LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS
alsa-indonesia.org
Keadilan Bagi Narapidana di Tengah Badai Virus Covid-19 Declever Dayen Siadari 190710101038
ABSTRAK Seluruh dunia yang ada dibelahan bumi sedang merasakan pandemik Covid-19 yang membuat seluruh lapisan masyarakat cemas dan waspada terkait penyebaran virus Covid-19, hal tersebut juga dirasakan oleh warga Binaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Virus Covid 19 menghantui warga Binaan yang ada di lembaga permasyarkatan dikarenakan kelebihan penghuni dan overcrowding yang dialamai oleh sebagian besar lapas yang ada di Indonesia. Kelebihan penghuni yang dimaksud di sini adalah situasi di mana ada kelebihan kapasitas di lapas atau ketika jumlah narapidana lebih banyak ketimbang jumlah ruang atau kapasitas penjara/lapas yang tersedia. Intinya jumlah narapidana tidak sebanding dengan jumlah ketersediaan ruangan lapas.1 Ditengah penuh sesaknya Penjara, pemerintah melakukan asimilasi dan integrasi bagi narapidana yang ada. Dengan Tujuan mengurangi tingkat penyebaran Virus Covid-19 di dalam penjara, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, yakin oleh kemenkumham banyak di tolak oleh elemen masyarakat, dikarenakan masyarakat takut narapidana yang telah dilepaskan akan kembali berulang untuk menggulangi tindak kriminal. Namun demi mencegah timbul klaster baru di dalam lapas, pemerintah tetap mengambil kebijakan untuk melepas kurang lebih 30.000 narapidana. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah seakan menjadi blunder telak, karena ada beberapa narapidana yang bukannya bertobat malah kembali berulang dengan melakukan tindak kriminal mulai dari kekerasan, pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian kendaraan bermotor (curanmor), penganiayaan, penyalahgunaan narkoba, hingga pencabulan terhadap anak. Essay ini akan mengkaji apakah kebijakan yang dilakukan pemerintah menjadi blunder.
1
Supriyadi Widodo Eddyono, “Overrowding yang menghantui Lapas� (https://nasional.kompas.com/read/2017/07/07/12130041/.overcrowding.yang.menghantui.lapas.di.in donesia.?page=all) diakses pada tanggal 28 juli 10: 40
PEMBAHASAN Lembaga Pemasyarkatan di Indonesia masih menjadi sorotan publik karena kerap mengalami berbagai masalah yang tidak kunjung selesai, mulai dari over kapasitas, terjadinya praktik pungutan liar dalam pelaksanaan pelayanan hak-hak narapidana. Lembaga Permasyarakatan merupakan tahap akhir dari sistem peradilan pidana, yakni terdiri dari 4 (empat) sub-sistem yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Sub sistem Lembaga Pemasyarakatan sebagai subsistem terakhir dari sistem peradilan pidana mempunyai tugas melaksanakan pembinaan terhadap terpidana khusunya pidana pencabutan kemerdekaan. Ditengah badai pandemik Covid-19 Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly membuat salah satu kebijakan pemerintah untuk mencegah dan mengurangi penyebaran Covid-19 diantaranya adalah membebaskan 30.000 narapidana. Kebijakan tersebut menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat, ada yang mendukung, tetapi tidak sedikit juga yang menolak. Keputusan pembebasan ini dituangkan di dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-19 PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Pembebasan ini dilakukan kepada Narapidana yang telah menjalani 2/3 masa tahananya pada 1 April 2020 hingga 31 Desember 2020, tidak dipidana karena tindak pidana yang diatur di dalam PP No.99 Tahun 2012, dan bukan merupakan WNA. Secara praktis, pembebasan 30.000 Narapidana dapat menghemat pengeluaran pemerintah hingga Rp 260. Miliar.2 Anggaran sebesar itu dapat digunakan untuk mendukung pemerintah dalam mencegah dan menanggulangi penyebaran Covid-19. Pemerintah Indonesia membebaskan narapidana melalui dua program yaitu program asimilasi dan program integrasi. Asimilasi adalah program pembinaan narapidana dan anak dengan membiarkan mereka hidup berbaur di tengah-tengah masyarakat. Integrasi adalah narapidana yang telah memenuhi syarat-syarat pembebasan bersyarakat, cuti bersyarat dan citu menjelang bebas. Namun, pembebasan narapidana tersebut tidak mencakup semua kasus. Ada beberapa pengeculian terhadap kasus tertentu yang diatur dalam permenkumham 10 Tahun 2020 tentang ketentuan pemberian asimilasi dan hak Integrasi Bagi Narapidana 2
