LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS
alsa-indonesia.org
UPAYA PEMULANGAN ANAK EKS ANGGOTA ISIS DALAM RANGKA PENEGAKAN HAM DI INDONESIA alsalcunair@yahoo.com ALSA Local Chapter Universitas Airlangga Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pada Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), bahwa salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Dimana untuk tercapainya tujuan tersebut, negara Indonesia telah melindungi hak asasi manusia warga negaranya dengan mengatur mengenai hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan. Hak Asasi Manusia (HAM) pada dasarnya adalah hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang. Perlindungan HAM oleh pemerintah juga berlaku pada anak, dimana setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28 B ayat (2) UUD NRI 1945.1 Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM utamanya merupakan tanggung jawab dari pemerintah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 8 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia. 2 Sehingga, pada dasarnya hak asasi anak wajib dilindungi oleh negara, utamanya oleh pemerintah. Akan tetapi, akhirakhir ini dalam kasus pro kontra pemulangan WNI Eks-ISIS dimana dengan adanya pernyataan dari Pemerintah bahwa Pemerintah masih mempertimbangkan kemungkinan memulangkan anak-anak berusia di bawah 10 tahun dari kalangan WNI eks ISIS ke Indonesia menunjukkan bahwa Pemerintah tidak konsisten dalam melakukan perlindungan serta penegakan Hak Asasi Anak.
1
Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886) 2
Fakta Hukum Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. 3 Terorisme telah dinyatakan sebagai ancaman yang serius serta membahayakan ketertiban dan keamanan dunia, pernyataan tersebut dicerminkan pada sikap Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) yang dalam identifikasinya di tahun 1995 membagi kejahatan transasional menjadi 18 jenis, dan salah satu yang ada di dalamnya adalah terorisme. Oleh karenanya, kemudian masalah terorisme dijadikan agenda tetap dalam hubungan internasional baik bersifat bilateral maupun multilateral.4 Abu Omar Al-Baghdadi yang merupakan penerus dari Al Masri Zarqawi, pengikut dari kelompok teroris al Qaeda yang dipimpin oleh Osama Bin Laden mendirikan ISL, pada bulan April 2013 sebagai sebuah perwujudan dari negara islam. Tepat setahun setelahnya pada tahun 2014 ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) mengumumkan pembentukan kekhalifahan dan mengubah nama dirinya menjadi "Negara Islam". ISIS lalu kerap muncul sebagai ancaman keamanan internasional utama dengan pecahnya kerusuhan dan konflik di Suriah pada tahun 2011. ISIS dapat memikat banyak anggota dalam kurun waktu yang cukup singkat dengan menggunakan motif ekonomi, berupa upah yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok jihadis lainnya, serta dengan mendoktrin anggotanya bahwa ISIS akan memperbarui struktur sosial pada umumnya dan struktur perekonomian pada khususnya dengan cara melawan negara-negara barat (Khatib,2015). Tak hanya itu ISIS juga menggunakan metode indoktrinasi untuk menarik pejuang asing (foreign terrorist fighter) ke wilayahnya. dan untuk
3
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6216) 4 Reni Windiani, "Peran Perempuan Dalam Memerangi Terorisme", Jurnal Ilmu Sosial, Vol. 16, No. 2, Desember 2017, hal. 146.
menjaga mereka di sana dengan memisahkan mereka dari jaringan sosial mereka dan menekan individualitas mereka (Gaub, 2016).5 Berdasarkan data dari CIA terdapat 846 WNI yang terjebak di Syria, Turki, Iraq, dan beberapa negara lainnya karena diduga telah membakar paspor nya guna bergabung dalam ISIS. Namun data tersebut tidak dibenarkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, Mahfud MD. Dalam wawancaranya sang Menkopolhukam menyatakan bahwa data yang diberikan oleh CIA tidaklah benar setelah disesuaikan dengan data yang didapat dari BIN, BAIS dan BNPT. Atas permasalahan tersebut, Pemerintah Indonesia masih berdiri tegak pada pendiriannya untuk tidak memulangkan WNI eks anggota ISIS tersebut dengan alasan untuk memberikan rasa aman pada 267 juta WNI lainnya. Ketakutan yang dirasakan para warga negara serta penduduk Indonesia tersebut salah satunya disebabkan oleh pengalaman WNI yang turut serta dalam Perang Afghanistan di tahun 1980 sampai 1990-an. Setelah WNI tersebut dipulangkan dari Afghanistan oleh Pemerintah Indonesia, namun beberapa di antaranya malah melakukan teror bom di awal tahun 2000. Namun, atas sikap Pemerintah Indonesia tersebut, terdapat pengecualian terhadap anak dari eks anggota ISIS yang mengaku sebagai WNI, sehingga muncul wacana agar anakanak yang berumur 10 tahun kebawah dipulangkan kembali ke Indonesia. Rumusan Masalah 1. Apakah tindakan pemerintah untuk tidak memulangkan anak dari WNI eks anggota ISIS merupakan perbuatan melanggar HAM? 2. Bagaimana upaya penegakan HAM terhadap anak dari WNI eks anggota ISIS ? Analisis Negara mempunyai tanggung jawab atas terpenuhinya hak-hak warga negara demi meningkatkan kesejahteraan, martabat, kebahagiaan, dan keadilan. Oleh karenanya, pemenuhan hak asasi warga negara, menjadi tanggung jawab utama pemerintah. Berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan hak asasi tiap warga negaranya, tidak terlepas dari kewarganegaraan.
5
Oosterveld W.T., Bloem W., The Rise and Fall of ISIS : From Evitability to Inevitability, Hague Centre for Strategic Studies, 2017, hal.10-11.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, kewarganegaraan adalah segala hal-ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Kewarganegaraan memiliki arti segala jenis hubungan dengan suatu negara yang mengakibatkan adanya kewajiban negara itu untuk melindungi orang yang bersangkutan. 6 Hubungan antara warga negara terhadap negaranya memiliki sifat timbal balik.7 Seseorang dapat disebut sebagai warga negara apabila suatu negara menetapkan orang yang bersangkutan menjadi warga negaranya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.8 Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.9 Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus kita syukuri keberadaannya. Hak Asasi Anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang termuat di dalam UUD NRI 1945 dan termuat didalam United Nations Convention on the Rights of the Child serta peraturan-peraturan hukum internasional yakni Key Principles for the Protection, Repatriation, Prosecution, Rehabilition, adn Reintegration of Women and Children with Links to UN Listed Terrorist Groups. Penyelenggaraan perlindungan anak harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar, meliputi perlindungan terhadap anak harus diselenggarakan tanpa adanya diskriminasi, harus ditujukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, menjamin hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangannya, serta adanya penghargaaan terhadap pendapat anak. 10 Tindakan Pemerintah yang Melanggar Hak Asasi Anak Pasal 28 B Ayat (2) UUD NRI 1945 menjelaskan bahwa tiap anak memiliki hak-hak yang sama seperti manusia atau orang dewasa lainnya, yaitu hak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak ialah 6
Rokilah, “Implikasi Kewarganegaraan Ganda Bagi Warga Negara Indonesia�, jurnal Ajudikasi, Vol. 1, No. 2, Desember 2017, h. 55. 7 Abdul Latief, Ahmad Al Yakin, dan Herlina Ahmad, Pendidikan Kewarganegaraan, Sulawesi Selatan: Yayasan Ahmar Cendikia Indonesia, 2019, h.63. 8 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4634). 9 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606). 10 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235).
subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak, serta menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. 11 Seorang anak harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara lahiriah, jasmani mapun sosialnya. Anak juga berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah ia dilahirkan. 12 Upaya pemulangan anak eks ISIS menimbulkan beberapa pro dan kontra dari masyarakat. Disatu sisi, demi mencapai kesejahteraan anak, Pemerintah berkewajiban untuk memulangkan anak eks. ISIS kembali ke Indonesia. Hal tersebut juga berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk memberikan perlindungan khusus terhadap Anak. 13 Perlindungan khusus terhadap anak diberikan kepada anak yang dalam kondisi tertentu, sebagaimana dijelaskan di Pasal 59 Ayat (2) UU No 35 Tahun 2014. Salah satunya yaitu, perlindungan khusus yang diberikan kepada anak yang menjadi korban jaringan terorisme. Anak-anak yang pergi ke Suriah, tidak serta merta mempunyai keinginan dan menjadi kombatan ISIS. Ada juga anak-anak eks ISIS yang dibawa oleh orang tua nya dalam hal ini maka mereka dianggap sebagai korban. Oleh karena anak eks anggota ISIS merupakan kewarganegaraan Indonesia, maka pemerintah Indonesia wajib melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak mereka sebagai anak. Disisi lain, apabila anak eks ISIS ini dipulangkan juga akan menimbulkan berbagai respon yang negatif dari masyarakat. Tindakan diskriminasi tersebut mengakibatkan hak-hak anak, seperti hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi di dalam masyarakat menjadi menjadi tidak dapat terjamin. Padahal hak anak merupakan bagian dari HAM yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh semua pihak, salah satunya masyarakat.
Dengan demikian, tindakan
diskriminasi oleh masyarakat terhadap anak eks ISIS merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM karena adanya perbuatan dari suatu kelompok (masyarakat) yang secara melawan hukum menghalangi terpenuhinya hak asasi anak tersebut. Adanya pernyataan dari pemerintah terhadap pemulangan anak-anak berusia dibawah 10 tahun dari WNI eks ISIS, bahkan akan diprioritaskan bagi anak yang yatim piatu
11
Teddy Sudrajat, “Perlindungan Hukum terhadap Hak Anak sebagai Hak Asasi Manusia�, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Agustus 2011, h.114. 12 Soemitro, Irma Setyowati, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta:Bumi Aksara, h. 18. 13 Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).
merupakan tindakan diskriminasi terhadap hak dari anak WNI eks ISIS yang lain. 14 Hal tersebut bertentangan dengan prinsip HAM yaitu bahwa pemerintah dalam hal melindungi dan menjamin hak asasi anak tidak boleh melakukan diskriminasi, serta apabila terdapat anak WNI eks ISIS yang tidak dipulangkan, maka hal tersebut juga berkaitan dengan hak-hak asasinya yang lain, seperti hak sosial dan hak ekonominya apakah terjamin atau tidak. Perlu adanya pertimbangan dalam hal ini. Apabila anak yang bersangkutan tidak semua nya dipulangkan, apakah hak-hak asasinya terjamin sedangkan disana mereka juga terlantar dan tidak dalam kondisi yang layak untuk berkembang dan melangsungkan kehidupannya. Selain itu, tindakan diskriminasi tersebut juga bertentangan dengan prinsipprinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak dan UUD NRI 1945. Serta bertentangan dengan Key Principles yang dijelaskan dalam Specific Principles regarding the Rights of Children (Key Principles) bahwa kepentingan yang terbaik untuk anak (the best interest of the child) harus diberikan pertimbangan utama dalam semua tindakan yang menyangkut mereka. 15
Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia Terhadap Anak Dari WNI Eks Anggota ISIS Penegakan terhadap hak asasi anak dalam rangka upaya pemulangan anak eks anggota ISIS oleh pemerintah perlu pertimbangan yang matang, karena hal tersebut tidak hanya berkaitan dengan hak asasi anak eks ISIS saja, akan tetapi juga berkenaan dengan jaminan terhadap hak asasi seluruh rakyat di Indonesia. Didalam Pasal 9 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir, dan batin.” Artinya, setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan damai dalam
menjalankan
dan
mempertahankan
kelangsungan
hidupnya
dalam
hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karenanya, seluruh rakyat Indonesia juga berhak untuk mendapatkan jaminan atas rasa aman dari kekhawatiran ancaman bahaya paham radikalisme ISIS apabila anak-anak dari WNI eks anggota ISIS dipulangkan tanpa adanya pertimbangan dan persiapan yang matang.
14
Jihad Akbar’ “Anak Yatim Piatu Eks ISIS di Bawah 10 Tahun Masih Dipertimbangkan Dipulangkan”, <https://kumparan.com/kumparannews/anak-yatim-piatu-eks-isis-di-bawah-10-tahun-masih-dipertimbangkandipulangkan-1souO3LxXj8>, diakses 18 Februari 2020. 15 Key Principles for the Protection, Repatriation, Prosecution, Rehabilitation, and Reintegration of Women and Children with Links to UN Listed Terrorist Groups.
