron didalam negeri maupun maupun diluar negeri mengajikan praperadilan. Sebut saja terpidana kasus korupsi E-Ktp, setya novanto. Siapa
sangka mantan ketua DPR RI ini pernah mengajukan praperadilan saat ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya. Sejak penetapan tersebut novanto seringkali absen dalam dan tak kunjung menyerahkan diri, hingga akhirnya kpk memasukkan namanya kedalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan berstatus buronan sejak kamis, 16 november 2017. Kuasa hukum setya novanto sempat mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan, dan diterima oleh PN Jaksel. Meski pada akhirnya hakim kusno menggugurkan gugatan tersebut pada sidang praperadilan (14/12/2017). Kemudian dalam kasus la nyalla mahmud mattalitti yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencucian uang oleh kejati Jawa timur, rabu 13 april 2016. Sejak saat itu dia mulai ditetapkan sebagai buronan internasional. Dan menariknya, la nyalla kembali mengajukan gugatan praperadilan pada senin, 25 april 2016, dan la nyalla dinyatakan bebas dari status tersangka. Mengajukan praperadilan memang merupakan hak bagi setiap orang untuk mempersoalkan
penahanan,
penerbitan
Sp3,
atau
penetapan
tersangka
sebagaimana tertuang dalam pasal 77 Kitab Undang-undang hukum acara pidana (kuhap) dan diperluas oleh putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014. namun pertanyannya kemudian apakah orang-orang yang selalu menghindar dari pemeriksaan hingga saatnya ditetapkan sebagai buronan, berhak mendapatkan hak tersebut? Hal ini justru akan membuat celah hukum di Indonesia bagi para tersangka ataupun para terpidana
untuk kabur terlebih dahulu bebas untuk
memberikan kuasa kpd orang lain guna mengajukan upaya hukum seperti prapredilan. Pemikiran tersebut mulai melahirkan pro dan kontra terhadap SEMA ini. Seperti yang disampaikan oleh salah seorang advokat yang sering menangani kasus-kasus praperadilan, Maqdir Ismail. Menurutnya, "Sema ini sudah membatasi dan mengurangi hak asasi manusia untuk mendapatkan akses keadilan", kata maqdir ismail kepada media hukumonline, pada selasa (3/4/2018).
Maqdir jg berpendapat bahwa dalam praktik hukum dan ketentuan KUHAP, tidak ada kewajiban
hadir dipersidangan bagi seseorang yang mengajukan
praperadilan. Tidak hanya tersangka, bahkan keluarga maupun kuasanya dapat meminta pemeriksaan preperdilan berdasarkan pasal 79 KUHAP. Sehingga maqdir menganggap lahirnya SEMA no. 1 tahun 2018 ini bermaksud menganulir pasal 79 KUHAP tersebut. Pernyataan kontra terhadap sema ini jg dikeluarkan oleh Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafi‟i dia menyampaikan hal itu di Yogyakarta, Minggu (1/4/2018). SEMA yang baru saja dikeluarkan MA itu berisikan tentang Larangan Pengajuan Praperadilan bagi Tersangka yang Melarikan Diri atau Sedang Dalam Status Daftar Pencarian Orang (DPO). Edaran ini menurut MA untuk memberikan kepastian hukum. “Edaran tersebut harus dievaluasi ulang karena melanggar asas praduga tak bersalah atau melanggar hak asasi manusia,” ucapnya kepada Parlementaria. Asas praduga tidak bersalah harus dijunjung tinggi dan sudah merupakan hak tersangka untuk mengajukan itu ke sidang praperadilan walau sedang masuk DPO. “Seseorang berhak mengajukan praperadilan untuk memastikan apakah benar sangkaannya yang diajukan kepadanya,” ucapnya lebih lanjut. Politisi asal Sumut ini pun menambahkan, jika ini benar dilarang, berarti para tersangka yang DPO akan kehilangan kesempatan untuk membuktikan sangkaan yang dituduhkan kepadanya. Syafi‟i mempertanyakan mengapa hukum yang diterapkan penegak hukum cenderung mengabaikan HAM dan hak-hak warga negara. “Seperti tentang Perpu pembubaran ormas yang kemudian dijadikan udangundang. Padahal, ormas tersebut memenuhi persyaratan, namun kemudian dibubarkan tanpa melalui proses peradilan. Ini mengabaikan hak sebagai warga negara,” tekan politisi yang dikenal dengan sapaan Romo ini. Sebagaimana diketahui. SEMA ditandatangani Ketua MA Hatta Ali pada 23 Maret lalu. Hal tersebut untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pengajuan praperadilan bagi tersangka dengan status DPO. MA juga menegaskan
