KEKUATAN MENGIKAT DAN FINAL DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh : Fahmi Ramadhan Firdaus1
ABSTRACT The reforms of 1998 have brought changes in the constitutional system of the Republic of Indonesia, the four-year amendment of the 1945 Constitution from 1999 to 2002 resulted in significant impact. One of the products of the reform is the establishment of the Constitutional Court as regulated in Article 24C of the Constitution of 1945. The existence of the Constitutional Court which was born in 2003 has colored the development of constitution in Indonesia. Decisions of the Constitutional Court encourage the creation of a nation and state with a more dynamic life sustained through the development of progressive law, because the verdict of the Constitutional Court is always looking forward. Be differentiated from other branches of judicial authority, in which the Constitutional Court decision is final and binding, which means to be the first and final decisions to be performed, and no other remedies are possible and valid from the date of reading. It is logical that this final and binding decision is intended to keep the institution honor and to realize the legal certainty in this case the Constitutional Court as the Guardian of The Constitution. The consequence is the law enforcement factor that Constitutional Judge must have integrity in order to decide cases based on justice and the truth of formal and material. Keywords: Constitutional, Court, Judge, Justice, Law, Reform,
1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember
I. PENDAHULUAN Era reformasi yang telah berlangsung selama kurang lebih 10 tahun telah membawa perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan sistem politik Indonesia mulai dari kebebasan pers dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia. Salah satu perubahan signifikan adalah ditegaskannya bahwa Indonesia menganut prinsip negara hukum ( rechtstaat ), sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum yang dianggap ideal adalah negara hukum yang berdasarkan pada pengakuan bahwa kedaulatan dimana kedaulatan tersebut berada di tangan rakyat, yaitu suatu negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokrasi yang berdasarkan hukum ( rule of law ), sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Bukan hanya itu, susunan dan kedudukan lembaga negara mengalami perubahan dan penambahan yang sangat signifikan. Atas dasar paradigma supremasi kontitusi ( supremacy of the constitution ) yang disepakati menggantikan supremasi parlemen ( supremacy of parliament ), yang sebelumnya diterapkan pada zaman UUD 1945 sebelum amandemen dimana pilar kekuasaan tertinggi hanya dimiliki oleh satu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dianggap sebagai lembaga negara primus interpares atau pertama dan utama. Hal tersebut dibuktikan dengan lahirnya lembaga-lembaga negara yang baru, di samping ada juga yang dihilangkan seperti misalnya Dewan Pertimbangan Agung. Dari sekian Lembaga Negara yang dibentuk sebagai hasil amandemen konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ( Constitutional Court) yang merupakan wujud dari harapan terlaksananya supremasi konstitusi. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Ketentuan tersebut merupakan bentuk pengakuan dan legitimasi terhadap keberadaan dari Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi ditentukan berdiri sendiri, terpisah dan berada di luar Mahkamah Agung. Namun keduanya sama-sama merupakan lembaga pelaksana dari kekuasaan kehakiman yang memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda. Dari hal diatas, dapat kita pahami bahwa sesungguhnya saat ini kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga negara, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Keduanya berkedudukan sederajat atau setara sebagai
lembaga negara yang independen dan merdeka untuk menjalankan kekuasaan kehakiman dalam rangka menegakan keadilan. Dapat kita simpulkan, berarti kekuasaan kehakiman menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), dimana kekuasaan kehakiman terbagi menjadi 2 (dua) cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi (constitutional court). Mahkamah Konstitusi sebagai cabang kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung , mempunyai sifat khas yang dapat membedakannya dengan pengadilan umum atau pengadilan biasa . Salah satu sifat khas tersebut ialah sifat putusan MK yang ditentukan bersifat final dan tidak dimungkinkan adanya upaya hukum lain. Karakteristik ini berbeda dengan putusan badan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang menyediakan upaya hukum lain. Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi, tertulis pada Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat Final.� Ketentuan tersebut lalu dituangkan ke dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK. Pasal 47 UU MK kemudian mempertegas hal tersebut dengan menyatakan bahwa “Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam siding pleno yang terbuka untuk umum.� Menurut ketentuan tersebut ada 3 ( tiga ) poin yang menggambarkan sifat final putusan Mahkamah Konstitusi, yang pertama bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi secara langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan. Kedua, karena telah memperoleh kekuatan hukum maka Putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan putusan. Hal ini karena Putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum atau biasa yang hanya mengikat para pihak berperkara (interparties). Terakhir, semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi, namun pada prakteknya tak semua pihak melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan pengujian undang-undang (PUU) dibawah undang-undang dasar contohnya, ketika Mahkamah Konstitusi memutus suatu UU bertentangan dengan UUD kemudian menyatakannya tidak memiliki kekuatan mengikat, maka putusan tersebut tidak hanya mengikat bagi pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi saja, melainkan mengikat bagi semua warga negara seperti halnya UU mengikat secara umum bagi tiap warga negara. Dari dasar tersebut, maka putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes yang berarti kewajiban dan hak terhadap semua. dan karena Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilaksakan. Jika sebuah putusan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh berarti putusan
telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan memperoleh kekuatan mengikat (resjudicata pro veritate habetur).
