KONSEP INKRAHNYA PUTUSAN PENGADILAN : PROBLEMATIKA DAN UPAYA MEMINIMALKAN DISPARITAS DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) DI INDONESIA Oleh : Isakh Benyamin Manubulu1
ABSTRAK Disparitas (disparity: dis-parity) pada dasarnya adalah negasi dari konsep paritas (parity) yang artinya kesetaraan jumlah atau nilai. Memahami disparitas sebagai sebuah fenomena maka penyusunan journal ini merumuskan beberapa permasalahan yang akan diuraikan diantaranya Apakah Faktor-Faktor Yang Mengakibatkan Terjadinya Disparitas Putusan Pemidanaan Oleh Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia? Bagaimana Upaya Meminimalkan Terjadinya Disparitas Putusan Pemidanaan Dalam Tindak Pidana Korupsi?. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya disparitas dalam lembaga peradilan sekaligus menguraikan solusi yang harus diterapkan dalam penyelesaian permasalahan ini. Dalam hal identifikasi permasalahan terkait, metode yang digunakan ialah metode empiris dengan jenis pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual. Pada akhirnya, penyusunan journal ini bermuara pada simpulan bahwa faktor yang menyebabkan disparitas putusan pengadilan dimotivasi oleh sistem hukum, faktor perundangundangan, status internal majelis hakim serta faktor yang bersumber dari peristiwa yuridis yang meliputi aspek filosofi, sosiologis, psikologis dan edukatif; sehingga upaya yang bisa diterapkan untuk memperbaiki kondisi ini ialah dengan merevisi undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang telah ada. Kata Kunci : disparitas, putusan hakim, yuridis, revisi, aspek psikologis, kepentingan.
ABSTRACT Disparity (disparity: dis-parity) basicly is a negation from the parity consept which is mean the equivalence of the quantity or percentage. In undestanding the concept of disparity as a phenomenon, therefore this journal choose this topic and formulate several problems of the study. Those are; what is the factors that make disparity can be happened in judicial corruption? How the eforts to minimalize disparity in judical corruption?. The purpose is to identify the factor in judicial corruption in Indonesia as well as describimg the solution that should be reliezed in this case. In the order to identify this case, the method that will be used is empirical method with the legal approach and the conceptual approach. In the end, this journal tell us about the conclusion that the factor which make disparity in judicial corruption in Indonesia motivated by the aspect of philosopie, sociological, pshicology and educative. therefore the effort that can be used to solve this condition is revise the ordonantie about the criminal act of corruption in Indonesia. Keywords : Disparity, judicial decision, juridical, revision, pshicology aspect and interest.
1
Mahasiswa Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, alamat Jalan Pulau Menjangan No. 20 Desa Dauh Puri Kelod, Denpasar Barat, Email : isakhbenyaminmanubulu@gmail.com; Journal ini disusun berdasarkan hasil Penelitian Klinik Hukum Pidana oleh Anantha Pramagita dengan persetujuan oleh pihak ybs untuk melakukan perbaikan pada beberapa bagian.
I.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Konsep peradilan sendiri dikenal dengan istilah “court� dalam bahasa
Inggris
menyelesaikan
yang perkara
ditafsirkan hukum.1
sebagai Lembaga
sebuah
proses
peradilan
dalam
menjalankan fungsinya menegakkan hukum dan keadilan dalam konteks negara hukum yang demokratis merupakan lembaga yang bebas dan merdeka dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis. Prinisp bebas dan merdeka ini memberikan kewenangan yang begitu besar bagi lembaga peradilan (hakim) dalam menjalankan tugasnya yakni, memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Bahkan dengan adanya prinsip tersebut, ada yang berpandangan bahwa lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya tidak boleh di intervensi oleh siapapun. Sudah menjadi sebuah anggapan umum bagi orang awam bahwa benteng terakhir untuk memperoleh keadilan secara legal adalah melalui proses penyelesaian perkara di lembaga peradilan oleh para pencari keadilan (justisiabel) untuk menentukan apakah
1 Dely Bunga Saravistha, 2016, Peran Ganda Hakim Sebagai Mediator Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Di Pengadilan Terkait Kode Etik Provesi, Journal Magister Hukum Udayana, Vol. 5, No. 1 Denpasar, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas udayan,hlm. 32.