bahwa permohonan praperadilan yang diajukan penasihat hukum atau keluarga tersangka yang buron, permohonannya tetap tidak dapat diterima sekaligus tidak dapat mengajukan upaya hukum lainnya setelah praperadilan ditolak. Tapi bukankah jika seseorang yang ingin mendapatkan haknya untuk mengajukan praperadilan berkewajiban hadir dipersidangan dan tidak melarikan diri? Ini yang patut diperhatikan oleh kita semua. Bagaimana mungkin ketika seseorang yang ingin menuntut haknya tetapi tidak mau melaksakan kewajibannya sebagai seorang tersangka. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa hukum bukanlah alat legitimasi bagi seorang spekulan, karena hukum hanya memberikan perlindungan bagi warga negara yang menunjukkan itikad baik terhadap proses hukum. Jadi seorang buron yang sudah jelas tidak mengindahkan proses hukum, berhak atas upaya hukum itu sungguh kesalahan besar. Sungguh tidak adil, kabur dari proses hukum justru telah menyulitkan aparat penegak hukum menjalankan tugas. Meskipun MA sebelumnya telah membuat pembatasan terhadap buron lewat SEMA no. 6 tahun 1988 yang diperbaharui lewat SEMA no. 1 tahun 2002 tentang pengajuan permohonan peninjauan kembali. Didalam aturan tersebut MA mengharuskan pemohon prinsipal hadir diruang sidang, tak hanya diwakili kuasa hukumnya. Namun surat edaran tersebut dianggap belum terlalu kuat untuk menutup kesempatan bagi para korban atau dpo untuk mengajukan atau menggunakan upaya hukum. Ada 2 muatan pokok yang diatur oleh SEMA no.1 tahun 2018. Pertama, tersangka yang sedang melarikan diri atau dalam status daftar pencarian orang maka tidak dapat diajukan praperadilan. Kedua, jika praperadilan tetap diajukan oleh penasehat hukum maupun keluarganya, maka hakim dapat menjatuhkan putusan putusan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard). Adapun menurut arsil, seorang peneliti pada lembaga advokasi dan independensi peradilan (LeIP), jangan sampai berlakunya SEMA tersebut malah merugikan orang-orang yang tidak melarikan diri. Jangan sampai yang sasaran
sebetulnya mencegah orang yang sedang melarikan diri melakukan praperadilan justru menghindari itu karena ada celah. Dan perlu dipertimbangkan juga mengenai tercapainya kepastian hukum, dimana saat sedang melarikan diri atau berstatus dpo, ketika gugatan praperadilan gagal atau kalah atau ditolak hakim pengadilan, adakah yangbisa menjamin bahwa seorang buron/ tersangka tidak akan tetap bersembunyi tanpa kau menghadapi proses hukum dan penghukuman bagaikan seorang pengecut yang tidak berhak atas keistimewaan dari hukum maupun peradilan. Bagi beberapa kalangan advokat, terbitnya SEMA No. 1/2018 juga tidak diterima secara positif. Menurut Luhut M.P. Pangaribuan, seorang advokat senior dan juga Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) SEMA tersebut tidak menempatkan advokat sebagai penegak hukum. Hal ini dikarenakan keberlakuan SEMA tersebut seakan menggambarkan citra advokat yang diidentikan dengan kliennya, dimana apabila klien beritikad buruk, maka hal teersebut menggambarkan bahwa advokat juga itikad buruk. Sehingga menurut Luhut, di dalam SEMA tersebut perlu dipisahkan antara klien dengan advokat. Memang benar bahwa seorang advokat tidak dapat diidentikan dengan kliennya. Namun disisi lain perlu dicermati adalah dalam melakukan pemeriksaan, aparat penegak hukum yang bertindak sebagai penyidik akan berpegang pada persumption of guilt (praduga bersalah). Hal tersebut mengakibatkan akan menimbulkan pemikiran bahwa penasehat hukum secara sengaja membantu menyembunyikan tersangka. Sehingga penasehat hukum tersebut dapat dijerat dengan Pasal 221 KUHP (obstruction of justice). Pengenaan obstruction of justice terhadap advokat bukanlah hal yang baru. Terakhir yang mendapat perhatian masyarakat umum adalah kasus dari Fredrich Yunadi. Fredrich Yunadi yang sebelumnya merupakan penasehat hukum dari Setya Novanto dikenakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Pasal 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Dimana Fredrich diduga
