AILO II 2017/2018: ALSA LC UGM "Antara DIskriminasi Atau Proteksi Tanah di DIY"

Page 1

ANTARA DISKRIMINASI ATAU PROTEKSI TANAH DI DIY Oleh: Dimas Purna Adi Siswa, Ichsan NM Salim ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada A. Latar Belakang Indonesia mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa yang diatur oleh undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945). Daerah Istimewa Yogyakarta sejak proklamasi telah bergabung dengan Republik Indonesia atas prakarsa Sultan Hamengkubuwono IX dengan jaminan hak asal-usul nya diakui. Diawali dengan amanat bersama antara Sultan Hamengkubuwono IX dan Adipati Paku Alam VIII lalu dilegalisasi dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. yang lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 (UUK DIY). UUK DIY mengatur 3 hal pokok salah satunya yaitu adanya kewenangan khusus bagi DIY, yang mencakup kewenangan pertanahan. Terkait kewenangan pertanahan, di seluruh wilayah DIY terdapat tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten. Pada tahun 1975, Kepala Daerah DIY (Gubernur DIY) Sultan Hamengku Buwono IX sedang menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Sehingga Wakil Kepala Daerah Paku Alam VIII yang menjalankan tugas dan wewenang sebagai Kepala Daerah. Melihat kondisi dan sejarah WNI-nonpribumi yang kuat secara ekonomi sedangkan masyarakat WNI pribumi yang kondisi ekonominya rendah serta guna melindungi tanah keraton yang terlanjur diberikan kepada pribumi. Hal-hal tersebutlah yang melatarbelakangi Adipati Paku Alam VIII

saat itu

mengeluarkan Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 yang merupakan aturan lanjutan dari Undang-Undang No.3 Tahun 1950 dan masih dipertahankan sampai saat ini. Instruksi tersebut berisi larangan bagi WNI keturunan atau nonpribumi untuk memiliki hak milik di DIY. Tetapi pengertian WNI non-pribumi tidak dijelaskan secara tegas oleh pemerintah DIY. Bahkan dalam konstitusi NRI tidak mengenal adanya penggolongan WNI pribumi atau non-pribumi. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa :


“Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.�. Hal ini kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dalam pertimbangan undang-undang tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa segala tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilainilai Pancasila, UUD NRI 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Merujuk ketentuan tersebut menyatakan dengan tegas bahwa negara ingin menciptakan kehidupan yang non-diskriminatif, sehingga Warga Negara Indonesia diberikan perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan di dalam hukum. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Kajian Yuridis Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 dalam UU No. 12 Tahun 2011? 2. Bagaimana penerapan aturan penggunaan hak milik di DIY bagi WNI non-pribumi? C. Pembahasan Kajian Yuridis Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 Keistimewan DIY dalam bidang pertanahan dibuktikan dengan adanya Instruksi Wakil Kepala Daerah No. K 898/I/A/1975 yang merupakan aturan lanjutan dari UUK DIY tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang WNI non-Pribumi. walaupun DIY telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) sejak tahun 1984, melalui Keputusan Presiden No.33 Tahun 1894 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY. Kemudian ditindak lanjuti oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di Propinsi DIY. Namun instruksi tersebut masih berlaku hingga saat ini. Hal ini kemudian menimbulkan pluralitas hukum di DIY. WNI nonPribumi menganggap hal ini adalah ketidakadilan. Sehingga menjadi konflik diantara WNI nonPribumi dan pemerintah setempat. Merujuk pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mengemukakan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mencakup peraturan yang ditetapkan oleh salah satunya Kepala Daerah dimana seorang Kepala Daerah dapat mengeluarkan sebuah instruksi.


Secara kacamata yuridis normatif maka disimpulkan bahwa Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 bertentangan dan tidak sesuai dengan sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia dan dapat dengan mudah dicabut. Tetapi Instruksi gubernur merupakan bentuk dari peraturan kebijakan (beleidsregelings). Secara yuridis normatif peraturan kebijakan bukanlah termasuk suatu peraturan perundang- undangan. Instruksi merupakan “policy rules” atau “beleidsregels”, yaitu bentuk peraturan kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang biasa1. Disebut “policy” atau “beleids” atau kebijakan karena secara formal memang bukan berbentuk peraturan yang resmi2. Umpamanya, surat edaran dari seorang Menteri yang ditujukan kepada seluruh jajaran pegawai negeri sipil yang berada dalam lingkup tanggung jawabnya, dapat dituangkan dalam surat biasa, bukan berbentuk peraturan resmi. lebih lanjut Bagir Manan mengemukakan bahwa beleidsregel bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Bahkan diperkuat dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 13 P/ HUM/ 2015 yang pada amar putusannya menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan mengandung cacat formil dan dalam pertimbangannya Instruksi Waklil Kepala Daerah DIY No. K 898/I/A/1975 bukan termasuk peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 maupun sebuah diskresi. Dalam hal ini yang perlu dipahami adalah keistimewaan DIY dalam tatanan yuridis formal merujuk pada amanat Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan dan amanat Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam. Maka dipertahankannya Instruksi tersebut merupakan hak istimewa yang merupakan daerah istimewa yang diberikan NRI. dan Instruksi tersebut dianggap suatu kearifan lokal. Penerapan Aturan Penggunaan Hak Milik WNI Non-pribumi Hak Penguasaan atas tanah dapat digolongkan menjadi penguasaan tanah oleh negara, penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat dan penguasaan tanah oleh individu atau badan hukum. Penguasaan tanah oleh individu atau badan hukum adalah erat kaitannya dengan

