ALSA INDONESIA LEGAL OPINION
HAK ANGKET : ANTARA PREMANISME POLITIK ATAU FATALISTIS PEMIKIRAN EGOSEKTORAL Sub : Pengesahan Produk Hukum disabilitas Oleh : Isakh Benyamin Manubulu I Made Gemet Dananjaya Suta Putu Anantha Pramagitha (Academic Officer)
ANTARA PREMANISME POLITIK ATAU FATALISTIS PEMIKIRAN EGO SEKTORAL Polemik dalam bidang pemerintahan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Jabatan fungsional dari seorang pejabat negara. Hal ini menjadi sebuah isu yang tidak baru lagi bagi mahasiswa hukum terlebih bagi kaum politikus. Pro dan kontra datang dari segala arah baik dari kaum akademis maupun non akademis dengan diikuti oleh pendapatnya atau pandangannya masing-masing terkait dengan “keberlakuan dari hak angket terhadap KPK”. Sebelum berbicara lebih jauh, perlu bagi kita untuk memahami konsep dari hak angket yang merupakan hak konstitusional dari DPR. Berdasarkan rumusan UUD 1945 Pasal 28A ayat (2) bahwa “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Hal ini kemudian dirumuskan kembali dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 79 ayat (1) bahwa DPR mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa salah satu hak dari DPR yang secara atributif diberikan oleh konstitusi adalah Hak angket. Menggunakan penafsiran per analogium kita dapat menyimpulkan bahwa DPR ternyata memiliki hak untuk melakukan penyidikan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan primary sector di Indonesia. Namun sejauh mana hak tersebut dapat berlaku? Hal ini yang kemudian menjadi polemik dan problema pada saat ini. Beberapa waktu lalu diberitakan bahwa DPR menggunakan hak angketnya namun yang dipermasalahkan selanjutnya adalah ternyata hak angket tersebut diberlakukan/diterapkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Permasalahan ini kemudian semakin memanas ketika hak angket DPR atas KPK tersebut ditolak mentah-mentah
oleh KPK dengan dalih “Tindakan DPR tersebut tidak mencerminkan sikap/tidakan yang mendukung proses penanganan korupsi di Indonesia”. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 7 merumuskan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk : a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Pihak KPK menilai bahwa DPR seolah-olah bertindak sebagai pro korupsi di Indonesia. Presentasi korupsi di Indonesia berdasarkan laporan Transparanci.com adalah 5060% artinya dalam menjalankan proses pemerintahan, hampir ½ (setengah) lembaga pemerintah maupun swasta “berpartisipasi untuk meningkatkan kasus korupsi di tanah air”. KPK pada awalnya memanggil 27 anggota DPR untuk diperiksa terkait dengan kasus dugaan korupsi E-KTP. Kasus korupsi e-KTP tersebut merugikan negara sebesar 2.3 Trilyun Rupiah dengan mengamankan 2 tersangka dan 280 saksi. Kasus korupsi ini dikategorikan sebagai “megakorupsi”. Ketika KPK ingin menggali lebih dalam kasus E-KTP dengan melakukan pemeriksaan lebih terhadap DPR, sebagian besar pihak DPR menolak dengan cara merumuskan Hak Angket atas KPK. Hal ini semata-mata telah bertentangan dengan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bahwa subyek dari hak angket adalah Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian. Dengan mendasarkan pada penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3, maka KPK bukanlah termasuk dalam kualifikasi Pemerintah. Sementara, untuk dapat mengetahui apakah KPK merupakan kategori Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dapat merujuk kepada regulasi (Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan kedelapan atas Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Kementerian) yang mengatur tentang lembaga apa saja yang dapat digolongkan sebagai LPNK. Tindakan DPR tersebut oleh beberapa media massa diberitakan sebagai bentuk premanisme politik, lantas apa itu premanisme politik? Menggunakan penalaran per analogium, premanisme dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk menguasai kelompok yang lebih lemah, lantas bagaimana dengan premanisme politik? Hal tersebut dapat diindikasikan juga sebagai bentuk dari hegemoni politik yaitu bentuk penguasaan oleh sebagian orang kepada kelompok yang lebih kecil menggunakan kemampuan intelektual dan moral secara konsensus sehingga tercermin adanya sifat dominasi atau hegemoni oleh penguasa terhadap pihak yang lebih kecil. Tindakan DPR dengan memaksakan berlakunya hak angket terhadap KPK tersebut semata-mata dapat dinilai melangkahi ketentuan hukum yang berlaku sebab sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa KPK tidak termasuk dalam kategori subyek hukum hak angket. Namun disamping itu, juga tercermin pola pemikiran yang egosektoral yang mana salah satu pihak berusaha untuk melangkahi kewenangan dari pihak yang lainnya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa KPK memiliki kewenangannya sendiri untuk melaksanakan
proses penanggulangan korupsi di Indonesia dengan hak-hak serta tugas-tugasnya, begitu pula dengan DPR. Kedua pihak ini merupakan lembaga negara yang pada dasarnya memiliki fungsi penting di dalam pemeritahan oleh karena itu, maka pemikiran-pemikiran yang mendasar seperti ini tentunya merupakan bentuk fatalistis egosektoral. Tindakan yang menghambat penegakan hukum di Indonesia tersebut (obstruction of justice) justru akan memperparah sistem pemerintahan di Indonesia dan berpotensi meningkatkan kasus korupsi di Indonesia!
