Aspek Hukum Financial Technology di Indonesia: Regulasi Startup FinTech oleh Bank Indonesia Dalam Pelarangan Perkembangan Penggunaan Bitcoin di Indonesia (Penyusun: Heri Setiawan, Mutiara Girindra, Octavianna Evangelista-Universitas Tarumanagara)
PENDAHULUAN Latar Belakang Finansial teknologi FinTech adalah suatu jenis layanan keuangan baru berdasarkan jenis pengguna perusahaan yang luas, yang dikombinasikan dengan teknologi dan layanan keuangan lainnya seperti pengiriman uang, pembayaran, pengelolaan aset dan sebagainya. Fintech mencakup semua proses teknis dari peningkatan perangkat lunak keuangan untuk memprogram jenis perangkat lunak keuangan baru yang dapat mempengaruhi seluruh proses layanan keuangan. Sedangkan, bitcoin adalah sebuah alat pembayaran digital currency pertama di dunia yang diciptakan oleh sekelompok programmer yang mengatasnamakan dirinya sebagai Satoshi Nakamoto pada tahun 2009. bitcoin menjadi cryptocurrency yang sistem pertukarannya tidak dikelola oleh operator manapun, melainkan dilakukan dengan sistem peer-to-peer alias dilakukan langsung antar individual tanpa perantara. Mata uang bitcoin tidak tercantum sistem perbankan dan tidak terkait dengan pemerintah dan seluruh pertukarannya terekam dalam sebuah distributed ledger yang disebut blockchain. Jika ditanya bagaimanakah bentuk mata uang ini, yang jelas bentuknya bukan seperti mata uang fisik yang dikeluarkan oleh sebuah bank dan bukan pula mata uang dari sebuah negara.1 Berdasarkan Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang,2 dalam hal menimbang pada huruf b yaitu: “bahwa Mata Uang diperlukan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan adanya penjelasan tersebut, saat ini dibutuhkan kejelasan tentang mata uang yang akan digunakan di wilayah Republik Indonesia sebagai alat pembayaran yang sah sesuai 1
Fransiska ardela, “definisi bitcoin”, diakses dari https://www.finansialku.com/definisi-bitcoin-adalah/, pada tanggal 5 januari 2018 pukul 18.25 WIB. 2 Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang., menimbang huruf (b)
dengan undang-undang sekaligus memberikan kejelasan akan perlindungan terhadap kerugian bagi masyarakat dalam penggunaan mata uang. Adanya kekosongan hukum yang mengatur akan mata uang bitcoin di Indonesia, maka dengan dasar tersebut Bank Indonesia (BI) menyatakan telah menandatangani aturan mengenai Fintech yaitu penerbitan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial pada Rabu (29/11) malam. Di dalam aturan tersebut, BI mempertegas lagi pelarangan transaksi menggunakan mata uang digital atau cryptocurrency seperti bitcoin. Saat ini mata uang elektronik bitcoin akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan di dunia internasional, khususnya Indonesia. Saat ini di Negara Indonesia masih ragu akan kejelasan mata uang bitcoin, sehingga Bank Indonesia sebagai Bank sentral mengeluarkan regulasi mengenai keberadaan mata uang bitcoin tersebut. Di dalam Legal Review ini penulis akan membahas mengenai, “Aspek Hukum Financial Technology di Indonesia: Regulasi Startup FinTech oleh Bank Indonesia Dalam Pelarangan Perkembangan Penggunaan Bitcoin di Indonesia”, Hal ini dikarenakan alat pembayaran sah yang ada di Indonesia hanyalah Rupiah. Berdasarkan pasal 8 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelanggaraan Teknologi Finansal, telah dijelaskan bahwa: “Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency “ Sehingga di dalam aturan tersebut Fintech dilarang untuk melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency atau mata uang virtual, Adapun yang dimaksud virtual currency adalah uang digital yang diterbitkan selain oleh pihak perbankan atau yang biasa disebut dengan bitcoin
Rumusan Masalah Berdasarkan topik tentang “Aspek Hukum Financial Technology di Indonesia: Regulasi Startup FinTech oleh Bank Indonesia Dalam Pelarangan Perkembangan Penggunaan Bitcoin di Indonesia”, ada beberapa hal yang perlu diungkap dalam penelitian ini sebagai berikut.