melakukan rekayasa kecelakaan mobil dari Setya Novanto guna menghindari pemanggilan pemeriksaan oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Pengadilan mengenal penegakan hukum tanpa kehadiran terdakawa (in absentia) dalampemeriksaan perkara. Menurut Abdu Rahman Saleh, mantan Jaksa Agung konsep in absentiaadalah konsep di mana terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sehingga pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran terdakwa. Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1988 tentang Penasehat Hukum atau Pengacara yang Menerima Kuasa dari Terdakwa/Terpidana "In Absentia" memerintahkan hakim untuk menolak penasihat hukum/pengacara yang mendapat kuasa dari terdakwa yang sengaja tidak mau hadir dalam pemeriksaan pengadilan sehingga dapat menghambat jalannya pemeriksaan pengadilan dan pelaksanaan putusannya. Persoalan yang akan timbul dari pengajuan permohonan praperadilan oleh penasehat hukum adalah terkait keabsahan surat kuasa. Hal tersebut akan menjadi pertanyaan apabila seorang penasehat hukum mampu mengajukan praperadilan sedangkan keberadaan yang memberi kuasa masih belum diketahui. Hal ini tentunya menjadi suatu indikasi bahwa penasehat hukum secara sengaja menyembunyikan kliennya. Sehingga kami menganggap bahwa larangan terhadap penasehat hukum untuk mengajukan praperadilan guna kepentingan kliennya yang berstatus DPO sudah tepat. Hal ini disebabkan untuk mencegah perluasan dari sebuah kasus yang ditangani. Andaikata, penasehat hukumtersebut tidak terlibat terhadap pelarian dari kliennya yang beritikad buruk, akan tetapi polisi atau penegak hukum lainnya akan tetap beranggapan bahwa tersangka yang berstatus DPO tersebut “disembunyikan� oleh penasehat hukumnya.Oleh karena itu sebagai upaya prefentif terhadap upaya-upaya hukum yang rentan terhadap obstruction of justice keberlakuan SEMA No. 1/2018 menjadi hal yang positif.
Dan juga tidak sedikit masyarakat yang menganggap bahwa penerbitan Surat Edaran (SE) Nomor 1 Tahun 2018 tentang larangan pengajuan praperadilan bagi tersangka yang melarikan diri atau sedang dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) berkaitan dengan kasus dugaan dugaan chat porno yang menyeret nama Rizieq Syihab. Namun, hal itu kemudian dibantah oleh Mahkamah Agung
(MA). Melalui
Juru Bicara MA , Suhadi, menegaskan penerbitan SE tersebut tidak berkaitan dengan kasus tertentu , termasuk kasus Rizieq. Menurut dia, penerbitan surat itu semata-mata dilandasi pertimbangan kekosongan hukum. Suhadi menuturkan, surat edaran serupa pernah dikeluarkan MA pada 2012 lalu. Kala itu, MA menerbitkan SE mengenai larangan DPO mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK). Karenanya, Suhadi menegaskan penerbitan SE kali ini tidak berkaitan dengan kasus tertentu. "2012 sudah dikeluarkan SE sejenis tetapi untuk PK. Jadi orang melarikan diri tidak diperkenankan mengajukan PK dalam arti bahwa PK harus datang yang bersangkutan. Sampai sekarang masih berlaku," jelasnya. "Kalau untuk praperadilan, kalau dia mau upaya hukum ya jangan melarikan diri menghindari hukum," sambung Suhadi. Kesimpulan: 1.
Diterbitkannya SEMA No. 1/2018 ini menjadi langkah yang dalam menghadapi celah hukum yang sering dimanfaatkan tersangka berstatus
DPO untuk
menghindari kewajiban
hukumnya dan justru menuntut haknya dalam hal mengajukan praperadilan, serta demi tercapainya kepastian hukum; 2.
SEMA No. 1/2018 juga mampu mencegah upaya-upaya pembelaan hukum yang mengarah ke obstruction of justice.