Tri Kurnia Yunianto “Cegah Penularan Corona di Lapas 30 Ribu Napi Bakal Dibebaskan�, https://katadata.co.id/agustiyanti/berita/5e9a41f74d155/cegah-penularan-corona-di-lapas-30-ribu-napibakal-dibebaskan, diakses pada 28 Juli 2020 Pukul 11:41
dan Anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran covid-19. Mereka yang tidak mendapatkan pembebasan adalah narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme, korupsi, narkotika, kejahatan terhdaap keaman negara dan kejahatan terhadap kejahatan hak asasi manusia berat, kejahatan transional, serta warga negara asing.3 Apabila kita menyinggung mengenai physical distancing yang selama ini di himbau oleh pemerintah, dengan melihat kondisi penjara kita yang kelebihan kapasitas, sangat bertolak belakang dengan himbau pemerintah. Himbauan ini tidak bisa berjalan dengan kondisi penjara yang sangat memperihatinkan. Pembebasan narapidana juga menjamin narapidana akan hak mereka yang diatur dalam pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Yang di tekan adalah mengurangi jumlah tahanan agar dapat mencegah penyebaran Covid-19 di dalam penjara. Dalam Pasal 7 UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi: Setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelanggaran kekarantinaan kesehatan, serta mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, kebutuhan kehidupan sehari-harinya lainnya selama karantina berlangsung4 Dalam kata setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama, dengan artian tidak membeda-bedakan apakah mereka masyarakat biasa atau Narapidana. Dengan membebaskan narapidana, pemerintah juga melaksanakan upaya pemenuhan hak narapidana dengan tidak membiarkan mereka terinfeksi oleh Covid-19 karena kondisi Lapas yang over kapasitas. Dalam satu sel diisi puluhan narapidana yang saling berhimpitan di dalamnya. Pada saat mewabahnya pandemi Covid-19, hal ini menjadi momok menakutkan untuk para narapidana, karena peluang menular antar sesama narapidana menjadi sangant mudah. Kita tahu bahwa penjara itu tempat yang steril dari virus, tapi kita tidak bisa menjamin bahwa pengawas dari lapas tersebut steril juga, yang di takutkan jika pengawas tersebut tidak sadar bahwa sudah terpapar virus Covid-19 dan menjadi pembawa virus kedalam sel penjara, maka akan ditakutkan bahwa penjara akan menjadi pusat penyebaran Covid-19. Untuk mencegah hal tersebut tidak terjadi, sehingga pemerintah mengambil kebijakan untuk memberi asimilasi dan integrasi bagi narapidana. Lalu timbul pertanyaan apakah narapidana yang sudah dibebaskan tidak akan menggulangi kesalahan dan melakukan tindak kriminal lagi? Sayang, niat baik dari pemerintah tidak seutuhnya mendapatkan timbal balik positif dari para narapidana yang telah diberikan asimilasi dan cenderung menjadi blunder bagi pemerintah, dalam hal ini kemenkumham yang mengambil kebijakan tersebut. Alasanya, belum lama diberikan asimilasi dan integrasi bagi narapidana, bukannya membuat narpidana tersebut untuk 3
Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Intergrasi BAGI narapidana dan anak Dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236)
menyadari kesalahannya dan bertobat malah beberapa narapida sudah berulang dengan melakukan tindak kriminal lagi. Hingga tanggal 12 Mei 2020 lebih dari 100 narapidana yang sudah menggulangi tindak kriminal tersebut, tindak pidana yang dilakukan pun beragam mulai dari kekerasan, pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian kendaraan bermotor (curanmor), penganiayaan, penyalahgunaan narkoba, hingga pencabulan terhadap anak.5 Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan dari 38.822 narapidana yang mendapatkan asimilasi dalam rangka pencegahan virus Covid-19 hanya 0,12 persen narapidana yang menggulangi perbuatannya6. Artinya narapidana yang menggulangi lagi kejahatannya cenderung sedikit. Memberikan asimilasi pada narapidana bukan berarti mereka untuk berulah lagi tapi menyiapakan narapadina untuk kembali diteriman ditengah-tengah masyarakat.
