PENISTAAN AGAMA SEBAGAI ALAT UNTUK MEMBUNGKAM HAK SESEORANG Oleh : Galih Ananggadipa, Fina Maretta Putri, Dwi Ana Yushah Hanifah ALSA Local Chapter Universitas Jenderal Soedirman
A. Pendahuluan “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan semboyan bangsa Indonesia yang berarti bahwa dalam perbedaan dan keberagaman bangsa Indonesia namun tetap satu juga sebagai bangsa yang besar. Hal ini pun ditunjukkan dalam sila ke-3 Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”. Perbedaan dan keberagaman ini dimaksudkan dengan adanya berbagai macam suku dengan budayanya masing-masing, agama, ras, bahasa, dan lain sebagainya. Indonesia juga sangat menjunjung tinggi hal keagamaan dengan ditunjukkan pada sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang diimplementasikan dengan diakuinya 6 agama yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Dengan adanya 6 agama yang diakui, hukum di Indonesia pun memberikan kekebasan terhadap rakyatnya untuk memeluk agama. Dalam pasal 28E ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” 1Bebas dalam KBBI berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa). Yang berarti bahwa setiap warga negara Indonesia bebas memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya tanpa ada paksaan dan keterbatasan dari pihak manapun. Kemerdekaan memeluk agamapun telah diatur pula dalam UUD 1945 pasal 29 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” 2 Dari kedua pasal tersebut, sudah terlihat bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama. Namun, masih banyak terjadi kasus penistaan agama dalam masyarakat. Seperti maraknya pembakaran tempat-tempat ibadah, pembakaran kitab suci, ujaran kebencian terhadap agama tertentu, dan lain sebagainya. Sebagian besar 1 Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 2 Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.
dari kasus yang terjadi berawal dari hal kecil, namun langsung dibawa ke ranah pengadilan. Hal ini menunjukan bahwa didalam masyarakat sendiri ruang dialog untuk menyelesaikan persoalan seperti ini semakin menyempit. Menyempitnya ruang dialog dalam masyarakat3 pun menunjukkan bahwa toleransi dalam masyarakat semakin memudar. Bahkan banyak diikuti dengan kejadian persekusi oleh masyarakat yang tersulut emosinya. Kasus penistaan agama di Indonesia yang baru-baru terjadi, sebagian besar tidak hanya menunjukkan bahwa toleransi dan kemanusiaan dalam masyarakat kian memudar, namun juga menunjukkan bahwa keadilan dan penegakan hukum di lingkungan pengadilan sudah tidak sesuai lagi dengan undang-undang yang ada. Seperti vonis hakim dapat diatur oleh orang-orang yang memiliki kekuatan. DASAR HUKUM 1. UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. 2. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA. 3. UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA. 4. PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965
TENTANG
PENCEGAHAN
PENYALAHGUNAAN
DAN/ATAU
PENODAAN AGAMA 5. INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM NOMOR : KEP/D/101/1978 B. Tujuan Penulisan Tujuan ini bertujuan untuk mengungkapkan keresahan mengenai keadilan dalam kasus dugaan penistaan agama karena maraknya vonis hakim yang dipengaruhi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. C. Pembahasan Kasus paling baru menjadi perbincangan publik yaitu kasus Meiliana terkait dugaan penistaan agama karena protes mengenai suara azan salah satu masjid di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Berdasarkan kronologis kejadian, Meiliana mengungkapkan keluhannya kepada Kak Uo dengan berkata “Kak, sekarang suara mesjid agak keras ya, dulu tidak begitu keras.”4 Terkait penggunaan toa masjid sebenarnya telah diatur oleh 3 “Ibu Meiliana, Maafkan Aku” – Ekspresi Muram Saksi Ahli Kasus Penistaan Agama. https://www.dw.com/id/ibu-meiliana-maafkan-aku-ekspresi-muram-saksi-ahli-kasus-penistaan-agama/a45192695 , diakses pada tanggal 31 Agustus 2018. 4 Pengacara Ungkap Lika-liku Kasus Meiliana yang Keluhkan Volume Azan. https://news.detik.com/berita/d4179004/pengacara-ungkap-lika-liku-kasus-meiliana-yang-keluhkan-volume-azan?single=1 , diakses pada
