TINJAUAN ATAS KEPASTIAN HUKUM PEMBERIAN IZIN ATAU PERSETUJUAN OLEH BANK INDONESIA KEPADA PENYELENGGARA FINTECH YANG TELAH DINYATAKAN BERHASIL DALAM UJI COBA REGULATORY SANDBOX
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini terdapat suatu fenomena inovasi disruptif yang mentransformasi sistem atau pasar yang eksisting dengan memperkenalkan kepraktisan, kemudahan akses, kenyamanan, dan biaya yang ekonomis.
1
Technology (”Fintech”).
Salah satunya yaitu Teknologi Finansial (“TekFin”) atau Financial 2
Fintech terbagi dalam beberapa kategori, yaitu:
i) sistem
pembayaran, ii) pendukung pasar, iii) manajemen investasi dan manajemen risiko, iv) pinjaman, pembiayaan dan penyediaan modal, dan v) jasa finansial lainnya. 3 Dari kelima kategori tersebut kategori pertama merupakan tugas dan kewenangan dari Bank Indonesia (“BI”). 4 Perusahaan Fintech sudah berkembang kurang lebih 12 tahun dengan jumlah perusahaan meningkat dari 4 sampai 165 perusahaan di tahun 2016 dari yang pada awalnya belum berizin karena belum teregulasi .5 Namun sejak terbitnya regulasi seperti Peraturan BI tentang TekFin No. 19/12/PBI/2017 (“PBI No.19/2017”) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi atau Peer to Peer Landing (disingkat “P2P”) (“POJK No.77/2016”) maka penyelenggara Fintech
Clayton M. Christensen dan Joseph Bower, “Disruptive Technologies: Catching the Wave”, Harvard Business Review, 1995 dalam Muliaman D.Hadad, “Financial Technology (Fintech) di Indonesia. (makalah disampaikan dalam kuliah umum tentang Financial Technology (Fintech), Jakarta, 2 Juni, 2017, hal.3. 1
2
Untuk selanjutnya Teknologi Finansial atau biasa disebut Financial Technology disingkat menjadi (“Fintech”). 3
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentangTeknologi Finansial, PBI No. 19/12/PBI/17 Tahun 2017, Penjelasan Ps. 3 ayat (1). 4
Untuk selanjutnya Bank Indonesia disingkat menjadi (“BI”).
Muliaman D.Hadad, “Financial Technology (Fintech) di Indonesia. (makalah disampaikan dalam kuliah umum tentang Financial Technology (Fintech), Jakarta, 2 Juni, 2017, hal.3. 5
1
yang memenuhi kriteria regulasi diatas wajib untuk mendaftar dan memiliki izin. Sampai saat ini baru ada 27 perusahaan P2P yang terdaftar dan mengantongi izin. 6 Penyelenggaraan Fintech dikhawatirkan dapat terhambat dengan adanya persoalan perizinan dan persetujuan sebagaimana industri lainnya.
7
Perizinan tersebut diwajibkan untuk
menyelenggarakan Fintech sementara persetujuan untuk melakukan pengembangan sebagaimana ditetapkan Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (“PBI No.18/2016”).
8
Adapun pengaturan mengenai
perizinan diatur sesuai dengan kategori dari Fintech nya. Dalam PBI No.19/2017dan PBI No.18/2016 diatur mengenai perizinan Fintech kategori sistem pembayaran, sementara Regulatory Sandbox (“RS”) secara khusus diatur dalam PBI No.19/2017.
9
RS sendiri adalah
suatu ruang uji coba terbatas yang aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya.10. RS utamanya diandalkan sebagai upaya untuk mendorong inovasi Fintech dengan tetap menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian.11 Selain itu RS diharapkan juga dapat membentuk regulasi baru untuk teknologi baru, mengurangi waktu masuknya produk Fintech ke dalam pasar, meningkatkan investasi dan membantu regulator dalam mengawasi dan memahami perkembangan Fintech. 12 Merujuk pada aturan-aturan BI tersebut antara lain: (i) Pasal 15(1) dari PBI No.19/2017 bahwa penyelenggara Fintech yang termasuk kategori Penyelenggara Jasa Sistim Pembayaran
Sakina Rakhma Dia Setiawan, “27 Fintech P2P Lending Sudah Kantongi Izin OJK”, http://ekonomi.kompas.com/read/2017/12/21/201200226/27-fintech-p2p-lending-sudah-kantongi-izin-ojk, diakses 15 Januari 2018. 6
KAR, “3 Persoalan Hukum Penghambat Industri Financial Technology”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt571f579e34e05/3-persoalan-hukum-penghambat-industri-financialtechnology, diakses 15 Januari 2018. 7
8
Untuk selanjutnya Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran disingkat menjadi (“PBI PPTP”). 9
Untuk selanjutnya Regulatory Sandbox disingkat menjadi (“RS”).
