Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
ISSN: 2656-5420 ISSN: 1211-1996 ISSN: 2656-5420
ALSA INDONESIA LAW JOURNAL
HUKUM EKONOMI Talitha Belvarini Candraningrum dan Xavier Nugraha Urgensi Undang-Undang Ekonomi Krea f di Indonesia Rahmah Candrika Looking Through Asian Business Law Challenges in the Modern-Day World Arda Rahayu Peran Bank Indonesia Dalam Menghadapi Apresiasi Dolar Amerika Serikat Terhadap Rupiah Indonesia Sar ka Nanda Lestari Tradi onal Cultural Expressions of Indigenous Peoples in Indonesia: Is It Protected? Gamiyel Siouw Josephia Sumoked Sita Pajak Terhadap Aset Badan Usaha Milik Negara
Asian Law Students' Associa on Na onal Chapter Indonesia
Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
ISSN: ISSN:1211-1996 2656-5420
ALSA INDONESIA LAW JOURNAL
Asian Law Students' Associa on Na onal Chapter Indonesia
INFO JURNAL ALSA Indonesia Law Journal adalah terbitan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Asian Law Students’ Association National Chapter Indonesia dengan frekuensi dua kali setahun, yang dimulai pada tahun 2019 dan direncanakan diakreditasi pada tahun ketiga, dengan sasaran: • Menjadi alat komunikasi antar berbagai elemen komunitas hukum, baik sebagai anggota dan alumni ALSA, ataupun pihak lain untuk memajukan hukum Indonesia. • Menyediakan wadah hasil kajian ilmiah atas berbagai isyu hukum di tingkat nasional dan internasional untuk mengembangkan dunia hukum.
ALAMAT REDAKSI Sekretariat ALSA Indonesia Law Journal: Jl. Sosio Justisia No. 1, Bulak Sumur, Sleman D.I. Yogyakarta Indonesia Website: alsaindonesia.org E-mail: step@alsaindonesia.org
ii
DEWAN REDAKSI • Shabrina Defi Khansa (Ketua)
MITRA BESTARI • Prof. M. Hawin, SH, LL.M, Ph.D Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta • Prof. Dr. Huala Adolf, SH, LL.M Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung • Dr. Yunus Husein, SH, LL.M Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok • Dr. Gusti Ayu Tirtawari, SH, MH Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta • Arie Afriansyah, SH, MIL, Ph.D Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok • Firoz Gaffar, SH, MH Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta
iii
EDITORIAL Ekonomi – menurut KBBI – adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti hal keuangan, perindustrian, dan perdagangan). Sama dengan politik, sosial, budaya, dan lain-lain aspek dalam kehidupan manusia, ekonomi dianggap begitu penting. Banyak orang mengukur maju tidaknya suatu negara dari aspek yang satu ini. Pengaturan dan pelaksanaan ekonomi harus dibingkai sistem hukum agar memberikan kepastian. Menurut Max Weber, sistem hukum itu dibedakan antara yang tradisional, karismatik, dan rasional. Hukum modern didasarkan kepada sistem yang rasional, dengan karakteristik khusus, konsisten, universal, dan tepat. Mungkin karakteristik ini bisa menjadi alat untuk mengukur apakah sistem hukum Indonesia saat ini dapat dikategorikan moderen. Weber kemudian membedakan sistem yang rasional tadi menjadi rasional-formal dengan rasional substansial. Apa bedanya? Yang pertama lebih menekankan kerangka norma umum dan keteraturan prosedural, sedangkan yang kedua disandarkan kepada pertimbangan keadilan terhadap kasus individual. Hukum ekonomi di negara moderen sudah sepatutnya menekankan kepada keadilan. Pertanyaannya adalah apakah hukum ekonomi di Indonesia sudah masuk kategori itu? Tidak mudah menjawabnya karena harus dilakukan riset serius. Namun pada beberapa wujud das sollen dan das sein di Indonesia, hukum dapat terlihat moderen atau tidaknya. Bahkan dari sisi pembentukan hukum dan penerapan hukumnya, hukum terlihat juga adil atau tidaknya. Inilah yang menjadi konteks pemilihan tema hukum ekonomi pada ALSA Indonesia Law Journal terbitan perdana ini. Sejumlah artikel dalam bidang hukum ekonomi yang terdapat dalam jurnal ini mungkin menarik untuk disimak untuk melihat sejauhmana hukum ekonomi di Indonesia sudah moderen dan adil. Selamat membaca! Shabrina Defi Khansa
iv
DAFTAR ISI Talitha Belvarini Candraningrum dan Xavier Nugraha Urgensi Undang-Undang Ekonomi Kreatif di Indonesia
1-14
Rahmah Candrika Looking Through Asian Business Law Challenges in the Modern-Day World
15-21
Arda Rahayu Peran Bank Indonesia Dalam Menghadapi Apresiasi Dolar Amerika Serikat Terhadap Rupiah Indonesia
23-30
Sartika Nanda Lestari Traditional Cultural Expressions of Indigenous Peoples in Indonesia: Is It Protected?
31-42
Gamiyel Siouw Josephia Sumoked Sita Pajak Terhadap Aset Badan Usaha Milik Negara
43-55
v
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
URGENSI UNDANG-UNDANG EKONOMI KREATIF DI INDONESIA Talitha Belvarini Candraningrum ALSA LC Universitas Airlangga talithabelvarini@gmail.com Xavier Nugraha ALSA LC Universitas Airlangga nugrahaxavier@yahoo.co.id Abstrak: Artikel ini bertujuan mengkaji mengenai urgensi pengaturan ekonomi kreatif dalam regulasi berupa undang-undang. Penelitian ini merupakan penelitian hukum dogmatik. Jenis bahan hukum primer yang digunakan yaitu peraturan perundang-undangan terkait ekonomi kreatif, sedangkan bahan hukum sekunder terdiri dari buku, jurnal, dan sumber lain yang relevan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Hingga saat ini pertumbuhan ekonomi yang masih rendah merupakan persoalan klasik di Indonesia yang memerlukan penyelesaian. Dari hasil penelitan ini terlihat bahwa pengaturan ekonomi kreatif dalam undang-undang adalah salah satu alternatif penyelesaian masalah tersebut. Potensi ekonomi kreatif yang begitu besar yang dibuktikan dengan kontribusi sebesar 641.815,4 miliar dari total 9.109.129,4 miliar rupiah pada tahun 2013 menunjukan betapa besarnya pengaruh ekonomi kreatif. Meskipun memiliki potensi yang begitu besar bagi pertumbuhan ekonomi, ternyata masih banyak masalah dalam ekonomi kreatif, mulai dari fasilitas pajak, masalah permodalan dan pembiayaan, permasalahan perizinan, dan sebagainya. Kata Kunci: ekonomi kreatif, pertumbuhan ekonomi, undang-undang ekonomi kreatif
1
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
A.
PENGANTAR Pada tahun 2008 dunia dilanda krisis keuangan global yang disebabkan oleh domino effect dari kegagalan program subprime mortgage di Amerika Serikat.1 Krisis tersebut kemudian menggelembung, dan secara beruntun menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Namun ternyata menurut United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD)2, salah satu sektor yang tidak terlalu terkena dampak dalam krisis global pada tahun 2008 adalah ekonomi kreatif.3 Bahkan menurut UNCTAD, ekonomi kreatif merupakan sektor ekonomi yang mampu bertahan di tengah krisis global.4 Sehingga ekonomi kreatif tampak tumbuh pesat di negara-negara Timur. Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena dampak dari krisis ekonomi global saat itu, juga melihat ekonomi kreatif sebagai salah satu alternatif, sehingga Indonesia juga berusaha mengembangkan ekonomi kreatif yang ada. Salah satu upaya nyata yang dilakukan oleh Indonesia dalam mengembangkan ekonomi kreatif pada saat itu adalah melalui dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif (selanjutnya disebut Inpres 6/2009) . Sesuai dengan pendapat Jimly Ash-shidique, bahwa Inpres merupakan “policy rules” atau “beleidsregels”, yaitu bentuk peraturan kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang biasa.5 Dengan demikian, dikeluarkannya Inpres tersebut membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia menjadikan ekonomi kreatif sebagai program nasional yang penting dan menjadi sektor yang mendapatkan perhatian dalam pembangunan nasional serta kelembagaan. Dikeluarkannya Inpres beserta regulasi lain terkait pengembangan ekonomi kreatif ternyata memberikan pengaruh positif dalam ekonomi kreatif di Indonesia, hal ini terbukti berdasarkan data yang dihimpun Badan Pusat Statistik pada tahun 2013, bahwa sektor ekonomi kreatif memberikan kontribusi sebesar 641.815,4 miliar dari total 9.109.129,4 miliar rupiah.6 Kontribusi ini menempatkan sektor ekonomi kreatif di
1
Daniela S. Tumbelaka, “Pengaruh Krisis Ekonomi Global terhadap Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia di Pasar Internasional”, Jurnal Analasis HI, Volume 3, Nomor 1, 2014, http://journal.unair.ac.id/downloadfullpapers-jahi5cc0da1a72full.pdf, diakses pada 7 Oktober 2018. 2 Salah satu organ majelis umum PBB dalam menangani isu perdagangan, investasi dan pembangunan. 3 Rensi Mei Nandini, “Dampak Usaha Ekonomi Kreatif Terhadap Masyarakat Desa Blawe Kecamatan Purwoasri Kabupaten Kediri”, Kebijakan dan Manajemen Publik, Volume 4, Nomor 1, 2016, http://journal.unair.ac.id/KMP@dampak-usaha-ekonomi-kreatif-terhadap-masyarakat-desa-blawekecamatan-purwoasri-kabupaten-kediri-article-10881-media-138-category-8.html, diakses pada 7 Oktober 2018. 4 Ibid. 5 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang ( Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010), hal 20. 6 Iwan Hermawan, dan VS Tripriyo PS, “Membangun Kinerja Usaha Melalui Faktor Pembentukan Kapabilitas Pelaku Kewirausahaan Industri Kreatif Nasional”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol 18, No 2, 2015,
2
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
peringkat ketujuh dari 10 sektor ekonomi dengan persentase mencapai 7,05%. Sektor ekonomi kreatif sendiri mengalami peningkatan 10,9% dimana pada tahun 2012 silam, kontribusi yang diberikan sebesar 578.760,6 miliar rupiah.7 Namun ternyata ketentuan dalam Inpres 6/2009 tersebut hanya berlaku hingga tahun 2015, sehingga hingga tahun 2016 hingga artikel ini ditulis, belum ada payung hukum yang mengatur tentang ekonomi kreatif. Padahal seiring berjalannya waktu, ekonomi kreatif memberikan sumbangsih yang semakin meningkat terhadap PDB di Indonesia. Menurut Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Triawan Munaf , salah satu hambatan nyata yang dialami saat ini dalam melakukan pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia yang dikarenakan belum adanya payung hukum berupa undang-undang adalah lembaga ekonomi kreatif hanya sebatas suatu badan saja, belum bisa berbentuk kementerian. Selama ini, Bekraf masih berkoordinasi dengan kementerian lain untuk menjalankan program-programnya, sehingga belum cukup leluasa dalam mengembangkan ekonomi kreatif.8 Melihat potensi dan permasalahan yang timbul dalam ekonomi kreatif seperti yang telah diuraikan di atas, maka artikel ini akan beranjak dari keinginan untuk mengusulkan gagasan pengaturan undang-undang ekonomi kreatif. Dewan Perwakilan Rakyat juga telah memasukan Rancangan Undang-Undang Ekonomi kreatif sebagai salah satu prioritas Program Legislasi Nasional Tahun 2015. Permasalahan hukum yang akan dikaji yaitu urgensi pengaturan ekonomi kreatif dalam undang-undang dan norma hukum apa yang perlu diatur dalam Undang-Undang Ekonomi Kreatif. Penelitian ini adalah penelitian hukum doctrinal research. Menurut Dyah Octorina Susanti, doctrinal research bertujuan untuk sistemasi, mengkoreksi, dan memperjelas suatu aturan hukum dalam bidang hukum tertentu dengan melakukan analisis terhadap bahan hukum primer dan sekunder,9 sesuai dengan Penelitian hukum ini yang bertujuan untuk membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan prinsip dan norma hukum yang membahas mengenai urgensi Undang-Undang Ekonomi Kreatif di Indonesia.
http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6475/2/ART_Iwan%20H%2C%20VS%20Tripriyo%20PS_Me mbangun%20Kinerja%20Usaha_fulltext.pdf , diakses pada 7 Oktober 2018 7 Bekraf, “Kontribusi Ekonomi Kreatif terhadap PDB Indonesia”, http://indonesiakreatif.bekraf.go.id/ikpro/research/kontribusi-ekonomi-kreatif-terhadap-pdb-indonesia/ , diakses pada 7 Oktober 2018 8 Metrotvnews, “Bekraf: Undang-Undang Ekonomi Kreatif Harus Dibentuk”, http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2016/11/17/614845/bekraf-undang-undang-ekonomi-kreatif-harusdibentuk , diakses pada 7 Oktober 2018 9 Dyah Ochorina Susanti & A’an Efendi., Penelitian Hukum (Legal Research), (Jakarta: Sinar Grafika, 2014 ) hal. 15.
3
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
B.
ANALISIS Dalam era globalisasi yang menyebabkan semua seolah tanpa batas (borderless) telah mengubah cara bertukar informasi, berdagang, dan konsumsi dari produk-produk budaya dan teknologi dari berbagai tempat di dunia. Dunia menjadi tempat yang sangat dinamis dan kompleks sehingga kreativitas dan pengetahuan menjadi suatu aset yang tak ternilai dalam kompetisi dan pengembangan ekonomi. Istilah Ekonomi kreatif kemudian terus berkembang di masyarakat. Ekonomi kreatif terus membuka peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan usahanya dengan memanfaatkan cadangan sumber daya yang bukan hanya terbarukan, bahkan tak terbatas, yaitu ide, talenta dan kreativitas.10 Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ekonomi kreatif merupakan ekonomi gelombang ke-4 yang mana kelanjutan dari ekonomi gelombang ketiga dengan orientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan lingkungan.11 Mengutip dari Cetak Biru Ekonomi Kreatif 2025, ekonomi kreatif merupakan suatu penciptaan nilai tambah (ekonomi, sosial, budaya, lingkungan) berbasis ide yang lahir dari kreativitas sumber daya manusia (orang kreatif) dan berbasis pemanfaatan ilmu pengetahuan, termasuk warisan budaya dan teknologi.12 Kreativitas tidak sebatas pada karya yang berbasis seni dan budaya, namun juga bisa berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, engineering dan ilmu telekomunikasi. Terdapat 3 hal pokok yang menjadi dasar dari ekonomi kreatif, antara lain kreativitas, inovasi dan penemuan.13 Di Indonesia, ekonomi kreatif mulai semakin gencar sejak Inpres 6/2009 disahkan dan tahun tersebut dicanangkan sebagai Tahun Indonesia Kreatif oleh Presiden SBY. Pada tahun yang sama, Pameran Virus Kreatif yang mencangkup sektor industri kreatif dan Pameran Pangan Nusa yang mengenalkan industri pangan Indonesia diselenggarakan dan berjalan sukses. Hal ini menjadi bukti bahwa perkembangan Industri kreatif di Indonesia mengarah pada tren yang positif.14 Gagasan mengenai ekonomi kreatif ini terus bergulir dan penguatan kelembagaan pengembangan industri kreatif terus dilakukan oleh pemerintah hingga pada tanggal 21 Desember 2011 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011, pemerintah secara resmi membentuk
10
Maskarto Lucky Nara Rosmadi, “Industri Kreatif dalam Menghadapi Pasar Bebas ASEAN Tahun 2015”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1, 2014, http://ejournal.sthb.ac.id/index.php/jwy/article/view/77, diakses pada 7 Oktober 2018 11 Rochmat Aldy Purnomo, Ekonomi Kreatif Pilar Pembangunan Indonesia, ( Surakarta: Ziyad Visi Media, 2016), hal. 6 12 Daniel Hendrawan, “Ekonomi Kreatif dan Merek”, Zenit, Vol 4, No 1, 2015, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=535957&val=5986&title=Ekonomi%20Kreatif%20dan%2 0Merek, diakses pada 7 Oktober 2018 13 Ibid., hal. 8. 14 Rochmat Aldy Purnomo Op.cit., hal. 13.