Daftar pustaka Didik Endro Purwoleksono, „Pihak Ketiga Dalam Proses Praperadilan‟, Yuridika Vol. 15, 2000, h. 20. Didik Endro Purwoleksono, Hukum Acara Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, 2015, h. 85. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, h. 8-10. Sovia Hasanah, “Larangan Praperadilan Bagi Tersangka yang Masuk Daftar Pencarian Orang (DPO)”, www.hukumonlie.com, 10 April 2018, dikunjungi pada tanggal 15 April 2018. Redaksi, „DPO Tidak Boleh Ajukan Pra-Peradilan Dan PK‟, Rmlo.co (online), http://www.rmol.co/read/2016/06/29/251667/DPO-Tidak-Boleh-Ajukan-Pra-Peradilan-DanPK-, dikunjungi pada tanggal 16 April 2018. Aida Mardatillah, “Kalangan Advokat „Protes‟ Larangan Tersangka DPO Ajukan Praperadilan”, www.hukumonline.com, 4 April 2018, dikunjungi pada tanggal 16 April 2018 Redaksi, „Fredrich Yunadi dan dr Bimanesh Dijerat Pasal Obstruction of Justice‟, Kabar3.com
(online),
http://m.kabar3.com/detail/5173/fredrich-yunadi-dan-dr-bimanesh-
dijerat-pasal-obstruction-of-justice, dikunjungi pada tanggal 15 April 2018. Abdul Rachman Saleh, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz, Kompas, Jakarta, 2008, h. 208.
Legalitas Penunjukan Anggota Polri Sebagai PJ Gubernur yang Dapat Cederai Reformasi dan Konstitusi Oleh : Indra Wahyu Maulana, Nikita Yuni Lestari, Anneke Kevin Setiawan ALSA Local Chapter Universitas Jember
A. Pendahuluan Indonesia merupakan Negara yang menerapkan asas otonomi daerah sebagai langkah untuk mengoptimalkan pembangunan dan kesejahteraan daerah. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, baik pemerintah di tingkat pusat, pemerintah tingkat daerah provinsi, dan juga pemerintah tingkat kabupaten/kota saling bersinergi dan mengawal jalannya pemerintahan. Check and Balances antar tingkatan pemerintahan secara vertikal maupun lembaga pemerintahan secara horizontal juga dilakukan untuk selalu memperbaiki kinerja dan pelayanan yang diberikan pemerintah. Kepala Daerah Propinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah1. Gubernur sebagai kepala daerah tingkat provinsi merupakan salah satu perangkat pemerintah yang memiliki andil penting dalam system pemerintahan di suatu daerah. Secara konstitusional, diatur dalam Undang_undang Dasar NRI 1945
bahwa gubernur sebagai kepala derah tingkat
provinsi dipilih secara demokratis dan berarti gubernur dipilih oleh rakyat melalui system pemilihan umum. Dalam menjalankan tugasnya, gubernur menjabat selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan2. Dalam praktiknya seorang gubernur dan wakil gubernur dapat mengajukan cuti di akhir masa jabatannya mana kala petahana yang dalam hal ini di sebut gubernur dan wakil gubernur akan maju kembali dalam pemilihan umum. Komisioner Divisi Teknis KPU Jawa Barat, Endun Abdul Haq mengatakan, bahwa cuti tersebut diluar tanggungan negara dan diajukan ke instansi yang mengangkatnya. Jika gubernur dan wakil gubernur harus mengajukan 1
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 162 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang. 2
cuti kepada Mendagri, sedangkan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota megajukan cuti ke gubernur3. Mengenai jangka waktu cuti yang diajukan oleh gubernur, bahwasanya telah di atur secara jelas pada saat gubernur akan mencalonkan diri pada pilkada yang akan datang maka seorang gubernur harus melakukan pengajuan cuti selama 129 hari atau selama masa kampanye. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Mendagri akan melantik wakil gubernur untuk menggantikan gubernur sebagai kepala daerah tingkat provinsi. Hal berbeda akan terjadi disaat gubernur dan wakil gubernur sama-sama mengajukan cuti untuk mencalonkan diri pada pilkada selanjutnya, dalam kasus ini untuk mengisi kekosongan kekuasaan Mendagri akan mengangkat Penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan4. Hal tersebut memberikan batasan secara tegas siapa saja yang dapat mengisi kekosongan kekuasaan di tingkat provinsi.
Dasar Hukum 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017. 8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara.
3
â&#x20AC;&#x2DC;KPU Ingatkan Kandidat Pilkada 2018 Terkait Pengajuan Cutiâ&#x20AC;&#x2122; (Pikiran Rakyat, 19 December 2017) <http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2017/12/19/kpu-ingatkan-kandidat-pilkada-2018-terkaitpengajuan-cuti-416198> accessed 14 July 2018. 4 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang.
B. Tujuan Penulisan Tulisan ini bertujuan untuk memberikan alasan mengenai kekhawatiran atas ditunjuknya Polri sebagai PJ Gubernur untuk menghentikan lahirnya Dwi Fungsi ABRI serta mengehentikan tindakan inkonstitusi sebagai wujud pengawalan konstitusi di Era Reformasi.
