ALSA Indonesia Magazine #14

Page 1








8


9


10


11



13



15


16


17


18


19


20


21


22


23


24


25


26





30


31


32


33


34


ALSA INDONESIA LEGAL OPINION

Tema : Korupsi Politik

Revisi Undang-Undang Partai Politik dalam Upaya Memberantas Korupsi Politik

Oleh : Fahmi Ramadhan Firdaus, Nindea Hana Resti, Indra Wahyu Maulana

ALSA Local Chapter Universitas Jember

A. Pendahuluan Di Indonesia, partai politik merupakan aktor penting dalam menjalankan negara. Konstitusi secara tertulis menyebutkan bahwa partai politik sebagai satu-satunya institusi yang bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, dan calon anggota DPR dan DPRD. Artinya partai politiklah yang mengendalikan kebijakan negara melalui jabatanjabatan publik strategis yang diisi oleh anggota partai politik. Dengan posisi yang strategis ini seharusnya juga diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas yang memadai bagi partai politik. Karena dalam negara yang menganut sistem demokrasi, setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan kepada rakyat.. Pertanggungjawaban partai politik didasarkan pada 2 (dua) prinsip; pertama, partai politik sebagai badan publik sebab menjalankan fungsi yang berhubungan dengan kepentingan publik. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik secara jelas menyebutkan fungsi partai sebagai berikut (pasal 11 ayat 1); Partai politik berfungsi sebagai sarana; a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.


Secara yuridis, fungsi ini oleh undang-undang harus memiliki mekanisme untuk menguji bagaimana fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan oleh partai politik. Akuntabilitas politik yang lebih substansial perlu didesain sebaik mungkin agar fungsi yang diberikan kepada partai politik tidak disalahgunakan atau minimal dijalankan sebagaimana mestinya. Ini penting agar partai politik tidak hanya melakukan aktivitas politik yang terkait fungsinya pada saat mendekati penyelenggaraan pemilihan umum saja, padahal fungsi partai politik tidak hanya dalam hal kontestasi pemilihan pejabat publik. Kedua, pembiayaan partai politik sebagian berasal dari negara. Sebagai institusi yang menjalankan fungsi-fungsi publik, pembiayaan negara terhadap partai politik adalah sebuah kewajiban. Konsekuensi pembiayaan ini adalah bagian dari kewajiban yang harus dibebankan kepada negara sebab terkait erat dengan keberlangsungan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Konstitusi sebagai hukum dasar dalam bernegara telah menempatkan partai politik sebagai organ penting yang menyokong berjalannya sistem demokrasi. Khususnya yang terkait dengan pengisian jabatanjabatan publik tertentu. Oleh karena itu, negara juga harus memastikan keberlangsungan partai politik salah satunya melalui pembiayaan yang bersumber dari keuangan negara (APBN/APBD). Kehadiran negara (pemerintah) ini sebetulnya tidak hanya dalam konteks pembiayaan, ada beberapa tahapan dimana negara/pemerintah berperan mulai dari pendirian, pengawasan, hingga pembubaran partai politik. Peran partai politik yang begitu penting ini faktanya tidak diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas yang baik. Akibatnya partai politik justru out of the track, banyak kader partai politik justru menjadi terpidana karena melakukan tindak pidana korupsi baik yang menduduki jabatan kepala daerah, anggota DPR/DPRD, hingga pimpinan partai politik. Menurut data KPK, untuk tahun 2015 saja anggota partai politik mendominasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dengan beragam jabatan politik, seperti anggota DPR, DPRD, dan kepala daerah.1 Hal ini berbanding lurus dengan konteks global, menurut survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis oleh Transparency International (TI) sejak tahun 2004, 2005, 2006, 2007, 2009, 2010/2011, dan 2013 selalu menempatkan partai politik dan parlemen dalam jajaran institusi yang paling korup (rentang skor 1 – 5, 1 berarti paling bersih dan 5 berarti sangat korup). Singkatnya Undang-Undang tentang Partai Politik dirasa kurang mampu untuk memperbaiki kinerja partai politik.

1

http://www.kpk.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan/3369-laporan-tahunan-kpk-2015


B. Dasar Hukum 1. 2. 3. 4. 5.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik 6. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.

C. Tujuan Penulisan Tulisan ini bertujuan untuk memberikan realitas atas persoalan keuangan partai politik dalam tataran praktik dan regulasi yang saat ini berlaku. Selain itu, melalui tulisan ini pula, akan disampaikan rekomendasi perbaikan mengenai sumber keuangan partai yang perlu diakomodasi dalam revisi UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

D. Pembahasan Pemerintah melalui kementerian dalam negeri sempat merilis akan meningkatkan bantuan keuangan partai politik oleh negara. Wacana ini muncul dari Menteri Dalam Negeri, Cahyo Kumolo yang pernah mengusulkan agar bantuan keuangan partai dinaikan. Pemerintah saat itu, akan meningkatkan bantuan keuangan menjadi 1 Triliyun.2 Alasannya, bantuan keuangan negara dinilai terlalu kecil sehingga tidak mencukupi kebutuhan (belanja) partai politik dalam setiap tahunnya. Wacana ini menuai kritik dari publik. Kritik itu terkait soal subjek penerima maupun kejelasan perencanaan terkait besaran bantuannya. Terkait subjek penerima, partai politik dinilai tidak layak untuk menerima bantuan negara apalagi peningkatannya dianggap terlalu besar.3 Ketidaklayakan ini terkait kinerja dan citra partai politik dimata publik.4

