Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi (Penyusun: Grace Shinta, Rahmi Intan Jeyhan, M. Dimas Tribowo-Universitas Indonesia)
PENDAHULUAN Latar Belakang World Justice Project dalam Laporan Tentang Indonesia yang dirilis pada 19 Januari 2015 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan ketiadaan korupsi peringkat ke 80 dari 99 negara secara global.1 Dengan kata lain Indonesia menjadi negara dengan tingkat korupsi nomor 20 tertinggi di dari 99 negara tersebut. Sementara itu, Transparency International Indonesia merilis dalam Corruption Perception Index 2014, Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih).2 Peringkat tersebut berubah pada tahun 2015 menjadi 107 pada tahun 2015. Hal tersebut menujukkan peningakatan namun dalam tataran yang tidak signifikan. Terlepas dari beragamnya angka peringkat korupsi Indonesia, suatu kesimpulan yang tidak dapat dielakkan adalah bahwasanya semua angka tersebut menunjukkan tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Korupsi telah menjadi perbincangan umum di Indonesia. Mulai dari argumen-argumen intelektual akademisi hingga pada meja-meja warung kopi, topik korupsi adalah hal yang tidak asing lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran akan ancaman korupsi di negara telah tumbuh di tubuh masyarakat Indonesia. Selama tengah tahun pertama 2015, Indonesia Corruption Watch (ICW) memantau 308 kasus dengan 590 orang tersangka korupsi. Total potensi kerugian negara dari kasus-kasus ini mencapai 1,2 triliun rupiah dan potensi suap sebesar 457,3 miliar rupiah.3 Angka tersebut jelas tidak menunjukkan hitungan yang kecil.
1
World Justic3 Project, “Laporan Tentang Indonesia”, https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwj8 3Ij9x8LKAhUDTY4KHYnqAf4QFghTMAk&url=http%3A%2F%2Fworldjusticeproject.org%2Fsites%2Fdefault%2Ffil es%2Findonesia_report_011314_bahasa.pdf&usg=AFQjCNG0FcVJxRdcUehRfGc6nsuhMcpM-Q, diakses pada 23 Januari 2016. 2 Wahyudi Thohary, dkk, Survey Persepsi Korupsi, (Jakarta: Transparency International Indonesia, 2015), hlm. 2. 3 Indonesia Corruption Watch, “Tren Pemberantasan Korupsi Semester 1 2015”, Anti-Korupsi 14-18 September 2015, hlm. 1.
Dilihat dari latar belakang aktor korupsi, pejabat atau pegawai di lingkungan Kementerian dan Pemerintah Daerah menjadi pelaku yang paling banyak ditetapkan sebagai tersangka (212 orang).4 Hal yang dapat disoroti dalam hal ini adalah tingginya tingkat korupsi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Djohermansyah Johan (Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri) menyebutkan hingga September 2014 terdapat 290 kepala daerah yang terkena kasus korupsi 290. Sementara itu untuk anggota DPRD angka tersebut mencapai 3600 orang.5 Sebagai contoh, sebut saja beberapa kepala daerah yang tersandung kasus korupsi seperti Annas Maamun (mantan Gubernur Riau), Ratu Atut Chosiyah (mantan Gubernur Banten), Romi Herton (mantan Wali Kota Palembang).6 Pasca penanaman otonomi daerah di Indonesia dengan lebih masif, perubahan pada konstruksi keuangan negara menjadi suatu konsekuensi logis. Aspek keuangan yang diejawantahkan dalam anggaran, terutama Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD), menjadi hal yang tidak luput dari pembahasan otonomi daerah. Mengingat tingginya angka korupsi yang dilakukan di daerah baik oleh kepala daerah maupun anggota DPRD, maka APBD tidak dapat dielakkan APBD menjadi objek utama dalam korupsi di daerah itu sendiri. Anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan.7 Pembangunan menjadi aspek penting dalam menyejahterakan masyarakat dalam hal ini masyarakat daerah itu sendiri. APBD dialokasikan sesuai dengan pembangunan yang didasarkan kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) serta Rencana Pembangunan Tahunan Daerah atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Telah terdapat peraturan perundang-undangan terkait keuangan negara, pemerintah daerah, anggaran daerah, hingga pemberantasan korupsi. Pun telah terdapat berbagai lembaga yang bergerak dalam mengupayakan kebermanfaatan anggaran pemerintah daerah untuk pembangunan maupun yang bergerak dalam pemberantasan korupsi itu sendiri. Namun, kenyataannya anggaran pemerintah daerah yang seyogyanya dimanfaatkan sebesar-besarnya 4
Ibid.