5
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200512150324-12-502544/106-napi-asimilasi-kembaliberulah-mencuri-hingga-pencabulan diaskes pada tanggal 1 Agutus 2020 pada pukul 13:20 6 https://nasional.kompas.com/read/2020/05/06/12321711/menkumham-dari-38882-napi-asimilasihanya-012-persen-yang-melakukan diakses pada tanggal 1 Agustus 2020 pada pukul 14:08
Kesimpulan Ditengah pandemi Covid-19 Lembaga permasyarakatan menjadi sorotan utama karena kondisi yang tidak mungkin dilaksankannya Physical Distancing, dikarenakan over kapasitas yang dialami sebagaian besar lapas di Indonesia. untuk mencegah penyebaran Covid-19 didalam lapas, pemerintah yakni kemenkumham memberikan asimilasi bagi narapidana yang sudah menjalankan 2/3 dari masa Tahanannya. Banyak elemen masyarakat yang menolah kebijakan tersebut dikarenakan takutnya narapidana yang sudah dilepaskan akan kembali berulah lagi dan mengulang kembali tindak kriminal, tapi dengan dalih alasan kemanusiaan, pemerintah tetap melakukan asimilasi bagi narapidana untuk mencegah terjadinya penyebaran virus Covid-19 didalam lapas.
Efektivitas Kebijakan Asimilasi Bagi Narapidana : Solusi Pencegahan Pandemi Covid-19? Dini Wininta Sari 180710101170 ABSTRAK Kebijakan asimilasi bagi narapidana dalam rangka pencegahan dan penanggulangan pandemi Covid-19 menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Stigma negatif terhadap narapidana muncul di masyarakat karena dianggap menimbulkan kejahatan berulang atau kejahatan baru yang meresahkan masyarakat. Hal ini mengindikasikan kurangnya pemahaman masyarakat tentang apa itu asimilasi dan peraturan yang mengatur tentang kebijakan asimilasi bagi narapidana. Penulis menggunakan dua metode yaitu doktrinal untuk menganalisis peraturan perundang-undangan tentang kebijakan asimilasi dan non-doktrinal untuk mengetahui fakta sosial dengan melihat regulasi serta pemberlakuannya. Hasil diskusi menunjukkan bahwa pemberlakuan kebijakan asimilasi bagi narapidana tindak pidana umum dinilai efektif demi mencegah risiko penyebaran Covid-19 dengan catatan tetap memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah serta dilakukan dengan pengawasan Balai Pemasyarakatan, Kejaksaan, dan Kepolisian. Kata kunci : Kebijakan, Asimilasi, Narapidana, Pencegahan Covid-19
Pendahuluan Kebijakan asimilasi ditengah pandemi Covid-19 ini diambil atas usulan Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia (HAM) dalam rangka mengurangi potensi terjadinya penyebaran virus di dalam Lembaga Pemasyarakatan (lapas). 1 Atas usulan tersebut, beberapa negara termasuk Indonesia mengambil langkah-langkah konkrit yaitu melakukan asimilasi dan integrasi dengan skema pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas.2 Hal itu diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 serta Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang pencegahan dan penanggulangan penyebaran ditengah wabah Covid-19.3 Pemberian hak asimilasi dan integrasi ini dilakukan dengan sejumlah ketentuan dengan tetap memperhatikan aspek dan tujuan pemidanaan yang berkeadilan. Dengan kata lain, hak asimilasi dan integrasi ini dilakukan dengan menetapkan syarat khusus.4 Penulis meyakini bahwa salah satu pertimbangan dari Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna H Laoly untuk membentuk Peraturan dan Keputusan Menteri tersebut adalah kondisi lapas dan rumah tahanan (rutan) yang selama ini mengalami over kapasitas.5 Namun hal tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bagi masyarakat yang pro menilai kebijakan tersebut sebagai satu langkah dan respon yang adaptif terhadap kondisi dan situasi hari ini. Kebijakan untuk membebaskan sejumlah narapidana itu menjadi satu hal yang penting untuk dapat menghindari risiko penularan 1