seorang terdakwa akan diputus bebas (vrinjspraak), lepas (onstlaag) ataukah dipidana (veroodeling).2 Hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan memiliki posisi dan peran yang sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya. Seorang hakim, melalui putusannya dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat bahkan dapat menghilangkan hak hidup seseorang.3 Kewenangan hakim yang begitu besar itu, dilaksanakan dalam upaya penegakan hukum, kebenaran dan keadilan. kewenangan itu menuntut tanggung jawab yang besar, karena putusannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara horizontal dan vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.4 Kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang telah memberikan kewenangan yang besar bagi hakim dalam memutus perkara, erat kaitannya dengan kemunculan disparitas pemidanaan. Disparitas pemidanaan merupakan salah satu topik penting yang selalu dikaitkan dengan kemerdekaan kekuaasan kehakiman. Disparitas pemidanaan memiliki makna terdapatnya perbedaan besaran
2
I Gede Winartha Indra Bhawana, 2016, Independensi dan Impartialitas Hakim Perspektif Teoritik-Praktik Sistem Peradilan Pidana, Journal Magister Hukum Universitas Udayana, Vol. 5, No. 1, Denpasar, Program Studi Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas udayan,hlm. 185. 3 Jimly Asshidiqie, 2013, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Rajawali Pers, Jakarta, h.45. 4 I Gede Winartha Indra Bhawana, Op.cit,hlm.186
hukuman yang diajtuhkan pengadilan dalam perkara-perkara yang memiliki karakteristik yang sama.5 Disparitas (disparity: dis-parity) pada dasarnya adalah negasi dari konsep paritas (parity) yang artinya kesetaraan jumlah atau nilai. Dalam konteks pemidanaan paritas artinya adalah kesetaraan hukuman antara kejahatan yang hampir sama dalam kondisi yang hampir sama.6 Dengan demikian disparitas adalah ketidaksetaraan hukuman antara kejahatan yang serupa (same offence) dalam kondisi atau situasi serupa (comparable circumstance).7 Disparitas pidana menurut Barda Nawawi dan Muladi adalah:8 a.
Penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama
b.
Penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang beratnya dapat diperbandingkan
c.
Penerapan pidana yang tidak sama terhadap mereka yang bersama-sama melakukan tindak pidana (deelneming, Pasal 55 KUHP).
Tama S. Langkun et. al., 2014, “Studi Atas Disparitas Putusan Pemdanaan Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, h. 9. 6 Allan Manson, 2001, “The Law of Sentencing Irwin Law”, h. 92-93. 7 Litbang Mahkamah Agung, 2010, Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, h. 6. 8 Muladi dan Barda Nawawi, 1984, Teori-teori dan Kebjikanan Pidana, Alumni, Bandung, h. 124. 5
Pada dasarnya adanya perbedaan dalam penjatuhan hukuman atau disparitas pemidanaan merupakan suatu hal yang wajar, karena dapat dikatakan, hampir tidak ada perkara yang memang benar-benar sama. Oemar Seno Adji menyatakan bahwa disparitas pemidanaan dapat dibenarkan terhadap penghukuman delik-delik yang terbilang cukup berat, namun disparitas pemidanaan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan pembenaran yang wajar dan jelas.9 Disparitas pemidanaan baru menjadi permasalahan ketika rentang perbedaan hukuman yang dijatuhkan antara perkara serupa sedemikian besar, sehingga menimbulkan ketidakadilan serta dapat menimbulkan kecurigaan-kecurigaan di masyarakat. Terjadinya disparitas pemidanaan dalam tindak pidana korupsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni faktor sistem hukum, faktor perundang-undangan, faktor yang bersumber dari majelis hakim, dan faktor yang bersumber dari peristiwa pidana.10 Keempat faktor inilah yang mengakibatkan terjadinya suatu disparitas pemidanaan dalam tindak pidana korupsi tidak bisa dihindari. Faktor perundang-undangan merupakan faktor yang sangat berkontribusi terhadap terjadinya disparitas pemidanaan. Menurut Muladi, disparitas pidana itu dimulai dari hukum itu
9 Komisi Yudisial, 2014, Disparitas Putusan Hakim “Identifikasi dan Implikasi�, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta Pusat, h.39. 10 Ibid., h. 252.
