Negara dan Inklusi Keuangan – Analisis terhadap Respons OJK atas Meledaknya Industri FinTech berbasis Peer to Peer lending di Indonesia Latar Belakang Di Indonesia, sebagian besar masyarakat masih belum mendapatkan akses pada layanan keuangan seperti pinjaman kredit, tabungan dan lain sebagainya. Berdasarkan survei yang diadakan oleh Bank Dunia pada tahun 20111, tercatat bahwa hanya sebanyak 19,6% dari orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening bank dalam lembaga keuangan yang formal. Pada tanggal 19 November 2013, Pemerintah sendiri telah meresponnya dengan menerbitkan berbagai program perencanaan untuk meningkatkan edukasi finansial pada masyarakat.2 Meskipun program untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia telah berjalan, Indonesia masih memiliki berbagai tantangan yang perlu untuk dijawab. Salah satu tantangan yang dianggap paling serius adalah bagaimana menjangkau kelompok masyarakat yang terpinggir dan rentan dengan cara yang paling efektif dan efisien. Dalam hal ini, ekspansi sektor keuangan yang inklusif selalu dirintangi oleh permasalahan infrastruktur dan operasional dari lembaga keuangan seperti cakupannya yang terbatas dan sulitnya mendapatkan informasi terhadap keuangan konsumen.3 Oleh karena itu, kebijakan inklusi keuangan di Indonesia masih perlu untuk mempertimbangkan kelompok masyarakat pada kondisi geografis yang kurang terjangkau. Keterbatasan dari kondisi geografis Indonesia paling dirasakan oleh usaha mikro kecil dan menengah (selanjutnya disingkat menjadi UMKM).4 Meski tidak sering disadari, keberadaan UMKM di Indonesia terbukti memiliki dampak yang signifikan pada perekonomian
1
The World Bank. (2011). "World Development Report 2011: Conflict, Security and Development". Adhitya Wardhono, Ciplis G. Qori’ah dan Yulia Indrawati, “The Determinants of Financial Inclusion: Evidence from Indonesian Districts�, International Journal of Economic Perspectives 10 (2016), hlm. 472. 3 Ibid. 4 Industri UMKM didefinisikan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 sebagai: Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini. 2
Indonesia. Per 2013, Industri UMKM di Indonesia berjumlah sebesar 57 juta5 dan pada tahun 2012 berkontribusi hingga 59% pada produk domestic bruto.6
Meski demikian
perkembangan UMKM masih terhambat berbagai kendala. Indrayani dkk menyatakan bahwa permasalahan yang seringkali dihadapi oleh industri UMKM adalah kurangnya akses pada pendanaan dan layanan keuangan.7 Pada tahun 2015, tercatat bahwa hanya 6% dari industri UMKM di Indonesia yang memiliki pendanaan yang berasal dari kredit bank.8 Hal ini disebabkan oleh adanya informasi yang asimetris baik yang diberikan oleh sektor perbankan maupun sektor industri itu sendiri. Penyebab dari informasi yang asimetris dalam pasar kredit tersebut dapat kita telusuri pada faktor tingginya biaya untuk mengumpulkan data dari perusahaan UMKM yang mayoritas berada pada daerah yang sulit terjangkau.9 Berdasarkan pemaparan tersebut, bertambahnya kebutuhan akan modal pada industri UMKM menimbulkan kebutuhan yang besar bagi kebijakan finansial yang lebih inklusif.10 Saat ini, inklusi keuangan dipahami tidak hanya sebagai pemberian akses pada jasa keuangan semata, melainkan memastikan ketersediaan layanan keuangan yang terjangkau oleh kelompok-kelompok rentan. Dalam hal ini, inklusi keuangan tidak hanya diartikan sebagai adanya hubungan atau link kepada bank semata, melainkan inklusi secara perkreditan, asuransi, tabungan, dan pembayaran kepada orang-orang dan usaha-usaha.11 Inklusi keuangan tidaklah dipandang sebagai target pencapaian semata melainkan persamarataan manfaat yang datang dari pertumubuhan ekonomi di tengah masyarakat.12 Akses pada jasa keuangan telah menjadi faktor yang penting untuk mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mentransformasikan aktivitas produksi perekrutan untuk menghilangkan kemiskinan dan juga
5