10
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Teknologi Finansial, Ps. 1 angka 4.
11
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Teknologi Finansial, Penjelasan Ps. 11 ayat (1).
Pavel Shoust dan Ekatrina Ryabkova, “Analytical Report: Regulatory Sanboxes, Regulation as Service”, (Russian Electronic Money Association, Oktober 2016), hal 16-17. 12
a
2
(“PJSP”) wajib memperoleh izin dari BI sesuai ketentuan PBI No.18/2016, serta (ii) Pasal 17(2) dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox atau RS) Teknologi Finansial (“PADG No.19/2017”) disebutkan bahwa terhadap produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis (PLTMB) untuk uji coba dalam RS yang dilakukan oleh penyelenggara Fintech dan dinyatakan berhasil harus mengajukan permohonan izin dan/atau persetujuan terlebih dahulu sebelum memasarkan PLTMB
13
dan
selanjutnya (iii) Pasal 8 ayat (2) PADG No.19/2017menyatakan uji coba dalam RS bukanlah proses perizinan, maka dapat diartikan bahwa badan usaha yang ingin memperoleh perizinan BI sebagai penyelenggara Fintech dapat (a) secara langsung mengajukan permohonan izin atau (b) melalui uji coba dalam RS terlebih dahulu dan (c) mereka yang telah berhasil uji coba dalam RS tidak serta-merta akan memperoleh izin dari BI. Dengan ketentuan di atas menurut M Ajisatria Suleiman, Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia, membuat tindak lanjut hasil uji coba yang dinyatakan berhasil menjadi belum jelas karena tidak adanya kesinambungan antara hasil uji coba dalam RS dengan hak memperoleh ketidakpastian hukum.
14
perizinan sehingga berakibat timbulnya
Akibat dari ketidakkepastian hukum tersebut adalah kerugian investasi
yang telah dilakukan oleh penyelenggara Fintech dalam melakukan uji coba dalam RS, kecuali jika uji coba tersebut tidak berhasil. Partner dari kantor hukum AKSET, Abadi Abi Tisnadisastra menyatakan RS sangatlah berisiko apalagi jika hasil uji coba dinyatakan tidak berhasil oleh BI. 15
Dengan demikian dalam karya tulis ini Penulis berusaha untuk memberikan tinjauan kepastian
hukum atas pemberian izin atau persetujuan oleh BI kepada penyelenggara Fintech yang berhasil dalam RS.
13
Untuk selanjutnya Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial menjadi (“PADG No.19/2017”). M Ajisatria Suleiman, “Membumikan Regulatory Sandbox”, Fintech Talk-Opini Editorial 50, (14 November2017)”, http://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/14/100000826/membumikan-regulatory-sandbox, diakses 5 Januari 2018, hal.2. 14
Nanda Narendra Putra, “Mengantisipasi Risiko Bisnis Bagi Fintech Ketika Masuk Regulatory Sandbox”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a336ca0ab985/mengantisipasi-risiko-bisnis-bagi-fintech-ketika-masukregulatory-sandbox , diakses 9 Januari 2018. 15
3
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, Penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut. 1) Bagaimanakah pengaturan perizinan penyelenggaraan pemrosesan transaksi sistem pembayaran di Indonesia? 2) Bagaimanakah pengaturan Regulatory Sandbox yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia? 3) Bagaimanakah pengaturan yang memberikan kepastian hukum atas pemberian izin atau persetujuan oleh BI kepada penyelenggara Fintech yang telah dinyatakan berhasil dalam Regulatory Sandbox?