Pertimbangan Komisi Tinggi PBB “Urgent Action Needed to Prevent COVID-19 Rampaging Through Places of Detention” yang isinya adalah memberikan perlindungan kepada setiap orang yang berada ditempat penahanan khususnya dengan kondisi overcrowded, fasilitas kesehatan yang terbatas, dan tidak memungkinkan adanya social distancing. 2 Redaksi, “Asimilasi Ditengah Pandemi Covid 19 dan Penegakan Hukum Pidana,” Metro Merauke, 25 April 2020, https://metromerauke.com/2020/04/25/asimilasi-ditengah-pandemi-covid-19-dan-penegakanhukum-pidana/. 3 Redaksi. 4 Ogiandhafiz Juanda, “Covid-19 dan Bebasnya Napi,” Nasional, diakses 28 Juli 2020, https://rmco.id/baca-berita/nasional/32486/covid19-dan-bebasnya-napi. 5 Berdasarkan strategi program asimilasi dan integrasi, Menkumham memperkirakan dapat mengeluarkan sekitar 30.000 narapidana dari lapas atau rutan seluruh Indonesia. Lihat Rofiq Hidayat, “Cegah Covid-19, Ini Syarat Narapidana dan Anak Bebas Lewat Asimilasi-Integrasi,” hukumonline.com, 31 Maret 2020, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e831163535c0/cegah-covid-19--ini-syarat-narapidana-dananak-bebas-lewat-asimilasi-integrasi/.
virus antar narapidana di dalam lingkungan lapas. Sedangkan bagi masyarakat yang kontra, kebijakan tersebut dianggap kurang tepat. Masyarakat menganggap bahwa narapidana tersebut lebih baik berada di dalam lapas karena tidak melakukan kontak langsung dengan masyarakat luar. 6 Selain itu, kebijakan tersebut dianggap dapat meningkatkan angka kriminalitas karena jaminan dari pemerintah belum jelas terkait narapidana yang diberikan hak integrasi dan asimilasi tidak akan mengulangi kejahatannya, mengingat kehidupan masyarakat di tengah pandemi ini semakin sulit.7 Berdasarkan fakta, hingga pada tanggal 12 Mei 2020 terdapat 106 narapidana yang ditangkap karena melakukan tindak pidana lagi.8 Untuk menganalisis dan menjawab paradoks-paradoks tersebut, penulis merumuskan 2 (dua) permasalahan. Pertama, penulis mengajukan pertanyaan “Bagaimana syarat-syarat bagi narapidana agar memperoleh asimilasi?”. Kemudian penulis juga membenturkan syarat-syarat tersebut dengan keefektifan kebijakan asimilasi bagi narapidana demi mencegah risiko penyebaran Covid-19 sehingga mampu memberikan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga, hal itu dijadikan pengambilan rumusan masalah kedua, yaitu “Bagaimana efektivitas kebijakan asimilasi bagi narapidana di tengah pandemi Covid-19?” Syarat-Syarat bagi Narapidana Agar Memperoleh Asimilasi Pembebasan narapidana melalui asimilasi merupakan wujud jaminan pemerintah terhadap hak asasi narapidana dalam kondisi pandemi seperti ini, seperti hak hidup yang telah diatur dalam dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang ditekankan pada frasa hak untuk hidup dan HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.9 Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak
6
