ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN SURAT KUASA MENJUAL AGUNAN DALAM KREDIT BERMASALAH DI BANK RAKYAT INDONESIA (STUDI KASUS PUTUSAN 14/PDT.G/2015/PN.TLG) Alifia Cahya Mareta alcmareta@gmail.com Universitas Airlangga LATAR BELAKANG Sebagai salah satu bentuk badan usaha yang bergerak di bidang keuangan, bank memiliki fungsi intermediari, yaitu mengimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk lainnya atau bentuk-bentuk lainnya. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pasal 7 bahwa fungsi utama Perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Bertitik tolak dari posisi strategis bank tersebut, perbankan di Indonesia dibangun dengan tujuan menunjang pelaksanaan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.1 Fungsi yang paling berisiko adalah penyaluran dana dalam bentuk pemberian kredit atau pembiayaan. Kredit yang diberikan oleh bank mengadung risiko, yaitu risiko kredit, yang dimaksud dengan risiko kredit adalah risiko kerugian sehubungan dengan pihak peminjam (counterparty) tidak dapat dan atau tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar kembali dana yang dipinjamkannya secara penuh pada saat jatuh tempo atau sesudahnya.2 Dalam penyaluran dana, bank harus menerapkan prinsip kehati-hatian yang mengacu pada rambu-rambu kesehatan. Menurut Sutan Remy Sjahdeini bahwa tujuan dari di berlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain agar bank selalu dalam keadaan sehat, selalu dalam keadaan likuid, solvent, dan menguntungkan (profitable).3 Pemberian kredit akan didasarkan pada analisis 5C yang dilakukan oleh bank, yaitu meliputi character, capacity, condition, capital, dan collateral. Kredit yang tidak disalurkan berdasarkan prinsip kehati1 Trisadini Prasastinah Usanti dan Nurwahjuni, Modal Penyelesaian Kredit Bermasalah, Surabaya: Revka Pertra Media, 2014, hlm. 1 sebagaimana mengutip dari Marulak Pardede, “Perspektif Perlindungan Hukum Simpanan Dana Nasabah pada Bank�, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 11, 2000, hlm. 50. 2 Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2008, hlm. 22. 3 Trisadini Prasatinah Usanti dan Abd. Shomad, Hukum Perbankan, Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2015, hlm. 107.
hatian akan berisiko pada kredit macet atau bermasalah sebagaimana yang terjadi dalam pemberian kredit oleh Bank Rakyat Indonesia Kantor Unit Ngantru, Tulungagung, kepada Mohammad Mudai. Mohammad Mudai sebagai debitor telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tulungangung terhadap Bank Rakyat Indonesia sebagai kreditor dalam Perkara Nomor 14/Pdt.G/2015/PN.Tlg. Di antara kedua belah pihak telah terjadi perikatan hukum utang piutang dalam bentuk Surat Pengakuan Hutang Nomor : B.166/6583/5/2013 dengan jaminan sebidang tanah. Perikatan dengan jaminan tersebut dibuktikan dengan Surat Kuasa Menjual Agunan yang telah dibuat oleh pihak Tergugat untuk pihak Penggugat. RUMUSAN MASALAH ď ś Bagaimana keabsahan Surat Kuasa Menjual Agunan dalam perjanjian utang piutang antara Penggugat dan Tergugat jika terjadi kredit bermasalah? PEMBAHASAN Surat Kuasa Menjual Agunan yang telah dibuat oleh Bank Rakyat Indonesia merupakan kuasa mutlak jika ditinjau dari kalimat berikut ini, “Surat Kuasa ini tidak dapat dicabut kembali baik oleh ketentuan Undang-undang yang mengakhiri pemberian kuasa sebagaimana ditentukan dalam pasal 1813 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) maupun oleh sebab apapun jugaâ€?. Namun berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982 secara jelas menyatakan bahwa Notaris dan PPAT dilarang memberi surat kuasa mutlak dalam transaksi jual beli tanah sehingga pemilik tanah dilarang memberi kuasa mutlak kepada kuasa untuk menjual tanah miliknya. Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri, Kuasa Mutlak adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa merupakan pemindahan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya, sedangkan dalam penjelasan Pasal 39 ayat 1 PP No. 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa "...surat kuasa mutlak adalah pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali oleh pihak yang memberi kuasa, sehingga pada hakekatanya merupakan perbuatan hukum pemindahan hakâ€?. Hal ini juga ditegaskan dalam Putusan MARI Nomor : 2584 K/Pdt/1986, bahwa surat kuasa mutlak mengenai jual beli tanah tidak dapat dibenarkan karena dalam praktek sering disalahgunakan untuk menyelundupkan jual beli tanah. Oleh karena itu, Bank Rakyat Indonesia harus dinyatakan bersalah dengan melakukan perbuatan melanggar hukum karena
telah membuat Surat Kuasa Menjual Agunan untuk debitor yang secara jelas dan tegas bertentangan dengan Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982, sehingga dapat dikatakan bahwa surat kuasa tersebut tidak sah dan batal demi hukum, tidak berkuatan hukum terhitung sejak tanggal penerbitannya. Perlu diperhatikan bahwa Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah adalah larangan kepada Camat dan Kepala Desa atau Pejabat yang setingkat dengan itu, untuk membuat/menguatkan pembuatan Surat Kuasa Mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah, tetapi dalam hal ini Tergugat tidak berkedudukan sebagai camat dan Kepala Desa atau Pejabat yang setingkat itu, maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sehingga dengan tidak relevan apabila Penggugat menggunakan dasar Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 untuk menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Perlu dicermati bahwa tidak semua surat kuasa mutlak dilarang sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982. Terdapat beberapa pengecualian terhadap larangan penggunaan kuasa mutlak, yaitu kuasa-kuasa yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan atau merupakan satu kesatuan dari suatu perjanjian yang mempunyai alas hukum yang sah atau kuasa yang diberikan untuk kepentingan penerima kuasa agar penerima kuasa tanpa bantuan pemberi kuasa dapat menjalankan hak-haknya untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam hukum perikatan dikenal dua jenis perjanjian, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian ikutan (acessoir). Perjanjian utang piutang antara Penggugat dan Tergugat merupakan perjanjian pokok sedangkan jaminan berupa sebidang tanah merupakan perjanjian ikutan yang mengikuti perjanjian pokok, Surat Kuasa Menjual Agunan tersebut dapat dikatakan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan atau merupakan satu kesatuan dari suatu perjanjian yang mempunyai alas hukum yang sah. Hal ini juga sesuai dengan pasal 1178 ayat (2) BW bahwa kreditor pemegang hipotik pertama diberikan kebebasan untuk pada waktu hipotiknya didaftarkan, secara tegas mensyaratkan, bahwa apabila utang pokoknya tidak dibayar dengan semestinya atau bunga-bunganya yang terutang tidak dibayar, kreditur pemegang hipotik diberi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, untuk menjual persil yang dihipotikkan itu di muka umum, agar supaya ia dapat menerima pembayaran dari hasil penjualan itu, baik utang pokok maupun bunga-bunga dan ongkos-ongkosnya. Undang-Undang Perbankan mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Penggugat adalah debitor Tergugat yang mendapatkan fasilitas kredit sebesar Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) berdasarkan Surat Pengakuan Hutang No. B. 166/6583/5/2013 Tanggal 27 Mei 2013. Untuk menjamin pelunasan kredit dimaksud, Penggugat telah menyerahkan jaminan/agunan sebidang tanah sesuai dengan Akta Pembagian Hak Bersama No. 289/NGTR/2003 tanggal 24 Juni 2003. Tetapi dalam perjalanannya kreditnya, Penggugat tidak memenuhi kewajiban pembayaran kredit baik pokok, bunga, dan lain-lain secara tepat waktu atau wanprestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya dalam Surat Pengakuan Hutang antara Penggugat dengan Tergugat sehingga menyebabkan kredit menunggak, dalam hal ini disebut sebagai kredit bermasalah. Sesuai Surat Pengakuan Hutang No. B. 166/6583/5/2013 Tanggal 27 Mei 2013 yaitu Penggugat harus melunasi kreditnya sebelum atau selambat-lambatnya tanggal 27 Mei 2014 yang meliputi utang pokok dan bunga. Kredit bermasalah ini tentu saja merugikan bank sebagai penyalur dana masyarakat. Jika kredit bermasalah terjadi secara terus menerus, akan mengganggu stabilitas fungsi intermediari pada bank. Risiko kredit dalam sistem perbankan berarti bahwa pembayaran kredit tertunda atau tidak ada sama sekali yang dapat menyebabkan masalah arus kas dan mempengaruhi likuiditas bank, oleh karena itu risiko kredit merupakan penyebab utama kegagalan bank.4 Jika ditinjau dari pasal 11 Undang-Undang Perbankan, kredit atau pembiayaan tersebut bersumber dari dana masyarakat yang disimpan di bank sehingga risiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat. Berdasarkan pasal 1 angka 24 Peraturan Bank Indonesia No. 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dimaksud dengan agunan yang diambil alih adalah â€œâ€Ś aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bankâ€?, sehingga dapat disimpulan bahwa Surat Kuasa Menjual Agunan yang dibuat oleh Bank Rakyat Indonesia bukanlah surat kuasa mutlak yang dilarang oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982, tetapi dibuat sebagai jaminan bagi bank untuk menjual agunan apabila debitor 4 Hennie Van Greuning dan Sonja Bracovic. Analisis Risiko Perbankan. Jakarta: Salemba Empat. 2011. Hlm. 50.
ingkar janji atau tidak melakukan prestasinya. Oleh karena itu, Bank Rakyat Indonesia tidak terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum. Surat Kuasa Menjual Agunan tersebut tetaplah sah dan berlaku jika debitor wanprestasi. Jaminan tersebut digunakan sebagai pengganti uang yang tidak dibayarkan oleh debitor dan uang tersebut diperoleh melalui kegiatan lelang sebagai eksekusi agunan. Hal ini merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kredit bermasalah yang terjadi pada bank untuk menjaga stabilitas fungsi intermediari.
KESIMPULAN Dalam menjalankan fungsi intermediari, khususnya dalam penyaluran dana masyarakat, bank harus memperhatikan prinsip kehati-hatian untuk meminimalisir risiko kredit. Hal ini dilakukan untuk menjaga tingkat kesehatan bank dan melindungi nasabah penyimpan dana. Salah satu kriteria atau tolak ukur 5C dalam pemberian kredit adalah collateral atau jaminan. Collateral merupakan jaminan yang dapat disita apabila debitor benar-benar tidak dapat memenuhi kewajibannya. Dalam kasus tersebut, debitor sebagai pihak Penggugat mempermasalahkan ketidakabsahan Surat Kuasa Menjual Agunan atas jaminan dalam perjanjian utang piutang antara Penggugat dan Tergugat sebagai kreditor (Bank Rakyat Indonesia). Surat Kuasa Menjual Agunan yang dibuat oleh bank merupakan pengecualian surat kuasa mutlak yang dilarang berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, yaitu berupa kuasa-kuasa yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan atau merupakan satu kesatuan dari suatu perjanjian yang mempunyai alas hukum yang sah atau kuasa yang diberikan untuk kepentingan penerima kuasa agar penerima kuasa tanpa bantuan pemberi kuasa dapat menjalankan hak-haknya untuk kepentingan dirinya sendiri. Surat Kuasa Menjual Agunan dibuat sebagai jaminan bagi bank untuk menjual agunan apabila debitor ingkar janji atau tidak melakukan prestasinya. Dengan surat kuasa tersebut bank dapat melakukan eksekusi agunan jika debitor wanprestasi dan tidak menunjukan itikad baik untuk membayar utangnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 24 Peraturan Bank Indonesia No. 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dimaksud dengan agunan yang diambil alih adalah â€œâ€Ś aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bankâ€?. Oleh karena itu, Surat Kuasa tersebut sah dan tetap berlaku. Hal ini merupakan salah satu cara untuk mengatasi kredit bermasalah pada bank dan menjaga tingkat kesehatan bank agar tetap dalam keadaan likuid, solvent, dan menguntungkan (profitable).
DAFTAR BACAAN Greuning, Hennie Van dan Sonja Bracovic. Analisis Risiko Perbankan. Jakarta: Salemba Empat. 2011. Idroes, Ferry N, Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2008. Usanti, Trisadini Prasatinah dan Abd. Shomad, Hukum Perbankan, Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2015. Usanti, Trisadini Prasastinah Usanti dan Nurwahjuni, Modal Penyelesaian Kredit Bermasalah, Surabaya: Revka Pertra Media, 2014, sebagaimana mengutip dari Marulak Pardede, “Perspektif Perlindungan Hukum Simpanan Dana Nasabah pada Bank�, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 11, 2000.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3790).