Pasalnya, anak dari WNI eks anggota ISIS yang berada di Suriah tidak semuanya merupakan foreign terrorist fighter (FTF) atau mengikuti pelatihan dan terkena paparan paham ISIS, juga terdapat anak-anak yang merupakan korban karena dibawa oleh orang tuanya. Hal tersebut perlu dijadikan pertimbangan oleh Pemerintah dalam upaya pemulangan anak eks ISIS ke Indonesia. Pemerintah dalam hal itu, seperti yang telah diatur di Pasal 21 UU No. 23 Tahun 2002, berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. Yang karenanya memulangkan anak-anak eks anggota ISIS tersebut memunculkan problematika baru bagi pemerintah.16 Kerentanan anak-anak meningkat ketika mereka terpapar berbagai risiko di rumah dan di komunitas mereka, dan ketika mereka tidak memiliki faktor proteksi utama dalam kehidupan mereka, seperti hidup dengan orang tua yang peduli, memiliki teman yang mendukung, dan memiliki keterampilan yang baik untuk mencari bantuan. Jika anak-anak memiliki kekuatan seperti keterampilan memecahkan masalah yang baik, mereka sering dapat menavigasi lingkungan krisis secara relatif. 17 Anak yang pernah tinggal di daerah konflik memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih sensitif terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga diperlukan usaha yang lebih dari pemerintah sebagai alternative care bagi anak-anak tersebut. Pemerintah dalam upaya pemulangan anak-anak yang merupakan anak dari WNI eks anggota ISIS memerlukan strategi dan rencana yang matang melalui pemetaan, verifikasi, dan identifikasi dari data-data anak WNI eks anggota ISIS karena terdapat pula anak-anak bersangkutan yang telah bersentuhan langsung dengan kegiatan atau aktivitas dalam ISIS. Langkah yang dapat dilakukan pemerintah terhadap anak WNI eks anggota ISIS dapat dilakukan dengan melakukan deradikalisasi dengan tujuan menghilangkan pengaruh paham radikalisme. Terhadap anak yang hendak dipulangkan dapat dilakukan program kontra radikalisasi. Adapun Kontra Radikalisasi adalah suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan
16
Pasal 21 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235). 17 Bray. M, Rakotomalala. S, Snider. L, Thomas S. (2015) â&#x20AC;&#x153;Growing Up In Conflict : The Impact On Children's Mental Health and Psychosocial Well-Beingâ&#x20AC;?, UNICEF, hal. 6.
penyebaran paham radikal terorisme.
18
Pemerintah dapat mempersiapkan program kontra
radikalisasi tersebut dengan anggapan bahwa anak-anak belum terpapar radikalisme. Dalam penyelesaian yang dilaksanakan oleh pemerintah ini, perlu dilihat dahulu apakah kebijakan pemulangan anak anggota eks ISIS mencerminkan prinsip-prinsip dasar HAM atau tidak. Prinsip-prinsip dasar HAM diatur di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang terdiri dari delapan prinsip, diantaranya: 19 1. Prinsip Equality 2. Prinsip Non Diskriminasi 3. Prinsip Universalitas, 4. Martabat manusia, 5. Prinsip Inalienability, 6. Prinsip Tanggung Jawab, 7. Prinsip Indivisible, 8. Prinsip Interdependensi. United Nation (UN) Global Counter-Terrorism Coordination Compact merupakan suatu instrumen yang unik untuk meningkatkan upaya nasional, regional, dan internasional untuk melawan terorisme. United Nation (UN) Global Counter-Terrorism Coordination Compact telah disetujui dan diadopsi oleh semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui konsensus pada tahun 2006. 20 Oleh karena Indonesia merupakan salah satu negara anggota PBB, maka Indonesia juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan internasionali, layaknya seperti Key Principles for the Protection, Repatriation, Prosecution, Rehabilitation, and Reintegration of Women and Children with Links to UN Listed Terrorist Groups. Key Principles for the Protection, Repatriation, Prosecution, Rehabilitation, and Reintegration of Women and Children with Links to UN Listed Terrorist Groups menjelaskan bahwa kepentingan yang terbaik untuk anak (the best interest of the child) harus menjadi pertimbangan utama dalam semua tindakan yang menyangkut mereka. Dalam hal ini, 18
Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2019 Tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan Terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oig Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6417). 19 Flowers, N. (2000). The Human Rights Education Handbook: Effective Practices For Learning, Action, And Change. Minneapolis, MN: University of Minnesota. Ravindran, D. J. (1998). Human Rights Praxis: A Resource Book for Study, Action and Reflection. Bangkok, Thailand: The Asia Forum for Human Rights and Development. 20 United Nation (UN) Global Counter-Terrorism Coordination Compact.
tindakan penegakan HAM yang dilakukan oleh Pemerintah harus memperhatikan kebutuhankebutuhan yang diperlukan oleh anak tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka sudah jelas bahwa pemerintah wajib memulangkan anak WNI eks anggota ISIS. Terlepas dari kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anak sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Pasal 59 ayat (2) huruf k jo. Pasal 69B Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pemerintah bertanggung jawab dan berkewajiban untuk memberi perlindungan khusus kepada Anak WNI eks-ISIS yang merupakan Anak korban jaringan terorisme melalui upaya edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme; konseling tentang bahaya terorisme; rehabilitasi sosial; dan pendampingan sosial. 21 Kesimpulan Berdasarkan Key Principles for the Protection, Repatriation, Prosecution, Rehabilition, and Reintegration of Women and Children with Links to UN Listed Terrorist Groups, bahwa kepentingan yang terbaik untuk anak (the best interest of the child) harus diberikan pertimbangan utama dalam semua tindakan yang menyangkut mereka. Walaupun Indonesia belum meratifikasi ketentuan tersebut, oleh karena indonesia termasuk negara anggota PBB dan telah menyetujui United Nation (UN) Global Counter-Terrorism Coordination Compact, yang mana Indonesia juga harus tunduk terhadap peraturan tersebut karena Indonesia merupakan negara anggota PBB, maka Indonesia wajib mematuhi aturan tersebut. Serta, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak, maka Indonesia juga mempunyai tanggung jawab untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak yang bersangkutan. Oleh karena itu, anak WNI eks ISIS wajib untuk dipulangkan demi kepentingan terbaik mereka.
21
Pasal 59 ayat (2) huruf k jo. Pasal 69B Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).
Saran 1. Memulangkan anak-anak dari WNI eks anggota ISIS tanpa orang tua atau kerabatnya The Convention on the Rights of the Child mengemukakan bahwa seorang anak tidak dapat dipisahkan dari orang tuanya tanpa kehendaknya kecuali jika pihak yang berwenang yang tunduk pada peraturan perundang-undangan menentukan, sesuai dengan hukum dan prosedur yang berlaku, bahwa pemisahan tersebut diperlukan untuk demi kepentingan terbaik anak. Namun ketika seorang anak harus dipisahkan dari orang tua atau pengasuh utama, Negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan perawatan alternatif yang diperlukan oleh anak tersebut. Perawatan yang diprioritaskan adalah perawatan berbasis keluarga dibandingkan dengan perawatan dalam lingkungan kelembagaan. Merujuk pada Report of the United Nations High Commissioner for Human Rights regarding Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms While Countering Terrorism, tepatnya pada paragraf 11. Perawatan anak dalam lingkungan kelembagaan hanya boleh dilaksanakan sebagai upaya terakhir dan pelaksanaannya dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Negara juga harus memastikan bahwa status perwalian dari anak yang terpisah, tidak pernah diberikan kepada individu atau organisasi yang terlibat dalam konflik tersebut.22 Berdasarkan Key Principles for the Protection, Repatriation, Prosecution, Rehabilitation, and Reintegration of Women and Children with Links to UN Listed Terrorist Groups yang menjelaskan bahwa kepentingan yang terbaik untuk anak (the best interest of the child) harus menjadi pertimbangan utama dalam semua tindakan yang menyangkut mereka. Sehingga apabila upaya pemulangan anak WNI eks ISIS tanpa orangtuanya ataupun ibunya adalah the best interest of the child maka hal tersebut boleh saja, asalkan negara bertanggungjawab penuh dalam memberi perlindungan khusus terhadap hak asasi Anak WNI eks-ISIS. Negara harus menjamin bahwa bila mereka pulang, mereka tidak akan terlantar dan mendapat perlakuan yang sama di masyarakat.