sendiri. Salah satu contohnya adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam memutus perkara. Ancaman perumusan pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasa Korupsi, tidak ada pedoman yang jelas tentang pemidanaan dalam penjatuhan pidana minimum dan maksimum. Adanya disparitas yang tidak didasarkan oleh alasan-alasan yang jelas dan wajar tentu akan menyebabkan ketidakadilan bagi para pencari keadilan. Disparitas pidana yang demikian akan mengakibatkan masyarakat menjadi apatis terhadap hukum. Lebih lanjut bahkan akan memunculkan kecemburuan sosial dan juga citra negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan. Kepercayaan masyarakat perlahan akan menurun pada peradilan, sehingga menimbulkan kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana.11 Melihat dampak yang ditimbulkan akibat adanya disparitas pemidanaan khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi,
Akhmad, 2013, “Tinjauan Yuridis Terhadap Disparitas Pidana Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi�, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, h. 4. 11
maka sudah seharusnya dilakukan upaya untuk meminimalkan terjadinya disparitas.
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Apakah Faktor-Faktor Yang Mengakibatkan Terjadinya Disparitas Putusan Pemidanaan Oleh Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia? 1.2.2 Bagaimana Upaya Meminimalkan Terjadinya Disparitas Putusan Pemidanaan Dalam Tindak Pidana Korupsi?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1.3.1
Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi
penyebab disparitas putusan pemidanaan perkara dalam tindak pidana korupsi di Indonesia. 1.3.2
Untuk
mengetahui
upaya
apa
saja
yang
dapat
dilakukan untuk meminimalkan terjadinya disparitas putusan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi.
II.
Metode Penelitian Metode merupakan sebuah sarana untuk mendapatkan kesimpulan terkait variable yang ditentukan. Proses Pencarian
ditempuh berdasarkan sebuah prinsip metodis dan umumnya dipahami sebagai pengaetahuan yang benar untuk menjawab sebuah problem di bidang hukum.12 Berkenaan dengan itu, maka penyusunan journal ini berpatokan pada metode empiris, yang dimana hukum dikonsepkan sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variable-variabel sosial yang lain.13 Serta pendekatan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach).
III. Hasil dan Pembahasan 3.1 Problem Maker Disparitas Dalam Proses Pengambilan Putusan Hakim Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan, beberapa hal yang setidaknya melatarbelakngi adanya disparitas dalam pengambilan putusan oleh hakim di Indonesia diantaranya terdiri dari : 1.
Sistem hukum Ditinjau dari sistem hukum, Indonesia adalah sebuah
negara penganut sistem sistem Hukum Eropa Kontinental (civil
12 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGarfindo Persada, Jakarta, h.19. 13 Amirrudin dan Zainal Asikin, op.cit., h. 133.
law system).14 Dianutnya civil law system yang menitik beratkan
pada
peraturan
perundang-undangan,
tentu
membawa akibat terjadi suatu disparitas. Hal ini tentu berbeda dengan negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon yang menitik beratkan hukum pada suatu yurisprudensi.15 Walaupun
dalam
civil
law
system,
yurisprudensi
merupakan ‘persuasive precedent� akan tetapi tidak mengikat secara formil bagi hakim lain atau tidak mesti wajib diikuti. Hal ini jelas berbeda dengan yurisprudensi dalam sistem Anglo Saxon yang menganut asas preseden yang bersifat the binding force precedent, yang artinya putusan peradilan tertinggi dalam kasus tertentu harus selalu diikuti oleh hakim-hakim lain di bawahnya yang menangani perkara yang hampir serupa.
2.