Raras Minerva, “The Potential Of The Fintech Industry To Support The Growth Of SMEs in Indonesia,” (Tesis Magister Waseda Business School, Tokyo, 2016), hlm. 1. 6 Ibid. 7 Mira Indrayani, et.al., Panduan Praktis Menjadi Wirausahawan Sukses, (Jakarta, PT Master Printing, n.d.), hlm.18. 8 Deloitte, “Digital banking for small and medium-sized enterprises: Improving Access to Finance for the Underserved,” https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/sg/Documents/financial-services/sea-fsidigitalbanking-small-medium-enterprises-noexp.pdf diunduh 20 Januari 2018 9 Minerva, The Potential of the Fintech Industry, hlm. 17. Keberadaan industry UMKM di daerah pinggir dan pedesaan menghasilkan hambatan infrstruktur dan juga operasional untuk menghasilkan pelayanan jasa keuangan yang terjangkau dalam Shigehiro Shinozaki, A New Regime of SME Finance in Emerging Asia: Empowering Growth-Oriented SMEs to Build Resilent National Economics. Asia Development Bank Working Paper Series on regional Economic integration No. 104/ December 2012, Asia Development Bank, 10 Charles Harvey, et. al., eds., Small and Medium Enterprises (SMEs) Access to Finance in Selected East Asian Economies. ERIA Research Project Report 2010-14 (Jakarta: ERIA, 2011), hlm.265-266, 283, 284. 11 Kajole Nanda dan Mandeep Kaur, “Financial Inclusion and Human Development: A Cross-Country Evidence,” Management and Labour Studies 41 (2016), hlm 128. 12 Wardhono, The Determinants of Financial Inclusion, hlm. 478.
pengangguran.13 Inklusi keuangan mengurangi hambatan likuiditas dan dapat meningkatkan investasi.14 Inklusi keuangan menyediakan ruang untuk intermediasi finansial seperti transaksi pembayaran, fasilitas transfer uang, micro-credit, dan asuransi. Dengan kata lain, inklusi keuangan bertujuan untuk mengelimisasi segala bentuk hambatan akses untuk menggunakan jasa finansial yang telah ada.15 Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas keuangan yang lebih inklusif adalah melalui pengembangan teknologi komunikasi dan digital, dalam hal ini adalah fintech peer-to-peer lending (selanjutnya disebut fintech P2P). Keberadaan fintech P2P dan melesatnya perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia memungkinkan industri UMKM untuk mengakses pendanaan yang lebih inklusif. Meski demikian keberadaan fintech P2P tidak selalu memastikan kesusesan dari industri UMKM. Apabila belajar dari penerapan fintech P2P di negeri tiongkok, maka kesuksesan industry UMKM dalam mengutilisasi fintech P2P memerlukan tiga elemen utama: tingkat adopsi teknologi digital oleh perusahaan UMKM, literasi finansial dan terutama kerangka regulasi yang memadai.16 Hal ini disebabkan oleh karena fintech P2P dan pendanaan UMKM adalah investasi beresiko yang perlu untuk dikelola dan dimitigasi. Berbeda dengan pendanaan dari sektor perbankan, pendanaan yang dilakukan melalui fintech P2P tidak membebankan resiko pada penyelenggara fintech P2P, melainkan melimpahkannya langsung pada investor. Penyelenggara fintech P2P memiliki peran yang terbatas untuk menghubungkan peminjam dengan investor. Dilihat dari segi resiko, pelimpahan tanggung ini mengakibatkan investor terekspos pada resiko kredit langsung pada peminjam yang datang berdasarkan investasi. Melihat adanya karakteristik fintech P2P yang menimbulkan resiko langsung bagi para investor, maka peran penyelenggara dari fintech untuk menyediakan informasi bagi peminjam maupun investor menjadi sangat krusial. Terlebih lagi, sektor keuangan merupakan sektor yang terkena imbas dari fenomena digitalisasi karena sangat bertumpu pada penggunaan data dan informasi.17 Oleh karena itu, keberadaan regulasi menjadi sangat dibutuhkan untuk memitigasi resiko yang dihadapi para investor. Berdasarkan 13
Philippe Aghion dan Patrick Bolton, “A Theory of Trickle-Down Growth and Development,” The Review of Economic Studies 64 (1997), hlm. 170. 14 Thorsten Beck, Asli Demirguc-Kunt dan Vojislav Maksimovic, “Financial and legal constraints to growth: Does firm size matter?” Journal of Finance 60 (2005), hlm. 155. 15 Setyani Irmawati, Delu Damelia dan Dita Wahyu Puspita, “Financial Inclusion of Rural SMEs,” Journal of Economics and Policy (Jejak) 6 (2013), hlm. 132. 16 Minerva, The Potential Of The Fintech Industry, ibid. 17 Thomas Puschmann, “Fintech,” Open Research in Business and Information Systems Engineering 59 (2017), hlm. 69.