II. PEMBAHASAN 2.1 Pengaturan Perizinan dan Persetujuan Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Sistem Pembayaran di Indonesia Sebelumnya perlu dipahami bahwa pemberian izin atau persetujuan Fintech oleh BI tunduk kepada ketentuan dalam PBI No.18/2016 sebagaimana ketentuan Pasal 17 (2) PADG No. 19/2017. Sehingga dalam poin 2.1.1 dan 2.1.2 dibawah ini penyebutan penyelenggara Fintech berarti sama dengan penyelenggara jasa sistem pembayaran (“PJSP”).16 Kewajiban memperoleh ”perizinan” ditujukan untuk menyelenggarakan Fintech dan kewajiban “persetujuan” ditujukan untuk melakukan: a) pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran, b) pengembangan produk dan aktivitas jasa pembayaran, dan/atau kerja sama dengan pihak lain. 17 Untuk mendapatkan izin atau persetujuan haruslah memenuhi persyaratan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh BI. Berikut penjelelasannya.
16
Untuk selanjutnya Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran disingkat menjadi (“PJSP”).
17
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, PBI No. 18/40/PBI/2016 Tahun 2016, Penjelasan Ps. 4.
4
2.1.1 Pengaturan “Perizinan� Dalam mengajukan izin untuk menjadi PJSP harus disesuaikan dengan kategori dari PJSP yang terdiri dari sepuluh kategori, antara lain: prinsipal, penyelenggara switching, penerbit, acquirer, dan PJSP lainnya yang ditetapkan BI. 18 Setiap pihak yang akan bertindak sebagai PJSP wajib memiliki izin dari BI dengan cara mengajukan izin yang wajib memenuhi diantaranya persyaratan umum, aspek kelayakan dan memenuhi persyaratan kepemilikan saham yang tergantung dengan kategori PJSP yang diinginkan.19 Mereka yang mengajukan PJSP dengan kategori penyelenggara switching, penyelenggara payment gateway, dan penyelenggara dompet elektronik harus berupa bank atau lembaga selain bank yang berbentuk perseroan terbatas20 dan harus memenuhi persyaratan tujuh aspek kelayakan PJSP antara lain legalitas, kesiapan operasional, dan kelayakan bisnis
21
dimana
khusus bagi pihak yang mengajukan penyelenggara dompet elektronik yang dapat menampung dana, maka ditambah dengan persyaratan kecukupan manajemen resiko22 dan perlindungan konsumen.23 Adapun persyaratan untuk memperoleh izin PJSP sebagai prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir mengacu pada Peraturan Bank Indonesia No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, sedangkan persyaratan perolehan izin sebagai Penyelenggara Transfer Dana mengacu pada Peraturan Bank Indonesia No. 14/23/PBI/2012 tentang Transfer Dana. 24 Pihak pemohon untuk menjadi PJSP harus memenuhi persyaratan diatas kepada BI25. Berdasarkan hasil pemeriksaan permohonan izin yang diajukan.
BI akan menetapkan keputusan menyetujui atau menolak 26
18
Ibid, Pasal 3 ayat (1).
19
Ibid, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2).
20
Ibid, Pasal 6 dan 7.
21
Ibid, Pasal 9 ayat (1).
22
Ibid, Pasal 9 ayat (2) a.
23
Ibid , Pasal 9 ayat (2) b.
24
Ibid, Pasal 10 ayat (1).
25
Ibid, Pasal 15 ayat (1).
26
Ibid, Pasal 15 ayat (4).
5
2.1.2 Pengaturan “Persetujuan” Untuk memperoleh suatu persetujuan maka persyaratan yang ditetapkan oleh PBI No.18/2016 harus dipenuhi sesuai dengan kategori PJSP dan jenis pengembangan yang akan dilakukan oleh PJSP. Jika PJSP ingin mengembangkan kegiatan jasa pembayaran dan/atau mengembangkan produk dan aktivitas, PJSP harus memenuhi persyaratan yang meliputi aspek kesiapan operasional, perlindungan konsumen dan penerapan manajemen resiko.
