[Type here]
Legal Opinion Kontroversi Pemidanaan Pelaku Aborsi Akibat Perkosaan Oleh: Nisrina Karenina Hasna dan Michelle Natashia ALSA Local Chapter Universitas Indonesia
A.
Kasus Posisi (Facts)
Perdebatan terhadap legalitas aborsi terus menuai pro dan kontra. Aborsi atau yang dikenal dengan abortus provocatus adalah “penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya”.1 Tindakan aborsi sendiri dapat dipengaruhi banyak faktor pendorong seperti alasan kesehatan, sosial ekonomi, dan juga darurat atau biasa disebabkan karena perkosaan.2 Perlu diketahui bahwa perkosaan tak hanya terjadi di ranah publik dan komunitas, tetapi juga diantara relasi personal atau dalam rumah tangga mengingat prevalensi yang hingga pada Maret 2018 ini telah tercatat sebanyak 1210 kasus incest di Indonesia.3 Jumlah kasus yang signifikan tersebut salah satunya menimpa seorang anak perempuan berusia 15 tahun, yang diperkosa oleh saudara laki-lakinya sendiri yang berusia 18 tahun dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi pada 19 Juli 2018 lalu karena melakukan tindakan aborsi.4 Kasus bermula ketika penduduk setempat menemukan janin di perkebunan kelapa sawit pada hari Rabu, 30 Mei 2018. Pada bulan Juni 2018, polisi menyelidiki laporan dari penduduk setempat tersebut dan selanjutnya menangkap WA beserta AA, saudara lakilakinya. AA mengakui bahwa dia telah memperkosa saudara perempuannya dan mengancam akan mencelakakan sang adik apabila dia menolak. Adapun alasan jaksa menuntut WA didasarkan pada hasil autopsi janin yang pada saat itu sudah berusia 6 (enam) bulan sehingga WA dianggap telah menghilangkan nyawa bayi tersebut.5 Pengadilan Negeri Muara Bulian dalam putusan perkara No. 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mbn menyatakan WA bersalah
1
Kusmaryanto, SCJ, Kontroversi Aborsi, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 203. Andi Annisa Dwi Melantik Padjalangi, “Tinjauan Atas Tindakan Aborsi Yang Dilakukan Dengan Alasan Indikasi Medis Karena Terjadinya Kehamilan Akibat Perkosaan (Incest),” (Skripsi Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, 2016), hlm. 51. 3 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, “Tergerusnya Ruang Aman Perempuan Dalam Pusaran Politik Populisme,” Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, (2018). Hlm. 5. 4 Amnesty International Pernyataan Publik, “Indonesia: Bebaskan penyintas pemerkosaan berusia 15 tahun yang dipenjarakan karena melakukan aborsi” (31 Juli 2018), https://www.amnesty.org/download/Documents/ASA2188522018INDONESIAN.pdf diakses 30 Agustus 2018. 5 Yunizafira Putri Arifin Widjaja, “Pidana untuk Anak yang Jadi Korban Pemerkosaan di Jambi Dikecam”, https://www.liputan6.com/news/read/3610441/pidana-untuk-anak-yang-jadi-korban-pemerkosaandi-jambi-dikecam diakses 30 Agustus 2018. 2
[Type here]
melakukan tindak pidana aborsi terhadap anak yang diatur dalam Pasal 77A jo. Pasal 45A Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan dipidana dengan penjara 6 (enam) bulan dan 3 (tiga) bulan pelatihan kerja sedangkan AA dituntut secara pidana dengan nomor perkara No. 4/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mbn yang pada tanggal yang sama 19 Juli 2018 divonis 2 (dua) tahun penjara akibat persetubuhan tersebut.6
B.
Isu Hukum
Berbagai peraturan telah secara tegas menyatakan bahwa tindakan aborsi merupakan hal yang dilarang secara hukum dan hal tersebut telah diterapkan di Indonesia secara konsekuen, namun hal ini justru menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku aborsi yang merupakan korban perkosaan yang seharusnya dilindungi hukum.
