ALSA INDONESIA LEGAL REVIEW COMPETITION “ ASPEK HUKUM DALAM FINANCIAL TECHNOLOGY (FINTECH) “
OLEH
SYIFAA FARADILLA (2015) & MUHAMMAD HARIS FADILLAH (2015)
ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS DIPONEGORO
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Perkembangan teknologi yang semakin lama semakin canggih, telah merubah aspek-aspek kehidupan manusia yang salah satunya adalah Business. Di era yang modern ini, telah muncul sebuah fenomena bernama Financial Technology. Financial Technology ini yang telah masuk khususnya di kawasan Indonesia ini menjadi terobosan baru untuk mempermudah aspek-aspek dalam Business. Financial Technology ini juga membuat munculnya Start-up Business yang memudahkan teknologi finansial baik secara langsung maupun tidak langsung. Munculnya Asosiasi Fintech Indonesia (AFI) menjadikan Fintech menjadi salah satu sorotan dalam industri keuangan pada September 2015. Asosiasi ini bertujuan untuk menyediakan partner bisnis yang terpercaya dan dapat diandalkan untuk membangun ekosistem Fintech
di Indonesia yang berasal dari perusahaan-
perusahaan Indonesia dan untuk Indonesia sendiri. Pada 2016, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) mengeluarkan kebijakan peraturan baru mengenai Fintech tentang peminjaman off balance sheet oleh pasar dan oleh proses transaksi pembayaran oleh Bank Indonesia. POJK atau Peraturan Otoritas
Jasa
Keuangan
mengeluarkan
satu
peraturan,
yaitu
POJK
No.77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. POJK ini juga menjadikan Fintech suatu hal yang menjadi sorotan dan memperlukan payung hukum yang jelas dalam pengaturannya. POJK ini merupakan panduan pelaksanaan bisnis Fintech P2P. Pemerintah mengatur kegiatan usaha, pendaftaran perizinan, mitigasi risiko, pelaporan dan tata kelola sistem teknologi informasi terkait dengan P2P. Peraturan ini berlaku untuk menjaga konsumen dan institusi keuangan. Dengan adanya POJK ini diharapkan pemegang saham, termasuk pemerintah dan pihak yang terkait lainnya dapat menciptakan lingkungan Fintech yang kondusif. Sementara itu, Bank Indonesia juga mengeluarkan peraturan-peraturan baru terkait dengan Fintech, yaitu PBI No.18/40/PBI/2016 dan PBI No.19/12/2017 terhadap munculnya dan perkembangan pesat Fintech
Indonesia saat ini.
Pengaturan ini mengatur Fintech agar menjadi lebih aman dan efisien bagi penyedia Fintech maupun pengguna Fintech. Peraturan-peraturan ini juga mengatur untuk meminimalisir risiko yang dapat terjadi bagi penyedia Fintech maupun pengguna Fintech nantinya saat proses transaksi. Fintech sendiri diklasifikasikan kedalam 4 (empat) jenis menurut Bank Indonesia, yaitu: 1. Crowdfunding dan Peer to Peer (P2P) Lending Klasifikasi pertama ini merupakan marketplace yang menjadi sarana pertemuan pencari modal dan investor di bidang pinjaman. Dengan adanya portal pinjaman yang mudah diakses kapan saja dan dimana saja, Fintech bisa menjangkau peminjam dan investor di seluruh Indonesia. Crowdfunding dan Peer to Peer (P2P) Lending adalah konsep finansial yang menggunakan bantuan teknologi informasi untuk menghadirkan layanan pinjam meminjam uang dengan mudah, dimana penyedia hanya menyediakan sarana yang memungkinkan pendana dan peminjam untuk melakukan proses pinjam meminjam secara online. Disebut Peer to Peer (P2P) karena sarana pinjam meminjam uang ini disediakan bagi sesama pengguna awam. 2. Market Aggregator Market aggregator merupakan portal yang mengumpulkan dan mengoleksi data finansial untuk disajikan kepada pengguna. Berbagai data finansial tersebut dapat
dibandingkan
untuk
memilih
produk
keuangan
terbaik.