4
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang diperkuat dengan dua Direktur Jenderal yang secara langsung bertanggung jawab terhadap pengembangan Industri kreatif di Indonesia, yaitu: Direktorat Jenderal Industri Kreatif Berbasis Seni dan Budaya dan Direktorat Jenderal Industri Kreatif Berbasis Media, Desain, dan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).15 Meski telah diatur dalam Inpres 6/2009, ternyata dalam Inpres tersebut tertulis bahwa “mendukung kebijakan Pengembangan Ekonomi Kreatif tahun 2009-2015…”, hal ini berarti jelas bahwa Inpres ini hanya mendukung segala kegiatan berhubungan dengan ekonomi kreatif hingga tahun 2015. Sehingga, sejak tahun 2015 hingga artikel ini dibuat, belum ada payung hukum yang mengatur mengenai ekonomi kreatif. Namun, di masa pemerintahan yang baru saat ini, yaitu di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, dibentuklah satu lembaga yang khusus untuk pengembangan industri kreatif Indonesia sebagai wujud komitmen mengembangkan ekonomi kreatif melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 72 Tahun 2015.16 Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sebagai lembaga non-kementerian bertanggung jawab terhadap perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia dengan tugas membantu presiden dalam merumuskan, menetapkan, mengoordinasikan, dan sinkronisasi kebijakan di bidang ekonomi kreatif.17 Meski telah diatur mengenai Bekraf, namun pembentukan Bekraf ini belum memiliki payung hukum berupa undang-undang sebagai dasar pembentukannya. Bentuk regulasi yang digunakan masih berupa Perpres. Mengacu Pasal 1 angka 6 jo. Pasal 13 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) dijelaskan bahwa materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Bagian mengingat dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2015, dijelaskan bahwa dasar dari dibentuknya Perpres tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN). Dalam Stufenbautheorie yang dicetuskan oleh Hans Kelsen dijelaskan bahwa susunan norma dalam negara adalah berlapis-lapis dan berjenjang dari yang tertinggi sampai terendah, yang mana norma yang lebih rendah bersumber 15
Cecep Bryan Firdaus, “Pengembangan Potensi Industri Kreatif Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Pasar Masyarakat Ekonomi Asean (Mea)”, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjajaran,, http://repository.unpas.ac.id/28101/ , diakses pada 7 Oktober 2018 16 Sulasi Rongiyati, “Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Pada Produk Ekonomi Kreatif”, Negara Hukum, Vol.9, No.1, 2018, http://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/1001/pdf, diakes pada 7 Oktober 2018 17 Bekraf, “BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif Indonesia) : Tonggak Baru Ekonomi Kreatif Indonesia”, http://www.bekraf.go.id/ profil, diakses pada 7 Oktober 2018
5
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
daripada norma yang lebih tinggi.18 Dalam hal ini sumber dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2015 adalah UU ASN, hal ini menunjukan bahwa secara substansial, semangat yang dibawakan belumlah semangat dari pengembangan ekonomi kreatif, namun dalam rangka menciptakan lembaga penunjang. Sehingga, sejatinya perlu dibentuk dahulu Undang-Undang Ekonomi Kreatif yang kemudian menjadi sumber bagi instansi tertentu yang menjalankan tugas dalam pengembangan ekonomi kreatif baik melalui Perpres atau Peraturan Pemerintah agar selain memiliki dasar hukum berupa undang-undang yang kokoh, semangat yang dibawa memang secara substansial ada mengembangkan ekonomi kreatif. Selain belum secara substansial semangat yang dibawakan adalah pengembangan ekonomi kreatif, kelemahan dari Perpres ini adalah karena Perpres Nomor 72 Tahun 2015 merupakan produk untuk melaksanakan kekuasaan pemerintahan, maka dimungkinkan jika pemerintahannya berganti, maka kebijakannya juga akan berganti. Bisa jadi, rezim pemerintahan yang berikutnya tidak melihat ekonomi kreatif sebagai suatu potensi yang dapat dikembangkan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Deputi Bidang Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi Bekraf Ari Juliano Gema, bahwa kalau tidak ada UU, kemudian ada pergantian pemerintah, bisa jadi tidak ada jaminan keberlangsungan industri ekraf kedepannya.19 Contoh nyata akan hal ini adalah Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Negatif Investasi yang lahir di era pemerintahan Presiden Jokowi yang menggantikan Perpres Nomor 39 Tahun 2014 yang merupakan produk pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono . Hal ini menunjukan bahwa tiap pemerintahan memiliki kebijakannya masing-masing, sehingga tidak menutup kemungkinan rezim pemerintahan berikutnya mengganti kebijakan akan ekonomi kreatif, bahkan tidak menutup kemungkinan pemerintahan berikutnya tidak fokus untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Sehingga, diperlukan Undang-Undang sebagai dasar hukum yang kuat, yang tidak dengan mudahnya diganti sesuai dengan pergantian pemerintah. Selain belum cukup kuatnya Perpres sebagai penopang hukum bagi ekonomi kreatif, terdapat banyak muatan yang pengaturannya harus melalui undang-undang, bukan melalui Perpres. Contohnya adalah mengenai fasilitas keringanan pajak bagi para pelaku ekonomi kreatif. Mengingat banyak pelaku dari ekonomi kreatif ini bukan hanya dalam skala besar, namun banyak yang masih skala kecil, hal ini sesuai dengan data pertumbuhan ekonomi kreatif yang mencapai 8,2 juta, jumlah tenaga kerjanya baru sekitar 17 juta. Artinya, satu usaha ekonomi kreatif jumlah tenaga kerjanya hanya satu sampai dua orang saja. Data tersebut juga menunjukan bahwa 96 persen usaha 18
Hans Kelsen, General Theory of Law and State (Translated by : Andres Wedberg), (New York: Russel & Russel, 1973) , hal. 124. 19 Marsya Nabila, “Ini Poin Usulan RUU Ekonomi Kreatif dari Bekraf�, http://industri.bisnis.com/read/20160203/87/515933/ini-poin-usulan-ruu-ekonomi-kreatif-dari-bekraf, diakses pada 8 Oktober 2018
6
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
ekonomi kreatif merupakan kecil sekali dan belum memiliki badan usaha, bersifat informal, dan tidak punya laporan keuangan bahkan yang berbentuk PT hanya satu persen.20 Melihat masih banyaknya usaha informal, maka pengaturan mengenai keringanan pajak terhadap para pelaku ekonomi kreatif yang tidak bisa dipersamakan dengan pelaku ekonomi biasa merupakan hal yang penting. Justru ketika kita menyamakan bentuk pajak bagi para pelaku ekonomi kreatif ini dengan para pelaku ekonomi pada umumnya, merupakan ketidakadilan, seperti yang disampaikan oleh Aristoteles, dalam karyanya yang berjudul “Nichomachean ethics”, bahwa justice consists in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to thei inequality, yang terjemahan bebasnya berbunyi untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional. 21
Dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945, dijelaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, maka sejatinya dalam rangka memberikan fasilitas keringanan pajak bagi para pelaku ekonomi kreatif, perlu diatur dalam undang-undang ekonomi kreatif mengenai keringanan terhadap penarik pajak tersebut. Setelah fasilitas keringanan pajak ini diatur dalam undang-undang, barulah mengenai teknis keringinannya dapat diatur melalui Peraturan Pemerintah. Mengenai fasilitas keringanan pajak tersebut, bukan hanya pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, seperti pajak penghasilan, namun juga keringanan pajak terhadap pajak-pajak yang berkaitan dengan ekonomi kreatif di daerah, seperti keringanan pajak hiburan, pajak reklame dan pajak lainnya atas jasa atau produk Ekonomi Kreatif yang dihasilkan oleh pelaku dan/atau industri Ekonomi Kreatif. Contoh kasus nyata mengenai pentingnya fasilitas keringanan pajak bagi pelaku ekonomi kreatif adalah kasus Tere Liye, seorang penulis yang memutuskan kontrak dengan dua penerbit, yaitu Gramedia Pustaka Utama dan Republika Penerbit terhitung sejak 31 Juli 2017.22 Melalui akun facebook-nya, Tere Liye menyampaikan bahwa pemerintah selama ini tidak adil terhadap profesi penulis buku karena dikenakan pajak lebih tinggi dari profesi-profesi lainnya.23 Tere Liye menjelaskan dalam keluhannya, bahwa penghasilan 20
Dwi Aditya Putra, “Daftar masalah industri kreatif Indonesia, termasuk masih terkonsentrasi di Jawa”, https://www.merdeka.com/uang/daftar-masalah-industri-kreatif-indonesia-termasuk-masih-terkonsentrasi-dijawa.html, diakses pada 8 Oktober 2018 21 Junaidi Arif, “Penerapan Asas Proporsionalitas Perjanjian Penggunaan Kartu Kredit Dalam Sistem Transaksi Perdagangan”, Al’Adl, Vol 8, No 2, 2016, https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/aldli/article/view/458, diakses pada 8 Oktober 2018 22 Abdul Aziz, “Tere Liye dan Polemik PPh 23: Aturan Pajak Penulis”, https://tirto.id/tere-liye-dan-polemik-pph23-aturan-pajak-penulis-cwat, diakses pada 8 Oktober 2018. 23 Barratut Taqiyyah Rafie, “Pajak untuk Penulis Dianggap Tak Fair, Tere Liye Putus Kontrak dengan 2 Penerbit, http://www.tribunnews.com/bisnis/2017/09/06/pajak-untuk-penulis-dianggap-tak-fair-tere-liye-putuskontrak-dengan-2-penerbit, diakses pada 9 Oktober 2018
7
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
seorang penulis yang disebut sebagai royalti mencapai Rp 1 miliar, setidaknya sekitar Rp 245 juta atau 24,5 persennya perlu disetor sebagai pungutan pajak.24 Pungutan pajak ini disebutnya jauh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan lain, seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), di mana, dalam simulasinya, bila PNS berpenghasilan Rp 1 miliar, pajak yang dibayar hanya Rp 95 juta. Sedangkan, pelaku UMKM tarif pajaknya hanya satu persen, sekitar Rp 10 juta. Keluhan atas pajak yang terlalu tinggi ini pun juga disetujui oleh pengamat pajak Yustinus Prastowo yang menyatakan bahwa pangkal masalah perpajakan ini ada pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang mengatur bahwa atas royalti penulis buku, yang dipotong 15% atas jumlah bruto. Beliau menjelaskan bahwa jatah royalti penulis itu 10% dari penjualan. Beliau mensimulasikan apabila tarif 15% berlaku untuk rentang penghasilan kena pajak antara Rp 150-250 juta, maka sang penulis setidaknya harus mendapat penghasilan jual buku setara Rp 1,5-2,5 miliar. Untuk mendapat omzet sebesar itu, misalnya satu buku harganya Rp 100 ribu, maka lebih kurang si penulis harus menjual 15 ribu eksemplar. Dari ilustrasi tersebut, terlihat bahwa perlunya fasilitas bagi para pelaku ekonomi kreatif, agar jangan sampai pajak yang terlalu tinggi justru menjadi penghalang bagi para pelaku ekonmi kreatif dalam berkembang. Kepala Bekraf, Triawan Munaf, juga mengungkapkan bahwa pengembangan ekonomi kreatif memerlukan ekosistem yang mendukung, termasuk dari sisi regulasi. Namun, regulasi pajak untuk ekonomi kreatif di Indonesia masih belum jelas dan bahkan besaran tarif pajak yang dipungut masih terlalu tinggi.25 Oleh karena itulah, pemerintah perlu membuat kebijakan mengenai insentif pajak bagi para pelaku ekonomi kreatif. Pengaturan selanjutnya yang perlu diatur bagi para pelaku ekonomi kreatif adalah masalah pembiayaan bagi para pelaku ekonomi kreatif. Pelaku ekonomi kreatif yang usahanya bersifat intangible mempunyai kendala mendapatkan pembiayaan dari perbankan maupun lembaga pembiayaan.26 Intelectual Property (IP) atau hak kekayaan intelektual (HKI) sebagai modal utama pelaku ekonomi kreatif, umumnya masih banyak belum diterima sebagai jaminan pembiayaan. Jika kita melihat pada pengaturan dalam HKI, sebenarnya IP sudah dapat digunakan sebagai jaminan, contohnya dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Tentang Hak Cipta disebutkan bahwa hak cipta dapat digunakan sebagai jaminan fidusia. Dalam Pasal 41 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menyatakan 24
Yuliyanna Fauzi, “Tere Liye Keluhkan Pajak ‘Selangit’”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170906122521-78-239780/tere-liye-keluhkan-pajak-selangit-bagipenulis, diakses pada 9 Oktober 2018 25 Safyra Primadhyta, “Bekraf: Industri Kreatif Butuh Insentif Pajak”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170911163928-78-240973/bekraf-industri-kreatif-butuh-insentifpajak, diakses pada 9 Oktober 2018 26 Harso Kurniawan, “Pelaku Ekraf Terganjal Masalah Pembiayaan”, http://www.beritasatu.com/bisnis/447032-pelaku-ekraf-terganjal-masalah-pembiayaan.html, diakses pada 9 Oktober 2018
8
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
bahwa hak atas merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena perjanjian. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa merek dapat digunakan sebagai objek jaminan, mengingat bahwa merek terdaftar dapat dialihkan karena perjanjian, misal dalam hal merek sebagai jaminan fidusia. Namun dalam prakteknya masih banyak lembaga perbankan atau pembiayaan yang belum bisa menerima hal ini, selain tidak lazim digunakan sebagai jaminan, IP dinilai merupakan jaminan yang tidak stabil. Contoh, ketika perusahaan bangkrut maka nilai suatu merek juga akan turun. Hal-hal ini yang membuat para pelaku ekonomi kreatif sulit mendapatkan pembiayaan/permodalan. Sehingga perlu ada pengaturan mengenai kekhususan dalam hal bagi para pelaku ekonomi kreatif. Salah satu upaya yang bisa digunakan dalam hal pembiayaan ini misalnya pemerintah menggunakan crowdfunding yang tidak terlalu mempermasalahkan jaminan dalam mengembangkan para pelaku ekonomi kreatif ini. Pemerintah juga perlu mulai mengatur kebijakan untuk meminimalkan proses perizinan usaha industri kreatif. Selama ini, selain pembiayaan, perizinan juga merupakan salah satu kendala terbesar bagi pelaku usaha kreatif. Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati berpendapat, bahwa dukungan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang terbilang sebagai pelaku ekonomi kreatif pemula akan dijamin dari segi perizinannya.27 Para pelaku industri kreatif dalam mendirikan usahanya harus mula-mula memiliki dokumen-dokumen perizinan. Dokumen-dokumen perizinan tersebut antara lain Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Usaha Industri (SIUI), Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan seterusnya. Akan tetapi dalam prakteknya, seringkali para pelaku usaha kreatif ini terhalangi oleh birokrasi. Banyak daerahdaerah di Indonesia yang masih seing mempersulit perizinan startup-startup kecil. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan untuk mempermudah proses perizinan pelaku usaha kreatif. Salah satu upaya yang dapat digunakan dalam mengembangkan dan menyebarluaskan sistem perizinan adalah melalui perizinan satu pintu secara online atau online single submission (OSS). Sistem Informasi Pelayanan Perijinan Satu Pintu dapat dijadikan sebagai aplikasi yang dimaksudkan untuk memberikan informasi dan pelayanan perijinan bagi masyarakat yang meliputi jenis-jenis layanan pendaftaran dan perijinan, persyaratan untuk memperoleh ijin, prosedur perijinan, biaya dan waktu proses perijinan yang diperlukan. Aplikasi dilengkapi dengan formulir dari set dokumentasi yang dipakai untuk mengurus pendaftaran dan perijinan yang disimpan dalam suatu basis data sedemikian sehingga dapat dijamin keseragaman dan tertib 27
Hendra Kusuma, “Sri Mulyani: Kalau Mau Industri Kreatif Maju, Izin Jangan Dipersulit�, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3673304/sri-mulyani-kalau-mau-industri-kreatif-maju-izinjangan-dipersulit, diakses pada 9 Oktober 2018
9
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
administrasinya.28 Struktur data di dalam pengelolaan data meliputi seluruh data pelayanan perijinan yang diselenggarakan dengan landasan pemikiran untuk menciptakan optimalisasi pelayanan publik terkait pelayanan perijinan yang tujuannya untuk mempermudah dan mempercepat akses dan proses perijinan. Pengelolaan data dengan mempergunakan teknologi informasi tersebut dilakukan oleh staf teknologi informasi atau pegawai yang ditunjuk dengan ketentuan memenuhi persyaratan atas adanya kemampuan dan pengetahuan di bidang komputer, jaringan, pengoperasian software yang dipergunakan serta pengetahuan mengenai pelayanan perijinan. Untuk menjamin kelancaran pengelolaan data tersebut, setiap petugas pengolah data mendapat pengembangan kemampuan dari pihak pengembang software yang dipergunakan.29. Di Indonesia sendiri, sistem OSS ini telah mulai diterapkan sejak Juni 2018 oleh Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM). Akan tetapi, pelaksanaannya terkesan sedikit tergesa-gesa dan masih banyak kekurangan. Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, mengungkapkan bahwa sebenarnya Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) meminta agar peluncuran layanan ini dilakukan secara bertahap. Hal tersebut lantaran BKPM belum siap secara struktur organisasi dan sumber daya manusia (SDM).30 Oleh karena itulah, pemerintah Republik Indonesia perlu mengembangkan dan menyebarluaskan program ini sehingga nantinya akan semakin mempermudah para pelaku ekonomi kreatif dalam memulai usaha kreatifnya. Dalam mengembangkan ekonomi kreatif, hal yang tidak kalah penting untuk diatur adalah wadah penunjang ide-ide dari pelaku ekonomi kreatif. Salah satu wadah penunjang ekonomi kreatif itu adalah rumah kreatif. Rumah kreatif adalah tempat yang digunakan untuk mengembangkan ekonomi kreatif dan berfungsi sebagai etalase bagi produk ekonomi kreatif setempat.31 Perlunya pengaturan mengenai rumah kreatif ini adalah karena perlunya dibentuk wadah bagi para pelaku ekonomi kreatif untuk menyediakan wadah bagi pelaku ekonomi kreatif untuk merealisasikan ide-ide mereka. Untuk merealisasikan pembentukan rumah kreatif ini di seluruh provinsi di Indonesia, pemerintah dapat mencontoh Omah Jaman Now di Surabaya. Omah Jaman Now merupakan ruang kreatif terbuka yang menjadi wadah fasilitasi dan kerjasama antar 28
Mohammad Yazdi, “Implementasi Web-Service Pada Sistem Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Atap di Pemerintah Kota Palu”, Seminar Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi Terapan, Semarang, 23 Juni 2012, hal. 453, diakses pada 9 Oktober 2018 29 Zul Fahlefi, “Penerapan Teknologi Informasi Bagi Pelaksanaan Pelayanan Publik”, Jurnal Paradigma, Vol 3, Nomor 2, 2014, http://e-journals.unmul.ac.id/index.php/JParadigma/article/view/386, diakses pada 9 Oktober 2018 30 Septian Deny, “Online Single Submission Siap Diluncurkan Pekan Ini, Berikut Rincian Faktanya”, https://www.merdeka.com/uang/online-single-submission-siap-diluncurkan-pekan-ini-berikut-rincianfaktanya.html, diakses pada 9 Oktober 2018 31 Rancangan Undang-undang tentang Ekonomi Kreatif.
