Efektivitas Pemberlakuan Unsur Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Peradilan Anak ALSA Local Chapter Universitas Andalas Pendahuluan
Anak merupakan anugerah dari dari Tuhan Yang Maha Esa sebagai titipan yang
diberikan kepada orang tua. Anak adalah berkah yang diberikan oleh Yang Maha Esa kepada orang tua untuk dijaga dan dilindungi, selain itu anak merupakan tanggung jawab setiap orang tua. Anak wajib dibimbing oleh setiap orang tua hingga dewasa untuk menjadi pribadi yang baik, bertanggung jawab dan mandiri. Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orang tua yang tidak boleh diabaikan. Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan, menentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak yang belum dewasa atau belum dapat berdiri sendiri. Orang tua adalah orang yang utama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Anak adalah orang yang belum dewasa dan belum memiliki emosi yang stabil, tentu
saja karena hal inilah anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang hebat dan bertanggung jawab adalah dengan menciptakan kondisi sosial yang baik dan tidak menyimpang dari norma-norma yang sesuai dengan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini, tidak hanya masyarakat saja yang bertanggung jawab akan hal itu, tetapi negara juga memiliki tanggung jawab dalam menciptakan kondisi seperti itu. Faktor pendidikan sangat mempengaruhi terciptanya kondisi sosial yang baik dan tidak menyimpang dari norma-norma yang sesuai dengan ketertiban masyarakat. Dengan pendidikan yang baik, anak tersebut sejak kecil dapat dibentuk dan diarahkan kepada hal yang sesuai dengan norma dan ketertiban masyarakat. Tanpa pendidikan sejak dini, maka anak dengan cepatnya kehilangan arah dan patokan-patokan dalam kehidupan, apalagi saat ini arus globalisasi sangat tidak dapat dibendung oleh siapa pun, termasuk halnya anak tersebut. Globalisasi dapat dengan mudahnya mempengaruhi seorang anak, sehingga anak tersebut dapat melakukan hal-hal yang tidak diinginkan bahkan melewati batas dari kodratnya sebagai seorang anak.
Dengan alasan perlindungan yang dilakukan oleh negara Indonesia demi melindungi generasi penerus bangsa, dengan itu maka Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mana aturan tersebut merupakan bagian dari hukum pidana perlindungan anak. Perlindungan anak dilihat dari segi pembinaan generasi penerus bangsa. Pembinaan generasi penerus bangsa merupakan bagian integral dari ekonomi Pembangunan Nasional, yaitu masyarakat adil, makmur serta aman dan sentosa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlindungan anak bermanfaat bagi orang tua dan pemerintahnya, salah satu alasannya bahwa anak tersebut merupakan generasi penerus bangsa. Analisis serta Dasar Hukum yang Berkaitan dengan Permasalahan Perlu diketahui untuk melindungi semua masyarakat, tidak saja hanya kepada orang yang telah dewasa (cakap hukum) tetapi juga kepada anak-anak yang belum mencapai usia yang dewasa (cakap hukum), maka dibentuklah Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak guna melindungi hak anak tersebut serta memberikan perlindungan kepada anak dari tindakan yang yang dapat mengganggu, merusak, dan menghancurkan masa depan anak tersebut. Namun, seiring berkembangnya perilaku masyarakat itu sendiri dan seiring masuknya pengaruh luar ke dalam norma-norma masyarakat pluralisme di Indonesia, menyebabkan perubahan sikap, kebiasaan dan pola pikir masyarakat itu sendiri, yang akhirnya mengubah cara pandang masyarakat terhadap perbuatan yang dianggap tindak pidana menjadi perbuatan yang dianggap biasa. Dalam Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menjadikan anak sebagai objek perlindungan yang harus dilindungi oleh Pemerintah. Pertanyaannya, Bagaimana bila anak tersebut yang menjadi objek perlindungan oleh Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berlaku terbalik menjadi pelaku dari tindak pidana tersebut? Bagaimana pemerintah menanggapi hal tersebut? Oleh karena itu, demi memberikan perlindungan yang utuh kepada anak, maka dibuat juga Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak, di mana seorang anak yang melakukan perbuatan