Dengan
memanfaatkan jasa pembanding produk keuangan ini, pebisnis bisa mengambil keputusan finansial dengan lebih baik. 3. Risk and Investment Management Kalau yang satu ini adalah perencana keuangan dalam bentuk digital. Dengan kata lain, pebisnis akan dibantu untuk mengetahui kondisi keuangan pebisnis serta melakukan perencanaan keuangan secara mudah dan cepat. Disini pebisnis tidak perlu lagi menghubungi perencana keuangan, namun hanya perlu membuka aplikasi di smartphone pebisnis dan mengisi data-data terkait untuk mengetahui rencana keuangan yang tepat sesuai kebutuhan pebisnis.
4. Payment, Settlement, and Clearing Payment, settlement, dan clearing berada dalam ranah Bank Indonesia, dimana contohnya adalah e-wallet dan payment getaway. Portal pembayaran ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat proses pembayaran atau transaksi via online. Dengan demikian, masyarakat dalam melakukan pembayaran melalui satu portal saja, misalnya via smartphone. Diantara jenis klarifikasi Fintech diatas, Peer to peer lending (P2PL) adalah jenis yang paling sesuai untuk untuk permodalan UMKM. Secara spasial, sebagian besar kredit UMKM terpusat di pulau Jawa dan Sumatera, di mana total porsi lima provinsi terbesar (DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara) sebesar 58,00%. Sementara itu, di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Maluku, dan Papua) hanya sebesar 22,87%. Rendahnya penyaluran kredit tersebut disebabkan jumlah penduduk yang lebih sedikit, jumlah bankable entrepreneurs yang relatif terbatas, serta jangkauan bank yang lebih terbatas karena infrastruktur yang kurang memadai.1 Kekurangan-kekurangan tersebut dapat ditanggulangi dengan Fintech yang dapat dijangkau oleh seluruh daerah. Terlebih lagi, Indonesia memiliki faktor faktor pendukung yang sudah ada yang dapat menjadikan Fintech sebagai modal dasar yaitu Indonesia memiliki populasi tertinggi di Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat , banyaknya usaha rintisan (startup) dan perusahaan besar yang terjun ke pasar Ě? tingkat perekonomian tinggi Indonesia mewakili 40% GDP ASEAN yang merupakan satu-satunya anggota G20 dari ASEAN dan tingginya pengguna Internet, media sosial, dan smartphone seiring dengan tumbuhnya kelas menengah. Peer to peer lending (P2PL) yang merupakan praktek penggalangan dana dari sejumlah orang untuk memberikan modal bagi suatu proyek atau usaha yang umumnya dilakukan secara online. Sayangnya, dalam praktek bisnis saat ini masih menimbulkan masalah seperti dari segi legalitas, transparansi, dan keamanan.. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang telah memberikan regulasi untuk pengawasannya yaitu pada POJK No.77/POJK.01/2016 tentang tentang Layanan 1
OJK, Jurnal Laporan Triwulan II
OJK, 2017, hal. 12.
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Namun posisi OJK disini hanya mengawasi alur berjalannya permodalan.
2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tindakan Bank Indonesia terkait dengan manajemen risiko terhadap Financial Technology ? 2. Bagaimana kerahasiaan data pengguna jasa dalam confidential para pengguna jasa ? 3. Bagaimana upaya jika gagal bayar penyedia jasa layanan jasa dari system Financial Technology Peer to Peer Lending (P2P) ?