C.
Dasar Hukum 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 4. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
D.
Analisis
Indonesia sebagaimana negara berkembang lainnya, melarang dilakukannya tindakan aborsi. Hukum nasional Indonesia, mengatur mengenai aborsi pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Pasal 346 KUHP melarang tindakan seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk melakukan aborsi dan mengancam tindakan ini dengan pidana penjara. Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Terdapat pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi berdasarkan Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan, yaitu apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan. Kedaruratan medis terjadi apabila kehamilan ternyata mengancam nyawa dan kesehatan ibu maupun janin yang 6
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), “Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) Untuk Pengadilan Tingkat Banding Nomor Perkara 6/PID.SUS-Anak/2018/JMB di Pengadilan Tinggi Jambi�, (Agustus 2018), hlm.
[Type here]
dikandungnya, penyakit genetik berat dan cacat bawaan yang akan menyulitkan bayi untuk hidup di luar kandungan nantinya juga termasuk dalam hal ini. Selain itu, pengecualian ini juga berlaku apabila kehamilan terjadi akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Dalam kasus WA yang mengalami perkosaan inses, perkosaan oleh orang terdekat terutama keluarga menyebabkan ketakutan dan kebingungan karena, orang yang seharusnya melindungi korban malah melakukan hal yang ditakutkan korban. Namun demikian, pengecualian untuk melakukan aborsi tersebut hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.7 Adanya aturan tersebut yang menyatakan bahwa aborsi diperbolehkan dilakukan maksimal 40 hari sejak hari terakhir haid memberatkan korban perkosaan. Hal ini terjadi karena seringkali korban perkosaan tidak menyadari bahwa mereka hamil sehingga tenggat waktu maksimal dapat menjadi hal yang dapat menjerumuskan mereka. Selain itu, sangat besar kemungkinannya bahwa seorang korban perkosaan akan mengalami gangguan stress pasca trauma dan mengalami gangguan mental dan emosional seperti depresi.8 Kondisi psikologis tersebut tidak memungkinkan korban untuk melakukan konseling dalam waktu yang ditentukan dalam Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan. Adapun sanksi bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.0000.000,00 (satu miliar rupiah).9 Kemudian pada Pasal 31 ayat (1) jo. Pasal 31 ayat (2) Peraturan Pemerintah (selanjutnya bisa disebut PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, disebutkan bahwa aborsi yang dilakukan atas alasan perkosaan dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari sejak hari pertama haid terakhir. Sementara sebenarnya tanda-tanda kehamilan secara fisik belum dapat terlihat secara jelas dalam jangka waktu satu bulan dan gejala kehamilan yang dialami setiap wanita tentu berbeda-beda bentuk dan waktunya. Peraturan tentang jangka waktu ini menyulitkan korban perkosaan yang tidak mengetahui waktu kehamilannya.10 Pengaturan lebih lanjut terdapat pada Pasal 34 PP Kesehatan Reproduksi yang mengharuskan kehamilan akibat perkosaan sebagaimana 7
Indonesia, Undang-Undang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, Ps. 75 ayat (3). Diah Ayu Lestari, “Bantu Korban dengan Pahami Dampak Psikologis Pemerkosaan�, https://www.okaydoc.com/artikel/dampak-psikologis-pemerkosaan/ diakses 31 Agustus 2018 9 Indonesia, Undang-Undang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, Ps. 194. 10 Ajeng Quamila, “7 Cara Membedakan Gejala Hamil atau Gejala Mau Haid�, https://hellosehat.com/kehamilan/kesuburan/membedakan-gejala-dan-tanda-awal-kehamilan/ diakses 31 Agustus 2018 8
