Local Chapter Legal Writing - ALSA LC UNSRI

Page 1

LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS

alsa-indonesia.org


PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TANAH ULAYAT MASYARAKAT ADAT BERDASARKAN EKSITENSI HAK ASASI MANUSIA Kompetisi Legal Opinion Brawijaya Law Fair XI 2020

Amsal Sihite 02011281823156 KEMENTERIAN RISET TEKNLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI 2020


A. DUDUK PERKARA Kasus masyarakat adat Semende Banding Agung bermula ketika masyarakat adat diperlakukan secara tidak adil oleh pihak polisi hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), hal ini dikarenakan kawasan yang menjadi tempat tinggal masyarakat adat tersebut termasuk pada kawasan TNBBS, polisi hutan TNBBS menduga bahwa masyarakat adat melakukan perambahan hutan sehingga membuat pihak polisi ingin menurunkan masyarakat adat dari Kawasan TNBBS tersebut. Dalam kasus ini Polisi Hutan tidak menggunakan jalur litigasi yang benar melainkan dengan cara yang salah dan menyentuh hak asasi manusia masyarakat adat Semende Banding Agung tersebut. Berdasarkan data dan Informasi dari masyarakat adat Semende Banding Agung sendiri sudah mengklaim wilayah adatnya seluas 5.000 Ha. Dari 5.000 Ha, seluas 3.473,03 Ha sudah dipetakan melalui pemetaan partisifatif yang dilakukan masyarakat adat bersama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu. Luas wilayah yang sudah terpetakan tersebut terdiri dari kebun kopi seluas 1.613,74 Ha, sawah seluas 93,85 Ha, hutan seluas 1.728,76 Ha, dan tebat seluas 0,68 Ha. Selain itu masyarakat adat sendiri juga memiliki bukti-bukti kepemilikan, antara lain seperti sawah raden dan irigasinya, beberapa buah kuburan tua nenek moyang, sebuah tebat tua, batubatu pilar yang dulu diduga seperti candi serta pohon durian tua yang hanya ada di wilayah adat Dusun Lame Banding Agung. Dokumen sejak masa Hindia Belanda, serta kesaksian turun menurun. B. DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Dasar Pasal 18B Ayat 2 2. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 3. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan 4. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 5. Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang 6. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat 7. Putusan MK No 35/PUU-X/2012


C. ANALISIS FAKTA Permasalahan yang terjadi kepada masyarakat adat Banding Agung Semende bermula ketika pihak kepolsian hutan menduga bahwa masyarakat adat melakukan perambahan hutan. Hal ini membuat polisi hutan TNBBS melakukan beragam upaya dan operasi untuk menurunkan masyarakat adat dari punggung bukit TNBBS. Sayangnya upaya yang dilakukan oleh Polisi Hutan TNBBS ini merupakan pelanggaran HAM terahadap masyarakat adat Banding Agung Semende. Pada hari-hari biasa pada saat masyarakat adat melakukan aktivitasnya seperti menjual hasil panennya ke daerah bawah, sering kali dihadang oleh Polisi Hutan TNBBS. Polisi Hutan juga sering sekali menyita seluruh hasil kopi dari panen yang menjadi sumber untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Puncaknya terjadi pada tanggal 9 Juli 2012 dimana Polisi Hutan memasuki rumah masyarakat adat tanpa izin dan menyeraki rumah masyarakat tersebut, ditambah Polisi Hutan membakar rumah masyarkat adat tersebut. Hal ini membuat sebanyak 120 rumah warga dari 4 talang di Dusun Agung Banding hangus terbakar. Tragedi ini menyebabkan masyarakat adat Dusun Banding terpaksa hidup apa adanya secara kekurangan dengan memanfaatkan sisa-sisa harta hasil pembakaran yang masih tertinggal. Pembakaran rumah yang dilakukan Polisi Hutan TNBBS juga mengakibatkan banyak data-data penting daripada masyarakat adat tersebut yang ikut terbakar, contohnya seperti KTP, Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran warga. Hal ini membuat seakan dihilangkan keberadaannya. Pemerintah Desa yang seharusnya membantu ternyata juga tidak berani mengakui keberadaan mereka sehingga membuat Pemerintah Daerah Kaur belum mengembalikan status kewarganegaraan mereka. Perbuatan Polisi Hutan TNBBS ini mendapatkan kecaman dari Haitimi Sulani selaku ketua pengurus AMAN. Hal ini dikarenakan perbuatan Polisi Hutan tidak dapat didiamkan karena masyarakat adat mempunyai dokumen asli tentang kepemilikan laha di kawasan tersebut. Dengan didampingi oleh Haitimi Sulani dari AMAN, masyarakat adat Agung Banding Samande melakukan pendaftaran tanah ulayat mereka ke Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).


Walaupun tanah adat tersebut sudah didaftarkan ke BRWA, pada tanggal 21-24 Desember 2013, operasi pembakaran rumah oleh Polisi Hutan TNBBS kembali dilakukan. Hal ini menyebabkan puluhan rumah warga terbakar. Tepat pada tanggal 24 Desember, Polisi Hutan TNBBS juga melakukan penangkapan 4 orang warga dari masyarakat adat Banding Agung Semende yang diduga melakukan perambahan sehingga dijerat dengan pasal 92 ayat (1) huruf a dan b UU RI No.18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan. Beberapa hari setelah penangkapan, pihak Polisi Hutan TNBBS juga menyeraki rumah 4 orang tersebut guna mencari alat alat pertanian seperti cangkul, parang dan batang kopi untuk dijadikan barang bukti warga tersebut. Keputusan pengadilan menjatuhkan hukuman kepada Polisi Hutan TNBBS dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda sebanyak 1,5 miliaar rupiah. Masyarakat Adat menganggap bahwa putusan pengadilan sama sekali tidak adil, oleh karena itu masyarakat adat yang didampingi oleh AMAN mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan melaporkan kasus ini ke Komisi Yudisial terkait etika hakim yang memutuskan hasil pengadilan tersebut. D. ANALISIS HUKUM 1. Konsepsi Hak Asasi Manusia atas Masyarakat Adat “When a man is denied the right to live the life he believes in, he has no choice but to become an outlaw�- Nelson Mandela Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan sematamata berdasarkan martabatnya sebagai manusia1. Dalam pasal 28A-28J UUD 1945 juga dijelaskan mengenai konsep HAM yang dimiliki oleh setiap masyarakat Indonesia termasuk masyarakat adat Banding Agung Semende. Tindakan pembakaran rumah warga masyarakat adat yang dilakukan oleh polisi hutan sudah melanggar HAM masyarakat adat sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 40 UU No 39 Tahun

1

Alston, Philp dan Franz Magnis-Suseno (Ed.).2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta


1999 tentang HAM bahwa “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. Pembakaran rumah yang dilakukan polisi hutan menyebabkan warga masyarakat adat kehilangan tempat tinggal serta dokumen-dokumen penting seperti KTP, KK dan hal lainnya. Hal yang sangat disayangkan bahwa pemerintah desa juga tidak membantu masyarakat adat untuk memulihkan dokumen dokumen tersebut sehingga masyarakat Banding Agung Semende seakan dihilangkan keberadaannya. Pada pasal 28D ayat (4) UUD

1945

sudah

dinyatakan

bahwa

“Setiap

orang

berhak

atas

status

kewarganegaraan”, sehingga pemerintah juga tidak menjamin hak asasi manusia masyarakat adat Banding Agung Semende. Melalui Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dijelaskan bahwa penegakan HAM harus dilakukan secara structural, kultural dan instusional. Secara structural

melibatkan

peran serta lembaga-lembaga Negara beserta aparatur

Pemerintah.2 Sehingga membuat pemerintah desa menjalankan penegakan HAM yang sudah diatur dalam TAP MPR tersebut. 2. Peraturan Indonesia Mengenai Hak Ulayat dan Tanah Adat Pengakuan mengenai hak ulayat sudah tertera didalam UUD 1945 pada pasal 18B ayat (2) yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, sehingga aturan ini menjadi dasar bahwasannya masyarakat adat yang ada di Indonesia mempunyai hak ulayat yang diakui oleh Indonesia. Pada dalam pasal 3 UU Pokok Agraria yang menyatakan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan 2

Asshiddiqie, Jimly dan Hafid Abbas. 2005. Edisi Kedua Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 Sampai Dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta: Prenada Media Group.


Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi�. Sehingga selama masyarakat adat diakui keberadaannya maka masyarakat adat memiliki hak untuk menguasai tanah yang mereka miliki. Masyarakat adat agung Semende mengaklaim wilayah adatnya seluas 5.000 Ha, seluas 3.473,03 Ha sudah dipetakan melalui pemetaan partisifatif. Pada Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang diatur bahwa Masyarakat adat dapat melakukan klaim wilayah adat yang dikelola dengan pengetahuan lokal berdasarkan hak sejarah, asal-usul atas ruang hidup dan sumberdaya alam3. sehingga secara tidak langsung menjadi dasar atas hak ulayat daripada masyarakat adat Banding Agung Semende tersebut. Pemetaan Partisifatif sendiri sebenarnya bukan menjadi dasar daripada pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Sesuai dengan pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat telah mengatur tahapan pengakuan dan perlindungan tersebut, yaitu: Identifikasi masyarakat hukum adat, verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat dan penetapan masyarakat hukum adat. Pemetaan partisifatif itu masuk kedalam tahapan identifikasi masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam pasal 5 Peraturan Menteru Dalam Negeri No 52 Tahun 2014. Walaupun pemetaan yang telah dilakukan tidak menjadi dasar pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, sikap dan tindakan yang diambil oleh polisi hutan kepada masyarakat adat Banding Agung Semende sudah benar benar melewati batas. Pertama tidak ssesuai dengan wewenang polisi hutan yang sudah diatur didalam pasal 51 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan yang kedua adalah pelanggaran HAM. Pembakaran Rumah masyarakat adat ini juga telah dilakukan dua kali oleh pihak polisi hutan. Sebelum pembakaran rumah masyarakat adat yang kedua kali terjadi, masyarakat hukum adat bersama dengan AMAN sudah mendaftarkan wilayah adatnya ke Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), sehingga sudah memenuhi tahapan yang dijelaskan dalam pasal 1 Permendagri No 52 Tahun 2014. Tidak hanya itu, polisi hutan 3

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). 2015. Panduan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat


juga menangkap 4 orang warga masyarakat adat dengan dugaan 4 orang warga tersebut dijerat dengan pasal 92 ayat (1) huruf a dan b UU RI No.18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan (UP3H). Padahal seperti yang sudah tertera pada pasal 3 UU Pokok Agraria, masyarakat adat mempunyai hak untuk menguasai apabila selama keberadaan mereka diakui serta berdasar pada putusan MK No 35/PUU-X/2012 bahwa jika hutan adat yang sudah diakui bukan lagi hutan Negara. E. PENDAPAT HUKUM Tindakan polisi hutan dalam melakukan pembakaran rumah masyarakat adat sudah tidak sesuai dengan wewenang polisi hutan yang diatur dalam pasal 51 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan konsep HAM yang diatur dalam UUD 1945. Walaupun pada awalnya masyarakat adat hanya melakukan pemetaan akan tetapi setelah pembakaran rumah pertama kali dilakukan, masyarakat adat sudah mendaftarkan tanahnya ke BRWA, sehingga seharusnya masyarakat adat telah diakui dan dijamin Hak-nya sesuai dengan pasal 3 UU Pokok Agraria dan

menjadi tanggung jawab

pemerintah untuk melindungi masyarakat adat Banding Agung Semende karena sudah memenuhi tahapan sesuai dengan pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52 Tahun 2014. F. KESIMPULAN Konstitusi dan aturan yang berkaitan sudah menjelaskan bagaimana tahapan untuk menjadikan suatu tanah adat diakui dan dilindungi. Walaupun pada awalnya masyarakat adat belum memenuhi tahapan yang tertulis sesuai dengan Permendagri No 52 Tahun 2014, sikap dan tindakan yang diambil oleh polisi hutan TNBBS sudah menyimpang dari wewenang polisi hutan yang diatur dalam Pasal 51 UU No 41 Tahun 1999 serta melanggar HAM. Ketika tanah masyarakat adat ini sudah terdaftar sesuai dengan tahapan yang telah diatur, maka seharusnya tanah adat ini sudah menjnjadi milik sepenuhnya untuk masyarakat adat Banding Agung Semende, dan pemerintah ikut turut melindungi tanah adat tersebut.


DAFTAR PUSTAKA Alston, Philp dan Franz Magnis-Suseno (Ed.).2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). 2015. Panduan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat

Asshiddiqie, Jimly dan Hafid Abbas. 2005. Edisi Kedua Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 Sampai Dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta: Prenada Media Group.


DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama

: Amsal Sihite

NIM

: 02011281823156

Tempat/Tanggal Lahir

: Palembang/04 Febuari 2001

Alamat

: Jln Ramakasih III No 766, Palembang

Telepon

: 081366882100

Email

: amsalsihite12@gmail.com

Fakultas/Jurusan

: Ilmu Hukum

Semester/Angkatan

: 5/2018

Karya Ilmiah yang pernah dibuat 1. Analisa Kasus Proyek LRT Sumatera Selatan Alsa Legal Opinion Competition (Juara 1 Alsa Legal Opinion Competition of ALSA Local Chapter Universitas Sriwijaya 2019/2020) Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

22 Juli 2020

Amsal Sihite PESERTA LEGAL OPINION BLF XI 2020


Urgensi Dikeluarkannya Perppu terhadap Undang-Undang KPK Terbaru oleh Presiden

A Muflih El Zuhdi ALSA Local Chapter Universitas Sriwijaya

A.

Pendahuluan

Pada dasarnya, tantangan dalam menyelenggarkan kehidupan berbangsa dan bernegara selalu berhadapan dengan ancaman bahaya. Berdasarkan hukum positif

dalam

konstitusionalisme dan prinsip negara hukum, penanggulangan kedaruratan secara formil maupun materiil tetap harus berpegangan teguh terhadap asas dan prinsip hukum positif. Konstitusi secara tertulis menyatakan bahwa pada pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak atau wewenang kepada presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang atau Perppu dalam menghadapi ancaman bahaya yang genting dan ikhwal yang memaksa. 1Perppu memiliki hierarki sebagai layaknya Undang-Undang sebagaimana yang dijelaskan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pengesahan revisi UU KPK atau perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam Rapat Paripurna DPR pada 17 September 2019 lalu, memicu protes publik. Revisi UU KPK menjadi salah satu penyebab demo mahasiswa meluas di banyak kota. Di antara tuntutan mahasiswa adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK hasil revisi. Tuntutan serupa disampaikan sejumlah pegiat antikorupsi yang menilai isi revisi UU KPK memuat pasal yang bisa melemahkan kinerja KPK.

1

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


B.

Dasar Hukum 1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 Ayat 1 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan 3. Putusan Mahkamah Konstitusi No.138/PUU-VII/2009

C.

Pembahasan

Perppu, Judicial Review, dan Legislative Review adalah jalan untuk membuat tidak berlakunya RUU KPK. 2Namun, didalam pembentukan Perppu oleh presiden tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang atau tidak sembarangan. Menempuh jalur Legislative Review dalam arti lain bahwa DPR bersama Pemerintah mempertimbangkan dan merancang kembali hasil pasal revisi UU KPK yang dianggap melemahkan KPK. Dalam menempuh jalur judicial review, pasal yang menuai protes di kalangan pro dan kontra sangat sulit untuk menempuh jalur tengah atau solusi karena sebelumnya perwakilan semua partai di DPR kompak menyetujui pengesahan UU KPK hasil revisi. Selain itu, diprediksi uji materi di MK untuk membatalkan revisi UU KPK tidak akan berhasil. Sebab, MK dilarang membatalkan UU hanya karena tidak disukai rakyat. MK bisa membatalkan UU apabila isinya memang bertentangan dengan konstitusi. Menurut Mahfud MD Ahli Hukum Tata Negara (2019) 3

Meskipun, revisi UU KPK Ini tidak disukai rakyat, tapi tidak bertentangan dengan konstitusi,

pembentukan Perppu secara hierarkis maka diperlukan beberapa landasan dalam menerbitkan Perppu atau pengganti Undang-Undang adalah antara lain : 1. Kebutuhan yang mendesak atau menyelesaikan suatu masalah hukum secara solutif berdasarkan undang-undang. 2. Undang-Undang tersebut dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum dalam menjamin kepastian hukum 3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa yang membutuhkan waktu yang lama

2

Aji Prasetyo, Penolakan Revisi UU KPK Masuk Kategori ‘Kegentingan yang Memaksa’ diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d8f360162016/penolakan-revisi-uu-kpk-masuk-kategorikegentingan-yang-memaksa-begini-penjelasan-ahli/ pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 07.03 3 Addi M Idham, Revisi UU KPK dan Pro Kontra Wacana Perppu di Kalangan Ahli Hukum diakses dari https://tirto.id/revisi-uu-kpk-dan-pro-kontra-wacana-perppu-di-kalangan-ahli-hukum-eje1pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 07.32


