Penyetaraan Kewenangan DPD dan DPR : Implementasi Check and Balance System dalam Kekuasaan Legislatif Tuntutan reformasi yang mengawali adanya perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) telah membawa perubahan dalam kelembangaan negara dengan bertambahnya lembaga Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD). Hal ini dapat dilihat pada Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 yang dilaksanakan pada tahun 2001 dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Secara yuridis sebagai dasar kehadiran DPD Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D.1 Pada dasarnya hadirnya DPD sebagai lembaga baru pasca amandemen merupakan konsekuensi dari perubahan Pasal 1 ayat (2) yang tidak lain merupakan upaya untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan rakyat yaitu bicameral system. Secara historis, sebelum perubahan UUD NRI 1945 terdapat Utusan Golongan yang hampir serupa dengan keanggotaan DPD yang merupakan perwakilan-perwakilan daerah di pusat. Akan tetapi, sistem pemilihannya yang menjadikan keduanya berbeda. Utusan Golongan adalah mereka yang ditunjuk oleh Presiden,
1 Salmon E.M. Nirahua , 2011, Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, JURNAL HUKUM NO. 4 VOL. 18 OKTOBER 2011, hal. 856.
sedangkan DPD langsung dipilih oleh rakyat daerahnya sebagai representasi daerah di pusat. Pemilihan langsung anggota DPD merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak diserahkan kepada badan atau lembaga mana pun, tetapi langsung dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui pemilu.2 Maka implementasi prinsip kedaulatan rakyat tersebut, maka dilakukan dalam bentuk pemilihan langsung bagi anggota
DPD.
pembentukan
Hal DPD
ini yang
merupakan lebih
bagian
demokratis.
dari
gagasan
Bahwa
gagasan
pembentukan DPD merupakan upaya restrukturisasi sistem parlemen di Indonesia menjadi sistem bikameral. Akan tetapi, kehadiran DPD pasca amandemen tidaklah menjadi lembaga ini memiliki kesetaraan kedudukan pun juga kewenangan sebagai bagian lembaga legislatif. Mengingat bahwa sampai saat ini kedudukan dan kewenangan DPR masih superior dalam cabang kekuasaan legilsatif dibandingkan DPD yang masih inferior. Bahkan mirisnya lagi, DPD dianggap sebagai lembaga negara “komplementer� DPR saja. Mengingat bagaimana sejarah lahirnya DPD maka sangat perlu mengkaji sejauh urgensi kehadiran DPD dalam kelembagaan legislatif. Baik itu mengenai kewenangannya yang dianggap perlu disetarakan dengan DPR sebagaimana sistem dua kamar yang
2 Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2005, hlm. 44-45.
dianut saat ini. Sehingga DPD hanya memberikan pertimbangan, usul,
ataupun
saran
kepada
DPR
sebagai
lembaga
yang
memutuskan, baik dalam bidang legislatif maupun pengawasan dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 22F ayat (2) UUD NRI 1945. Selain itu, kewenangan DPD yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah pun hanya sebatas memberikan pertimbangan dan hal ini semakin menampakkan kelemahan fungsi DPD. Padahal otonomi daerah merupakan ranah khusus DPD dan original intentnya DPD sebagaimana dasar pemikiran dibentuknya DPD itu sendiri. Realitanya DPD sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk ikut menetapkan undang-undang berkaitan dengan
otonomi
memperjuangkan
daerah.