Juanda, “Covid-19 dan Bebasnya Napi.” Dinda Balqis, “Pembebasan Narapidana dan Kekhawatiran Masyarakat,” detiknews, diakses 28 Juli 2020, https://news.detik.com/kolom/d-4986280/pembebasan-narapidana-dan-kekhawatiran-masyarakat. 8 Samuel Arsheldon, Supriardoyo Simanjuntak, dan Kornelius Benuf, “Strategi Antisipasi Over Kapasitas Lapas Suatu Refleksi atas Kebijakan Pencegahan Penyebaran Covid-19,” ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan 14, no. 1 (2020): hlm. 8. 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 7
memperoleh perlakuan yang sama, tidak mengecualikan bagi para narapidana.10 Penulis berpendapat bahwa narapidana yang mendapatkan hak-hak tersebut memang diperuntukkan kepada mereka yang sudah memenuhi kualifikasi, jadi tidak sembarangan membebaskan narapidana. Kebijakan asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak dalam masyarakat. Hal ini dilakukan terhadap narapidana dan anak yang berada di lapas, rutan, dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).11 Kemenkumham menyatakan bahwa narapidana yang dapat menjalankan program asimilasi dan integrasi adalah mereka yang berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, aktif mengikuti program dengan baik dan telah menjalani setengah masa pidana.12 Sedangkan pemberian asimilasi anak harus memenuhi syarat, yaitu berkelakuan baik yang dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 3 bulan terakhir, aktif mengikuti program pembinaan dengan baik, dan telah menjalani masa pidana paling singkat 3 bulan.13 Selain itu syarat dan pertimbangan narapidana agar memperoleh asimilasi menurut Kepmenkumham14 yaitu pertama, bagi narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai 31 Desember 2020. Kedua, bagi anak yang 1/2 masa pidananya jatuh sampai dengan 31 Desember 2020. Ketiga, narapidana dan anak yang tidak terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang tidak sedang menjalani subsider dan bukan 10
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan : Setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, serta mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina berlangsung. 11 Ely Alawiyah Jufri dan Nelly Ulfah Anisariza, “Pelaksanaan Asimilasi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta,” ADIL: Jurnal Hukum 8, no. 1 (2017 2016). 12 “Melawan Corona: Menilik Pembebasan Narapidana,” Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Kabinet Solidaritas Aksi, 2020. 13 Edward Omar Sharif Hiariej, “Ulasan lengkap : Alasan Asimilasi dan Integrasi Narapidana di Tengah Wabah COVID-19,” hukumonline.com/klinik, diakses 28 Juli 2020, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ef9af3f9bfde/alasan-asimilasi-dan-integrasinarapidana-di-tengah-wabah-covid-19/. 14 Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19
warga negara asing. Keempat, asimilasi dilaksanakan di rumah dengan pembimbingan dan pengawasan Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Kejaksaan, dan Polri.15 Kelima, surat keputusan asimilasi diterbitkan oleh Kepala Lapas, LPKA, dan Rutan.16 Kemudian, Presiden perlu menerbitkan grasi dan amnesti bagi para narapidana secara selektif. Pemberian grasi dan amnesti massal diprioritaskan bagi kelompokkelompok tertentu dan bergantung pada risk assessment yang telah dilakukan oleh Kemenkumham, yaitu narapidana lanjut usia berusia 65 tahun ke atas, narapidana yang menderita penyakit komplikasi bawaan, narapidana perempuan yang dalam kondisi hamil atau membawa bayi/anak. Kemudian pelaku tindak pidana ringan yang dihukum penjara di bawah 2 tahun, pelaku tindak pidana tanpa korban, pelaku tindak pidana tanpa kekerasan dan narapidana pengguna