4

Lebih lanjut diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.138/PUU-VII/2009, Bahwa

penerbitan Perpu adalah hak subjektif dan propegatif Presiden, akan tetapi persyaratanpersyaratan pembuatan Perpu menjadi ranah publik, persyaratan pembuatan Perppu, Presiden harus tunduk kepada landasan dalam menerbitkan Perppu pengganti UndangUndang , Tetapi pertanyaan nya adalah apakah penerbitan Perppu telah memenuhi landasan sebagai syarat dalam pembentukan perppu? Di dalam hal kebutuhan yang mendesak menurut Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Prof. Zainal Arifin Mochtar (2019) menilai sudah memenuhi landasan “kegentingan yang memaksa� kegentingan dapat dilihat secara sosiologis bahwasanya terdapat banyak korban luka dan penolakan dari berbagai pihak dalam menolak revisi UU KPK Selain itu, terdapat sejumlah pasal di UU KPK hasil revisi yang memenuhi landasan kekosongan hukum. Masalah kekosongan hukum merupakan salah satu parameter kegentingan seperti disebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Zainal mencontohkan UU KPK hasil revisi mengatur usia komisioner KPK paling rendah 50 tahun. Karena tidak ada pasal peralihan, menurut Zainal, salah satu komisioner KPK terpilih, yakni Nurul Ghufron yang masih berusia 45 tahun, tidak bisa dilantik. Sehingga bisa didapatkan bahwasanya terdapat urgensi dan landasan yang jelas untuk presiden dalam menerbitkan Perppu dalam RUU KPK. Hal inipun bertentangan dengan ahli hukum lain, Prof. Romli Atmasasmita Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (2019) usulan penerbitan perppu justru akan menjerumuskan presiden, beliau berpendapat penerbitan Perppu KPK sebelum hasil revisi diundangkan, melanggar UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. "Jika Presiden membuat perppu sebelum sah revisi UU diundangkan, maka Presiden melanggar UU dan dapat diimpeach," ujar Romli. Sedangkan, ahli hukum tata negara Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji juga menyatakan penerbitan Perppu KPK bisa dianggap inkonstitusional bila tidak ada kegentingan yang memaksa. Dia menilai saat ini tidak ada kegentingan yang memaksa sesuai parameter yang disebut dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Indriyanto pun mengingatkan ada risiko tumpang tindih antara Perppu KPK dengan putusan MK. Hal itu terjadi jika MK menolak uji materi UU KPK yang kini sedang berjalan prosesnya. Kata dia, jika MK menolak uji materi itu, berarti UU KPK hasil revisi dinyatakan tetap sah. "Itu artinya tidak ada kepastian hukum, karena ada tumpang tindih dan saling bertentangan mengenai polemik objek yang sama, yaitu UU KPK.

4

Bagir Manan, � Peraturan Pemerintahan Undang- Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi dan Prinsip Negara Hukum, Jurnal Kehormatan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 2019.


jika DPR tidak setuju alias menolak mengesahkan Perppu, Presiden harus mencabut Perppu dan harus menyatakan Perppu itu tidak berlaku. Apakah Presiden bisa langsung menetapkan Perppu itu tidak berlaku? Jika dibaca dari konstruksi Pasal 52 ayat (6) UU No. 12 Tahun 2011, tampaknya Presiden tidak dapat langsung menetapkan pencabutan. Jawabannya DPR atau Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang. RUU yang disebut terakhir mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu. RUU itu kemudian dibawa ke Rapat Paripurna DPR. Misalkan anggota DPR baru menolak Perppu yang diusulkan Presiden

mengenai revisi UU KPK, konsekuensinya Perppu itu

dicabut. Yang berlaku adalah UU sebelumnya, yakni UU KPK hasil revisi D.

Kesimpulan

Setidaknya terdapat tiga opsi kepada Presiden yaitu legislative review, judicial review, dan Perppu. Yang pertama adalah memberikan kesempatan kepada Presiden beserta DPR periode 2019-2024 untuk mengubah lebih lanjut UU KPK. Dengan kata lain, Perubahan UU KPK tetap berlaku, dan secara paralel DPR dan Presiden mencoba merumuskan aturan yang bisa diterima oleh semua pihak terkait dengan KPK. Pada pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas memberikan hak propegatif dan subjektif kepada presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang atau Perppu dalam menghadapi ancaman bahaya yang genting dan ikhwal yang memaksa, namun terdapat beberapa landasan dalam menetapkan perppu, Apabila berkaca pada kenyataan empiris dan sosiologis, mengeluarkan perppu sudah sangat relevan dan memenuhi landasan dalam pembuatan perppu yaitu ikhwal kepentingan yang memaksa, mengisi kekosongan hukum, serta hal ini tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa yang membutuhkan waktu yang lama. Meskipun demikian, perppu adalah suatu produk hukum yang bersifat sementara. Presiden dalam sistem ketatanegaraan dan hukum yang ada tidak akan mungkin memuaskan tuntutan para penolak Perubahan UU KPK karena dengan adanya regulasi yang kuat tentang pemberantasan korupsi tidak akan menjamin penyelesaian kasus korupsi. Penyelesaian terbaik dalam semangat pemberantasan korupsi sebaiknya Presiden memerintahkan agar Perubahan UU KPK yang sudah disahkan dibahas secara akademis dan terbuka untuk umum. Supremasi hukum menuntut kecermatan berpikir, kerarifan memimpin, dan kesamaan derajat semua pihak di depan hukum. Presiden harus cermat bertindak dalam sistem yang ada, dan menjunjung tinggi cita negara hukum.



Analisis Yuridis Pemindahan Ibu Kota Negara terhadap Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Paser di Kalimantan Timur Muhammad Harits Kholilah Apriliani M. Mufli El Zuhdi Universitas Sriwijaya I.

Kasus Posisi

Pengaturan Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat ditempatkan pada Pasal 18B Amandemen Kedua UUD 1945. Pengaturan tersebut telah menyuratkan adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Pengaturan tentang Kesatuan Masyarakat Hukum Adat juga terdapat pada Pasal 28i angka (3), di mana disebutkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Berangkat dari ketentuanketentuan tersebut, terlihat bahwa pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat akan terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban. Konsekuensi dari ketentuan ini adalah semua aturan perundangan-undangan yang bertentangan dengan ketentuan tersebut adalah batal. Pembatalan ini dapat dilakukan melalui mekanisme permohonan pembatalan. 1 Meskipun ada pengakuan dalam sejumlah peraturan perundangan, perlu ditegaskan bahwa sifat dari pengakuan yang ada sejauh ini adalah pengakuan bersyarat, yang dapat dilihat dari pernyataan, “Sepanjang masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat, selaras dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dengan undang-undang�. Lalu bagaimana nasib dari

1

Lalu sabardi, ‘konstruksi makna yuridis masyarakat hukum adat dalam pasal 18B UUDN RI tahun 1945 untuk identifikasi adanya masyarakat hukum adat’ (2013) 43 Jurnal Hukum dan Pembangunan. [184]


Masyarakat Hukum Adat Paser yang rencananya di wilayahnya akan dipindahkan Ibukota Negara Indonesia yang baru.2 Wilayah Penajam Paser Utara dulunya merupakan kawasan yang dihuni oleh Suku Paser Tunan dan Suku Paser Balik. Kedua suku tersebut berinduk dari Suku Paser yang saat ini tinggal di Kabupaten Paser. Di lansir dari situs resmi Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Budaya, kehidupan di Penajam Paser Utara terdiri dari kelompok-kelompok suku yang hidup dengan berpencar. Mereka kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang kemudian disebut Kerajaan Adat. Ketika itu, mata pencaharian masyarakatnya secara turun temurun adalah sebagai nelayan dan petani. Adapun Kerajaan adat yang mereka bangun berada di sekitar sungai dan teluk di kawasan Penajam. Sebelum Dipilih Jadi Ibu Kota, Penajam Paser Utara disebut Tertinggal oleh beberapa Kerajaan Adat di lokasi Penajam pada zaman dahulu di antaranya: Pemerintah Adat Suku Adang yang tinggal di Teluk Adang (Paser) Pemerintah Adat Suku Lolo yang tinggal di Muara Sungai Lolo (Paser) Pemerintah Adat Suku Kali yang tinggal di Long Kali (Paser) Pemerintah Adat Suku Tunan yang tinggal di Muara Sungai Tunan (Penajam) Pemerintah Adat Suku Balik yang tinggal di sekitar Teluk Balikpapan. Di antara Kerajaan Adat tersebut, hanya Pemerintah Adat Suku Balik yang menjadi bagian kerajaan besar Kutai Kartanegara.3 Dan seperti yang kita ketahui bahwa wilayah dari masyarakat Hukum adat Paser nantinya menjadi salah satu proyek pembangunan Ibukota Negara Republik Indonesia yang baru menggantikan DKI Jakarta. Serta status perencanaan pembangunan pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur, khususnya Kabupaten Penajam Paser Utara menjadi ancaman bagi masyarakat adat Dayak Paser. Pemindahan Ibu Kota Negara ke wilayah adat tak beda dengan alih fungsi hutan 2

