Inkonstitusional Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Pendahuluan dan Permasalahan Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang tengah dilakukan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tentu masih menjadi perbincangan yang hangat di tengah masyarakat. Ini merupakan bagian dari keinginan penyelenggara negara untuk “menyempurnakan� Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dengan beberapa pembaharuan terhadap konsepsi yang akan diusulkan. Bila dikaji dari latar belakang dan juga tujuannya tentu akan menjadi lebih baik. Namun, yang perlu diperhatikan ialah kehadiran kebijakan yang menyangkut persoalan dengan introduksi masyarakat (hukum) adat yang didalamnya juga disertakan niat “tetap dan sejauh masih seiring dengan semangat NKRI. Penyelenggara Negara RI memang mesti berlangsung dengan selalu menghormati tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada sebelum terbentuknya negara RI, dengan keaslian susunannya, termasuk segala aturan tak tertulis yang berlaku dan melandasi kehidupan mereka. Namun apakah RUU Pertahanan yang tengah dalam masa pembaharuan mampu mengakomodir hak hak masyarakat (hukum) adat? Sejatinya anggapan bahwa pengakuan hak hak masyarakat hukum adat yang dijanjikan konstitusi tak kunjung direalisasikan Pemerintah bukan merupakan sebuah rahasia masa lalu lagi. Padahal sejatinya Undang- Undang Dasar 1945 sudah mengamanatkan untuk mengakui adanya hak-hak masyarakat (hukum) adat sebagaimana yang tercantum dalam (penjelasan) Pasal 18 sebelum diamandemen dan kemudian dipertegas pada Pasal 18 Huruf B Ayat 2 setelah UUD 1945 diamandemen tahun 2000. Apabila kita melihat sejarah yang terjadi pada masa lalu ialah pengingkaran dan/atau pelanggaran terhadapnya, terlebih lagi pada masa orde baru pengingkaran yang terjadi semakin massif, bahkan sebuah peraturan pemerintah tentang hak pengusahaan hutan pada masa orde baru juga pernah membatalkan pengakuan hak masyarakat adat. Ini merupakan bentuk inkonstitusi yaitu pengingkaran terhadap amanat yang tercantum dalam UUD 1945. Namun, seiring dengan berjalannya waktu masa Reformasi membawa suasana baru. Ada sebanyak 5 putusan mahkamah konstitusi yang menegaskan kembali dan mengakomodir pengakuan atas hak masyarakat hukum adat, termasuk didalamnya hak atas tanah adat/tanah ulayat. Putusan yang dikeluarkan MK tersebut telah merumuskan kriteria dan kondisionalitas dan juga proses pengakuan hak hak masyarakat (hukum) adat yang lebih pasti dari masa sebelumnya.
Analisa serta Dasar Hukum yang Berkaitan dengan Permasalahan Perlu diketahui bahwa saat ini ada 5 perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk memperoleh pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat secara hukum. Pertama, Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, kedua Permendagri No 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, ketiga Peraturan Bersama Mendagri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertahanan No 79/2014 (dalam tiga nomor) tentang Tata Cara Penyelesaian Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan. Kemudian keempat Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No 9/2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu, kelima Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 32/2015 Tentang Hutan Hak. Namun, kebijakan ditiap Undang-Undang tersebut berbeda dalam menempuh pengakuan. Salah satunya bisa dilihat UU Desa yang berbeda cara penempuhan nya dengan peraturan perundang-undangan lain, termasuk apabila dibandingkan dengan UU No.41/1999 tentang Kehutanan. Jika peraturan perundang-undangan yang lain memberlakukan pengakuan secara penuh (akumulatif) sedangkan UU Desa menerapkan pengakuan secara sebagian (fakultatif). Tentunya, secara kasat mata dalam menempuh pengakuan dengan ketentuan UU Desa lebih mudah untuk direalisasikan daripada peraturan perundang-undang lainnya yang menempuh pengakuan secara akumulatif yang untuk dipenuhi. Dengan menggunakan Peraturan Daerah sebagai instrument hukum, diharapkan mampu mengakomodir pengakuan suatu masyarakat adat sebagai suatu desa adat yang telah termaktub dalam UU Desa 2014 syarat yang ditentukan pada pasal 67 UU 41/1999 juga dapat terpenuhi secara maksimal. Hak Masyarakat Adat dalam tanah adat Sejatinya konstitusi sebagai aturan tertinggi dalam hirarki peraturan perundangundangan yang mengakui adanya hak masyarakat atas tanah adat/hak ulayat. Tetapi pengakuan yang digunakan seiring dengan putusan MK 35/2012, yakni tanah adat bukan tanah negara, tanah adat berada diwilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat, hak masyarakat bersangkutan yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan daerah. Apakah pengaturan demikian tepat? Mari kita melihat dalam implementasi nya kasus hutan adat yang dapat saja berupa dan/atau berada pada tanah ulayat orang Minangkabau di Sumatera Barat. Di sana (Ranah Minang) susunan masyarakat hukum adat sangatlah beragam. Ada yang disebut kaum/buah gadang (keluarga luas berdasarkan nenek/perempuan tertentu), suku (keluarga luas berdasarkan garis keturunan nenek moyang), dan juga nigari (kesatuan permukiman/desa teritorial yang genealogis).