B. Pembahasan 1. Tindakan BI terkait dengan manajemen risiko terhadap Fintech Pada awal November 2016, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardjo menandatangani Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Aturan ini diterbitkan dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi dan sistem informasi yang melahirkan berbagai inovasi, khususnya yang berkaitan dengan financial technology (Fintech).2 Dalam PBI No.18/40/PBI/2016 diatur juga pemrosesan transaksi pembayaran yang meliputi kegiatan pra transaksi, otorisasi, kliring, penyelasaian akhir (setelmen) dan pascatransaksi. Kegiatan pemrosesan transaksi pembayaran dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) dan Penyelenggara Penunjang.3 Dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran ini, PJSP juga wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dan konsisten, menerapkan standar keamanan sistem informasi, menyelenggarakan pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik, menerapkan perlindungan konsumen dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu pada pada Tahun 2017, Bank Indonesia menerbitkan payung hukum yang jelas dalam menjaga kestabilan sistem keuangan di Indonesia dalam menghadapi sistem perkembangan Fintech di Indonesia, yaitu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Seperti pada Pasal 8 Ayat 1 point c PBI No.19/12/PBI/2017 dinyatakan bahwa Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia wajib menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian4. Pada Pasal 8 Ayat 1 point c ini jelas tersirat bahwa Bank Indonesia tidak membatasi inovasi dalam perkembangan Fintech, namun perlu diperhatikan risiko dalam perkembangan dan pelaksanaannya di lapangan sehingga konsumen maupun rakyat tetap terlindungi haknya.
2
https://m.antaranews.com/berita/581865/bi-tekankanpentingnyamanajemenrisikodalamfintech/. Diakses pada 19 Januari 2018, 17.45 WIB 3 PBI No.18/40/PBI/2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran 4 PBI No.19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial
2. Kerahasiaan data pengguna jasa dalam confidential Financial Technology Kewajiban bank untuk memperhatikan kepentingan nasabahnya juga dilandasi dengan prinsip kerahasiaan (confidential principle). Prinsip ini mengharuskan atau mewajibkan bank untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan data dan informasi mengenai nasabah, baik keadaan keuangannya maupun informasi yang bersifat pribadi.5 “Bank wajib menyediakan jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), dan ketersediaan (availability)�. (Pasal 13 POJK Nomor 38 /POJK.03/2016). Dalam aturan tersebut, menegaskan bahwa setiap pengguna jasa harus dilindungi dari segi kerahasiaan datanya sebagai bentuk perlindungan konsumen terhadap pengguna financial technology. Namun terkait regulasi yang mengatur dirasa belum cukup untuk menegaskan perlindungan konsumen terhadap kerahasiaan data pengguna karna belum ada syarat peraturan yang spesifik mengenai perlindungan kerahasiaan data penggunannya tersebut. Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai payung hukum dalam kegiatan usaha perbankan, belum mengatur secara khusus mengenai perlindungan terhadap kerahasiaan data pribadi nasabah bank. Dengan adanya Rancangan Undang-Undang Perbankan 2014 (RUU Perbankan) yang sedang dalam pembahasan DPR RI, diharapkan perlindungan mengenai kerahasiaan data pribadi nasabah dapat diatur dalam materi tersendiri.6 5
Djoni S. Gazali dan rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.
27-30. 6
Jurnal Perlindungan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kerahasiaan Dan Keamanan Data
Pribadi Nasabah Bank. Oleh: Marnia Rani. Diakses pada 19 Januari 2018, 16:42 WIB.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta pelaku usaha jasa keuangan berbasis online (Financial Technology/FinTech) agar menerapkan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer/KYC). Penyelenggara financial technology membuat pusat data (database) yang secara lengkap merekam mengenai siapa saja pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman yang bersepakat melakukan pinjam meminjam melalui financial technology. Untuk saat ini upaya yang dilakukan dalam menjaga kerahasiaan data pengguna jasa. Prinsip mengenal nasabah merupakan prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. Prinsip ini mendapat pengaturannya dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 5/23/PBI/Tahun 2003 tanggal 23 Oktober 2003. Dalam peraturan tersebut jelas bahwa, prinsip mengenal nasabah merupakan salah satu upaya dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian. Prinsip mengenal nasabah ini wajib diterapkan oleh bank, yaitu bank umum sebagaimana dimaksudkan dalam UU Perbankan 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU Perbankan 1998.7 Dalam penerapan prinsip mengenal nasabah (know your costumer) diharapkan dapat meminimalisir resiko dari kebocoran dan pemalsuan rahasia data pengguna jasa. Melalui prinsip ini dapat diterapkan tanda tangan elektronik dalam metode know your costumer (KYC) financial technology. Salah satu ketentuan (KYC) yang mengharuskan perbankan untuk bertemu Face to Face (F2F) atau bertemu secara langsung dengan calon nasabahnya. Hal tersebut selama ini tidak pernah dilakukan oleh perusahaan FinTech
dikarenakan
mereka
hanya
menggunakan
ataupun
Video
Conference untuk melihat secara langsung calon nasabahnya. Ketentuan mengenai tanda tangan elektronik terdapat dalam pasal 11 dan pasal 12 UU ITE. Dalam pasal penjelasan sebelumnya dijelaskan tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan 7
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 24 No. 01 Februari 2011. Diakses pada 19 Januari 2018, 16:05
WIB.
Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi da autentifikasi. Dalam pasal 11 dan pasal 12 disebutkan bahwa tanda tangan elektronik menjadi sah apabila berada dalam kuasa penanda tangan dan ia dapat memberikan pengamanan terhadap tanda tangan tersebut. Salah satu contoh nyatanya adalah tanda tangan melalui proses scan. Akan sulit untuk mengetahui siapa sebenarnya penanda tangan terutama dalam proses KYC FinTech yang umumnya tidak mensyaratkan adanya pertemuan langsung antara pihak penyedia layanan dengan calon nasabahnya dimana hal tersebut sangat rentan dengan penipuan. Kondisi mengenai rawannya pemalsuan identitas pun akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam membuat peraturan terkait tanda tangan elektronik dalam metode KYC Financial Technology.8 Upaya tersebut diharapkan dapat meminimalisir resiko yang terjadi didampingi dengan peran regulator dalam membuat aturan yang lebih kompleks dan adanya kajian ulang mengenai manajemen resiko terhadap pengguna jasa.
8
http://scdc.binus.ac.id/himslaw/2017/03/tanda-tangan-elektronik-dalam-metode-kyc-
financial-technology-fintech/. Diakses pada 19 Januari 2018, 17:00 WIB.
3. Gagal bayar penyedia jasa layanan jasa dari sistem financial technology peer to peer lending Financial Technology terkhusus untuk peer-to-peer lending tidak luput dari risiko-risiko seperti gagal bayar, fraud, krisi ekonomi, dan juga kepailitan. Istilah gagal bayar dikenal dan dipergunakan dalam dunia keuangan untuk menggambarkan suatu keadaan di mana seorang debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian utang piutang yang dibuatnya misalnya tidak melakukan pembayaran angsuran ataupun pelunasan pokok utang sesuai dengan kesepakatan termasuk melakukan pelanggaran atas persyaratan kredit sebagaimana diatur di ddalam kontra. Kondisi ini dapat terjadi pada semua kewajiban utang termasuk obligasi, kredit pemilikan rumah, pinjaman perbankan, surat sanggup bayar, Medium Term Note , dan lain-lain perjanjian yang bersifat utang. Berdasarkan Pasal 26 POJK Nomor 77/POJK.01/20169, dimana mengatur mengenai Kerahasiaan Data, yang mana sudah tertera mengenai hal-hal yang harus dilakukan oleh para penyelenggara Fintech. Salah satunya adalah untuk tersedianya proses autentikasi, verifikasi, dan validasi yang mendukung kenirsangkalan dalam mengakses, memproses, dan mengeksekusi data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya 10 dan memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan tersebut jika terjadi kegagalan dalam perlindungan kerahasiaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya11.
9
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. [POJK NO.77/POJK.01/2016] 10
Pasal 26 huruf b, POJK NO.77/POJK.01/2016.
11
Pasal 26 huruf e, POJK NO.77/POJK.01/2016.
