Hak Buronan mengajukan Praperadilan dalam perspektif SEMA No. 1 Tahun 2018 Oleh: A. Muh. Fiqih Muhfidh Taufik
Sema nomor 1 tahun 2018 tentang larangan pengajuan praperadilan bagi tersangka yang melarikan diri atau buron atau sedang berstatus DPO, mulai diberlakukan sejak disahakan 23 maret 2018. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang di atur dalam peraturan perundang-undangan. Tujuan utama dari praperadilan adalah sebagai mekanisme pengawasan terhadap penegak hukum dalam penggunaan upaya paksa pada prosedur penyidikan dan penuntutan. Fungsi praperadilan adalah sebagai kontrol vertikal eksternal dan internal serta kontrol horizontal antar aparat penyidik dan penuntut umum untuk dapat saling mengajukan permohonan praperadilan. Menurut Yahya Harahap pihak yang berhak mengajukan permintaan Praperadilan adalah: a. Tersangka, keluarganya, atau kuasanya, khusus tentang sah atau tidaknya: penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan. b. Penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan, khusus tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan. c. Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan, khusus tentang penghentian penuntutan. d. Tersangka, ahli warisnya, atau kuasanya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan atas alasan:   
penangkapan atau penahanan yang tidak sah, penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.
e. Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti rugi kepada Praperadilan atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan. Objek praperadilan diatur dalam Pasal 77 KUHAP, yang berisi: a) Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: b) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; c) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Perluasan objek praperadilan disematkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu meliputi, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Dalam prakteknya ada beberapa celah yang biasa di gunakan DPO yakni: 1. Status DPO oleh penyidikan, tapi masih bisa mengggunakan Praperadilan untuk menguji upaya paksa; 2. Status DPO di tingkat penuntutan tapi masih bisa menggunakan upaya hukum biasa (banding dan kasasi); 3. Status DPO di tingkat Penuntutan tapi masih bisa menggunakan Upaya Hukum Luar Biasa (PK). 4. Larangan yang tertera pada SEMA NO. 1 Tahun 2018 tersebut dikeluarkan oleh mahkamah agung didasarkan pada semakin maraknya orang-orang yang telah berstatus buron didalam negeri maupun maupun diluar negeri mengajikan praperadilan. Sebut saja terpidana kasus korupsi E-Ktp, setya novanto. Siapa sangka mantan ketua DPR RI ini pernah mengajukan praperadilan saat ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya. Sejak penetapan tersebut novanto seringkali absen dalam dan tak kunjung menyerahkan diri, hingga akhirnya kpk memasukkan namanya kedalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan berstatus buronan sejak kamis, 16 november 2017. Kuasa hukum setya novanto sempat mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan, dan diterima oleh PN Jaksel. Meski pada akhirnya hakim kusno menggugurkan gugatan tersebut pada sidang praperadilan (14/12/2017). Kemudian dalam kasus la nyalla mahmud mattalitti yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencucian uang oleh kejati Jawa timur, rabu 13 april 2016. Sejak saat itu dia mulai ditetapkan sebagai buronan internasional. Dan menariknya, la nyalla kembali mengajukan gugatan praperadilan pada senin, 25 april 2016, dan la nyalla dinyatakan bebas dari status tersangka. Mengajukan praperadilan memang merupakan hak bagi setiap orang untuk mempersoalkan penahanan, penerbitan Sp3, atau penetapan tersangka sebagaimana tertuang dalam pasal 77 Kitab Undang-undang hukum acara pidana (kuhap) dan diperluas oleh putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014. namun pertanyannya kemudian apakah orang-orang yang selalu menghindar dari pemeriksaan hingga saatnya ditetapkan sebagai buronan, berhak mendapatkan hak tersebut? Hal ini justru akan membuat celah hukum di Indonesia bagi para tersangka ataupun para terpidana untuk kabur terlebih dahulu bebas untuk memberikan kuasa kpd orang lain guna mengajukan upaya hukum seperti prapredilan. Pemikiran tersebut mulai melahirkan pro dan kontra terhadap SEMA ini. Seperti yang disampaikan oleh salah seorang advokat yang sering menangani kasus-kasus praperadilan, Maqdir Ismail. Menurutnya, "Sema ini sudah membatasi dan mengurangi hak asasi manusia