5
Ihsanuddin, “KPK: Anggota DPRD yang Terjerat Korupsi 3.600 Orang”, ttp://nasional.kompas.com/read/2014/09/25/22533641/KPK.Anggota.DPRD.yang.Terjerat.Korupsi.3600.Orang , diakses pada 23 Januari 2015. 6
Nov, “Ini 10 Kepala Daerah yang Tersandung Korupsi di 2014”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54afebb14ae5a/ini-10-kepala-daerah-yang-tersandung-korupsidi-2014, diakses pada 23 Januari 2015. 7 Indonesia, UU No. 17 Tahun 2003, Undang-Undang tentang Keuangan Negara, LN No. 47. TLN No. 4287.
untuk pembangunan demi kesejaheraan rakyat, tidak luput dari objek korupsi. Dilema yang tersisa tersebut menjadikan adanya suatu urgensi untuk mengaji ulang kebijakan terkait anggaran pemerintah daerah di Indonesia. Adapun dalam pembahasan ini, akan dilakukan eksentifikasi terhadap konteks judul penulisan yaitu Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi, dimana Pemerintah Daerah tersebut dibahas lebih lanjut sebagai Pemerintahan Daerah sesuai dengan konsepsi Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 (UU Pemda).
Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanan landasan yuridis sistem anggaran pemerintahan daerah dan kaitannya dengan korupsi? 2. Bagaimanan implementasi sistem anggaran pemerintahan daerah dan kaitannya dengan korupsi?
PEMBAHASAN Anggaran Pemerintahan Daerah, Pembangunan, serta Korupsi: Tinjauan Umum D’ Audiifret dalam bukunya Systeme Financier de la France menyebutkan bahwa administrasi keuangan mempunyai pengaruh yang begitu besar pada nasib suatu bangsa, sehingga kebijaksanaan yang ditempuh untuk menjuruskan kegiatan itu dapat menyebabkan kemakmuran atau kelemahan, kejayaan atau kejatuhan bangsa itu.8 Keuangan dalam suatu negara memegang peranan penting dalam pembangunan, dalam konstruksi yang lebih kecil keuangan dalam suatu konstruksi kedaerahan, memegang peranan penting pula dalam pembangunan daerah itu sendiri. Salah satu pengelompokan unsur sistem keuangan pemerintah daerah adalah unsur berkala dan unsur hukum. Unsur berkala mencakup unsur-unsur yang menjadi bagian dari 8
J. Wajong, Administrasi Keuangan Daerah, (Jakarta: Ichtiar, 1962), hlm. 5
kegaiatan-kegiatan berkala dalam setahun, yakni: menyusun program dan anggaran; urusan uang keluar dan uang masuk; mencatat dan melaporkan transaksi keuangan. Unsur hukum mencakup unsur-unsur pengaturan dan pemantauan kegiatan berkala, yakni: undang-undang dan peraturan keuangan; transaksi dan pemeriksaan keuangan dari dalam.9 Sistem keuangan dalam pemerintahan daerah itu sendiri diejawantahkan pada anggaran dalam lingkup pemerintahan daerah. Sebelum
membahas
lebih
lanjut
mengenai
anggaran
itu
sendiri,
perlu
dikontekstualisasikan kembali pembahasan sesuai judul dimana pemerintah daerah dalam hal ini diekstentifikasi menjadi pemerintahan daerah. Hal tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Pemda yang menyebutkan: Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara itu, Pasal 1 angka 3 UU Pemda menentukan bahwa: Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Mengingat konstruksi anggaran daerah tidaklah dapat dibatasi hanya terhadap kepala daerah sebagaimana maksud dari pemerintah daerah menurut ketentuan diatas, maka kosntruksi yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah anggaran di daerah pada umumnya. Atau dengan kata lain dimaksudkan sebagai anggaran dengan keikutsertaan peran kepala daerah maupun DPRD. Sebagaimana yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, sistem keuangan daerah diejawantahkan dalam suatu penganggaran. Anggaran diartikan sebagai alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi.10 Dalam tataran otonomi daerah, anggaran tersebut diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pasal 1 angka 32 UU 9
Brian Binder, “Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah�, dalam Nick Devas, dkk, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, (Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1999), hlm. 280. 10 _Direktorat Jendral Pajak, Dasar-Dasar Penyusunan APBN di Indonesia, (Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2013), hlm. 10.