C. Pembahasan Dilantiknya dua anggota polri sebagai Penjabat Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara sempat menjadi topic hangat di masyarakat dan sejumlah pengamat hukum. Kementrian Dalam Negeri pada saat itu sempat memberikan wacana mengenai pengangkatan keduanya menjadi PJ Gubernur selama masa kampanye menjelang Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 20185. Hal seperti ini sebenarnya tidak asing terjadi di Indonesia, sebelumnya Penempatan anggota TNI/Polri sebagai Penjabat Gubernur sendiri sudah terjadi di beberapa daerah , Aceh yang dipimpin sementara waktu oleh seorang Mayjen TNI dan di Sulawesi Barat yang dipimpin sementara oleh perwira tinggi Polri6. Adapun yang menjadi permasalahan pertama dalam konteks ini adalah mengapa Iriawan yang notabene masih berstatus sebagai perwira aktif polisi yang justru diangkat oleh Menteri Dalam Negeri? Padahal pengangkatan tersebut memicu kekhawatiran dalam benak masyarakat yakni dapat menumbuhkembangkan kembali dwi fungsi ABRI yang pada saat itu pernah ada di Era Orde Baru. Dihapuskannya Dwi Fungsi ABRI7 pada saat itu tidak hanya langkah dari pemerintah untuk memisahkan kekuasaan TNI sebagai alat pertahanan Negara dan Polri sebagai Alat untuk menjaga keamanan Negara tapi juga untuk menjaga netralitas kedua lembaga tersebut. Hal ini menjadi sangat penting mengingat keduanya berfungsi sebagai lembaga yang menjaga perdamaian dan konsistensi nasional harus memprioritaskan 5
Kompas Cyber Media, ‘Tunjuk Petinggi Polri Jadi Penjabat Gubernur, Mendagri Siap Diberi Sanksi’ (KOMPAS.com, 28 January 2018) <https://nasional.kompas.com/read/2018/01/28/08103841/tunjuk-petinggipolri-jadi-penjabat-gubernur-mendagri-siap-diberi-sanksi> accessed 15 July 2018. 6 Fransica Adelina and Universitas Bung Karno, ‘LEGALITAS PENUNJUKAN PEJABAT POLRI MENJADI PELAKSANA TUGAS GUBERNUR PADA MASA KAMPANYE PEMILIHAN KEPALA DAERAH’ (2018) 15 10. 7 Dede Wahyu Firdaus, ‘KEBIJAKAN DWIFUNGSI ABRI DALAM PERLUASAN PERAN MILITER DI BIDANG SOSIALPOLITIK TAHUN 1966-1998’ 13.: Dwi fungsi ABRI adalah ABRI tidak hanya sebagai alat untuk menjaga stabilitas nasional tapi juga berperan aktif dalam hal-hal bersifat non-hamkam (ekonomi, social dan politik).
kepentingan rakyat dan Negara di atas kepentingan lainnya. Dengan terpilihnya anggota Polri sebagai Gubernur akan menimbulkan tanda tanya dalam masyarakat mengenai indepensinya. Mengingat jabatan sebagai Gubernur syarat akan kepentingan politik, sedangkan tugas dan wewenang Polri sangat berbanding terbalik dengan kewajiban Gubernur sebagai kepala daerah. Hal yang demikian telah tersirat dalam konstitusi Negara Republik Indonesia8 yang telah mengatur dengan jelas bahwa aparat kepolisian hanya bertugas diluar garis politik praktis karena tugasnya yang netral sebagai pelindung, pengayom, pelayan dan penegak hukum, bukan sebagai pelaku perpolitikan. Wacana mengenai pelantikan tersebut di atas memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Pasalnya diangkatnya anggota Polri sebagai PJ Gubernur juga dirasa inskonstitusional9. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya akan disebut UU ASN bahwasanya TNI dan Polri memang bisa menduduki jabatan Aparatur Sipil Negara. Sedangkan jabatan pimpinan tinggi yang selama ini menjadi satu-satunya jabatan yang bisa mengisi kursi PJ Gubernur adalah sekelompok jabatan tinggi pada instansi pemerintah yang juga merupakan pegawai ASN yang menduduki jabatan pimpinan tinggi10. Itulah yang menjadi dasar anggota Polri masuk ke dalam golongan Pejabat Tinggi Madya. Namun dijelaskan juga bahwa jabatan yang diisi oleh anggota TNI atau Polri adalah jabatan tertentu di lingkup instansi pusat atau yang telah diatur dalan Undang-Undang TNI dan Polri. Jabatan tertentu tersebut terlebih dahulu telah dijelaskan dalam Undang-Undang ASN yang kemudian dijabarkan dalam PP Nomor 11 Tahun 201711. Selain itu aturan yang dijadikan dasar pegangkatan anggota Polri sebagai PJ Gubernur adalah Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara yang berbunyi "Penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat atau pemerintah daerah provinsi". Kata „setingkat‟ di sini akan menimbulkan multitafsir 8