untuk mendapatkan akses keadilan", kata maqdir ismail kepada media hukumonline, pada selasa (3/4/2018). Maqdir jg berpendapat bahwa dalam praktik hukum dan ketentuan KUHAP, tidak ada kewajiban hadir dipersidangan bagi seseorang yang mengajukan praperadilan. Tidak hanya tersangka, bahkan keluarga maupun kuasanya dapat meminta pemeriksaan preperdilan berdasarkan pasal 79 KUHAP. Sehingga maqdir menganggap lahirnya SEMA no. 1 tahun 2018 ini bermaksud menganulir pasal 79 KUHAP tersebut. Pernyataan kontra terhadap sema ini jg dikeluarkan oleh Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafi’i dia menyampaikan hal itu di Yogyakarta, Minggu (1/4/2018). SEMA yang baru saja dikeluarkan MA itu berisikan tentang Larangan Pengajuan Praperadilan bagi Tersangka yang Melarikan Diri atau Sedang Dalam Status Daftar Pencarian Orang (DPO). Edaran ini menurut MA untuk memberikan kepastian hukum. “Edaran tersebut harus dievaluasi ulang karena melanggar asas praduga tak bersalah atau melanggar hak asasi manusia,” ucapnya kepada Parlementaria. Asas praduga tidak bersalah harus dijunjung tinggi dan sudah merupakan hak tersangka untuk mengajukan itu ke sidang praperadilan walau sedang masuk DPO. “Seseorang berhak mengajukan praperadilan untuk memastikan apakah benar sangkaannya yang diajukan kepadanya,” ucapnya lebih lanjut. Politisi asal Sumut ini pun menambahkan, jika ini benar dilarang, berarti para tersangka yang DPO akan kehilangan kesempatan untuk membuktikan sangkaan yang dituduhkan kepadanya. Syafi’i mempertanyakan mengapa hukum yang diterapkan penegak hukum cenderung mengabaikan HAM dan hak-hak warga negara. “Seperti tentang Perpu pembubaran ormas yang kemudian dijadikan udang-undang. Padahal, ormas tersebut memenuhi persyaratan, namun kemudian dibubarkan tanpa melalui proses peradilan. Ini mengabaikan hak sebagai warga negara,” tekan politisi yang dikenal dengan sapaan Romo ini. Sebagaimana diketahui. SEMA ditandatangani Ketua MA Hatta Ali pada 23 Maret lalu. Hal tersebut untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pengajuan praperadilan bagi tersangka dengan status DPO. MA juga menegaskan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan penasihat hukum atau keluarga tersangka yang buron, permohonannya tetap tidak dapat diterima sekaligus tidak dapat mengajukan upaya hukum lainnya setelah praperadilan ditolak. Tapi bukankah jika seseorang yang ingin mendapatkan haknya untuk mengajukan praperadilan berkewajiban hadir dipersidangan dan tidak melarikan diri? Ini yang patut diperhatikan oleh kita semua. Bagaimana mungkin ketika seseorang yang ingin menuntut haknya tetapi tidak mau melaksakan kewajibannya sebagai seorang tersangka.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa hukum bukanlah alat legitimasi bagi seorang spekulan, karena hukum hanya memberikan perlindungan bagi warga negara yang menunjukkan itikad baik terhadap proses hukum. Jadi seorang buron yang sudah jelas tidak mengindahkan proses hukum, berhak atas upaya hukum itu sungguh kesalahan besar. Sungguh tidak adil, kabur dari proses hukum justru telah menyulitkan aparat penegak hukum menjalankan tugas. Meskipun MA sebelumnya telah membuat pembatasan terhadap buron lewat SEMA no. 6 tahun 1988 yang diperbaharui lewat SEMA no. 1 tahun 2002 tentang pengajuan permohonan peninjauan kembali. Didalam aturan tersebut MA mengharuskan pemohon prinsipal hadir diruang sidang, tak hanya diwakili kuasa hukumnya. Namun surat edaran tersebut dianggap belum terlalu kuat untuk menutup kesempatan bagi para korban atau dpo untuk mengajukan atau menggunakan upaya hukum. Ada 2 muatan pokok yang diatur oleh SEMA no.1 tahun 2018. Pertama, tersangka yang sedang melarikan diri atau dalam status daftar pencarian orang maka tidak dapat diajukan praperadilan. Kedua, jika praperadilan tetap diajukan oleh penasehat hukum maupun keluarganya, maka hakim dapat menjatuhkan putusan putusan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard). Adapun menurut arsil, seorang peneliti pada lembaga advokasi dan independensi peradilan (LeIP), jangan sampai berlakunya SEMA tersebut malah merugikan