OPTIMALISASI FUNGSI DPD MELALUI PENERAPAN SISTEM STRONG BICAMERALISM Oleh Adhyatma Wikrama ALSA LC UNPAD I.
Problematika Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga Negara baru dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan hasil dari perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Dibentuknya DPD dimaksudkan untuk menjadi lembaga Negara yang dapat merepresentasikan masing- masing daerah di Indonesia sebagai dampak dari dihapusnya utusan golongan dan utusan daerah dari Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu keberadaan DPD juga dianggap sebagai perwujudan dari sistem perwakilan dengan struktur dua kamar atau bicameralism di dalam sistem pemerintahan presidensil Indonesia1. DPD diamanatkan kewenangan yang dimuat dalam Pasal 22 UUD 1945, sebagai berikut: 2
1.
Dewan
Perwakilan Rakyat
Perwakilan rancangan
Daerah
dapat
mengajukan
undang-undang yang
berkaitan
kepada dengan
Dewan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber Daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 2 2
2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah余 hubungan pusat dan daerah余 pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah余 pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah余 serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,
1 Siahaan, Pataniari, 2012. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 320-321.
dan agama. 2
3.
Dewan
Perwakilan
Daerah
dapat
melakukan
pengawasan
atas
pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Seiring perjalanannya, dari ketentuan UUD 1945 dewasa ini, jelas terlihat bahwa DPD tidaklah mempunyai kewenangan membentuk undang-undang. DPD juga tidak mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan fungsi pengawasan. Karena itu, kedudukannya hanya bersifat penunjang atau ‘auxiliary’ terhadap fungsi DPR, sehingga DPD paling jauh hanya dapat disebut sebagai ‘co-legislator’, dari pada ‘legislator’ yang sepenuhnya2. Lebih lanjut, menurut Mahfud MD, kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPD dalam Pasal 22 UUD 1945, menjadikan DPD tidak memiliki kewenangan yang berarti, sebab peran DPD sangat terbatas pada hal-hal berikut :3 a. DPD hanya dapat melakukan mengajukan rancangan Undang-Undang tanpa adanya kewenangan untuk turut serta dalam menetapkan dan memutus. b. Kewenangan ikut membahas rancangan undang-undang terbatas pada rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah. c. Kewenangan memberi pertimbangan hanya terbatas pada rancangan undangundang tentang APBN, pajak, pendidikan dan agama. Atas kewenangan DPD tersebut, berdampak kepada: a. Lemahnya pertimbangan kepentingan daerah karena representasi daerah yaitu DPD kewenangannya terbatas pada tahap pembahasan dan memberikan 2 Jimly Asshiddique, Jurnal : Lembaga Perwakilan dan Permusyawaratan Tingkat Pusat, hlm 17 3 Mahfud MD, Moh., 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, hlm. 68.
b. c. d. e.
pertimbangan. tidak selarasnya pembangunan pusat dengan kepentingan daerah buruknya sistem check and balance antara DPR dan DPD. buruknya kualitas produk hukum yang berujung pada judicial review. sistem pemerintahan yang tidak efisien. Apabila berkaca kepada sistem legislatif Amerika Serikat, segala kekuasaan
legislatif diberikan kepada Congress of United States yang terdiri dari dua kamar, yaitu House of Representatives yang merupakan respresentasi politik, dan Senate sebagai representasi daerah. Senate diberikan wewenang untuk mengajukan RUU yang berhubungan dengan kepentingan daerah, dan House of Representatives diberikan wewenang untuk mengajukan RUU tentang kepentingan nasional. Kedua lembaga ini bekerja bersama di dalam naungan Congress of United States dari tahap pembahasan hingga pengesahan RUU. Terlihat jelas bahwa sistem perwakilan Amerika Serikat menerapkan sistem strong bicameralism yang dapat terlihat dari komposisi kewenangan House of Representatives dan Senate yang sama kuat. Oleh karena itu, melalui komparasi ini, memperjelas bahwa kewenangan yang dimiliki oleh DPD sangat perlu dioptimalkan. Penerapan sistem strong bicameral akan sangat tepat untuk Negara Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk melibatkan perwakilan daerah sebagai kamar kedua dalam seluruh praktik pengelolaan negara di bidang kekuasaan legislatif, serta mengimbangi DPR yang merupakan perwakilan politik. Sistem ini juga akan menegaskan pentingnya perwakilan rakyat seluruh Indonesia, khususnya perwakilan teritorial sebagai utusan daerah seperti yang diharapkan founding fathers. Atas penjelasan diatas, saya rasa tidak ada alasan untuk menolak gagasan untuk merekonstruksi kewenangan yang dimiliki DPD agar kedepannya DPD dapat bekerja secara optimal dan terwujudnya sistem politik yang demokratis dan bermartabat.