Selengkapnya lihat Pasal 30 ayat ( 4 ) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal 147 Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017: “Jabatan ASN tertentu di lingkungan instansi pusat tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.” 10 Selengkapnya lihat dalam Pasal 1 bagian ke 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 11 Pasal 148 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017: “Jabatan ASN tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di instansi pusat dan sesuai dengan Undang-undang TNI dan Undang-undang Polri.” 9
dimana keseluruhan anggota Polri dapat menjadi PJ Gubernur sekaligus mencederai isi dari UU ASN yang mengatur syarat-syarat anggota Polri dapat menduduki jabatan pimpinan tinggi madya. Fakta ini menjadi penguat argumen masyarakat bahwa diangkatnya anggota Polri sebagai PJ Gubernur melawan konstitusi yang ada. Dalam Undang â&#x20AC;&#x201C; Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia saja misalnya, terdapat pasal yang melarang petugas polisi aktif mengisi jabatan di luar kepolisian dan melarang petugas polisi aktif terlibat politik praktis.12 Pemerintah berdalih, Iriawan sudah menjabat sebagai sekretaris utama Lembaga Ketahanan Nasional saat ditunjuk mengisi jabatan PJ Gubernur Jabar. Namun, sejauh ini Iriawan belum pensiun atau mengundurkan diri dari kepolisian. Status itu yang membuat para pengkritik yang terdiri dari pengamat hukum dan akademisi menilai penunjukan Iriawan tak bisa disamakan dengan penunjukan sejumlah perwira TNI pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tak lagi aktif di TNI saat ditunjuk sebagai PJ Gubernur.13 Apabila semakin banyaknya anggota Polri yang menjabat dalam jajaran pemerintahan dalam negeri, maka wibawa dan kredibilitas Polri akan dipertanyakan. Hal ini dapat menciptakan celah untuk memasukkan unsur kepentingan di dalam tubuh Polri.
Kemudian kondisi tersebut juga akan membuka kemungkinan
munculnya peraturan-peraturan baik dari pemerintah maupun Mendagri yang membuat instansi Kepolisian Daerah terkesan berada di bawah Kementerian Dalam Negeri.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Bahwa penunjukan anggota Polri sebagai PJ Gubernur dirasa kurang tepat mengingat keputusan tersebut tidak hanya mencederai semangat reformasi tetapi juga mengingkari regulasi terkait. 2. Penunjukan tersebut juga akan berakibat buruk pada citra Polri sebagai lembaga yang independen. 3. Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri juga akan berakibat fatal mengingat posisi Polri dan TNI yang sangat krusial dalam negeri. 12
Lihat Undang â&#x20AC;&#x201C; Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Debbie Sutrisno, â&#x20AC;&#x2DC;Lempar-Lemparan Tanggung Jawab Pelantikan Pj Gubernur Jabarâ&#x20AC;&#x2122; Republika Online (22 June 2018) <https://republika.co.id/share/paox1x440> accessed 27 June 2018. 13
4. Kredibilitas anggota Polri sebagai Penjabat Gubernur dapat dipertanyakan mengingat jabatan sebagai anggota Polri dan Gubernur sangat berbanding terbalik. 5. Diperlukannya pengkajian ulang Permendagri Nomor 11 Tahun 2018 mengingat terdapat adanya tumpang tindih dengan regulasi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara. „KPU Ingatkan Kandidat Pilkada 2018 Terkait Pengajuan Cuti‟ (Pikiran Rakyat, 19 December 2017) <http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2017/12/19/kpuingatkan-kandidat-pilkada-2018-terkait-pengajuan-cuti-416198> accessed 14 July 2018. Dede Wahyu Firdaus, „KEBIJAKAN DWIFUNGSI ABRI DALAM PERLUASAN PERAN MILITER DI BIDANG SOSIAL-POLITIK TAHUN 1966-1998‟ Debbie Sutrisno, „Lempar-Lemparan Tanggung Jawab Pelantikan Pj Gubernur Jabar‟ Republika Online (22 June 2018) <https://republika.co.id/share/paox1x440> accessed 27 June 2018.