3

Ibid, Lalu sabardi

Nur Rohmi Aida, ‘Sejarah Masa Lalu Penajam Paser Utara, dari Kisah Dua Suku Paser hingga Kerajaan Adat’ ,(Kompas,2019) <https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/27/090729465/sejarah-masalalu-penajam-paser-utara-dari-kisah-dua-suku-paser-hingga?page=all> accessed 7 November 2019


untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit dan pengolahan kayu, sehingga warga Dayak Paser kembali berpotensi kehilangan hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka, dari pangan, papan, hingga persembahan untuk ritual sakral adat, dan lahan yang mereka tinggali secara turun-temurun bakal tergusur ibu kota baru yang ditargetkan menampung 1,5 juta penduduk, Kecemasan Sabukdin ini disampaikan secara eksklusif pada BBC Indonesia pada Kamis (05/09/2019). Katanya, "kami ingin daerah kami ramai, tapi bukan berarti kami menderita, hanya menonton,". "Pendatang sudah hidup di tanah kami, kami tidak menikmati kemakmuran, tetap melarat dan bisa lebih melarat kalau Ibu Kota ada di sini," tutur Sabukdin Kepala Adat Paser di Sepaku. Pengalaman berbicara, sengketa lahan menahun terjadi di perkampungan mereka karena saling klaim lahan adat, transmigrasi, dan sawit. Tanah yang diklaim Sabukdin telah dimiliki secara turuntemurun kini semakin sempit dan terkepung desa transmigrasi serta lahan berlabel hak guna usaha (HGU). "Lahan kami diambil padahal di situ ada makam nenek moyang kami," kata Sabukdin. Semenjak hutan dan lahan menyempit, masyarakat adat Paser tak lagi semerdeka di masa lalu secara adat termasuk soal aktifitas ekonominya. 4 Penguasaan hukum tanah yang lemah di kalangan warga Dayak Paser berpotensi rawan dimanfaatkan kelompok tertentu. Dan faktanya masyarakat adat di pedalaman hampir 90% tidak punya surat kuat atau sertifikat karena keterbatasan masyarakat adat dalam mengurus surat dan sertifikat. Presiden Indonesia, Joko Widodo berjanji pemerintah akan menjual sebagian lahan di ibu kota baru kepada publik. Wilayah sebesar 30 ribu hektare di pusat pemerintahan baru itu, kata Jokowi, akan dijadikan permukiman. Bappenas saat ini tengah merancang rencana induk pembangungan ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. Dokumen itu ditargetkan selesai tahun 2020. Ibu kota baru diklaim

4

[1] Abraham Utama, ’Ibu kota baru Indonesia: Warga Dayak Paser khawatir 'makin tersingkir' dari wilayah adat, 'tidak mau tambah melarat ‘, (BBC Indonesia,2019) <https://www.bbc.com/indonesia/indonesia49591240> accessed 6 November 2019


akan dibangun bertahap hingga 10 tahun ke depan, begitu pula pemindahan sekitar 900 ribu pegawai badan pemerintah pusat beserta keluarga mereka. 5 II.

Isu Hukum

1. Bagaimana Implikasi Pemindahan Ibu Kota Negara terhadap Masyarakat Adat Dayak Paser? 2. Bagaimana Bentuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Paser terhadap Pemindahan Ibu Kota Negara? III.

Dasar Hukum

1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria 5. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 6. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pegelolaan Lingkungan Hidup 7. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum 8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat 9. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

5

[1] Wisnu Nugroho, ‘ Jokowi Sebut Masyarakat Bisa Beli Lahan di Ibu Kota Baru, Harganya?’, (Kompas,2019) <https://nasional.kompas.com/read/2019/09/03/18355701/jokowi-sebutmasyarakat-bisa-beli-lahan-di-ibu-kota-baru-harganya> accessed 6 November 2019


10. Peraturan Daerah Kabupaten Paser Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat IV.

Analisis

4.1.

Analisis Teori

Untuk menjawab isu hukum di atas maka kami menyajikan beberapa teori sebagai acuan untuk dapat menarik suatu kesimpulan. Teori-teori dimaksud akan disajikan sebagai berikut : 1. Teori Receptio a Contario Hukum Adat adalah sesuatu yang berbeda dan tidak boleh dicampuradukan dengan Hukum Agama (Islam) sehingga keduanya mesti tetap terpisah. Hukum Adat timbul semata-mata dari kepentingan hidup kemasyarakatan yang ditaati oleh anggota masyarakat itu, yang apabila ada pertikaian atau konflik maka diselesaikan oleh penguasa adat dan hakim pada pengadilan negeri. (Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, 1981: 62) 6 2. Teori Positivisme Pada teori ini, Positivisme berpandangan bahwa hak harus tertulis secara jelas dalam hukum riil, dan sebegai bentuk jaminan hak melalui konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution, laws, and contracts). Teori positivisme ini memperjelas penolakan kalangan utilitarian, yang dikembangkan secara spesifik dan sistematis oleh John Austin. Warga negara sebagai subjek hukum akan mendapatkan hak apabila terdapat aturan yang jelas dan tertulis yang menjelaskan tentang hak dari warga negara tersebut. Jika terjadi pelanggaran terhadap hak warga negara maka dapat dipertimbangkan untuk gugatan. Dalam teori ini, secara eksplisit dijelaskan bahwa segala hak dapat dibatasi dan dikurangi selama tertulis secara jelas dalam hukum riil.

Nada Siti Salsabila , ‘Implementasi teori-teori HAM di Indonesia’ Studi kasus : problematika industrialisasi pabrik semen di kabupaten rembang , (Academia, [20]. 6


3. Teori Relativisme Budaya Relativisme budaya berpandangan bahwa kebudayaan merupakan salah satu sumber legitimasi hak dan keabsahan moral. Menurut teori ini, hak asasi pada dasarnya perlu dikaji dan dipahami dari kebudayaan dan kearifan lokal setiap negara. Manusia adalah interaksi sosial dan kultural serta perbedaan budaya dan peradaban kekuatan akal budi mengenai kemanusiaan, dalam teori ini melahirkan beberapa karya hak asasi antara lain. 7 4.2.

Analisis Kasus

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa, "Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. dan Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman." oleh sebab itu Masyarakat Hukum adat Paser yang sudah lama menduduki wilayah calon tempat Ibukota Negara yang baru, Pemerintah harus mengakui adanya masyarakat Hukum adat Paser.8 Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro memastikan pemindahan ibu kota tak akan merusak hutan. “Tidak akan ganggu luas hutan lindung. Desain kota akan mengarah ke forest city, aspek hijau dan hutan tetap terjaga,� ujar Bambang di Jakarta, Rabu (10/7/2019). Tak hanya hutan, lanjut Bambang, adat istiadat yang sebelumnya berlaku di lokasi ibu kota baru itu pun akan tetap dijaga. “Kita tidak akan gusur masyarakat adat dan kebudayaan. Kita bangun di tanah kosong, jadi tidak ganti atau menempati wilayah 7

8

Ibid, Nada Siti Salsabila Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).


yang ada penduduknya,” kata Bambang. Ditahap awal ibukota baru akan menampung 1,5 juta penduduk. Perhitungan tersebut sudah termasuk perkiraan jumlah PNS pusat, pegawai legislatif, yudikatif, legislatif yang diperkirakan sebanyak 200.000 jiwa. Sementara untuk aparat Polri dan TNI sekitar 25.000 jiwa. Setidaknya, untuk membangun ibu kota baru yang rencananya akan seluas 40.000 hektar, pemerintah memerlukan dana hingga 33 miliar dollar AS atau Rp 446 triliun. Akan tetapi, Masyarakat Suku Dayak justru menganggap bahwa perencanaan pemindahan ibu kota justru mengancam eksistensi kehidupan masyarakat adat. Masyarakat Suku Adat Dayak meminta kepada pemerintah untuk memenuhi Masyarakat Suku Dayak meminta kepada pemerintah untuk memenuhi haknya memperoleh tanah tersertifikasi sebelum Ibu Kota Negara baru dipindahkan ke Kalimantan Timur. Sebab, mereka mengaku tidak lagi memiliki tanah pribadi maupun tanah adat.9 Wakil Bendahara Umum Majelis Adat Dayak Nasional, Dagut H. Djunas mengatakan, sejak maraknya penggunaan lahan untuk kepentingan perkebunan sawit di Kalimantan pada 2014, masyarakat dayak tidak lagi memiliki tanah dan hutan adat yang dilindungi hukum untuk digarap sebagai sumber mata pencaharian. "Masyarakat kita makin terjepit, makin tidak ada tempat tentang lahan dan hutan adat. Akibat itu masyarakat kita menurut data, 285 desa yang tinggal hanya desanya saja semuanya perkebunan sawit," kata dia di Gedung Bappenas, Jakarta, Kamis 17 Oktober 2019.10 Oleh karena itu, dia meminta, sebelum Ibu Kota Negara baru dibangun di tanah Kalimantan, tepatnya di sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai

9

Akhdi Martin Pratama, ‘Bappenas: Pemindahan Ibu Kota Tak Akan Rusak Hutan’, (Kompas, 2019) <https://money.kompas.com/read/2019/07/10/150844626/bappenaspemindahan-ibu-kota-tak-akan-rusak-hutan >, accessed 8 November 2019 Dusep Malik, ‘Jadi Ibu Kota Baru, Suku Dayak Minta Hak Tanah Lima Hektare Per KK’, (VIVAnews, 2019) 10


Kartanegara, Kalimantan Timur, maka pemerintah harus memenuhi hak masyarakat dayak untuk memperoleh tanah yang dilindungi oleh kekuatan hukum atau disertifikasi gratis oleh pemerintah. 11 Akan tetapi terlepas Pemerintah Pusat akan menjamin bahwa akan membuat Ibukota Negara yang bernuasa Forest city. Masyarakat Hukum adat Paser dapat menolak dan menuntut Pemerintah Pusat apabila pada saat pembangunan tidak memperhatikan lagi wilayah Hutan Adat yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat Paser Karena sesuai dengan Pasal 67 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan bahwa Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Dan Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hĂźkĂźm adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12 Dan sejalan dengan ketentuan lebih lanjut di dalam Pasal 67 tersebut Pemerintah daerah Kabupaten Paser sudah mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Paser Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang bertujuan memberikan Kepastian Hukum untuk Masyarakat Hukum Adat Paser. Serta Pemerintah Pusat dalam proses memindahkan Ibukota Negara yang baru, Pemerintah Pusat haruslah juga menjamin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang sudah di jaga dan dikelola Masyarakat Hukum Adat Paser

11 12

Ibid, Dusep Malik. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888).


karena sesuai dengan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.