10
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
komunitas millennial sebagai respon terhadap “Perubahan Berkelanjutan� di Jawa Timur. Mengenai pembiayaan Omah Jaman Now dilakukan melalui sistem corporate social responsibility32 oleh beberapa perusahaan di Jawa Timur.33 Omah Jaman Now yang merupakan embodimentasi corporate social responsibility beberapa perusahaan di Surabaya, membuat rumah kreatif tersebut bebas biaya untuk menggunakannya, sehingga para pelaku ekonomi kreatif dapat menggunakannya tanpa dipungut biaya sama sekali. C.
PENUTUP Regulasi mengenai ekonomi kreatif masih perlu dipertegas dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Inpres 6/2009 serta pembentukan bekraf melalui Perpres No. 72 Tahun 2015 sendiri masih berupa produk hukum yang hanya berlaku sementara. Meski begitu banyak potensi ekonomi kreatif dalam mengembangkan ekonomi di Indonesia, namun banyak hal yang harus diatur untuk melindungi para pelaku ekonomi kreatif, misal, pemerintah perlu membuat kebijakan yang memberikan fasilitas keringanan pajak bagi para pelaku ekonomi kreatif supaya perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia bisa semakin berkembang. Pemerintah juga perlu membuat kebijakan mengenai pembiayaan pelaku ekonomi kreatif. Hal ini mengingat bahwa jaminan yang dapat dilakukan para pelaku ekonomi kreatif untuk mendapatkan pembiayaan dari bank adalah berupa merek yang dalam prakteknya di dunia nyata, masih belum dapat diterima oleh banyak lembaga perbankan. Selain itu hal yang perlu diatur adalah melalui kemudahan dalam perizinan, misal melalui online single submissions. Hal yang tidak kalah pentingnya untuk diatur juga dalam undang-undang ekonomi kreatif adalah pembentukan suatu program untuk mewadahi para pelaku ekonomi kreatif.
32
Mengacu pada Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, corporate social responsibility adalah kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 33 Bobby Constantine Koloway, http://surabaya.tribunnews.com/2018/02/02/gabung-di-omah-jaman-nowgratis-ini-alasannya, diakses pada 27 Januari 2019
11
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
DAFTAR PUSTAKA Buku Ash-shiddiqie, Jimly, Perihal Undang-undang (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010). Kelsen, Hans, General Theory of Law and State (Translated by: Andreas Wedberg) (New York: Russel & Russel, 1973) Purnomo, Rochmat Aldy, Ekonomi Kreatif Pilar Pembangunan Indonesia (Surakarta: Ziyad Visi Media, 2016) Susanti, Dyah Ochorina & A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research) (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) Jurnal Arif, Junaidi, “Penerapan Asas Proporsionalitas Perjanjian Penggunaan Sistem Kartu Kredit dalam Sistem Transaksi Perdagangan”, Al-Adl, Volume 8, Nomor 2, 2016, https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/aldli/article/view/458, diakses pada 8 Oktober 2018 Fahlefi, Zul, “Penerapan Teknologi Informasi bagi Pelaksanaan Pelayanan Publik”, Jurnal Paradigma, Volume 3, Nomor 2, 2014, http://ejournals.unmul.ac.id/index.php/JParadigma/article/view/386, diakses pada 9 Oktober 2018 Firdaus, Cecep Bryan, “Pengembangan Potensi Industri Kreatif Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Pasar Masyarakat Ekonomi Asean (Mea)” Hendrawan, Daniel, “Ekonomi Kreatif dan Merk”, Zenit, Volume 4, Nomor 1, 2015, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=535957&val=5986&title=Ekonom i%20Kreatif%20dan%20Merek, diakses pada 7 Oktober 2018 Hermawan, Iwan dan VS Tripriyo PS, “Membangun Kinerja Usaha Melalui Faktor Pembentukan Kapabilitas Pelaku Kewirausahaan Industri Kreatif Nasional”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Volume 18, Nomor 2, 2016, http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6475/2/ART_Iwan%20H%2C%20VS% 20Tripriyo%20PS_Membangun%20Kinerja%20Usaha_fulltext.pdf, diakses pada 7 Oktober 2018
12
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
Nandini, Rensi Mei, “Dampak Usaha Ekonomi Kreatif terhadap Masyarakat Desa Belawe Kecamatan Purwoasri Kabupaten Kediri, Kebijakan dan Manajemen Publik”, Volume 4 Nomor 1, 2016, http://journal.unair.ac.id/KMP@dampak-usaha-ekonomi-kreatifterhadap-masyarakat-desa-blawe-kecamatan-purwoasri-kabupaten-kediri-article10881-media-138-category-8.html, diakses pada 7 Oktober 2018 Rongiyati, Sulasi, “Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Produk Ekonomi Kreatif Negara Hukum”, Volume 9, Nomor 1, 2018, http://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/1001/pdf, diakses pada 7 Oktober 2018 Rosmadi, Maskarto Lucky Nara, “Industri Kreatif dalam Menghadapi Pasar Bebas ASEAN tahun 2015”, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 30, Nomor 1, 2014, http://ejournal.sthb.ac.id/index.php/jwy/article/view/77, diakses pada 7 Oktober 2018 Tumbelaka, Daniel.S., “Pengaruh Krisis Ekonomi Global terhadap Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia di Pasar Internasional”, Jurnal Analasis HI, Volume 3, Nomor 1, 2014, http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi5cc0da1a72full.pdf, diakses pada 7 Oktober 2018 Yazdi, Muhammad, “Implementasi Web Service pada Sistem Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Atap Pemerintah Kota Palu”, Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi Terapan Semarang”, Volume 2, Nomor 1, 2012, http://publikasi.dinus.ac.id/index.php/semantik/article/view/188/142, diakses pada 9 Oktober 2018 Internet Abdul Aziz, “Tere Liye dan Polemik PPh 23: Aturan Pajak Penulis”, https://tirto.id/tere-liyedan-polemik-pph-23-aturan-pajak-penulis-cwat, diakses pada 8 Oktober 2018 Barratut Taqiyyah Rafie, “Pajak untuk Penulis Dianggap Tak Fair, Tere Liye Putus Kontrak dengan 2 Penerbit, http://www.tribunnews.com/bisnis/2017/09/06/pajak-untukpenulis-dianggap-tak-fair-tere-liye-putus-kontrak-dengan-2-penerbit, diakses pada 9 Oktober 2018 Bekraf, “Kontribusi Ekonomi Kreatif terhadap PDB Indonesia”, http://indonesiakreatif.bekraf.go.id/ikpro/research/kontribusi-ekonomi-kreatifterhadap-pdb-indonesia/, diakses pada 7 Oktober 2018
13
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
Dwi Aditya Putra, “Daftar masalah industri kreatif Indonesia, termasuk masih terkonsentrasi di Jawa”, https://www.merdeka.com/uang/daftar-masalah-industri-kreatif-indonesiatermasuk-masih-terkonsentrasi-di-jawa.html, diakses pada 8 Oktober 2018 Harso Kurniawan, “Pelaku Ekraf Terganjal Masalah Pembiayaan”, http://www.beritasatu.com/bisnis/447032-pelaku-ekraf-terganjal-masalahpembiayaan.html, diakses pada 9 Oktober 2018 Hendra Kusuma, “Sri Mulyani: Kalau Mau Industri Kreatif Maju, Izin Jangan Dipersulit”, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3673304/sri-mulyani-kalau-mauindustri-kreatif-maju-izin-jangan-dipersulit, diakses pada 9 Oktober 2018 Marsya Nabila, “Ini Poin Usulan RUU Ekonomi Kreatif dari Bekraf”, http://industri.bisnis.com/read/20160203/87/515933/ini-poin-usulan-ruu-ekonomikreatif-dari-bekraf, diakses pada 8 Oktober 2018 Metrotvnews, “Bekraf: Undang-Undang Ekonomi Kreatif Harus Dibentuk”, http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2016/11/17/614845/bekraf-undang-undangekonomi-kreatif-harus-dibentuk, diakses pada 7 Oktober 2018 Safyra Primadhyta, “Bekraf: Industri Kreatif Butuh Insentif Pajak”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170911163928-78-240973/bekraf-industrikreatif-butuh-insentif-pajak, diakses pada 9 Oktober 2018 Septian Deny, “Online Single Submission Siap Diluncurkan Pekan Ini, Berikut Rincian Faktanya”, https://www.merdeka.com/uang/online-single-submission-siapdiluncurkan-pekan-ini-berikut-rincian-faktanya.html, diakses pada 9 Oktober 2018 Yuliyanna Fauzi, “Tere Liye Keluhkan Pajak ‘Selangit’”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170906122521-78-239780/tere-liyekeluhkan-pajak-selangit-bagi-penulis, diakses pada 9 Oktober 2018 Gabung di 'Omah Jaman Now' Gratis, Ini Alasannya”’, http://surabaya.tribunnews.com/2018/02/02/gabung-di-omah-jaman-now-gratis-inialasannya, diakses pada 27 Januari 2019
14
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
LOOKING THROUGH ASIAN BUSINESS LAW CHALLENGES IN THE MODERN-DAY WORLD Rahmah Candrika ALSA LC UGM rahmahchand@yahoo.com Abstract: This article explains about the content of the emergence conference that was held on the 25th of July of 2018 regarding the challenges that the Asian’s business law is facing particularly about international commercial arbitration. This conference is focusing on the harmonization between member states of the United Nations on International Trade Law (UNCITRAL) in order to tackle international commercial disputes. This conference is essential because UNCITRAL is aiming to find common grounds to create effective ways to enforce commercial dispute settlement by way of mediation, arbitration and conciliation. This article also provides what are the specific challenges that some of the Asian countries are facing including the lack of specific laws and failure to comply with contracts and UNCITRAL Model Law. Keywords: emergence conference, UNCITRAL, harmonization, business law, and arbitration.
15
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
A.
B.
INTRODUCTION 1.
Background On the 25th July of 2018, The United Nations on International Trade Law (UNCITRAL) held an emergence conference on the harmonization of business laws between the state members of the United Nations in the Supreme Court of Justice Singapore. This emergence conference was held to find common grounds between countries to set harmonized global standards that affect today’s commercial arrangements. 1 This emergence conference also gives knowledge about how to tackle the commercial world in the modern-day world especially with the existence of the development of technology.
2.
Problems Research questions: a. How does harmonization of business laws between member states can resolve commercial disputes? b. What effect would the International Commercial Arbitration have on the Asian’s perspective of Business Law?
3.
Methods: This article uses a normative approach where it contains secondary materials from websites, conference materials and journals.
4.
Literature review: Business Law: laws that encompass the procedural method of conducting business. It is also a systemized set of predominantly dispositive legal norms that regulate property relations of professional transfer of assets aimed at selling and purchasing exchange values of goods rather than their utility.2
ANALYSIS The emergence conference was opened with the enlightenment about Consumer Data Privacy Protection in the Digital Economy Era. This session was accommodated by an assistant professor from the Faculty of Law of University of Padjadjaran, Indonesia, Sinta Dewi Rosadi. In this particular session, she addressed the need of enhancing trust in ASEAN’s digital economy by creating privacy policies and regulations in ASEAN. Currently, there is an imminent growth in ASEAN’s digital economy with the soaring
1
Staff, Investopedia. 2018. “United Nations Commission on International Trade Law UNCITRAL.” Investopedia. June 29. https://www.investopedia.com/terms/u/united-nations-commission-oninternational-trade-law-uncitral.asp 2 Veljko Trivun. Et all “Business Law” School of Economics and Business University of Sarajevo (2015): 57
16
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
330 million monthly Internet users at the end of 2017. This growth is a 70% increase compares to 2015. More than 90% of these users are connecting through smartphones and they spend about 3.6 hours per day on mobile phones.3 The gruesome reality is that, this growth is an Internet growth that is more than anywhere else in the world. The purpose to enhance trust and security in the ASEAN’s digital economy is that, to limit the risk of a security or data privacy breach, especially for businesses. By having a resilient cyber security regime, encompassing not just local but regional-level efforts to control cross-border incident. With this framework, it will further boost public confidence in e-commerce and cross-border data transfers. Having ASEAN countries to move towards creating a national electronic identification (ID) can have an impact for delivery of critical government services.4 She furthers classified the four industries that rule the ASEAN’s digital economy. Firstly, online travel, a market of 26.6 billion US dollar, which represents an increase of 18% compared to 2015, this is led by airlines and hotel bookings. Secondly, online media, 6.9 billion US dollar in 2017 has an increase of 36% compared to 2015, led by online advertisements and gaming. Thirdly, e-commerce with total transaction of 11 billion US dollar with an increase of 41% compared to 2015, and lastly, ride-hailing which reached 5 billion US dollar with an increase of 100% compared to 2015. This explosive growth of the digital economy of Southeast Asia led by six unicorns. Grab, Gojek, Tokopedia, Traveloka, Lazada and SEA Group. These companies have a valuation above one billion US dollar.5 Despite their massive valuations, it does not get easier for them to put trust and developments in their respective company. This is because there are challenges when it comes to big companies for these six unicorns. The challenges are, low consumer awareness and an overwhelming data privacy protection. In addition, with the growth and challenges mentioned previously, according to Sinta Dewi Rosadi, harmonization of consumer data privacy protection is needed more than ever. This can be achieved through the ASEAN Strategic Action Plan 2016 – 2025. This includes the act of establishing a common ASEAN Framework, through higher levels of 3
2018. Singapore Academy of Law > Events > Events > Conference > Asian Perspectives on the Future of the Harmonisation and Convergence of Business Laws > Overview. Accessed October 15. https://www.sal.org.sg/Events/Events/Conference/Asian-Perspectives-on-the-Future-of-the-Harmonisationand-Convergence-of-Business-Laws/Overview. 4 2018. Ink.library.smu.edu.sg. Accessed October 14. https://ink.library.smu.edu.sg/cgi/viewcontent.cgi?article=1043&context=ami. 5 2018. Singapore Academy of Law > Events > Events > Conference > Asian Perspectives on the Future of the Harmonisation and Convergence of Business Laws > Overview. Accessed October 15. https://www.sal.org.sg/Events/Events/Conference/Asian-Perspectives-on-the-Future-of-the-Harmonisationand-Convergence-of-Business-Laws/Overview.
17
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
consumer protection legislation, enforcement and monitoring Consumer Protection Legislation, promote trust in digital economy through education and transparency, and provide security for an effective protection in e-commerce. Move on to the second session of the emergence conference, the Issues in the Standardization of Contract Laws. This session demonstrates about the importance of harmonization of laws in Asian e-commerce and supply chains. It also demonstrates how member states can contribute to benefit each other. We can take into account the Belt and Road Initiative (BRI) as an example. The Belt and Road Initiative of China is a Chinese Marshall Plan that proposes a state backed campaign for global dominance, a stimulus package for a slowing economy and a massive marketing campaign of Chinese investment around the world.6 This session explains on how the development strategy of Belt and Road Initiative adopted by the Chinese government could benefit in promoting visibility in supply chains. This particular issue is demonstrated by Abhinayan Basu Bal and Trisha Rajput, assistant professors at University of Gothenberg, Sweden. During the past five years, BRI has influenced both central and local level policymaking in China and also international agreements and memorandum of understandings entered by China with participating countries. They addressed that, with this kind of influence, it can be presumed that BRI can improve connectivity through physical and digital infrastructures. BRI can also create better financing opportunities for small and medium-sized enterprises through increased interactions between physical, information and financial layers of the supply chain. The strong sense that BRI is beneficial for Asian countries can be interpreted from the fact that China is ASEAN’s largest trading partner and has facilitated creation of digital infrastructures in ASEAN.7 However, with this kind of influence, there is a lack of legal flexibility as there is supremacy of prioritizing national laws and dominance of China. There are also inherent risks, legal and regulatory challenges. The legal challenges may arise for potential investors in BRI, as they will need to conduct detailed due diligence and understand project and financing structures as well as the legal and regulatory regimes of the countries along the BRI routes. Even if there is a chance of help from political guarantees, it may not be available for all jurisdictions and projects
6
Kuo, Lily, and Niko Kommenda. 2018. “What Is China's Belt and Road Initiative?” The Guardian. Guardian News and Media. Accessed October 15. https://www.theguardian.com/cities/nginteractive/2018/jul/30/what-china-belt-road-initiative-silk-road-explainer. 7 2018. Singapore Academy of Law > Events > Events > Conference > Asian Perspectives on the Future of the Harmonisation and Convergence of Business Laws > Overview. Accessed October 15. https://www.sal.org.sg/Events/Events/Conference/Asian-Perspectives-on-the-Future-of-the-Harmonisationand-Convergence-of-Business-Laws/Overview.
18
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
particularly those going across several borders.8 This relates to the existence of the UNCITRAL Model Law where in Part Two on the Explanatory Note by the UNCITRAL Secretariat on the Model Law on International Commercial Arbitration it stipulates that the background od the Model Law itself is because there is inadequacy of domestic laws and disparity between national laws similar to the case of BRI. What these assistant professors are trying to address is that harmonization between member states of the UNCITRAL is not only for finding common grounds but also to resolve issues that could actually benefit each other, especially in the legal framework and international agreements that can be enforced in order to protect each other. The fourth session talks about the Method of solving the problems above through Commercial Dispute Resolution in a Globalized World and Harmonization of business laws. Mr. Cameron Ford, a senior counsel of a multinational mining company in Singapore, addresses this session. In his perspective, commercial dispute resolution has a debate about which one considers to be of a greater importance, certainty of enforcement or enforcement of certainty. This is because he believes that uncertainty in business creates an unstable peace. In his view, mediation is a great tool to handle commercial disputes, failures to agree, equalizing power imbalance and compensating uncertain laws. However, there is a void between enforcement of settlement agreement and agreement to mediate, which is enforcement of agreement to mediate. This leads to 2 proposals that may change this void, beneficial interpretation and statutory discretion. With beneficial interpretation, it promotes rule of law, creates party autonomy, creates courts to uphold bargains, and we can imply terms, criteria and machinery in clarity. Moreover, in statutory discretion, this relates to power differences. The impact of power differences is really significant when a statute provides mediation and addresses the issue of whether legislation should incorporate mechanisms to address power differences.9 Especially, when statutory discretion relates to separation of powers and it incorporates enforcing the law by discretion of parties. Statutory discretion can be helpful when parties have an ongoing relationship and do not want that relationship destroyed by the adversarial process of trial.10
8
“'The Belt & Road Initiative' – A Modern Day Silk Road.” 2018. Norton Rose Fulbright. Accessed October 15. http://www.nortonrosefulbright.com/knowledge/publications/139223/the-belt-road-initiative-a-modern-daysilk-road. 9 “The Nature and Importance of Mechanisms for Addressing ...” 2018. Accessed October 15. https://www.researchgate.net/profile/Robyn_Carroll/publication/27828616_The_Nature_and_Importance_of _Mechanisms_for_Addressing_Power_Differences_in_Statutory_Mediation/links/0912f50b2ff7340686000000 .pdf?inViewer=true&pdfJsDownload=true&disableCoverPage=true&origin=publication_detail. 1010 “Mediation of Legal Disputes-The Basic Law.” 2018. Stimmel Law. Accessed October 15. https://www.stimmel-law.com/en/articles/mediation-legal-disputes-basic-law.
19
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
These are ways that can go beyond effective in order to utilize mediation to its utmost potential. There are some Asian countries that need harmonization because they do not apply any specific law about mediation, such as India. This could lead to India being excluded from an international commercial dispute disadvantaging their position as a state. This is why there is a global perception to settle commercial disputes conveniently through UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration. In this case, we can see how the United Nations can provide agreements without limitations of borders and create a procedural way to resolve disputes and negotiations between states. C.
CLOSING 1.
Harmonization of business laws need to be enforced in order to have create legal certainty between member states such as India that lacks specific law regarding international commercial dispute resolution. This can be enforced through UNCITRAL Model Law.
2.
In conclusion, challenges that we are facing with business law are still incomplete and lacking of specific laws. In the closing remarks, Professor Khory Mccormick states that international commercial arbitration is very essential in solving disputes of business law and the adaptation of UNCITRAL Model Law would help to settle them. He also states that mediation is increasingly used in international and domestic commercial practice as an alternative to litigation, considering that the use of mediation results in significant benefits, such as reducing the instances where a dispute leads to the termination of a commercial relationship, facilitating the administration of international transactions by commercial parties and producing savings in the administration of justice by States. On the other hand, he also states that, The change has been hailed as a “pragmatic compromise�, but the clear consequence that can be seen today is that far fewer developments of the law are made in areas where the probability is that the case has had to begin in arbitration.
20
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
BIBLIOGRAPHY Internet “'The Belt & Road Initiative' – A Modern Day Silk Road.” 2018. Norton Rose Fulbright. Accessed October 15. http://www.nortonrosefulbright.com/knowledge/publications/139223/the-belt-roadinitiative-a-modern-day-silk-road. “Mediation of Legal Disputes-The Basic Law.” 2018. Stimmel Law. Accessed October 15. https://www.stimmel-law.com/en/articles/mediation-legal-disputes-basic-law. “The Nature and Importance of Mechanisms for Addressing ...” 2018. Accessed October 15. https://www.researchgate.net/profile/Robyn_Carroll/publication/27828616_The_Nat ure_and_Importance_of_Mechanisms_for_Addressing_Power_Differences_in_Statuto ry_Mediation/links/0912f50b2ff7340686000000.pdf?inViewer=true&pdfJsDownload= true&disableCoverPage=true&origin=publication_detail. 2018. Ink.library.smu.edu.sg. Accessed October https://ink.library.smu.edu.sg/cgi/viewcontent.cgi?article=1043&context=ami.
14.
2018. Singapore Academy of Law > Events > Events > Conference > Asian Perspectives on the Future of the Harmonisation and Convergence of Business Laws > Overview. https://www.sal.org.sg/Events/Events/Conference/Asian-Perspectives-on-the-Futureof-the-Harmonisation-and-Convergence-of-Business-Laws/Overview. Kuo, Lily, and Niko Kommenda. 2018. “What Is China's Belt and Road Initiative?” The Guardian. Guardian News and Media. Accessed October 15. https://www.theguardian.com/cities/ng-interactive/2018/jul/30/what-china-beltroad-initiative-silk-road-explainer. Staff, Investopedia. 2018. “United Nations Commission on International Trade Law UNCITRAL.” Investopedia. Investopedia. June 29. https://www.investopedia.com/terms/u/united-nations-commission-on-internationaltrade-law-uncitral.asp. Journal Veljko Trivun. Et all “Business Law” School of Economics and Business University of Sarajevo (2015): 57
21
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
PERAN BANK INDONESIA MENGHADAPI APRESIASI DOLLAR AMERIKA SERIKAT TERHADAP RUPIAH INDONESIA Arda Rahayu ALSA LC Universitas Andalas ardrahayu58@gmail.com
Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tugas antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan, dimana kedua lembaga tersebut bertugas untuk mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengatur perbankan di seluruh Indonesia. Dalam jurnal ini akan dilakukan analisis mengenai peran Bank Indonesia dalam mengeluarkan kebijakannya untuk meningkatkan kurs rupiah terhadap mata uang asing. Mata uang asing yang menjadi titik tolak ukur dalam penelitian ini adalah dollar Amerika Serikat. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bentuk-bentuk kebijakan yang dapat dilakukan Bank Indonesia untuk menghadapi apresiasi dollar Amerika Serikat yang semakin menguat serta meningkatkan ekonomi nasional. Di dalam jurnal ini juga akan disertakan perkembangan terbaru mengenai nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Kata Kunci: Peran Bank Indonesia, Perbankan Indonesia., Mata uang asing.
23
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
A.
PENGANTAR 1.
Latar Belakang Isu melemahnya kurs mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat menjadi topik yang hangat diperbincangkan pada tahun 2018. Sebenarnya kurang tepat jika dikatakan rupiah Indonesia yang mengalami penurunan (apresiasi) terhadap mata uang asing, tetapi lebih tepatnya yaitu dollar Amerika Serikat yang mengalami penguatan. Karena seperti data yang saya peroleh dari zenius education sejak awal Maret sampai awal Juli 2018 mata uang Singapura (SGD) terdepresiasi 3,22%, Yen Jepang (JPY) terdepresiasi sebesar 4,17 %, bahkan Euro (EUR) dan Pound Sterling (GBP) juga terdepresiasi masing-masing 4,54% dan 4,76 %. Pengaturan mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar diatur dalam UU No. 24 Tahun 1999 di dalam pasal 1 angka 4 dikatakan bahwa “ system nilai tukar adalah system yang digunakan untuk pembentukan harga mata uang rupiah terhadap mata uang asing, sedangkan dalam pasal 1 ayat 1 diuraikan mengenai pengertian lalu lintas devisa yaitu “perpindahan asetdan keajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan asset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. Dari data di atas dapat diketahui bahwa penguatan dollar Amerika Serikat tidak hanya terjadi kepada Indonesia bahkan juga terjadi kepada negara-negara maju di dunia. Hal ini terjadi karena defisit perdagangan Amerika Serikat yang semakin membesar selama beberapa dekade terakhir. Di sisi lain hubungan dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok, sebagai negara juga mempunyai peranan besar dalam mempengaruhi perekonomian dunia telah menyebabkan kerugian dari pihak Amerika Serikat. Hal seperti ini akhirnya menyebabkan timbulnya perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tingkok. Amerika Serikat yang diakui merupakan negara super power dan Tiongkok telah melakukan perdagangan dengan hampir seluruh negara-negara di dunia. Perang dagang yang terjadi anatara kedua negara inilah yang menyebabkan permasalahan moneter dalam perekonomian nasional. Kurva dibawah ini akan menggambarkan apresiasi nilai mata uang dollar Amerika terhadap rupiah pada tahun 2018
24
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
2.
Rumusan Masalah a. b.
3.
Seperti apa tugas dan wewenang BI dalam menjaga kestabilan nilai tukar rupiah? Kebijakan seperti apa yang dapat diambil oleh Bank Indonesia untuk mengatasi depresiasi Dollar Amerika Serikat?
Metode Penelitian a.
Jenis Data Dalam penulisan karya tulis ini, penulis membutuhkan data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif berupa kebijakan-kebijakan yang dilakukan untuk menjaga kestabilan harga seperti visi, misi, nilai-nilai strategis, sasaran strategis, peran BI, sistem keuangan, kebijakan makroprudensial, dan perkembangan sistem kebijakan nilai tukar di Indonesia, sedangkan data kuantitatif berupa perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
b.
Metode Pengumpulan Data Penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan data sekunder berupa kepustakaan yang berasal dari literatur keilmuan, makalah, jurnal penelitian, artikel-artikel yang berhubungan dengan masalah kebijakankebijakan untuk menstabilkan rupiah.
c.
Metode Analisis Data Penulis menggunakan metode analisis data deskriptif kualitatif. Hal ini dilakukan untuk memahami secara lebih mendalam tentang kebijakankebijakan yang dilakukan oleh BI untuk menjaga kestabilan rupiah.
25
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
B.
ANALISIS 1.
Kajian Literatur Menurut pendapat para ahli terdapat lima tugas utama dan wewenang Bank Indonesia yaitu: a. b. c. d. e.
Pengendalian kebijakan moneter Pengelolaan nilai tukar dan cadangan devisa Sebagai lender of last resort Mengelola system pembayaran Mengelola dan memelihara mata uang1
Dalam pengendalian kebijakan moneter Peran Bank Indonesia dalam menetapkan sasaran-sasaran moneter yaitu dengan memperhatikan sasaran laju inflasi. Selanjutnya melakukan pengendalian moneter dengan tidak terbatas pada operasi pasar terbuka di pasar uang, baik rupiah maupun valuta asing. Dan menetapkan tingkat diskonto, menetapkan cadangan minimum dan mengatur kredit atau pembiayaan. Ruang lingkup kebijakan sistem pembayaran meliputi : melaksanakan dan memberikan persetujuan serta izin penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan kegiatannya, menetapkan penggunaan alat/instrument pembayaran.instrumen pembayaran tunai meliputi uang kertas dan uang logam, sedangkan pembayaran non tunai meliputi paper based (cek, bilyet, giro,wesel,dll), electronic based (RTGS, Kliring), card based (kartu debet, ATM, kartu kredit), dan uang elektronik. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan merupakan sebuah badan yang lahir atas amanat UU No. 21 tahun 2011, dimana pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank Indonesia beralih pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan lembaga lainnya yang mempunyai tugas,fungsi dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan. Pembentukan OJK ini dimaksud untuk memisahkan fungsi perbankan dari Bank Indonesia ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar Bank Indonesia. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tersebut, yaitu pasal 34
1
McKinley dan Banaian, 2005
26
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
UU No. 3 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan : a. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan di bentuk dengan undang-undang. b. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Dari penjelasan mengenai tugas dan fungsi Bank Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan dimana kedua lembaga tersebut sama-sama memiliki kewenangan dibidang perbankan Indonesia dapat diketahui bahwa tugas untuk menjaga kestabilan nilai mata uang rupiah tetap berada pada Bank Indonesia. 2.
Tinjauan Teori Pengendalian sistem keuangan dunia dipengaruhi oleh subjek-subjek hukum ekonomi internasional diantaranya yaitu World Bank dan International Monetry Fund, di dalam jurnal ini saya ingin melihat apakah subjek-subjek tersebut dapat membantu dalam pengendalian kebijakan moneter Indonesia. Bank dunia bersama-sama dengan IMF mulai dibentuk pada konferensi Bretton Woods, pada Juli tahun 1944 badan ini mulai berlaku pada 27 Desember 1945.Bank Dunia beserta the international development association dan the international finance corporation disebut sebagai the world bank group. The world bank grup ini juga berafiliasi dengan Intertnational Centre for Settlement of Investment Dispute. Pada tahun 1947, badan ini resmi menjadi badan khusus PBB. Tujuan utama dari bank dunia tercantum pada pasal 1 Articles of Agreement yaitu membantu pembangunan negara-negara anggota, memajukan penanaman modal asing, memberikan bantuan pinjaman keuangan untuk tujuan-tujuan produktif, memajukan pertumbuhan perdagangan internasional dan memelihara neraca pembayaran, mengelola pinjaman untuk proyek-proyek yang bermanfaat dan mendesak, melakukan kegiatan-kegiatan lainnya dengan memperhatikan akibat- akibat penanaman modal international pada kondisikondisi bisnis negara anggotanya. Sedangkan IMF sendiri memiliki tujuan utama untuk mencegah terjadinya krisis moneter pada tahun 1930-an dengan cara menetapkan suatu kerangka pembayaran multrilateral dan suatu mekanisme untuk mencegah nilai tukar mata uang, memberikan pinjaman jangka pendek dan menengah kepada negara yang membutuhkan dan mengembangkan aturan-aturan bagi negara-negara mengenai moneter internasional dan berfungsi menyelesaikan persoalanpersoalan moneter dan fiskal internasional. 27
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
3.
Pengembangan Konsep Bank Indonesia dalam menjalankan perannya untuk menjaga kestabilan nilai rupiah dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu: faktor makro ekonomi seperti jumlah uang yang beredar, tingkat suku bunga, tingkat indeks harga konsumen produk domestik bruto. Faktor-faktor non fundamental seperti country risk , faktor kondisi stabilitas politik yang terjadi. Dalam kasus ini juga dapat diketahui bahwa faktor eksternal yang menyebabkan menurunnya nilai tukar rupiah yaitu terjadinya perang dagang antara negara Amerika Serikat dan Tiongkok yang menyebabkan permintaan dollar AS dipasaran sangan tinggi, para infestor berlomba-lomba menginvestasikan harta mereka dalam bentuk dollar karena ketakutan akan memperoleh kerugian. Sedangkan faktor internal dari pihak Bank Indonesia sendiri yaitu kurangnya dissosialisasi kepada pelanggan sehingga menyebabkan pasar menjadi panik, neraca perdagangan yang defisit, hutang negara bertambah, anggaran negara defisist, situasi politik dan keamanan negara terganggu. Bank Indonesia dapat memperhatikan faktor-faktor tersebut untuk menstabilkan nilai mata uang negara Indonesia. Tetapi depresiasi Dollar Amerika Serikat juga menimbulkan keuntungan kepada negara di lini kehidupan lainnya. Salah satunya yaitu dari segi eksportir. Para pedagang Indonesia yang memiliki target pasar luar negeri, terutama negaranegara yang menggunakan nilai tukar Dollar Amerika Serikat tentu mendapatkan keuntungan yang besar karena harga produk yang mereka pasarkan relatif lebih murah dari produk-produk lainnya. Sektor lain yang juga memperoleh keuntungan dari depresiasi nilai rupiah yaitu sektor pariwisata. Menurunnya nilai tukar rupiah tentu akan menambah minat turis asing untuk berkunjung ke Indonesia. Selanjutnya yaitu Tenaga Kerja Indonesia yang dibayar dengan dollar Amerika Serikat juga akan mengalami kenaikan upah jika mereka menukar nilai mata uang Dollar dengan rupiah. Pemerintah maupun masyarakat juga harus berfokus kepada keuntungan dari depresiasi nilai rupiah ini agar memperoleh manfaat dari dampak ekonomi yang terjadi. Mengenai penyelesaian masalah moneter Indonesia menggunakan bantuan bank dunia dan IMF saya pribadi tidak setuju, karena dibalik keuntungan yang ditawarkan oleh bang dunia, negara anggota juga diharuskan membayar bunga hutang yang tinggi yaitu sebanyak 10,5%. Sebelumnya pemerintah Indonesia pernah melakukan peminjaman kepada Bank Indonesia pasda saat krisis moneter pada tahun 1998. Banyak anggota parlemen dan ekonom Indonesia yang 28
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
menyatakan IMF telah menyelamatkan Indonesia. Namun disisi lain hal tersebut menyebabkan liberalisasi ekonomi yang gila-gilaan dan peningkatanjumlah hutang Indonesia yang terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini saya anggap membuat keadaan ekonomi Indonesia semakin buruk. C.
PENUTUP 1.
Kesimpulan Penulis berkesimpulan bahwa Bank Indonesia memiliki peranan penting dalam pengendalian kurs mata uang rupiah. Bank Indonesia maupun pemerintah dapat memperhatikan faktor-faktor penyebab terjadinya depresiasi Dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ditimbulkannya. Pemerintah juga harus mengembangkan lini-lini usaha yang mendapat keuntungan dari depresiasi Dollar Amerika tersebut.
2.
Saran Penulis menyarankan agar pemerintah tindak memprioritaskan untuk memilih bank dunia maupun IMF untuk penyelesaian masalah moneter Indonesia. Karena dari banyaknya keuntungan-keuntungan yang ditawarkan juga banyak faktor resiko dan kerugian-kerugian yang akan di dapatkan negara Indonesia dari peminjaman dana tersebut, karena secara langsung maupun tidak langsung tentu akan mempengaruhi kebijakan moneter nasional. Prediksi resiko yang mungkin terjadi diantaranya yaitu ketatnya kebijakan investasi yang dapat mematikan sektor riil, menyebabkan terbentuknya suatu sistem yang mempermudah investor asing dalam menanamkan modalnya sehingga bila hal ini terjadi sisi negatif yang harus dipertimbangkan adalah sektor-sektor kebutuhan fundamental negara akan dipegang oleh infestor asing sehingga nantinya akan berimbas kepada pengurangan subsidi negara, akan menimbulkan pengaruh politik luar negeri yang cukup kuat sehingga para pembuat kebijakan akan mengalami kesulitan dalam menerapkan kebijakan fiskal dan moneternya, dan lain hal sebagainya.
29
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
DAFTAR PUSTAKA Buku Adolf, Huala. Hukum Ekonomi Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. Sutedi, Adrian. Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007 Ferinton, Mahmud. Nilai Tukar Rupiah Melemah. Jurnal Lentera Akuntansi, Vol. 2, No. 2, 2017 Siswadi, Sululing. Peran Bank Indonesia dalam Menjaga Nilai Tukar Rupiah. Fakultas Ekonomi Universitam Muhammadiya Luwuk. Internet Http://www.bi.go.id http://www.zenius.com
30
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
TRADITIONAL CULTURAL EXPRESSIONS OF INDIGENOUS PEOPLES IN INDONESIA: IS IT PROTECTED? Sartika Nanda Lestari Faculty of Law, Diponegoro University sartikananda@live.undip.ac.id Abstract: The phenomenon of industrialization encourages Indonesia to improved productivity and competitiveness, commercialization of culture, especially traditional cultural expressions of indigenous peoples in Indonesia and the lack of legal protection making indigenous peoples had to contend with the misappropriation of their traditional cultural expressions through the inappropriate exercise of intellectual property rights. Traditional cultural expressions is a part of the identity and heritage of a traditional or indigenous peoples which has been passed down from generation to generation and full of spiritual and philosophical elements and regulated under Copyrights Act. The amalgamation of regulation regarding Copyrights with individual ownership and traditional cultural expressions with communal ownership create obstacles in providing protection to indigenous peoples as the holders of the tradition. This paper set out to analyze the suitability of the regulation and the conditions of indigenous peoples which in fact, the liberalization of trade and finance are not always beneficial for everyone, especially indigenous people. This paper found that traditional cultural expressions had not treated equal protection as other intellectual property rights. Keywords: traditional cultural expressions, indigenous peoples, and protection
31
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
A.
INTRODUCTION Indonesia is a multi ethnic country with its thousands islands that compromising more than 17.000 islands, 33 provinces and made up for over 1,128 ethnic groups. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) as national indigenous peoples’ organization estimates that the number of indigenous peoples in Indonesia is between 50 and 70 million people.1 United Nation define that indigenous peoples are inheritors and practitioners of unique cultures and ways of relating to people and the environment.2 Traditional cultural expressions of indigenous peoples are a form of relationship between man and man, man and nature, man with ancestors and the environment. As an example of traditional cultural expression is Ulos from Batak people, ulos is a symbol of love and believed to have magical religious power and thus considered sacred and that it has special power to protect the user. As appreciation, Ulos is worn in traditional ceremony and as society structural system symbol. All of Indonesian traditional cultural expressions actually are very old, as the result of human creations made with high philosophical framework that emerged from the experiences and lives of indigenous peoples; have been handed down through generations; often do not have an identifiable ‘author’ and free for any indigenous peoples clan to use (communal ownerships). Many states believe that traditional cultural expressions ought to be protected as a form of Intellectual Property in private property rights perspective whereas the proper understanding of traditional cultural expressions is communal ownerships. A private property rights is growing due to globalization as a manifestation of the progress of human thinking. Logical impact of globalization is the industrialization which makes respect for private property rights more than in the communal rights. Recently, cultural industrialization was not something new in the industry perspective, any commercialization based on the use of traditional cultural expressions such as adapted and copyrighted without any acknowledgement of the indigenous people which created the song and without sharing any of the benefits arising from the exploitation of the song with the community become legal without any protection to indigenous people as the owner of the culture or culture industrialization make the protection based on private property rights.
1
The Situation of Human Rights of Indigenous Peoples in Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), 3rd Cycle of Universal Periodic Review of Indonesia, Apr – May 2017, pp. 1 2 Indigenous Peoples at the UN, access from https://www.un.org/development/desa/indigenouspeoples/about-us.html
32
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
Based on that framework, there are number of cases that reported about the infringement of the communal rights concept for traditional cultural expressions. Certainly, it was breached the understanding of traditional cultural expressions definitions by World Intellectual Property Organization (WIPO). In Indonesia traditional cultural expressions regulated under Act No. 28/2014 (Copyrights Act) which stated that Copyright on traditional cultural expressions are held by the State but the execution had never enforced. Nowadays, many examples that occurred the use of traditional cultural expressions without permission and copyrighted the traditional cultural expressions of indigenous peoples in Indonesia. Based on this condition, these papers set out to analyze the suitability of the existing regulation (Copyrights Act) regarding the protection of indigenous people in preserve and maintain the traditional cultural expressions in Indonesia. B.
ANALYSIS Indigenous and tribal people is a common denominator for more than 370 million people, found in more than 70 countries worldwide. They constitute approximately 5% of the world population. Jose R. Martinez Cobo define that Indigenous communities, peoples and nations are those which, having a historical continuity with pre-invasion and pre-colonial societies that developed on their territories, consider themselves distinct from other sectors of the societies now prevailing on those territories, or parts of them. They form at present non-dominant sectors of society and are determined to preserve, develop and transmit to future generations their ancestral territories, and their ethnic identity, as the basis of their continued existence as peoples, in accordance with their own cultural patterns, social institutions and legal system.3 Until today, there is no universal definition related indigenous people including United Nation system body has no formal definition. Definition from Jose R. Matinez Cobo provided an understanding that the indigenous people are the ones who, formed with a historical continuity, culture which has a meaningful philosophy. International Labor Organization (ILO No. 169) concerning Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989 recognize and granted the existence of indigenous peoples to committed their costumes and culture that regulated in Article 2:
3
www.indigenouspeople.nl, definitions from Jose R. Martinez Cobo, the Special Reporter of the SubCommission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities, in his famous Study on the Problem of Discrimination against Indigenous Populations
33
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
“Governments shall have the responsibility for developing, with the participation of the peoples concerned, co-ordinated and systematic action to protect the rights of these peoples and to guarantee respect for their integrity…” Nowadays, the protection and granting the existence of indigenous people’s customs, cultures no longer realized as a something respected due to the globalization euphoria. Kehnichi Ohmahe was defined globalization means the onset of the borderless world.4 Thomas Larsson stated that globalization is the process of world shrinkage, of distances getting shorter, things moving closer. It pertains to the increasing ease with which somebody on one side of the world can interact, to mutual benefit, with somebody on the other side of the world.5 The understanding of one side of the world was followed by trade liberalization which every country attempted to compete with other countries by creating specific images with high marketability and high economic value. Many countries began to look for alternatives for new products to be traded. Including the producing process of products based on traditional knowledge and traditional cultural expressions, without any contribution to the State or to the community as the owner of the culture. The commercialization of traditional cultural expressions as an obstacle because obtained without any permission. Garnham use cultural industrialization to describe the institution in society which disseminate and produce the symbols which has a cultural philosophy in the form of goods and services, in general, although not exclusively as a commodity.6 The protection of cultural expressions of Indigenous peoples has been a developing internationally. Recognizing that copyright laws are not adequate for many aspects of Indigenous cultural protection, developments have occurred under the rubric of 'folklore'. The 1971 revision of the Berne Convention provided for countries to nominate a 'competent authority' to 'control the licensing, use and protection of national folklore'. Although the concept of 'folklore' is a potentially useful one for Indigenous concerns, as it embraces a more holistic notion of culture, the term is relatively contentious in its relevance, applicability or appropriateness to describe and define Indigenous cultures. Moreover, the notion of state control over cultural products and expressions of the peoples within them is antithetical to Indigenous peoples' aspirations for self-determination.7
4
Nayef R.F. Al-Rodhan, 2006, Definitions of Globalization: A Comprehensive Overview and a Proposed Definition, Geneva Centre for Security Policy, p. 3 5 Thomas Larsson, 2001, The Race to the Top: The Real Story of Globalization in Definitions of Globalization: A Comprehensive Overview and a Proposed Definition, Geneva Centre for Security Policy, p. 4 6 Footer, Mary E. dan C.B. Graber. 2000. “Trade Liberalization and Cultural Policy”, Journal of International Economic Law, p. 118 7 Michael Davis, 1996, Indigenous People Critiques of Intellectual Property Rights, Research Paper access from www.aph.gov.au on 10 october 2015
34
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
Indonesia in promote the protection of copyrights inspired by the WIPO/UNSECO drafted Tunis Model Copyright Law for Developing Countries 1976 and so on until 2014, Indonesia has the latest copyrights Act No. 28/2014 stated that the State shall inventory, maintain, and preserve traditional cultural expressions and the further provisions on the rights held by the state on traditional cultural expressions is regulated by the government (Article 38). Beside Copyrights Act, in 2017 Indonesia has enacted specific regulation to strengthen the protection of Indonesian traditional cultural expression, the regulation is Act No. 5/2017 on Cultural Adavancement. The amalgamation of regulation regarding Copyrights with individual ownership as a core and communal ownership for traditional cultural expressions create obstacles in providing protection to indigenous peoples as the holders of the tradition because the lack of underastanding from peoples about the differentiation of ownership between ‘copyrights’ and traditional cultural expressions. In Indonesia the implementation of Copyrights Act in preserve traditional cultural expressions of indigenous peoples more complicated because Indonesian copyrights act does not assign any government department to have a function and responsibility to applied and distribute the mechanism of royalties. Moreover, Indonesian copyrights act does not have any strict regulation related the limit time for anonymous works as traditional cultural protection of indigenous people or be equated with pseudonymous’ works. In addition, the current rules still have disadvantage related to requirements and principles of copyrights will be applied such as fixation work, originality, identification of author and the limitation of protection. The requirements tangible form of works (fixation) in copyright law is one of the requirements that must be fulfilled for a works to have the right to obtain legal protection. In general, copyrights law in Common Law principle particularly in England and Unites States require the object of copyrights legal protection is arts in tangible forms. It is different with Civil Law principle which is not requires the works in material form to obtain the legal protection of copyrights. Although there is the difference between Common Law and Civil Law principles, Bern Convention in Article 2 paragraph 210 require works in tangible form to obtain copyrights protection. The requirement that the works should in tangible form would be a barrier to apply the protection of the most traditional cultural expression which have an oral (intangible) form such as fairy tales, legends, dances, and songs. There needs to be specific protection of performances because often they are not fixed in material form by the community who owns them so are excluded from copyright protection for that community.