[Type here]
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf (b) merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, perkosaan juga harus dibuktikan dengan usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter beserta keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan. Berbagai peraturan tersebut seringkali menuai perdebatan ketika terdapat kasus tindakan aborsi yang melibatkan korban perkosaan. Menurut Komisioner Bidang Anak Berhadapan Hukum Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina, pada dasarnya aborsi tetap harus dilakukan sesuai peraturan. Jika tidak demikian, maka bagaimanapun hal itu tetap melanggar hukum, termasuk bagi pelaku aborsi akibat perkosaan. Namun pernyataan tersebut ditentang oleh banyak pakar hukum lainnya yang berpendapat bahwa hakim seharusnya mempertimbangkan aspek kejiwaan / psikologis korban perkosaan. Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan bahwa pemidanaan terhadap korban perkosaan jelas tidak diperkenankan.11 Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan berpendapat bahwa pelaku aborsi yang merupakan korban perkosaan seharusnya dimaafkan atas dasar Pasal 48 KUHP.12 Korban perkosaan pada umumnya mengalami tekanan psikis yang kuat sehingga jelas terlihat adanya daya paksa atau overmacht13. Overmacht ini merupakan daya, dorongan, paksaan yang membuat seseorang tidak berdaya menghadapinya14 yang ada pada saat tindak pidana dilakukan maupun jauh sebelumnya, namun memuncak dan memunculkan situasi stress tak terarahkan.15 Korban perkosaan banyak yang mengalami depresi berat, kelesuan kronis, gangguan tidur, mimpi buruk, merasa terisolasi dari masyarakat sekitar dan menarik diri karena malu akan apa yang dialaminya. Selain itu, korban yang mengalami tekanan emosional dan fisik yang hebat dapat melakukan tindakan aborsi karena penderitaan psikis yang dialaminya setelah diketahui bahwa korban mengalami kehamilan.16
11
Yunizafira, “Pidana untuk Anak yang Jadi Korban Pemerkosaan di Jambi Dikecam”. Adi Briantika, “Perdebatan Aborsi Remaja 15 Tahun yang Diperkosa Kakak & Dipenjara”, https://tirto.id/perdebatan-aborsi-remaja-15-tahun-yang-diperkosa-kakak-amp-dipenjara-cPKd diakses 30 Agustus 2018. 13 Lihat Pasal 48 KUHP: “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. 14 J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidana Material 1: Prolegomena dan Uraian tentang Teori Ajaran Dasar, diterjemahkan oleh Tristam P. Moeliono, (Jakarta: Maharsa Publishing, 2014), hlm. 276. 15 Ibid. 16 Wiwik Afifah, “Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan yang Melakukan Aborsi”, DIH, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 9, No. 18, (Februari 2013). Hlm. 105. 12
[Type here]
Para ahli kesehatan dan ahli hukum juga telah memahami alasan aborsi yang merupakan hal-hal yang di luar kemampuan korban. Pasal 75 butir ke-(2) UU Kesehatan mengindikasikan bahwa apabila bayi dibiarkan hidup, mungkin akan menjadi beban keluarga serta kurang baiknya masa depan anak itu sendiri. Keadaan ini bertentangan dengan UndangPasal 53 Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia mengatur mengenai hak hidup anak dari mulai janin sampai dilahirkan. Namun demikian, akan dirasakan kurang adil bagi korban perkosaan apabila kehamilan akibat perkosaan itu dilanjutkan, karena dia sendiri adalah korban suatu kejahatan, dan hal itu dapat menjadi suatu beban psikologis yang berat. Aborsi juga menjadi salah satu aspek yang menyangkut kesehatan reproduksi.17 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia mengatur perihal hak perempuan