"Efektivitas Sanksi Pemiskinan Bagi Koruptor"

Page 1

Efektivitas Sanksi Pemiskinan bagi Koruptor Oleh : Asian Law Student’s Association Local Chapter Universitas Jember

Korupsi seakan sudah menjadi perilaku yang membudaya dan seperti penyakit tumor perlahan-lahan menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir seluruh lembaga-lembaga negara di Indonesia terjangkit penyakit korupsi, seakan tak ada tempat yang steril dari korupsi di negeri ini. Bahkan korupsi sudah mulai mewabah ke golongan aparat penegak hukum yang seharusnya menghukum koruptor, mereka malah menjadi tersangka dan terdakwa kasus korupsi. Terbukti dengan banyaknya OTT yang dilakukan KPK menangkap para panitera dan hakim-hakim nakal. Setiap berganti kekuasaan, pemberantasan korupsi selalu masuk dalam janji kampanye yang selalu diagung-agungkan saat berpidato. Namun setelah menempati kursi kekuasaan, janji akan memberantas korupsi seakan menjadi angin lalu. Sehingga dorongan komitmen pemerintah untuk memberantas penyakit korupsi ini selalu digaungkan masyarakat yang peduli terhadap isu-isu anti korupsi. Banyak yang mempertanyakan, mengapa indeks korupsi setiap tahun selalu naik. Apakah sistem perundang-undangan yang tak sempurna, atau aparat hukum kita yang memang masih pelit untuk memberi jera kepada koruptor? Sehingga muncul beragam ide untuk membuat koruptor ini jera dan agar orang yang mempunyai niat melakukan korupsi enggan melakukannya. Salah satunya dengan wacana memiskinkan harta para koruptor, isu ini bukanlah hal baru namun selalu hangat jika terjadi kasus korupsi. Ide itu sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, yang memuat rumusan hukuman berupa kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar uang yang dikorupsi. Tak cukup itu saja, pengaturan mengenai sanksi hukum dalam perkara korupsi, juga memuat mengenai kewajiban membayar denda. Namun masyarakat merasa, dengan membayar ganti rugi dan denda itu kurang efektif. Seseorang yang sudah dijatuhi hukuman penjara karena terbukti korupsi pun tak langsung jatuh miskin. Masih ingat Gayus Tambunan? Yang hanya seorang pegawai negeri golongan tiga namun bisa mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk menyuap para penegak hukum agar dia lepas dari jerat hukum. Bahkan saat ditahan, terdakwa masih bisa memberikan ratusan juta rupiah sebagai upeti kepada para penjaga Rumah Tahanan, sehingga dia bisa


bebas keluar masuk rutan. Itulah latar belakang mengapa masyarakat ingin koruptor dimiskinkan.

Dalam prakteknya, seringkali terjadi tuntutan pidana maupun vonis majelis hakim lebih ringan dari hukuman maksimal yang dicantumkan dalam undang-undang. Begitu pula hakim memberikan vonis kepada terdakwa perkara korupsi lebih ringan dari hukuman yang dituntut oleh penuntut umum. Mustahil untuk memberikan efek jera bagi seorang koruptor jika hukuman yang diberikan kebanyakan masih ringan. Hukuman yang jauh lebih rendah dari sanksi maksimal juga tidak akan bisa menimbulkan rasa takut bagi orang lain untuk melakukan korupsi, mereka malah akan berpikir untuk korupsi dan jika tertangkap mereka bisa melakukan seperti apa yang dilakukan Gayus, menggunakan harta dari hasil korupsi untuk menyuap aparatur hukum. Meski pemiskinan koruptor masih hanya sebatas wacana, perlu dikaji kembali usulan itu dituangkan dalam peraturan perundang-undangan khusus untuk penerapannya. Namun, efektifkah pemiskinan koruptor untuk memberantas korupsi? Jika korupsi dilakukan secara radikal, seharusnya pemberantasannya juga dilakukan secara radikal. Indonesia mungkin perlu meniru bagaimana Tiongkok yang pemerintahannya membuktikan ketegasan sikap dan tidak gentar memberantas korupsi dengan memberlakukan hukuman mati tanpa pandang bulu. Jika pemiskinan bagi pelaku tindak pidana korupsi dituangkan dalam rumusan undang-undang khusus tersendiri atau dengan dimasukan dalam revisi Undang-Undang Tipikor maka semakin kokoh tekad dalam rangka memberantas korupsi. Sayangnya, hanya sampai pada tekad. Percuma jika prakteknya tetap permisif terhadap korupsi. Undang-undang pemberantasan korupsi sehebat apapun hanyalah ibarat macan kertas yang ompong, selama sikap tebang pilih penegakan hukum masih menjadi kebiasaan penguasa, dan juga penegak hukum. Meski di Tiongkok menerapkan hukuman mati bagi koruptor, namun dirasa hukuman mati sudah tidak efektif lagi apalagi ada nilai kemanusiaan yang dilanggar. Sehingga memiskinkan koruptor dirasa lebih realistis untuk menekan angka pertumbuhan korupsi dan memberikan efek jera. Penanganan kasus korupsi di Indonesia dan China, menurut data Transparansi Internasional menunjukkan angka pencapaian yang menggembirakan. Berdasar Indeks Prestasi Korupsi (IPK) pada tahun 2004 Indonesia berada di 2,0 dan tahun 2011


menjadi 3,0. Artinya, ada kenaikan 1 digit dan itu jauh lebih baik ketimbang di China. Di China, pada 2004 berada pada 3,4, dan 2011 mencapai 3,61. Artinya hanya naik 0,2 basis poin. Indonesia ada capaian naiknya 5 kali dari China. Cuma memang banyak pihak merasa belum puas dengan pemberantasan korupsi karena masih banyak praktek-praktek korupsi yang tertangkap oleh KPK. Dalam waktu dekat, perlunya wacana pemiskinan terhadap para koruptor didorong masuk dalam aturan perundang- undangan. Dengan dorongan dari Pemerintah dan DPR RI terutama Komisi III untuk menindaklanjutinya dalam Prolegnas. Karena negara kita sekarang sudah darurat korupsi, konsep pemiskinan terhadap koruptor ini sangat diperlukan mengingat banyak koruptor tidak takut terhadap ancaman penjara. Hal ini karena hukuman penjara masih memiliki celah agar hukuman yang dijatuhkan bisa diatur lebih ringan. Dengan memberikan hukuman pemiskinan dirasa sudah setimpal, agar mereka bisa merasakan bagaimana kehidupan rakyat miskin yang disebabkan oleh ulah mereka yang korup. Pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab kita bersama.

1 Data Transparansi Internasional 2011


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.