Tiap susunan memiliki tanah ulayat yang disebut sako/pusako tersendiri yang diurus pemuka/pemimpin adat (panghulu andiko) yang berbeda pula satu sama lain. Tiap susunan punya kewenangan yang penuh atas sako/pusako, dan tak dapat mencampuri urusan kaum, suku, atau nagari yang lain. Pertanyaannya, apakah hal-hal yang demikian dibutuhkan peraturan daerah untuk setiap kaum/buah gadang, suku, ataupun nagari agar tiap pusako dapat diakui oleh negara sebagaimana dimaksudkan putusan MK 35/2012? Jika jawabannya “ya�, maka bisa dibayangkan betapa sibuk masyarakat hukum adat dan pemerintah di negeri ini untuk memenuhi amanat konstitusi. Kesimpulan dan Pendapat Hukum Oleh karena itu, dengan tidak mengurangi nilai-nilai positifnya, sejatinya implementasi putusan MK 35/2012 perlu dilengkapi dan/atau didekati dengan perspektif sosio-antropologis. Ini diperlukan agar jangan sampai putusan dimaksud justru menjadi sumber malapetaka yang baru bagi perjuangan pengakuan hak-hak masyarakat adat di negeri ini. Terlebih lagi, pada dasarnya, putusan MK 35/2012 itu sebenarnya juga mengukuhkan keberadaan Pasal 67 yang memberatkan masyarakat adat. Pembaharuan Ke Depan Sudah saatnya penyelenggara negara lebih memahami realitas sosio-antropologis dari apa yang disebut sebagai masyarakat (hukum) adat itu secara lebih empiris daripada berdebat soal konsep yang generik itu. Apalagi jika sekedar berdebat soal pengakuan hak masyarakat adat ini merupakan langkah maju atau mundur? Padahal, beberapa negara maju, seperti AS, Kanada, Australia, Selandia Baru, telah “mengakui dosa masa lalunya� dengan memberi pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai tuan rumah aslinya. Ajakan ini dimaksudkan agar kita terbebas dari berbagai ketentuan dan juga pengetahuan sosio-antropologis yang dirumuskan pada masa lalu yang konteksnya berbeda, baik sosial, ekonomi, budaya, serta politik, dan hukum pada masa kini. Langkah penting pertama adalah sejatinya penyelenggara negara mampu menerima realitas bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat itu ada yang bersifat perdata/privat dan ada yang bersifat publik. Merujuk kembali pada kasus tanah ulayat di Ranah Minang di atas, pusako kaum dan suku jelaslah bersifat privat. Ulayat nagari bersifat publik. Karena itu, pengakuan pada hak privat itu mesti diperlakukan sama seperti pemberian hak privat lain, seperti layaknya sertifikat tanah individual biasa, sebab tak seorang atau sekelompok orang pun bisa berbohong bahwa dia/mereka berasal dari kaum/suku tertentu, bukan dari kaum/suku lain. Petugas lapangan kantor Badan Pertanahan Nasional setempat dengan mudah menguji pengakuan ini dengan menanyai pihak lingkungan kaum/suku yang bersangkutan.
Untuk hak publik nagari, sudah tersedia nomenklatur desa adat versi UU No 6/2014 tentang Desa. Sudah saatnya momentum penyusunan UU Pertanahan ini, sebagaimana UU Desa, digunakan sebagai momentum membayar utang konstitusi terkait dengan pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat.