LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS
alsa-indonesia.org
E-LITIGASI DI MASA PANDEMI Cut Putroe Salsabila
Merebaknya pandemi COVID-19 membawa banyak perubahan di berbagai aspek di belahan dunia, baik di bidang pendidikan, ekonomi, juga hukum. Pemerintah sudah menganjurkan masyarakat untuk “Bekerja Dari Rumah� atau Work From Home yang dikenal dengan istilah WFH. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengurangi resiko dampak penularan virus dan pemutusan mata rantai COVID-19. WFH dinilai cukup efektif dalam penerapan social distancing guna pengurangan kerumunan massa dalam satu tempat di berbagai bidang, salah satunya di bidang hukum, termasuk dalam hal ini adalah pelaksanaan sidang peradilan dalam ruang peradilan secara langsung. Pandemi yang telah ada dalam beberapa bulan terakhir ini telah mendorong sejumlah lembaga penegak hukum bersepakat menggelar sidang perkara secara daring (online). Dasarnya adalah Nota Kesepahaman antara MA, Kejaksaan, Kepolisian, dan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan tentang Pelaksanaan Sidang Perkara Pidana melalui Konferensi Video dalam Rangka Pencegahan COVID-19 pada 13 April 2020. Bidang hukum yang selama ini lekat dengan tatap muka saat persidangan harus melaksanakan perubahan terkait adanya penerapan protokol kesehatan. Era digital sudah di depan mata dan harus dihadapi, pun dengan masa pandemi menuntut penggunaan teknologi informasi yang didalamnya penuh tantangan. Jaksa Agung, ST Burhanuddin telah menginstruksikan seluruh Kejaksaan Negeri (Kejari) untuk menggelar persidangan secara daring atau online. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum) Hari Setiyono, menerangkan, hingga 27 Oktober 2020, persidangan secara online telah dilaksanakan di seluruh jajaran Kejaksaan Negeri seluruh Indonesia dengan jumlah persidangan sebanyak 388.075 kali persidangan. Adapun sebanyak 73.284 perkara telah diputus atau diselesaikan secara online. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun di tengah pandemi COVID-19, hak masyarakat pencari keadilan tidak diabaikan. Situasi penyebaran virus COVID-19 yang semakin meluas membutuhkan terobosan agar proses hukum tetap harus berjalan. Dengan tetap memperhatikan hak-hak para Tersangka, Terdakwa, Korban, Saksi maupun Masyarakat luas. Menyikapi hal tersebut, Jaksa Agung RI mengeluarkan Instruksi Jaksa Agung Nomor 5 Tahun 2020 tanggal 23 Maret 2020 tentang Kebijakan Pelaksanaan Tugas dan Penanganan Perkara
Selama Masa Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Kejaksaan RI dan juga Surat Jaksa Agung Nomor B-049/A/SUJA/03/2020 tanggal 27 Maret 2020 perihal Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Kewenangan Di tengah Upaya Mencegah Penyebaran COVID-19. Hakim Agung Sofyan Sitompul menyatakan bahwa Mahkamah Agung telah menerbitkan SEMA No.1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan penyebaran COVID-19 di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya. Salah satunya meminta pengadilan mengoptimalkan penggunaan sarana teknologi termasuk dalam proses persidangan secara elektronik (e-court dan e-litigasi) selama masa pandemi COVID-19. Namun, yang diatur dalam SEMA tersebut masih terbatas pada sistem peradilan elektronik untuk perkara perdata, agama, dan tata usaha negara (TUN). Jauh sebelum pandemi yang mengubah gaya hidup masyarakat, Mahkamah Agung telah menerapkan sistem peradilan secara elektronik untuk perkara perdata, agama, dan TUN dengan memanfaatkan teknologi di semua pengadilan seluruh Indonesia sebagaimana amanat Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035. Selain itu untuk mengoptimalkan penggunaan teknologi, MA telah membentuk kelompok kerja (pokja) untuk merancang sistem kerja persidangan perkara pidana berbasis teknologi di pengadilan. Seperti persidangan pada umumnya, tentu tetap ada tantangan yang dihadapi. Namun, tantangan yang dihadapi penegak hukum dalam