Implications of the Doha Declaration on Pharmaceutical Product Patents in Indonesia during the Pandemic Disease By: A Muflih El Zuhdi

I.

INTRODUCTION 1.1 .

Background

The availability of quality pharmaceutical products and cheap is need by people in the world. Quality medicines both obtained through long and expensive research and the development phase. By using intellectual property rights protection systems in pharmaceuticals, major patents, brands, and trade secrets, research and development activities for new medicines can be increased. However, the protection of intellectual property rights in the pharmaceutical industry in Indonesia has not been used optimally. In the current era of globalization, protection of intellectual property rights becomes very important, because the protection of intellectual property rights is closely related to global trade at the international level.1 Protection of intellectual property rights is an interesting and prominent issue in international economic relations, due to several factors, namely the creation of a global market as a result of the development of communication and transportation technology, increased intensity and quality of research and development of innovations needed to produce and develop a new product. However, protection of intellectual property rights also gives rise to exclusivity. The exclusivity form of protecting intellectual property rights is the presence of monopolistic characteristics in intellectual property rights.2 Individuals or industries will incur large costs if they are going to research to find or create products. 1.2. Basic Regulation of the Topic -

The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945)

Nuzulia Kumalasari, “Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Era Globalisasi� (2009) Vol 3, No 3 Jurnal Universitas Jember <https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/QISTIE/article/view/578> accessed 7 July 2020 2 Eka An Aqimuddin, Iman Sunendar, Frency Siska, Rahmat J. Tanjung, Mayas M, Tinjauan Pendekatan Hukum dan Ekonomi terhadap Model Lisensi Wajib Paten atas Obat dalam Wto-Trips Dan Deklarasi Doha 2001 (2015) Vol 5, No.1 , Jurnal Universitas Islam Bandung <http://proceeding.unisba.ac.id/index.php/sosial/article/view/182> accessed 7 July 2020 1


-

Law Of The Republic Indonesia Number 13 of 2016 about Patent

-

Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health, 2001

-

TRIPs Agreement World Trade Organization, 1994 1.3.

Legal Issue Regarding the Topic

As countries and private institutions rush to produce a viable vaccine for COVID 19, concerns over the possible monopoly of drug patents have sparked an international debate on the need to maintain equitable and affordable access to these solutions. The novel coronavirus, which surfaced in China late last year, has killed nearly 230,000 people and infected close to 3.2 million worldwide, according to an AFP tally. There are still no proven vaccines or antiviral drugs to treat COVID-19, with most patients only receiving palliative care. But scientists around the world are working on experimental treatments in the hopes of a return to normalcy, despite mounting deaths and deepening economic woes. According to the World Health Organization (WHO), more than 120 vaccines being developed worldwide, with six already undergoing clinical trials. Experts have been quick to point out how the current patent system is not fit for purpose, with suppliers accused of turning a profit by denying access to life-saving medicine.3 Seeing this fact, it can be given human civilization that is needed in the COVID19 vaccine. Now, several countries are conducting COVID-19 vaccine trials, even some pharmaceutical companies have produced them and requested patents for COVID-19 vaccines before they are distributed to the public. According to 1945 Constitution of the Republic of Indonesia in article 28 A "All persons have the right to live and have the right to defend their life and life"4 then reaffirmed in Article 28H paragraph 1 that, "Every person has the right to live in prosperity and mentality, residence, and get a good and healthy living environment and are entitled to health services."5 Furthermore, state guarantees of the right to health of its citizens can also be found in Law No. 39 of 1999 concerning Human Rights. The responsibility of the state to save as many people as possible is certainly different from the personal interest in registering patents as part of intellectual property protection. In COVID-19 pandemic situation, where a country is

3

Dian Septiari, Indonesia rallies to keep COVID-19 vaccines, drugs affordable (Jakarta,1 May 2020) < https://www.thejakartapost.com/news/2020/05/01/indonesia-rallies-to-keep-covid-19-vaccines-drugsaffordable.html> accessed on 8 July 2020 4 The 1945 Constitution of Republic Indonesia, article 28A 5 The 1945 Constitution of Republic Indonesia, article 28H


stricken with an outbreak of disease and has endangered the national health of the country, pharmaceutical product prices can be a big problem. .

II.

MAIN ISSUE

2.1.

Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health

In 2001, WTO Members adopted a special Ministerial Declaration at the WTO Ministerial Conference in Doha to clarify the ambiguities between the need for governments to apply the principles of public health and the terms of the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) . In particular, concerns have been growing that patent rules might restrict access to affordable medicines for populations in developing countries in their efforts to control diseases of public health importance, including HIV, tuberculosis and malaria.6 The Doha Declaration does not explicitly refer to the right to health. However, the recognition that the TRIPS Agreement "can and should be interpreted and implemented in a supportive manner from WTO Members' right to protect public health and, in particular, to promote access to medicines for all �is crucial for the realization of that right. The adoption of the Doha Declaration several a number of actions at the international level aimed at addressing the tension between intellectual property rights and the right to health. For instance, the 59th World Health Assembly (2006) expressed concerns about the implications that intellectual property rights could have on prices for pharmaceutical products and on access to medicines.7 The adoption of the Doha Declaration triggered a number of actions at the international level aimed at addressing the tension between intellectual property rights and the right to health. For instance, the 59th World Health Assembly (2006) expressed concerns about the implications that intellectual property rights could have on prices for pharmaceutical products and access to medicines.8In 2008, the 61st World Health Assembly adopted the World Health Organization (WHO) Global Strategy and Plan of

6

WHO, The Doha Declaration On The Trips Agreement And Public Health < https://www.who.int/medicines/areas/policy/doha_declaration/en/> accessed on 8 July 2020 7 United Nations Development Programme, Discussion Paper The Doha Declaration Ten Years on and Its Impact on Access to Medicines and the Right to Health (2011), 20 December 8 World Health Assembly Resolution on Public Health, Innovation and Essential Health Research and Intellectual Property Rights (2006) 27 May


Action on Public Health, Innovation and Intellectual Property, which called for more efforts to implement States’ obligations arising under applicable international human rights instruments with provisions relevant to health.9 Patented medicines almost always cost far more than other drugs that are not patented. The need to switch new therapies involving patented products will increase soared funding needs. 2.1.

Implications of the Doha Declaration on Pharmaceutical Product

Patents The Doha Declaration addresses real and urgent problems faced by many developing countries in the area of public health. It is not intended to amend the TRIPS Agreement in any substantial manner. It aims to clarify the relationship between the TRIPS Agreement and Public Health policies of Member countries and confirm the rights that members have retained under the agreement particularly by defining the flexibility allowed in certain key areas. The Declaration addresses most of the concerns of developing countries on the issue of public health.10 Conditions such as pandemics which are epidemics and the responsibility of the state encourage awareness that protection of patents cannot be carried out in absolute terms. Based on this awareness, protective articles were born in TRIPs or known as The TRIPs Safeguards. The Safeguards TRIPs are exceptions to the protection of intellectual property rights that can be used by the state under certain conditions. The TRIPs Safeguards are contained in Article 8 of the TRIPs Agreement which allows the state to formulate, change regulations, and adopt the steps demand to protect the health and nutrition of the people, and to promote the public interest in important sectors for socio-economic and technological development.11 This article is deemed necessary to overcome the negative impacts arising from the protection of intellectual property rights required by TRIPs. The TRIPs Safeguards as a form of flexibility from the strict protection of intellectual property rights and as a response to the negative impacts of the provisions of TRIPs are expected to provide benefits for member countries, especially for developing countries. The TRIPs Safeguards are a form of 9

WHO Global Strategy and Plan of Action on Public Health, Innovation and Intellectual Property (2008), < https://www.who.int/phi/publications/Global_Strategy_Plan_Action.pdf?ua> accessed on 8 July 2020 10 Carlos M. Correa, ‘Implications of The Doha Declaration on The Trips Agreement and Public Health’ (2002) < https://www.who.int/medicines/areas/policy/WHO_EDM_PAR_2002.3.pdf> University of Buenos Aires June accessed 8 July 2020 11 Amanda Adelina Harun & Fenty U. Puluhulawa, The Trips Safeguards: antara Hak Eksklusif dan Hak Asasi Manusia (2018) Volume 2 Nomor 2, Jurnal Al-Himayah t<http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ah/article/view/565> accessed on 8 July 2020


Special and Differentiation Treatment. Special and Differentiation Treatment is intended to facilitate the process of integrating developing countries into the multilateral trade system, and to help developing countries overcome difficulties in implementing all WTO agreements. Four points that constitute protective articles in TRIPs namely parallel imports, bolar provisions, compulsory licenses, and government use of patents.

III.