uraian tersebut di atas, maka penulis merumuskan dua permasalahan yang perlu untuk dijawab dalam tulisan ini, yakni: 1. Bagaimana POJK No. 77 tahun 2016 mengatur tanggung jawab penyelenggara fintech berbasis Peer to peer lending di Indonesia untuk menciptakan inklusi keuangan? 2. Bagaimana pengaturan tersebut ditinjau dari sudut pandang ketidakseimbangan informasi? Selayang Pandang Fintech P2P Fintech P2P merupakan salah satu inovasi yang berhasil dari perkembangan fintech selama dekade terakhir. Dengan mencocokkan kebutuhan dari investor yang mencari kemungkinan investasi alternatif dengan peminjam yang telah tereksklusi dari sektor kredit perbankan. Meski pasar fintech P2P telah cukup mencapai pengguna melebihi critical mass of users18, ia masih harus menyeimbangkan keberadaan resiko finansial dan memastikan solvabilitas dari penggunanya.19 Fintech P2P telah membantu investor mengefisiensikan portfolionya.20 Melalui fintech P2P, peminjam menyerahkan permohonan pinjaman dan menyediakan informasi keuangan terkininya, seperti credit score dan open credit lines. Informasi ini kemudian disamarkan dan ditawarkan oleh penyelenggara fintech P2P secara anonim kepada calon investor yang memutuskan berinvestasi dengan tujuan untuk mendapatkan bunga. Bunga sendiri ditawarkan dari keseluruhan nilai kredit investasi dari peminjam. Penyelenggara fintech P2P hanya akan mendapatkan sebagian dari investasi sebagai biaya jasa.21 Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa tidak seperti sektor perbankan, penyelenggara fintech P2P tidak menerima ancaman dari resiko kredit karena posisinya yang hanya mengintermediasikan peminjam dengan investor dan karenanya tidak perlu mengikutsertakan modal perusahaannya kepada peminjam. Akibatnya, penyelenggara fintech P2P tidak memerlukan cadangan terhadap berkurangnya modal dan dapat mengurangi biaya
18
Dalam teori network effect, critical mass of users merujuk pada angka ambang batas dimana nilai yang didapatkan dari sebuah barang atau jasa lebih besar atau sama dengan harga dari barang atau jasa tersebut. Karena nilai dari harga barang ditentukan oleh penggunanya maka setelah mencapai jumlah pengguna tertentu akan terdapat semakin banyak orang yang membeli barang atau jasa tersebut. Selengkapnya lihat Knut Blind, The Economics of Standards: Theory, Evidence, Policy, (n.l: Edward Elgar Publishing, 2004). 19 Carlotta Mariotto, “Competition for Lending in the Internet Era: The case of Peer-to-Peer Lending Marketplaces in the USA,” Digiworld Economic Journal 103 (2016), hlm, 37. 20 Perusahaan fintech menggunakan teknologi informasi untuk menganalisis resiko kredit yang ada dan mengkategorikannya pada kelompok resiko tertentu. Selengkapnya baca: Rainer Lenz, “Peer-to-Peer Lending: Opportunities and Risks”, European Journal of Risk Regulation 7 (2016), hlm. 688-700. 21 Ian Galloway, “Peer-to-Peer Lending and Community Development Finance,” Community Investments 21 (2009), hlm.19-23
pengeluarannya.22 Meski demikian, keberadaan fintech P2P bukanlah tanpa resiko. Dari keseluruhan tahapan yang ada dalam transaksi fintech P2P setidaknya terdapat sembilan jenis resiko yang dihadapi oleh investor, diantaranya adalah: pengecekkan kredit yang tidak memumpuni, intermediasi yang tidak memadai, pembayaran melebihi jatuh tempo, kurangnya likuiditas, kurangnya transparasi, kesalahan operasional dan teknis, resiko dari tangugng jawab hukum, leverage yang berlebihan, dan kurangnya etika dalam berusaha.23 Urgensi Pengaturan Tanggung Jawab Penyelenggara dalam Transaksi P2P Lending Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, fintech P2P mengandalkan pertukaran informasi dari para pihak. Pada kondisi awal terdapat ketidakseimbangan informasi24 antara investor dan peminjam yang perlu untuk dijembatani oleh perusahaan fintech P2P. Untuk dapat menjaga kualitas dari layanan yang diberikan fintech sebagai solusi dalam mewujudkan inklusi keuangan, maka kemampuan penyelenggara fintech P2P dalam mengelola informasi dan data menjadi amat krusial. Hal ini disebabkan karena selain daripada informasi yang disediakan penyelenggara fintech P2P, investor tidak memiliki sumber data untuk menilai kredit peminjam. Dalam poin tersebut, terdapat ketidakpastian yang bersifat intrinsik dari seluruh proyek investasi yang mengaburkan kemampuan peminjam untuk melunasi hutangnya. Selain itu tidak terdapat kepastian adanya kepatuhan dari peminjam untuk memenuhi kontraknya. Hal ini menjadikan evaluasi resiko kredit dalam transaksi fintech P2P menjadi esensial dalam keputusan investor. Hal ini berarti investasi yang terdapat dalam fintech P2P tidaklah dapat ditentukan secara pasti dalam satu pandang saja, melainkan membutuhkan penilaian yang sangat matang. Pada akhirnya dengan segala penilaian yang dilakukan, investor tidak akan benar-benar mendapat kepastian hingga ia melakukan investasi sendiri. Dengan demikian dalam perspektif ekonomi, investasi melalui fintech P2P tidak lagi dipandang sebagai search goods, tetapi sebagai experience goods atau bahkan credential goods.25
22
Lenz, Peer-to-Peer Lending, hlm. 692. Jiaqi Yan, Wayne Yu dan J. Leon Zhao, “How Signaling and Search Costs Affect Information Asymmetry in Fintech P2P - The Economics of Big Data,� Financial Innovation 19 (2015), hlm. 3. 24 Ketidakseimbangan informasi atau information asymmetry adalah sebuah kondisi di mana pihak yang memiliki informasi mengeksploitasi ketidaktahuan pihak atas informasi untuk kepentingan dirinya sendiri (dan pada saat yang sama menciptakan kerugian pada pihak lain yang tidak memiliki informasi). Kondisi information asymmetry ini dapat saja diatasi tanpa adanya campur tangan pemerintah, misalnya dengan menyediakan garansi atau jaminan-jaminan lainnya terkait kualitas produk. Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law & Economics, 6th ed. (Boston: Addison-Wesley, 2012), hlm. 41-42 25 Search goods adalah barang yang dapat diketahui nilainya melalui pengamatan awam. Experience goods adalah barang yang hanya dapat diketahui nilai dan kualitasnya setelah ia dibeli atau digunakan. Credential goods adalah barang yang tidak dapat diketahui nilai dan kualitasnya meski telah digunakan 23
Dalam sektor keuangan secara makro, informasi asimetris memiliki urgensi tersendiri untuk dibahas. Sektor keuangan merupakan sektor yang mudah terpengaruh oleh kelesuan ekonomi. Dalam kondisi ekonomi yang lesu diperparah informasi yang asimetris, para pihak tidak dimungkinkan untuk menilai solvensi dari pihak lainnya. Akibatnya para pihak terutama investor akan melakukan tindakan yang memperkecil resiko seperti menarik investasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketiadaan informasi menjadi potensi untuk menghasilkan resiko yang bersifat sistemik dan menciptakan spekulasi hingga berujung pada bubble economy.26 Selain itu, adanya informasi asimetris dalam industri kredit konsumen telah membawa dua konsekuensi utama, yakni adverse selection dan juga moral hazard.27 Adverse selection dirasakan oleh investor apabila ia tidak dapat membedakan proyek investasi dari sekian banyak peminjam dengan resiko kredit yang berbeda disaat si investor ingin mengalokasikan kreditnya. Moral hazard di sisi lain terjadi apabila peminjam menaruh pendanaannya pada proyek lain yang telah diperjanjikan sebelumnya dengan investor, yang tidak dapat mengawasi dan mengontrol para peminjamnya.28 Berdasarkan pemaparan di atas, permasalahan yang timbul kemudian adalah apakah terdapat jaminan atas kuantitas dan kualitas informasi yang digunakan oleh penyelenggara fintech P2P? Apakah mereka memiliki kemampuan yang cukup untuk mengolah data dari peminjam? Darimana ia mendapatkan data tersebut? Hal ini pada akhirnya menentukan keseimbangan informasi dalam transaksi yang terjadi pada fintech P2P.29 Hal ini menimbulkan urgensi untuk memastikan “jembatan” informasi yang disediakan oleh penyelenggara P2P berdiri dengan kokoh dan berfungsi dengan optimal. Oleh karena itu, diperlukan seperangkat regulasi untuk menstandarkan kemampuan penyelenggara fintech P2P untuk dapat menilai dan mengevaluasi data yang ada dari peminjam, baik secara digital maupun secara fisik.30 Status Quo Pengaturan Fintech P2P di Indonesia sekalipun. Selengkapnya baca Gilles Grolleau dan Sandoss Ben Abid, “Fair Trading in Markets for Credence Goods: An analysis Applied to Agri-food Producs”, Intereconomics 36(2001), hlm. 208-209. 26 William J. Magnuson, “Regulating Fintech”, Legal Studies Research Paper Series No. 17-55 (2017), hlm 23 dan 34 27 Dean Karlan dan Jonathan Zinman, "Observing Unobservables: Identifying Information Asymmetries With a Consumer Credit Field Experiment," Econometrica 77 (2009), hlm. 1993–2008. 28 Ricardo N. Bebczuk, Asymmetric Information in Financial Markets: Introduction and Applications, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. xi. 29 Yan, How Signaling and Search Costs, hlm 3-4; lebih lanjut, Yan, dkk., menyatakan bahwa pengolahan data seharusnya ditujukan untuk mengidentifikasi kemampuan membayar dari peminjam dan menentukan berapa jumlah kredit yang tepat untuk dialokasikan pada peminjam. 30 Selengkapnya lihat Olena Havrylchyk dan Marianne Verdier, “The Financial Intermediation Role of the Fintech P2P Platforms”, Comp Econ Stud (2018)
Meski penyelenggara fintech P2P di Indonesia telah ada sejak lama, regulasi yang komprehensif baru dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Desember 2016. Melalui Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (selanjutnya disingkat sebagai P-OJK 77), OJK memberikan landasan hukum terhadap penyelenggara fintech P2P di Indonesia.31 P-OJK 77 menyediakan dua landasan hukum bagi beroperasinya fintech P2P di Indonesia, yakni melalui pendaftaran dan juga izin. Pembedaan tersebut merupakan bentuk perwujudan dari mekanisme regulatory sandbox. Dalam hal ini, penyelenggara fintech P2P yang telah terdaftar dapat beroperasi selama 12 bulan sebelum pada akhirnya mendapatkan izin dari OJK. Hal ini ditujukan untuk meminimalisasi dampak dari penyelenggara fintech P2P kepada penggunanya tetapi di saat yang bersamaan memberikan kesempatan bagi mereka untuk berinovasi dan berkembang.32 Analisis Dalam konteks tanggung jawab hukum dari penyelenggara fintech P2P, P-OJK 77 telah memiliki berbagai prestasi yang layak diapresiasi namun masih terdapat kekurangan di beberapa sektor. Selanjutnya penulis akan memberikan analisis terhadap P-OJK 77 menggunakan prinsip perlindungan konsumen dan juga prinsip kehati-hatian serta manajemen resiko. Sebagai salah satu penyedia jasa keuangan berbasis teknologi, keberadaan fintech P2P memerlukan pengaturan untuk menjamin terlaksananya prinsip perlindungan konsumen. Adapun prinsip-prinsip tersebut diantaranya: transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen, dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, keberadaan konsumen terutama investor sebagai pengguna fintech P2P berada pada posisi yang lemah karena adanya informasi yang tidak seimbang dari peminjam dan juga penyelenggara fintech P2P itu sendiri. Dengan demikian prinsip perlindungan konsumen perlu ditujukan terutama bagi investor mengingat besarnya resiko yang dipikulnya. Untuk mengatasi ketidakseimbangan informasi, P-OJK 77 telah memberikan beberapa tanggung jawab hukum kepada penyelenggara fintech P2P. Pertama, Pasal 30 P-OJK 77 memberikan kewajiban dari penyelenggara fintech P2P untuk menyediakan dan/atau 31
Kevin Davis, Rodney Maddock, dan Martin Foo, “Catching up with Indonesia’s Fintech Industry,� Law and Financial Markets Review 11 (2017), hlm. 33. 32 Ibid., hlm. 37.
menyampaikan informasi terkini mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. Tidak hanya di situ, informasi yang diberikan tersebut diakui sebagai alat bukti yang dapat digunakan pada pengadilan. Hal ini telah menunjukkan antisipasi dari OJK terhadap pentingnya informasi bagi para pengguna layanan fintech P2P untuk mengatasi informasi yang asimetris. Lebih lanjut, Pasal 17 P-OJK 77 telah memberikan kewajiban kepada penyelenggara fintech P2P untuk memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh investor dan peminjam dengan mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional. Hal ini dapat dijadikan standar untuk menilai informasi yang diberikan oleh penyelenggara fintech P2P. Meski demikian penulis memandang bahwa belum terdapat kewajiban fintech P2P untuk menilai resiko yang terdapat dalam investasi yang ditawarkannya. Penulis berpendapat bahwa Pasal 17 dan Pasal 30 P-OJK 77 belum cukup untuk memberikan tanggung jawab terhadap penyelenggara fintech P2P untuk menyediakan informasi terkait dengan kesehatan dan resiko dari investasi. Hal ini disebabkan redaksional dalam norma hukum yang terkandung dalam kedua pasal pada P-OJK 77 masih bersifat normatif dan umum. Sebaliknya, keberadaan informasi sangat dibutuhkan oleh pengguna terutama investor. Penulis memandang bahwa ketiadaan pengaturan tersebut tidak memberikan beban kepada penyelenggara fintech P2P untuk bertanggung jawab atas kualitas informasi yang disediakannya kepada para pengguna. Dengan demikian masih terdapat celah ketidakseimbangan informasi yang belum terakomodir oleh P-OJK 77. Terakhir, penulis belum melihat upaya dari OJK sebagai regulator untuk menstandarkan kemampuan penyelenggara fintech P2P dalam mengolah data penggunanya. Apabila kita meninjau dari prinsip kehati-hatian dan manajemen resiko, P-OJK 77 telah membebankan penyelenggara fintech P2P untuk memiliki system mitigasi resiko. Pasal 21 hingga 24 P-OJK 77 secara khusus mengatur mengenai mitigasi resiko. Penjelasan Pasal 21 P-OJK 77 lebih lanjut menjelaskan bahwa resiko yang perlu dimitigasi oleh penyelenggara fintech P2P mencakup resiko operasional dan risiko kredit. Penulis memandang bahwa pada intinya POJK 77 menginginkan agar penyelenggara fintech P2P ikut mengelola ketidakseimbangan informasi tersebut melalui upaya mitigasi resiko. Akan tetapi, P-OJK 77 tidak memberikan standar tertentu terhadap tingkat mitigasi risiko yang sesuai dengan lini usaha dari fintech P2P. Dalam hal ini OJK tidak mengatur kualifikasi dan kesiapan dari suatu penyelenggara fintech P2P untuk mengolah data dan informasi yang ada. Mengingat pentingnya informasi