Pemda mengartikan APBD sebagai rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Perda. Sementara itu, korupsi dimaknai sesuai dengan maksud Bab II UndangUndang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang nomor 21 tahun 2000 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 (UU Pemberantasan Korupsi) APBD digunakan untuk pembangunan daerah demi kemakmuran masyarakat baik di daerah itu sendiri maupun dalam kaitannya dengan implikasi masyarakat yang lebih luas. Pasca otonomi daerah, salah satu upaya yang dilakukan sebagai langkah reformasi keuangan daerah adalah mengubah sistem penganggaran. Perubahan proses penganggaran terkait dengan perubahan proses penyusunan anggaran yang sebelumnya bersifat sentralistis dan top down diubah menjadi sistem anggaran partisipatif (bottom up/participative budget). Dengan otonomi luas dan nyata pemerintah daerah diberi kewenangan penuh untuk menentukan program pembangunan sesuai dengan kebutuhan daerah.11 Salah satu tujuan pengelolaan keuangan pemerintah daerah adalah untuk mencapai hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency). Dalam hal tersebut tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya.12 APBD dalam memajukan pembangunan diupayakan memenuhi hasil guna dan daya guna tersebut. Pengalokasian APBD untuk pembangunan tersebut sesuai dengan pembangunan yang didasarkan kepada RPJPD, RPJMD, serta RKPD sebagaimana yang diapaprkan sebelumnya. Siklus atau garis edar anggaran daerah setiap tahun anggaran meliputi penyusunan, pembahasan, penetapan RAPBD, pengesahan pejabat yang berwenang, pelaksanaan APBD, pengawasan serta pemeriksaan atas pelaksanaan APBD.13 Maka korupsi di daerah terhadap APBD dapat terjadi dalam tahap-tahap yang terdapat dalam siklus tersebut. Indikasi korupsi tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab utama, yaitu: lemahnya sistem akuntabilitas dalam penganggaran, representasi politik yang buruk, kurangnya profesionaisme dari
11
Mahmudi, Manajemen Keuangan Daerah, 2010, (Jakarta: Erlangga), hlm. 4 Brian Binder, Op.Cit. 13 D.J. Mamesah, Sistem Administrasi Keuangan Daerah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 12
77.
birokrasi di daerah, dan lemahnya kontrol masyarakat yang disebabkan kapasitas dan sempitnya ruang partisipasi publik di dalam mengontrol anggaran.14 Kurangnya kontrol publik menyebabkan proyek-proyek pembangunan dikorupsi dalam banyak bentuk. Seperti penggelembungan anggaran (mark up), penyusutan kualifikasi (bestek), atau penyalahgunaan prosedur tender. Hal itu bisa dilihat dengan banyaknya pospos belanja yang tidak sesuai kebutuhan, tidak tepat sasaran, atau dimanipulasi dengan munculnya berbagai pos-pos siluman yang sebenarnya tidak dibelanjakan untuk proyek tapi anggaran tersebut tetap dieksekusi.15 Celah korupsi yang terjadi terhadap APBD tersebut dapat berada dalam tataran yuridis maupun implementatif.