narkoba.17 Efektivitas Kebijakan Asimilasi bagi Narapidana di Tengah Pandemi Covid-19 Terminologi asimilasi bukan berarti membebaskan narapidana. Asimilasi merupakan program pembinaan deinstitusional dengan mengintegrasikan atau membaurkan narapidana dengan masyarakat. Dalam memberikan asimilasi, petugas lapas wajib menyeleksi narapidana yang memenuhi kriteria berdasarkan persyaratan administratif dan substantif untuk mendapatkan hak asimilasinya.18 Para narapidana yang diberi asimilasi akan diperbolehkan keluar lapas atau rutan dan berbaur dengan masyarakat, namun mereka harus kembali lagi ke lapas atau rutan setelah pandemi Covid-19 berakhir.19 Pengambilan kebijakan asimilasi ini didasarkan pada legal policy yang bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat. Dengan demikian, upaya mencegah masyarakat dari pandemi Covid-19 dengan memberikan asimilasi terhadap narapidana dan memberikan sanksi kepada mereka yang melakukan pelanggaran adalah hal yang penting dilakukan. 15
Lia Harahap, “Menkum HAM Yasonna Laoly: Tidak Sembarangan Membebaskan Napi,” merdeka.com, diakses 28 Juli 2020, https://www.merdeka.com/khas/menkum-ham-yasonna-laoly-tidaksembarangan-membebaskan-napi.html. 16 Hidayat, “Cegah Covid-19, Ini Syarat Narapidana dan Anak Bebas Lewat Asimilasi-Integrasi.” 17 Hidayat. 18 Andi E. Sutrisno, “Meretas Kebijakan Asimilasi Bagi Narapidana,” Ditjenpas, diakses 28 Juli 2020, http://mx2.ditjenpas.go.id/meretas-kebijakan-asimilasi-bagi-narapidana. 19 “Usul Menkumham Bebaskan Napi Korupsi Karena Covid-19 ‘tak hargai KPK,’” BBC News Indonesia, diakses 28 Juli 2020, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52153082.
Merujuk pada teori politik hukum sebagaimana pendapat Sudarto (1981), hal itu merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat tertentu.20 Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Kepmenkumham,21 pembebasan ini tidak akan berlaku bagi narapidana yang terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Sehingga, secara tegas hak asimilasi tidak akan berlaku untuk semua narapidana dan tidak akan diberikan kepada narapidana tindak pidana khusus seperti korupsi, narkotika, terorisme dan kejahatan lain yang masuk ke dalam kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary) serta warga negara asing.22 Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan pembimbingan terhadap narapidana yang memperoleh asimilasi.23 Hal ini bertujuan agar narapidana yang sudah bebas tidak lagi melakukan tindak pidana. Menkumham, Yasonna H Laoly juga menegaskan bagi narapidana yang telah dibebaskan berdasarkan Permenhumkam, 24 jika melakukan tindak pidana lagi, hak asimilasi akan dicabut dan narapidana tersebut dimasukkan ke dalam straft cell atau sel pengasingan lalu diproses kembali dengan tindak pidana baru yang telah dilakukan. Demi menjaga keefektifan kebijakan, masyarakat juga memiliki andil yang besar dalam pengawasan narapidana yang telah dibebaskan. Masyarakat 20