22
Para.11 of The Report of the United Nations High Commissioner for Human Rights regarding Protection of human rights and fundamental freedoms while countering terrorism.
2. Memulangkan anak dari WNI eks anggota ISIS dengan meminta bantuan kepada PBB Negara dapat meminta bantuan kepada PBB untuk membantu menyelesaikan masalah pro dan kontra terhadap pemulangan anak daru WNI eks anggota ISIS, mengingat Indonesia merupakan anggota PBB, serta dikarenakan bahwa ISIS merupakan topik yang sensitif. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia dapat meminta bantuan pada Security Council PBB. Merujuk pada UN Charter bahwa salah satu fungsi dan kewenangan Security Council adalah untuk menyelidiki setiap perselisihan atau situasi yang dapat menyebabkan gesekan internasional, dan untuk merekomendasikan metode untuk mengakomodasi penyelesaian perselisihan tersebut.. Maka Indonesia dalam perihal ini, dapat berkonsultasi dengan Dewan Keamanan guna memberikan solusi terbaik yang bersesuaian dengan Hak Asasi Anak serta keamanan nasional, dan hubungan antar negara.
Daftar Pustaka Buku Bray. M, Rakotomalala. S, Snider. L, Thomas S. â&#x20AC;&#x153;Growing Up In Conflict : The Impact On Children's Mental Health and Psychosocial Well-Beingâ&#x20AC;?, UNICEF, 2015. Christopher M. Blanchard, Carla E. Humud, The Islamic State and U.S. Policy, Congressional Research Service, 2018 Khatib L., The Islamic State's Strategy : Lasting and Expanding, Carnegie Endowment for International Peace, 2015 Oosterveld W.T., Bloem W., The Rise and Fall of ISIS : From Evitability to Inevitability, Hague Centre for Strategic Studies, Jan 1 2017 Latief, Abdul. Ahmad Al Yakin., dan Herlina Ahmad, Pendidikan Kewarganegaraan, Sulawesi Selatan: Yayasan Ahmar Cendikia Indonesia, 2019 Soemitro, dan Irma Setyowati, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta:Bumi Aksara
Jurnal Junaid, Hamzah., "Pergerakan Kelompok Terorisme Dalam Perspektif Barat dan Islam", Sulesana, Vol. 8, No. 2, 2013. Musfia, Nesa Wilda., "Peran Perempuan Dalam Jaringan Terorisme ISIS di Indonesia", Journal of International Relations, Vol. 3, No. 4, 2017. Windiani, Reni., "Peran Perempuan Dalam Memerangi Terorisme", Jurnal Ilmu Sosial, Vol. 16, No. 2, Desember 2017. Rokilah., “Implikasi Kewarganegaraan Ganda Bagi Warga Negara Indonesia”, jurnal Ajudikasi, Vol. 1, No. 2, Desember 2017 Sudrajat, Teddy., “Perlindungan Hukum terhadap Hak Anak sebagai Hak Asasi Manusia”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Agustus 2011 Netta, Yulia., “Partisipasi Masyarakat Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia Di Negara Demokrasi Indonesia”, Monograf, Volume 1, 2013
Peraturan Perundang- Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan Terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan.
Peraturan Internasional Key Principles for the Protection, Repatriation, Prosecution, Rehabilitation, and Reintegration of Women and Children with Links to UN Listed Terrorist Groups. United Nation (UN) Global Counter-Terrorism Coordination Compact. Charter of The United Nations
Media Online Heru Andriyanto, "Indonesia Uses CIA Data to Identify Ex-IS Fighters", https://jakartaglobe.idnews/indonesia-uses-cia-data-to-identify-exis-fighters,
15
Februari 2020. diakses 17 Februari 2020. Muhyiddin, "Robikin Ungkap Dampak Eks ISIS Jika Dipulangkan", https://www.republika.co.idberita/q5k6h6384/robikin-ungkap-dampak-eks-isis-jikadipulangkan, diakses 17 Februari 2020. Teguh
Firmansyah,
“Infografis
Akhir
Perjalanan
WNI
Eks
ISIS”,
https://www.republika.co.id berita/q5t0eo377/infografis-akhir-perjalanan-wni-eks-isis, 17 Februari 2020. diakses 17 Februari 2020. Santoso,Bangun dan Novia Ardiansyah., “MPR Ingatkan Pemerintah Soal Strategi Pemulangan
Anak-anak
WNI
Eks
ISIS”
<https://www.suara.com/news/2020/02/14/154615/mpr-ingatkan-pemerintah-soalstrategi-pemulangan-anak-anak-wni-eks-isis> diakses 17 Februari 2020.
Perlindungan Bagi Nasabah (Debitur) Financial Technology Peer-to-Peer Lending (Aspek Perlindungan Data Pribadi Serta Penegakan Hukum) alsalcunair@yahoo.com ALSA Local Chapter Universitas Airlangga
I. LATAR BELAKANG Dewasa ini dunia dihadapkan dengan revolusi industri 4.0 yang menggunakan internet di berbagai bidang. Revolusi yang menjadi tren di dunia industri ini menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi siber. Fenomena disruptive innovation menekankan pola digital economy, artificial intelligence, robotic, dan big data. Zaman serba digital ini, meyakini data is the new oil karena data menjadi komoditas utama yang paling berharga. Data dimanfaatkan oleh pengguna artificial intelligence untuk menciptakan suatu produk atau layanan. Salah satu bidang yang â&#x20AC;&#x153;terbawa arusâ&#x20AC;? revolusi industri 4.0 adalah bidang perekonomian,
khususnya
sektor
jasa
keuangan.
Sektor
tersebut
terus
mengembangkan inovasi dalam hal pelayanan terhadap konsumennya sebagai alternatif jasa keuangan konvensional. Hal itu sangat dibutuhkan dalam menghadapi persaingan seiring pesatnya pertumbuhan teknologi keuangan atau Financial Technology (Fintech). Bank Indonesia mendefinisikan Fintech sebagai hasil kombinasi antara jasa keuangan dengan teknologi yang mengubah model bisnis konvensional menjadi lebih moderat, yang dapat melakukan transaksi jarak jauh dengan pembayaran dalam hitungan detik. Bank Indonesia sebagai lembaga yang bertugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran menetapkan dasar hukum penyelenggaraan Fintech dalam sistem pembayaran di Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.