35
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
Another requirement is originality, Meriam Webster define originality is the quality of being new and different in a good and appealing way.8 The requirement difficult to apply because the characteristic of traditional cultural expressions is a works that the creation passed down generations to generations and as a result of community creation not human creation or individual author so difficult to determine the author. And Indonesian Copyrights Act as the regulation that still inspired from international regulation stated that the works which protect with copyright should be in material form-tangible and can commercialize (can produce as a goods). That conditions make Indonesia established Like-Minded Countries (LMCs) to seeking the establishment of legal protection concerning Traditional Knowledge and Traditional Cultural Expressions. Although had been discussed in LMC’s and regulated in Article 38 Indonesian Copyrights Act, Copyrights law does not cover all the types of rights indigenous people because there are no regulations that further regulate specifically traditional cultural expressions in Government Regulation form to accommodate the recognition of traditional cultural expressions. Moreover, the lack of implementation and apparently not prevented by various government departments to begin the development of inventory and registration systems. As the discussion above, the condition provides the chance for individual/company to register the traditional cultural expressions as an intellectual property (copyrights) as in Silver Jewelry Design and Motif Cases and Motif Anyaman Desak Nyoman Suarti cases The cases below are the condition related the infringement of traditional cultural expressions legal protection in Indonesia, such as: 1.
Motif Anyaman Desak Nyoman Suarti Cases Desak Nyoman Suarti has sued by Rois Hill foreign businessman in United States District Court in 1985 because of design motifs ‘anyaman’. Desak Nyoman Suarti is a silver businesswoman who lived in Pengosekan Village, Ubud, Bali, Indonesia. The lawsuit originated from Desak Suarti sold silver handicraft with anykind of motifs, such as anyaman, kelabang mantri, kelakat, tikar, bedeng to Rois Hill (American businessman) who had a business in Bali. Rois Hill registered the Bali traditional handicrafts in America without any permission and acknowledgement from Desak Nyoman Suarti as Balinese people and Rois Hill got certificate of Copyrights on Balinese traditional handicrafts.
8
Definition of Originality, access from https://www.merriam-webster.com/dictionary/originality
36
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
Based on the certificate of ownerships, Rois Hill rights had been protected by Copyrights related design of silver handicrafts with design motif ‘anyaman’ indivually and exclusively. The consequence is Suarti does not have any rights to producing, publishing, distribution of the work or a copy of it, announcing the works. Suarti published and produced the works, and been sued by Rois Hill on infringement of Copyrights as plagiarism in silver handicrafts with design motif anyaman. Rois Hill argues it has been certified under Copyrights and Rois Hill is the copyrights holder legally. Suarti argue that the concept of anyaman in silver traditional handicrafts is belongs to the Balinese ancestors and each member of indigenous has a right to use the property or a portion of it. 2.
Silver Jewelry Design and Motif Cases9 Balinese artisan accused of copyright violation by a Hong Kong-based silver jewelry company. The case has become the focus of public interest since reports the company had registered the copyrights of hundreds of Indonesia's traditional silver jewelry designs and motifs. John Hardy International Ltd has accused its former employee, Ketut Deni Aryasa, of illegally copying the company's copyrighted silver jewelry design called "Batu Kali" in his design called "Crocodile Skin". The motifs include the "Palu" (hammer) motif that Balinese artisans usually apply on brass bowls (bokor), the "Jawan Keplak" silver motif that has been known for centuries in Celuk, the "Tulang Naga" motif from Pulo Village, Lumajang, in East Java, the "Batik Kawung" motif that is mostly used by batik makers in Yogyakarta and Solo and the "Dayak" motif from Kalimantan. The copyrights of all those motifs have been registered in both Indonesia and the United States. The company was in the process of registering the copyrights of another 1,000 of Indonesia's traditional motifs.
Based on the infringement of Copyrights cases above, the concept of traditional cultural expressions in Indonesian regulation still have legal gap, so it was possible for a foreign company or individual to take such control over traditional Indonesian motifs. Agus Sardjono stated this is reflection of life philosophy which developed country which has recognition in intellectual property argue that traditional cultural expressions as is something that free to use, so anyone free to exploit, commercialize for individual interest. This indicate of individualism and capitalism, that is not accordance with indigenous peoples’ point of view related traditional cultural expressions which based on the value of togetherness, not oriented materialistic values, but also spiritualism, with the idea of living together that cannot claimed by 9
Irawaty Wardany, 2008, Expert defends local artisan in copyright violation case, access from http://www.thejakartapost.com/news/2008/07/09/expert-defends-local-artisan-copyright-violation-case.html on 10 October 2015
37
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
individual or group. Moreover, Indonesian traditional cultural expressions is a high potential economic value in tourism and creative economy sector in particulary. Tourism encourage cultural elements produced extensively, so commercialization and material orientation become unavoidable and no reverence of tradition. Some indigenous peoples argue that western intellectual property laws are fundamentally incompatible with Indigenous cultural systems and ignore the complexities of such Indigenous systems. The IPR system is based on western notions of property that emphasize individual ownership and alienability.10 The property rights established by these systems are essentially managed as commercial transactions, and are not designed to protect cultural products and expressions. In some critics' views, IPRs pose a threat to indigenous peoples' systems of informal innovation, and communal rights and responsibilities in cultural products and expressions. All of the cases above, the consequence is the copyrights holder has exclusive rights that comprised of moral rights and economic rights. There are two basic moral rights generally recognized. These are an author’s right to have his own work attributed to him by name, usually called as the right of ‘attribution’, and his right to protect the work from harm, known as the right of ‘integrity’.11 Economic right is the exclusive right of the creator or the copyright holder to gain economic benefits of creation. This is an example that globalization brings changes through ideology, modernization through media and technology, and capitalization of any sectors as described by Appadurai in 2001 which have an impact on traditional cultural expressions do not have sacred value. This is impact of the basic concept in protection of intellectual property rights that giving monopoly rights to the right holder to receive the economic value or benefit of the property. The concept of intellectual property was adopted from western concept of intellectual property rights which based on the notion that ideas, innovations and inventions, expressed through various material forms, can be owned, and that individuals have distinct property rights to these forms of creative expressions and products. Intellectual property laws are aimed at protecting rights to literary and artistic property, as well as industrial property. So, identically with industrialization of intellectual creation as a property which has a function to commercialize. Hence, government should take action to protect or preserved the indigenous peoples’ traditional cultural expressions particularly in Indonesia as a multi ethnic country.
10
Michael Davis, 1996, Indigenous People Critiques of Intellectual Property Rights, Research Paper access from www.aph.gov.au on 10 october 2015 11 Mira T. Sundara Rajan, 2011, Moral Rights Principles Practices and New Technology, New York: Oxford University Press, p. 5
38
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
African group in Comments Gap Analysis on the Protection of Traditional Knowledge and Traditional Cultural Expressions/Folklore seeking the availability of regulation that specifically regulated the traditional cultural expressions in general (sui generis). African group stated: If the term of “protection” is not agreed upon, and it may replaced by sui generis.12 This is African Group response in contend developed countries argument that traditional cultural expressions can be protected under Copyrights. Protection of traditional cultural expressions in intellectual property regime will altered or change the existing values such as collective rights, cultural oriented, non-commercial, and unlimited protection to individualistic mindset, individual rights, economic oriented, commercial used, and limited time protection. Intellectual property protection is a matter for domestic lbut there needs to be an international convention that helps to regulate the international scope and prevent exploitation and misappropriation of traditional cultural expressions from third parties like multinational corporations. An international regulation would also set the international standards and practice, encouraging countries to adopt. It is a way of highlighting countries which deny indigenous people better protection of their traditional cultural expressions in their respective countries. Several countries are attempting to use laws within their national law systems to protect traditional cultural expressions. For example, in Panama there is a law to: 1. protect the collective intellectual property rights and traditional knowledge of indigenous peoples over their creations, such as inventions, models, drawings and designs, innovations contained in the images, figures, symbols, graphics, stone carvings and other details; 2. as well as the cultural elements of their history, music, art and traditional forms of artistic expression susceptible to commercial use, via a special system to register, promote and market their rights, in order to highlight the socio cultural values of indigenous cultures and render social justice unto them.13 Besides Panama, a country that granted the protection of traditional cultural expressions for indigenous people is China, in The Chinese Draft Law of the People’s Republic of China on the Protection of Ethnic Culture and Folklore. China is an old and historical country with fifty-six nationalities. This Draft Law came as an impact of the case of Bai Xiu’e Paper-cut. Bai Xiu’e is a peasant lived in north of Shan’xi province; she came to Beijing and settled down from 1996 living by selling paper-cuts. After three trials (from the intermediate people’s court to the Supreme Judicial Court) she has 12
African Group, Comments on Gap Analysis on The Protection of Traditional Cultural Expressions: Draft Gap Analysis, WIPO, 2008, p. 3 13 Terri Janke, 2005, Managing Indigenous Knowledge and Indigenous Cultural and Intellectual Property, Australian Academic & Research Libraries, 36:2, p. 99-100
39
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
won the case finally. The Chinese court from this case conveys a basic principle that the copyright law protects the TCEs derivative works so long as it involves creativities.14 From the explanation above, Panama and China has goodwill to grant and protect the traditional cultural expressions. C.
CONCLUSIONS The existing Indonesian legal framework does not provide adequate protection for indigenous peoples’ traditional cultural expressions is theoretically an important method of protection for traditional cultural expressions. The argumentation is the act that provide the protection of traditional cultural expressions (Copyrights Act and Culture Advancement Act) should be still lack in implementation and ............................
14
Lisa Zhang, 2008, Protecting Traditional Cultural Expressions From a Copyright Perspective, Shanghai: Fudan University Law School, p. 3
40
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
BIBLIOGRAPHY Book African Group. Comments on Gap Analysis on The Protection of Traditional Cultural Expressions: Draft Gap Analysis, (WIPO, 2008) Janke. Terry. Managing Indigenous Knowledge and Indigenous Cultural and Intellectual Property, (Australia, Australian Academic & Research Libraries, 2005) Zhang, Lisa. Protecting Traditional Cultural Expressions From a Copyright Perspective, (Shanghai: Fudan University Law School, 2008) Larsson, Thomas. The Race to the Top: The Real Story of Globalization in Definitions of Globalization: A Comprehensive Overview and a Proposed Definition, Geneva Centre for Security Policy, (2001) Al-Rodhan, Nayef R.F. Definitions of Globalization: A Comprehensive Overview and a Proposed Definition, (Geneva Centre for Security Policy, 2006) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), The Situation of Human Rights of Indigenous Peoples in Indonesia, (3rd Cycle of Universal Periodic Review of Indonesia, Apr – May 2017) Footer, Mary E. dan C.B. Graber, “Trade Liberalization and Cultural Policy”, Journal of International Economic Law, (2000) Rajan, Mira T. Sundara, Moral Rights Principles Practices and New Technology, (New York, Oxford University Press, 2011) Article Wardany, Irawati. Expert defends local artisan in copyright violation case, the Jakarta Post, 2008 Internet Singh
& Associates, 2012, Traditional Cultural Expressions, access http://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=a806fd78-711e-4811-a881ed269533b635 on 10 October 2015
from
41
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, Maret 2019
Definition of Originality, webster.com/dictionary/originality
access
from
https://www.merriam-
Davis, Michael, 1996. Indigenous People Critiques of Intellectual Property Rights, Research Paper access from www.aph.gov.au on 10 october 2015 Indigenous Peoples at the UN, access https://www.un.org/development/desa/indigenouspeoples/about-us.html
from
42
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
SITA PAJAK TERHADAP ASET BADAN USAHA MILIK NEGARA Gamiyel Siouw Josephia Sumoked ALSA Local Chapter Universitas Sam Ratulangi gamiyels@gmail.com Abstrak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah suatu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara. BUMN pada dasarnya didirikan oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan agar mendorong dan membawa kontribusi positif bagi pembangunan perekonomian nasional. Sebagai subjek hukum, BUMN juga berkedudukan sebagai wajib pajak yang harus mentaati ketentuan mengenai pembayaran pajak dan akan mendapat perlakukan penagihan yang sama dengan penunggak pajak lainnya jika terbukti menunggak. Tulisan ini mengkaji apakah asset BUMN dapat dikategorikan dan dijadikan objek sita pajak, serta apakah aset tersebut disita dapat mengakibatkan kerugian pada sisi kekayaan negara Kata kunci: BUMN, pajak, dan sita pajak
43
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
A.
PENGANTAR 1.
Latar Belakang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mempunyai peran penting dalam kehidupan bernegara. Berdasarkan Amandemen Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) menyebutkan “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara”. Penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang dikuasai negara dijalankan oleh Badan Usaha Milik Negara. Dalam pertimbangan undang-undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara disebutkan BUMN mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pasal 1 angka 1 Undang-undang no. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyebutkan “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruhnya atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. BUMN berdasarkan Undang-undang nomor 19 tahun 2003 tentang Perseroan Terbatas, ada tiga bentuk BUMN, yaitu; a. Perusahaan Perseroan, BUMN berbentuk Perseroan Terbatas (PT), negara miliki saham paling sedikit 51%. b. Perusahaan Perseroan Terbuka, perusahaan yang melakukan penawaran umum, c. Perusahaan Umum, modalnya seluruhnya dimiliki negara Dalam melakukan hubungan hukum dalam kehidupan sehari-hari maka BUMN dapat bertindak sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum, ataupun atas suatu kepentingan oleh pihak ketiga. Modal awal BUMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Perseroan dan/atau Perum serta Perseroan Terbatas lainnya. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, BUMN tidak hanya tunduk pada ketentuan BUMN tapi peraturan lain yang terkait, seperti BUMN yang berbentuk 44
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
Perseroan Terbatas maka tunduk pada Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroaan Terbatas. BUMN sebagai subjek hukum mempunyai kedudukan sebagai wajib pajak, yang harus mengikuti ketentuan pembayaran pajak Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang nomor 19 tahun 2000. Apabila tidak dilunasi pajak tersebut, maka ketentuan tentang penagihan pajak dapat diberlakukan. Sampai dengan 31 Maret 2010 nilai tunggakan pajak 11 BUMN sebesar 2,6 triliun rupiah. BUMN akan mendapat perlakuan penagihan yang sama dengan penunggak pajak lainnya. Berdasarkan keterangan Direktur Jenderal Pajak saat itu jalan keluarnya adalah sita dan kalau tidak bisa ada komisaris BUMN yang terpaksa akan disandera. Perlakuan tidak membeda-bedakan antara perusahaan swasta atau BUMN . Aset BUMN bisa disita sama seperti aset swasta. Tetapi usaha Direktorat Jenderal Pajak ini terhalang dengan. Pasal 50 Undangundang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan: “Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap: a. Uang atau barang berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga b. Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah c. Barang bergerak milik negara/daerah yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga d. Barang tidak bergerak dan hak kebendaan milik lainnya milik negara/daerah e. Barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintah�. Kesulitan untuk melakukan sita pajak atas aset BUMN juga diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi no. 62 tahun 2013, yang pada bagian pendapat Mahkamah Konstitusi bagian 3.23, berbunyi: “Menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dimaksud dilihat dari perspektif transaksi bukanlah merupakan transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara ke BUMN. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan tersebut tetap menjadi kekayaan negara.� Berdasarkan hal tersebut di atas jelas terdapat pertentang antara dua kepentingan dikarenakan adanya perbedaan penafsiran tentang aset BUMN 45
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
termasuk kekayaan negara. Sehingga Penulis tertarik untuk mengangkat masalah apakah aset BUMN dapat dijadikan objek sita pajak dan kemungkinan hal tersebut bisa atau tidak menyebabkan kerugian kekayaan negara
2.