Kajian Yuridis Permasalahan Korupsi Anggaran Pemerintahan Daerah Ditinjau dari perspektif yuridis-normatif, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara pada pasal ke 19 ayat (2) telah mengamanatkan bahwa penyusunan RAPBD dimulai dari tahapan primer yakni penyusunan Rencana Satuan Kerja Perangkat Daerah wjaib dilakukan dengan berbasis pada prestasi kerja. Sebagai sebuah anggaran berbasis kinerja, (ABK) ,penyusunan dan perencanaan APBD sepatutnya mengacu pada indikator-indikator yang terkandung dalam konsep ABK. Anggaran berbasis kinerja mensyaratkan adanya ukuran kinerja yang jelas dan dapat diverifikasi, baik terhadap outcome, output, maupun kewajaran dana yang dikeluarkan oleh output yang dicapai.16 Menurut Mardiasmo, performance budgeting pada sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik dan semata-mata berorientasi pada kepentingan publik.17 Sehingga dalam kacamata status quo pengaturan normatif, orientasi dan peruntukkan APBD secara konseptual telah selaras dengan cita-cita pembangunan. Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah telah memformulasikan penerapan performance budgeting dalam penyusunan APBD,
14
Adib Achmadi (ed.), Panduan Pengawasan Keuangan Daerah: Wawasan dan Instrumen Monitoring Tata Kelola Keuangan Daerah, (Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, 2005), hlm. 2. 15 Ibid. 16 Nugroho Adi Utomo, Putu Oka Ngakan, dan Ahmad Dermawan, Anggaran Berbasis Kinerja: Tantangannya Menuju Tata Kelola Hutan yang Baik dalam Forest and Governance Programmed Government Brief Vol.37 (Jakarta:Center for International Forestry Research, 2007), hlm. 5. 17 Mardiasmo, hlm. 132.
sebagaimana tercantum dalam Pasal 39 ayat (2) bahwa penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah dilakukan dengan memperhatikan lima indikator utama yakni capaian kerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Dalam alur penyusunan RAPBD, RKA-SKPD disusun sebagai dasar pembentukan RAPBD, untuk kemudian masuk ke dalam tahap pembahasan RAPBD. Peran RKA-SKPD amat signikan mengingat subtansinya yang memuat rencana pendapatan serta belanja untuk masing-masing program dan kegiatan menurut fungsi. Pemain peran penting dari keseluruhan indikator yang dijadikan acuan dalam penyusunan RKA-SKPD ialah analisis standar belanja. Analisis standar belanja berfungsi sebagai pedoman yang digunakan untuk menganalisis kewajaran beban kerja atau biaya setiap program/kegiatan dalam satu tahun anggaran.18 Pada kenyataanya, analisis standar belanja belum diterapkan secara konsekuen dalam penyusunan RKA-SKPD di beberapa daerah. Lazimnya, ASB diundang-undangkan dengan instrument Perda, namun pada keberlakuannya standar belanja lebih sering bertumpu pada usulan oleh SKPD di ruang lingkup provinsi19, dan pengesahan ASB dalam instrument perda seringkali tidak melalui mekanisme akademik serta komprehensif serta cenderung menimbulkan ragam persepsi karena tidak adanya format yang baku. Menurut pandangan penulis, solusi konkret yang ada sebagai langkah pembenahan aspek yuridis-normatif mengenai APBD dapat dilakukan dengan positivisasi format analisis standar belanja ke dalam bentuk peraturan pelaksanaan agar seluruh tingkatan wilayah daerah terikat pada komitmen Analisis standar belanja merupakan langkah awal untuk memerangi modus operandi korupsi seperti penggelembungan dana, duplikasi anggaran di berbagai kegiatan atau program, program kerja fiktif/manipulasi dana fiktif, oleh karena analisis standar belanja menetapkan secara baku kewajaran pembiayaan suatu program. Penguatan dari segi yuridis dapat dilakukan melalui dua opsi kebijakan yakni pencatuman substansi pasal baru dalam PP Pengelolaan Keuangan Daerah mengenai kewajiban pengesahan ASB dalam instrumen Peraturan Daerah tingkat Provinsi/Kabupaten dan pembentukan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur format baku dan terperinci indikator Analisis Standar Belanja yang harus dijadikan lampiran tertulis penyusunan RAPBD.
18
Yunita dan Hendra, Anggaran Berbasis Kinerja, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2010), hlm.152. Admin Bidang Anggaran, “Belajar Analisis Standar Belanja Kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta�,http://dpkd.sumbarprov.go.id/berita/read/495-belajar-analisis-standar-belanja-kepadapemerintah-daerah-istimewa-yogyakarta.html, diakses pada 24 Januari 2016. 19
Pengaturan kedudukan keuangan DPRD melalui beberapa dinamika perubahan dari waktu ke waktu. Pertama, , Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada 9 Desember 2002. Secara konklusif, legal standing penggungat yakni DPRD Sumatera Barat Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 secara implisit mempersempit ruang gerak hak menetukan anggaran DPRD dengan standarisasi porsi-porsi penganggaran penghasilan tetap, tunjangan khusus, dan belanja DRPD lainnya. Pembatalan PP Nomor 110 Tahun 2000 pada 9 Desember 2002 berimplikasi langsung pada segi akuntabilitas dan proporsionalitas penyusunan APBD, oleh karena pembiayaan belanja DRPD dan Sekretariat DPRD dianggarkan dalam satu pos tersendiri yakni Pos “DPRD dan Sekretariat DPRD� merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari APBD dan mekanisme pengusulan serta pembahasan diberlakukan sama dengan belanja perangkat daerah lain. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari APBD dan mekanisme pengusulan serta pembahasan diberlakukan sama dengan belanja perangkat daerah lain Signifikansi pengaturan kedudukan keuangan DRPD terlatak pada aspek fungsionalitas nya sebagai pedang prevensi terhadap eskalasi tindak pidana korupsi terselubung dalam proses penyusunan APBD. Oleh karena anggaran belanja DPRD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari APBD dan mekanisme pengusulan serta pembahasan diberlakukan sama dengan belanja perangkat daerah lain dan sejatinya, prioritas anggaran Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber penerimaan daerah diperuntukkan bagi pembiayaan kegiatan operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana masyarakat20, bukan halnya kesejahteraan anggota dewan semata. Sebagai substitusi PP Nomor 110 Tahun 2000, Pemerintah mengundangkan PP Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan yang kemudian diperbahaui oleh PP Nomor 21 Tahun 2007. Namun, dari aspek yuridis, Penulis berpandangan,
ketiadaan
pengaturan
yang
mengimperatifkan
pertanggungjawaban
pengelolaan APBD oleh DPRD. Hal ini membuka celah luas terhadap keberlanjutan penyelewenangan anggaran di pos belanja DPRD. Pelanggaran terhadap pengaturan protokoler dan kedudukan keuangan ini terjadi dengan masih menjamurnya modus operansi korupsi oleh DRPD dalam bentuk fenemona penggelembungan dana anggaran untuk tunjangan dan fasilitas anggota dewan, penyaluran dana APBD bagi anggota melalui yayasan
20
Herman Budi Sasono, Manajemen Pelabuhan dan Realisasi Ekspor Impor, (Yogyakarta:ANDI, 2012), hlm.195
fiktif dan pemanipulasian anggaran untuk perjalanan dinas.
21
Kenyataan ini didukung pula
oleh fakta bahwa di beberapa daerah, presentase anggaran dewan terhadap keseluruhan dana APBD mencapai 20 hingga 30%22. Dari segi pengaturan mengenai pertanggungjawaban alokasi dana, Peratuan Menteri Dalam
Negeri
Nomor
21
Tahun
2001
telah
mengatur
mengenai
mekanisme
pertanggungjawaban beanja penunjang operasional pimpinan DPRD. Pasal 13 Permendagri Nomor 21 Tahun 2007 ini mengkonsepsikan suatu penandatangan pakta integritas mengenai penggunaan data oleh Pimpinan DPRD disertai laporan hasil pelaksanaan tugas. Penulis masih mendapat kekurangan dari status quo pengaturan mekanisme pertanggungjawaban yang sekarang oleh karena di Permendagri yang bersangkutan sifatnya fakultatif dan deklaratoir, belum tercantum indikator yang tegas serta belum ada pencantuman bab sanksi apabila yang bersangkutan melanggar atau tidak memenuhi indikator pertanggungjawaban.