dalam fintech P2P, ketiadaan persyaratan akan kualifikasi kemampuan penyelenggara fintech P2P dalam mengolah data justru akan mengurangi manfaat yang dibawakan olehnya. Hal ini pada akhirnya akan tetap menyisakan ketidakseimbangan informasi yang ada dalam investasi melalui fintech P2P. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaturan P-OJK 77 tidak memiliki dampak yang signifikan untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi dalam fintech P2P itu sendiri. Kesimpulan Pesatnya perkembangan Fintech di Indonesia memiliki potensi untuk memberikan manfaat maupun ancaman bagi stabilitas perekonomian negara. Oleh karena banyaknya UMKM yang belum menikmati layanan jasa keuangan formal, kehadiran Fintech dapat menjadi sarana akselerasi inklusi keuangan terutama bagi UMKM yang berpotensi besar menyokong perekonomian negara. Kerjasama antara pihak penyelenggara (operator), pengguna atau masyarakat, dan pemerintah sangat dibutuhkan guna terwujudnya inklusi keuangan tersbut. sebagai pembentuk kebijakan. Sebaliknya, apabila tidak diantisipasi dengan baik, keberadaan Fintech dapat menjadi ancaman bagi Indonesia khususnya masyarakat sebagai pengguna layanan keuangan berbasis teknologi ini. Oleh karena itu, pemerintah harus dituntut membentuk peraturan yang dapat memberikan kebermanfaatan dan mampu mewadahi baik dari segi pengguna maupun penyelenggara Fintech khushsnya dalam segi akses terhadap informasi berbasis teknologi. Pemerintah harus memastikan bahwa pengaturan yang dibentuk dapat melindugi pengguna, mengembangkan inovasi serta mencapai tujuan dari pengaturan tersebut.33 Pembentuk kebijakan harus mampu mempertimbangkan antara resiko yang dapat ditimbulkan, taanggung jawab penyelenggara Fintech, kecanggihan teknologi pendukung, perlindungan terhadap konsumen atau pengguna dan tanpa membatasi inovasi dari penyelenggara Fintech untuk terus mengembangkan usahanya. Oleh karena itu pula, hal yang perlu menjadi fokus utama pemerintah dalam mengembangakan pengaturan Fintech adalah mengenai tanggung jawab penyelenggara Fintech secara lebih detail, yang mana saat ini pengaturan mengenai tanggung jawab penyelenggara belum terarah dan terperinci. Melalui pengaturan mengenai tanggung jawab penyelenggara tersebut nantinya diharapkan akan mampu mengembangkan usaha Fintech di Indonesia serta dapat terus memberikan kepercayaan kepada masyarakat dalam penggunaan jasa layanan keuangan berbasis teknologi ini dan dapat mewujudkan program inklusi keuangan. 33
Alan Mcquinn, Weining Guo dan Daniel Castro, Policy Principles for Fintech, (Washington, D.C.: Information Technology & Innovation Foundation, 2016), hlm. 32.
Saran Berdasarkan analisis yang dipaparkan di atas, penulis menyarankan agar OJK segera mengeluarkan landasan hukum baru yang lebih baik untuk mengatur fintech P2P di Indonesia. Adapun substansi yang menjadi perhatian penulis adalah mengenai tanggung jawab hukum penyelenggara fintech P2P untuk menyediakan informasi dan juga standar informasi yang selayaknya diberikan dalam rangka memitigasi risiko. Hal ini mengingat keberadaan penyelenggara fintech P2P sebagai intermediator antara kedua sisi dari pasar baik investor maupun peminjam. Fintech P2P perlu untuk menghadirkan informasi yang dapat mengurangi ketidakseimbangan informasi dari transaksi melalui fintech tersebut. Hal ini nantinya akan berpengaruh positif pada iklim investasi melalui fintech P2P yang diharapkan dapat meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.