II.
Implikasi dari Optimalisasi Kewenangan DPD Melalui Penerapan Sistem Strong Bicameralism Bagir Manan berpendapat bahwa Indonesia memiliki tiga badan perwakilan yang
mandiri (DPR, DPD, dan MPR). Menurut Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR mempunyai anggota dan lingkungan jabatan masing- masing (memiliki wewenang masing-masing), sehingga tidak dikategorikan dalam sistem 2 kamar (sistem bikameral) akan tetapi merupakan 3 lembaga yang mandiri. Parlemen Indonesia dapat dikategorikan bikameral jika kewenangan MPR dilaksanakan oleh DPR dan DPD, walaupun dalam hal tertentu dapat diberikan wewenang khusus pada DPR atau DPD4. Oleh karena itu, tidak bisa dihindarkan bahwa optimalisasi kewenangan DPD dalam bingkai strong bicameralism harus diiringi oleh rekonstruksi lembaga MPR menjadi parlemen bicameral sekaligus sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif yang terdiri dari DPR sebagai kamar pertama dan DPD sebagai kamar kedua. Secara politis, Penerapan sistem strong bicameralism ini akan memberikan dampak positif, Pertama Penerapan sistem strong bicameralism ini sesuai dengan konsensus politik bangsa Indonesia, di mana keberadaan representasi daerah dalam MPR akan mengakomodir aspirasi dan kepentingan daerah dalam perumusan kebijakan nasional, sehingga
mendorong
pembangunan
kemajuan
daerah
secara
berkeadilan
dan
berkesinambungan. Kepentingan daerah tidak cukup hanya diwakili dalam gagasan (representation in ideas), tetapi kepentingan daerah perlu diwakili dalam bentuk kehadiran representasi daerah (representation in present). MPR sebagai kongres merangkum segala aspirasi rakyat secara maksimal sehingga menghasilkan perundangundangan yang responsif dan sesuai kebutuhan masyarakat5. Kedua, Selain itu dengan diterapkannya sistem ini, DPD memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan . Dengan demikian, kedudukan DPD yang sebelumnya sebagai co-legislator menjadi sama kuat dengan DPR. Sistem ini akan membuat sistem pemerintahan yang yang lebih efisien, karena produk legislatif dapat diperiksa dua kali (double check) oleh dua kamar parlemen yaitu DPR dan DPD, sehingga terjaminnya kualitas undang-undang sesuai dengan aspirasi rakyat. Hal ini akan mencegah perundang-undangan yang bermasalah secara konstitusional karena dihasilkan 4 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH UII Press, 2003, hlm. 75. 5 Miki Pirmansyah, Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Bikameral di Indonesia, Jurnal
secara ceroboh hingga berujung pada judicial review.6 Ketiga, kekuasaan membentuk UU sepenuhnya dipegang oleh badan legislatif sehingga tercipta pemisahan kekuasaan yang tegas berdasarkan prinsip checks and balances. Menurut Henry Campbell, “checks and balances is arrangement of governmental power whereby powers of one governmental branch check or balance those of other branches� 7. Sistem checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan memungkinkan adanya mekanisme saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan mengindari tindakan-tindakan hegemonic, tiranik, sentralisasi kekuasaan, serta mencegah overlapping antar kewenangan yang ada8. Adanya sistem checks and balances mencegah dan menanggulangi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara. Secara garis besar, penerapan sistem strong bicameralism akan membawa dampak yang sangat besar bukan hanya kepada DPD, namun juga kepada seluruh lembaga legislatif Indonesia, selain itu dengan diterapkannya sistem ini akan mewujudkan tujuan utama dibentuknya DPD sebagai representasi daerah yang dapat terlihat karena DPD benar-benar akan mewakili suara rakyat daerah yang akan dituangkan dalam proses perancangan hingga pengesahan segala produk hukum yang dihasilkan. Akhirnya, sistem politik akan berjalan lebih demokratis yang tercermin dari harmoni kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
6 Taufik Hidayat, Penerapan Sistem Soft Bikameral dalam Parlemen di Indonesia, JOM Fakultas Hukum Volume 2 No. 2, Oktober 2015, hlm. 11.