1) Bagaimanakah Regulasi Oleh Bank Indonesia Dalam Pelarangan Perkembangan Penggunaan Bitcoin Di Indonesia Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial? 2) Bagaimanakah
Perlindungan
Konsumen
Dalam
Pelarangan
Perkembangan
Penggunaan Bitcoin Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen?
PEMBAHASAN Regulasi Oleh Bank Indonesia Dalam Pelarangan Perkembangan Penggunaan Bitcoin Di Indonesia Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial Mata uang bitcoin jadi buah bibir di sepanjang 2017 kemarin. Harga sang raja mata uang bitcoin atau yang biasa disebut cryptocurrency terus meroket. Awal pekan Agustus 2017, bitcoin membuat rekor baru: untuk pertama kalinya, harga 1 bitcoin lebih mahal daripada 1 ons emas.Waktu itu setara US$4 ribuan, atau sekitar Rp55-56 juta. Sebagai mata uang atau alat pembayaran, bitcoin dan mata uang kripto lainnya ditolak, Sebab dalam undang-undang di Indonesia dianggap tidak sah jika dijadikan alat pembayaran. 3 Fintech (financial technology) saat ini sering dipandang sebagai penggabungan unik antara layanan keuangan dan teknologi informasi. Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan aturan terkait penyelenggaraan teknologi finansial (tekfin) atau financial technology (fintech). Adapun aturan tersebut adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelanggaraan Teknologi Finansial. Di Dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelanggaraan Teknologi Finansial, yang dimaksud dengan Teknologi Finansial (fintech) yaitu: “Teknologi finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran”.4 Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelanggaraan Teknologi Finansial, telah dijelaskan bahwa: “Penyelenggara
Teknologi
Finansial
dilarang
melakukan
pembayaran dengan menggunakan virtual currency “.
kegiatan
sistem
5
3
Aulia Adam, “Bayang-bayang Risiko Mata Uang Kripto dan bitcoin di 2018”, diakses dari https://tirto.id/bayang-bayang-risiko-mata-uang-kripto-dan-bitcoin-di-2018-cCNE, pada tanggal 7 januari 2018 pukul 15.04 WIB 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial., pasal 1 angka 1 5 Ibid., pasal 8 ayat (2)
Sehingga di dalam aturan tersebut, Fintech dilarang untuk melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency atau mata uang virtual. Dalam Penjelasan Pasal 34 huruf (a) Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, dijelaskan bahwa: “virtual currency adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang diperoleh dengan cara mining, pembelian, atau transfer pemberian (reward) antara lain Bitcoin, BlackCoin, Dash, Dogecoin, Litecoin, Namecoin, Nxt, Peercoin, Primecoin, Ripple, dan Ven. Tidak termasuk dalam pengertian virtual currency adalah uang elektronik”.6 Dilarangnya penggunaan pada Fintech dikarenakan virtual currency bukanlah alat sah pembayaran yang ada di Indonesia, alat pembayaran sah yang ada di Indonesia hanyalah Rupiah. Jika nantinya masih ada perusahaan start up yang menggunakan bitcoin, maka BI akan secara tegas menindak perusahaan Fintech tersebut. Bahkan BI akan mengancam untuk mencabut izin dari Fintech tersebut jika layanan bitcoin tidak juga dihapus.7 Alasan pelarangan adanya bitcoin oleh Bank Indonesia tersebut dilakukan untuk mencegah kasus pencucian uang dan pendanaan terorisme lewat mata uang digital seperti bitcoin dan ethereum, sekaligus untuk menjaga kedaulatan mata uang Rupiah di Indonesia. Menurut pandangan Penulis, Ada beberapa alasan yang menyebabkan mengapa bitcoin ini ilegal dan dilarang penggunaannya di Indonesia, yaitu: 1. Transaksi dengan menggunakan bitcoin tidak bisa dilacak oleh pemerintah. 2. Transaksi dengan menggunakan bitcoin tidak dikenai pajak. 3. Bitcoin bisa digunakan untuk pencucian uang (money laoundring). 4. Bitcoin digunakan dalam aktivitas ilegal, Memang bitcoin tidak dibuat untuk tujuan ilegal, namun faktanya sekarang banyak transaksi ilegal yang menggunakan bitcoin sebagai alat pembayarannya. 5. Keberadaan bitcoin dianggap bisa membahayakan mata uang biasa/lokal yang bisa merusak sistem finansial. Misalnya orang-orang akan lebih memilih menggunakan 6
Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran., pasal 34 huruf (a) 7 Giri Hartomo, “BI Larang Fintech Gunakan bitcoin Sebagai Alat Transaksi”, diakses dari https://economy.okezone.com/read/2017/12/07/320/1826987/bi-larang-fintech-gunakan-bitcoin-sebagai-alattransaksi, pada tanggal 4 januari 2018 pukul 15.07 WIB
bitcoin sehingga transaksi tunai di Bank lokal akan berkurang, Akibatnya Bank lokal bisa saja menelan kerugian. Berdasarkan 5 (lima) alasan diatas bisa disimpulkan bahwa alasan mengapa bitcoin dianggap ilegal di beberapa negara yaitu dikarenakan menghasilkan dampak negatif seperti penipuan, ancaman, dan tidak dapat dikontrol karena kurangnya pengawasan oleh negara tersebut. Padahal kita ketahui sendiri bahwa pemerintah selalu ingin mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, Lalu apakah benar bitcoin seburuk itu sehingga harus dilarang? tentu saja kita tidak bisa melihat sisi dari sisi buruknya saja, Ada juga manfaat yang bisa menjadi pertimbangan mengapa pemerintah harus mengilegalkan bitcoin, Bahkan pihak masyarakat sendiri merasa bitcoin itu mempunyai banyak manfaat, namun dibalik manfaat tersebut terdapat dampak negatif yang dapat dihasilkan juga. Latar belakang penerbitan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial tersebut dikarenakan:8 a. Perkembangan teknologi dan sistem informasi terus melahirkan berbagai inovasi yang berkaitan dengan teknologi finansial; b. Perkembangan teknologi finansial di satu sisi membawa manfaat, namun di sisi lain memiliki potensi risiko; c. Ekosistem teknologi finansial perlu terus dimonitor dan dikembangkan untuk mendukung terciptanya stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan andal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan inklusif; d. Penyelenggaraan teknologi finansial harus menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian; e. Respons kebijakan Bank Indonesia terhadap perkembangan teknologi finansial harus tetap sinkron, harmonis, dan terintegrasi dengan kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Tujuan dari Bank Indonesia menerbitkan ketentuan penyelenggaraan teknologi finansial itu sendiri merupakan untuk mendorong inovasi di bidang keuangan dengan menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian guna
8
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial., menimbang
tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan andal.9 Kemudian, pengertian Uang menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, yaitu: “Uang adalah alat pembayaran yang sah”.10 Sedangkan, yang dimaksud dengan Mata Uang menurut Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, yaitu: “Mata Uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah”.11 Jika kita lihat definisi uang, dapat diartikan bahwa uang adalah suatu alat pembayaran dan ketika uang diterbitkan oleh pemerintah atau otoritas yang berwenang, maka merupakan mata uang. Mata uang yang diakui di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang adalah Rupiah. Berkaitan dengan Ketentuan Pidana, bagi siapa saja yang tidak menggunakan Rupiah dalam transaksi sebagaimana yang telah dijelaskan terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, yang berbunyi: ”Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:12 a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau c. transaksi keuangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”. Selain itu menurut Pasal 34 huruf (a) Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, yang berbunyi bahwa:
9
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial., pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang., pasal 1 angka 2 11 Ibid., pasal 1 angka 1 12 Ibid., pasal 33 ayat (1) 10
“Bank Indonesia melarang Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran untuk melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual currency (termasuk bitcoin)”.13 Berdasarkan Pasal 35 ayat 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar ketentuan tersebut diatas maka akan dikenakan sanksi administratif berupa:14 a. teguran; b. denda; c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan jasa sistem pembayaran; dan/atau d. pencabutan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