Kajian Implementatif Permasalahan Korupsi Anggaran Pemerintahan Daerah Meskipun telah 10 tahun otonomi daerah dilaksanakan namun pembangunan yang merata dan optimal diseluruh daerah masih belum terwujud. Cita-cita mulia yang melandasi pelaksanaan otonomi daerah kini bagaikan mimpi yang tak kunjung dapat diraih. Problematika yang menyelimuti proses pembangunan di daerah setelah adanya otonomi daerah terlihat semakin banyak bermunculan. Salah satu yang masalah paling berpengaruh dalam menghambat terwujudnya cita-cita pembangunan daerah adalah adanya praktek korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berkuasa di daerah di mulai dari tahap penyusunan anggaran hingga tahap implementasinya. Sudah bukan barang baru lagi ketika kepala daerah ditangkap karena terbukti melakukan korupsi, begitu pula dengan anggota DPRD baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/kota. Menarik ketika kita melihat kasus yang pada medio 2015 sempat hangat diberitakan terkait dugaan korupsi yang dilakukan dalam penyusunan APBD Provinsi DKI Jakarta. Kasus ini menjadi sorotan media karena adanya tuduhan Gubernur DKI Jakarta terkait penggelembungan anggaran di dalam APBD yang sedang dibahas, tuduhan ini lantas 21
Tri Sulistyaningsih, Citizen Power dan Fenomena Korupsi di Daerah, https://www.unodc.org/documents/southeastasiaandpacific//2011/06/talkseries/Presentation_Tri_Sulistyaningsih_-_UMM.pdf, diakses 21 Januari 2016 Pukul 20.48 WIB 22 Ahmad Helmy Fuady, et.al, Memahami Anggaran Publik. (Yogyakarta: Dea Press, 2002), hlm. 103.
dibantah oleh anggota DPRD DKI Jakarta yang kemudian balik menuding sang gubernur. Dampak dari adanya kekisruhan dalam penyusunan APBD ini malah justru mengahambat proses pembangunan, hal ini disebabkan karena panjangnya waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik ini dan pada ujungnya APBD DKI Jakarta tahun 2015 ditetapkan sama jumlahnya dengan anggaran tahun sebelumnya sehingga dana yang dapat digunakan untuk pembangunan stagnan. Tuduhan penggelembungan dana di dalam APBD sebenarnya merupakan salah satu modus korupsi yang sering dilakukan oleh pejabat-pejabat daerah. Menurut hasil kajian dari Indonesia Corruption Watch23, modus korupsi yang peling sering ditemukan yang melibatkan anggota DPRD yaitu menggelembungkan batas alokasi penerimaan dewan atau yang lebih dikenal dengan istilah mark-up, menggandakan (redundant) item penerimaan anggota dewan melalui berbagai strategi, mengada-adakan pos penerimaan anggaran yang sebenarnya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (pos fiktif), dan terakhir adalah korupsi dalam pelaksanaan program kegiatan dewan. Dari keempat modus tersebut yang terakhir adalah modus yang palin konvensional yang biasa dilakukan oleh pejabat. Sementara modus pertama hingga ketiga merupakan praktek korupsi yang merupakan kesepakatan antara dua pihak (anggota dewan dengan kepala daerah). Kesepakatan tersebut dapat muncul karena adanya kewenangan yang dimiliki untuk membentuk peraturan perundang-undangan di tingkat daerah dan masih adanya celah (loophole) dalam peraturan perundang-undangan yang masih tumpang tindih di daerah.24 Sedangkan berdasarkan rilis Bank Dunia dalam praktek korupsi APBD bukan hanya anggota dewan saja yang menjadi pemain utama, namun juga pihak “eksekutif� seperti panitia anggaran dan kepala daerah yang juga turut menyetujui RAPBD. Modus korupsi pihak eksekutif yang ditemukan dalam kajian tersebut yaitu penggunaan sisa dana untuk dipertanggungjawabkan (UUDP) untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentinagn lain namun tanpa bisa dipertanggungjawabkan, penyimpangan terhadap mekanisme pengeluaran dan pemakaian dana kas daerah, pemindahbukuan dana kas daerah ke rekening pribadi kepala
23
Indonesia Corruption Watch, “Modus Korupsi Anggota Dewan,� http://www.antikorupsi.org/id/content/modus-korupsi-anggota-dewan, diakses pada 22 Januari 2015. 24 Ibid.