Pada pasal 24C Ayat (1) yang berbunyi : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Berdasarkan hal tersebut, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat seringkali menimbulkan perdebatan ditengah masyarakat dan profesional, karena hal ini beranggapan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang Superbody. Berkaitan dengan aturan pasal 24C Ayat (1) tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan, sesungguhnya apa makna dari kata “Final”? Apakah benar putusan tidak memungkinkan adanya upaya hukum lain dan tidak dapat diganggu gugat? Lalu, apakah ada kemungkinan usaha untuk mengoreksi putusan Mahkamah Konstitusi? Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut sampai saat ini belum menemui titik terang, karena sifat final putusan Mahkamah Konstitusi membuat pihak yang tidak puas atau dirugikan atas putusan Mahkamah Konstitusi selalu mendapat jawaban “hanya dapat dilakukan melalui perubahan terhadap UUD 1945 mengingat MK merupakan organ konstitusional.” dari Mahkamah Konstitusi. Sesungguhnya berdasarkan keadilan, sangat penting jika putusan Mahkamah Konstitusi dapat dikoreksi. Mengingat bukan tidak mungkin terjadi kekeliruan atau kekhilafan Hakim Konstitusi dalam memutus suatu perkara, bukan malah melindungi hak konstitusional malah dapat mencederainya. Upaya hukum merupakan hak dari pihak yang berkepentingan, atas dasar itu, apabila berkehendak pihak yang bersangkutan sendiri yang harus aktif dengan mengajukan upaya hukum kepada badan peradilan yang diberi kewenangan. Hakim pun tidak dapat memaksa atau menghalangi pihak-pihak yang akan menggunakan hak konstitusionalnya mengajukan upaya hukum. Dapat kita pahami, persoalan final dan tidak finalnya suatu putusan pengadilan berkaitan langsung dengan nilai keadilan suatu putusan. Demi tercapainya suatu keadilan hendaknya putusan pengadilan tidak serta merta bersifat final dan dapat diajukan upaya hukum. Adapun contoh terkait hal diatas. Salah satunya terkait dengan gugatan sengketa hasil Pemilu di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, antara Partai Demokrat (PD) dengan Partai Amanat Nasional (PAN) pada Pemilu tahun 2009. PAN mendapatkan satu kursi. PD mengajukan gugatan di pengadilan umum karena ada dugaan PAN melakukan manipulasi suara dengan menggelembungkan suara. Akhirnya, Pengadilan Negeri Donggala memutus
bahwa bukti-bukti yang diajukan pada dalam sidang MK adalah hasil manipulasi dari oknum yang yang melibatkan anggota KPUD Kabupaten Donggala.