Perlindungan Konsumen Dalam Pelarangan Perkembangan Penggunaan Bitcoin Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen Bank Indonesia melalui “Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial”, menegaskan pelarangan kepada masyarakat atas peredaran mata uang Bitcoin di Indonesia. Melihat kejadian tersebut, masyarakat sebagai konsumen, wajib mendapatkan perlindungan hukum dalam upaya perlindungan konsumen dalam penggunaan mata uang bitcoin. Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, akan dibahas tentang bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap konsume pengguna mata uang bitcoin di Indonesia. Konsumen dalam perlindungan konsumen adalah pihak yang membutuhkan perlindungan guna menghindari dari adanya kerugian yang akan diderita konsumen dari pihak pelaku usaha. Perlindungan konsumen memiliki asas-asas yang tercantum di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu:
13
Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran., pasal 34 huruf (a)
14
Ibid., pasal 35 ayat 1
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum�.15 Dari asas-asas tersebut, ternyata asas kepastian hukum dan asas keamanan dan keselamatan konsumen merupakan asas yang tepat digunakan dalam perlindungan hukum bagi masyarakat khususnya berkaitan dengan bitcoin di Indonesia. Dalam pasal 2 Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang penyelanggaraan teknologi Financial, Tujuan pembentukan adanya peraturan itu sendiri adalah untuk mengatur penyelenggaraan Teknologi Finansial serta mendorong inovasi di bidang keuangan dengan menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian guna tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan andal.16 Dalam hal ini, membicarakan keamanan merupakan hal penting bagi seluruh pihak khususnya konsumen, dimana konsumen yang memiliki mata uang bitcoin dan berkedudukan di wilayah Indonesia dan dimana konsumen menginginkan adanya keamanan terhadap kepemilikan serta penggunaan mata uang bitcoin yang dimilikinya tersebut. Lebih lanjut, mengenai kepastian hukum yang berada di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen dapat menaati aturan hukum yang berlaku dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya, adanya harapan dari undang-undang ini bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan isi dari aturan yang berada di dalam undang-undang terkait perlindungan konsumen. Janus Sidabalok mengemukakan ada 4 (empat) alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut:17 1. melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD 1945; 15
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen., Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial., pasal 2 17 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 6 16
2. melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi; 3. melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pambangunan nasional; 4. melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen. Dengan adanya 4 (empat) alasan pokok tersebut, maka jelas bahwa mengapa konsumen perlu dilindungi di Indonesia. Amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 menginginkan adanya perlindungan terhadap seluruh masyarakat Indonesia terkait pembangunan nasional. Konsumen juga dilindungi dalam rangka upaya menghindarkan konsumen dari kerugian yang akan dideritanya akibat penggunaan teknologi saat ini, sebab perkembangan dan kemajuan teknologi saat ini cenderung lebih cepat dibandingkan dengan aturan hukum yang ada saat ini. Selanjutnya melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen, ini dikarenakan masyarakat sebagai konsumen merupakan sumber dana bagi negara untuk menyelenggarakan pembangunan negara dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya, maka negara perlu mengeluarkan instrumen perlindungan bagi masyarakat sebagai konsumen.
