LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS
alsa-indonesia.org
KNOW YOUR RIGHTS VOL. 5: THE RIGHT OF PUBLIC COMMUNITY TO GET PROPER PUBLIC SERVICES: GOVERNMENT ADVOCACY THROUGH LAPOR! ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada Written by: Anabel M A Manulang (Internal Affairs, 2019)
Issue Have you ever waited too long to make population administration documents such as a KTP or SIM? Or have you experienced a random electricity blackout in your hometown? Those are just a few examples of poor public services by the government. What do you do when you experience poor public services? Maybe some of you will post about it on social media to capture related institutions’ attention. However, they may not respond nor act upon it. Whereas we all have the right to obtain proper public services.
Regulations and Analysis Law Number 25 of 2009 regarding Public Service (Public Service Law) provides a solid regulation in regards to public service in Indonesia. Public service, in accordance with Article 1(1) of the Public Service Law, is an activity or series of activities in the framework of fulfilling service needs in accordance with the laws and regulations for each citizen and resident of goods, services, and/or government services provided by the organizer.
The organizer here is each state-run institution, corporation, independent institution established under the law for public service activities, and other legal entities formed solely for public service activities, based on Article 1(2) of the Public Service Law. Detailed on Article 18 of the Public Service Law, it is stated that our rights to public services are: a.
Know the truth of the contents of service standards;
b.
Supervise the implementation of service standards;
c.
Get a response to the complaint submitted;
d.
Get advocacy, protection, service, or fulfillment of services;
e.
Notify the leader of the organizer to improve services if the services provided are not in accordance with service standards;
f.
Notify the implementer to improve services if the services provided are not in accordance with service standards;
g.
Complaining about implementers who deviated service standards and/or did not improve services to organizers and Ombudsman;
h.
Complain the organizers who deviate service standards and/or do not improve services to the organizers and Ombudsman; and
i.
Get a quality service in accordance with the principles and objectives of the service.
From the rights that we have, we can complain about the public service directly to the organizer. As a complainant, we have rights which are regulated under Article 2(1) of the Presidential Regulation Number 76 of 2013 regarding Management of Public Service Complaints. The complainant has the right to submit complaints for a service provider that is not in accordance with service standards or disregard of obligations and/or violations of prohibitions by the organizer.
Based on Presidential Regulation Number 76 of 2013 and Regulation of the Minister of Administrative Reform and Bureaucratic Reform Number 3 of 2015, The Government of the Republic of Indonesia has established the National Public Service Complaint Management System (SP4N) – Online People’s Aspirations and Complaints Service (LAPOR!). We can submit aspirations and complaints through several channels of LAPOR!, such as www.lapor.go.id, SMS 1708 (Telkomsel, Indosat, Tri), Twitter @lapor1708, and also a mobile application (Android and iOS).
The following is a workflow diagram of LAPOR!
Conclusion Our right is covered by Public Service Law and Management of Public Service Complaints Law and the government has provided a platform for us to submit each reports. Don’t be afraid to submit a complaint through LAPOR! because that is our right as citizens!
ALSA LEGAL ASSISTANCE #2: MEMOTRET HALAMAN BUKU DALAM HAK CIPTA ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada Ditulis oleh: Rafa Raasyidah Y T (Law Development, 2019) & Cintya Sekar (External Affairs, 2019)
Pertanyaan: Apakah memotret beberapa halaman dari buku orang lain termasuk melanggar hak cipta dalam hal menggandakan hak cipta?
Jawaban: Terima kasih MA atas pertanyaannya! Berikut hasil pembahasan dan analisis Kami mengenai pemotretan halaman buku dalam Hak Cipta.
Sebelum membahas topik lebih lanjut, penting halnya untuk mengetahui definisi hak cipta serta ciptaan terlebih dahulu. Hak Cipta merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa
mengurangi
pembatasan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan.[1] Secara singkat, Hak Cipta dapat diartikan sebagai hak kepemilikan yang dimiliki oleh Pencipta berupa adanya perlindungan terhadap Ciptaan seseorang.[2] Ciptaan yang dimaksud merupakan setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.[3] Ciptaan dalam kehidupan sehari-hari dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, salah satunya dalam teknologi. Dari tahun ke tahun, teknologi terus mengalami perkembangan yang pesat. Kehadiran teknologi memang memudahkan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama bagi kita dalam mencari, mengakses, serta mengunggah berbagai macam informasi. Saat ini, terdapat berbagai cara untuk memperoleh informasi seperti untuk mendapatkan tulisan yang ada di dalam buku, koran, serta naskah tertulis menggunakan teknologi media digital. Cara-cara tersebut tak jarang dilakukan
untuk menggandakan suatu ciptaan. Penggandaan sendiri merupakan proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara.[4] Dalam beberapa kasus, masih banyak masyarakat yang belum memahami hubungan teknologi dengan hak cipta. Misalnya, apakah memotret beberapa halaman dari buku karya orang lain termasuk melanggar hak cipta dalam hal penggandaan. Dalam hal ini, sangatlah perlu untuk melihat tujuan di balik tindakan penggandaan itu. Hal ini penting untuk diketahui agar kehadiran teknologi tidak membawa dampak negatif bagi beberapa seperti kerugian materiil dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta tersebut.
Hak cipta tentunya memiliki regulasi yang menjadi dasar segala hal mengenainya. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta�) menjadi dasar hukum yang dipakai untuk segala hal mengenai Hak Cipta di Indonesia. Untuk mengetahui apakah kegiatan memotret halaman dari buku karya orang lain termasuk pelanggaran hak cipta, maka beberapa pasal dalam UU Hak Cipta yang akan menjadi fokus pembahasan adalah Pasal 12 ayat (1), Pasal 43, Pasal 44, Pasal 46 dan Pasal 47. Setiap pasal tersebut membahas inti-inti yang berbeda. Pada prinsipnya, dalam Hak Cipta terdapat hak eksklusif yang berarti bahwa tidak ada pihak lain yang boleh menggunakan hak tersebut kecuali dengan izin dari Penciptanya atau dibenarkan menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.[5]
Buku merupakan Ciptaan yang dilindungi.[6] Artinya, Ciptaan yang sudah diwujudkan dalam bentuk buku nyata tersebut, baik yang tidak atau belum dilakukan pengumuman, dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.[7] Adapun sebagaimana arti penggandaan yang tertera dalam UU Hak Cipta, tindakan memotret beberapa halaman dari buku dapat dikategorikan sebagai tindakan penggandaan. Tindakan memotret termasuk dalam penggandaan Ciptaan karena hasil penggandaan (foto) berasal dari tindakan penggandaan yang dapat digolongkan permanen maupun sementara. Selain itu, foto tersebut mengandung isi dari buku yang digandakan secara digital. Secara langsung, foto tersebut merupakan salinan walaupun dapat dihapus sewaktu-waktu (sementara). Dalam hal ini, hal
yang digandakan merupakan adalah halaman buku.
Sebelum membahas lebih lanjut, kita harus memahami perbedaan antara penggandaan dan pembajakan. Penggandaan merupakan proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara.[8] Berbeda dengan penggandaan, definisi pembajakan adalah penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.[9] Dalam menentukan apakah penggandaan yang dilakukan oleh seseorang dikategorikan sebagai pembajakan atau tidak, maka perlu diperhatikan terlebih dahulu niat atau tujuan seseorang dalam melakukan tindakan penggandaan tersebut. Adapun pemotretan beberapa halaman buku tersebut apabila tujuannya untuk dijual (komersial) demi memperoleh keuntungan ekonomi, maka dapat dikategorikan sebagai tindakan pembajakan dan merugikan Pencipta karena Pencipta adalah orang yang memiliki hak ekonomi atas karyanya.[10] Hak ekonomi yang dimaksud sebelumnya merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.[11] Hak ekonomi yang dimiliki oleh Pencipta beberapa diantaranya ialah hak untuk melakukan:
1.
Penerbitan Ciptaan;
2.
Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
3.
Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; serta
4.
Pengumuman Ciptaan.
Terkait sanksi pembajakan, setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan Penggandaan Ciptaan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).[12]
Adapun beberapa hal yang dikategorikan sebagai penggandaan yang tidak dianggap pelanggaran Hak Cipta ialah seperti penggandaan lambang negara dan lagu kebangsaan
menurut sifatnya yang asli.[13] Penggandaan yang diperbolehkan selain yang disebutkan sebelumnya merupakan penggandaan yang dilakukan untuk keperluan perpustakaan. Keperluan perpustakaan tersebut tentunya bukan untuk tujuan komersial. Perpustakaan dapat menggandakan sebuah Ciptaan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dengan cara reprografi dan penggandaan dengan tujuan pemeliharaan atau penggantian salinan yang diperlukan atau rusak/hilang/musnah. seperti tujuan untuk menggantikan salinan yang telah rusak.[14] Penggandaan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh atau atas nama pemerintah kecuali dinyatakan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, pernyataan pada Ciptaan tersebut, atau ketika terhadap Ciptaan tersebut dilakukan Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan,[15] serta penggandaan potret pemimpin negara, Pahlawan Nasional, pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, dan/atau kepala daerah.[16] Selain itu, apabila seseorang melakukan penggandaan dengan memotret beberapa halaman buku orang lain mempunyai tujuan pendidikan, penyelenggaraan dalam badan yudikatif, eksekutif, dan legislatif, ceramah berpendidikan, pertunjukan yang tidak merugikan Pencipta[17] juga tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika tujuannya pun tidak untuk keuntungan komersial.[18] Tujuantujuan tersebut haruslah dicantumkan secara lengkap atau juga dengan mencantumkan sumbernya.[19] Tidak hanya itu, penggandaan untuk tujuan kepentingan pribadi hanya dapat dibuat sebanyak 1 (satu) salinan dan dapat dilakukan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.[20] Adapun penggandaan untuk kepentingan pribadi tidak mencakup penggandaan terhadap karya arsitektur dalam bentuk bangunan atau konstruksi lain, substansial dari suatu buku atau notasi musik, substansial dari database dalam bentuk digital, program komputer dan penggandaan untuk kepentingan pribadi yang pelaksanaannya bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.[21]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa memotret halaman buku termasuk penggandaan. Namun tidak dapat dikatakan secara langsung bahwa perbuatan tersebut adalah pembajakan yang melanggar hak cipta, melainkan harus dilihat niat atau tujuan orang tersebut dalam melakukan penggandaan. Jika seseorang mendasari perbuatan penggandaannya untuk tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 UU Hak Cipta dan dengan mencantumkan sumbernya,
maka penggandaan tersebut tidak dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Cipta. Namun apabila seseorang mendasari penggandaan itu dengan tujuan untuk meraup keuntungan ekonomi dan penggandaan itu dilakukan tanpa izin, maka penggandaan tersebut dapat dikatakan sebagai pembajakan dan merupakan pelanggaran Hak Cipta. Adapun jika penggandaan yang dilakukan bertujuan untuk kepentingan pribadi, maka hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali penggandaan terhadap ciptaan tersebut serta tidak perlu meminta izin kepada pemilik hak cipta, dengan pengecualian yang terdapat dalam Pasal 46 ayat (2) UU Hak Cipta.
Demikian hasil pembahasan dan analisis dari Kami, semoga dapat mencerahkan.
*Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan unutk menghubungi professional yang mempunyai keahlian dalam bidang hukum tersebut.
Dasar Hukum: [1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta [“UU Hak Cipta�], Pasal 1(1) [2] David I. Bainbridge, Komputer dan Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 15. [3] UU Hak Cipta, op.cit, Pasal 1(3). [4] Ibid. Pasal 1(12). [5] Budi Agus, 2017, Pembatasan dan Pengecualian Hak Cipta di Era Digital, Citra Aditya Bakti, Bandung. [6] UU Hak Cipta, op.cit, Pasal 40 ayat (1)(a). [7] Ibid. Pasal 40 ayat (2) dan (2). [8] Ibid. Pasal 1 ayat (12). [9] Ibid. Pasal 1 ayat (23). [10] Ibid. Pasal 8. [11] Ibid. [12] Ibid. Pasal 113. [13] Ibid. Pasal 43(a).
[14] Ibid. Pasal 47. [15] Ibid. Pasal 43(b). [16] Ibid. Pasal 43(e). [17] Ibid. Pasal 44. [18] Ibid. Pasal 44(1). [19] Ibid. Pasal 44(2). [20] Ibid. Pasal 8. [21] Ibid. Pasal 46(2).
ALSA LEGAL ASSISTANCE #1: REGULASI PEMAGANGAN AKADEMIK DAN NON-AKADEMIK DI INDONESIA ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada Ditulis oleh: Rafa Raasyidah Y T (Law Development, 2019) & Cintya Sekar (External Affairs, 2019)
Pertanyaan Hello! Saya sedang berencana untuk melaksanakan magang pada akhir tahun ini di law firm atau institusi pemerintah. Saya mendengar banyak review yang beragam mengenai pengalaman magang dari senior dan teman-teman saya, yaitu ada pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Saya ingin bertanya, apa saja hak dan kewajiban saya nantinya sebagai peserta magang dan perusahaan tempat saya melakukan magang menurut hukum Indonesia? Apakah ada pembatasan waktu kerja, standar upah minimum, atau penanggungan biaya makan atau transportasi untuk seorang peserta magang? Kemudian, apakah terdapat beberapa work field tertentu yang tidak boleh dijadikan sebagai tempat magang oleh mahasiswa hukum? Jawaban Terima kasih ST atas pertanyaannya! Berikut hasil pembahasan dan analisis Kami mengenai hak-hak dalam masa pemagangan.
Di dalam dunia akademik maupun profesi, kita dapat menjumpai banyak cara untuk mengasah skill dalam bekerja, salah satunya adalah melalui pemagangan. Pemagangan merupakan bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.[1] Pertanyaan yang sering dihadapi oleh calon peserta pemagangan adalah mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai calon peserta pemagangan yang diberikan dari kantor, pembatasan jam kerja magang, berapa jumlah insentif yang diberikan kepada peserta pemagangan, akomodasi yang diberikan oleh institusi, serta batas-batas pekerjaan yang dapat dilakukan oleh seorang peserta pemagangan. Dilihat dari tujuan pemagangan, terdapat dua jenis pemagangan, pemagangan
yang bertujuan untuk pelatihan kerja (pemagangan non-akademik) dan pemagangan yang bertujuan untuk memenuhi tuntutan akademik (pemagangan akademik).
Pemagangan non-akademik dapat dilihat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang membahas hak-hak peserta pemagangan sebagaimana telah diatur dalam perjanjian pemagangan yang sudah disepakati oleh peserta pemagangan dan institusi yang berhubungan.[2] Pemagangan yang dilaksanakan tanpa adanya perjanjian pemagangan sebelum mulainya pemagangan merupakan pemagangan yang tidak sah dan peserta pemagangan tersebut akan dikategorikan sebagai buruh perusahaan penyelenggara pemagangan.[3] Peraturan mengenai pemagangan secara lebih lanjut juga diatur dalam peraturan sektoral yaitu di dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri (“Permenaker 36/2016”) yang mengatur hak-hak peserta pemagangan dalam pelaksanaan pemagangan secara lebih spesifik.[4] Hak-hak peserta pemagangan dapat dilihat pada Pasal 12 Permenaker 36/2016, yang menyatakan hak-hak seperti memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti pemagangan, memperoleh uang saku, memperoleh perlindungan dalam bentuk jaminan kecelakaan kerja dan kematian, dan memperoleh sertifikat. Uang saku yang dimaksud adalah biaya transportasi (akomodasi), uang makan, dan insentif peserta pemagangan. Namun, tidak ada regulasi yang menyatakan nominal mengenai insentif yang harus diberikan kepada peserta pemagangan. Sementara itu, mengenai jangka waktu pemagangan, Pasal 6(7) Permenaker 36/2016 menetapkan yaitu maksimal satu tahun setelah ditandatanganinya perjanjian pemagangan,[5] tetapi tidak ada regulasi spesifik mengenai jam kerja harian dalam pemagangan.