Conclusion

Doha Declaration is a step towards overcoming the impact of intellectual property rights protection, especially strict patent protection. The negative impact of the intended patent protection is the high drug price as an effect of pharmaceutical patent protection. The Doha Declaration when viewed from exclusive rights at first glance is a form of violation of the exclusive rights of patent holders, but if it is further examined the purpose of granting exclusive rights is also motivated by the public interest. On the contrary, when judged in the public interest, the Doha Declaration is a form of flexibility that responds to the needs of countries that are struggling with an epidemic. Flexibility it is very difficult especially for developing countries to be able to provide access to medicines for people who are suffering from epidemics. The problem in implementation lies in its very general provisions, so it does not provide standards or further elaboration regarding the provisions in it, so that there are often differences in interpretations between WTO member countries. Therefore, special arrangements are needed regarding the implementation of the Doha Declaration in the form of Government Regulations. Legal action that can be taken against countries that violate the Doha Declaration is to file a lawsuit with the WTO to be resolved through the WTO dispute resolution body. By submitting a lawsuit to the WTO, it is expected that developing and underdeveloped countries can harmonize the provisions of the Safeguard TRIPs between developing countries as well as backward countries and developed countries.


IV.

Bibliography

Amanda Adelina Harun & Fenty U. Puluhulawa, The Trips Safeguards: antara Hak Eksklusif dan Hak Asasi

Manusia

(2018)

Volume

2

Nomor

2,

Jurnal

Al-Himayah

<http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ah/article/view/565> Carlos M. Correa, ‘Implications of The Doha Declaration on The Trips Agreement and Public Health’ (2002) < https://www.who.int/medicines/areas/policy/WHO_EDM_PAR_2002.3.pdf> University of Buenos Aires June Emawati Junus, S.H., ‘Ketentuan TRIPS pada Pengaturan Paten di Bidang Farmasi di Indonesia ( Tesis Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro 2003) Eka An Aqimuddin, Iman Sunendar, Frency Siska, Rahmat J. Tanjung, Mayas M, Tinjauan Pendekatan Hukum dan Ekonomi terhadap Model Lisensi Wajib Paten atas Obat dalam Wto-Trips Dan Deklarasi Doha 2001

(2015)

Vol

5,

No.1

,

Jurnal

Universitas

Islam

Bandung

<http://proceeding.unisba.ac.id/index.php/sosial/article/view/182> Nuzulia Kumalasari, “Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Era Globalisasi” (2009)

Vol

3,

No

3

Jurnal

Universitas

Jember

<https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/QISTIE/article/view/578> Tomi Suryo Utomo, ‘Deklarasi Doha dalam Perspektif Akses Obat Murah dan Terjangkau: Sebuah Pelengkap Perjanjian TRIPS’ Universitas Janabadra, Yogyakarta United Nations Development Programme, Discussion Paper The Doha Declaration Ten Years on and Its Impact on Access to Medicines and the Right to Health (2011), 20 December WHO,

The

Doha

Declaration

On

The

Trips

Agreement

And

Public

Health

<

https://www.who.int/medicines/areas/policy/doha_declaration/en/> WHO Global Strategy and Plan of Action on Public Health, Innovation and Intellectual Property (2008), < https://www.who.int/phi/publications/Global_Strategy_Plan_Action.pdf?ua> World Health Assembly Resolution on Public Health, Innovation and Essential Health Research and Intellectual Property Rights (2006) 27 May Dian Septiari, Indonesia rallies to keep COVID-19 vaccines, drugs affordable (Jakarta,1 May 2020) < https://www.thejakartapost.com/news/2020/05/01/indonesia-rallies-to-keep-covid-19-vaccines-drugsaffordable.html> accessed on 8 July 2020 The 1945 Constitution of Republic Indonesia, article 28A The 1945 Constitution of Republic Indonesia, article 28H


PERAN HUKUM DALAM MENGHADAPI ERA REVOLUSI 4.0 Muhammad Bayu Nugroho Alsa Local Chapter Universitas Sriwijaya mb.nugroho30@gmail.com

abstrak Maraknya perkembangan teknologi informasi dewasa ini telah mengubah berbagai tata kelola kehidupan manusia. Akan tetapi di balik perkembangan teknologi informasi dan dinamika perubahan yang ada, undang-undang tampaknya berada di titik stagnan untuk memberikan kompensasi sesuai dengan “het recht hink achtg, er de feiten aan�. Hukum sebagai ketentuan normatif memiliki peran dan fungsi vital , terutama di era revolusi industri 4.0. Kehadiran Industry 4.0 melalui konektivitas dan digitalisasi telah mampu meningkatkan efisiensi rantai manufaktur dan kualitas produk. Namun di sisi lain digitalisasi industri ini akan berdampak negatif pada lapangan kerja dan mengganggu bisnis konvensional. Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas, masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Apa peran hukum dalam pengembangan Industri Nasional di era revolusi industri 4.0? Apa dampak perkembangan digitalisasi industri terhadap penyerapan tenaga kerja konvensional, khususnya tenaga kerja di bidang hukum?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran hukum dalam pengembangan Industri Nasional di era revolusi industri 4.0 dan untuk mengetahui dampak perkembangan digitalisasi industri terhadap penyerapan tenaga kerja konvensional, khususnya tenaga kerja di bidang hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran hukum dalam pengembangan industri dalam Era revolusi industri 4.0 adalah dalam bentuk regulasi sebagai pengatur payung hukum yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan industri nasional. Tujuannya adalah untuk mewujudkan fungsi hukum yang nyata untuk menciptakan keadilan, kepastian hukum dan kebermanfaat untuk pengembangan industri nasional dan untuk mencapai kesejahteraan yang adil dan merata bagi semua rakyatIndonesia. Kata kunci: Peran hukum, penegakan hukum, revolusi industri

I. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dalam dua dekade terakhir ini merubah berbagai tatanan kehidupan manusia. Salah satu penggerak perubahan dari teknologi informasi adalah bidang bisnis yang terus berevolusi dan beradaptasi mengikuti laju perubahan. Aktivitas bisnis dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi secara nature terus mencari cara untuk menekan biaya dan mencari keuntungan sebesar-besarnya, sehingga efektif,


efisien dan kemudahan akan terus diupayakan. Namun dibalik perkembangan teknologi informasi serta dinamika perubahan yang ada, hukum terkesan bergerak statis mengimbanginya sesuai dengan adagium Belanda “het recht hink achter de feiten aan”. Sedangkan sebagaimana diketahui bahwa Indonesia adalah yang berdasarkan kepada hukum. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi., pembangunan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari pembangunan hukum karena

antara

ekonomi

dan hukum

merupakan

dua

hal yang saling

mempengaruhi satu sama lain. Sebagaimana asas yang berbunyi ‘ubi ius ubi societas’ ‘hukum berkembang di dalam masyarakat itu sendiri’. Mengacu pada asas ini, di era revolusi industri 4.0 perkembangan hukum harus dipercepat seiring munculnya teknologi informasi di dalam era modern ini dengan kolaborasi dan penyelarasan antara hukum dan kemajuan iptek, maka penegakan hukum yang berkeadilan akan tercipta dalam masyarakat itu sendiri dengan tetap menjunjung tinggi kepastian, keadilan dan kebermanfaatan hukum1. Menelaah lebih jauh tentang revolusi indutri 4.0 setidaknya tahapan industri terbagi menjadi 4 tahap yaitu : a. Tahap 1.0 : tahap industri yang telah mengadopsi mesin mekanis sejak ditemukannya mesin uap b. Tahap 2.0 : tahap industri yang telah mengadopsi listrik yang ditandai dengan produksi massal c. Tahap 3.0 : tahap industri yang telah menagdopsi komputer dan otomatisasi d. Tahap 4.0 : tahap industri yang telah menggunakan ruang cyber Dalam kemajuan industri ini, indonesia harus mempersiapkan strategis yang tepat sasaran dalam mengimbangi kemajuan teknologi ini, termasuk dalam bidang hukum. Hukum dituntut untuk berkembang secara dinamis dan tentunya juga praktisi dan akademisi hukum dalam menemukan penemuan-penemuan hukum yang baru. Edison H Manurung, ‘Peran Hukum dan Tantangan penegak hukum dalam menghadapi era revolusi industri 4.0’ 1


II. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana peran hukum dalam melaksanakan pembangunan industri 4.0 di indonesia? 2. Apa dampak perkembangan industri 4.0 dalam penyerapan tenaga kerja konvensional di indonesia khususnya bidang hukum? III. DASAR HUKUM 1. Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 2. Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 3. Pasal 28 C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 4. International covenant on economic, social and cultural rights (ICESCR 1966) 5. Undang-undang

Nomor

25

Tahun

2004

tentang

Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional 6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Pembangunan Berkelanjutan IV. PEMBAHASAN A. Peran Hukum dalam Melaksanakan Pembangunan Industri 4.0 di Indonesia Revolusi Industri pertama kali dicetuskan oleh ahli berbagai bidang di jerman pada tahun 2011 di acara Hannover Trade Fair. Dipaparkan bahwa industri saat ini telah memasuki inovasi baru, dimana proses produksi mulai berubah pesat. Pemerintah Jerman menganggap serius gagasan ini dan tidak lama menjadikan gagasan ini sebuah gagasan resmi. Setelah resminya gagasan ini, pemerintah Jerman bahkan membentuk kelompok khusus untuk membahas mengenai penerapan Industri 4.0. Pada 2015, Angella Markel mengenalkan gagasan Revolusi Industri 4.0 di acara World Economic Forum (WEF2). Jerman 2

https://binus.ac.id/knowledge/2019/05/mengenal-lebih-jauh-revolusi-industri-4-0


sendiri menggelintirkan modal sebesar â‚Ź200 juta untuk menyokong akademisi, pemerintah, dan pebisnis untuk melakukan penelitian lintas akademis mengenai Revolusi Industri 4.0. Tidak hanya Jerman yang melakukan penelitian serius mengenai