Faktor Perundang-undangan Peraturan perundang-undangan yang tidak memberikan
pedoman pemberian pidana pada hakim dalam menetapkan pemidanannya, merupakan salah satu faktor terjadinya disparitas pemidanaan. Khusus dalam hal ini UU Tindak Pidana Korupsi, ketentuan pidannya memang mengatur tentang batas hukuman minimum dan batas hukuman
14 Titik Triwulan Tutik, 2008, Konstruksi Tata Negara Indoensia Pasca Amandemen UUD 1945, Surabaya: Kencana.,hlm. 144. 15 Tama S. Langkun et. al, op.cit., h. 39.
maksimumnya, akan tetapi patokan/ pedoman tentang pola pemidanaan tidak diperinci dengan jelas, sehingga potensi untuk terjadinya disparitas sangat besar. Sebagai contoh, hal tersebut dapat dilihat dalam bunyi Pasal 216 dan Pasal 317. Berdasarkan rumusan pasal diatas, dapat dilihat bahwa pasal-pasal tersebut masih ada rentang hukuman yang cukup besar antara hukuman minimum dan maksimum, selain itu dalam pasal tersebut perbuatan yang diatur bersifat sangat luas, karena itu disparitas pemidanaan dalam perkara tindak pidana korupsi sangat sering terjadi. Kebebasan menetapkab
yang
diberikan
kepada
sebuah
putusan
sebagai
hakim bagian
untuk dari
administration of justice perlu untuk dibarengi dengan sistem control of discretion.18 Seperti halnya yang disampaikan oleh Abdinsky Howard bahwa proses penegakan hukum secara umum harus mencangkup statutes (ditafsirkan sebagai batasan
hukum),
administration
rules
(sekelompok
16 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 17 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 18 I Gede Winarta Indra Bhawana, Op.cit.,hlm.197.
administrasi
criminal
justice),
dan
supervisory
controls
(pengawasan).19
3.
Faktor yang bersumber dari majelis hakim Pemahaman ideologis yang beragam terhadap suatu nilai-
nilai dasar atau falsafah penghukuman, merupakan pemicu terjadinya disparitas yang bersumber dari hakim itu sendiri.20 Hakim yang mengikuti aliran hukum pidana klasik dengan hakim
yang
mengikuti
aliran
hukum
pidana
modern
cenderung akan melahirkan putusan yang berbeda. Lingkungan
sosial
yang
mempengaruhi
kepribadian
hakim juga merupakan faktor terjadi disparitas pemidanaan yang bersumber dari hakim. Tidak dapat dipungkiri bahwa seorang hakim sangat sulit untuk menutup diri terhadap faktor-faktor tersebut dalam proses pengambilan keputusan untuk penjatuhan pemidanaan. 4.
Faktor yang bersumber dari peristiwa pidana Faktor-faktor yang berkaitan dengan peristiwa pidana ini
meliputi sikap batin dari terdakwa, peran serta tanggung jawab terdakwa atas terjadinya pertistawa pidana dan hal-hal ynag meringkankan
dan
memberatkan.21
Selain
hal
tersebut
19 Abdinsky Howard, 1984, Discretionary Justice an Introduction to Discretion in Criminal Justice, USA: Charles C.Thomas Publisher Spring Field-Illionis, hlm. 10 20 Tama S. Langkun et. al, op.cit., h. 40. 21 Tama S. Langkun et. al, op.cit., h. 40.
menurut Adly, penyebab terjadinya disparitas pidana adalah peran terdakwa yang berbeda-beda dalam persitiwa pidana tersebutm
hasil
korupsi
yang
diperoleh
yang
berbeda,
pengembalian uang negara (ada yang tidak mengembalikan dan
ada
yang
mengembalikan),
serta
hakim
yang
menyidangkan berbeda-beda.22 Terlalu jauhnya rentang waktu pidana minimum dan maksimum
dalam
UU
Tindak
Pidana
Korupsi,
telah
memberikan diskresi yang luas bagi hakim dalam pengambilan keputusan penjatuhan pidana. Rumusan pasal 2 dan pasal 3 dalam UU Tindak Pidana Korupsi dirasa terlalu luas, maksudnya adalah pasal 2 dan pasal 3 tidak membedakan hukuman orang yang korupsi 10 juta dengan 20 milyar, tidak juga membedakan hukuman korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara seperti Presiden, DPR dengan korupsi yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil dengan pangkat 3a yang notabene melakukan korupsi by need. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas berdasarkan wawancara penulis menurut Made Sukereni yang merupakan Hakim Tetap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
22
Komisi Yudisial, op.cit., h.255.
Bali pada tanggal 9 November 2017, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan yakni: 1. 2.
3. 4. 5.
Aspek Yuridis Teoritis (merupakan aspek yang melihat dari segi kualitas dan pertanggungjawaan tindakan) Aspek Filosofis (perspektif ontologis, epistemologis, serta aksiologis yang secara radikal dan holistic memberikan pemahaman dan pencerahan terhadap proses penegakan hukum) Aspek Psikologis (Upaya untuk menanamkan rasa malu yang bersifat psikis kepada pelaku) Aspek Sosiologis (perpektif hidup bermasyarakat) Edukatif Paedagogis (considerasi yang bersifat edukatif, konstruktif dan motivatf bagi kehidupan terdakwa di masa yang akan datang)
3.2 Upaya Yang Dilakukan Dalam Mengantisipasi Terjadinya Disparitas Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih
jenis
pidana
(strafsoort)
yang
dikehendaki,
sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif didalam pengancaman pidana didalam Undang-Undang. Prof. Sudarto, S.H. menyatakan sebagai berikut:23 “KUHP tidak memuat pedoman pemberian pidana (straftoemetingsleiddraad), yang umum ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana yang ada hanya aturan pemberian pidana (straftoemetingsregels).�
23
Muladi, Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h. 57.
Dalam konteks kasus ini UU TPK tidak memberikan pedoman pemberian pidana bagi hakim dalam menjatuhkan pidana yang ada hanya aturan pemberian pidana. Tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia saat ini, secara materiil diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK). Rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK, dapat dipahami adanya rentang waktu terlalu jauh antara pidana minimum dan maksimum dalam UU Tindak Pidana Korupsi, yang berakibat memberikan diskresi yang luas bagi hakim dalam pengambilan keputusan penjatuhan pidana. Rumusan pasal 2 dan pasal 3 dalam UU TPK juga dirasa terlalu luas, maksudnya adalah pasal 2 dan pasal 3 tidak membedakan hukuman orang yang
korupsi
10
juta
dengan
20
milyar,
tidak
juga
membedakan hukuman korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara seperti Presiden, DPR dengan korupsi yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil dengan pangkat 3a yang notabene melakukan korupsi by need. Begitupun pasal-pasal yang mengatur mengenai jenis-jenis tindak pidana korupsi yang lain.
UU
TPK
sudah
seharusnya
dilakukan
revisi,
dan
memasukkan guide atau pedoman pemidanaan bagi pelaku tindak pidana korupsi, baik berdasarkan nominal korupsinya dan jabatan yang didudukinya jika orang tersebut PNS. Dengan diaturnya hal tersebut tentu akan memberikan batasan yang jelas bagi hakim dalam menjatuhkan putusan, ketimbang
hanya
mendasarkan
kepada
kondisi
batin
tersangka/terdakwa yang masih berada dalam ranah abu-abu, karena hampir tidak bisa mengetahui dengan pasti niat seseorang yang sesungguhnya.
VI. Penutup 4.1 Simpulan Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : 1.
Independensi supervisory
dari
hakim
control.
dibarengi
Bahwa
lemahnya
sekalipun
hakim
diberikan karsa untuk menentukan pilihan pidana yang pantas bagi seorang terdakwa pidana tidak menutup kemungkinan hakim harus tetap diawasi untuk
menjamin
implementation Indonesia.
of
adanya adiminstratif
justisiabel justice
rules
dan di
2.
Upaya yang dilakukan dalam penyelesaian perkara disparitas putusan pidana di Indonesia adalah dengan merevisi pasal 2 dan pasal 3 UUTPK yang hingga saat ini terbilang kurang tegas dalam pengaturan subyek dan obyek serta oprasional dari norma yang dibentuk.
