AILO LC UGM: Polemik PKPU No. 20 Tahun 2018

Page 1

Polemik PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Oleh: Ferdinandus Credo, Herdika Andre Pradana, Niko Baptista ALSA LC UGM LATAR BELAKANG Bahwa Negara Republik Indonesia telah menjamin hak setiap warga negara yang diakui dan diatur dalam konstitusi Indonesia terkhususnya hak warga negara mengenai memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam rangka pembangunan masyarakat, bangsa dan negara, masing-masing warga negara memiliki beberapa hak, salah satunya adalah hak sipil dan politik. Hak politik tersebut adalah hak dasar dan bersifat mutlak yang melekat di dalam setiap warga Negara yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh Negara dalam keadaan apapun1 dan berkaitan dengan proses pengambilan keputusan yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi dengan memberikan hak pilih pada saat pemilihan berlangsung2 serta hak untuk dipilih yang secara tersirat diatur dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945. Kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia dipegang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diamanahkan langsung dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang kemudian pengaturan mengenai pemilu diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan segala peraturan turunan maupun peraturan pelaksana yang berkaitan dengan pemilihan umum oleh KPU. Sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri3, KPU memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan pelaksana mengenai bagaimana teknis penyelenggaraan pemilihan umum yang harus didasarkan dengan adanya pendelegasian atau perintah dari undangundang terkait.

1

“Mengenal Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik�, http://icjr.or.id/mengenal-kovenan-internasional-haksipil-dan-politik/, diakses pada 1 Juli 2018. 2 Fuad Fachruddin, 2006, Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama. Pustaka Alvabet. Hlm. 35-36 3 Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Sebagaimana diketahui KPU beberapa waktu yang lalu mengeluarkan sebuah peraturan pelaksana yang cukup menyita perhatian khalayak luas, yakni PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU), yang menjadi sorotan adalah bunyi dari Pasal 7 ayat (1) huruf G yang menyatakan bahwa: “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap” Serta dalam Pasal 7 ayat (1) huruf H PKPU memuat norma baru yang tidak ada dalam UU Pemilu, bunyinya adalah: “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi” Bunyi dari kedua pasal tersebut sangatlah berbeda dari apa yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Pemilu dan sedikit menyimpang dari Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 tertanggal 9 Juli 2015. Hal ini menyebabkan terjadinya suatu pertentangan norma hukum dikarenakan tidak ada kesesuaian antara peraturan pelaksana dan undang-undang diatasnya, sehingga terjadilah suatu kondisi yang dinamakan kaburnya kepastian hukum. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah peraturan pelaksana dalam hal ini PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat norma baru yang berbeda dengan peraturan diatasnya? 2. Dalam hal terjadi pertentangan peraturan pelaksana dan undang-undang diatasnya lembaga manakah yang berwenang untuk menguji? PERATURAN TERKAIT 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum;


3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (UU MA); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK); 5. PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU); 6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (UU Perundang-undangan); 7. Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015. Kajian Peraturan Pelaksana dapat/tidak dapat memuat norma baru Berdasarkan Pasal 8 UU Perundang-undangan PKPU merupakan peraturan perundangundangan yang diakui keberadaanya. PKPU dibentuk berdasarkan kewenangan KPU sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 huruf b UU Pemilu. Sebagai peraturan yang lebih rendah, PKPU harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya yakni UU Pemilu. Pada dasarnya sebuah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dapat memuat norma baru sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila terjadi konflik antara UU Pemilu dengan PKPU maka akan berlaku asas lex superior derogate legi inferior, kalau terjadi konflik antara peraturan yang lebih tinggi dengan yang rendah apabila mengatur materi yang sama4. Pengaturan persyaratan bakal calon DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terdapat dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu berbunyi : “… diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.” 4

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., 2005 “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”, Cetakan Kedua, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hlm.94.