Nur Rohim Yunus, “Kebijakan Covid-19, Bebaskan Narapidana dan Pidanakan Pelanggar PSBB,” ‘Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan 4, no. 1 (2020): hlm. 5. 21 Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 22 Peraturan dan Keputusan Menteri yang dikeluarkan oleh Menhumkam tersebut tidak menyebutkan koruptor sebagai salah satu narapidana yang ikut menikmati hak asimilasi dan integrasi. Dengan kata lain, Peraturan dan Keputusan Menteri tersebut tidak menabrak norma yang sudah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang menetapkan pengecualian tentang pemberian hak asimilasi dan integrasi kepada narapidana tertentu. Sehingga, asumsi yang mengatakan bahwa peraturan ini dapat membuat koruptor bebas adalah lahir dari landasan berpikir yang keliru dan tidak mendasar. Adelia Rachma Indriaswari Susanto dkk., “Politik Hukum Pemerintah dalam Penanganan Covid-19,” Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum UGM Kajian 7 (2020): hlm. 29. 23 Salah satu contohnya adalah terdapat di Lapas kelas 1 Tangerang, pengawasan dilakukan dengan cara membentuk grup WhatsApp, agar komunikasi dengan para napi yang dibebaskan karena program asimilasi dan hak integrasi tetap terjaga. Lihat “Melawan Corona: Menilik Pembebasan Narapidana,” hlm. 3-5. 24 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang pencegahan dan penanggulangan penyebaran ditengah wabah Covid-19
dapat membuat laporan ke unit kepolisian setempat apabila menemukan narapidana yang melakukan tindak pidana lagi selama asimilasi.25 Penulis meyakini bahwa hal tersebut menggambarkan keberhasilan dalam koordinasi pengawasan pada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kebijakan ini dinilai efektif dengan adanya tim assesment dalam melakukan pemetaan kategori kelayakan narapidana untuk asimilasi serta melakukan penilaian secara independen terhadap semua aspek pribadi dari narapidana.26 Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansyah bahwa asimilasi yang dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19 telah efektif mengurangi daya tampung lapas dibandingkan dengan membangun tempat baru yang sampai saat ini juga sulit terealisasi.27 Namun, diperlukan evaluasi terhadap kebijakan asimilasi ini. Penulis menegaskan kebijakan tersebut harus ditempuh dengan memperketat syarat sehingga diharapkan narapidana yang keluar dan berbaur di masyarakat merupakan orang yang telah mengakui dan tidak mengulang kembali perbuatanya.28 Kesimpulan Kebijakan asimilasi hanya berlaku bagi narapidana dan anak yang melakukan tindak pidana umum. Narapidana yang memperoleh hak asimilasi harus memenuhi syarat dan kualifikasi yang telah ditentukan oleh Kemenkumham serta tetap dalam pengawasan dan pembimbingan BAPAS, kejaksaan, dan kepolisian selama asimilasi. Kebijakan ini dinilai efektif dengan tujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 karena dianggap telah berhasil meningkatkan koordinasi antara pemerintah dan masyarakat terkait pengawasan terhadap narapidana. Untuk menghindari stigma buruk dari masyarakat terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana setelah dibebaskan, pemerintah harus mampu membuat syarat dan sistem pengawasan yang lebih ketat guna 25
Balqis. ABC, “Narapidana Dibebaskan Untuk Cegah Corona, Bagaimana Dengan Tahanan Korupsi?,” Tempo, 2 April 2020, https://www.tempo.co/abc/5458/narapidana-dibebaskan-untuk-cegah-corona-bagaimanadengan-tahanan-korupsi. 27 medcom id developer, “Pemerintah Diminta Lanjutkan Program Asimilasi Narapidana,” medcom.id, 21 April 2020, https://www.medcom.id/nasional/hukum/yNLG431K-pemerintah-diminta-lanjutkanprogram-asimilasi-narapidana. 28 Arsheldon, Simanjuntak, dan Benuf, “Strategi Antisipasi Over Kapasitas Lapas Suatu Refleksi atas Kebijakan Pencegahan Penyebaran Covid-19,” hlm. 9-10. 26
menjamin keamanan dan kenyamanan masyarakat atas konsekuensi dibebaskannya narapidana.