salah satunya tentang jaminan hak reproduksi perempuan.18 Hak-hak reproduksi adalah merupakan hak asasi manusia, dan dijamin oleh undang-undang. Berdasarkan Pasal 72 UU Kesehatan, kehamilan yang tidak dikehendaki akibat perkosaan jelas melanggar hak-hak reproduksi korban perkosaan. Korban perkosaan kehilangan hak-hak reproduksinya serta kehilangan kesehatan reproduksinya secara fisik, mental dan sosial.19 Seharusnya setiap perempuan berhak menentukan kehidupan reproduksinya secara bebas, termasuk berhak menentukan kehamilannya sendiri. Maka dari itu, demi memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak reproduksi korban perkosaan sebagai salah satu bentuk hak asasi manusia, maka terdapat legalisasi aborsi bagi perempuan yang hamil akibat perkosaan. Namun demikian, pada Pasal 31 ayat (1) jo. Pasal 31 ayat (2) PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengharuskan aborsi dengan pengecualian dilakukan paling lama saat usia kehamilan 40 hari sejak hari pertama haid terakhir dirasa sulit untuk dipenuhi. Komisioner Komnas Perempuan, Adriana Veni memandang ketentuan tersebut justru kerap menjerat korban perkosaan menjadi terpidana.20 Pada kenyataannya, banyak korban perkosaan, terutama anak dibawah umur, yang masih buta akan kesehatan reproduksi
17
Mengacu pada Pasal 70 ayat (1) UU Kesehatan, kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Pasal 70 ayat (2) UU Kesehatan menyebutkan: “kesehatan reproduksi meliputi: a) saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan; b) pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual; dan c) kesehatan sistem reproduksi”. 18 Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, Ps. 49 ayat (3): “Hak khusus yang melekat pada diri perempuan dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.”. 19 Wiwik Afifah, “Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan yang Melakukan Aborsi”. Hlm. 106. 20 Tunggal Pawestri, “Saat korban pemerkosaan melakukan aborsi: Mengapa dipenjara dan bukan dikuatkan?”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45058277 diakses 30 Agustus 2018.
[Type here]
akibat akses informasi yang terbatas dan kuatnya tabu untuk membicarakan hal tersebut secara terbuka. Hal itulah yang kerap membuat korban perkosaan dipidana karena melakukan aborsi pada umur kehamilan melebihi yang diatur di peraturan perundang - undangan. Guru Besar Hukum Pidana, Prof. Andi Hamzah juga menilai bahwa aborsi saat usia kehamilan tidak lebih dari 40 hari adalah mustahil, mengingat harus adanya putusan inkracht yang ditetapkan pengadilan bahwa telah terjadi pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) huruf (b) PP Kesehatan Reproduksi. Sedangkan proses hukum tidaklah sebentar dan dapat dipastikan membutuhkan waktu yang lebih dari itu.21 Aturan ini terkesan kaku sehingga tidak dapat diinterpretasikan lain oleh aparat penegak hukum, sehingga seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku aborsi akibat perkosaan. Selain itu, kurangnya kesadaran akan kehamilan dan minimnya pengetahuan hukum di kalangan perempuan dan anak perempuan dalam lapisan masyarakat tertentu serta tembok sosial lainnya menghambat mereka untuk mengakses layanan kesehatan, sehingga sulit bagi mereka untuk melakukan konseling pra tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan. Akibatnya, banyak dari mereka memilih untuk melakukan aborsi secara diam-diam tanpa menkonsiderasikan keamanan dan keselamatannya seperti halnya yang dilakukan WA, anak korban perkosaan, yang memutuskan untuk melakukan aborsi secara ilegal.22Hal ini dapat dilihat dari upaya WA memijat – mijat perutnya dan bukanya mendatangi tenaga kesehatan yang berwenang.
E.