2

http://nasional.kompas.com/read/2015/03/10/1227403/Mendagri.Dana.Rp.1.Triliun.akan.Dibagi.Sesuai.Perol ehan.Suara.Parpol 3 http://nasional.kompas.com/read/2015/03/09/18222701/Formulasi.Anggaran.Rp.1.Triliun.untuk.Parpol.Belu m.Jelas 4 http://www.sinarharapan.co/news/read/150316072/parpol-tak-layak-terima-dana-rp-1-triliun-b-b-


Terkait soal citra partai memang tak terbantahkan, beberapa pengukuran (survey) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik rendah terhadap partai. Namun soal ini, tentu perlu menyandingkannya dengan peran dan fungsi partai yang begitu besar. Sulit untuk terus mengatakan partai berkinerja buruk tanpa memberikan jalan perbaikan, padahal praktik ketatanegaraan menunjukkan perannya yang begitu besar. Rekrutmen jabatan eksekutif dan legislatif, komisi-komisi negara strategis, membuat regulasi yang menentukan nasib rakyat dan banyak lainnya. Atas kondisi itu, tidak mungkin untuk terus menyalahkan partai yang faktanya terus memproduksi kebijakan strategis. Jadi perlu jalan keluar, agar perbaikan partai politik berjalan, jika tidak justru akan menjadi hal buruk bagi sistem demokrasi yang akan datang. Akan tetapi, kebijakan menaikkan subsidi negara tanpa kejelasan arah dan tujuan justru akan menimbulkan masalah baru. Oleh karena itu, yang cukup menjadi pertanyaan dari wacana itu adalah soal kejelasan perencanaan soal besaran bantuan yang tiba-tiba pemerintah menyebut angka 1 Triliun tanpa adanya perhitungan yang jelas. Memang upaya menaikkan subsidi negara hadir karena minimnya subsidi negara yakni hanya Rp.108,- (seratus delapan rupiah) persuara yang diperoleh masing-masing partai dalam pemilu legislatif. Akibatnya, partai-partai pemenang pemilu seperti PDIP (2014), hanya akan menerima kurang lebih 2,5 Milyar yang diikuti oleh Partai Golkar (1,9M), Gerindra (1,5M), Demokrat (1,3M) dan PKB (1,2M). Kondisi yang sama juga terjadi dalam Pemilu 2009, partai pemenang pemilu seperti Partai Demokrat hanya menerima 2,3M yang diikuti partai PDIP (1,6M), dan Golkar (1,5M). TABEL 1. BESARAN SUBSIDI NEGARA BERDASARKAN HASIL PEMILU 2009 DAN 2014

Partai Nasdem PKB PKS PDIP Golkar Gerindra Demokrat PAN PPP Hanura Total

Hasil Pemilu 2009 Suara Sah Bantuan APBN (Rp) 5,146,302.00 555,800,616.00 8,204,946.00 886,134,168.00 15,031,497.00 1,623,401,676.00 14,576,388.00 1,574,249,904.00 4,642,795.00 501,421,860.00 21,655,295.00 2,338,771,860.00 6,273,462.00 677,533,896.00 5,544,332.00 598,787,856.00 3,925,620.00 423,966,960.00 85,000,637.00 9,180,068,796.00

Hasil Pemilu 2014 Suara Sah Bantuan APBN (Rp) 8,412,949.00 908,598,492.00 11,292,151.00 1,219,552,308.00 8,455,614.00 913,206,312.00 23,673,018.00 2,556,685,944.00 18,424,715.00 1,989,869,220.00 14,750,043.00 1,593,004,644.00 12,724,509.00 1,374,246,972.00 9,459,415.00 1,021,616,820.00 8,152,957.00 880,519,356.00 6,575,391.00 710,142,228.00 121,920,762.00 13,167,442,296.00

Minimalisnya besaran subsidi di atas telah menunjukkan fakta perlunya menaikkan subsidi dari negara untuk partai politik. Namun upaya menaikkan subsidi negara mesti dilakukan dengan arah perbaikan yang jelas bagi pembangunan partai politik. Jangan sampai upaya menaikkan subsidi negara justru menjadi boomerang bagi partai.