27
Sementara
jika dalam rangka bekerjasama dengan pihak lain, persyaratan yang harus dipenuhi meliputi aspek hukum, kinerja, serta legalitas dan profil perusahaan. Dengan berbagai pertimbangan,
28
maka BI akan memutuskan untuk menyetujui atau menolak permohonan tersebut.29 Dalam memohon izin atau persetujuan PJSP tidak diwajibkan untuk masuk ke dalam RS sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 17 ayat (3) PADG No.19/2017. Alasan kenapa PJSP tidak mengikuti RS terlebih dahulu karena RS sendiri merupakan tempat untuk menguji coba PLTMB dimana terdapat beberapa pertimbangan khusus yang harus dipenuhi agar dapat mengikuti RS seperti mengandung unsur inovasi. 30 Inovasi menurut Pasal 1 angka 5 PADG No.19/2017 adalah penggunaan teknologi baru dan/atau penerapan ide baru dalam mekanisme, instrument, hukum, dan/atau dalam penyelenggaraan Fintech. Menurut Deputi Gubernur BI Sugeng RS diharapkan dapat memberi ruang bagi Penyelenggara Fintech untuk memastikan lebih lanjut apakah PLTMB telah memenuhi berbagai kriteria dan regulasi yang berlaku. Sehingga dengan PLTMB yang sudah cukup dipastikan telah memenuhi kriteria dan regulasi yang berlaku. 31 Dari ketentuan PBI No.18/2016 tersirat bahwa: (i) baik proses untuk “perizinan” atau “persetujuan” menjadi PJSP dapat diajukan langsung tanpa harus melakukan uji coba RS dan
27
Ibid, Pasal 12 ayat (1).
28
Ibid, Pasal 15 ayat (3).
29
Ibid, Pasal ayat 15 (4).
30
Untuk selanjutnya produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis (PLTMB) disingkat menjadi (“PLTMB”). Rezkiana Nisaputra, “BI Wajibkan Fintech Uji Coba Regulatory Sandbox”, http://infobanknews.com/biwajibkan-fintech-uji-coba-regulatory-sandbox/, diakses 8 Januari 2017. 31
6
(ii) tidak ada perbedaan persyaratan dalam pengajuan izin untuk PJSP antara pemohon yang langsung (yang tidak melalui uji coba dalam RS) dengan pemohon yang mengajukan izin setelah melalui uji coba RS dan dinyatakan berhasil oleh BI.Dengan demikian BI tidak memberikan keistimewaan dalam memenuhi persyaratan bagi pemohon izin PJSP yang telah berhasil dalam uji coba RS.
2.2 Pengaturan Regulatory Sandbox yang Diselenggarakan oleh BI Secara garis besar pengaturan dari terdiri atas: i) tata cara penetapan (eligibility), ii) proses, iii) hasil uji coba, dan iv) kewajiban perizinan bagi Fintech sistem pembayaran. Untuk mengikuti Regulatory, penyelenggara Fintech harus ditetapkan terlebih dahulu oleh BI.
32
Terhitung sepuluh hari setelah mendapat penetapan, penyelenggara Fintech kemudian harus menyampaikan usulan skenario yang akan digunakan sebagai skenario uji coba.
33
Pada saat
usulan skenario sudah disetujui oleh BI dan sebelum proses uji coba dimulai, penyelenggara Fintech harus mengirimkan surat kesanggupan untuk menjalankan skenario uji coba. 34 Proses uji coba maksimal 6 bulan sejak tanggal penetapan usulan skenario uji coba yang dapat diperpanjang dengan permohonan paling lambat 1 bulan sebelum berakhirnya proses uji coba. 35 Selanjutnya, berdasarkan penilaian tersebut, Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba dalam Regulatory Sandbox yaitu i) berhasil, ii) tidak berhasil, atau iii) status lain yang ditetapkan BI.
36
Jika hasil uji coba dalam RS dinyatakan berhasil, maka sebelum dipasarkan
wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai ketentuan PBI No.18/2016 tentang penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Pasal 17(3) PADG No.19/2017 menyebutkan bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan mengenai penetapan status hasil uji coba dalam RS dan sebelum memperoleh penetapan hasil uji coba dalam RS dari BI, penyelenggara Fintech dapat menyampaikan permohonan izin dan/atau persetujuan kepada BI sebagaimana ketentuan dalam PBI No.18/2016. Ketentuan Pasal 17(3) 32
Indonesia, Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Ruang Uji Coba Terbatas, PADG No. 19/14/PADG/2017, Pasal 3 ayat (1). 33
Ibid, Pasal 9 ayat (1).
34
Ibid, Pasal 10 ayat (5).