PENGESAHAN PRODUK HUKUM DISABILITAS Pengesahan hak angket atas KPK tersebut dikontra oleh para praktisi Hukum Tata Negara yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara Republik Indonesia yang menunjukan sikap akademis melalui sebuah dokumen berbentuk “Petisi”. Proses pembentukan hak angket sendiri dinilai inkonsistusional sebab tidak memenuhi standar dan kriteria dari aturan hukum yang berlaku. Hak angket ini diusulkan oleh 26 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 19 April 2017 lalu. Usulan hak angket tersebut berindikasi berkaitan dengan keinginan politisi DPR yang terlibat kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-El) untuk mendapatkan informasi dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dan Rekaman pemeriksaan terhadap saudara Miriyam S Haryani, salah satu anggota DPR yang terlibat kasus korupsi e-KTP. “Modus yang digunakan adalah pola baru untuk menyerang kredibilitas dari KPK dalam upaya menangani kasus narkotika, hal ini merupakan bentuk balas dendam dari para koruptor” sebagaimana yang dituangkan dalam sikap akademis Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara Republik Indonesia. Pertimbangan-pertimbangan berikutnya yang dapat menguatkan argumentasi bahwa produk hak angket atas KPK adalah produk hukum cacat dapat ditinjau dari subyek dan obyek, serta syarat formil dari hak angket.
Cacat Subyek dan Obyek Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) DPR dapat melakukan penyelidikan terhadap: pelaksanaan undang-undang oleh pemerintah; pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah; pelaksanaan undang-undang dan sekaligus pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah. Dalam hal ini, KPK bukanlah merupakan salah satu subyek yang dimaksud dengan lembaga pemerintah atau lembaga kementrian sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3. Perlu bagi kita utk memahami bahwa LPNK merupakan sebuah lembaga yang dibentuk dengan maksud melakukan tugas tertentu dari presiden, oleh karena hanya melakukan tugas-tugas tertentu dari presiden maka KPK belum tentu dikategorikan sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementrian. Lalu mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Perpres 4/2013 memberikan limitasi lembaga mana saja yang termasuk LPNK. Merujuk kepada Pasal 1 Perpres 4/2013 maka sudah jelas KPK bukan termasuk kategori LPNK. Dengan tidak masuknya KPK sebagai LPNK dan dalam klasifikasi Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, atau Jaksa Agung maka
secara jelas KPK tidak memenuhi pengertian pemerintah sebagaimana diatur penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3.
Cacat Formil Pengajuan usul hak angket ditentukan Pasal 199 ayat (1) dan Pasal 200 ayat (1) UU MD3 yang mensyaratkan bahwa usul diajukan paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR yang berasal lebih dari 1 (satu) fraksi kepada Pimpinan DPR. Usul itu harus disertai dengan (i) materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang- undang yang akan diselidiki; dan (ii) alasan penyelidikan. Perihal itu telah dicukupi DPR dengan diusulkannya hak angket oleh 26 (dua puluh enam) orang anggota dewan dengan disertai alasan pengajuan usul tersebut. Dalam pelaksanaannya, DPR tidak memenuhi prosedur pengesahan hak angket yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 199 ayat (3) UU MD3. Berdasarkan Pasal 201 ayat (2) UU MD3 maka setidaknya seluruh fraksi mengirimkan perwakilan fraksinya sebagai anggota panitia angket. Apabila tidak terpenuhi maka tentu saja panitia angket tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan undang-undang sehingga harus dianggap tidak memenuhi kriteria formil sehingga demi mewujudkan asas legalitas di Indonesia dan demi kepentingan hukum maka pembentukan panitia tersebut haruslah dibatalkan.
Kesimpulan Oleh karena adanya produk disabilitas dari pembentukan hukum tersebut maka upaya yang perlu dicapai dalam hal ini adalah dengan cara membatalkan produk hukum tersebut demi kepentingan hukum. Pembatalan tersebut dapat ditempuh melalui judicial review pada Mahkamah Konstitusi. Bahwa dalam hal sebuah aturan hukum dibuat dengan maksud spekulatif yakni menguntunngkan salah satu pihak, secara semata-mata tidak mencerminkan prinsip right of equality atau equality before the law yang dirumuskan dalam Pasal 27 UUD 1945 bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sudah tentu bahwa tindakan premanisme politik, egosektoral, hagemoni harus dihindari dan diberantas hingga ke akar-akarnya. Apabila hal ini terus dibiarkan maka akan berimplikasi pada kredibilitas penegakan hukum Indonesia di mata dunia. Sebagaimana yang sering diucapkan oleh para filsuf bahwa “ rest ipsa liquitur, tibula et neufragio” artinya “tidak ada jalan lain” selain membatalkan produk hukum disabilitas di Tanah Air Tercinta Indonesia.