daerah, manipulasi terhadap jumlah sisa APBD, dan terakhir manipulasi dalam proses pengadaan.25
PENUTUP Kesimpulan Tingkat korupsi di Indonesia tinggi, salah satu aktor utamanya adalah penyelenggara pemerintahan daerah dalam lingkup kepala daerah maupun aggota DPRD. Sistem keuangan di daerah diejawantahkan dalam penganggaran terutama dalam bentuk APBD. Sebagai unsur pembangunan yang begitu penting dan menyentuh lini kehidupan masyarakat secara langsung, APBD memegang fungsi penting dalam menyejahterakan masyarakat. Adanya substansi peraturan perundang-undangan maupun kelembagaan terkait nyatanya tidak mampu menutup celah korupsi APBD di Indonesia. Permasalahan tersebut dapat dilihat dalam tataran yuridis maupun implementatif. Dalam lingkup peraturan perundang-undangan, telah terdapat sinkronisasi antara undang-undang dan peraturan pelaksanaanya bahwa anggaran dan pendapatan belanja daerah disusun dan direncanakan dengan menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja yang berorientasi pada kepentingan publik. Namun, terdapat kekosongan substansi secara yuridis terkait dengan penyusunan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Di tahap pertanggungjawaban,
terdapat
kekurangan
pada
mekanisme
ini
oleh
karena
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang hanya dipangku oleh Pemerintah Daerah. Di satu sisi, mekanisme pertanggungjawaban oleh pimpinan DPRD di dalam Permendagri, dalam pandangan penulis, hanya bersifat fakultatif dan deklaratoir. Hal ini kontraproduktif dengan kenyataan bahwa kedudukan keuangan DPRD memiliki pos anggaran yang tidak jarang porsi nya amat besar di APBD serta pada implementasinya, cukup banyak kasus korupsi APBD yang terbukti didalangi oleh anggota dewan. Dalam praktek korupsi yang terkait dengan APBD pihak yang terlibat bisa berasal dari anggota DPRD di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota maupun oleh kepala daerah. Berbagai cara juga digunakan dalam melakukan korupsi antara lain seperti mark-up anggaran, pos anggaran fiktif hingga dalam kegiatan kerja dewan. 25
Justice for the Poor Project Bank Dunia, Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Justice for the Poor Project, 2007), hlm. 18-19.