Lalu, dalam Bab VII SEOJK Nomor 18/SEOJK.02/201712, telah diatur mengenai hal-hal yang wajib dilakukan oleh para penyelenggara terkait dengan penanggung jawab risiko13, manajemen risiko14, dan pengelolaan risiko15. Bank Indonesia juga akan membangun FinTech Office. Ini wadah evaluasi, penilaian,dan mitigasi risiko. Fungsinya juga sebagai inisiator riset kegiatan FinTech, ajang kolaborasi atau pertukaran ide inovatif antarpelaku industry dengan regulator. FinTech Office juga akan melakukan kajian ulang, penyelerasan, dan penguatan skema pembiayaan antarlembaga pemerintah yang dialokasikan untuk pengembangan FinTech. Tugas utama FinTech Office adalah memfasilitasi interaksi dengan para pelaku FinTech serta mengumpulkan data dan informasi terkait industri ini. Fungsi lain dari FinTech Office, melaksanakan regulatory sandbox yakni laboratory atau suatu lingkungan aman yang digunakan pelaku bisnis FinTech untuk melakukan pengujian terhadap produk atau model bisnis yang inovatif. Regulatory sandbox juga merupakan sarana bagi regulator untuk memfasilitasi pengembangan inovasi dan menguji kebijakan yang akan dikeluarkan.16 Dibutuhkannya transparansi di setiap produk dan layanan sehingga bisa menjamin dari sistem peer to peer lending tersebut. Dan juga perlu diadakannya mitigasi risiko dari penyelenggara dan pengguna sehingga tidak terjadinya kasus gagal bayar penyedia jasa berdasarkan Pasal 26 POJK Nomor 77/POJK.01/2016.
12
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Tata Kelola Dan
Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. [SEOJK No.18/SEOJK.02/2017]. 13
Bab VII angka 1, SEOJK No.18/SEOJK.02/2017.
14
Bab VII angka 4, SEOJK No.18/SEOJK.02/2017.
15
Bab VII angka 2, SEOJK No.18/SEOJK.02/2017.
16
https://www.google.co.id/amp/amp.kontan.co.id/news/bi-ada-risiko-jika-bisnis-fintech-
tidak-diatur. Diakses pada 20 Januari 2018, 19.39 WIB.
C. Penutup 1. Kesimpulan Pada dasarnya, Indonesia sudah siap dengan adanya perkembangan zaman seperti perkembang yang pesat mengenai FinTech dengan munculnya POJK No. 77/POJK.01/2016, PBI No.18/40/PBI/2016 dan PBI No.19/12/PBI/2017. Lalu, ditambah dengan adanya pembangunan Fintech Office, diharapkan dapat menunjang perkembangan Fintech di Indonesia dan menjadi inisiator riset kegiatan Fintech di Indonesia. Masuknya Financial Technology ke Indonesia membawa perubahan besar, terutama pada sektor Uasaha Mikro Kecil Menengah. Pengaruh Fintech yang dapat membantu dalam peminjaman modal terkait pada sektor Usaha Mikro Kecil Menengah menjadi faktor utama dalam menandakan Fintech sebagai pengaruh besar pada saat ini dalam Usaha Mikro Kecil Menengah. Pemerintah merasa Fintech wajib dikeluarkan peraturannya untuk menjadikan payung hukum terkait proses-proses transaksi Fintech seperti POJK No. 77/POJK.01/2016, PBI No.18/40/PBI/2016, dan PBI No.19/12/PBI/2017. Namun, peraturan-peraturan tersebut dirasa belum mencukupi untuk menyambut perkembangan Fintech yang semakin hari semakin pesat. Pengkajian ulang yang dilakukan secara berkala oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia menjadi kunci agar setiap penyedia dan pengguna Fintech memitigasi risiko yang akan didapat nantinya saat melakukan transaksi. Salah satu dari kunci untuk meminimalisir risiko yang bisa didapat adalah dengan transparansi dari kedua belah pihak, baik dari penyedia jasa Fintech maupun pengguna Fintech. 2. Saran Saran kami adalah Indonesia perlu untuk terus meng evaluasi payung hukum yang jelas terkait dengan Fintech dikarenakan agar pelaksanaan Fintech di Indonesia sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Lalu, Indonesia melalui institusi pengawasan keuangannya dan melalui Bank Indonesia harus selalu menuntut transparansi di setiap produk dan layanan Fintech sehingga produsen dan konsumen Fintech dapat dilindungi haknya secara jelas dan penuh.
D. Daftar Pustaka •
www.ojk.go.id/
•
https://www.google.co.id/amp/amp.kontan.co.id/news/bi-ada-risiko-jikabisnis-fintech-tidak-diatur.
•
http://scdc.binus.ac.id/himslaw/2017/03/tanda-tangan-elektronik-dalammetode-kyc-financial-technology-fintech/.