Adapun dasar hukum mengenai pemagangan akademik diatur dalam Kemenristek Dikti Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia diatur dalam Keputusan Menteri Nomor 123/M/KPT/2019 Tentang Magang Industri dan Pengakuan Satuan
Kredit
Semester
Magang
Industri
untuk
Program
Sarjana
dan
Terapan (“Kepmen 123/M/KPT/2019”).[6] Pemagangan akademik berbeda dengan
Sarjana
pemagangan yang disinggung dalam UU Ketenagakerjaan. Pemagangan akademik dapat berupa pemenuhan kurikulum atau persyaratan profesi tertentu seperti profesi dokter, advokat dan notaris.[7] Pemagangan akademik juga mencakup pemagangan industri yang diperuntukkan bagi mahasiswa program sarjana dan mahasiswa terapan. Ketentuan mengenai pemagangan akademik dapat dilihat sebagai berikut :
1. Ketentuan pada Kepmen 123/M/KPT/2019
Syarat Pemagangan Akademik : Mahasiswa program sarjana atau mahasiswa terapan.
Ketentuan Waktu Pemagangan : Minimal 1 (satu) bulan yaitu 5 (lima) hari kerja per minggu, 8 (delapan) jam per hari serta setara dengan 2.720 menit magang (45 jam).[8]
Insentif yang Diperoleh Peserta Pemagangan : Tidak ada pengaturannya.
Hak-hak yang Diperoleh Peserta Pemagangan : Terhitungnya program magang dalam satuan kredit semester (SKS).[9]
Kewajiban Tempat Pemagangan : Tidak ada pengaturan-nya.
2. Perusahaan Swasta Jakarta [10]
Syarat Pemagangan Akademik : Tidak ada pengaturan-nya.
Ketentuan Waktu Pemagangan : 31% peserta pemagangan menjalani periode pemagangan selama 10-12 minggu atau 2-3 bulan. [11]
Insentif yang Diperoleh Peserta Pemagangan : 25% peserta pemagangan mendapat imbalan > Rp 2.000.000.[12]
Hak-hak yang Diperoleh Peserta Pemagangan : Tidak ada pengaturan-nya.
Kewajiban Tempat Pemagangan : Tidak ada pengaturannya
3. FH UGM[13]
Syarat Pemagangan Akademik : Pemagangan I : Minimal 55 SKS, minimal GPA 2.50/4.00, terdaftar sebagai mahasiswa aktif, mengisi registrasi internship (KRS) di awal semester tersebut. Pemagangan II : Minimal 91 SKS, telah menyelesaikan pemagangan I, minimal GPA 2.50/4.00, terdaftar sebagai mahasiswa aktif, mengisi registrasi internship (KRS) di awal semester tersebut.
Ketentuan Waktu Pemagangan : Tidak ada pengaturannya.

Insentif yang Diperoleh Peserta Pemagangan : Tidak ada pengaturannya.

Hak-hak yang Diperoleh Peserta Pemagangan : Terhitungnya masa pemagangan sebagai kredit SKS yang merupakan syarat kelulusan.

Kewajiban Tempat Pemagangan : Tidak ada pengaturannya.
Adapun aturan mengenai pemagangan akademik di law firm, sebagian besar law firm tidak mencantumkan jangka waktu pemagangan, insentif yang diberikan kepada peserta pemagangan serta ketentuan akomodasi (transportasi dan makan) peserta pemagangan pada situs law firm terkait. Informasi yang dapat diakses secara umum hanya mengenai persyaratan pemagangan akademik dan hak peserta pemagangan. Misalnya Hadiputranto Hadinoto & Partners menyatakan bahwa persyaratan program pemagangan bagi mahasiswa berupa nilai minimum GPA 3.0/4.0, transkrip nilai untuk 110 SKS, persyaratan bahasa dan lain sebagainya serta adanya tes tertulis dan wawancara.[14] Adapun Hanafiah Ponggawa & Partners menyatakan bahwa peserta pemagangan dapat memperoleh hak berupa laporan evaluasi pemagangan untuk kredit SKS mahasiswa yang bersangkutan.[15]
Dengan demikian, dapat kita simpulkan beberapa hal mengenai pemagangan akademik bahwa ketentuan mengenai jangka waktu pemagangan akademik, insentif minimal yang dapat diperoleh peserta program pemagangan akademik dan ketentuan akomodasi peserta program pemagangan akademik tidak diatur bersamaan dalam satu regulasi hukum nasional. Hukum nasional dalam Kepmen 123/M/KPT/2019 hanya mengatur mengenai jangka waktu pemagangan akademik. Ketentuan lain secara lebih spesifik diatur dalam peraturan perusahaan, instansi pemerintahan atau universitas terkait seperti yang telah dijelaskan di atas. Adapun untuk instansi pemerintahan, pengaturannya dapat dilihat pada undang-undang instansi terkait. Kemudian, untuk pemagangan akademik di law firm, hanya syarat dan hak peserta pemagangan yang dapat diketahui informasinya. Secara umum, setelah menyelesaikan program pemagangan di instansi, perusahaan, atau law firm terkait, mahasiswa dapat memperoleh hak berupa terpenuhinya SKS yang bersangkutan. Demikian hasil pembahasan dan analisis dari Kami, semoga dapat mencerahkan.
*Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi profesional yang memiliki keahlian dalam bidang hukum tersebut.