kemenag dalam Lampiran Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor : KEP/D/101/1978.5 Salah satu syarat penggunaan toa masjid yaitu Perawatan Pengeras Suara oleh seorang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara-suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan anti pati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar atau mushalla. Kelebihan dan kekurangan penggunaan toa masjid pun dijelaskan dalam lampiran instruksi tersebut. Kekurangannya yaitu kerugian dari penggunaan Pengeras Suara ke luar masjid, langgar atau mushalla diantaranya dapat mengganggu kepada orang yang sedang istirahat atau sedang beribadah di dalam rumah masing-masing seperti mereda yang melaksanakah tahajud, menyelenggarakan upacara agama dan lain-lain. Dari beberapa ayat Al-Qur'an terutama tentang kewajiban : menghormati jiran/tetangga, demikian juga dari banyak hadits Nabi Muhammad SAW menunjukkan adanya batasan-batasan dalam hal
keluarnya suara yang dapat
menimbulkan gangguan walaupun yang disuarakan adalah ayat suci, doa atau panggilan kebaikan sebagaimana antara lain tercantum dalam dalil-dalil yang dilampirkan pada keputusan Lokakarya P2A tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla. Kesemuanya itu mendorong ummat Islam untuk mencari caracara yang bijaksana di antara melaksanakan syi'ar dan menjaga keutuhan hidup bertetangga yang tidak menimbulkan sesuatu gangguan bahkan keharmonisan dan rasa simpati yang timbal balik. Dalam kasus ini Meiliana didakwa dengan pasal 156 subsidair pasal 156a Huruf (a) KUHPidana yang berbunyi: "Dipidana dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.�6 Majelis hakim memvonis Meiliana dengan hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan. Perlu kita ketahui, penistaan agama menurut Pasal 1 UU No.1/ PNPS 1965 yang berbunyi “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan
tanggal 31 Agustus 2018. 5 Lampiran Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor : KEP/D/101/1978. 6 Pasal 156 subsidair Pasal 156a Huruf (a) KUHP.
mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.�7 Jika dilihat dari kedua pasal ini maka sebenarnya apa yang dilakukan Meiliana bukanlah merupakan penistaan agama. Karena apa yang dirinya sampaikan hanya mengeluhkan suara toa yang semakin besar dan tidak dilakukan dengan sengaja di muka umum. Padahal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama saja mengatakan kritik suara azan yang terlalu keras "bukan ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu". Kritik suara azan harus dilihat sebagai kritik yang konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural.8 Sebelum akhirnya Meiliana dibawa ke pihak yang berwenang, dirinya sempat mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan yaitu mendapatkan ancaman dari masyarakat yang berkumpul di depan kelurahan dengan berkata-kata menggunakan toa, bahkan sampai pada pengerusakan rumah
Meiliana, membakar 3 Vihara,
membakar 8 Kelenteng, 1 balai pengobatan di Tanjung Balai9 oleh massa yang tersulut emosinya atas perbuatan
Meiliana. Sementara oknum yang melakukan