Oleh karena itu, perlu untuk mengelaborasi lebih lanjut terkait besaran belanja atau kebutuhan partai politik. Berapakah kebutuhan partai politik dalam setiap tahunnya sehingga bisa dikatakan angka bantuan negara minim atau tidak dalam arti sesuai dengan kebutuhan. Elaborasi terhadap belanja partai mestinya menjadi penting untuk di sebelum memberikan rekomendasi besaran kebutuhan partai. Perlu informasi pembanding untuk merasionalisasi kebijakan yang akan diambil kedepannya. Rasionalisasi terhadap kebijakan perlunya bantuan negara untuk menyeimbangkan antara kebutuhan dan penerimaan partai politik setiap tahunnya. Jika kebutuhan partai politik dirasa sangat besar maka bantuan negara bisa mengambil peran untuk menyeimbangkannya. Tujuannya tidak lain menjadikan partai lebih demokratis dan organisasi partai akan lebih tertata. Tujuannya, partai politik tidak lagi didominasi oleh elit. Ada kedaulatan bagi anggota partai untuk terlibat secara aktif dalam menggerakkan roda partai serta pengambilan keputusan-keputusan strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat. Mengingat pendanaan ini erat kaitannya dengan kekuasaan di dalam partai dalam pengambilan kebijakan penting. Berdasarkan hal itu, penelitian ini hendak memotret bagaimana pengaturan dan pelaksanaan kebijakan tentang belanja dan pengelolaan keuangan partai politik. Menjawab pertanyaan itu, langkah pertama yang hendak dilakukan adalah mengidentifikasi bentuk-bentuk kebutuhan partai dalam setiap tahunnya. Kebutuhan partai dimaksud merupakan kebutuhan dalam menggerakkan partai politik diluar kegiatan electoral yakni pemilu legislatif dan eksekutif baik tingkat pusat maupun daerah. Langkah ini dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan partai politik apa saja yang perlu dibantu oleh negara dan mana yang mestinya menjadi tanggungjawab organisasi. Namun disadari bahwa pendekatan normatif tidak akan mampu memotret secara utuh persoalan pengaturan dan pelaksanaannya. Oleh karena itu, akan dilakukan review terhadap kajian-kajian sebelumnya tentang bentuk bentuk kebutuhan partai dan mekanisme pengelolaannya. Kajian-kajian ini cukup tersebar dibanyak penelitian yang akan digunakan untuk memperdalam kajian. Hasil diskusi terbatas dengan pemangku kepentingan baik pengurus partai, pengambil kebijakan hingga masyarakat sipil akan melengkapi kebutuhan memotret secara utuh objek kajian. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi partai politik terutama masalah keuangan, akan dihasilkan rekomendasi terhadap kebijakan yang perlu diambil oleh pemerintah kedepan. Kebijakan ini bisa melalui perbaikan undang-undang partai politik atau lainnya, peraturan pemerintah, peraturan kementerian bahkan rekomendasi untuk pengaturan dalam konstitusi partai politik (anggaran dasar dan rumah tangga partai).


E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Perlu adanya perubahan paradigma dalam penyusunan UU Partai Politik terkait kedudukan partai politik. Mengingat fungsinya serta pendanaannya, partai politik mesti diposisikan sebagai institusi publik. 2. Konsekuensi dari kedudukan partai sebagai institusi publik, mekanisme pengaturan pendanaan khususnya pengelolaan keuangan partai dari non subsidi negara diatur dalam undang-undang. Pengaturan dalam undang-undang terkait prinsip-prinsip pengelolaan keuangan partai seperti mekanisme pengelolaan keuangan dari subsidi negara. Sedangkan mekanisme turunan bisa diatur secara beragam dalam AD/ART atau peraturan partai. 3. Mekanisme pendanaan dari subsidi negara perlu dilakukan perombakan. Subsidi negara bisa diberikan secara proporsional dan secara sama (flat/ fix) untuk seluruh partai. 4. Mekanisme pembelanjaan partai dari subsidi secara proporsional diperuntukkan pembiayaan pendidikan politik secara keseluruhan. Sedangkan subsidi secara sama diberikan untuk memenuhi operasional kantor dan pendanaan rutin.


DAFTAR PUSTAKA

Veri Junaidi dkk, Anomali Keuangan Partai Politik. Jakarta: Perludem 2012 http://nasional.kompas.com/read/2015/03/10/1227403/Mendagri.Dana.Rp.1.Triliun.ak an.Dibagi.Sesuai.Perolehan.Suara.Parpol http://nasional.kompas.com/read/2015/03/09/18222701/Formulasi.Anggaran.Rp.1.Tril iun.untuk.Parpol.Belum.Jelas http://www.sinarharapan.co/news/read/150316072/parpol-tak-layak-terima-dana-rp-1triliun-b-b-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik. Riset Pendanaan Partai Politik, ICW, 2013.



Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, Monica Rotua Angelina PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEHILANGAN UANG KREDITUR DALAM SIKLUS PEER TO PEER LENDING A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Teknologi yang terus berkembang dalam era modern ini, membawa dampak perkembangannya di bidang ekonomi.Masyarakat kian membutuhkan kegiatan finansial untuk terus berkembang dengan meningkatkan kecepatan dalam bertransaksi. Perkembangan teknologi tersebut menghasilkan inovasi di bidang ekonomi yang berkembang pesat saat ini, yaitu Financial Technology (“FinTech”). Fintech saat ini mengejar ide baru dan model bisnis baru untuk membawa transformasi digital ke semua aspek dalam industri jasa keuangan. Menurut Databoks, Kadata Indonesia menyatakan bahwa : “Transaksi finansial teknologi (Fintech) Indonesia pada 2017 diperkirakan mencapai US$ 18,6 miliar atau setara Rp 247,65 triliun dengan nilai tukar Rp 13.300 per dolar Amerika Serikat. Angka ini meningkat 24 persen dari perkiraan tahun sebelumnya, yakni sebesar US$ 15 miliar. Menurut data statista, transaksi Fintech Indonesia akan mencapai US$ 37,15 miliar atau sekitar Rp 494 triliun pada 2021.”1 Perkembangannya di Indonesia, ditunjukkan pula melalui hasil survey Direktorat Jendral Aplikasi Informatika pada Kominfo,bahwa salah satu bentuk jasa yang digunakan dalam transaksi online pada tahun 2015 adalah jasa bank, keuangan, dan asuransi sebesar 9.40%.2 Hal ini menunjukan penggunaan internet semakin berkembang ke arah finansial memlalui transaksi online. Hadirnya fintech di Indonesia salah satunya dilatarbelakangi pula oleh kebutuhan akan kecepatan bertransaksi dan kemudahan pembiayaan dalam memenuhi kebutuhan untuk memulai usaha. Menurut seorang Peneliti bernama Indef Bhima Yudhistira, total kebutuhan pembiayaan nasional pada saat ini mencapai Rp 1.649 triliun, sementara kapasitas perbankan hanya sebesar Rp. 600 triliun,sehingga diharapkan selisih kebutuhan pembiayaan nasional sebesar Rp. 989 triliun dapat diisi oleh kehadiran fintech.3 Salah satu jenis Fintech yang 1