orang-orang yang tidak melarikan diri. Jangan sampai yang sasaran sebetulnya mencegah orang yang sedang melarikan diri melakukan praperadilan justru menghindari itu karena ada celah. Dan perlu dipertimbangkan juga mengenai tercapainya kepastian hukum, dimana saat sedang melarikan diri atau berstatus dpo, ketika gugatan praperadilan gagal atau kalah atau ditolak hakim pengadilan, adakah yangbisa menjamin bahwa seorang buron/ tersangka tidak akan tetap bersembunyi tanpa kau menghadapi proses hukum dan penghukuman bagaikan seorang pengecut yang tidak berhak atas keistimewaan dari hukum maupun peradilan. Bagi beberapa kalangan advokat, terbitnya SEMA No. 1/2018 juga tidak diterima secara positif. Menurut Luhut M.P. Pangaribuan, seorang advokat senior dan juga Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) SEMA tersebut tidak menempatkan advokat sebagai penegak hukum. Hal ini dikarenakan keberlakuan SEMA tersebut seakan menggambarkan citra advokat yang diidentikan dengan kliennya, dimana apabila klien beritikad buruk, maka hal teersebut menggambarkan bahwa advokat juga itikad buruk. Sehingga menurut Luhut, di dalam SEMA tersebut perlu dipisahkan antara klien dengan advokat. Memang benar bahwa seorang advokat tidak dapat diidentikan dengan kliennya. Namun disisi lain perlu dicermati adalah dalam melakukan pemeriksaan, aparat penegak hukum yang bertindak sebagai penyidik akan berpegang pada persumption of guilt (praduga bersalah). Hal tersebut mengakibatkan akan menimbulkan pemikiran bahwa penasehat hukum secara sengaja
membantu menyembunyikan tersangka. Sehingga penasehat hukum tersebut dapat dijerat dengan Pasal 221 KUHP (obstruction of justice). Pengenaan obstruction of justice terhadap advokat bukanlah hal yang baru. Terakhir yang mendapat perhatian masyarakat umum adalah kasus dari Fredrich Yunadi. Fredrich Yunadi yang sebelumnya merupakan penasehat hukum dari Setya Novanto dikenakan Pasal 21 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Pasal 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Dimana Fredrich diduga melakukan rekayasa kecelakaan mobil dari Setya Novanto guna menghindari pemanggilan pemeriksaan oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Pengadilan mengenal penegakan hukum tanpa kehadiran terdakawa (in absentia) dalampemeriksaan perkara. Menurut Abdu Rahman Saleh, mantan Jaksa Agung konsep in absentiaadalah konsep di mana terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sehingga pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran terdakwa. Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1988 tentang Penasehat Hukum atau Pengacara yang Menerima Kuasa dari Terdakwa/Terpidana "In Absentia" memerintahkan hakim untuk menolak penasihat hukum/pengacara yang mendapat kuasa dari terdakwa yang sengaja tidak mau hadir dalam pemeriksaan pengadilan sehingga dapat menghambat jalannya pemeriksaan pengadilan dan pelaksanaan putusannya. Persoalan yang akan timbul dari pengajuan permohonan praperadilan oleh penasehat hukum adalah terkait keabsahan surat kuasa. Hal tersebut akan menjadi pertanyaan apabila seorang penasehat hukum mampu mengajukan praperadilan sedangkan keberadaan yang memberi kuasa masih belum diketahui. Hal ini tentunya menjadi suatu indikasi bahwa penasehat hukum secara sengaja menyembunyikan kliennya. Sehingga kami menganggap bahwa larangan terhadap penasehat hukum untuk mengajukan praperadilan guna kepentingan kliennya yang berstatus DPO sudah tepat. Hal ini disebabkan untuk mencegah perluasan dari sebuah kasus yang ditangani. Andaikata, penasehat hukumtersebut tidak terlibat terhadap pelarian dari kliennya yang beritikad buruk, akan tetapi polisi atau penegak hukum lainnya akan tetap beranggapan bahwa tersangka yang berstatus DPO tersebut “disembunyikan� oleh penasehat hukumnya.Oleh karena itu sebagai upaya prefentif terhadap upaya-upaya hukum yang rentan terhadap obstruction of justice keberlakuan SEMA No. 1/2018 menjadi hal yang positif. Dan juga tidak sedikit masyarakat yang menganggap bahwa penerbitan Surat Edaran (SE) Nomor 1 Tahun 2018 tentang larangan pengajuan praperadilan bagi tersangka yang melarikan diri atau sedang dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) berkaitan dengan kasus dugaan dugaan chat porno yang menyeret nama Rizieq Syihab.