35
Ibid, Pasal 11 ayat (1) dan (2).
36
Ibid, Pasal 16 ayat (3).
7
dari PADG No.19/2017 ini menyiratkan bahwa pengajuan “izin” atau “persetujuan” sebagai PJSP oleh penyelenggara Fintech dapat dilakukan secara paralel/ bersamaan dengan proses uji coba dan keberhasilan uji coba dalam RS tidak berpengaruh terhadap pemberian izin sebagai penyelenggaraan Fintech karena pemohon tetap harus mengajukan permohonan izin sebagai PJSP kepada BI berdasarkan ketentuan PBI No.18/2016.
2.3 Pengaturan yang Memberikan Kepastian Hukum atas Pemberian Izin oleh BI kepada Penyelenggara Fintech yang telah dinyatakan berhasil dalam Regulatory Sandbox
Dari uraian pada poin 2.1 dan 2.2 diatas dapat disimpulkan dua (2) hal, yaitu (i) tidak ada perbedaan persyaratan untuk mengajukan izin antara pemohon yang mengajukan secara langsung dan pemohon yang sebelumnya masuk dalam uji coba sandbox. Hal tersebut dikarenakan setiap penyelenggara Fintech yang telah melakukan uji coba dan dinyatakan berhasil tetap harus
memperoleh izin atau persetujuan sebelumnya dari BI
sebagaimana
ketentuan Pasal 17(3) PADG No.19/2017; (ii) keberhasilan penyelenggara Fintech dalam uji coba RS tidak secara otomatis memberikan hak untuk memperoleh izin sebagai PJSP, dimana ketentuan ini diatur pada Pasal 8(2) dari PADG No. 19/2017.
Dari kesimpulan diatas dapat
diartikan bahwa tidak ada jaminan bagi penyelenggara Fintech yang telah berhasil dalam uji coba RS akan memperoleh izin sebagai PJSP dari BI, dimana dapat terjadi untuk alasan tertentu pihak penyelenggara Fintech yang telah berhasil dalam uji coba RS gagal memperoleh izin sebagai PJSP dari BI. Hal ini tentunya memberikan ketidakpastian hukum dan/atau ketidakadilan bagi mereka yang mengalami kasus tersebut. Oleh karena itu patut dipertanyakan apakah tepat bagi mereka yang telah dinyatakan berhasil dalam uji coba harus memenuhi persyaratan izin atau persetujuan yang sama dengan yang langsung? Sebagaimana diketahui bahwa tujuan utama dari uji coba dalam RS adalah untuk mengawasi inovasi demi mendorong persaingan antar penyelenggara Fintech dan efisiensi dalam industri keuangan.
37
Dari tujuan tersebut berimplikasi bahwa keuntungan yang ingin dicapai
Ivo Jenik dan Kate Lauer, “Regulatory Sandboxes and Financial Inclusion”, Working Paper, (Washington D.C.: CGAP, 2017), hal.1. 37
8
adalah banyaknya PLTMB yang masuk ke pasar dengan waktu dan pendanaan yang seefisien mungkin. Masuknya PLTMB ke pasar dengan lancar merupakan suatu kepastian hukum.
38
Kegagalan hal tersebut perlu dipahami dapat dsebabkan dengan tidak adanya kepastian inovasi yang sudah berhasil diuji coba untuk dapat diselenggarakan, dalam hal ini kegagalan untuk mendapat perizinan atau persetujuan. Bahwa pengaturan hasil uji coba RS, perizinan dan/atau persetujuan Fintech tidak memberikan
jaminan
pemberian
perizinan
atau
persetujuan
berdampak
pada
suatu
ketidakpastian secara hukum. Ketidakpastian hukum ini berpotensi merugikan penyelenggara Fintech yang telah berinvestasi dalam uji coba RS. Selain itu juga akan memberikan kesan kurang terdorongnya inovasi karena tidak ada kepastian atas PLTMB yang baru dan sudah dinyatakan berhasil.