Dasar Hukum : [1] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1(11) [“UU Ketenagakerjaan”] [2] UU Ketenagakerjaan, op.cit, Pasal 22(2) [3] Ibid. Pasal 22(3) [4] Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri [“Permenaker 36/2016”], Bab IV [5] Ibid, Pasal 6(7) [6] Keputusan Menteri Nomor 123/M/KPT/2019 [“Kepmen 123/M/KPT/2019”] [7] Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003; UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004. [8] Kepmen 123/M/KPT/2019, op.cit, diktum ketujuh. [9] Ibid. [10] Nabil dan Aryana, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi Karyawan Magang Menjadi Karyawan Tetap, Hasil Penelitian, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia; Sebuah penelitian terhadap 116 mahasiswa tahun terakhir yang 83% menjalankan program pemagangannya di Jakarta dan 71% di perusahaan swasta. [11] Ibid. [12] Ibid. [13] Internship Guidelines for International Undergraduate Program Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada [14] Hadiputranto Hadinoto & Partners, “Internship Program Customs Intern”, diunduh dari https://www.hhp.co.id/en/careers/internship-program-customs-intern, [diakses 19 Mei 2020]. [15] Harvardy, Marieta & Mauren Attorneys at Law, “Begini Kualitas yang Dicari Firma Hukum dari
Besar
dari
Lulusan
Kampus
Hukum”,
diunduh
http://hmmattorneys.com/2018/05/14/begini-kualitas-yang-dicari-firma-hukum-besar-
dari-lulusan-kampus-hukum/, [diakses 19 Mei 2020].
ALSA LEGAL ASSISTANCE #4: KONSEKUENSI HUKUM PERDAGANGAN BUKU BAJAKAN ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada Ditulis oleh: Rafa Raasyidah Y T (Law Development, 2019) & Cintya Sekar (External Affairs, 2019)
Pertanyaan: Bagaimana hukum terhadap perdagangan buku bajakan, baik bagi penjual dan pembeli?
Jawaban: Terima kasih MJJ atas pertanyaannya! Berikut hasil pembahasan dan analisis Kami mengenai konsekuensi hukum perdagangan buku bajakan.
Kita hidup dalam masa dimana teknologi berkembang dengan pesat sehingga memudahkan kita untuk menjalani hidup sehari-hari. Dengan adanya perkembangan teknologi tersebut, banyak orang mencari jalan alternatif dalam menjalani kehidupannya dan tak jarang demi kepentingannya masing-masing, seperti misalnya demi mendapatkan keuntungan ekonomi, seseorang melakukan pembajakan. Dewasa ini, pembajakan semakin marak terjadi, mulai dari pembajakan film, musik, buku, karya fotografi, hingga ilmu pengetahuan.[1] Pembajakan adalah penggandaan ciptaan dan/atau produk Hak Terkait (hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga Penyiaran) secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.[2] Oleh karena pembajakan merupakan tindakan penggandaan yang dilakukan secara tidak sah, dalam keadaan tertentu pembajakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap Hak Cipta. Dengan demikian, dalam penyelesaian sengketa terkait pembajakan para pihak dapat menyelesaikannya melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan.[3] Adapun pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Niaga, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta�), bagi mereka
yang melakukan pembajakan serta memperdagangkan barang hasil pembajakan. [4]
Dasar hukum yang dapat dijadikan rujukan dalam menelaah tindakan pembajakan adalah Pasal 10, Pasal 40, Pasal 113 ayat 3, Pasal 114, dan Pasal 120 UU Hak Cipta. Hal-hal yang dapat kita ketahui dari UU Hak Cipta ialah mengenai jenis Ciptaan yang dilindungi dan sanksi dari pembajakan yang dilakukan terhadap Ciptaan. Dasar hukum lainnya dapat dilihat dari Pasal 1338 dan Pasal 1365 KUH Perdata (“KUHPer�)[5] Kedua Pasal tersebut mengatur mengenai dasar perjanjian yang dalam hal ini adalah perjanjian jual beli dan implikasi pembajakan buku baik bagi penjual maupun pembeli.
Pada topik kali ini, yang akan menjadi pembahasan adalah pembajakan terhadap buku. Pembajakan buku merupakan upaya memperbanyak buku dengan cara dicetak, disalin, atau cara lain tanpa mendapat izin tertulis dari penerbit buku terkait.[6] Hal ini karena buku merupakan salah satu Ciptaan dari bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang dilindungi oleh Hak Cipta[7] dan juga rentan menjadi objek pembajakan. Maksud dari “dilindungi� disini ialah Pencipta atau Pemegang Hak Cipta berhak atas hak eksklusif yaitu berhak untuk mengatur penggunaan hasil karya atau hasil oleh gagasan atau informasi tertentu.[8] Hak eksklusif yang dimiliki oleh Pencipta atau Pemegang Hak Cipta ini berarti bahwa pihak lain tidak boleh menggunakan hak tersebut kecuali dengan izin Penciptanya atau dibenarkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[9] Karena itu, terdapat sanksi bagi mereka yang melakukan pembajakan buku, yaitu apabila seseorang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta, yang dalam hal ini merupakan penerbitan Ciptaan, penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya, pendistribusian Ciptaan dan salinannya, dan/atau pengumuman Ciptaan untuk penggunaan secara komersial yang dilakukan dalam bentuk pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).[10] Tidak hanya itu, sanksi pidana bahkan juga berlaku bagi mereka yang mengelola tempat perdagangan yang menjual barang hasil pembajakan di tempat perdagangan yang dikelolanya.[11] Penjual buku yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan buku bajakan di tempat perdagangan yang dikelolanya, dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).[12] Tindak pidana yang dimaksud dalam kedua pasal tersebut merupakan delik aduan.[13]
Selain melihat dari sisi penjual, dalam kaitannya dengan perdagangan buku bajakan, perlu juga diperhatikan dari sisi pembeli. Pembeli buku atau konsumen merupakan seseorang yang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat, baik untuk kepentingan keluarga, diri sendiri, orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.[14] Dalam konteks pembeli buku dimaksud, maka pembeli buku yang beritikad baik akan mendapatkan perlindungan hukum secara represif atau perlindungan hukum yang dilakukan setelah perbuatan atau pelanggaran itu dilakukan, ketika membeli suatu barang hasil pelanggaran Hak Cipta yang dalam hal ini berupa pembajakan.[15] Itikad baik dalam sebuah perjanjian jual beli diartikan menjadi dua, yaitu arti objektif dan subjektif. Dalam hal ini, secara objektif berarti pembeli buku yang beritikad baik mendasari perbuatannya dengan sesuatu yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[16] Sedangkan secara subjektif berarti pembeli buku yang beritikad baik mendasari perbuatannya dengan sikap batin yang baik dan jujur. [17] Dari kedua definisi tersebut, itikad baik pembeli buku bajakan berarti pembeli tidak mengetahui bahwa buku yang dibeli merupakan buku bajakan. Dengan adanya itikad baik yang merupakan dasar perjanjian dalam Pasal 1338 KUHPer oleh pembeli, perlindungan hukum secara wajar berupa ganti rugi berhak diperoleh pembeli.[18] Berdasarkan Pasal 1365 KUHPer, bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Kerugian pembeli dalam transaksi ini adalah berupa hasil bajakan yang dilakukan oleh penjual buku, sehingga dapat dipastikan kualitas buku tersebut menurun.[19] Ganti rugi tersebut dapat diperoleh pembeli yang beritikad baik dengan mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan perdata. Dengan demikian, pembeli buku bajakan yang beritikad baik berhak mendapatkan perlindungan hukum berupa ganti rugi yang disebabkan oleh penjual buku bajakan. Adapun dalam hal pembeli yang beritikad buruk belum ada regulasi yang mengatur mengenainya.