1
Sedangkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendefinisikan Fintech sebagai inovasi keuangan digital dengan aktivitas peningkatan atau pembaruan dalam proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan dunia digital. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga 1
Endang Dwi Ari Surjaningsih, â&#x20AC;&#x153;Fintech Peer-to-Peer (P2P) Lending dan Potensi Pemajakannyaâ&#x20AC;?, https://www.pajak.go.id/id/artikel/Fintech-peer-peer-p2p-lending-dan-potensi-pemajakannya, dikunjungi pada tanggal 18 Februari 2020. 1
mengatur perihal Fintech dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Fintech merupakan inovasi pada industri jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi, berupa sistem yang dibangun guna menjalankan mekanisme transaksi keuangan yang spesifik. Fintech adalah solusi permasalahan akses keuangan masyarakat pada lembaga keuangan konvensional yang membutuhkan waktu lama serta proses yang rumit, khususnya peminjaman dana. Salah satu jenis Fintech yang beroperasi di Indonesia yaitu Fintech Lending atau Peer to Peer Lending (P2P lending). Fintech Lending atau Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) adalah inovasi pada bidang keuangan dengan pemanfaatan teknologi yang memungkinkan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman melakukan transaksi pinjam meminjam tanpa harus bertemu langsung. 2 Transaksi pinjam meminjam dilakukan melalui sistem yang disediakan oleh pihak penyelenggara melalui aplikasi maupun laman situs web. Penyelenggara Fintech Lending dapat berupa badan hukum atau koperasi yang memiliki sistem mekanisme transaksi pinjam meminjam secara online. Pihak penyelenggara hanya berperan sebagai perantara yang mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Fintech Lending ini memiliki kelebihan dan kekurangan baik bagi peminjam maupun pemberi pinjaman. Kelebihan Fintech Lending dari sisi peminjam, antara lain diperbolehkan pengajuan peminjaman tanpa adanya jaminan; Fintech Lending memiliki suku bunga yang rendah dibandingkan dengan suku bunga lembaga keuangan resmi; proses pengajuan pinjamannya tidak seformal pengajuan pinjaman di lembaga keuangan seperti bank, sehingga prosesnya lebih cepat dan mudah. Sedangkan, kelebihan Fintech Lending dari sisi pemberi pinjaman, antara lain kegiatan ini sudah resmi diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lewat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor 77/POJK.01/2016; suku bunga pinjaman yang diterima pemberi pinjaman memiliki
nilai
yang
signifikan,
sehingga lebih menguntungkan; memberikan pinjaman melalui sistem ini akan
2
https://ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-statistik/direktori/Fintech/Documents/FAQ%20Fintech%20Len ding.pdf 2
memudahkan pemberi pinjaman untuk mendiversifikasi investasinya; semua kegiatan ini dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan ponsel atau komputer. Adapun kekurangan yang dimiliki Fintech Lending bagi peminjam, antara lain suku bunga pinjaman Fintech Lending akan melonjak naik saat kelayakan kredit si peminjam jatuh, sehingga ketika telat membayar tagihan akan sangat signifikan dan ketika pembayaran pinjaman gagal, jumlah yang harus dibayar akan melejit tinggi; ada kemungkinan seluruh pengajuan pinjaman tidak akan dipenuhi dan dana yang telah terkumpul akan dikembalikan ke pemberi pinjaman; sistem ini tidak cocok untuk peminjaman berjangka waktu lama, sebab semakin lama jangka waktu pinjaman, tagihan akan terus naik. Pemberi pinjaman dalam Fintech Lending juga dapat mengalami kerugian, antara lain si pemberi pinjaman tidak dapat menarik investasi uang kapanpun dan terdapat kemungkinan kegagalan pengembalian pinjaman, sehingga investasi pemberi pinjaman dapat hilang. Sejatinya, pelaku usaha Fintech lending telah memiliki kode etik penagihan utang berdasarkan standar operasional prosedur perusahaan (SOP). Salah satunya adalah pendaftaran dedicated number oleh nasabah Fintech lending sebagai jaminan pada saat proses pengajuan kredit. Dedicated number ini terdiri dari dua nomor yakni, verification contact dan emergency contact. Verificitaion contact adalah nomor milik nasabah yang memiliki peran dalam mengkonfirmasi data nasabah dan sebagai nomor yang dapat dihubungi perihal penagihan utang. Sedangkan emergency contact, adalah nomor milik pihak ketiga debitur seperti keluarga yang dapat dihubungi apabila pembayaran utang telah jatuh tempo dan debitur tidak dapat dihubungi. Sebenarnya, prosedur tersebut telah dipaparkan secara tertulis berupa term of condition aplikasi pada saat pihak nasabah mengajukan peminjaman dana. 3 Hal ini bersesuaian dengan pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yakni pemakaian informasi yang menyangkut data pribadi seseorang melalui media elektronik harus dilaksanakan berdarkan persetujuan orang yang bersangkutan. 4 Selain itu, Pasal 31 POJK Nomor 1 Tahun 2013, menyebutkan bahwasanya Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan
3
Ibid. Daon, â&#x20AC;&#x153;Fintech Lending langgar aturan lakukan persekusi digitalâ&#x20AC;?, www.kominfo.go.id, 23 Juli 2018, dikunjungi pada tanggal 16 Februari 2020. 4
3
pernyataan tertulis kepada pihak lain saat hendak mengakses data atau informasi dengan tujuan untuk melaksanakan kegiatannya. Kendati demikian, berdasarkan fakta lapangan, tidak jarang pelaku usaha Fintech lending melakukan persekusi digital saat utang menunggak dengan cara menghubungi pihak ketiga yang tidak terdaftar sebagai emergency number dengan menggunakan kekerasan verbal semata-mata untuk mempercepat proses pelunasan utang. Hal tersebut tentu menjatuhkan harkat dan martabat serta mencemari nama baik debitur. Padahal, debitur layanan Fintech lending termasuk subjek hukum yang patut dilindungi hak-hak dan kewajibannya. Perlakuan tersebut bertentangan dengan kode etik dan SOP penagihan utang serta peraturan perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan Pasal 26 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, pemilik data pribadi berhak atas perlindungan kerahasiaan data miliknya. Berbeda dengan jasa layanan keuangan konvensional seperti perbankan yang telah memiliki regulasi dalam hal proteksi kerahasiaan data pribadi nasabahnya, Industri Fintech lending masih dianggap lemah dalam hal ini. Merujuk UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dalam kinerjanya bank wajib merahasiakan data dan informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya berdasarkan asas kepercayaan dan kerahasiaan. 5 Hubungan seperti itu juga diperlukan antara pelaku usaha Fintech lending dan nasabahnya. Demi mengikuti dinamisasi layanan jasa keuangan, Indonesia diharapkan dapat memperketat regulasi mengenai proteksi data pribadi Industri Fintech lending agar tercipta suatu perlindungan hak privasi. Karena sejatinya, proteksi terhadap hak asasi manusia merupakan kewajiban pemerintah. 6
II. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana kaitannya perlindungan data pribadi dengan hak asasi manusia? 2. Bagaimana perkembangan regulasi mengenai perlindungan data pribadi di Indonesia serta implikasinya terhadap praktik dalam dunia bisnis terkait adanya pelanggaran oleh pelaku usaha sektor financial technology (Fintech) peer-to-peer 5
Wahyudi Djafar, „Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Lanskap, Urgensi, dan Kebutuhan Pembaruan‟, Materi dalam kuliah umum “Tantangan Hukum dalam Era Analisis Big Data”, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 26 Agustus 2019. Dikunjungi pada 17 Februari 2020. 6 Scott Davidson, “Hak Asasi Manusia” Sejarah, Teori, dan Praktik dalam Pergaulan Internasional (Grafiti 1994)[35] 4
(P2P) lending khususnya pencurian serta penyalahgunaan data pribadi nasabah (debitur) dalam melakukan tagihan kredit? 3. Bagaimana peran pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada debitur terkait data pribadi nasabah (debitur) dalam praktik bisnis financial technology (Fintech) peer-to-peer (P2P) lending?