pengerusakan tersebut hanya dijatuhi vonis paling sedikit 1 bulan 11 hari serta paling lama 2 bulan 18 hari dan vonis tersebut masih dikurangi masa kurungan, sehingga setelah dijatuhi vonis beberapa orang tersebut langsung bebas. Kepada pihak yang melakukan pengerusakan seharusnya mendapatkan hukuman lebih dari vonis yang telah dijatuhkan oleh majelis hakim pengadilan negeri Medan. Mereka dapat dikenai pasal penistaan agama yaitu Pasal 156a KUHP10, pasal pengerusakan barang yaitu pasal 406 ayat (1) KUHP11, pasal ancaman dengan kekerasan yaitu pasal 368 ayat (1) KUHP12. Bahkan mereka termasuk telah melanggar HAM yaitu telah melanggar Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun.�13 7 Pasal 1 UU No.1/ PNPS 196. 8 Detail Kejadian Keluhan Suara Azan dan Kerusuhan di Tanjung Balai. https://tirto.id/detail-kejadian-keluhansuara-azan-dan-kerusuhan-di-tanjung-balai-cUg6 , diakses pada tanggal 31 Agustus 2018. 9 Ini Kronologi Kasus Penistaan Agama Meiliana di Tanjung Balai. https://nasional.tempo.co/read/1119663/inikronologi-kasus-penistaan-agama-meiliana-di-tanjung-balai/full&view=ok , diakses pada tanggal 31 Agustus 2018. 10 Pasal 156a KUHP. 11 Pasal 406 ayat (1) KUHP. 12 Pasal 368 ayat (1) KUHP. 13 Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
Dari pasal tersebut sudah jelas bahwa massa ini telah melanggar HAM meilana. Karena dengan melakukan pembakaran terhadap bangunan-bangunan tersebut berarti bahwa mereka telah melakukan pelanggaran HAM karena menghilangkan tempat tinggal keluarga
Meiliana, membuat tempat ibadah tidak
dapat digunakan padahal kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai agamanya telah dijamin oleh undang-undang dasar, dan hilangnya fungsi salah satu balai pengobatan di Tanjung Balai padahal semua orang bebas mendapatkan hak atas kesehatan. Ironis sekali melihat apa yang telah dilakukan oleh Meiliana dan pihak yang melakukan pembakaran namun vonis yang dijatuhkan kepada kedua belah pihak sangat tidak sebanding. Dilihat dari putusan hakim tersebut, timbul beberapa kejanggalan, seperti tidak ada barang bukti terhadap terdakwa
Meiliana namun
persidangan tetap dilanjutkan sampai vonis dijatuhkan. Banyak berita yang muncul bahwa majelis hakim pengadilan negeri Medan yang menangani kasus terdakwa Meiliana ini dalam memvonis dibawah tekanan dari Aliansi Ormas Islam Peduli Kasus Penistaan Agama.14 Jika benar seperti itu, menunjukkan bahwa Pengadilan Negeri Medan telah gagal dalam menjaga netralitas dalam memutus perkara. Dari kasus tersebut pun dapat dilihat bahwa masyarakat mayoritas memiliki kekuatan dihadapan hukum daripada masyarakat minoritas. “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum� seperti yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 pun sepertinya telah diabaikan. Ketimpangan penjatuhan vonis apabila terus dibiarkan terjadi maka tidak akan menimbulkan efek jera bagi siapapun yang telah diuntungkan dalam penjatuhan vonis tersebut. Persekusi terhadap orang yang dianggap telah melakukan penistaan agama akan tetap marak terjadi, dan akan seterusnya pula hakim bisa diatur oleh orang-orang tertentu. Dan juga akan seterusnya pula keadilan di Indonesia hanya dimiliki oleh orang-orang mayoritas, orang-orang yang berpengaruh, memiliki kekuasaan, dan memiliki kekuatan. Sangat sulit untuk rakyat minoritas, rakyat kecil dan lemah untuk mendapatkan keadilan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum. D. Kesimpulan 1. Menyempitnya ruang dialog dalam masyarakat untuk menyelesaikan sebuah kasus menyebabkan maraknya tindakan ancaman, persekusi, dan permasalahan yang 14 “Ibu Meiliana, Maafkan Aku� – Ekspresi Muram Saksi Ahli Kasus Penistaan Agama. https://www.dw.com/id/ibu-meiliana-maafkan-aku-ekspresi-muram-saksi-ahli-kasus-penistaan-agama/a45192695 , diakses pada tanggal 31 Agustus 2018.
seharusnya masih bisa diselesaikan secara baik-baik akhirnya sampai dibawa ke ranah pengadilan. 2. Ideologi bangsa, Undang-Undang Dasar, dan berbagai undang-undang maupun peraturan sudah tidak lagi menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai agamanya, dan juga kebebasan berpendapat. 3. Sampai saat ini, pengadilan yang seharusnya menjadi wadah satu-satunya bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan, masih bisa dipengaruhi oleh orang-orang yang memiliki pengaruh maupun kekuatan. Sehingga keadilan itu hanya mimpi belaka bagi rakyat kecil dan lemah.