Urgensi Penyelenggaraan Pilkada Serentak: Masa Depan Efektivitas dan Netralitas Demokrasi Oleh: Shafira S. – Nabila E. – Anita K. ALSA Local Chapter Universitas Padjadjaran
Pendahuluan Indonesia menjalankan
merupakan
sistem
salah
satu
pemerintahannya
negara
dengan
Republik
prinsip
yang
demokrasi.
Penerapan demokrasi tersebut mengedepankan asas kedaulatan rakyat yang dikenal dengan semboyan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat�. Hal tersebut terimplementasi dengan mengikutsertakan rakyat sebagai partisipan langsung dalam berjalannya pemerintahan yang digerakkan oleh suatu negara, yang mana dikenal sebagai Direct Democracy (Demokrasi Langsung) sebagaimana pernah diterapkan oleh Negara Kota (Polis) di Yunani. Pemilihan langsung ini ditujukan agar rakyat dapat memilih pemimpinnya secara langsung dan menghindari adanya intervensi dari pihak manapun yang dapat mempengaruhi pilihannya. Seperti halnya yang dipraktikan dalam setiap daerah seperti provinsi, kabupaten, dan kota, hadirnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi representasi dari konsep Direct Democracy.
Masa Depan Netralitas dan Efektivitas Pilkada Serentak Telah diketahui bersama bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mendapatkan amanatnya dari Undang-Undang Dasar 1945. Pelaksanaan pemilihan dilakukan secara
profesional oleh KPU sebagai tonggak tunggal dalam mewujudkan praktik Direct Democracy ini. Akan tetapi, seiring berjalannya pilkada tak jarang ditemukan adanya intervensi dari pihak luar yang mengganggu berjalannya masa Pemilihan Umum. Sebagaimana yang disampaikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam Konferensi Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat dari Partai Demokrat di Hotel Santika, Bogor pada tanggal 23 Juni 2018 lalu, adanya oknum dari Badan Intelijen Negara (BIN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian yang mengganggu kenetralan pilkada. Salah satunya, calon dari partai Demokrat diminta untuk memasukkan pejabat kepolisian menjadi wakil dalam pencalonan untuk kepentingan tertentu.
Adanya
permasalahan
tersebut,
menyebabkan
timbulnya
pertanyaan terkait keterlibatan antar lembaga negara dalam pembagian kekuasaan suatu negara. Sudah jelas bahwa dalam menjalankan suatu pemerintahan negara terwujud dengan bergeraknya lembaga-lembaga negara. Setiap lembaga negara yang terdiri atas Main State Organ, Auxiliary Organ, dan sebagainya memiliki tugas masing-masing yang mana telah ditegaskan dalam teori pembagian kekuasaan yang disampaikan oleh Montesquieu. Pembagian kekuasaan ini terdiri atas cabang legislatif, eksekutif, dan yudikatif menjalankan yurisdiksinya masing-masing sehingga tidak dimungkinkan adanya campur tangan dari tiap cabang kekuasaan.
Berdasar pada uraian di atas, perlu disimak kembali dalam Pasal 22E ayat
(5) Undang-Undang Dasar 1945 (sebagaimana ditegaskan
kembali dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum) telah menyebutkan, bahwasanya:
“pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri�
Dimana di dalam ayat-1 nya disebutkan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dari kedua ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum haruslah dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mandiri. Hal tersebut kembali ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (3) UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 bahwa KPU sebagai badan penyelenggara pemilihan umum bebas dari pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Adanya frasa “bebas dari pengaruh pihak
manapun�
berkaitan
dengan
teori
pemisahan
kekuasaan
(Separation of Power) yang telah tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca Amandemen.
Perlu ditegaskan kembali bahwa teori pemisahan kekuasaan memiliki hubungan yang erat dengan macam-macam lembaga negara itu sendiri. Bagir Manan melalui bukunya Pembaharuan Lembaga-Lembaga Negara dalam UUD 1945-Baru, menyampaikan bahwa pembagian lembaga negara jika dilihat dari fungsinya terdiri dari lembaga negara yang menjalankan fungsi ketatanegaraan, baik secara langsung maupun tidak langsung (juga dikenal sebagai Main State Organ), lembaga negara
yang menjalankan fungsi administratif, lembaga negara “auxiliary� atau Auxiliary Organ, dan Lembaga Negara ad hoc.