Revolusi

Industri

4.0,

namun

Amerika

Serikat

juga

menggerakkan Smart Manufacturing Leadership Coalition (SMLC), sebuah organisasi nirlaba yang terdiri dari produsen, pemasok, perusahaan teknologi, lembaga pemerintah, universitas dan laboratorium yang memiliki tujuan untuk memajukan cara berpikir di balik Revolusi Industri 4.0. Revolusi Industri 4.0 menerapkan konsep automatisasi yang dilakukan oleh mesin tanpa memerlukan tenaga manusia dalam pengaplikasiannya. Dimana hal tersebut merupakan hal vital yang dibutuhkan oleh para pelaku industri demi efisiensi waktu, tenaga kerja, dan biaya. Penerapan Revolusi Industri 4.0 di pabrik-pabrik saat ini juga dikenal dengan istilah Smart Factory. Tidak hanya itu, saat ini pengambilan ataupun pertukaran data juga dapat dilakukan on time saat dibutuhkan, melalui jaringan internet. Sehingga proses produksi dan pembukuan yang berjalan di pabrik dapat termotorisasi oleh pihak yang berkepentingan kapan saja dan dimana saja selama terhubung dengan internet. Pembangunan industri di Indonesia saat ini mendapat pengaruh dari pengaruh revolusi industri secara global yang dikenal dengan era revolusi industri keempat. Sebelum ini sudah terjadi tiga revolusi industri yang ditandai dengan: 1. Revolusi industri pertama terjadi di Inggris pada tahun 1784 dengan ditemukannya mesin uap dan mekanisasi yang mulai menggantikan pekerjaan manusia. 2. Revolusi industri yang kedua terjadi pada akhir abad ke-19 dimana mesin-mesin produksi memakai tenaga listrik yang digunakan untuk kegiatan produksi secara massal. 3. Revolusi industri ketiga terjadi mulai tahun 1970 yang ditandai dengan penggunaan tenaga komputer. Menurut penelitian Eka (2018), istilah industri 4.0 sendiri secara resmi lahir di Jerman yang memiliki kepentingan yang besar terkait


hal ini karena Industi 4.0 menjadi bagian dari kebijakan rencana pembangunannya yang disebut haigh-tech strategi 2020 yang bertujuan untuk mempertahankan kebijakan Jerman agar terdepan dalam dunia industri manufaktur. Saat ini belum ada pengertian baku tentang revolusi industri 4.0 karena masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Menurut penelitian Prasetyo dan Wahyudi (2018), industri 4.0 adalah transformasi komperhensif dari keseluruhan aspek produksi industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet. Beberapa negara lain juga turut mewujudkan konsep industri 4.0. Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya saing industri tiap negara dalam menghadapi pasar global yang sangat 464 dinamis. Bagi negara –negara maju industri 4.0 dapat menjadi cara untuk mendapatkan kembali daya saing infrastruktur tapi bagi negara sedang berkembang industri 4.0 dapat menyederhanakan mata rantai suplai produksi, termasuk mengurangi biaya tenaga kerja yang kian meningkat. Jadi pada era revolusi industri 4.0 pelaksanaan industri lebih berbasis teknologi digital dan internet dan tentu saja lebih banyak menggunakan tenaga kerja yang mempunyai keahlian tinggi. Era ini tentu saja membawa pengaruh besar terhadap seluruh mata rantai industri. Menurut penelitian Prasetyo dan Wahyudi (2018), industri 4.0 diprediksi memiliki potensi besar yaitu perbaikan kecepatan fleksibilitas produksi, peningkatan layanan kepada pelanggan dan pendapatan. Terwujudnya potensi manfaat itu memberi dampak positit terhadap perkembangan industri negara dan perekonomian. Sedangkan menurut penelitian Eka (2018), revolusi industri 4.0 juga memberi dampak negatif terhadap industri yaitu penyerapan tenaga kerja dan mengacaukan bisnis konvensional (tradisional). Untuk menghadapi era revolusi industri 4.0 sektor industri perlu berbenah, terutama dalam aspek penguasaan teknologi yang menjadi kunci penentu daya saing. Setidaknya terdapat lima teknologi utama yang menopang industri4.0 yaitu: 1. Internet of things 2. Artificial intelligence 3. Human-mechine interface


4. Teknlogi robotik dan sensor 5. Teknologi 3 D printing Pemerintah juga harus mengantisipasi dampak negatif dari revolusi industri 4.0 yaitu dengan mengeluarkan berbagai kebijakan dalam bidang pembangunan industri nasional. Hukum adalah salah satu bidang yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional di Indonesia. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Ilmar (2009), landasan konstitusional tersebut memberikan pemahaman bahwa penyelenggaraan negara Indonesia didasarkan pada konsep hukum. Hukum dalam kaitan dengan kerangka pembangunan nasional, mencakup hukum baik sebagai obyek maupun sebagai subyek pembangunan. Sebagai obyek pembangunan hukum adalah sektor yang harus diprioritaskan. Sementara sebagai subyek pembangunan hukum harus dibangun dan dikembangkan sebagai instrumen dan sarana penunjang bagi usaha pembangunan nasional. Pemerintah berkomitmen untuk membangun industri manufaktur yang mempunyai daya saing global melalui percepatan implementasi revolusi industri 4.0. Sebagai aturan dasar pelaksanaannya, Kementrian Perindustrian mengeluarkan program yang bernama Making Indonesia 4.0. Program ini adalah sebagai sebuah roadmap dan strategi Indonesia memasuki era digital yang tengah berjalan yang terintegrasi untuk mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasulki era industri 4.0. Hal ini bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Kemenperin, 2018). Dalam roadmap tersebut terdapat lima industri yang menjadi fokus implementasi yaitu industri makanan dan minuman, tekstil, otomotif, elektronika dan kimia. Hal ini disebabkan karena kelima industri ini merupakan tulang punggung perekonomian yang diharapkan mampu memberikan efek kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional. Indonesia telah mengawali proses adaptasi terhadap industri 4.0 dengan meningkatkan kompetensi sumber daya manusia melalui program link and match antara


pendidikan dan industri. Upaya ini dilakukan secara sinergis antara Kementrian Perindustrian dengan 465 Bappenas, Kementrian Ketenagakerjaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementrian Riset dan Teknologi. Kementrian Perindustrian telah menetapkan empat langkah dalam menghadapi industri 4.0 yaitu: 1. Mendorong supaya semua angkatan kerja di Indonesia terus meningkatkan keterampilan dan keahlian tetutama dalam pemakaian teknologi internet of thing atau mengintegrasikan kemampuan internet dengan produksi industri. 2. Memanfaatkan teknologi digital untuk memacu produktivitas dan daya saing bagi industri kecil dan menengah agar mampu menembus pasar ekspor melalui program E-smart IKM. 3. Pemanfataan teknologi digital yang lebih optimal dalam perindustrian nasional. 4. Mendorong inovasi teknologi melalui pengembangan strat up dengan memfasilitasi bisnis agar lebih banyak wirausaha berbasis teknologi di seluruh Indonesia3. Kebijakan yang dilakukan oleh Kementrian Perindustrian ini dapat membawa perekonomian Indonesia menjadi lebih baik. Dari kebijakan yang dilakukan itu maka lembaga pembuat undang-undang yaitu pemerintah (presiden) dan DPR perlu menciptakan payung hukum yang mengatur sistem baru ini. Menurut Hemas (2018), semua aktifitas dengan teknologi akan mempengaruhi kebijakan publik dan regulasi yang akan mengarahkan kemajuan teknologi sebagai penunjang pembangunan. Upaya harmonisasi kebijakan dan regulasi pemerintah, produk legislatif bahkan peradilan dengan revolusi teknologi yang harus dilihat sebagai stategi pembangunan jangka panjang. Menurut Sukardi (2016), ekonomi adalah tulang punggung kesejahteraaan masyarakat dan hukum

3

http://www.ejournal.upmi.ac.id/index.php/snei/article/view/41/31


yang menentukan bagaimana kesejahteraan masyarakat dapat dinikmati secara merata serta bagaimana keadilan sosial dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat dan bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi dapat memberikan kemajuan

kepada

masyarakat.