III. ANALISIS 1. Keterkaitan Hak Privasi dengan Sektor Ekonomi Berbasis Teknologi Menururt Satjipto Raharjo, perlindungan hukum merupakan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan oleh orang lain agar setiap orang dapat menikmati seluruh haknya yang telah diberikan oleh hukum. 7 Selanjutnya, menurut Karel Vasak, perlindungan HAM tidak hanya sebatas hak sipil dan politik saja, tetapi juga perlindungan hak ekonomi8. Menurut Philipus M Hadjon, norma paling dasar sebagai sumber pengakuan harkat dan martabat di Indonesia adalah Pancasila yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 9 . Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwasanya perlindungan hukum mengenai HAM sangatlah luas hingga menyangkut aspek ekonomi. Hak-hak tersebut pula diakui dan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sejatinya, konsep perlindungan hak telah diakui secara fundamental pada pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD NRI 1945. Selanjutnya, menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. Dalam menghadapi era industri 4.0 dengan perkembangan digitalisasinya dalam segala aspek kehidupan, pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan menyangkut perlindungan hak privasi dalam sektor ekonomi berbasis teknologi. Pada pasal 26 UU ITE dan penjelasannya, perlindungan data pribadi merupakan bagian dari privacy rights, yakni hak untuk menikmati kehidupan pribadi yang bebas dari segala gangguan, hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa dimata-matai, dan hak untuk mengawasi akses informasi kehidupan pribadi dan data seseorang. Selain itu, penggunaan setiap informasi mengenai data pribadi melalui 7
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (PT. Citra Aditya Bakti 2000)[53] Scott Davidson, Op.Cit., h. 8. 9 Philipus M hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia (Peradaban 2007)[57] 8
5
media elektronik harus berdasarkan persetujuan orang yang bersangkutan dan setiap orang dapat mengajukan gugatan atas kerugian bila haknya dilanggar 10. Selain itu, pihak penyelenggara sistem elektronik juga wajib menyediakan mekanisme penghapusan dan menghapus data dan/atau informasi elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan dan peraturan perundang-undangan. 11 Lebih lanjut lagi, pasal 2 ayat (1) Permenkominfo No. 20 Tahun 2016 menyebutkan, perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik mencakup perlindungan terhadap penyimpanan,
perolehan,
penampilan,
pengumpulan,
pengumuman,
pengolahan,
pengiriman,
penganalisisan,
penyebarluasan,
dan
pemusnahan data pribadi. Penggunaan data pribadi haruslah berdasarkan asas perlindungan data yang baik seperti : - Penghormatan terhadap dara pribadi sebagai hak privasi; - Penggunaan data pribadi berdasarkan persetujuan dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan; - Iktikad baik untuk segera memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi ketika terjadi kegagalan perlindungan data pribadi dan; - Tanggung jawab atas data pribadi yang berada dalam penguasaan pengguna. 12 Penggunaan data tersebut dapat dikecualikan untuk proses penegakkan hukum.
13
Namun, apabila pengguna data pribadi tidak melakukan kewajibannya
sebagaimana ketentuan peraturan menteri ini, maka dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan lisan, peringatan tertulis, penghentian semnetara kegiatan, dan/atau pengumuman di situs dalam jaringan web. 14
10
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), (Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5952 ), Ps. 26 ayat (1) dan (2). 11 UU ITE, Op.Cit., Ps. 26 ayat (3) dan (4). 12 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1829), Ps. 2 ayat (2). 13 Permenkominfo No. 20 Tahun 2016, Op.Cit. Ps. 23. 14 Permenkominfo No. 20 Tahun 2016, Op.Cit. Ps. 36 ayat (1). 6
2. Regulasi terkait perlindungan data pribadi yang pernah diberlakukan di Indonesia serta implikasinya terhadap praktik bisnis financial technology peer to-peer lending Perlindungan terhadap data pribadi merupakan derivasi atas perlindungan terhadap privasi. Konsep perlindungan terhadap privasi sesungguhnya bukanlah suatu konsep yang baru. Indonesia sendiri telah mengenal konsep perlindungan terhadap privasi dalam hukum positif yaitu pada Burgerlijk Wetboek atau KUHPerdata serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menghadirkan aturan mengenai larangan memasuki pekarangan rumah orang lain tanpa ijin atau adanya larangan melakukan pembukaan surat tanpa ijin dari Ketua Pengadilan, sebagaimana diatur dalam Postordonnantie 1935 (Staatsblad 1934 No. 720)15. Kemudian, pada era kemerdekaan Indonesia dibentuk Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi yang kemudian di amandemen sebanyak empat kali atau biasa disebut dengan era pasca amandemen konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam amandemen konstitusi yaitu menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, telah mengatur mengenai perlindungan terhadap privasi yaitu terdapat dalam Pasal 28G ayat (1) yang menyatakan : “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”16 Sebagai wujud pelaksanaan terhadap UUD NRI 1945 terutama pasal-pasal yang mengatur mengenai hak asasi manusia, dibentuk Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut sebagai TAP MPR 1998) yang sebagian isinya memerintahkan untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.17 Diantaranya, Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang kemudian disahkan melalui Undang-Undang 15
Wahyudi Djafar, „Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Lanskap, Urgensi, dan Kebutuhan Pembaruan‟, Materi dalam kuliah umum “Tantangan Hukum dalam Era Analisis Big Data”, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 26 Agustus 2019. Dikunjungi pada 15 Februari 2020. 16 Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 17 Penjelasan Atas UU HAM 7
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang tercantum pada Pasal 17 angka 1 ICCPR, yang menyatakan sebagai berikut : “No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy, family, home, or correspondence, not to unlawful attacks on his honour and reputation”.18 Sejalan dengan amanat yang dituangkan dalam TAP MPR 1998 tersebut, Indonesia membentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai instrumen pengakomodir atau payung hukum (umbrella act) atau menyatukan