Hal yang dapat kita simpulkan adalah bahwa perdagangan buku bajakan secara sistematis diatur di dalam UU Hak Cipta dan KUHPer. Konsekuensi penjual buku hasil pembajakan ialah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat
miliar
rupiah)[20] serta
pidana
denda
paling
banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bagi penjual membiarkan penjualan buku bajakan di tempat perdagangan yang dikelolanya.[21] Selain itu, pembeli buku bajakan yang beritikad baik dilindungi dengan dasar perlindungan hukum secara wajar dalam Pasal 1338 KUHPer berupa ganti rugi dari penjual buku bajakan[22] yang dapat diajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri. Sedangkan untuk pembeli dengan itikad buruk, setelah kami riset, belum ditemukan regulasi hukum yang mengatur.
Demikian hasil pembahasan dan analisis dari Kami, semoga dapat mencerahkan.
*Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan unutk menghubungi professional yang mempunyai keahlian dalam bidang hukum tersebut.
Dasar Hukum : [1] Poetri, Sentot, dan Yenny. Perlindungan Hak Cipta atas Buku dari Tindakan Pembajakan di Pasar Buku. Hasil Penelitian. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. [2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta [“UU Hak Cipta”], Pasal 1 Ayat 23 jo. Pasal 1 Ayat 5. [3] UU Hak Cipta, Pasal 95 Ayat 1. [4] UU Hak Cipta, Pasal 95 Ayat 2. [5] KUH Perdata [“KUHPer”] [6] Poetri, Sentot, dan Yenny, op.cit. [7] UU Hak Cipta, Pasal 40 Ayat 1 (a). [8] Ibid. [9] Budi Agus, 2017, Pembatasan dan Pengecualian Hak Cipta di Era Digital, Citra Aditya Bakti, Bandung. [10] UU Hak Cipta, Pasal 113 Ayat 4.
[11] Ibid, Pasal 10. [12] Ibid, Pasal 114. [13] Ibid, Pasal 120. [14] Mauliddin, Perlindungan Hukum Bagi Pencipta dan Pembeli Buku Terkait Hasil Pelanggaran Hak Cipta, Hasil Penelitian, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Malang. [15] Ibid. [16] Ery Agus, Peranan Asas Itikad Baik dalam Kontrak Baku (Upaya Menjaga Keseimbangan bagi Para Pihak), Diponegoro Private Law Review, Vol. , No. 1, November 2017. [17] Ibid. [18] Novalia A, Tan K, Rosmidar S dan Jelly L, Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Pendahuluan (Voor Overeenkomst) pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No 37/PDT/PLW/2012/SIM), USU Law Journal, Vol.3, No.3, November 2015. [19] Mauliddin, op.cit. [20] UU Hak Cipta. Pasal 113 ayat 3. [21] Ibid, Pasal 114. [22] KUHPer, Pasal 1365.
ALSA LEGAL ASSISTANCE #3: SISTEMATIKA HTN DARURAT ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada Ditulis oleh: Rafa Raasyidah Y T (Law Development, 2019) & Cintya Sekar (External Affairs, 2019)
Pertanyaan: Bagaimana sistematika pelaksanaan hukum tata negara darurat di Indonesia?
Jawaban: Terima kasih AP atas pertanyaannya! Berikut hasil pembahasan dan analisis Kami mengenai sistematika HTN darurat.