Menurut

Friedmann

(1971),

keterlibatan

pemerintah harus terukur artinya pemerintah memperhitungkan sejauh mana campur tangan pemerintah dalam bidang ekonomi dengan tiga peranan yaitu sebagai regulator, penyedia (provider) dari kebutuhan masyarakatnya dan sebagai pengusaha yang dilaksanakan oleh badan usaha milik negara. Jadi, globalisasi telah membawa pengaruh terhadap kemajuan ekonomi dengan teknologi yang semakin canggih. Tak ada jalan lain adalah segera melakukan harmonisasi kemajuan teknologi dengan regulasi yang tepat. Kesuksesan sebuah negara dalam menghadapi revolusi industri 4.0 sangat erta kaitannya dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan menciptakan regulasi yang mampu mengaturnya. B. Dampak Perkembangan Industri 4.0

dalam Penyerapan

Tenaga Kerja Konvensional di Indonesia Khususnya Bidang Hukum Dunia saat ini sedang menghadapi perubahan industri ke-4 atau yang dikenal

dengan Industri 4.0. Berdasarkan analisis Mckinsey Global Institute,

Industri 4.0 memberikan dampak yang sangat besar dan luas, terutama pada sektor lapangan kerja, di mana robot dan mesin akan menghilangkan banyak lapangan kerja di dunia. Untuk itu era revolusi industri ini harus disikapi oleh pelaku industri dengan bijak dan hati-hati.Di satu sisi, era industri ini melalui konektivitas dan digitalisasinya

mampu

meningkatkan

efisiensi

rantai

manufaktur dan kualitas produk. Namun demikian, di sisi lain, revolusi industri ini juga akan menghilangkan 800 juta lapangan kerja di seluruh dunia hingga tahun 2030 karena diambil-alih oleh robot. Hal ini bisa menjadi ancaman bagi Indonesia sebagai negara yang memiliki angkatan kerja dan angka

pengangguran

yang

cukup tinggi.

Untuk

itu

pemerintah

perlu

menyikapi perubahan ini dengan tepat melalui penyusunan strategi yang mampu meningkatkan daya saing industri nasional sekaligus menciptakan


lapangan kerja yang lebih luas. Ragam bisnis yang terus mengarah pada digitalisasi, membuat robot semakin mendapat perhatian. Elektronifikasi, juga membuat banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebagaimana hasil dari sebuah riset, menyatakan bahwa dalam 10 tahun ke depan setidaknya 40 persen pekerjaan manusia akan digantikan robot dan mesin. Kondisi tersebut, berarti bakal menggiring manusia agar lebih kreatif demi bertahan dalam pekerjaan. Bahkan, akan muncul profesiprofesi baru yang diciptakan manusia sebagai bentuk adapatasi terhadap era robot. Spesialis Pengubah Iklim Perubahan iklim sudah menjadi perhatian khalayak sejak 1980. Kondisi ini membuat profesi robot dengan kecerdasan buatan juga mulai mengambil peran sebagai ahli hukum.Dikutip dari futurism.com pada Rabu (7/9/2016), biro hukum Baker & Hostetler mengumumkan telah 'mempekerjakan' kecerdasan

mesin

kecerdasan

buatan

bernama

'ROSS'.

Mesin

buatan (artificial intelligence, AI) keluaran raksasa komputer

IBM itu ditugaskan menangani kasus-kasus kebangkrutan. Kasus jenis ini biasanya ditangani oleh sekitar 50 pengacara.[15] Menurut Andrew Arruda, CEO sekaligus pendiri firma hukum itu, sejumlah kantor pengacara lainnya juga telah menandatangani lisensi dengan ROSS. 'Pengacara dengan kecerdasan buatan' pertama sedunia ini dibuat berdasarkan Watson, sebuah sistem komputer kognitif IBM yang dirancang untuk membaca dan mengerti bahasa, membuat hipotesis ketika ditanya, meneliti, dan kemudian menghasilkan tanggapan.Tanggapan yang dihasilkan bahkan mencakup sejumlah rujukan dan kutipan untuk menopang kesimpulannya. ROSS juga belajar dari pengalaman sehingga semakin cepat dan cerdas kalau semakin banyak berinteraksi. "Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Inggris, seakan bertanya kepada rekan sekerja dan ROSS akan membaca semua undang-undang, lalu memberi jawaban dan bacaan seusai topik, mulai dari legislasi, preseden, hingga sumber-sumber sekunder," Tak hanya itu saja,

ROSS

setiap

waktu

terus

memantau

perundangan

untuk

memberitahu keputusan-keputusan baru dalam persidangan yang mungkin


berdampak kepada kasus.

Bob

Craig,

CIO

di

Baker

&

Hostetler,

menjelaskan alasan di belakang keputusan mempekerjakan robot tersebut. "Baker Hostetler percaya bahwa teknologi yang sedang naik daun seperti komputasi kognitif dan bentuk-bentuk lain pembelajaran oleh mesin dapat meningkatkan layanan yang kami berikan kepada para klien."Selain ROSS, memasuki era industri 4.0, beragam produk Artificial Intelligence (AI) mulai bermunculan. Adanya robot hukum dengan daya analisis tercanggih, tingkat akurasi tinggi hingga mampu menyelesaikan pekerjaan hanya dalam hitungan detik.LawGeex, startup penyedia platform AI untuk menganalisis dokumen hukum asal Amerika Serikat, baru-baru ini mengadakan sebuah studi. Studi yang melibatkan sejumlah profesor hukum dari Stanford University, Duke University School of Law, dan University of Southern California ini dilakukan untuk menguji kemampuan teknologi LawGeex dalam meninjau dokumen hukum.Dua puluh orang pengacara berpengalaman berkompetisi melawan AI milik LawGeex yang berusia tiga tahun. Dalam waktu empat jam, mereka harus menganalisis lima non-disclosure agreements serta 30 isu legal lainnya, termasuk arbitrasi dan ganti rugi. Siapa yang jadi juaranya?Hasilnya, AI buatan LawGeex menang tipis. Dari segi akurasi, tim pengacara memiliki rata-rata sebesar 85 persen, sementara LawGeex memiliki rata-rata akurasi sebesar 95 persen. Bahkan, dalam proses identifikasi salah satu kontrak, tingkat akurasi LawGeex mencapai 100 persen, sementara akurasi yang didapatkan oleh tim pengacara “hanya� sebesar 97 persen.Dari segi waktu, AI terbukti dapat dalam

waktu

yang

jauh

lebih

cepat.

Tim

menyelesaikan pengacara

tugas rata-rata

membutuhkan waktu sebanyak 92 menit. Sementara itu, LawGeex bisa menyelesaikannya hanya dalam hitungan 26 detik saja.Untuk memiliki kemampuan

yang

bisa

dibilang

melebihi

manusia, LawGeex

melatih

algoritma mereka dengan intensif. Mereka melatih AI dengan puluhan ribu kontrak atau perjanjian, dan memanfaatkan teknologi machine learning dan deep learning khusus.Walaupun memiliki tingkat akurasi dan kecepatan yang


sangat tinggi, bahkan bisa melampaui manusia, namun AI tidak akan bisa sepenuhnya menggantikan manusia. Jadi, keberadaan AI sebetulnya tidak perlu dianggap sebagai

ancaman yang akan mencuri karier manusia.

Mendukung hal tersebut, laporan dari LawGeex mengklaim, Orang-orang akan terkejut saat mengetahui bahwa AI

dapat

bekerja

jauh

lebih

cepat

dibandingkan pengacara dalam beberapa tugas tertentu. Akan tetapi, secara umum,

mesin

tidak

dapat

menyaingi

kemampuan

berpikir

manusia

dalam mengerjakan sejumlah aktivitas hukum yang bersifat fundamental, khususnya dalam mengambil keputusan. V. KESIMPULAN Perwujudan

hukum

di

era

revolusi

4.0

ini

seharusnya

menitikberatkan pada pengaturan regulasi sebagai payung hukum dalam menghadapi pesatnya teknologi. Kita harus mengakui dan bangun lebih awal untuk menyadari fenomena yang terjadi dewasa ini. kemajuan teknologi di era revolusi 4.0 perlahan-lahan akan mengikis seluruh sektor lapangan kerja tanpa terkecuali. Namun secerdas apapun robot yang dibuat sedemikian rupa tentu tidak dapat menandingi kecerdasan yang ada pada diri manusia terutama pada pengambilan keputusan. Masyarkat seharusnya sudah sadar untuk lebih memanfaatkan kemajuan teknologi di era modern ini secara baik dan harapannya dengan adanya kolaborasi dari penerapan hukum dalam pembangunan nasional ini tentunya dapat meningkatkan kualitas penerapan hukum di indonesia yaitu kepastian, keadilan dan kebermanfaatan hukum.

VI. SARAN Tantangaan era revolusi 4.0 membuat kita harus melangkah lebih cepat ke depan dalam menciptakan produk-produk hukum yang baru. Praktisi, akademisi dan pemerintah juga harus turut serta dalam menemukan penemuan hukum baru agar kiranya dapat menyelaraskan


dengan perkembangan teknologi di era revolusi 4.0. dan harapannya juga masyarakat segera sadar untuk bersaing dalam dunia kerja maupun industri modern demi mewujudkan pembangunan nasional Indonesia yang berkelanjutan dengan menitikberatkan pada norma dan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.


DAFTAR PUSTAKA Edison H Manurung, ‘Peran Hukum dan Tantangan penegak hukum dalam menghadapi era revolusi industri 4.0’ https://binus.ac.id/knowledge/2019/05/mengenal-lebih-jauh-revolusi-industri-4-0 http://www.ejournal.upmi.ac.id/index.php/snei/article/view/41/31


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.