Identifikasi Masalah Berdasarkan pada hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas, untuk membatasinya perlu dirumuskan permasalahan yang hendak diteliti yaitu antara lain: a. Apakah aset BUMN dapat dijadikan objek sita pajak? b. Apakah sita pajak atas aset BUMN dapat menyebabkan kerugian bagi kekayaan negara?
3.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu metode yuridis normatif yang menitikberatkan pada kaidah serta norma dalam hukum positif. Metode ini menitikberatkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pedoman utama dalam pembahasan masalah yang berkaitan dengan penyitaan pajak terhadap aset yang dimiliki BUMN.
B.
ANALISIS 1.
Tinjauan Pustaka a.
Badan Usaha Milik Negara Dalam Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Di dalam UU ini juga disebutkan macam-macam bentuk BUMN yang diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 19 Tahun 2003 yaitu terdiri dari Persero dan Perum. Perusahaan jawatan sudah tidak termasuk lagi dalam BUMN menurut UU tersebut.1
1
R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Perusahaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 4
46
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
Pemerintah Republik Indonesia mendirikan BUMN bertujuan untuk mendorong pengembangan perekonomian nasional, hal tersebut sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, terkait maksud dan tujuan pendirian BUMN yaitu: i. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. ii. Mengejar keuntungan. iii. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. iv. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. v. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Bentuk Badan Usaha Milik Negara menurut fungsi sosial ekonomi i. Perusahaan Umum (Perum) Menurut PP Nomor 13 Tahun 1998 dan UU Nomor 19 Tahun 2003 adalah BUMN yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1969 yang mana seluruh dimiliki negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Tujuan Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. ii. Perusahaan Perseroan (Persero) Menurut UU Nomor 19 Tahun 2003 dan PP Nomor 12 Tahun 1998 adalah BUMN yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1969 yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perserpan Terbatas yaitu minimal 51% sahamnya dimiliki oleh negara dan tujuan utamanya mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan dan menyediakan barang dan jasa bermutu tinggi dan berdaya saing kuat. Sementara itu, perusahaan Perseroan Terbuka yang selanjutnya disebut Persero Terbuka, adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
47
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
b.
Kekayaan BUMN yang Dipisahkan Dari Kekayaan Negara Kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah adalah bagian dari kekayaan negara yang merupakan salah satu unsur keuangan negara yang wajib dikelola dengan sebaik-baiknya.2 Namun pengelolaannya dilakukan berbeda dengan pengelolaan kekayaan negara yang tidak dipisahkan, yaitu kekayaan yang digunakan oleh setiap kementerian/lembaga pemerintah dan berada di bawah tanggung jawab menteri/pimpinan lembaga.
c.
Kekayaan Negara Pendekatan dalam perumusan pengertian Keuangan Negara Pendekatan yang dipakai dalam merumuskan keuangan adalah dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan. Pengertian Keuangan dari sisi:3 i. Objek Semua hak, kewajiban, negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. ii. Subjek Seluruh objek keuangan diatas yang dimiliki negara dan/atau dikuasai Pemerintah Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara iii. Proses Seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. iv. Tujuan Seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Penafsiran kekayaan BUMN terakhir ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Kontitusi no. 62/PUU-XI/2013, yang salah satu pertimbangannya berbunyi:4
2
Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 Penjelasan UU nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara 4 Putusan Mahkamah Konstitusi no. 62/PUU-XI/2013 3
48
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
Pertimbangan 3.18: “Menimbang bahwa pemisahan kekayaan negara dalam BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya, harus dikaitkan dengan kerangka pemikiran tersebut. Pemisahan kekayaan negara tidak dapat diartikan sebagai putusnya kaitan negara dengan BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Pemisahan kekayaan negara pada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya hanyalah dalam rangka memudahkan pengelolaan usaha dalam rangka bisnis sehingga dapat mengikuti perkembangan dan persaingan dunia usaha dan melakukan akumulasi modal, yang memerlukan pengambilan keputusan dengan segera namun tetap dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya”.
d.
Sita Pajak Pasal pasal 227 ayat (1) HIR dinyatakan: “Jika terdapat persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya, atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya” Utang pajak merupakan suatu “perikatan”. Perikatan menurut pasal 1233 KUH Perdata bisa dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang. Perikatan yang timbul dari undang-undang dibedakan dalam dua golongan yaitu:5 i. Perikatan yang timbul karena undang - undang saja. ii. Perikatan yang timbul karena undang - undang dan perbuatan manusia. Karena hutang pajak juga merupakan perikatan, maka permasalahannya adalah “Perikatan pajak ini bersumber dari persetujuan atau bersumber dari undang-undang”. Kalau bersumber dari undang-undang apakah timbul dari undang-undang saja atau timbul dari undang-undang danperbuatan manusia.
5
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
49
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
Pasal 1 angka 8 undang-undang nomor 19 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa6: “Utang pajak” adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan” Pasal 1 angka 14 menyebutkan “Penyitaan adalah tindakan juru sita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak, guna dijadikan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan” Pasal 1 angka 15 UU no. 19 tahun 2000 “Objek sita adalah barang penanggung pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak.7 Pasal 1 angka 16 “Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita”8 Pasal 14 ayat 1 "Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa: i. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau ii. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu" 2.
Pengembangan Konsep a.
Aset BUMN Disita Pajak Penjelasan undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjelaskan “Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak
6
UU no. 19 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan surat Paksa 7 ibid 8 ibid
50
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah,dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut diatas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.� Pasal 4 (1) UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, menyatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam perkembangannya, ketentuan kekayaan yang dipisahkan menjadi polemik bagi sebagian pihak jika sudah dipisahkan, maka bukan lagi menjadi milik negara. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat�; Dapat disimpulkan, keuangan negara haruslah merujuk pada mekanisme pengelolaan APBN. Namun penjelasan di atas menyatakan bahwa pengelolaan keuangan BUMN didasarkan pada mekanisme pengelolaan perusahaan dan secara jelas dapat dikatakan jika keuangan negara yang dipisahkan telah menjadi keuangan privat yang dimiliki oleh perusahaan. Pasal 11 UU No 19 Tahun 2003 juga menyatakan bahwa BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas tunduk pada ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang PT yang kini telah diubah dengan UU Nomor 40 Tahun 2007, sehingga pengelolaan BUMN yang berbentuk PT sama dengan perusahaan privat yang lain. Dengan demikian keuangan BUMN adalah keuangan
51
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
privat yang dikelola oleh perusahaan negara guna memperoleh keuntungan sebagai sumber pendapatan negara. Teori badan hukum menyatakan bahwa kekayaan negara yang telah dipisahkan tersebut menjadi milik BUMN sebagai badan hukum privat dan negara memperoleh saham atas modal yang telah disetorkan. Saham inilah yang dicatatkan sebagai kekayaan negara. Selanjutnya, keuangan BUMN tidak bisa diperlakukan sebagai keuangan negara karena secara alamiah mengelola keuangan negara beda dengan mengelola keuangan BUMN Kekayaan negara dalam BUMN hanya berupa saham, sesuai dengan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara, serta Pasal 4 ayat (1) serta penjelasan pasal 4 ayat (1) UU BUMN. Jika merujuk dari pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara, pasal 4 ayat (1) UU BUMN, dan teori Badan Hukum, maka Keuangan Negara pada BUMN hanya sebatas saham atau modal pada BUMN yang bersifat non-cash. Terkait pengelolaan keuangan BUMN yang berbeda dari pengelolaan keuangan negara juga telah dijelaskan pada Putusan Mahkamah Konstitusi No 77/PUU-IX/2011 yang memutuskan bahwa BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara sehingga kewenangan pengurusan kekayaan usaha, termasuk penyelesaian piutang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan pada UU No 40 Tahun 2007. Jadi, sejak dikeluarkannya putusan tersebut, piutang BUMN yang sebelumnya dikategorikan piutang negara dibatalkan dan piutang BUMN hanya menjadi piutang privat umumnya pada perusahaan swasta lainnya. Ketentuan Pajak menyatakan BUMN sebagai suatu badan hukum yang dapat bertindak sebagai Wajib pajak. Pasal 1 angka 2 UndanU-Undang nomor 19 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa mengatur bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan. Kemudian pada Pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa BUMN termasuk dalam pengertian badan yang dapat dikenakan sebagai Wajib Pajak. Sehingga jika tidak melakukan pembayaran pajak maka akan dikenakan proses penagihan pajak sama seperti subjek hukum badan usaha biasa. Jika melihat Penjelasan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka dilihat dari pendekatan objek keuangan negara salah satunya adalah pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Jika dilihat dari 52
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
pendekatan subjek terdapat Perusahaan Negara/Daerah dan badan lain yang ada kaitannya dengan negara. Jika melihat pada pengertian BUMN pada pasal 1 angka 1 undang-undang nomor 19 tahun 2003, maka BUMN tersebut secara modal dimiliki sebagian besar atau seluruhnya oleh negara. Melihat hal ini maka suara atau pengambilan keputusan BUMN sangat dipengaruhi oleh negara. Jika melihat Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 62 tahun 2013 yang menolak permohonan pemohon, dengan pendapat Mahkamah Konstitusi butir 3.23 sampai dengan 3.24: “Menurut mahkamah, Pemisahan kekayaan negara dimaksud dilihat dari perspektif transaksi bukanlah merupakan transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara ke BUMN. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan masih tetap ada pada negara" Pendapat Mahkamah Konstitusi butir 3.18, 3.23: “.... pemisahan kekayaan negara dalam BUMN harus dikaitkan dengan kerangka pemikiran tersebut. Pemisahan kekayaan negara tidak dapat diartikan sebagai putusnya kaitan negara dengan BUMN, BUMD atau nama lain yang sejenisnya. Pemisahan kekayaan negara pada BUMN hanyalah dalam rangka memudahkan pengelolaan usaha dalam rangka bisnis� Karena telah dinyatakan kekayaan yang dipisahkan adalah kekayaan negara maka dapat dikatakan Kekayaan BUMN adalah kekayaan negara. Tentang posisi aset BUMN apakah dapat dibilang sebagai aset negara yang dapat disita oleh pajak, disini ada dua sisi kepentingan keuangan negara yang saling berbenturan. Pertama sisi keuangan negara dari pajak, diperlukan sita pajak sebagai cara BUMN mematuhi pembayaran pajak, tetapi disisi kekayaan negara yang dipisahkan set yang disita merupakan aset BUMN yang modalnya sebagian besar dari negara (APBN). Di sisi Pajak dilihat dari tujuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak adalah untuk mendapat pembayaran pajak, salah satu cara dengan melakukan penyitaan. Jika tujuan pembayaran pajak terpenuhi dengan disitanya aset BUMN, tetapi kemudian BUMN secara kinerja terganggu disisi kinerja karena ada asetnya yang dijual karena sita, hal ini akan tidak sesuai dengan tujuan melindungi kekayaan negara. Jika melihat sita sebagai salah satu cara pembayaran pajak, maka dapat dicarikan alternatif lain agar BUMN ini melakukan pembayaran pajak, yang aturan ini dituangkan dalam aturan yang lebih khusus. 53
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
b.
Sita Pajak Dapat Merugikan Keuangan Negara Objek aset yang disita Pajak dapat berupa: i. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; ii. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu. perusahaan profit besar, bahkan BUMN. Sebagian besar barang yang akan disita tersebut digunakan dalam operasional BUMN sehari-hari sehingga tidak semua BUMN memiliki aset yang banyak, untuk BUMN kecil seringkali barang bergerak yang dimiliki merupakan alat produksi dan barang tidak bergerak yang dimiliki adalah kantor atau tempat produksi. Apabila proses penyitaan aset BUMN dilakukan sebagai bagian dari penyitaan pajak, maka harus dipertimbangkan akibat darii penyitaan tersebut dikarenakan dapat mengganggu jalannya kinerja BUMN. Hal ini dapat mengganggu produktivitas BUMN yang kemudian dapat merugikan kekayaan negara.
C.
PENUTUP 1.
Kesimpulan a.
b.
2.
Aset BUMN menurut Penulis merupakan bagian dari kekayaan negara, sehingga termasuk dalam hal dalam Pasal 50 Undangundang no. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara dan tidak dapat disita termasuk oleh Pajak. Pelaksaan sita pajak atas aset BUMN bisa menimbulkan kerugian negara, karena dapat mengurangi aset yang dimiliki BUMN dalam melakukan produksi.
Saran Perlu ada perlakuan khusus untuk penagihan pajak terhadap BUMN, dengan melakukan revisi ketentuan perpajakan, sehingga BUMN dapat melakukan pemenuhan pembayaran pajak tanpa mengurangi aset BUMN.