menyelenggarakan persidangan secara daring harus tetap memenuhi berbagai asas hukum layaknya persidangan biasa, seperti terbuka untuk umum, peradilan yang jujur, imparsial, dan berbagai norma yang diatur dalam KUHAP. Dan tentunya yang paling penting dalam persidangan elektronik ini hak para pihak untuk mendapatkan keadilan tidak boleh dikurangi. Selain itu, hal utama lainnya yang menjadi kunci keberhasilan peradilan secara online adalah adanya dukungan sarana dan prasarana, seperti contohnya kesiapan masing-masing pihak yang belum seragam untuk melaksanakan persidangan secara daring ini. Begitu juga kualitas koneksi yang berbeda-beda dan bahkan ada yang terputus ketika persidangan berlangsung, sehingga menghambat jalannya proses persidangan Pemerintah dinilai perlu menerbitkan regulasi yang mendukung sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk persidangan pidana secara daring. Kemudian, meski sidang elektronik sudah diterapkan melalui kebijakan e-Court dan eLitigation sebelum masa pandemik, tapi penerapan hanya berlaku untuk perkara perdata, perdata agama, TUN. Sedangkan, sidang perkara pidana secara daring saat masa pandemi prakteknya
dinilai menimbulkan masalah atau kendala teknis dari sisi infrastruktur (sarana), selain belum ada regulasi pedoman hukum acaranya. Nantinya, sistem persidangan perkara pidana secara daring ini akan dituangkan dalam bentuk Peraturan MA (Perma) tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik. Menurut keterangan Hakim Agung Sofyan, sampai saat ini sudah tersusun 28 pasal yang akan menjadi pedoman bagaimana pelaksanaan persidangan perkara pidana. elektronik di pengadilan. Menurut Advokat senior Luhut MP Pangaribuan, selama ini ada beberapa persoalan dalam sidang perkara pidana secara daring di masa pandemi. Seperti, kurangnya pemenuhan hak-hak para pihak; proses persidangan terhambat; adanya kekhawatiran penularan Covid-19 di pengadilan; mekanismenya (hukum acara) terpaksa berubah. Selain itu, masih banyak pihak yang belum bisa menggunakan teknologi dan ketersediaan jaringan internet di daerah tertentu ketika ingin melakukan persidangan elektronik. Meski sudah ada nota kesepahaman terkait penggunaan video conference perkara pidana, terutama untuk pemeriksaaan saksi, tapi tetap ada hambatan ketersediaan perangkat elektronik di masing-masing instansi, posisi terdakwa, dan keberadaan pihak terkait (saksi). Karena itu, menurut Luhut, jika persidangan pidana secara online terus digelar dapat mengganggu prinsip fair trial (peradilan jujur dan adil). Sebab, jika infrastruktur untuk mendukung peradilan online yang kurang memadai potensial mengurangi keabsahan proses pembuktian. Saat ini untuk sidang perkara pidana masih dilakukan kombinasi antara persidangan elektronik dengan sidang tatap muka langsung di pengadilan. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, (LeIP) Liza Farihah, perlu adanya koordinasi dengan kejaksaan negeri dan rutan atau lapas demi kelancaran persidangan elektronik karena masih terbatasnya SDM si pengadilan untuk melaksanakan sidang e-litigasi dalam perkara pidana. Diperlukan pula proses yang memudahkan bagi pihak berperkara untuk mengakses layanan bantuan hukum dan layanan pengadilan secara prodeo di tengah pandemi COVID-19. Selain itu, tetap diperlukan transparansi dan akuntabilitas persidangan terbuka untuk umum dalam perkara pidana karena sejauh ini belum ada peraturan e-litigasi. Artinya, ada ketentuan yang dapat menyiarkan sidang secara langsung, misalnya melalui youtube dan terdapat fitur chat dalam sebuah aplikasi khusus.
Untuk menghadapi kehidupan adaptasi kebiasaan baru di tengah pandemi, Liza mengusulkan beberapa catatan pelaksanaan e-litigasi yang harus segera diatasi yakni dukungan teknologi informasi untuk mengakses internet; perangkat elektronik untuk sidang e-litigasi; keamanan aplikasi; dan prosedur teknis tata cara persidangan elektronik yang saat ini belum ada aturannya.