Saran Mengingat dalam tahap tahap penyusunan APBD terdapat ketiadaan pengaturan, Penulis mengusulkan suatu positivisasi format analisis standar belajar sebagai pedoman penyusunan RKA-SKPD. Oleh karena analisis standar belanja sebaga penilai kewajaran biaya dapat menangkal modus operandi korupsi seperti halnya penggelembungan serta duplikasi dana dalam suatu program/kegiatan. Selain itu dibutuhkan pula pencantuman indikator pertanggungjawaban dan sanksi penyerta yang tegas serta memaksa di permendagri terkait. Untuk memberantas praktek korupsi terhadap APBD dibutuhkan sebuah strategi yang komprehensif agar penyelenggaraan pembangunan di ndaerah berjalan dengan optimal dan dana APBD dapat digunakan untuk sebesar-besarnya menyejahterakan kehidupan rakyat. Strategi yang komprehensif ini harus mencakup aspek preventif, detektif dan represif. Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan jalan menghilangkan peluang korupsi. Strategi yang bersifat detektif yaitu diarahkan kepada bagaimana agar korupsi dapat diidentifikasi. Sedangkan strategi represif memberi penekanan pada proses penanganan atau penyelesaian kasus korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga ketika kita dapat menutup celah ataupun peluang korupsi, melakukan identifikasi tindakan korupsi dengan cermat serta melakukan penindakan terhadap pelaku korupsi secara konsisten hal ini akan meminimalisir terjadinya praktek korupsi terhadap APBD dan proses pembangunan di daerah yang merata dan optimal dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Adib. (ed.). Panduan Pengawasan Keuangan Daerah: Wawasan dan Instrumen Monitoring Tata Kelola Keuangan Daerah. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia. 2005. Admin Bidang Anggaran. “Belajar Analisis Standar Belanja Kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta”. http://dpkd.sumbarprov.go.id/berita/read/495belajar-analisis-standar-belanja-kepada-pemerintah-daerah-istimewayogyakarta.html. Diakses 24 Januari 2016 Pukul 22.08 Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Upaya Pencegahan dan penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan APBN/APBD. Jakarta: Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. 2002. Devas, Nick. dkk. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. 1999. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. Dasar-Dasar Penyusunan APBN di Indonesia. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2013. Fuady, Ahmad Helmy. et.al. Memahami Anggaran Publik. Yogyakarta: Dea Press. 2002. Ihsanuddin.
“KPK:
Anggota
DPRD
yang
Terjerat
Korupsi
3.600
Orang”.
ttp://nasional.kompas.com/read/2014/09/25/22533641/KPK.Anggota.DPRD.yang. Terjerat.Korupsi.3600.Orang. Diakses pada 23 Januari 2015. Indonesia
Corruption
Watch.
“Modus
Korupsi
Anggota
http://www.antikorupsi.org/id/content/modus-korupsi-anggota-dewan.
Dewan.” Diakses
pada 22 Januari 2015. Indonesia Corruption Watch. “Tren Pemberantasan Korupsi Semester 1 2015”. AntiKorupsi 14-18 September 2015. Indonesia. UU No. 17 Tahun 2003. Undang-Undang tentang Keuangan Negara. LN No. 47. TLN No. 4287. Justice for the Poor Project Bank Dunia. Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah. Jakarta: Justice for the Poor Project. 2007. Mahmudi. Manajemen Keuangan Daerah. Jakarta: Erlangga.2010. Mamesah. D.J. Sistem Administrasi Keuangan Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1995.
Nov.
“Ini
10
Kepala
Daerah
yang
Tersandung
Korupsi
di
2014”.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54afebb14ae5a/ini-10-kepala-daerahyang-tersandung-korupsi-di-2014. diakses pada 23 Januari 2015. Sasono, Herman Budi. Manajemen Pelabuhan dan Realisasi Ekspor Impor. Yogyakarta:ANDI. 2012. Sulistyaningsih. Tri. Citizen Power dan Fenomena Korupsi
di
Daerah.
https://www.unodc.org/documents/southeastasiaandpacific//2011/06/talkseries/Presentation_Tri_Sulistyaningsih_-_UMM.pdf. Diakses 21 Januari 2016 Pukul 20.48 WIB Thohary, Wahyudi dkk. Survey Persepsi Korupsi. Jakarta: Transparency International Indonesia. 2015. Utomo, Nugroho Adi. dkk. Anggaran Berbasis Kinerja: Tantangannya Menuju Tata Kelola Hutan yang Baik dalam Forest and Governance Programmed Government Brief Vol.37 Jakarta:Center for International Forestry Research. 2007. Wajong. Administrasi Keuangan Daerah. Jakarta: Ichtiar. 1962. World
Justic3
Project.
“Laporan
Tentang
Indonesia”.
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&ca d=rja&uact=8&ved=0ahUKEwj83Ij9x8LKAhUDTY4KHYnqAf4QFghTMAk&url =http%3A%2F%2Fworldjusticeproject.org%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Find onesia_report_011314_bahasa.pdf&usg=AFQjCNG0FcVJxRdcUehRfGc6nsuhM cpM-Q. diakses pada 23 Januari 2016. Yunita dan Hendra. Anggaran Berbasis Kinerja. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. 2010.