Daftar Pustaka ABC. “Narapidana Dibebaskan Untuk Cegah Corona, Bagaimana Dengan Tahanan Korupsi?” Tempo, 2 April 2020. https://www.tempo.co/abc/5458/narapidanadibebaskan-untuk-cegah-corona-bagaimana-dengan-tahanan-korupsi. Alawiyah Jufri, Ely, dan Nelly Ulfah Anisariza. “Pelaksanaan Asimilasi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta.” ADIL: Jurnal Hukum 8, no. 1 (2017 2016). Arsheldon, Samuel, Supriardoyo Simanjuntak, dan Kornelius Benuf. “Strategi Antisipasi Over Kapasitas Lapas Suatu Refleksi atas Kebijakan Pencegahan Penyebaran Covid-19.” ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan 14, no. 1 (2020). Balqis, Dinda. “Pembebasan Narapidana dan Kekhawatiran Masyarakat.” detiknews. Diakses 28 Juli 2020. https://news.detik.com/kolom/d-4986280/pembebasannarapidana-dan-kekhawatiran-masyarakat. developer, medcom id. “Pemerintah Diminta Lanjutkan Program Asimilasi Narapidana.”
medcom.id,
21
April
2020.
https://www.medcom.id/nasional/hukum/yNLG431K-pemerintah-dimintalanjutkan-program-asimilasi-narapidana. E. Sutrisno, Andi. “Meretas Kebijakan Asimilasi Bagi Narapidana.” Ditjenpas. Diakses 28
Juli
2020.
http://mx2.ditjenpas.go.id/meretas-kebijakan-asimilasi-bagi-
narapidana. Harahap, Lia. “Menkum HAM Yasonna Laoly: Tidak Sembarangan Membebaskan Napi.”
merdeka.com.
Diakses
28
Juli
2020.
https://www.merdeka.com/khas/menkum-ham-yasonna-laoly-tidaksembarangan-membebaskan-napi.html. Hidayat, Rofiq. “Cegah Covid-19, Ini Syarat Narapidana dan Anak Bebas Lewat Asimilasi-Integrasi.”
hukumonline.com,
31
Maret
2020.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e831163535c0/cegah-covid-19-ini-syarat-narapidana-dan-anak-bebas-lewat-asimilasi-integrasi/. Juanda, Ogiandhafiz. “Covid-19 dan Bebasnya Napi.” Nasional. Diakses 28 Juli 2020. https://rmco.id/baca-berita/nasional/32486/covid19-dan-bebasnya-napi. “Melawan Corona: Menilik Pembebasan Narapidana.” Badan Eksekutif Mahasiswa
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e831163535c0/cegah-covid-19--ini-syaratnarapidana-dan-anak-bebas-lewat-asimilasi-integrasi/. Juanda, Ogiandhafiz. “Covid-19 dan Bebasnya Napi.” Nasional. Diakses 28 Juli 2020. https://rmco.id/baca-berita/nasional/32486/covid19-dan-bebasnya-napi. “Melawan Corona: Menilik Pembebasan Narapidana.” Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Kabinet Solidaritas Aksi, 2020. Omar Sharif Hiariej, Edward. “Ulasan lengkap : Alasan Asimilasi dan Integrasi Narapidana di Tengah Wabah COVID-19.” hukumonline.com/klinik. Diakses 28 Juli
2020.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ef9af3f9bfde/alasanasimilasi-dan-integrasi-narapidana-di-tengah-wabah-covid-19/. Rachma Indriaswari Susanto, Adelia, Antonius Havik Indradi, Aqshal Muhammad Arsyah, Cora Kristin Mulyani, dan Kevin Daffa Athilla. “Politik Hukum Pemerintah dalam Penanganan Covid-19.” Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum UGM Kajian 7 (2020). Redaksi. “Asimilasi Ditengah Pandemi Covid 19 dan Penegakan Hukum Pidana.” Metro Merauke,
25
April
2020.
https://metromerauke.com/2020/04/25/asimilasi-
ditengah-pandemi-covid-19-dan-penegakan-hukum-pidana/. Rohim Yunus, Nur. “Kebijakan Covid-19, Bebaskan Narapidana dan Pidanakan Pelanggar PSBB.” ‘Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan 4, no. 1 (2020). “Usul Menkumham Bebaskan Napi Korupsi Karena Covid-19 ‘tak hargai KPK.’” BBC News
Indonesia.
Diakses
28
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52153082.
Juli
2020.