Dengan ketentuan yang berlaku saat ini dapat menimbulkan RS akan
menjadi tidak menarik karena tidak menguntungkan akibat ketidakpastian tersebut. Haruslah diusahakan adanya insentif lebih kepada pihak yang telah memiliki inisiatif untuk melakukan uji coba apalagi jika kedepannya, RS pun diprediksikan akan berkembang pesat seperti dengan munculnya RS pada tingkat regional atau Industry Sandboxes dan Industry Certification. 39 Jika kita bandingkan dengan Pasal 9 dan Pasal 10 POJK P2P, dapat ditemukan bahwa Regulatory Sandbox adalah bagian dari prosedur perizinan.
40
Lebihnya jika kita bandingkan
dengan regulasi RS di Australia. Mirip dengan Indonesia, ketentuan RS sendiri bukan merupakan kewajiban untuk mendapatkan perizinan atau persetujuan. Lebihnya kita dapat menemukan perbedaan yang cukup signifikan dan menguntungkan bagi inovasi yang dibawa oleh penyelenggaraan Fintech. Perbedaan tersebut dengan diizinkannya penyelenggara Fintech tanpa memiliki izin dengan ikut dalam RS.Pembebasan izin sendiri dilatar belakangi dengan keinginan untuk membangun hubungan dan kepercayaan antara penyelenggara Fintech dengan konsumen serta memastikan adanya pasar Fintech yang adil dan efisien.
38
41
Financial Conduct Authority, “Regulatory Sandbox”, Working Paper, (UK: FCA, 2015), hal.5.
James Loyd, Alex She, dan Imran Hulamhuseinwala,“The Emergence and Impact of Regulatory Sandboxes in The UK and Across Asia-Pacific”, (UK: Ernest &Young Advisory Servies Ltd.), hal.21. 39
40
Muliaman D.Hadad, “Financial Technology (Fintech) di Indonesia, hal.17.
41
Australia, Australian Securities & Investments Comission, Regulatory Guide 257: Testing Fintech products and services without holding and AFS or credit license, RG 257, hal.14.
9
Dengan demikian, diharapkan dengan tujuan dari setiap penyelenggara Fintech yang melakukan uji coba dalam RS adalah untuk memasarkan PLTMBnya, maka sudah seyogyanya demi kepastian hukum memberikan kesinambungan antara perizinan dan persetujuan dengan hasil uji coba RS yang dinyatakan berhasil. Kesinambungan tersebut diberikan dengan memasukan persyaratan untuk mengajukan perizinan dan/atau permohonan dalam persyaratan dalam ikut serta uji coba RS. Dengan adanya perubahan tersebut maka majunya inovasi akan menjadi lebih pasti dengan sudah jelasnya tindak lanjut dari hasil uji coba RS yang telah dinyatakan berhasil dan bukan hanya sekedar untuk memberikan kesempatan untuk regulator memahami PLTMB yang bersangkutan dan membuatu regulasi. Pada akhirnya kepastian akan perizinan dan persetujuan dengan sendirinya dapat membentuk regulasi baru yang proporsional bagi Indonesia, dengan catatan BI sebagai penyelenggara RS dapat maksimal dalam mengawasi perkembangan PLTMB dalam RS.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Dalam penyelenggara Fintech untuk mengajukan permohonan “perizinan� atau “persetujuan� dapat dilakukan secara langsung atau dengan terlebih dahulu mengikuti RS. 2) RS bukanlah proses perizinan sehingga walaupun telah dinyatakan berhasil dalam uji coba RS, tetap harus memohonkan izin atau persetujuan terlebih dahulu sebelum memasarkan produk. Dilain sisi dalam persyaratan untuk mengajukan permohonan izin atau persetujuan, tidak ada pengaturan untuk penyelenggara Fintech yang telah dinyatakan berhasil dalam uji coba RS pasti memperoleh izin dari BI sebagai PJSP. Kedua fakta tersebut menunjukan bahwa persyaratan untuk memohonkan izin atau persetujuan secara langsung atau dengan terlebih dahulu ikut serta dalam RS adalah sama. 3) BI tidak memberikan kepastian hukum kepada penyelenggara Fintech karena tidak ada jaminan bahwa penyelenggara Fintech yang telah berhasil dalam uji coba RS akan otomatis mendapat izin atau persetujuan. 4) Diharapakan adanya suatu kesinambungan antara perizinan dan persetujuan dengan RS untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan (i) RS dipertimbangan untuk 10
menjadi proses perizinan atau persetujuan dan (ii) persyaratan untuk memohonkan izin dan persetujuan dimasukkan dalam persyaratan penetapan RS sehingga adanya kepastian atas pemberikan izin atau persetujuan oleh BI kepada penyelenggara Fintech yang telah dinyatakan berhasil dalam RS.