4.2 Saran 1.
Perlu adanya penegakan administrasi terkait dengan putusan
hakim
terdahulu
sehingga
sekalipun
dibarengi dengan karsa namun seorang hakim dapat semata-mata menjamin sebuah kepastian hukum dan menghormati putusan hakim terdahulu. 2.
Pemerintah
harus
lebih
tegas
dalam
proses
perumusan norma dengan memperhatikan subyek, obyek,
oprasional
serta
kondisi
dari
norma.
Ketidaktegasan dalam proses penyusunan hukum dapat berimplikasi pada ketidakefektifan dalam proses penegakan hukum oleh law emforcement.
DAFTAR PUSTAKA Buku Amiruddin dan Zainal Asikin. 2016. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGarfindo Persada, Asshidiqie, Jimly. 2013. Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu. Jakarta: Rajawali Pers. Chazawi, Adami. 2016. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Khairuddin. 1999. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Mamuji, Sri. et.al. 2005. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Badan. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Muladi, dan Barda Nawawi. 1984. Teori-teori dan Kebjikanan Pidana. Bandung: Alumni. Muladi, 1984. Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Bandung: Alumni. Sunggono,
Bambang,
2010,
RajaGrafindo persada,
Metode
Penelitian
Hukum,
PT.
Jakarta.
Skripsi Akhmad. 2013. “Tinjauan Yuridis Terhadap Disparitas Pidana Dalam Perkara Tindak
Pidana
Korupsi�.
Skripsi
Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar.
Fakultas
Claudia, Dathiessa. 2013. “Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Keberadaan Waralaba
Manimarket
Di
Kota
Makassar”.
Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar. Masripattunnisa.
2014.
“Efektifitas
Pengawasan Komisi Yudisial
Pelaksanaan
Dalam
Fungsi
Mengawasi Hakim
dan Pengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman” Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. Widyaningrum,
Ambar,
Penyalahgunaan
2017,
Fakultas
Pidana
Terhadap
Narkotika Anak (Studi Kasus Putusan No.
412/Pid.Sus/2014/PN.TK Skripsi
“Disparitas
Hukum
dan
No.432/Pid.B/2014/PN.TK)”
Universitas
Lampung,
Bandar
Lampung.
Artikel Ashiddiqie, Jimly, Bagir Manan, et. al.2006, Gagasan Amandemen UUD 1945
Pemilihan Presiden Secara Langsung, Sekjen dan
Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta. Azhari, Fitriciada, 2005. “Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab
di
Mahkamah
Konstitusi:
Upaya
Menemukan Keseimbangan”. Makalah Jurisprudence Vol. 2, No. 1, Surakarta.
Bhawana, I Gede Winartha Indra. 2016, “Independensi Dan Impartialitas Hakim
Perspektif
Peradilan Pidana”. Jurnal Magister
Teoritik – Praktik Sistem Hukum
Universitas
Udayana. Vol 5. No. 1. Denpasar. Komisi Yudisial, 2014, Disparitas Putusan Hakim “Identifikasi dan Implikasi”,
Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik
Indonesia, Jakarta Pusat. Langkun, Tama S,
et. al. 2014. “Studi Atas Disparitas Putusan
Pemdanaan Perkara
Tindak Pidana Korupsi”. Indonesia
Corruption Watch, Jakarta. Litbang Mahkamah Agung, 2010, Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi untuk
Mengurangi Disparitas
Pengadilan, Puslitbang Hukum dan
Peradilan
Putusan Mahkamah
Agung RI. Lotulung, Paulus. E., 2003, Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum,
Makalah
dalam
Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VII, dengan tema “Penegakan Hukum
dalam
diselenggarakan oleh
Era
Pembangunan
Berkelanjutan,
Badan Hukum Nasional Departemen
Kehamikan dan Hak Asasi Manusia
Republik
Indonesia,
Denpasar, 14-18 Juli See, Harold. 1998. “Comment: Judicial Selection and Decisional Independence” Law and Contemporary Problems. Vol. 61. No. 3.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.