tindak pidana juga dapat diadili dalam Peradilan Anak untuk memberikan perlindungan kepada korban dari perbuatan tindak pidana yang telah dilakukan anak tersebut. Hal ini diberikan guna memberikan kepastian hukum tidak hanya kepada anak yang menjadi korban perbuatan tindak pidana juga kepada anak yang melakukan tindak pidana tersebut. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam definisi umur seorang anak yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2014 mengatakan bahwa Anak adalah seseorang yang masih berada di bawah umur 18 tahun. Pertanyaannya anak umur berapakah yang dapat diadili dalam Peradilan Anak ketika anak tersebut melakukan Tindak Pidana? Ketika kita mengacu pada Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak maka disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak bahwa kriteria anak yang dapat di bawa ke muka peradilan anak adalah anak yang berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Dalam Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak menyebutkan bahwa Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak tersebut telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Namun, apa yang akan dilakukan apabila anak yang melakukan tindak pidana tersebut di bawah umur 14 tahun tetapi melakukan tindak pidana dengan ancaman penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih? Apakah adil apabila anak yang melakukan tindak pidana tersebut bebas sementara korban telah dirugikan akibat perbuatan si pelaku? Tentu hal ini akan menimbulkan kesenjangan hukum kepada korban karena pelaku bisa bebas tanpa dihukum karena perbuatannya tersebut. Kepastian hukum adalah esensi dari sebuah peraturan itu dibuat serta persamaan kedudukan di muka hukum merupakan alasan lain tujuan hukum tersebut dibuat. Karena apabila hukum yang dibuat tersebut tidak dapat memberikan kepastian hukum maka aturan tersebut akan menjadi sia-sia. Kata “dan� dalam Pasal 32 Ayat (2) dapat menyebabkan pelakupelaku baru pada umur di bawah 14 tahun untuk melakukan Perbuatan tindak pidana dan dapat memberikan ruang bagi pelaku dengan modus baru untuk memanfaatkan anak berusia di bawah 14 tahun untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban masyarakat.
Kata “dan” dalam Pasal tersebut dapat memberikan ketidakpastian hukum yang nantinya akan menyebabkan pelaku yang seharusnya diadili tetapi karena tidak memenuhinya salah satu unsur tersebut maka pelaku tersebut terpaksa harus dilepaskan. Kata “dan” memberikan makna bahwa pelaku tindak pidana tersebut harus memenuhi semua unsur-unsur yang disebutkan dalam pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak tersebut. Hak Korban dalam Tindak Pidana Anak Kasus Pemerkosaan yang terjadi di Bengkulu masih teringat jelas. Hal ini diakibatkan perubahan pola pikir masyarakat terkhususnya anak-anak telah terpengaruh oleh lingkungan sekitar, di mana dari 14 Pelaku Pemerkosa anak 7 di antaranya merupakan anak di bawah umur. Sejatinya jika kita melihat dari sisi korban, maka tentunya perlindungan kepada korban perlu diperhatikan, berdasarkan definisi Korban dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh sebuah tindak pidana. Atas dasar inilah maka perlindungan kepada korban dari tindak pidana yang dilakukan anak-anak juga diperlukan. Mengingat saat ini banyak tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak yang berusia di bawah umur 14 tahun, yang mana korbannya pada umumnya merupakan anak-anak yang berusia di bawah 14 tahun juga. Persamaan kedudukan di muka hukum adalah hak yang harus diberikan kepada korban karena merupakan salah satu Hak Asasi Manusia. Ketika korban tidak mendapatkan persamaan kedudukan di muka hukum maka secara otomatis keadilan itu tidak akan didapatkan oleh korban. Oleh karena itu, kata “dan” dalam Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan. Selain itu, kata “dan” dapat menyebabkan pelaku tindak pidana anak dapat dengan bebasnya melakukan tindak pidana tanpa takut akan dijerat hukum dikarenakan unsur yang ada pada Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 hanya berlaku apabila 2 unsur dalam Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 terpenuhi. Kesimpulan dan Pendapat Hukum Oleh karena itu, demi untuk memberikan kepastian hukum, sejatinya kata “dan” perlu diubah menjadi kata “atau” agar dapat memberikan kepastian hukum kepada pelaku
terutama kepada korban. Ini diperlukan agar jangan sampai kata “dan” justru menjadi sumber ketidakadilan bagi korban tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur, yang mana akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Pembaharuan Yang Diperlukan Sudah tiba saatnya pemerintah dalam hal ini yang berwenang mengubah Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak yang mana kata “dan” tersebut diubah menjadi kata “atau” juga sesuai dengan perkembangan masyarakat khususnya anak-anak. Bila hal ini dibiarkan terus-menerus maka ditakutkan akan muncul modus-modus baru serta demi melindungi generasi masa depan yang selanjutnya serta melindungi hak korban yang umumnya adalah anak di bawah umur. Langkah penting pertama yang harus dilakukan pemerintah dalam hal ini yang berwenang adalah mempelajari perilaku menyimpang dari anak-anak juga mencari solusi untuk permasalahan tersebut, tidak hanya dari sisi korban melainkan dilihat juga sisi pelakunya. Hal ini ditujukan demi memberikan keadilan dan kepastian hukum kepada korban dan kepada pelaku tindak pidana anak.