Peraturan pelaksana tersebut berbeda dengan UU Pemilu dimana mantan terpidana yang diancam penjara 5 (lima) tahun atau lebih, mantan terpidana bandar narkoba, mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak, dan mantan terpidana korupsi tidak bisa mendaftarkan diri sebagai bakal calon DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Seharusnya persyaratan bakal calon tersebut sedianya merujuk Pasal 240 UU Pemilu dan PKPU tidak boleh bertentangan atau membuat norma baru yang menyimpang dari Pasal 240 UU Pemilu. Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa seseorang yang pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih bisa ikut mengimplementasikan haknya untuk dipilih akan tetapi dengan syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana. Sehingga Pasal 240 UU Pemilu dan Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 telah berkesesuaian. Semstinya Peraturan KPU merujuk terhadap sumber hukum tersebut dan tidak membuat norma baru yang bertentangan dengan sumber hukum lebih tinggi. Lembaga yang berwenang menguji peraturan pelaksana terhadap undang-undang Terdapat dua lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review undang-undang, yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Meskipun memiliki kewenangan yang sama namun domain pengujiannya berbeda. Jika merujuk Pasal 9 ayat (1) UU Perundang-undangan jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, domain dari MK adalah menguji undang-undang yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan domain dari MA berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU Perundangundangan jo. Pasal 31A ayat (1) UU MA adalah melakukan pengujian peraturan perundangundangan yang diduga bertentangan dengan undang-undang. Namun, yang menjadi permasalahan adalah hierarki peraturan perundang-undangan5 tidak meletakkan posisi peraturan pelaksana dalam hierarki. Disatu sisi hierarkisitas menjadi problem solving disisi lain menimbulkan masalah yakni siapa yang berwenang menguji peraturan pelaksana jika terdapat aturan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan lainnya, karena tidak kejelasan letak hierarkis dari peraturan pelaksana. Untuk mengatasi hal ini, sebenarnya cukup senderhana dan dapat dilihat dari pendelegasian regulasi 5

Baca Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan


kepada peraturan pelaksana yang diamanatkan oleh undang-undang induknya. Maka, dapat diketahui bahwa letak hierarki peraturan pelaksana adalah dibawah undang-undang, sehingga menjadi domain dari MA untuk menguji PKPU yang diduga bertentangan dengan UU Pemilu.

KESIMPULAN Dalam pembentukan Undang-Undang wajib memerhatikan asas-asas hukum dengan fungsi sebagai landasan, sehingga tidak melanggar hak-hak esensial tiap individu yang diikat di bawahnya. Penggunaan asas-asas dalam pembentukan Undang-Undang sendiri juga menentukan kedinamisan Undang-Undang tersebut agar tidak mudah tergerus zaman. Dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, terdapat dua asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yakni formil dan materiil. Asas-asas formal meliputi6: 1. het beginsel van duidelijke doelstelling (asas tujuan yang jelas); 2. het baginsel van het juiste orgaan (asas organ/lembaga yang tepat); 3. het noodzakelijkheids beginsel (asas perlunya pengaturan); 4. het beginsel van uitvoerbaarheid (asas dapat dilaksanakan); 5. het beginsel van consensus (asas consensus). Dengan dilanggarnya asas lex superior derogate legi inferior seperti yang telah Penulis paparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa PKPU melanggar salah satu asas yakni asas het beginsel van uitvoerbaarheid (asas dapat dilaksanakan) dimana Undang-Undang yang ada melanggar UUD 1945 perihal dapat atau tidaknya mantan terpidana mencalonkan diri menjadi calon Legislatif DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, karena hak politik adalah salah satu hak individu yang hakiki yang dimiliki setiap orang. Asas materiil dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga dilanggar dalam pembentukan PKPU menjadikan Peraturan ini cacat hukum. Berikut asas-asas materiil dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan7:

6 7

I.C. Van der Vlies, 1991 “Handboek wetgeving”, W.EJ. Tjeenk Willink Zwolle, hlm.192 I.C. Van der Vlies, 1991 “Handboek wetgeving”, W.EJ. Tjeenk Willink Zwolle, Op.Cit., hlm.192


1. het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek (asas terminologi dan sistematika yang jelas); 2. het beginsel van de kanbaarheid (asas dapat dikenali); 3. het rechtsgelijkheidsbeginsel (asas perlakuan yang sama dalam hukum); 4. het recht szekerheidsbeginsel (asas kepastian hukum); 5. het beginsel van de individuele rechtsbedeling (asas keadaan hukum sesuai dengan keadaan individual). Asas materiil sendiri adalah asas yang menjadi landasan substansi dari UndangUndang itu sendiri sehingga penggunaannya adalah suatu hal yang absolut karena menyentuh langsung pokok tujuan suatu Undang-Undang dibuat. Sudah sangat jelas dari pembahasan yang

Penulis

paparkan

sebelumnya

bahwa

PKPU

melanggar

asas

het

rechtsgelijkheidsbeginsel (asas perlakuan yang sama dalam hukum) karena hak politik seorang mantan terpidana direnggut dengan tidak bolehnya mencalonkan diri menjadi anggota legislatif sehingga jelas tidak ada perlakuan yang sama dalam hukum.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.