Maka
kepentingan
DPD
daerah
pun
dan
tidak
sebagai
dapat lembaga
bargaining terhadap kemungkinan pertimbangan DPD yang tidak dilanjuti oleh DPR meskipun itu merupakan ranahnya DPD. Hal
inilah
yang
mengakibatkan
DPD
tidak
memiliki
kekuasaan sama sekali dalam sistem ketatanegaraan saat ini yang membuat kedudukan DPD sangat lemah bahkan hanya sebagai lembaga yang hanya memberikan pertimbangan kepada DPR. Oleh Jimly Asshiddiqie menguraikan bahwa original intent kedua lembaga tersebut bahwa unsur anggota DPR didasarkan atas prosedur perwakilan politik (political representation), sedangkan
anggota DPD yang merupakan cerminan dari prinsip regional representation dari tiap-tiap daerah provinsi.3 Sehingga DPD selaku lembaga perwakilan daerah yang memiliki karakter keterwakilan berdasarkan daerah-daerah pada hakikatnya memiliki karakter keterwakilan yang lebih luas dari DPR, karena dimensi keterwakilannya berdasarkan seluruh rakyat yang
terdapat
pada
daerah-daerah
tersebut.
Maka
hal
ini
berkaitan dengan zelfstandigheid4 yaitu wewenang mandiri atau fungsi sepenuhnya dan/atau fungsi yang menentukan dari lembaga
perwakilan
(DPD),
baik
dari
segi
perencanaan,
penyusunan, pembahasan, sampai pengambilan keputusan. Akan tetapi, DPD tidak memiliki kewenangan seperti itu dan menyebabkan keberadaan DPD sebagai lembaga negara subordinasi dari DPR. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa kewenangan DPD dalam UUD NRI 1945 tidak fungsional, karena DPD tidak memiliki “empowering instrument”. Sehingga penentuan sistem bikameral lemah yang disepakti saat ini, hendaknya hanya didasarkan pada pembatasan terhadap lingkup kewenangan dari lembaga
perwakilan
yang
ada,
bukan
dalam
bentuk
kewenangannya. Sehingga dengan pembatasan yang demikian, maka dapat dihindarkan terjadinya pengaturan fungsi dari 3Asshaddiqie, Jimly, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Cet. Kedua, Yogyakarta, hlm. 38 dan 49. 4 Abd. Rahman, “Kedudukan Dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dalam Sistem Perwakilan Indonesia”, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2006, hlm. 33.
lembaga perwakilan tersebut yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang seharusnya dikehendaki atas pembentukan DPD. Meskipun
berbagai
upaya
dalam
penguatan
dan
penyetaraan DPD telah dilakukan, namun semuanya berujung sama, gagal. Misalnya dengan diajukannya dalam judicial review ke MK yaitu pertama, dengan 92/PUU-X/20125 dengan tanggal permohonan 14 September 2012 dan yang kedua ialah 79/PUUXII/2014 dengan tanggal permohonan 15 Agustus 2014. Bahwa tuntutan DPD memohon adanya kesetaraan DPD dengan DPR dalam menyikapi RUU yang menjadi domain DPD, namun upaya tersebut tidak berhasil, karena Mahkamah Konstitusi menolak permohonan penyetaraan tersebut untuk sebagian. Maka, dalam hal ini dapat diupayakan untuk melakukan amandemen terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan lembaga DPD dalam UUD NRI 1945. Serta dengan menerapkan konvensi ketatanegaraan yang merupakan salah satu solusi alternatif untuk memberikan kewenangan yang kuat kepada DPD disamping amandemen formal. Sampai saat ini, dengan tidak adanya sinkronisasi antara kedudukan dan kewenangan konstitusional DPD dengan sebagai lembaga negara seperti halnya DPR, maka perlu adanya amandemen terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 22D UUD NRI 1945. Selain itu, konvensi ketatanegaraan merupakan
5 Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 terhadap uji materiil UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
salah satu alternatif untuk memberikan kewenangan yang kuat kepada DPD disamping amandemen formal. Sehingga berdampak pada penegasan bahwa kewenangan konstitusional DPD sebagai lembaga negara perwakilan daerah dan memiliki kewenangan yang setara dengan DPR sebagai lembaga legislatif yang dipilih langsung dalam Pemilu. Sehingga check and balances dalam kekuasaan legislatif dapat terimplementasikan.