54
ALSA Indonesia Law Journal, Volume 1, Nomor 1, November 2018
DAFTAR PUSTAKA Buku Kitab Undang Undang Hukum Perdata Hadhikusuma, R.T. Sutantya Rahardja. Hukum Perusahaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 4 Peraturan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan MK No. 62/PUU-XI/2013 tentang pengujian materiil UU Keuangan Negara dan Undangundang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
55
BIODATA PENULIS Talitha Belvarini Candraningrum Lahir: Malang, 29 April 1999. Pekerjaan: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga (2017-sekarang). Kenggotaan: Anggota ALSA LC Universitas Airlangga. Pengalaman: Sekretaris BEM FH Unair (2018-sekarang), Bendahara Masyarakat Muda Airlangga (2018-sekarang), Anggota Divisi Peradilan Semu ALSA LC Unair (2019-sekarang). Pencapaian: Juara 1 Lomba Peradilan Semu FH Unair (2018), Juara 2 Lomba Peradilan Semu FH Unair (2017), Terbaik Pengacara Terdakwa Lomba Peradilan Semu FH Unair (2017), Tim Riset Delegasi Unair Lomba Debat Hukum Nasional Mahkamah Konstitusi (2017), Delegasi Unair Lomba Peradilan Semu FH Universitas Udayana (2017). Xavier Nugraha Lahir: Surabaya , 20 Februari 1997 Pekerjaan: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga (2016-sekarang). Pengalaman: Pembicara The 2nd International Conference on Law, Governance, and Globalization, di Swiss Bell-In, Surabaya (2018), pengarang komik Kumpulan Obrolan Mahasiswa Intra Komahi (2018), penulis Penerapan Corporate Opportunity Doctrine dalam Hukum Perseroan di Indonesia, dalam jurnal Legislatif, Unhas (2018), penulis Tanggung Jawab Promotor PT Terhadap Kontrak Prainkorporasi di Indonesia, dalam Media Iuris, Unair (2019), penulis Perlindungan Hukum Bagi Pihak Ketiga Atas Besaran Modal Dasar Berdasarkan Kesepakatan Para Pendiri PT, dalam Lentera Hukum, UJ (2019). Pencapaian: Juara 3 Lomba Debat Perbanas Panas (2018/2019), Best Speakar Debat Pekan Hukum PSKH ke-7 (2018), Juara 1 Debat Pekan Hukum PSKH Ke-7 (2018), Best Speakar Marvel Law Debate Competition (2018), Juara 1 Marvel Law Debate Competition (2018), Juara 2 Debat Hukum Dr. Mochtar Riady Legal Fair (2018), Juara 2 Internal Legal Opinion Competition (2018). Rahmah Candrika Lahir: Jakarta, 3 Juni 1999. Pekerjaan: Mahasiswa Kelas Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (2017sekarang). Keanggotaan: ALSA LC Universitas Gadjah Mada. Pengalaman: Magang di Bernard Nainggolan, Jakarta (2018), peserta Indonesia MUN di FHUI, Depok (2016). Pencapaian: Best Delegate of World Health Organization Committee of ALSA Conference MUN Laos (2018), Most Outstanding Delegate of ALSA LC Undip MUN English Festival (2017).
vi
Arda Rahayu Lahir: Sigiran, 15 Desember 1998. Pekerjaan: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas (Masuk Tahun 2017) (Keanggotaan: ALSA LC Universitas Andalas). Sartika Nanda Lestari, SH, MH, LL.M Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (2013-sekarang). Pendidikan: LL.M di National University of Malaysia, Malaysia, MH di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, SH di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Pengalaman: Presenter International Conference on Law, Economic and Governance Universitas Diponegoro (2017), Presenter in International Conference Tuanku Ja’far, National University of Malaysia (2018). Gamiyel Siouw Josephia Sumoked Lahir: Tanawangko, 19 Januari 1999. Pekerjaan: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (2016-sekarang). Keanggotaan: ALSA LC Universitas Sam Ratulangi.
vii
SEKILAS ALSA A.
ALSA INTERNASIONAL 1.
Pembentukan ALSA (ASEAN Law Students’ Association) dibentuk pada 18 Mei 1989 oleh sekelompok mahasiswa hukum di negara anggota ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore dan Thailand. Kesepakatan pendirian ALSA berlangsung di Jakarta pada ALSA Conference 1989. Globalisasi membuat pembentukan organisasi ini menjadi penting pada saat itu. Perbedaan sistem hukum di negara masing-masing anggota perlu dipersatukan untuk persiapan era tersebut. Pada tahun 2003, ALSA berekspansi dengan melakukan penyatuan dengan East Asian Law Students’ Association dibawah satu nama baru yaitu Asian Law Students’ Association (tetap dengan singkatan ALSA).
2.
Keanggotaan Maka, anggota dari ALSA kini ditambah dengan masuknya 5 negara dari Asia Timur, yaitu Jepang, Korea, China, Taiwan dan Hong Kong. Sekarang, ALSA dikenal sebagai organisasi non-pemerintah dan non-politik yang anggotanya berasal dari 16 negara Asia yaitu: a. b. c. d. e. f. g. h.
Indonesia Thailand Philippines Malaysia Singapura Jepang China Hongkong
i. j. k. l. m. n. o. p.
Korea Selatan Taiwan Brunei Vietnam Laos Sri Lanka Macau Myanmar
Lingkup antar negara ini biasa disebut dengan lingkungan ALSA International, dimana setiap negara anggotanya merupakan komite nasional yang disebut National Chapter yang turut membawahi komite lokal yakni universitasuniversitas di negaranya yang disebut dengan Local Chapter. 3.
Visi, Tujuan, dan Acara a.
Visi i. to focus a global vision on the promising future of Asia; xi
ii. iii.
B.
to promote an awareness of justice; and to facilitate the recognition of the social responsibilities on law students
b.
Tujuan i. to understand and appreciate the diversity and share the ideals of law in society through exchange and communication among Asian law students; ii. to motivate law students to develop a creative spirit through a network of joint- activities among Asian law students; and iii. to encourage the enhancement of the capabilities of Asian Law students to become internationally minded, socially responsible, academically committed and legally skilled.
c.
Acara ALSA International memiliki beberapa acara tahunan yang diadakan oleh pengurus ALSA International itu sendiri dan National Chapter di bawah pengawasan ALSA International, yakni: i. ALSA Conference (AC) ii. ALSA Forum (AF) iii. ALSA International Moot Court Competition (AIMCC) iv. ALSA International Legal Training and Workshop (AILTW) v. Study Trip
ALSA INDONESIA 1.
Pembentukan Representatif ALSA di Indonesia dikenal dengan ALSA National Chapter Indonesia dikelola oleh National Board ALSA Indonesia, berdasarkan dengan SK yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2007 (No. 2028/D5.2/T/2007).
2.
Keanggotaan ALSA Indonesia terdiri dari 14 universitas anggota yang disebut Local Chapter yang tersebar di seluruh Indonesia yaitu: a. Universitas Syiah Kuala (Aceh) b. Universitas Andalas (Padang) c. Universitas Sriwijaya (Palembang) d. Universitas Padjadjaran (Bandung)
xii
e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. 3.
Universitas Indonesia (Depok) Universitas Jenderal Soedirman (Purwokerto) Universitas Diponegoro (Semarang) Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) Universitas Jember (Jember) Universitas Airlangga (Surabaya) Universitas Brawijaya (Malang) Universitas Hasanuddin (Makassar) Universitas Sam Ratulangi (Manado) Universitas Udayana (Denpasar)
Kepengurusan Dalam menjalankan keorganisasian di tingkat nasional, ALSA Indonesia memiliki struktur kepengurusan yang terdiri dari beberapa mahasiswa sekaligus anggota aktif ALSA yang terdiri dari berbagai universitas. Berikut adalah jajaran National Board ALSA Indonesia periode 2018-2019:
xiii
4.
Acara Tiap tahunnya, ALSA Indonesia memiliki beberapa acara nasional yang rutin dilaksanakan. Acara ini diperuntukkan bagi anggota ALSA Indonesia pada khususnya, dan bagi masyarakat umum untuk keikutsertaan dalam kegiatan seminar nasional. Acara nasional ini dilaksanakan di universitas anggota ALSA yang berbeda setiap tahunya, acara ini terdiri dari: a.
Rapat Pimpinan Nasional Kegiatan ini diikuti oleh National Board dan jajaran pimpinan Local Chapter ALSA Indonesia. Berbentuk serupa dengan rapat kerja, acara yang dilakukan di awal kepengurusan ini bertujuan untuk mengesahkan program kerja National Board dan sebagai wadah musyawarah untuk pengambilan segala keputusan penting. Waktu: 13 – 15 Mei 2018 Host: ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada, Daerah Istimewa Yogyakarta
b.
Seminar dan Workshop Nasional Seminar Nasional diikuti oleh 200 orang anggota ALSA Indonesia, tamu undangan, dan masyarakat umum. Namun kegiatan workshop hanya diikuti oleh anggota ALSA Indonesia saja. Waktu: 7 – 9 Juli 2018 Host: ALSA Local Chapter Universitas Hasanuddin, Makassar
c.
Pra Musyawarah Nasional and ALSA Leadership Training Terdiri dari beberapa rangkaian acara, yakni: i. Seminar Nasional Diikuti oleh 200 anggota ALSA Indonesia, tamu undangan, dan masyarakat umum. ii. Pra Musyawarah Nasional Berbentuk rapat tengah tahun dari kepengurusan ALSA Indonesia, dan diikuti oleh jajaran pimpinan ALSA Indonesia dan National Board, untuk mengevaluasi kinerja selama 6 bulan ke belakang dan mempersiapkan acara nasional yang akan datang. iii. ALSA Leadership Training Diperuntukkan khusus bagi anggota ALSA Indonesia untuk mengasah kemampuan kepemimpinanya dan dilakukan Table Discussion sesuai dengan sektor peminatannya. Waktu: 17 – 20 September 2018 xiv
iv.
v.
Host: ALSA Local Chapter Universitas Syiah Kuala, Aceh National Moot Court Competition ALSA National Chapter Indonesia Piala Mahkamah Agung Merupakan kompetisi peradilan semu tertua di Indonesia yang memperebutkan Piala Mahkamah Agung. ALSA Indonesia mengundang puluhan mahasiswa Fakultas Hukum dari beberapa universitas di seluruh Indonesia untuk mengikuti kompetisi ini. Acara ini turut bekerjasama dengan Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan PERADI Waktu: 15 – 18 Februari 2019 Host: ALSA Local Chapter Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Seminar dan Musyawarah Nasional Merupakan acara yang menutup rangkaian acara nasional dalam satu periode kepengurusan, sekaligus mengakhiri periode kepngrusan 2018-2019 dan mengganti pimpinan National Board ALSA Indonesia, dalam kegiatan ini juga akan diadakan Seminar Nasional. Waktu: 14 - 17 Maret 2019 Host: ALSA Local Chapter Universitas Padjadjaran
xv
PEDOMAN PENULISAN A.
SUBSTANSI ISI 1. 2.
3. 4.
5.
6. 7. 8. 9.
10. 11.
B.
Penulisan artikel dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Artikel memiliki sifat ilmiah, yaitu secara nyata mengandung data dan informasi untuk memajukan keilmuan Hukum Ekonomi, yang didasarkan pada telaahan empiris (survei, studi kasus, eksperimen, dan lain-lain) atau tinjauan teoritis untuk mengembangkan, menyesuaikan, atau mensinergikan teori yang sudah ada. Semakin dalam kekhususan ilmu atau pendekatan inter-disiplin atas Hukum Ekonomi yang dipergunakan, semakin baik mutu artikelnya. Wawasan artikel ditunjukkan dari ruang lingkup atau wilayah geografis permasalahan Hukum Ekonomi, yakni dari yang rendah ke yang tinggi bobotnya: lokal, nasional, regional, dan internasional. Artikel sedapat mungkin menunjukkan kepioneran ilmiah dan orisinalitas karyanya berupa kemutakhiran ilmu, kecanggihan pendekatan, kebaruan temuan, ketuntasan penggarapan, atau kehebatan teori Hukum Ekonomi. Kehadiran artikel menjadi alas untuk mengembangkan ilmu, mengangkat nama ilmuwan, dan mempengaruhi lingkungan terkait Hukum Ekonomi. Dampak dari artikel diharapkan berfungsi sebagai pemicu kegiatan riset berikutnya di bidang Hukum Ekonomi. Penggunaan sumber pustaka primer yang lebih banyak dibandingkan bahan lainnya menjadikan kerangka artikel Hukum Ekonomi lebih kuat. Kemutakhiran referensi artikel biasanya 5 tahun terakhir, meskipun karya klasik juga bisa dijadikan sumber masalah (bukan pembanding bahasan) bidang Hukum Ekonomi Martabat artikel terdongkrak bila memiliki ketajaman analisis dan sintesis yang dilakukan secara kritis terhadap isyu Hukum Ekonomi. Penarikan simpulan yang mapan dan perampatan yang meluas menjadikan artikel bidang Hukum Ekonomi ini lebih bermakna.
FORMAT PENAMPILAN 1.
2.
Naskah artikel menggunakan kertas berukuran A4 (210 x 297 mm) dengan ketebalan 8-10 halaman (atau minimal sekitar 1500 kata) dan huruf Calibri dengan ukuran 12 dan berspasi 1,15. Judul artikel tertulis spesifik dan efektif yang terdiri dari maksimal 12 kata dalam bahasa Indonesia (atau 10 kata dalam bahasa Inggris) sehingga sekilas dapat ditangkap maksudnya secara komprehensif. viii
3. 4. 5.
6.
7.
Pada batas kredit (by line) artikel mencantumkan nama, institusi, dan alamat korespondensi (e-mail) penulis untuk korespondensi. Artikel dilengkapi Abstrak berbahasa Indonesia/Inggris yang menggambarkan isi secara gamblang, utuh, dan ringkas sebanyak 100-150 kata. Agar akses semakin mudah, maka artikel diperkaya dengan Kata Kunci sebanyak 3-5 kata yang mencerminkan konsep yang dikandungnya, sebagai kelengkapan artikel modern. Pembabakan dalam artikel mengikuti sistematika berikut (bukan model yang biasanya dipakai dalam penyusunan skripsi dan hanya menjadi pegangan umum yang bisa dikembangkan sendiri): i. Pengantar, yang meliputi latar belakang, masalah, dan metode (20%). ii. Analisis, yang mencakup kajian literatur, tinjauan teori, dan pengembangan konsep (60%). iii. Penutup, yang terdiri atas kesimpulan dan saran (10%). Instrumen pendukung seperti Catatan Kaki menjadi penting dalam sebuah artikel untuk pemaparan deskriptif dengan sistem yang mantap untuk memberikan penjelasan turunan yang tidak terkait topik artikel secara langsung ataupun pengutipan dengan menggunakan format Turabian Style yang disesuaikan, seperti contoh berikut. i. Buku: Monstert, Frederick W., Famous and Well-Known Marks, 2nd Edition (New York: INTA, 2009), hal. 15-16. Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, dan Tommy Suryo Utomo (ed.), Hak Kekayaan Intelektual (Bandung: PT Alumni, 2004), hal. 13. ii. Artikel: Firoz Gaffar, “Merek Terkenal (Tak) Terlindungi di Indonesia,” Bisnis Indonesia, 16 September 2010, hal. 8. Xavier Vermandele, “Counterfeiting & Piracy – A Global Overview,” dalam WIPO National Workshop on the Enforcement of Intellectual Property Rights (IPRs), diselenggarakan WIPO dan Ditjen HKI Kemenkumham RI, Jakarta, 15-16 September 2011, hal. 3. iii. Internet: Shaheen E. Lakhan and Meenakshi K Khurana. “The State of Intellectual Property Education Worldwide,” Journal of Academic Leadership, volume 5, issue 2, 2007, http://cogprints.org/5640/1/IP_Education.pdf, diakses pada 1 Desember 2011, hal. 4. WIPO, World Intellectual Day, http://www.wipo.int/ipoutreach/en/ipday/2012/, diakses pada 15 Februari 2012, hal. 1.
ix
iv.
8.
9. C.
Peraturan: Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1991 tentang Impor Bahan Baku atau Produk Tertentu yang Dilindungi Paten bagi Produksi Obat di Dalam Negeri, TLN Nomor 3442, Pasal 1. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 54/Merek/2003/PN.Niaga.Jkt.Pst., dalam perkara antara: Nokia Corporation melawan HO Benny Saputra, SH dan Pemerintah Republik Indonesia, tanggal 2 Oktober 2003, hal. 14. Daftar Pustaka disusun pada bagian terakhir artikel secara baku dan konsisten mengacu ke Catatan Kaki yang dikelompokkan menjadi Buku, Artikel, Internet, dan Peraturan. Istilah yang lugas dan bahasa yang benar adalah ciri utama artikel ilmiah.
PEMUATAN ARTIKEL 1. 2. 3.
4. 5.
Artikel yang dapat dimuat hanya naskah yang belum pernah diterbitkan pada media lain. Penyerahan artikel dalam bentuk softcopy (dengan format word) yang dikirim ke email step@alsaindonesia.org. Artikel diserahkan bersama dengan Biodata (Curriculum Vitae) sebanyak 100200 kata yang mengungkapkan nama lengkap, tempat/tanggal lahir, pekerjaan, keanggotaan, pendidikan, pengalaman, dan pencapaian yang relevan dengan artikel yang ditulis atau perlu diketahui pembaca. Dewan Redaksi memiliki kewenangan melakukan penyuntingan serta memuat atau menolak artikel, termasuk tidak mengembalikan artikel yang diterima. Untuk penelaahan atau penyaringan artikel, Dewan Redaksi akan meminta pendapat ahli dengan kaliber tertentu yang dijadikan Mitra Bestari.
x