PENUTUP Kesimpulan Mengetahui bahwa munculnya suatu teknologi financial yang berbasis peer-topeer yang disebut sebagai Fintech menimbulkan berbagai polemik di tengah masyarakat. Salah satunya ialah tidak adanya perlindungan hukum terhadap konsumen agar terhindar dari adanya kejahatan. Oleh karena itu, untuk meminimalisir kejahatan maka dibuatlah peraturan hukum mengenai Fintech yang tertuang dalam PBI Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Peraturan tersebut melarang masyarakat untuk menggunakan virtual currency sebagai alat pembayaran. Hal ini dikarenakan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Undang-Undang tentang Mata Uang tersebut mengatakan bahwa alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah Rupiah, Maka virtual currency tidak dapat digunakan karena bukan alat pembayaran yang sah. Adapun resiko yang timbul jika virtual currency dijadikan sebagai alat pembayaran sah yaitu adanya jalan untuk mendanai tindak pidana terorisme dan hal ini juga menjadi cara koruptor melakukan pencucian uang. Konsumen dalam perlindungan konsumen adalah pihak yang membutuhkan perlindungan guna menghindari dari adanya kerugian yang akan diderita konsumen dari pihak pelaku usaha. Perlindungan konsumen memiliki asas-asas yang tercantum di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum�. Dari asas-asas tersebut, ternyata asas kepastian hukum dan asas keamanan dan keselamatan konsumen merupakan asas yang tepat digunakan
dalam
perlindungan
hukum
bagi
masyarakat
khususnya
berkaitan
dengan bitcoin di Indonesia, dalam hal ini membicarakan keamanan merupakan hal penting bagi seluruh pihak khususnya konsumen. Saran Saat ini teknologi semakin berkembang dan tentunya masyarakat juga pasti akan mengalami suatu perkembangan, begitu juga mengenai perkembangan pada teknologi keuangan seperti halnya bitcoin. Kita dapat berpedoman pada ungkapan yang tercatat pertama kali yang diperkenalkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang filsuf, ahli hukum, dan ahli politik kelahiran Roma, yaitu “Ubi Societas Ibi Ius�, yang memilki arti
bahwa “dimana ada masyarakat disitu ada hukum�. Sehingga dengan adanya adagium hukum tersebut tentunya kita bisa melihat bahwa memang benar kebutuhan masyarakat mengenai teknologi sangatlah banyak dan penting akan tetapi masyarakat tidak bisa terlepas akan adanya suatu aturan atau hukum yang ada didalam kehidupan mereka. Masyarakat percaya bahwa teknologi dapat berfungsi untuk mempermudah segala sesuatu bagi setiap kebutuhan mereka namun perlu adanya suatu aturan mengenai dampak yang dihasilkan dari teknologi tersebut. Untuk itu hukum harusnya dapat berkembang pesat seperti halnya teknologi, jangan sampai hukum tertinggal seiring dengan berkembangnya teknologi, karena harus ada pengaturan hukum di setiap perkembangan teknologi yang ada dimasyarakat. Agar tercipta suatu
upaya
pencegahan
terhadap
tindakan
negatif
dari
teknologi
dan
upaya
penanggulangannya dari dampak negatif yang dihasilkan oleh teknologi tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya penelitian ini penulis ingin menyampaikan kepada Pihak Bank Indonesia bahwa dibutuhkan sebuah strategi yang komprehensif agar penyelenggaraan keuangan di Negara Republik Indonesia lebih berjalan dengan aman, optimal, dan dapat digunakan
sebagaimana mestinya untuk dapat mensejahterakan
kehidupan masyarakat. Strategi yang komprehensif ini harus menyangkut tindakan preventif, detektif, dan represif. Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya pencucian uang dan pendanaan terorisme lewat mata uang digital seperti bitcoin sekaligus untuk menjaga kedaulatan mata uang Rupiah di Indonesia, Strategi detektif sendiri diarahkan agar kasus pencucian uang dan pendanaan terorisme lewat mata uang digital seperti bitcoin sendiri dapat diidentifikasi, Sedangkan strategi represif sendiri memberikan solusi tentang bagaimana proses penanganan maupun penyelesaian kasus pencucian uang dan pendanaan terorisme lewat mata uang digital seperti bitcoin, sekaligus untuk menjaga kedaulatan mata uang Rupiah di Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga kita dapat memanfaatkan teknologi sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Arifin, E. Zaenal. 2012. Metode Penulisan Ilmiah. Tangerang: Pustaka Mandiri. Sidabalok, Janus. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
DASAR HUKUM Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
INTERNET https://economy.okezone.com/read/2017/12/07/320/1826987/bi-larang-fintech-gunakanbitcoin-sebagai-alat-transaksi https://tirto.id/bayang-bayang-risiko-mata-uang-kripto-dan-bitcoin-di-2018-cCNE https://www.finansialku.com/definisi-bitcoin-adalah/