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/04/26/2017-transaksi-fintech-indonesia-us-186-miliar diakses 5 Januari 2017. 2 Kementerian komunikasi dan Infomatika, Klasifikasi Jasa yang digunakan dalam Transaksi Online Tahun 2015, https://statistik.kominfo.go.id/site/data?idtree=430&iddoc-1459&data-data_page=3, diakses 9 Januari 2017. 3 Aditya Noviansyah, Regulator, Pelaku Pasar, dan Peneliti Bahasa Era Keuangan Digital, https://m.tempo.co/read/news/2017/03/22/087858631/regulator-pelaku-pasar-dan-peneliti-bahas-erakeuangan-digital, diakses 9 Januari 2017.

1 Universitas Indonesia


Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, Monica Rotua Angelina cukup menjadi pusat perhatian adalah yang bergerak di bidang pinjam meminjam atau dikenal dengan Peer to peer lending (“P2P Lending�). P2P Lending ini hadir sebagai solusi yang merupakan salah satu bagian dari fintech, yaitu metode pembiayaan bagi masyarakat yang ingin melakukan kegiatan pinjam meminjam uang tanpa melalui institusi resmi. Dalam konsep P2P Lending, seorang debitur yang akan menggunakan dana tersebut dipertemukan dengan kreditur yang hendak memberikan pinjaman melalui platform fintech. Platform tersebut kemudian akan menjadi Penghubung antara Debitur dan Kreditur. Layaknya kegiatan pinjam-meminjam uang biasanya, P2P Lending juga memiliki permasalahan pencegahan resiko yang akan timbul, salah satunya adalah hilangnya uang yang sudah disetor oleh kreditur. Hilangnya uang kreditur dapat disebabkan banyak hal, antara lain gagal bayar (wanprestasi) oleh debitur karena tidak adanya transparansi dalam siklus peer to peer lending yang dilakukan penyelenggara fintech dan kurangnya pengembangan dan inovasi dalam sistem manajemen pencegahan penyalahgunaan dana yang ditetapkan oleh OJK untuk diterapkan oleh para penyelenggara fintech. Demi mengurangi permasalahan yang akan muncul, pengkajian terhadap instrumen hukum dalam pengaturan Fintech perlu dilakukan demi berkembangnya fintech untuk mendorong inklusi keuangan Indonesia.

2. Rumusan Masalah a. Bagaimana aspek hukum Peer to peer lending sebagai salah satu bentuk fintech? b. Bagaimana peraturan perundang-undangan Indonesia mengatur pencegahan hilangnya uang kreditur dalam siklus peer to peer lending? B. Pembahasan Fintech kini terus berkembang karena menjanjikan sehingga semakin menarik minat masyarakat untuk melakukan transaksi dalam fintech. Didefinisikan secara sederhana, fintech yang merupakan dua gabungan kata, yaitu financial dan technology. Intinya, fintech adalah segala bentuk inovasi teknologi di sektor finansial atau jasa keuangan, baik perbankan maupun non-bank.4 Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia mendefinisikan fintech adalah

4

Indradie, Andri dan Silvana Maya Pratiwi, “Fintech menjamur. Regtech Harus Meluncur�, Kontan, (18 Juli- 24 Juli 2016). hlm.3.

2 Universitas Indonesia


Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, Monica Rotua Angelina perpaduan antara teknologi dan fitur keuangan, atau dapat diartikan inovasi pada sektor finansial dengan sentuhan teknologi modern.5 Salah satu kategori dari fintech yang paling banyak dinikmati adalah Deposit, Lending dan Capital Rising yang mana usaha yang dilangsungkan adalah crowdfunding (menghimpun dana masyarakat) dan peer to peer lending/P2P (menyediakan pinjaman dana ke masyarakat). Executive Director The Australian Center for Financial Studies, Monash Business School Prof. Edward Buckingham, dalam riset awal The Australian Center for Financial Studies terkait perkembangan fintech di Indonesia ini menemukan bahwa fintech yang paling banyak digunakan saat ini adalah terkait peer to peer lending/P2P.6 Konsep P2P ini adalah konsep pinjam meminjam dimana prosesnya diperantarai oleh sebuah situs atau platform teknologi yang berfungsi untuk mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Regulasi P2P di Indonesia sendiri telah diatur oleh Otorisasi Jasa keuangan (OJK) melalui Peraturan Otorisasi Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Konsep P2P Lending ini dapat disamakan dengan sistem penyaluran kredit, yaitu kegiatan bisnis meminjamkan dana (fund lending) kepada masyarakat berdasarkan pinjam – peminjaman disertai bunga yang sudah ditentukan wajib dilunasi bersama utangnya pada akhir jangka waktu perjanjian sesuai dengan yang diatur dalam pasal 1756 jo. 1765 jo. 1767 KUHPerdata. Dalam bentuk peer to peer lending, mengingat kemudahan dan kecepatan akses yang dijanjikan para penyedia dengan sistem platform ini, muncul permasalahan hilangnya uang kreditur yang dapat disebabkan oleh debitur dan penyelenggara peer to peer lending. Pertama, dalam kegiatan pendanaan ini, pemberi dana selalu memiliki resiko yaitu potensi kehilangan seluruh pendanaan atau sebagian atas perbuatan wanprestasi debitur, yang disebut juga gagal bayar.7 Penyelenggara Fintech yang melakukan P2P lending, resiko ini kian menghampiri dikarenakan hadirnya Fintech memang bertujuan untuk mempermudah layanan sehingga ketentuan bagi calon debitur menjadi kurang kompleks tidak sebagaimana bank dan/atau Perusahaan pemberi pinjaman tradisional dalam penggunaan Platform. Dalam Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis 5

Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo), “Financial Technology (FinTech) “Analisa Peluang Analisis Peluang Indonesia dala Era Komunikasi Digital dari Aspek Infrastruktur, Teknologi, SDM, dan Regulasi Penyelenggara dan Pendukung Jasa Sistem Keuangan” (materi disampaikan pada Temu ilmiah Nasional Peneliti 2016, Bogor, 28 Juli 2016), hlm. 8. 6 https://katadata.co.id/berita/2017/10/31/pakar-usul-indonesia-mencontoh-india-dalam-kembangkanfintech, diakses l 11 Januari 2017. 7 https://www.investree.id/invest/risk , diakses 5 Januari 2018.

3 Universitas Indonesia


Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, Monica Rotua Angelina Teknologi Informasi tidak ditemukan syarat spesifik mengenai persyaratan pihak-pihak mana yang dapat menjadi debitur dalam kegiatan P2P, syarat debitur yang diatur hanyalah bahwa debitur haruslah perseorangan atau badan hukum. Terkait data debitur, Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 ini hanya ada kewajiban penyelenggara untuk melakukan autentikasi, verifikasi, dan validasi yang terdapat dalam Pasal 26 huruf b, tetapi tidak menjawab permasalahan pihak yang dapat menjadi debitur. Selanjutnya, perjanjian pinjam meminjam dalam fintech, penerima dana tidak memberikan jaminan kredit yang dikuasai oleh si pemberi dana maupun penyelenggara fintech. Jaminan kredit tersebut seharusnya bisa menjadi solusi atas pengurangan resiko gagal bayar tersebut. POJK Nomor 77-POJK.01-2016 lebih khususnya dalam pasal 19 dan pasal 20 yang mengatur mengenai perjanjian antara para pihak dalam fintech tidak mengatur adanya jaminan kredit dalam perjanjian pinjam meminjam. Sesungguhnya dalam peraturan ini telah muncul terkait pencantuman jika adanya objek jaminan dalam dokumen elektronik yang disebutkan dalam Pasal 20 ayat (2), tetapi tetap tidak dinyatakannya kewajiban jaminan kredit tersebut. Objek jaminan inilah salah satu hal yang seharusnya dikembangkan oleh OJK terkait bagaimana penggunaan objek jaminan dan bentuk dari objek jaminan tersebut dalam bentuk regulasi agar terciptanya kepastian hukum atas resiko gagal bayar. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumya atas adanya resiko gagal bayar tersebut, patut diapresiasi OJK telah mengeluarkan peraturan yang mengatur mengenai informasi debitur yang selama ini menjadi masalah juga dalam P2P Lending. Bahwa penyelenggara fintech, yang diatur Peraturan OJK Nomor 18/POJK.03/2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan mempermudah penyelenggara fintech untuk dapat lebih mudah mendapat histori kredit para debitur. Dalam hal pelaporan data debitur fintech belum diatur untuk menjadi kewajiban penyelenggara fintech. Pun ketika waktu yang ditargetkan telah mewajibkan penyelenggara fintech untuk melaporkan data debitur, persyaratan pemenuhan seluruh informasi debitur di dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (“SLIK�) dapat menjadi kesulitan tersendiri bagi perusahaan fintech khususnya start-up yang memiliki basis pengguna yang luas sehingga harus dipertimbangkan kembali mengenai inkliusifitas penyelenggaraan Sistem Peer to peer Lending melalui fintech ini. Untuk mengatasi gagal bayar yang dilakukan oleh debitur, munculah konsep dana proteksi yang diberikan oleh penyelenggara fintech. Dana proteksi tersebut diciptakan untuk meminimalisir kerugian kreditur atas modalnya selaku investor apabila ada pinjaman yang gagal bayar. Jumlah kompensasi yang diterima investor bergantung pada grade pinjaman yang 4 Universitas Indonesia


Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, Monica Rotua Angelina diinvestaikan.8 Dana proteksi bersumber dari penyisihan keuntungan penyelenggara setiap bulannya. Dana proteksi ini adalah bentuk tanggung jawab dari penyelenggara kepada investor selaku konsumen agar tidak mendapatkan kerugian atas tidak terpenuhinya kewajiban oleh debitur atau peminjam dalam kegiatan P2P ini. Tetapi yang perlu diingat kembali adalah tidak semua perusahaan fintech memiliki dana proteksi yang disiapkan kepada investor, beberapa penyelenggara P2P tidak melakukan tanggung jawab atas kondisi gagal bayar dan menetapkan klausula bahwa kondisi gagal bayar menjadi tanggung jawab investor. Hal ini adalah tidak adanya pengaturan terkait dana proteksi oleh OJK, sebaliknya OJK justru mengatur larangan memberikan jaminan yang diatur dalam Pasal 43 huruf c POJK No. 77/POJK.07/2016 yang menyebutkan: “larangan memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain�9 berdasarkan bunyi pasal tersebut, adanya larangan bagi penyelenggara untuk memberikan jaminan atas pemenuhan kewajiban pihak lain, ketentuan larangan juga disebutkan pada Pasal 51 huruf c POJK No. 29/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Berdasar ketentuan ini konsep dana proteksi sebagai jaminan atas pemenuhan utang debitur atau peminjam kepada investor adalah pelanggaran. Keberadaan pasal larangan ini sangat melindungi penyelenggara dan dapat menjadi dasar atas tindakan lepas tangannya penyelenggara terhadap keadaan gagal bayar debitur. Oleh karena itu dana proteksi saat ini belumlah menjadi jawaban dari permasalahan gagal bayar yang dilakukan oleh debitur. Sehingga, dana proteksi tersebut perlu dikaji lebih jauh oleh OJK sebagai otoritas yang berwenang. Selain itu perlu dikaji pula dalam pencegahan peristiwa gagal bayar (wanprestasi) oleh debitur, seringkali dalam penyelenggaraan peer to peer lending pihak debitur adalah pihak yang tidak dapat memberikan jaminan apapun atas tidak dapat dibayarkannya dana yang dialirkan kepadanya. Oleh karena itu kami berpendapat bahwa perlu adanya kajian lebih lanjut yang memungkinkan pengambilalihan bisnis debitur yang telah dibangun dengan dana dari kreditur apabila debitur mengalami gagal bayar. Kedua, potensi kehilangan uang kreditur selain disebabkan oleh gagal bayar (wanprestasi) debitur, juga dapat disebabkan oleh penyelenggara dalam kegiatan peer to peer lending itu sendiri. Tidak diaturnya sistem manajemen pencegahan penyalahgunaan dana yang

8

http://finansial.bisnis.com/read/20170916/215/690487/koinworks-lindungi-rugi-investor-dengan-danaproteksi, diakses 12 Januari 2017. 9 Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis teknologi Informasi, POJK No.77 /POJK.01/2016, LN Nomor 324 tahun 2016, TLN 6005, Pasal 9.

5 Universitas Indonesia


Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, Monica Rotua Angelina mungkin dilakukan penyelenggara fintech dapat menyebabkan permasalahan di kemudian hari. Tanpa mengurangi rasa hormat seharusnya Otoritas Jasa Keuangan Indonesia belajar pada kasus di Negara Republik Rakyar China (RRC), dimana salah satu penyelenggara P2P terbesar di RRC, Ezubao, dituntut karena telah mengumpulkan uang sejumlah 59,8 miliar Yuan yang didapatkan dari 900.000 investor dan telah gagal untuk mengembalikan dana sejumlah 38 miliar Yuan.10 Pencegahan penyalahgunaan dana oleh penyelenggara fintech atau penyelenggara transaksi elektronik lainnya sebenarnya sudah diatur dengan diwajibkannya penerapan asas duty of care dalam menjalankan korporasi seperti yang telah diatur dalam Pasal 46 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi elektronik yang menyatakan bahwa, “Dalam hal penyelenggaraan transaksi elektronik wajib memperhatikan itikad baik, prinsip kehatian-hatian, transparansi, akuntabilitas dan kewajaran".11 Hanya saja perlu diperhatikan bahwa kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dana tidak dapat diatur hanya dengan imbauan saja, melainkan juga harus dibarengi dengan adanya penerapan sistem pencegahan penyalahgunaan dana yang seimbang. Dalam melakukan pencegahan penyalahgunaan dana tersebut ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan antara lain; Pertama, seharusnya terdapat kewajiban untuk penyelenggara fintech mengefisiensikan kewajiban rekam jejak audit sesuai yang telah diatur pada Pasal 27 POJK NO.77/POJK.01/2016. Perlu diapresiasi kembali bahwa OJK telah mewajibkan rekam jejak audit oleh penyelenggara fintech, akan tetapi dengan mempelajari kasus yang dialami Ezubao dimana Negara RRC pun mewajibkan adanya rekam jejak audit nampaknya kewajiban yang telah ditentukan oleh OJK tersebut menjadi tidak lagi jelas sasarannya. Salah satu auditor keuangan terkenal, Alan Whitman, CEO Baker Tilly menjelaskan bahwa kewajiban rekam jejak audit tidak akan efektif apabila tidak dibarengi dengan adanya pemisahan tugas dan kewenangan pembuat rekam jejak yang menerima laporan setiap transaksi, dengan pihak yang melakukan transaksi itu sendiri.12 Apabila belajar pada kasus Ezubao, perlu dipahami bahwa di dalam sistem manajemen Ezubao tidak dipisahkan antara jabatan pembuat rekam jejak dengan jabatan lainnya. Masing-masing jabatan wajib membuat rekam jejak dan bagian keuangan hanya berkewajiban untuk mengumpulkan data-data yang diperoleh dari hasil rekam 10

Dapat dlihat pada https://www.techinasia.com/fall-76b-ponzi-scheme-ezubao-bad-chinas-p2p-lendingcompanies, dan https://www.reuters.com/article/us-china-fraud-ezubao/chinas-8-6-billion-p2p-fraud-trialstarts-xinhua-idUSKBN1450I2, diakses 12 januari 2017. 11 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, PP No.82 Tahun 2012, LN No.189 Tahun 2012, TLN No. 5348, Pasal 46. 12 Dapat dlihat pada http://www.bakertilly.com/insights/prevention-of-fraud-through-effective-internalcontrols/ , diakses 12 januari 2017.

