Ailo unsrat 17/18: Penerapan Pemberatan Hukuman Sosial Mempublikasikan Indentitas Pelaku Pemerkosaan

Page 1

Penerapan Pemberatan Hukuman Sosial Mempublikasikan Indentitas Pelaku Pemerkosaan Oleh : ALSA Local Chapter Universitas Sam Ratulangi

Pemerkosaan merupakan suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual secara paksa baik dengan kekerasan ataupun dengan ancaman kekerasan yang saat ini target tindak kejahatan lebih berpotensial mengarah kepada seorang wanita maupun anak-anak yang efeknya akan dapat menyebabkan kerusakan fisik (cacat, kematian), psikis (depresi, trauma), seksual (rusaknya organ seksual) dan relasi sosial (pengucilan, dampak dari stigamtisasi) terhadap korban tersebut. Menurut Prodjodikoro (1986:117), perkosaan terjadi apabila seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu. Pelecehan seksual terhadap kaum wanita menurut Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani, permasalahan kekerasan seksual yang dimaksud bukan hanya perkosaan, melainkan bisa dikategorikan dalam 15 bentuk. Kejadian ini banyak dirasakan oleh perempuan tetapi tidak diketahui sebagai bentuk kekerasan. 15 bentuk kekerasan itu antara lain: ancaman atau percobaan perkosaan dan serangan seksual lainnya, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, kontrol seksual termasuk pemaksaan busana, dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama, praktik tradisi bernuansa seksual yang berbahaya, dan atau diskriminatif. Aktivis perempuan, Wulan Danoekoesoemo, menyatakan banyak pelaku kekerasan seksual bukan orang asing bagi korbannya. Pelaku umumnya mengincar korban yang ada di dekatnya karena adanya kemudahan akses. Menurut Saskia E. Wieringa, Ahli Kajian Gender dan Seksualitas dari Universitas Amsterdam, pemerkosaan di Indonesia sudah masuk dalam situasi sulit. Selain itu, perempuan yang sering menjadi korban juga jarang mendapat keadilan karena kejadian pemerkosaa dianggap kesalahan perempuan. Sudah menjadi wacana umum bahwa pihak lakilaki kebanyakan berpikir bisa memiliki perempuan, sehingga ketika mereka sedang naik hasrat seksualnya dan sulit dihentikan, mereka bisa melakukan pemerkosaan. Korban harus membuktikan bahwa tindak kekerasan seksual memang benar-benar telah terjadi, sementara pelaku tidak perlu membuktikan apapun untuk menunjukkan ia tidak bersalah. Tidak jarang korban harus berkali-kali memaparkan ulang kejadian traumatis yang dialaminya. Terdapat stigma di masyarakat Indonesia bahwa wanita korban perkosaan adalah perempuan hina. Selain itu, terdapat pandangan bahwa yang salah adalah pihak wanita, karena mereka dengan sengaja menggoda dengan cara berpakaian atau dandanan mereka.


Akibatnya, korban enggan untuk melaporkan kejadian yang ia alami supaya tidak merusak nama baiknya maupun keluarganya. Sedangkan pelecehan seksual anak merupakan istilah umum yang menggambarkan tindak kriminal dan sipil di mana orang dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak di bawah umur atau eksploitasi anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual. Asosiasi Psikiater Amerika menyatakan bahwa "anak-anak tidak bisa menyetujui aktivitas seksual dengan orang dewasa", dan mengutuk tindakan seperti itu oleh orang dewasa: "Seorang dewasa yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak adalah melakukan tindak pidana dan tidak bermoral yang tidak pernah bisa dianggap normal atau perilaku yang dapat diterima secara sosial. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Maria Ulfah Anshor, mengatakan kejahatan pada anak pada tahun 2012 didominasi kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual dengan nilai 30%. Dari hasil pemantauan KPAI, sebanyak 87 persen anak sekolah mengaku telah mendapatkan kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh guru, wali kelas, petugas administrasi, dan satuan pengaman (satpam) sekolah. Pada tahun 2013, Emayartini menjadi wanita pertama di Indonesia yang dipenjara karena kasus pemerkosaan. Ia terbukti bersalah mencabuli enam anak remaja sehingga divonis penjara 8 tahun, denda 60 juta rupiah subsidair 3 bulan kurungan. Kasus ini memunculkan perbedaan pendapat karena berdasarkan uji psikologi RSJ Bengkulu, Emayartini perlu dirawat. Namun, berdasarkan penilaian majelis hakim, ia tidak gila sebab selama pemeriksaan ia sadar dan bisa menjelaskan kronologis kejadian. Mengenai pemerkosaan terhadap pria dalam perundang-undangan di Indonesia, dijelaskan oleh R. Soesilo mengenai Pasal 285 KUHP, menyatakan bahwa pembuat aturan tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa laki-laki untuk bersetubuh. Hal ini bukan semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk atau merugikan, seperti halnya seorang perempuan yang dirugikan (hamil) atau melahirkan anak karena perbuatan itu. Dasar hukum mengenai pemerkosaan di Indonesia diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana, Bab XIV mengenai Kejahatan terhadap Kesusilaan pasal 285 – pasal 298. Dasar hukum mengenai pencabulan terhadap anak-anak diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. BAB IX. Penyelenggaraan Perlindungan (Bagian Kelima: Perlindungan Khusus) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani memimpin rapat koordinasi bersama sejumlah kementerian terkait untuk membahas amandemen Undang-Undang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


Sesuai hasil rakor, semua kementerian/lembaga sepakat akan diatur tentang pemberatan hukuman maksimal kepada pelaku perkosaan atau pencabulan berupa mempublikasikan identitas serta foto pelaku di tempat umum. Hukuman tersebut dapat berupa mempublikasikan identitas pelaku pemerkosaan kepada publik. Memberitahukan melalui menyebarkannya indetitas pelaku beserta foto pelaku yang kemudian ditempel ditempat umum seperti pasar, SPBU dan lain-lain bahwa pelaku tersebut diumumkan telah melakukan tindakan tersebut (pencabulan atau perkosaan) secara publik sehingga publik mengetahui bahwa dia sudah melakukan hal yang di luar kemanusiaan serta bertujuan agar masyarakat dapat mewaspadai pelaku dan menjauhkan anak-anak mereka agar tidak menjadi korban selanjutnya. Hukuman sosial seperti mempublikasikan indentitas tersebut sebaiknya diterapkan dan dapat disimpulkan apabila pemerintah akan menerapkannya sangat diharapkan agar dapat menimbulkan efek jera dan yang bersangkutan diharapkan tidak akan mengulangi perbuatannya kembali. Meskipun pelaku telah mendapatkan hukuman atau pemberatan hukuman berupa dipublikasikannya identitas pelaku pemerkosaan tersebut, pemerintah tetap akan memberikan pendampingan dan rehabilitasi bagi pelaku sehingga diharapkan pelaku tidak akan lagi mengulangi perbuatannya tersebut.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.