Ditinjau dari teori lembaga negara yang telah dipaparkan, KPU merupakan lembaga negara yang menjalankan fungsi administratif. Hal ini terwujud dalam UUD 1945 yang menyebutkan KPU melaksanakan pemilihan umum. Akan tetapi jika dilihat dari makna ataupun pengertian organ negara, KPU bukanlah organ negara, melainkan lembaga negara yang menjalankan fungsi administratif.
Selanjutnya,
menurut
survei
evaluasi
satu
tahun
kinerja
penyelenggara pemilu yang diadakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil, dengan
pernyataan
“Penyelenggara
pemilu
apakah
sudah
bebas
intervensi dari partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Pemerintah dalam pengambilan keputusan� kepada responden. Hasilnya adalah 58% tidak setuju untuk Komisi Pemilihan Umum dan 47% tidak setuju untuk Badan Pengawas Pemilu.
Dari hasil survei diatas menyimpulkan bahwa sebagian besar responden dari evaluasi tersebut menilai KPU dan Bawaslu selama ini belum benar-benar bebas dari intervensi partai politik, DPR, dan pemerintah, terutama terkait dengan verifikasi partai peserta pemilu 2019. Terkait aspek kemandirian dari KPU dan Bawaslu pun, terdapat keraguan pada penyelenggara pemilu dan hal ini dicontohkan pada saat pengambilan keputusan dan penyusunan peraturan tentang pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta pemilu.
KPU juga dianggap belum cukup baik dalam memberikan pelayanan yang adil dan setara dalam proses verifikasi partai politik calon peserta pemilu. Dapat dilihat dari partai yang diterima secara langsung oleh anggota KPU tetapi terdapat pula yang hanya diterima oleh staf penyelenggara pemilu. Dari hasil survey evaluasi kinerja penyelenggara pemilu ini dapat menjadi cermin bagi penyelenggara pemilihan kedepannya.
Kemandirian KPU dan Bawaslu dipertanyakan sejak perubahan kebijaka KPU terhadap metode verifikasi partai politik calon peserta pemilu pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Lalu soal LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) yang dulu mesti diserahkan di awal, tetapi sekarang hanya sebagai syarat pemenuhan untuk syarat keterpilihan. Setelah itu ada pula larangan napi korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif yang pada kasus ini KPU firm pada posisinya.
Pemilihan umum yang dilakukan secara langsung dilakukan oleh masyarakat merupakan salah satu bentuk untuk mewujudkan Direct Democracy dan sebagai upaya untuk menghindari adanya intervensi dari pihak lain yang sama halnya untuk pemilihan kepala daerah (pilkada). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah menjelaskan mengenai tugas dan wewenang dari masing-masing lembaga agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugasnya. Pada kenyataannya, masih timbul permasalahan tentang intervensi yang dilakukan oleh pihak lain dalam pelaksanaan pemilihan umum yang
diselenggarakan oleh salah satu lembaga negara yang menjalankan fungsi administratif, yaitu KPU. Menurut hasil survei, partai politik, DPR, dan Pemerintah dalam pengambilan keputusan masih melakukan intervensi terhadap KPU maupun Bawaslu, yang pada dasarnya merupakan lembaga yang bersifat mandiri dan harus bebas dari intervensi pihak lain. KPU masih dianggap belum adil sebagai penyelenggara pemilu yang pada akhirnya sifat kemandirian dari KPU maupun Bawaslu masih dipertanyakan.
Seharusnya, setiap lembaga yang telah diberikan tugas dan wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana mestinya, dan dilarang untuk melakukan intervensi terhadap lembaga lain. Kinerja dari anggota KPU maupun Bawaslu perlu lebih ditingkatkan agar dapat memberi pelayanan yang lebih adil dan setara dalam pelaksanaan pemilihan umum. Kemudian, tindakan lanjut seperti peringatan dan pemberian sanksi tegas terhadap pihak-pihak yang mengintervensi suatu lembaga yang tidak berada di dalam ranahnya sangat diperlukan agar tidak menjadi masalah yang semakin rumit di kemudian hari. Pemerintah diharapkan dapat membentuk suatu peraturan mengenai sanksi yang nyata untuk para pihak yang mengintervensi lembaga lain, karena dengan adanya sanksi nyata bagi setiap pelanggar, akan menciptakan efektivitas dalam mewujudkan netralitas berdemokrasi.