Namun, hal itu kemudian dibantah oleh Mahkamah Agung (MA). Melalui Juru Bicara MA, Suhadi, menegaskan penerbitan SE tersebut tidak berkaitan dengan kasus tertentu, termasuk kasus Rizieq. Menurut dia, penerbitan surat itu semata-mata dilandasi pertimbangan kekosongan hukum. Suhadi menuturkan, surat edaran serupa pernah dikeluarkan MA pada 2012 lalu. Kala itu, MA menerbitkan SE mengenai larangan DPO mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK). Karenanya, Suhadi menegaskan penerbitan SE kali ini tidak berkaitan dengan kasus tertentu. "2012 sudah dikeluarkan SE sejenis tetapi untuk PK. Jadi orang melarikan diri tidak diperkenankan mengajukan PK dalam arti bahwa PK harus datang yang bersangkutan. Sampai sekarang masih berlaku," jelasnya. "Kalau untuk praperadilan, kalau dia mau upaya hukum ya jangan melarikan diri menghindari hukum," sambung Suhadi. Kesimpulan: 1.
2.
Diterbitkannya SEMA No. 1/2018 ini menjadi langkah yang dalam menghadapi celah hukum yang sering dimanfaatkan tersangka berstatus DPO untuk menghindari kewajiban hukumnya dan justru menuntut haknya dalam hal mengajukan praperadilan, serta demi tercapainya kepastian hukum; SEMA No. 1/2018 juga mampu mencegah upaya-upaya pembelaan hukum yang mengarah ke obstruction of justice.
Daftar pustaka Didik Endro Purwoleksono, ‘Pihak Ketiga Dalam Proses Praperadilan’, Yuridika Vol. 15, 2000, h. 20. Didik Endro Purwoleksono, Hukum Acara Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, 2015, h. 85. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, h. 8-10. Sovia Hasanah, “Larangan Praperadilan Bagi Tersangka yang Masuk Daftar Pencarian Orang (DPO)”, www.hukumonlie.com, 10 April 2018, dikunjungi pada tanggal 15 April 2018.
Redaksi, ‘DPO Tidak Boleh Ajukan Pra-Peradilan Dan PK’, Rmlo.co (online), http://www.rmol.co/read/2016/06/29/251667/DPO-Tidak-Boleh-Ajukan-Pra-Peradilan-DanPK-, dikunjungi pada tanggal 16 April 2018. Aida Mardatillah, “Kalangan Advokat ‘Protes’ Larangan Tersangka DPO Ajukan Praperadilan”, www.hukumonline.com, 4 April 2018, dikunjungi pada tanggal 16 April 2018 Redaksi, ‘Fredrich Yunadi dan dr Bimanesh Dijerat Pasal Obstruction of Justice’, Kabar3.com (online), http://m.kabar3.com/detail/5173/fredrich-yunadi-dan-dr-bimaneshdijerat-pasal-obstruction-of-justice, dikunjungi pada tanggal 15 April 2018. Abdul Rachman Saleh, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz, Kompas, Jakarta, 2008, h. 208.