Kesimpulan
Mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, aborsi dilarang oleh hukum Indonesia. Walaupun didalam Pasal 75 (3) UU kesehatan terdapat dasar pemaaf bagi aborsi korban perkosaan. Berkaca dari kasus yang dialami oleh WA di Jambi, dapat diketahui bahwa aparat penegak hukum dan hakim seharusnya mempertimbangkan aspek kejiwaan korban dan memiliki perspektif perlindungan terhadap korban. Dalam mengkriminalisasi perempuan korban perkosaan, penegak hukum juga harus mempertimbangkan kondisi psikologis dan tidak mengabaikan peraturan lain yang melindungi korban. Hal tersebut pula dapat menghindarkan adanya victim blaming kepada korban perkosaan. Korban perkosaan pada hakekatnya adalah pihak yang seharusnya 21
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H., “Legalitas Aborsi dan Hak Korban Pemerkosaan�, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53e83426ce020/legalitas-aborsi-dan-hak-korban-pemerkosaan diakses 30 Agustus 2018. 22 Pengadilan Negeri Muara Bulian, Putusan No. 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mbn, hlm. 15.
[Type here]
dilindungi hukum, bukan dijadikan terpidana. Walaupun berlaku syarat legalisasi aborsi dalam peraturan perundang-undangan, namun pengecualian ini hendaknya tidak membatasi aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan. Selain itu peraturan yang menjerat mengenai syarat aborsi dalam PP Kesehatan reproduksi juga seharusnya dilihat kembali karena merugikan bagi para korban yang seharusnya dilindungi. Hak-hak korban harus dipandang sebagai hak-hak sosial sekaligus hak individu yang merupakan hak untuk mendapatkan keadilan sosial termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan pelayanan yang komprehensif atas kejahatan yang menimpanya, tidak terkecuali perempuan korban perkosaan yang memutuskan melakukan aborsi.
[Type here]
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Kusmaryanto, SCJ. Kontroversi Aborsi. Jakarta: Grasindo, 2002. Remmelink, J. Pengantar Hukum Pidana Material 1: Prolegomena dan Uraian tentang Teori Ajaran Dasar. Diterjemahkan oleh Tristam P. Moeliono. Jakarta: Maharsa Publishing, 2014.
B. SKRIPSI / JURNAL Afifah, Wiwik. “Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan yang Melakukan Aborsi”, DIH, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 9, No. 18, Februari 2013. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). “Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) Untuk
Pengadilan
Tingkat
Banding
Nomor
Perkara
6/PID.SUS-
Anak/2018/JMB di Pengadilan Tinggi Jambi”, Agustus 2018. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. “Tergerusnya Ruang Aman Perempuan Dalam Pusaran Politik Populisme,” Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, 2018. Padjalangi, Andi Annisa Dwi Melantik. “Tinjauan Atas Tindakan Aborsi Yang Dilakukan Dengan Alasan Indikasi Medis Karena Terjadinya Kehamilan Akibat Perkosaan (Incest),” Skripsi Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, 2016.
C.
PERATURAN DAN PUTUSAN PENGADILAN Pengadilan Negeri Muara Bulian. Putusan No. 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mbn. Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
[Type here]
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
D. INTERNET Amnesty
International
Pernyataan
Publik.
“Indonesia:
Bebaskan
penyintas
pemerkosaan berusia 15 tahun yang dipenjarakan karena melakukan aborsi” https://www.amnesty.org/download/Documents/ASA2188522018INDONESI AN.pdf. Briantika, Adi. “Perdebatan Aborsi Remaja 15 Tahun yang Diperkosa Kakak & Dipenjara”, https://tirto.id/perdebatan-aborsi-remaja-15-tahun-yang-diperkosakakak-amp-dipenjara-cPKd. Pawestri Tunggal, “Saat korban pemerkosaan melakukan aborsi: Mengapa dipenjara dan bukan dikuatkan?”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45058277. Pramesti, Tri Jata Ayu S.H., “Legalitas Aborsi dan Hak Korban Pemerkosaan”, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53e83426ce020/legalitas-aborsidan-hak-korban-pemerkosaan. Widjaja, Yunizafira Putri Arifin. “Pidana untuk Anak yang Jadi Korban Pemerkosaan di Jambi Dikecam”, https://www.liputan6.com/news/read/3610441/pidanauntuk-anak-yang-jadi-korban-pemerkosaan-di-jambi-dikecam.