Dalam keadaan yang mendesak seperti adanya bahaya dan kekosongan hukum, pemerintah pusat mempunyai hak untuk membentuk hukum tata negara darurat (“HTN Darurat”). Berbeda dengan hukum tata negara biasa, HTN Darurat merupakan rangkaian wewenang istimewa yang bertujuan untuk mengatasi keadaan darurat dalam waktu yang singkat dan hanya berlaku dalam keadaan darurat tersebut.[1] Kemudian, HTN Darurat dapat terbagi dalam berbagai kategori, dua contohnya adalah HTN Darurat Subjektif dan HTN Darurat Objektif.[2] HTN Darurat Subjektif adalah “hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang” yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan eksekutif.[3] HTN Darurat Subjektif mempunyai dasar hukum yaitu hak asasi manusia. HTN Darurat subjektif bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia yang terancam karena keadaan bahaya dan berbentuk hukum yang tidak tertulis namun diakui oleh dunia. [4] Berbeda dengan HTN Darurat Subjektif, HTN Darurat Objektif merupakan hukum tata negara yang berlaku saat negara sedang dalam keadaan darurat, bahaya, atau genting.[5] HTN Darurat Objektif mempunyai dasar hukum berupa undang-undang yang tertulis. Dalam HTN Darurat Objektif Undang-undang tentang keadaan bahaya dibutuhkan untuk mengatasi keadaan bahaya yang terjadi. [6] Pertanyaan yang sering dilontarkan mengenai HTN Darurat adalah bagaimana sistematika pelaksanaan HTN Darurat tersebut. Dasar hukum yang dapat dijadikan sebagai rujukan hukum tata negara darurat diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”)[7] yaitu dalam Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya (“Perppu 23/1959”).[8]
Keadaan bahaya yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 berbeda dengan kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945. [9] Keadaan darurat yang disebabkan oleh keadaan bahaya dinyatakan dalam Pasal 12 UUD 1945, di mana Presiden dapat menyatakan keadaan bahaya yang syarat-syarat dan ketentuannya diatur oleh Undang-Undang serta diatur lebih lanjut dalam Perppu 23/1959 dengan Pasal 12 UUD 1945 sebagai konsideran. Presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang berhak mengumumkan pernyataan atau penghapusan keadaan bahaya dan hal itu berlaku sejak hari diumumkan, kecuali ditetapkan waktu lain dalam keputusan tersebut. [10] Perppu 23/1959 menyatakan terdapat tiga tingkatan keadaan bahaya yaitu keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer, dan keadaan darurat perang. [11] Adapun salah satu dari ketiga tingkatan itu dinyatakan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang apabila: 1.
Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;[12]
2.
Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;[13]
3.
Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.[14]
Adapun sistematika pelaksanaan HTN Darurat adalah sebagai berikut: 1.
Penguasaan keadaan darurat sipil pada tingkat pusat dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, sedangkan pada tingkat daerah penguasaannya dilakukan oleh Kepala Daerah serendah-rendahnya dari Daerah tingkat II. [15] Dalam melakukan wewenang dan kewajibannya, Penguasa Darurat Sipil Daerah harus mengikuti arahan Penguasa Darurat Sipil Pusat dan bertanggung jawab kepadanya. [16] Apabila status
keadaan darurat sipil telah dicabut dengan tidak diikuti pernyataan keadaan darurat militer atau keadaan darurat perang, peraturan dan ketentuan yang telah dikeluarkan tidak berlaku lagi. Terkait hal ini, Penguasa Darurat Sipil Daerah dapat mempertahankan peraturan atau tindakan tersebut jika dirasa perlu selama empat bulan sesudah penghapusan keadaan darurat sipil. Apabila keadaan darurat sipil diganti dengan keadaan darurat militer atau keadaan darurat perang, maka peraturan dan ketentuan dari Penguasa Darurat Militer atau Penguasa perang.[17] Peraturan-peraturan Penguasa Darurat Sipil berlaku mulai saat pengundangannya, kecuali apabila ditentukan waktu yang lain untuk itu. Pengumuman yang seluas-luasnya dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh Penguasa Darurat Sipil.[18] 2.
Penguasaan
keadaan
darurat
militer
pada
tingkat
pusat
dilakukan
oleh
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, sedangkan pada tingkat daerah penguasaannya dilakukan oleh
Komandan Militer tertinggi serendah-rendahnya
Komandan Kesatuan Resimen Angkatan Darat atau Komandan Kesatuan Angkatan Laut/Angkatan Udara sederajat.[19] Dalam melakukan wewenang dan kewajibannya, Penguasa Darurat Militer Daerah harus mengikuti arahan Penguasa Darurat Sipil Pusat serta bertanggung jawab kepadanya. [20] Apabila status keadaan darurat militer telah dicabut dengan tidak diikuti pernyataan keadaan darurat perang, peraturan dan ketentuan yang telah dikeluarkan tidak berlaku lagi. Terkait hal ini, Penguasa Darurat Militer Daerah dapat mempertahankan peraturan atau tindakan tersebut jika dirasa perlu selama enam bulan sesudah penghapusan keadaan darurat militer. Apabila keadaan darurat militer diganti dengan keadaan darurat perang, maka peraturan dan ketentuan dari Penguasa perang. [21] 3.
Penguasaan
keadaan
darurat
perang
pada
tingkat
pusat
dilakukan
oleh
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, sedangkan pada tingkat daerah penguasaannya dilakukan oleh Komandan Militer tertinggi serendah-rendahnya Komandan Kesatuan Resimen Angkatan Darat atau Komandan Kesatuan Angkatan Laut/Angkatan Udara sederajat.[22] Dalam melakukan wewenang dan kewajibannya, Penguasa Darurat Militer Daerah harus mengikuti arahan Penguasa Darurat Sipil Pusat serta bertanggung jawab kepadanya. [23] Apabila keadaan darurat perang dihapuskan,
maka peraturan atau ketentuan yang telah dikeluarkan tidak berlaku lagi. Terkait hal ini, Penguasa Darurat Perang Daerah dapat mempertahankan peraturan atau tindakan tersebut jika dirasa perlu selama enam bulan sesudah penghapusan keadaan darurat perang. [24] Tak hanya itu, dalam melakukan penguasaan keadaan darurat sipil/keadaan darurat militer/keadaan darurat perang pada tingkat pusat, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang juga dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari Menteri Pertama, Menteri Keamanan/Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Luar Negeri, Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, Kepala Kepolisian Negara[25] serta Menteri/Pejabat lain apabila dipandang perlu.[26]
Selanjutnya, keadaan darurat yang disebabkan oleh hal ihwal kegentingan yang memaksa dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak
menetapkan
peraturan
pemerintah
sebagai
pengganti
undang-
undang. Berbeda dengan keadaan bahaya, dalam kegentingan memaksa tolak ukur yang dipakai dalam menetapkan peraturan pemerintah ialah berdasarkan pendapat subjektif presiden.[27] Maksud dari pendapat subjektif presiden ialah pembuatan Perppu ada ditangan presiden, namun penilaian subjektif presiden tersebut harus didasarkan pada keadaan yang objektif.[28] Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 menyatakan terdapat tiga syarat sebagai parameter kegentingan yang memaksa atau sebagai parameter keadaan objektif, yaitu :
1.