7 Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, St. Paul: West Publishing, Co., 1990, hlm. 238. 8 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 74.
KESIMPULAN Perubahan keempat UUD 1945 telah memberikan perubahan kepada sistem tata Negara Indonesia, salah satunya adalah muncul sebuah lembaga Negara baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah. Dibentuknya DPD dimaksudkan untuk menjadi lembaga Negara yang dapat merepresentasikan masing- masing daerah di Indonesia sebagai dampak dari dihapusnya utusan golongan dan utusan daerah dari Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu keberadaan DPD juga dianggap sebagai perwujudan dari sistem perwakilan dengan struktur dua kamar atau bicameralism di dalam sistem pemerintahan presidensil Indonesia. Namun hal ini tersebut tidak terwujud karena pada kenyataannya sistem perwakilan Indonesia bukanlah menganut sistem bicameralism melainkan sistem tiga badan perwakilan. Seiring perjalanannya, dari ketentuan UUD 1945 dewasa ini, jelas terlihat bahwa DPD tidaklah mempunyai kewenangan membentuk undang-undang. DPD juga tidak mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan fungsi pengawasan. Karena itu, kedudukannya hanya bersifat penunjang atau ‘auxiliary’ terhadap fungsi DPR, sehingga DPD paling jauh hanya dapat disebut sebagai ‘co-legislator’, dari pada ‘legislator’ yang sepenuhnya. Atas permasalahan tersebut, penerapan sistem strong bicameralism akan menjadi solusi untuk bisa mengoptimalkan fungsi dari DPD. Penerapan sistem strong bicameralism ini akan memberikan dampak positif, sebagai berikut: Pertama, Penerapan sistem strong bicameralism ini sesuai dengan konsensus politik bangsa Indonesia, di mana keberadaan representasi daerah dalam MPR akan mengakomodir aspirasi dan kepentingan daerah dalam perumusan kebijakan nasional, sehingga
mendorong
pembangunan
kemajuan
daerah
secara
berkeadilan
dan
berkesinambungan. Kedua, kedudukan DPD yang sebelumnya sebagai co-legislator menjadi sama kuat dengan DPR. Sistem ini akan membuat sistem pemerintahan yang yang lebih efisien, karena produk legislatif dapat diperiksa dua kali (double check) oleh dua kamar parlemen yaitu DPR dan DPD, sehingga terjaminnya kualitas undang-undang sesuai dengan aspirasi rakyat Ketiga, kekuasaan membentuk UU sepenuhnya dipegang
oleh badan legislatif sehingga tercipta pemisahan kekuasaan yang tegas berdasarkan prinsip checks and balances. Adanya sistem checks and balances mencegah dan menanggulangi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara Negara. Atas segala manfaat yang penulis sebutkan diatas, penulis rasa tidak ada alas an untuk menolak gagasan ini untuk mewujudkan keoptimalan kewenangan DPD dan sistem tata Negara Indonesia yang lebih baik. SARAN Dengan kondisi sistem perwakilan Indonesia yang bersistem tiga badan perwakilan, tidak bisa dihindarkan bahwa optimalisasi kewenangan DPD dalam bingkai strong bicameralism harus diiringi oleh rekonstruksi lembaga MPR menjadi parlemen bicameral sekaligus sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif yang terdiri dari DPR sebagai kamar pertama dan DPD sebagai kamar kedua.