Namun, ternyata putusan pengadilan yang terkait dengan manipulasi data dan penggelembungan suara hasil pemilihan umum tersebut, baik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, maupun yang dilakukan oleh peserta Pemilu, tidak bisa dijadikan dasar oleh semua pihak untuk menganulir dan menggugurkan putusan MK. Hal ini dikarenakan putusan MK adalah putusan yang bersifat final dan mengikat. Putusan MK tetap dilaksanakan meskipun telah terjadi kesalahan dalam putusan tersebut.2 Permasalahan lain dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi adalah seringkali putusan Mahkamah Konstitusi tidak diimplementasikan secara langsung. Hal ini disebabkan, tidak adanya regulasi lebih lanjut yang mengatur mengenai kekuatan eksekutorial terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Maka dari itu, perlu kiranya pemerintah maupun DPR mengatur regulasi khusus mengenai pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai langkah preventif terjadinya kekosongan hukum. Agar kedepannya, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) tidaknya hanya sebatas putusan di atas kertas, namun juga dapat diterapkan oleh pihak terkait (implementatif). Wacana yang dapat dilakukan agar putusan Mahkamah Konstitusi dapat dieksekusi antara lain membentuk lembaga negara khusus yang berkoordinasi dengan lembaga negara lain yang memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan suatu lembaga negara telah dilaksanakan atau belum. Selain itu membentuk unit kerja khusus di setiap lembaga negara yang memastikan putusan Mahkamah Konstitusi terkait lembaga negara tempat unit kerja dibentuk sudah dieksekusi atau belum. Dalam hal ini penulis akan menjabarkan terkait dengan makna dari sifat final menurut kacamata filosifyuridis dan akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi.
II. MAKNA SIFAT FINAL PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT ASPEK FILOSOFIS YURIDIS Dari kaca mata harfiah, frase “final” dan “mengikat” satu sama lain saling memiliki keterkaitan makna. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, frase “final” berarti tahapan (babak) terakhir dari rangkaian pemeriksaan (pekerjaan, pertandingan). Sedangkan frase “mengikat” berarti menguatkan (mencengkam). Bertolak dari arti harfiah ini, maka frase “final” dan “mengikat” memiliki makna yang relevan, yang berarti akhir dari suatu proses pemeriksaan, sudah memiliki kekuatan menyatukan dan mengeratkan semua keputusan dan tidak dapat diganggu gugat. 2 Berdasarkan Putusan MK No.039/PHPU.C1-II/2004
Jika dikaitkan dengan sifat final putusan Mahkamah Konstitusi, maka secara harfiah artinya sejak putusan dibacakan dalam sidang pleno, maka tertutup sudah segala hal untuk mengajukan upaya hukum, maka sejak saat itu lahir kekuatan putusan mengikat secara hukum (binding). Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.� Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan oleh Hakim Konstitusi dalam persidangan. Oleh karena putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka diwajibkan untuk dieksekusi. Tak ada lagi upaya yang dapat dialakukan pencari keadilan untuk mengkoreksi putusan Mahkamah Konstitusi. Berpijak pada arti final dan mengikat (binding) dari putusan Mahkamah Konstitusi secara harfiah, penulis mencoba mengidentifikasi makna filosofis yuridis yang ada dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) ini ke dalam beberapa hal sebagai berikut: A. Mewujudkan Kepastian Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final mengacu pada harapan untuk segera mewujudkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Oleh karena itu, sifat in kracht secara otomatis melekat sejak dibacakannya putusan, sehingga tidak akomodir oleh konstitusi untuk melakukan upaya hukum bagi para pencari keadilan. Artinya, sejak putusan tersebut dibacakan, maka sudah berlaku secara umum ( erga omnes ) dan harus segera dieksekusi. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final tersebut merupakan upaya untuk menjaga wibawa dan kehormatan peradilan konstutusional (constitutional court). Sebab, jika peradilan konstitusi memberi kesempatan untuk melakukan upaya hukum, maka tak ada bedanya dengan sebuah peradilan umum. Pada tingkat peradilan umum apabila ada pihak yang tidak puas atas putusan hakim maka dapat mengajukan upaya hukum ( banding, kasasi dan pengajuan kembali ), sehingga akan memakan waktu yang cukup lama sampai putusan in kracht. Akibatnya, para pihak yang berperkara akan dirugakan, baik waktu, tenaga, maupun biaya. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas hukum peradilan dilakukan dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan, sebagaimana yang berlaku dalam Mahkamah Konstitusi.