3.2 Saran Diperlukan kesinambungan pengaturan antara penyelenggara Fintech yang mengajukan permohonan izin atau persetujuan secara langsung atau dengan sebelumnya telah dinyatakan berhasil dalam RS dengan memasukan syarat untuk memohonkan izin atau persetujuan dalam persyaratan untuk mengikuti RS dalam mengatasi permasalahan tersebut. Dengan demikian diharapkan RS sebagai tempat menguji coba PLTMB untuk mendorong inovasi dengan tetap menerapkan prisip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian dapat membantu BI untuk membangun regulasi yang proporsional dengan kebutuhan pasar Fintecy dan mendorong masuknya PLTMB yang inovatif ke dalam pasar. Sehingga pengaturan tersebut memberikan kepastian hukum yang membuat Fintech lebih menarik bagi investor sehingga berdampak pada peningkatan laju investasi terhadap penyelenggara Fintech dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan inklusif.
11
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Loyd, James, Alex She, dan Imran Hulamhuseinwala.“The Emergence and Impact of Regulatory Sandboxes in The UK and Across Asia-Pacific”. UK: Ernest &Young Advisory Servies Ltd, 2017. Pavel, Shoust dan Ekatrina Ryabkova, “Analytical Report: Regulatory Sanboxes, Regulation as a Service”, Russian Electronic Money Association, Oktober 2016.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Peraturan Bank Indonesia tentangTeknologi Finansial. PBI No. 19/12/PBI/17 Tahun 2017. ________. Peraturan Bank Indonesia 2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. PBI Nomor 18/40/PBI/2016 Tahun 2016. ________. Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. PBI No. 18/40/PBI/2016 Tahun 2016. ________. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial. PADG No. 19/14/PADG/2017 Tahun 2017. PERATURAN LUAR NEGERI Australia. Australian Securities & Investments Comission, Regulatory Guide 257: Testing Fintech products and services without holding and AFS or credit license, RG 257. MAKALAH DAN JURNAL M. Christensen, Clayton dan Joseph Bower, “Disruptive Technologies: Catching the Wave”, Harvard Business Review, 1995.
12
D.Hadad, Muliaman “Financial Technology (Fintech) di Indonesia. (makalah disampaikan dalam kuliah umum tentang Financial Technology (Fintech), Jakarta, 2 Juni, 2017. Jenik, Ivo dan Kate Lauer, “Regulatory Sandboxes and Financial Inclusion”, Working Paper. Washington D.C.: CGAP, 2017.
INTERNET Ajisatria Suleiman, M. “Membumikan Regulatory Sandbox”, Fintech Talk-Opini Editorial 50, (14 November2017)”,http://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/14/100000826/membumi kan-regulatory-sandbox. Diakses 5 Januari 2018 Financial Conduct Authority, “Regulatory Sandbox”, Working Paper, (UK: FCA, 2015)”, https://www.fca.org.uk/publication/research/regulatory-sandbox.pdf.
Diakses
14
Januari 2018. KAR.
“3
Persoalan
Hukum
Penghambat
Industri
Financial
Technology”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt571f579e34e05/3-persoalan-hukumpenghambat-industri-financial-technology. Diakses 15 Januari 2018. Narendra Putra, Nanda.“Mengantisipasi Risiko Bisnis Bagi Fintech Ketika Masuk Regulatory Sandbox”.http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a336ca0ab985/mengantisipasi -risiko-bisnis-bagi-fintech-ketika-masuk-regulatory-sandbox. Diakses 9 Januari 2018. Nisaputra,
Rezkiana.
“BI
Wajibkan
Fintech
Uji
Coba
Regulatory
Sandbox”
http://infobanknews.com/bi-wajibkan-fintech-uji-coba-regulatory-sandbox/. Diakses 8 Januari 2018. Rakhma Dia Setiawan, Sakina. “27 Fintech P2P Lending Sudah Kantongi Izin OJK”. http://ekonomi.kompas.com/read/2017/12/21/201200226/27-fintech-p2p-lendingsudah-kantongi-izin-ojk. Diakses 15 Januari 2018.
13