Daftar Pustaka: Aghion, Philippe dan Patrick Bolton. “A Theory of Trickle-Down Growth and Development,” The Review of Economic Studies 64 (1997). Hlm. 151–172. Deloitte, “Digital banking for small and medium-sized enterprises: Improving Access to Finance
for
the
Underserved,”
https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/sg/Documents/financial-services/seafsidigital-banking-small-medium-enterprises-noexp.pdf diunduh 20 Januari 2018 Bebczuk, Ricardo N. Asymmetric Information in Financial Markets: Introduction and Applications. Cambridge: Cambridge University Press, 2005. Beck, Thorsten, Asli Demirguc-Kunt dan Vojislav Maksimovic. “Financial and legal constraints to growth: Does firm size matter?” Journal of Finance 60 (2005). Hlm. 131177. Blind, Knut. The Economics of Standards: Theory, Evidence, Policy. n.l: Edward Elgar Publishing, 2004. Cooter, Robert dan Thomas Ulen, Law & Economics, 6th ed. Boston: Addison-Wesley, 2012. Davis, Kevin, Rodney Maddock, dan Martin Foo. “Catching up with Indonesia’s Fintech Industry,” Law and Financial Markets Review 11 (2017). Hlm. 33-40 Galloway, Ian. “Peer-to-Peer Lending and Community Development Finance,” Community Investments 21 (2009). Hlm. 18-23. Grolleau, Gilles dan Sandoss Ben Abid. “Fair Trading in Markets for Credence Goods: An analysis Applied to Agri-food Products,” Intereconomics 36 (2001), hlm. 208-214. Harvey, Charles. et. al., eds. Small and Medium Enterprises (SMEs) Access to Finance in Selected East Asian Economies. ERIA Research Project Report 2010-14. Jakarta: ERIA, 2011. Havrylchyk, Olena dan Marianne Verdier. “The Financial Intermediation Role of the Fintech P2P Platforms”, Comp Econ Stud (2018). Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118.
Indrayani, Mira. et.al. Panduan Praktis Menjadi Wirausahawan Sukses. Jakarta: PT Master Printing, n.d. Irmawati, Setyani, Delu Damelia dan Dita Wahyu Puspita. “Financial Inclusion of Rural SMEs,” Journal of Economics and Policy (Jejak) 6 (2013). Hlm. 103-213. Karlan, Dean dan Jonathan Zinman, "Observing Unobservables: Identifying Information Asymmetries With a Consumer Credit Field Experiment," Econometrica 77 (2009), hlm. 1993–2008. Lenz, Rainer. “Peer-to-Peer Lending: Opportunities and Risks”, European Journal of Risk Regulation 7 (2016). Hlm. 688-700 Magnuson, William J., “Regulating Fintech”, Legal Studies Research Paper Series No. 17-55 (2017).
Mariotto, Carlotta. “Competition for Lending in the Internet Era: The case of Peer-to-Peer Lending Marketplaces in the USA,” Journal of Communications and Strategies (2016). Mcquinn, Alan, Weining Guo dan Daniel Castro. Policy Principles for Fintech. Washington, D.C.: Information Technology & Innovation Foundation, 2016. Minerva, Raras “The Potential Of The Fintech Industry To Support The Growth Of SMEs in Indonesia,” Tesis Magister Waseda Business School, Tokyo, 2016. Nanda, Kajole dan Mandeep Kaur. “Financial Inclusion and Human Development: A CrossCountry Evidence,” Management and Labour Studies 41 (2016). Hlm 127-153 Puschmann, Thomas. “Fintech,” Open Research in Business and Information Systems Engineering 59 (2017). Hlm. 69-76. Shinozaki, Shigehiro. A New Regime of SME Finance in Emerging Asia: Empowering Growth-Oriented SMEs to Build Resilent National Economics. Asia Development Bank Working Paper Series on regional Economic integration No. 104/December 2012, Asia Development Bank, 2012. The World Bank. (2011). "World Development Report 2011: Conflict, Security and Development".
Wardhono, Adhitya, Ciplis G. Qori’ah dan Yulia Indrawati, “The Determinants of Financial Inclusion: Evidence from Indonesian Districts”, International Journal of Economic Perspectives 10 (2016), hlm. 472-483. Yan, Jiaqi, Wayne Yu dan J. Leon Zhao, “How Signaling and Search Costs Affect Information Asymmetry in Fintech P2P - The Economics of Big Data,” Financial Innovation 19 (2015). Hlm. 1-11.