Dapat kita pahami, kepastian hukum merupakan perlindungan bagi para pencari keadilan (justiciable) terhadap tindakan yang sewenang-wenang atau abuse of power. Sehingga dengan adanya unsur kepastian hukum, maka masyarakat akan lebih tertib dan terjamin keamanannya, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum yang bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Khususnya dalam menyangkut pengontrolan terhadap produk politik, yaitu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi yang berlaku Indonesia, yang sebelum kehadiran Mahkamah Konstitusi, tidak ada satu pun lembaga yang dapat mengontrolnya. Hal ini juga berkaitan dengan sistem checks and balances. Pada akhirnya, dengan tidak adanya upaya hukum, bertujuan agar Mahkamah konstitusi melalui putusannya dapat menyelesaikan persoalan dan memberikan kepastian hukum sesegera mungkin, khususnya bagi para pihak dan masyarakat luas pada umunya, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi ini berlaku secara luas terhadap masyarakat. B. Mahkamah Konstitusi Sebagai Badan Pengadilan Konstitusional Peraturan perundang-undangan atau regulasi, baik yang menjadi landasan konstitusional maupun landasan operasional Mahkamah Konstitusi, dengan konkrit telah menyatakan tegas untuk tidak memberikan upaya hukum terhadap setiap putusan yang diputuskan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dalam UUD NRI 1945 Pasal 24C dan UU No. 8 Tahun 2011, Mahkamah Konstitusi dibentuk khusus sebagai salah satu pemegang peran kekuasaan kehakiman yang bersifat tunggal. Tidak memiliki badan peradilan di bawahnya dan bukan merupakan bawahan dari lembaga lain. Hal inilah yang membedakan putusan Mahkamah Konstitusi dengan putusan peradilan lainnya. Selain itu sering diasumsikan bahwa Mahkamah Konstitusi langsung diawasi oleh Tuhan. Hal tersebut tidak terlepas dari kewenangan yang menjadi kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan konstitusional yang didesain khusus untuk menangani sengketa ketatanegaraan dan berdasarkan konstitusi. Karena karakteristik itu pula, sifat putusan Mahkamah Konstitusi pun berbeda dengan peradilan umum lainnya yang memberikan kesempatan untuk melakukan upaya hukum bagi pihak yang kurang puas dengan putusan hakim. Karena kewenangan Mahkamah Konstitusi yang menangani perkara khusus mengenai persoalan ketatanegaraan yang bermuatan konstitusi, ada kekhawatiran putusan-putusan Mahkamah Konstitusi akan terus dipersoalkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan apabila benar-benar Mahkamah Konstitusi mengakomodasi adanya upaya hukum terhadap putusan yang dihasilkannya.