pengaturan-pengaturan
terkait
HAM
yang
bersumber
pada
kovenan-kovenan internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. 19 Mengenai pengaturan yang lebih spesifik dalam ranah perlindungan terhadap privasi, yaitu mengenai perlindungan data pribadi. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur hal serupa terkait perlindungan data pribadi yang pada Pasal 2 UU a quo disebutkan bahwa : “Setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh : A. Dokumen kependudukan; B. Pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; C. Perlindungan atas data pribadi; D. Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen; E. Informasi mengenai data hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan F. Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta penyalahgunaan data pribadi oleh instansi pelaksana.”20
18 19
20
Pasal 17 angka 1 ICCPR Penjelasan Atas UU HAM Pasal 2 UU Administrasi Kependudukan 8
Regulasi-regulasi tersebut merupakan potret sebagian kecil dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap privasi maupun terkait perlindungan data pribadi. Pada realitasnya, terdapat 32 Undang-Undang yang mengandung substansi mengenai perlindungan data pribadi sehingga dapat disimpulkan bahwa pada saat ini pengaturan mengenai data pribadi masih tersebar serta norma yang terkandung saling tumpang tindih. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Donny B.U., Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Literasi Digital dan Tata Kelola Internet.21 Berikut 32 Undang-Undang yang dimaksud adalah : KUHP, KUHAP, UU HAM, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Telekomunikasi, UU ITE, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Anti-Terorisme, UU Intelijen Negara, UU Pendanaan Terorisme, UU Tindak Pidana Korupsi, UU KPK, UU Komisi Yudisial, UU Advokat, UU Administrasi Kependudukan, UU Kearsipan, UU Praktik Kedokteran, UU Narkotika, UU Kesehatan, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, UU Perbankan, UU Perbankan Syariah, UU Bank Indonesia, UU OJK, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Dokumen Perusahaan, UU Perlindungan Konsumen, dan UU Perdagangan. 22 Menurut Wahyudi Djafar, peneliti pada ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), dari sekian banyaknya undang-undang tersebut, yang mengandung substansi terkait perlindungan data pribadi, belum ada satupun yang sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip perlindungan data pribadi. 23 Sehingga dapat dikatakan adanya kekosongan hukum dalam kerangka pengaturan perlindungan data pribadi. Dalam mengatasi kekosongan hukum tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informasi membentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi (yang selanjutnya disebut sebagai Permen Kominfo 20/2016) yang dianggap telah memenuhi kebutuhan mengenai regulasi terkait perlindungan data pribadi. Namun terkait penegakan hukum atas perlindungan data pribadi, Permen Kominfo 20/2016 ini dinilai masih belum
21
Norman Edwin Elnizar, â&#x20AC;&#x153;Perlindungan Data Pribadi Tersebar di 32 UU, Indonesia Perlu Regulasi Khususâ&#x20AC;?, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d1c3962e01a4/perlindungan-data-pribadi-tersebar-di-32uu--indonesia-perlu-regulasi-khusus/, diakses pada 16 Februari 2020. 22 Ibid. 23 Ibid. 9
mengatur secara komprehensif sehingga sanksi untuk penegakan hukum atas perlindungan data pribadi relatif sangat ringan yaitu berupa sanksi administratif saja. 24 Mengenai financial technology peer-to-peer lending atau biasa disebut dengan pinjaman online, kegiatan bisnis tersebut tunduk pada peraturan yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan ini memberikan panduan dalam pelaksanaan bisnis Fintech berbasis usaha pinjam-meminjam, yakni Peer to Peer Lending, seperti pengaturan terkait
kegiatan
usaha,
pendaftaran
perizinan, mitigasi risiko, pelaporan, dan
tata kelola sistem teknologi informasi. 25 Mencermati peraturan ini mengenai perlindungan bagi nasabah (debitur), dapat dikatakan adanya kemungkinan pihak penyelenggara memungkinkan
pinjaman dapat
online
melakukan
menyalahgunakan
data
penyelundupan pribadi
hukum
debitur
yang
walaupun
pelaksanaannya sesuai peraturan OJK tersebut. Pada fakta yang ada di lapangan, layanan ini memiliki pelbagai permasalahan hukum seperti penyalahgunaan data pribadi dan penagihan utang yang bersifat intimidatif kepada pihak ketiga yang tidak memiliki korelasi dengan objek utang debitur. Pasalnya, pada tahun 2018 Lembaga Bantuan Hukum Jakarta telah menerima sebanyak 1330 laporan para debitur yang dirugikan hak privasinya oleh layanan peminjaman online ini. 26 Hal ini dapat ditengarai, kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan pinjam meminjam online, disamping mekanismenya cenderung lebih mudah daripada mengajukan kredit kepada bank.
Serta,
adanya
oknum-oknum
„nakal‟
yang
memanfaatkan
kondisi
ketidakpahaman masyarakat atas inovasi jasa keuangan tersebut. Menurut hemat kami, regulasi yang mengatur mengenai perlindungan data pribadi terkait industri financial technology peer-to-peer lending dapat dikatakan kurang efektif dan cenderung kurang adanya perhatian khusus mengenai data pribadi
24
Fatimah Kartini Bohang, “ “Lempar Bola” Pengesahan UU Perlindungan Data Pribadi”, https://tekno.kompas.com/read/2018/04/12/12170037/lempar-bola-pengesahan-uu-perlindungan-data-p ribadi?page=all, diakses pada 20 Februari 2020 25 Heryucha Romanna Tampubolon, “SELUK-BELUK PEER TO PEER LENDING SEBAGAI WUJUD BARU KEUANGAN DI INDONESIA”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 3, Nomor 2, Maret 2019 [190] 26 Mochamad Januar Rizky, “Ragam masalah Hukum Fintech yang Jadi Sorotan di 2018, www.hukumonline.com, 21 Desember 2018, dikunjungi pada tanggal 16 Februari 2020.” 10
nasabah yang seharusnya dijaga kerahasiaannya serta dilindung oleh penyelenggara layanan pinjaman online tersebut.