Urgensi Penyelenggaraan Pilkada Serentak: Masa Depan Efektivitas dan Netralitas Demokrasi Oleh: Shafira S. â&#x20AC;&#x201C; Nabila E. â&#x20AC;&#x201C; Anita K. ALSA Local Chapter Universitas Padjadjaran Pembuka (Pendahuluan) Indonesia merupakan salah satu negara Republik yang menjalankan sistem pemerintahannya dengan prinsip demokrasi. Penerapan demokrasi tersebut mengedepankan asas kedaulatan rakyat yang dikenal dengan semboyan â&#x20AC;&#x153;dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyatâ&#x20AC;?. Hal tersebut terimplementasi dengan mengikutsertakan rakyat sebagai partisipan langsung dalam hal berjalannya pemerintahan yang digerakan oleh suatu negara, yang mana dikenal sebagai Direct Democracy (Demokrasi Langsung) sebagaimana yang pernah diterapkan oleh Negara Kota (Polis) di Yunani. Pemilihan langsung ini ditujukan agar rakyat dapat memilih pemimpinnya secara langsung dan menghindari adanya intervensi dari pihak manapun yang dapat mengganggu keputusannya dalam menentukan pilihannya. Seperti halnya yang dipraktikan dalam setiap daerah seperti provinsi, kabupaten, dan kota, hadirnya pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi representatif dari Direct Democracy ini. Telah diketahui bersama bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mendapatkan amanatnya dari Undang-Undang Dasar 1945. Pelaksanaan pemilihan dilakukan secara profesional oleh KPU sebagai tonggak tunggal dalam mewujudkan praktik Direct Democracy ini. Akan tetapi, seiring berjalannya pilkada tak jarang ditemukan adanya intervensi dari pihak luar yang mengganggu berjalannya masa pemilihan umum. Sebagaimana yang disampaikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam Konferensi Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat dari Partai Demokrat di Hotel Santika, Bogor pada tanggal 23 Juni 2018 lalu, adanya oknum dari Badan Intelijen Negara (BIN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian yang mengganggu kenetralan pilkada. Salah satunya, calon dari partai Demokrat diminta untuk memasukkan pejabat kepolisian menjadi wakil dalam pencalonan untuk kepentingan tertentu. Adanya permasalahan tersebut, menyebabkan timbulnya pertanyaan terkait keterlibatan antar lembaga negara dalam pembagian kekuasaan suatu negara. Sudah jelas bahwa dalam menjalankan suatu pemerintahan negara terwujud dengan bergeraknya lembaga-lembaga negara. Setiap lembaga negara yang terdiri atas Main State Organ, Auxiliary Organ, dan
sebagainya memiliki tugas masing-masing yang mana telah ditegaskan dalam teori pembagian kekuasaan yang disampaikan oleh Montesquieu. Pembagian kekuasaan ini terdiri atas cabang legislatif, eksekutif, dan yudikatif menjalankan yurisdiksinya masing-masing sehingga tidak dimungkinkan adanya campur tangan dari tiap cabang kekuasaan.
Isi (Batang Tubuh) Berdasar pada uraian diatas, perlu disimak kembali dalam Pasal 22E ayat (5) UndangUndang Dasar 1945 (sebagaimana ditegaskan kembali dalam Pasal 1 ayat (7) UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum) telah menyebutkan, bahwasanya: “pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri” Dimana di dalam ayat-1 nya disebutkan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dari kedua ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum haruslah dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mandiri. Hal tersebut kembali ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bahwa KPU sebagai badan penyelenggara pemilihan umum bebas dari pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Adanya frasa “bebas dari pengaruh pihak manapun” berkaitan dengan teori pemisahan kekuasaan (Separation of Power) yang telah tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca Amandemen. Perlu ditegaskan kembali bahwa teori pemisahan kekuasaan memiliki hubungan yang erat dengan macam-macam lembaga negara itu sendiri. Bagir Manan melalui bukunya Pembaharuan Lembaga-Lembaga Negara dalam UUD 1945-Baru, 2007 menyampaikan bahwa pembagian lembaga negara jika dilihat dari fungsinya terdiri dari lembaga negara yang menjalankan fungsi ketatanegaraan, baik secara langsung maupun tidak langsung (juga dikenal sebagai Main State Organ), lembaga negara yang menjalankan fungsi administratif, lembaga negara “auxiliary” atau Auxiliary Organ, dan Lembaga Negara ad hoc.