C. Alat Pengendalian Sosial (A Tool of Social Control) Mengutip dari Prof. Achmad Ali, yang berpendapat mengenai fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial (a tool of social control): “Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat diterangkan sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap sebagai penyimpangan terhadap aturan hukum‌â€?. Atas dasar tersebut, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) dapat dikategorikan sebagai bentuk pengendalian sosial. Karena putusan Mahkamah Konstitusi membentuk kaidah hukum yang dapat diterapkan dan berdampak kepada masyarakat. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya yang bersifat final dan mengikat (binding) dapat berfungsi sebagai sebagai alat pengendalian sosial (a tool of social control) yang diwujudkan dalam konstruksi norma hukum yang sifatnya memperbolehkan dan/atau membatalkan sebuah ketentuan undang-undang. Norma mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan norma mengikat sebuah undang-undang hasil produk politik di DPR, dimana putusan berfungsi sebagai alat pengendalian sosial guna memberi perlindungan hukum dan menjamin hak konstitusional terhadap seluruh lapisan masyarakat. Senada dengan hal tersebut, sehingga terlebih dahulu suatu aturan hukum harus dibentuk berdasarkan UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi dan tidak boleh bertentangan, apabila ada norma yang bertentangan maka hal tersebut batal demi hukum. Jadi putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) merupakan salah satu bentuk alat pengendalian sosial (a tool of social control) menuju hukum yang berkeadilan. D. Penafsir dan Penjaga Konstitusi Runtuhnya era orde baru dan lahirnya reformasi telah mengubah banyak hal dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang lahir pasca amandemen UUD NRI 1945, dengan karakteristikkhusus sebagai lembaga penjaga dan penafsir tunggal konstitusi. Hal tersebut tercantum jelas dalam UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa kewenangan absolut Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab
sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.3 Selain fungsi tersebut, Mahkamah Konstitusi hadir untuk mengevaluasi pengalaman buruk ketatanegaraan Indonesia di masa lalu.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi merupakan langkah konkrit dalam sistem ketatanegaraan yang tidak lain berfungsi sebagai pengawal serta penafsir konstitusi (The Guardian and The Interpreter of Constitution) yang diimplementasikan melalui putusan-putusan sesuai dengan kewenangannya. Sehingga Konstitusi selalu hidup ditengah masyarakat dan ditaati masyarakat. Dalam kaitan dengan hal di atas, A. Mukthie Fadjar, mantan Hakim Konstitusi, menyatakan bahwa Penjelasan UU No. 8 Tahun 2011 dalam penjelasan umumnya menegaskan beberapa butir arahan ikhwal Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi, yakni:4   
Agar konstitusi dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil. Bentuk koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.
Dalam hal ini, putusan-putusan yang final dan mengikat ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana implementasinya harus bertanggungjawab. Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan-putusannya, melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya tercermin dalam undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.5 Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat secara hukum (binding) merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi, dan memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan sebagai produk DPR beserta Pemerintah dari sebuah proses politik, tetap sesuai dengan amanat konstitusi. III. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding), menimbulkan akibat hukum dalam implementasinya. Tapi dalam penerapannya tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi memberi manfaat positif dalam masyarakat, ada juga putusan-putusan yang banyak mendapat 3 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 4 Malik.Telaah Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat. Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 6 No. 1, April 2009, hlm. 84. 5 Ibid.
sorotan karena menimbulkan dampak negatif, khususnya putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan polemik dalam masyarakat.
Adapun akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding), yang bermakna positif, sebagai berikut: A. Mengakhiri Sengketa Hukum Lewat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding), menimbulkan akibat hukum yang berujung pada berakhirnya sebuah sengketa hukum. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi setiap kewenangan Mahkamah Konstitusi, karena hanya 3 (tiga) dari 4 (empat) kewenangannya yang mengandung muatan sengketa hukum, yakni kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus: 1. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945; 2. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; dan 3. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum.6 Kewenenangan tersebut yang membuat putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan akibat hukum dan menyelesaikan sengketa hukum. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa perselisihan hasil pemilihan umum contohnya. Para pihak, baik Pemohon, Termohon maupun Pihak Terkait, yang masing-masing bersentuhan langsung dengan sengketa hukum yang diperkarakan. Sehingga dengan diputuskannya oleh Mahkamah Konstitusi, sengketa hukum di antara para pihak dapat diselesaikan. Sama halnya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 dan terhadap pengujian suatu undang-undang terhadap UUD 1945. Berbeda halnya dengan perkara pembubaran partai politik, maupun pemberian putusan terkait dugaan DPR yang menyatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, atau yang bisa disebut dengan pemakzulan ( impeachment ). Hal ini dikarenakan, kedua kewenangan tersebut, tidak masuk dalam kategori sengketa hukum namun lebih ke arah muatan politis. B. Menerapkan Prinsip Check and Balance System Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat dapat membatalkan produk hukum yang pembahasannya melibatkan 2 ( dua ) cabang kekuasan negara, DPR sebagai cabang kekuasaan legislatif dan pemerintah sebagai cabang kekuasaan eksekutif. Meskipun keputusan-keputusan politik yang 6 Lihat: Pasal 10 ayat (1) butir a, b dan d UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
melahirkan undang-undang dalam prosesnya memakan banyak anggaran dan berlangsung dengan perdebatan panjang.