3. Peran Pemerintah dalam Penegakan Serta Perlindungan Hukum Bagi Debitur Financial Technology Peer-to-Peer (P2P) Lending
Dalam rangka menjalankan fungsi pengaturan serta pengawasan para penyelenggara financial technology peer-to-peer (P2P) lending, OJK membentuk asosiasi dengan nama Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada tanggal 5 Oktober 2018, sebagaimana dimaksud dalam penunjukan OJK No. S-D.05/IKNB/2019.27 Legal standing dibentuknya AFPI sebagai asosiasi serta mitra resmi OJK tercantum dalam Pasal 48 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang dinyatakan sebagai berikut : “Penyelenggara wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang telah ditunjuk oleh OJK”.28 AFPI, dalam agendanya terkait menjalankan fungsi pengaturan serta pengawasan para penyelenggara financial technology termasuk peer-to-peer (P2P) lending, memastikan penyelenggara Fintech menjalankan tata kelola perusahaan yang baik. Hal ini dapat diidentifikasi dari adanya penetapan kode etik bagi anggota AFPI, dibentuknya Pedoman Perilaku Pemberian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi yang berisi seputar hal-hal terkait dengan sistem pinjam meminjam dalam industri Fintech P2P Lending. Selain itu, AFPI bersama dengan OJK mengadakan program edukasi masyarakat agar tidak terjebak dengan Fintech illegal. 29 Terkait adanya pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara usaha, akan diberikan peringatan serta teguran lainnya melalui ethic committee sebelum dilaporkan kepada OJK untuk ditindaklanjuti lebih lanjut. 30
27
Rahajeng Kusumo Hastuti, “Perangi Fintech Nakal, Ini Strategi AFPI Bersama OJK”, https://www.cnbcindonesia.com/tech/20190923183708-37-101588/perangi-Fintech-nakal-ini-strategi-a fpi-bersama-ojk, diakses pada 18 Februari 2020 28 Pasal 48 POJK Nomor 77 Tahun 2016 29 Hastuti, Loc.Cit. 30 Hastuti, Loc.Cit 11
IV. KESIMPULAN Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwasanya penggunaan data pribadi seseorang harus didasari dengan peraturan perundang-undangan yang telah tersedia beserta prinsip confidential yakni bersifat privat, terbuka hanya untuk para pihak dan apabila informasi tersebut diungkapkan secara tidak sah dapat menyebabkan suatu kerugian.31 Informasi dan data tersebut tidak dapat disebarluaskan tanpa sepengizinan pemilik data dan/atau tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Apabila dilanggar, maka pihak yang membocorkan baik pemerintah maupun swasta, dapat diberi sanksi sebagaimana pasal 36 ayat (1) Permenkominfo No. 20 Tahun 2016 dan dapat digugat atas kerugian berdasarkan pasal 26 ayat (2) UU ITE.
V. SARAN Pemerintah telah memiliki instrumen preventif maupun represif mengenai problema proteksi perlindungan data pribadi konsumen sektor jasa keuangan berbasis teknologi, berupa wadah pengaduan, perlindungan hukum, dan penuntutan ganti rugi. Namun realitanya, daya kerja instrumen tersebut masih lemah dalam melindungi hak privasi seseorang. Sehingga, pemerintah diharapkan dapat memperketat regulasi serta penerapan sanksi terhadap perusahaan pengguna data yang melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan edukasi kepada masyarakat agar menjadi nasabah yang beriktikad baik saat mengajukan kredit serta memilih layanan Fintech lending yang telah terdaftar dalam OJK.
31
www.merriam-webster.com, dikunjungi pada 19 Februari 2020. 12
VI. DAFTAR PUSTAKA Buku. Davidson, Scott. 1994. “Hak Asasi Manusia”Sejarah, Teori, dan Praktik dalam Pergaulan Internasional. Jakarta: Grafiti. Hadjon, Philipus M. 2007. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: sebuah studi tentang prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan pembentukan peradilan administrasi negara. Surabaya: Bina Ilmu. Raharjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Internet. Bohang, Fatimah Kartini. 2018. “Lempar Bola” Pengesahan UU Perlindungan Data Pribadi.<https://tekno.kompas.com/read/2018/04/12/12170037/lempar-bola-peng esahan-uu-perlindungan-data-pribadi?page=all> Dikunjungi pada tanggal 20 Februari 2020 Daon.
2018.
Fintech
Lending
Langgar
Aturan
Persekusi
Digital.
<www.kominfo.go.id.> Dikunjungi pada tanggal 16 Februari 2020. Dictionary, Cambridge. 2020. <https://dictionary.cambridge.org/> Dikunjungi pada 16 Februari 2020. Dictionary, M. W. 2020. Merriam-webster. <www.merriam-webster.com> Dikunjungi pada tanggal 19 Februari 2020. Elnizar, Norman Edwin. 2019. Perlindungan Data Pribadi Tersebar di 32 UU, Indonesia
Perlu
Regulasi
Khusus.
<https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d1c3962e01a4/perlindungan-datapribadi-tersebar-di-32-uu--indonesia-perlu-regulasi-khusus/> Dikunjungi pada tanggal 16 Februari 2020 Hastuti, Rahajeng Kusumo. 2019. Perangi Fintech Nakal, Ini Strategi AFPI Bersama OJK.<https://www.cnbcindonesia.com/tech/20190923183708-37-101588/pera ngi-Fintech-nakal-ini-strategi-afpi-bersama-ojk> Dikunjungi pada tanggal 18 Februari 2020 https://ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-statistik/direktori/Fintech/Documents/FAQ%2 0Fintech%20Lending.pdf Rizky, Mochamad Januar. 2018. Ragam Masalah Hukum Fintech yang Jadi Sorotan di 2018. <www.hukumonline.com> Dikunjungi pada tanggal 16 Februari 2020. 13
Surjaningsih, Endang Dwi Ari . 2019. Fintech Peer-to-Peer (P2P) Lending danPotensi Pemajakannya.<https://www.pajak.go.id/id/artikel/Fintech-peer-peer-p2p-lend ing-dan-potensi-pemajakannya> Dikunjungi pada tanggal 18 Februari 2020. Jurnal. Djafar, Wahyudi. 2019. Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Lanskap, Urgensi, dan Kebutuhan Pembaruan. Materi dalam kuliah umum “Tantangan Hukum dalam Era Analisis Big Data”. Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Heryucha Romanna Tampubolon. 2019. “Seluk-Beluk Peer To Peer Lending Sebagai Wujud Baru Keuangan di Indonesia”. Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 3, Nomor 2. Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
14