Ditinjau dari teori lembaga negara yang telah dipaparkan, KPU merupakan lembaga negara yang menjalankan fungsi administratif. Hal ini terwujud dalam UUD 1945 yang menyebutkan KPU melaksanakan pemilihan umum. Akan tetapi jika dilihat dari makna ataupun pengertian organ negara, KPU bukanlah organ negara, melainkan lembaga negara yang menjalankan fungsi administratif. Selanjutnya, menurut survei evaluasi satu tahun kinerja penyelenggara pemilu yang diadakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil, dengan pernyataan â&#x20AC;&#x153;Penyelenggara pemilu apakah sudah bebas intervensi dari partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Pemerintah dalam pengambilan keputusanâ&#x20AC;? kepada responden. Hasilnya adalah 58% tidak setuju untuk Komisi Pemilihan Umum dan 47% tidak setuju untuk Badan Pengawas Pemilu. Dari hasil survei diatas menyimpulkan bahwa sebagian besar responden dari evaluasi tersebut menilai KPU dan Bawaslu selama ini belum benar-benar bebas dari intervensi partai politik, DPR, dan pemerintah, terutama terkait dengan verifikasi partai peserta pemilu 2019. Terkait aspek kemandirian dari KPU dan Bawaslu pun, terdapat keraguan pada penyelenggara pemilu dan hal ini dicontohkan pada saat pengambilan keputusan dan penyusunan peraturan tentang pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta pemilu. KPU juga dianggap belum cukup baik dalam memberikan pelayanan yang adil dan setara dalam proses verifikasi partai politik calon peserta pemilu. Dapat dilihat dari partai yang diterima secara langsung oleh anggota KPU tetapi terdapat pula yang hanya diterima oleh staf penyelenggara pemilu. Dari hasil survey evaluasi kinerja penyelenggara pemilu ini dapat menjadi cermin bagi penyelenggara pemilihan kedepannya. Kemandirian KPU dan Bawaslu dipertanyakan sejak perubahan kebijakan KPU terhadap metode verifikasi partai politik calon peserta pemilu pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Lalu soal LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) yang dulu mesti diserahkan di awal, tetapi sekarang hanya sebagai syarat pemenuhan untuk syarat keterpilihan. Setelah itu ada pula larangan napi korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif yang pada kasus ini KPU firm pada posisinya. Pemilihan umum yang dilakukan secara langsung dilakukan oleh masyarakat merupakan salah satu bentuk untuk mewujudkan Direct Democracy dan sebagai upaya untuk
menghindari adanya intervensi dari pihak lain yang sama halnya untuk pemilihan kepala daerah (pilkada). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah menjelaskan mengenai tugas dan wewenang dari masing-masing lembaga agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugasnya. Pada kenyataannya, masih timbul permasalahan tentang intervensi yang dilakukan oleh pihak lain dalam pelaksanaan pemilihan umum yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga negara yang menjalankan fungsi administratif, yaitu KPU. Menurut hasil survei, partai politik, DPR, dan Pemerintah dalam pengambilan keputusan masih melakukan intervensi terhadap KPU maupun Bawaslu, yang pada dasarnya merupakan lembaga yang bersifat mandiri dan harus bebas dari intervensi pihak lain. KPU masih dianggap belum adil sebagai penyelenggara pemilu yang pada akhirnya sifat kemandirian dari KPU maupun Bawaslu masih dipertanyakan.
Penutup (Kesimpulan) Seharusnya, setiap lembaga yang telah diberikan tugas dan wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana mestinya, dan dilarang untuk melakukan intervensi terhadap lembaga lain. Kinerja dari anggota KPU maupun Bawaslu perlu lebih ditingkatkan agar dapat memberi pelayanan yang lebih adil dan setara dalam pelaksanaan pemilihan umum. Kemudian, tindakan lanjut seperti peringatan dan pemberian sanksi tegas terhadap pihak-pihak yang mengintervensi suatu lembaga yang tidak berada di dalam ranahnya sangat diperlukan agar tidak menjadi masalah yang semakin rumit di kemudian hari. Pemerintah diharapkan dapat membentuk suatu peraturan mengenai sanksi yang nyata untuk para pihak yang mengintervensi lembaga lain, karena dengan adanya sanksi nyata bagi setiap pelanggar, akan menciptakan efektivitas dalam mewujudkan netralitas berdemokrasi.