6 Universitas Indonesia


Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, Monica Rotua Angelina jejak tersebut. Sehingga disini penulis berpendapat bahwa perlu diwajibkannya adanya jabatan pembuat dan pemeriksa rekam jejak pada setiap penyelenggara fintech atau setidak-tidaknya penyelenggara fintech tersebut bekerjasama dengan lembaga yang dapat melaksanakan tugas tersebut; Kedua, dalam mencegah penyalahgunaan dana oleh penyelenggara fintech, OJK perlu mewajibkan penyelenggara fintech untuk mempublikasikan rasio Non Performing Loans (NPL)/kredit bermasalah atas setiap produk kredit yang mereka tawarkan. Rasio Non Performing Loans (NPL)/kredit bermasalah ini pun juga harus diaudit oleh OJK. Perlunya diadakan kewajiban mempublikasikan rasio Non Performing Loans ini dipelajari dari adanya kasus Lending Club. Dalam kasus Lending Club tidak adanya Rasio Non Performing Loans atas setiap produk kreditnya, mengakibatkan para kreditur terus memberikan pinjaman dengan harapan bahwa dana yang mereka berikan dialirkan untuk produk kredit yang sehat, yang ternyata terhadap dana tersebut Lending Club justru mengalirkannya untuk dipinjamkan kepada debitur-debitur yang memiliki rasio Non Performing Loans yang tinggi. Setelah diaudit oleh sebuah firma hukum, ditemukan fakta bahwa pengaliran dana kreditur kepada pihak yang memiliki rasio Non Performing Loans yang tinggi merupakan modus untuk menggelapkan sisa dari kredit yang belum dibayarkan. Sehingga akhirnya pada tanggal 9 Mei 2016, Renault Laplanche, Direktur Lending Club dipanggil Pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.13 Sehingga disini penulis berpendapat bahwa perlu adanya peraturan yang mewajibkan adanya publikasi rasio Non Performing Loans atas setiap produk kredit dan adanya kewajiban OJK untuk mengaudit rasio yang telah dipublikasikan tersebut; Ketiga, kembali belajar dari kasus Ezubao di Negara RRC bahwa awal mulanya terjadinya penyalahgunaan dana oleh Ezubao disebabkan oleh adanya kelebihan dana yang diterima pihak Ezubao atas penjualan produk kredit yang sudah tidak ada. Dalam kasus yang terjadi pada Ezubao, Ezubao menjual produk - produk kredit yang sudah kadaluarsa atau tidak berlaku lagi, dana yang diberikan oleh kreditur atas produk kredit ‘bodong’ tersebut digunakan untuk kehidupan mewah para petinggi dan pegawai Ezubao.14 Menyikapi kasus Ezubao tersebut sebaiknya OJK mulai meregulasikan adanya kewajiban pelaporan produk kredit secara berkala oleh penyelanggara fintech atau kewajiban audit produk secara berkala oleh OJK, hal ini bertujuan agar tidak ada produk kredit / investasi bodong yang ditawarkan oleh penyelenggara fintech dalam situsnya. 13

Dapat dlihat pada https://personalmoneyservice.com/lending-club-fraud/ , diakses pada tanggal 12 januari 2017. 14 Dapat dlihat pada https://www.cnbc.com/2017/09/12/ezubao-two-in-china-get-life-in-prison-for-7-point-6billion-ponzi-scheme.html , diakses pada tanggal 12 januari 2017.

7 Universitas Indonesia


Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, Monica Rotua Angelina

C. Penutup 1. Kesimpulan Kebutuhan akan kecepatan bertransaksi dan kemudahan pembiayaan dalam memenuhi kebutuhan untuk memulai usaha menghadirkan fintech di Indonesia yang dikenal dengan Peer to peer lending (“P2P Lending�). Konsep P2P Lending ini dapat disamakan dengan sistem penyaluran kredit yang telah diatur melalui Peraturan Otorisasi Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Adanya kemudahan dan kecepatan akses yang dijanjikan para penyedia fintech memunculkan permasalahan hilangnya uang kreditur yang dapat disebabkan oleh debitur dan penyelenggara Peer to peer lending itu sendiri. Gagal bayar yang disebabkan oleh debitur itu sendiri bermula dari kurang memadainya

regulasi

mengenai

fintech

dalam

memberikan

kepastian

hukumnya. terhadap pihak mana yang dapat menjadi debiturnya, dan kedua tidak adanya objek jaminan dalam perjanjiannya di dalam Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, tidak ditemukan syarat spesifik mengenai persyaratan pihak yang menjadi debitur. Dilain sisi,penyelenggara fintech berkeinginan untuk memberikan perlindungan bagi para investor dalam bentuk dana proteksi, yang dalam hal ini sebenarnya bertentangan dengan ketentuan larangan atas jaminan yang diberikan oleh si penyelenggara fintech. Untuk mencegah adanya gagal bayar yang disebabkan oleh pihak debitur, maka OJK memberikan kemudahan melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (“SLIK�) kepada para penyelenggara fintech untuk mengetahui histori kredit para debiturnya. Kemudian, tidak menutup kemungkinan pula gagal bayar yang disebabkan pihak penyelenggara dapat menjadi masalah besar seperti yang terjadi di Ezubau, China karena tidak adanya sistem manajemen pencegahan penyalahgunaan dana yang mana sudah menjadi kewajiban penyelenggara fintech untuk pencegahan penyalahgunaan dana karena penerapan asas duty of care dalam menjalankan korporasinya sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi elektronik yang dapat diterapkan melalui rekam jejak audit dalam fintech sebagaimana diwajibkan dalam Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tersebut atau mempublikasikan rasio Non Performing Loans (NPL) atau kredit bermasalah atas setiap produk kredit yang ditawarkan oleh penyelenggara itu sendiri. 8 Universitas Indonesia


Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, Monica Rotua Angelina

2. Saran Berdasarkan Kesimpulan yang telah Penulis kemukakan, selanjutnya Penulis akan memberikan saran demi meminimalisir permasalahan kondisi hilangnya uang kreditur yaitu antara lain; a. OJK sebaiknya mengatur pihak-pihak yang menjadi debitur demi kejelasannya siapa yang dapat menjadi debitur; b. OJK mengembangkan terkait bagaimana penggunaan objek jaminan dan bentuknya; c. Terkait Sistem Layanan Informasi Keuangan (“SLIK�) yang baru dikembangkan OJK, perlu dikaji pengaturan kewajiban pelaporan data debitur fintech dalam kemudahan SLIK d. Sebaiknya OJK perlu mengkaji lebih jauh terkait dana ptoteksi yang sudah diterapkan serta perlu dikaji pula hal terkait seringkali dalam penyelenggaraan peer to peer lending pihak debitur adalah pihak yang tidak dapat memberikan jaminan apapun atas tidak dapat dibayarkannya dana yang dialirkan kepadanya; e. Perlu dipertimbangan peraturan terkait mengenai pengadaan jabatan pembuat dan pemeriksa rekam jejak pada setiap penyelenggara fintech atau setidak-tidaknya penyelenggara bekerjasama dengan lembaga yang dapat melaksanakan tugas tersebut; f. OJK lebih mempertimbangan adanya peraturan yang mewajibkan dilakukannya publikasi rasio Non Performing Loans atas setiap produk kredit dan adanya kewajiban OJK untuk mengaudit rasio yang telah dipublikasikan tersebut; g. Sebaiknya OJK juga mempertimbangkan untuk diakannya peraturan kewajiban pelaporan produk kredit secara berkala oleh penyelanggara fintech atau kewajiban audit produk secara berkala oleh OJK.

9 Universitas Indonesia


Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, Monica Rotua Angelina Daftar Pustaka A.

BUKU

Makarim, Edmon. Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara Sistem Elektronik.Jakarta: Rajajawali Pers, 2010. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat. Ed. 1. Cet. 10. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007. Soekanto,

Soerjono.

Pengantar

Penelitian

Hukum.

Jakarta:

Penerbit

Universitas

Indonesi,2007. Umam, Khotibul. Hukum Lembaga Pembiayaan: Hak dan Kewajiban Nasabah Pengguna Jasa Pembiayaan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2010. B.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 1992. Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. UU No. 10 Tahun 1998. LN No. 182 Tahun 1998. TLN 3790. Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektroni. PP No.82 Tahun 2012. LN No.189 Tahun 2012. TLN No. 5348. Indonesia. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis teknologi Informasi. POJK No.77 /POJK.01/2016. LN Nomor 324 tahun 2016. TLN 6005. Indonesia. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan. POJK Nomor 18/POJK.03/2017. LN Nomor 93 tahun 2017.TLN 6049. C. ARTIKEL HARIAN Indradie, Andri dan Silvana Maya Pratiwi, “Fintech Menjamur, Regtech Harus Meluncur” kontan. (18 juli- 24 Juli 2016). Hlm. 3. D. MAKALAH Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo). “Financial Technology (FinTech) “Analisa Peluang Analisis Peluang Indonesia dala Era Komunikasi Digital dari Aspek Infrastruktur, Teknologi, SDM, dan Regulasi 10 Universitas Indonesia


Asri Andara Putri, Glenn Dio Haeckal Anggoro, Monica Rotua Angelina Penyelenggara dan Pendukung Jasa Sistem Keuangan� (materi disampaikan pada Temu ilmiah Nasional Peneliti 2016, Bogor, 28 Juli 2016). F. SUMBER INTERNET Noviansyah,Aditya. Regulator, Pelaku Pasar, dan Peneliti Bahasa Era Keuangan Digital,. https://m.tempo.co/read/news/2017/03/22/087858631/regulator-pelaku-pasar-danpeneliti-bahas-era-keuangan-digital. Diakses 9 Januari 2017. Kementerian komunikasi dan Infomatika, Klasifikasi Jasa yang digunakan dalam Transaksi Online Tahun 2015. https://statistik.kominfo.go.id/site/data?idtree=430&iddoc-1459&data-data_page=3. Diakses 9 Januari 2017. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/04/26/2017-transaksi-fintech-indonesia-us186-miliar. Diakses 5 Januari 2017. https://katadata.co.id/berita/2017/10/31/pakar-usul-indonesia-mencontoh-india-dalamkembangkan-fintech. Diakses 11 Januari 2017. https://www.investree.id/invest/risk. Diakses 5 Januari 2018. http://finansial.bisnis.com/read/20170916/215/690487/koinworks-lindungi-rugi-investordengan-dana-proteksi. Diakses 12 Januari 2017. https://www.techinasia.com/fall-76b-ponzi-scheme-ezubao-bad-chinas-p2p-lendingcompanies. Diakses 12 januari 2017. https://www.reuters.com/article/us-china-fraud-ezubao/chinas-8-6-billion-p2p-fraud-trialstarts-xinhua-idUSKBN1450I2. Diakses 12 januari 2017. http://www.bakertilly.com/insights/prevention-of-fraud-through-effective-internal-controls/. Diakses 12 januari 2017. https://personalmoneyservice.com/lending-club-fraud/. Diakses 12 januari 2017. https://www.cnbc.com/2017/09/12/ezubao-two-in-china-get-life-in-prison-for-7-point-6billion-ponzi-scheme.html. Diakses pada tanggal 12 januari 2017.

11 Universitas Indonesia



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.