Namun dalam kurun waktu lebih singkat dari pembentukannya di parlemen, 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi mampu membatalkan keputusan politik dalam dalam bentuk sebuah undang-undang tersebut. Hal inilah yang mendasari pelaksanaan prinsip check and balances. Meskipun sebuah produk undang-undang merupakan hasil dari pembahasan 2 ( dua ) cabang kekuasaan (kekuasaan eksekutif dan legislatif), Namun ketiga suatu produk undang-undang dirasa melanggar atau tidak sesuai konstitusi maka Mahkamah Konstitusi melalui putusannya yang bersifat final dan mengikat dapat membatalkan produk undang-undang tersebut. IV. Lembaga Pengawas Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Meskipun putusan Mahkamah Konstitusi berlaku final dan mengikat bagi masyarakat sejak putusan dibacakan, namun pada prakteknya tak semua putusan Mahkamah Konstitusi tidak langsung dilaksanakan, sangat tergantung pada kesadaran dan ketaatan pihak-pihak terkait. Permasalahan ini disebabkan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki lembaga sebagai eksekutor sekaligus pengawas atas implementasi atau pelaksanaan putusan. Oleh karena itu perlu waktu cukup lama untuk memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi sudah dilaksanakan, karena ketiadaan lembaga khusus tersebut membuat berbagai stake holder harus ikut mengawal pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya putusan MK No 33/PUU-XIII/2015 yang menyatakan anggota legislatif harus mundur masih sulit untuk dilaksanakan. Karena putusan MK hanya berhubungan dengan norma, dirasa masih sulit dan belum ada formulasi khusus untuk meminta bantuan penegak hukum lain untuk membantu pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi, pasalnya hal itu hanya berlaku dalam hukum pidana dan bukan pada produk hukum tata negara. V. KESIMPULAN Dari beberapa pembahasan diatas, penulis menyimpulkan : Pertama, putusan final dan mengikat (binding) Mahkamah Konstitusi dalam perspektif filosofis-yuridis mengandung 4 (empat) makna: 1). Mewujudkan kepastian hukum dalam waktu yang singkat bagi para pihak yang bersengketa; 2). Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan konstitusional; 3). Mahkamah Konstitusi sebagai alat pengendalian sosial (a tool of social control); 4). Sebagai lembaga negara penjaga dan penafsir konstitusi.
Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding), menimbulkan akibat hukum dalam implementasinya baik yang positif maupun negatif. efektif atau tidaknya pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi, sangat bergantung pada penerimaan serta kesadaran para pihak. Pada perkara pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang, misalnya. Tidak jarang putusan Mahkamah Konstitusi tidak mendapat respon positif dari masyarakat bahkan masyarakat todak tahu, begitupun dengan pihak terkait (DPR dan Pemerintah). Permasalahan tersebut disebabkan, tidak adanya aturan yang mengatur mengenai kekuatan eksekutorial dari putusan Mahkamah Konstitusi. Sehingga, perlu kiranya pemerintah bersama DPR membuat regulasi khusus terhadap Mahkamah Konstitusi atau bahkan membuat lembaga baru yang khusus mengkoordinasikan dengan pihak terkait untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. Agar, kedepannya putusan Mahkamah Konstitusi benar benar implementatif bukan hanya lembaran kertas yang normatif. Daftar Pustaka Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis & Sosiologis). PT. Toko Buku Agung: Jakarta. Asshiddiqie, Jimly. 2009. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Bhuana Ilmu Populer: Jakarta. Ilyas, Anshori. 2009. Hubungan Konstitusional Antara MA, KY dan Mahkamah Konstitusi. Rangkang Education: Yogyakarta.