1

Dr.Jimly Asshiddiqie,S.H., 2007, Pokok-pokok HukumTata Negara Pasca Reformasi,Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm.20. 2 Ibid, hlm.391.


pemberian hak atau kewenangan kepada orang atau badan untuk memanfaatkan dan menggunakan tanah tersebut untuk kepentingannya.3 Adapun hak-hak atas tanah adalah jenis-jenis hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) dan 53 UUPA, dimana salah satu dari jenis-jenis hak atas tanah tersebut adalah hak milik. Subjek hak milik telah tercantum dalam Pasal 21 UUPA yaitu Warga Negara Indonesia dan atau Badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Adapun yang dimaksud dengan Warga Negara Indonesia, seperti yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UUD NRI 1945, lebih lanjut dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 (UU No.12 Tahun 2006) menyatakan bahwa : “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.� Mengacu pada pengertian Warga Negara Indonesia tersebut di atas, maka UUPA juga tidak membedakan antara WNI asli atau keturunan, semuanya mempunyai hak yang sama dibidang pertanahan4. Namun, dalam Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 timbul permasalahan adanya penggolongan hak milik. Dimana hanya WNI pribumi yang dapat mempunyai hak milik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan nonpribumi berarti bukan penghuni asli atau bukan orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Tetapi pendapat yang beredar luas dalam masyarakat Indonesia, pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli di Indonesia, sehingga penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India dan Arab atau ekspatria asing sering dikelompokan sebagai nonpribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia.5 WNI nonpribumi di DIY memiliki semua jenis hak atas tanah kecuali hak milik seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, dan sebagainya. Pada dasarnya untuk menggunakan hak atas tanah harus melakukan pendaftaran tanah. Sedangkan di DIY sendiri terdapat tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota di DIY. Sehingga 3

Dr.H.M. Arba, S.H., M.Hum., 2015, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakrta, hlm.83. Erna Sri Wibawawanti., S.H., M.Hum., dan R.Murjiyanto, S.H., M.Kn., 2013, Hak Atas Tanah & Peralihannya, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hlm.55 5 Sidabutar Hebron, “Menghapus Pribumi dan Non Pribumi menuju Persatuan Indonesia seutuhnya, https://seword.com/politik/menghapus-pribumi-dan-non-pribumi-menuju-persatuan-indonesia-seutuhnya/, diakses 29 Agustus 2017. 4


apabila pihak lain di luar Kasultanan dan Kadipaten yang akan menggunakan hak atas tanah dan melakukan pendaftaran tanah wajib mendapat persetujuan tertulis dari Kasultanan untuk tanah Kasultanan dan Kadipaten untuk tanah Kadipaten. Sebagaimana telah tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) UUK DIY dan Pasal 14 Peraturan Daerah Istimewa Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten. Sehingga baik WNI pribumi atau nonpribumi yang berada dalam Daerah Istimewa Yogyakarta pada dasarnya apabila akan menggunakan hak atas tanah harus mendapat persetujuan tertulis dari Kasultanan ataupun Kadipaten. D. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberlakuan Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 merupakan suatu hak istimewa yang diberikan Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Daerah Istimewa Yogyakarta. Penggunaan hak milik di DIY pada dasarnya harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Kasultanan ataupun Kadipaten untuk tanah Kasultanan dan Kadipaten. Kendati demikinan, dalam pelaksanaanya saat ini beberapa masyarakat WNI nonpribumi sudah bisa menggunakan hak miliknya meskipun hal tersebut masih sangat sedikit dan sangat jarang dijumpai. E. Daftar Pustaka Asshiddiqie, Jimly, Dr., S.H., 2007, Pokok-pokok HukumTata Negara Pasca Reformasi,Bhuana Ilmu Populer, Jakarta Hebron, Sidabutar, “Menghapus Pribumi dan Non Pribumi menuju Persatuan Indonesia seutuhnya, https://seword.com/politik/menghapus-pribumi-dan-non-pribumi-menuju-persatuanindonesia-seutuhnya/, diakses 29 Agustus 2017 Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang WNI non-Pribumi. Keputusan Presiden No.33 Tahun 1894 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di Propinsi DIY. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No.1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.


H.M. Arba, Dr., S.H., M.Hum., 2015, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakrta, hlm.83. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 13 P/ HUM/ 2015. Wibawawanti., S.H., M.Hum., Erna Sri dan R.Murjiyanto, S.H., M.Kn., 2013, Hak Atas Tanah & Peralihannya, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.