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2.
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan
3.
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Selain harus mendasarkan pada keadaan objektif sebagaimana disebutkan diatas, presiden dalam menetapkan peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam sidang yang berikutnya.[29] Apabila tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah tersebut harus dicabut. [30]
Keadaan bahaya pada Pasal 12 UUD 1945 dapat menjadi suatu kegentingan yang memaksa, namun kegentingan memaksa tidak selalu berawal dari keadaan bahaya[31], contohnya adalah adanya kekosongan hukum ataupun regulasi yang masih belum bisa memadai masalah yang ada.[32] Adanya keadaan bahaya ini dapat menghasilkan sebuah undang-undang darurat yang kedudukannya sejajar dengan Undang-Undang.[33] Berbeda dengan keadaan bahaya, kegentingan memaksa dapat menghasilkan sebuah Perppu. Keberadaan Perppu ini hanya berlaku sementara, yaitu sampai mendapat persetujuan dari DPR. Jika tidak mendapat persetujuan dari DPR, maka Perppu tersebut harus dicabut. Selain itu, Perppu mempunyai hierarki dan fungsi yang sama dengan Undang-Undang.[34] Namun, titik perbedaanya adalah Perppu hanya dikeluarkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.[35]
Kita dapat simpulkan bahwa hukum tata negara darurat dibagi berdasarkan dua pasal dalam UUD 1945, yaitu Pasal 12 dan Pasal 22. Keduanya mempunyai inti yang sama namun berbeda di segi prakteknya. Berdasarkan Pasal 12, presiden dapat menyatakan keadaan bahaya jika selaras dengan syarat-syarat yang dinyatakan dalam Perppu 23/1959. Undang-undang darurat yang terbentuk selanjutnya hanya dapat disahkan jika DPR menyetujui dan harus berdasarkan penilaian objektif sesuai dengan Perppu 23/1959. Berbeda dengan Pasal 12, Pasal 22 membahas kegentingan yang memaksa. Kegentingan yang memaksa merupakan penilaian subjektif presiden terhadap suatu keadaan bahaya yang pada akhirnya menghasilkan peraturan pemerintah yang juga harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
Demikian hasil pembahasan dan analisis dari Kami, semoga dapat mencerahkan.
*Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan untuk menghubungi professional yang mempunyai keahlian dalam bidang hukum tersebut.
Dasar Hukum : [1] Fajlurrahman Jurdi, 2019, Hukum Tata Negara Indonesia, Kencana, Jakarta, hal. 579. [2] Ibid. [3] Siti Indah Putri Yani, 2018, Tinjauan Yuridis Mengenai Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Skripsi Thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau, hal. 29. [4] Elfina Yulianti, Pengertian Hukum Tata Negara Darurat, Hasil Penelitian, Universitas Trisakti [5] Fajlurrahman Jurdi, loc.cit. [6] Elfina Yulianti, loc. cit. [7] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [“UUD NRI 1945”] [8] Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya [“Perppu 23/1959”] [9] Ali Marwan, Kegentingan yang Memaksa dalam Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Compelling Circumstances of The Enactment Government Regulation In Lieu of Law), Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14, No. 01, Maret 2017. [10] Pasal 2 ayat (1) dan (2) Perppu 23/1959. [11] Pasal 1 ayat (1) Perppu 23/1959. [12] Ibid. (1)13. [13] Ibid. (1)2. [14] Ibid. (1)3. [15] Ibid. Pasal 4 ayat (1). [16] Ibid. Pasal 7. [17] Ibid. Pasal 8 Ayat (2), (3), dan (5). [18] Ibid. Pasal 9. [19] Ibid. Pasal 5. [20] Ibid. Pasal 7. [21] Perppu 23/1959. Pasal 22 ayat 2, 3 dan 5 [22] Ibid. Pasal 6 ayat (1).
[23] Ibid. Pasal 7. [24] Ibid. Pasal 35 ayat (2), (3), dan (5). [25] Ibid. Pasal 3 ayat (2). [26] Ibid. Pasal 3 ayat (3). [27] Ali Marwan, loc. cit. [28] Ibid. [29] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 [“UUD 1945”] Pasal 22 Ayat 2. [30] Ibid. Pasal 22 ayat 3. [31] Ida Zuraida, Batasan Kegentingan yang Memaksa Dalam Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Di Bidang Perpajakan, Simposium Nasional Keuangan Negara, 2018, halaman 307. [32] Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. [33] Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 Tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Mendjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia [“UUDS 1950”], Pasal 96 Ayat (2). [34] Ida Zuraida, loc.cit. [35] UUD 1945, Pasal 22 Ayat 2.