LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS
alsa-indonesia.org
“PENUNDAAN PENGESAHAN RUU PKS (PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL) SEBAGAI CERMINAN KURANGNYA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA.” Oleh: I Gusti Ayu Widhiatmika Dewi, Ni Luh Ayu Widhiarcani Laksmidewi, dan Rosalinda Geeta Sakavati Hidayat UNIVERSITAS UDAYANA
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual merupakan bentuk pelanggaran kesusilaan yang bukan merupakan masalah hukum nasional di Indonesia saja melainkan sudah merupakan masalah hukum secara international atau merupakan masalah global.1 Diantara masyarakat yang paling rentan menjadi korban terhadap kejahatan kesusilaan adalah kaum perempuan. Menurut United Nations of Women, diperkirakan sekitar 35% perempuan telah mengalami kejahatan kesusilaan di satu titik dalam hidupnya. The International Rescue Committee di bulan Juni 2015 telah melakukan survey terhadap 190 perempuan di Quneitra dan hasil yang ditemukan adalah sekitar 40% dari mereka telah mengalami kejahatan kesusilaan saat mengakses layanan bantuan kemanusiaan. Sementara di Indonesia sendiri, Komnas Perempuan telah mencatat selama 12 tahun terakhir, sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban kejahatan kesusilaan setiap harinya. Melihat kondisi yang demikian, mengerakan hati setiap perempuan di dunia untuk memperjuangkan hak – hak mereka, terutama dalam mendapatkan perlindungan hukum agar terhindari dari diskriminasi. Pergerakan perempuan di Indonesia telah dimulai sejak zaman penjajahan tahun 1879 pergerakan kaum wanita yang dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini. Kemudian tanggal 22 Desember 1928 diakan Kongres Perempuan pertama di Indonesia lalu mengenai hak politik mulai diperjuangkan tahun 1998 melalui sebuah Kongres Perempuan Indonesia yang digelar oleh LSM Perempuan di Yogyakarta. 1Romli
Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung, Mandar Maju hlm. 103.
Sementara di dunia internasional, pergerakan kaum perempuan dimulai sejak abad ke-19 di Amerika Serikat yang menuntut persamaan hak dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, lalu di tahun 1848 dikeluarkannya dihasilkannya sebuah deklarasi dari Konvensi yang diadakan oleh Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton yaitu The Declaration of Sentiment yang membahas mengenai hak sosial, sipil dan agama bagi kaum perempuan. Walau demikian tetap tidak menutup kemungkinan terjadinya diskriminasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Hingga tahun 2019, berdasarkan data dari laman resmi Komnas Perempuan tercatat 406.178 kasus yang ditangani oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Angka ini menunjukan terdapat peningkatan dari angka di tahun 2018 yang berkisar diangka 348.466. Kemunculan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) dinilai sebagai sebuah langkah awal pemerintah untuk melakukan upaya meminimalisir angka kekerasan terhadap perempuan.Kaum perempuan sendiri dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia digolongkan kedalam kaum rentan yang dimana kaum yang kerap menerima pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 5 ayat (3) Undang – Undangan Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.2 Selain itu menurut Willem van Genugten J.M dalam Human Rights Reference (The Hague: Netherlands ministry of foreign Affairs) mengatakan bahwa orang-orang yang termasuk kedalam kaum Rentan diantaranya adalah a. Refugees, b, Internally Displaced Persons (IDPs); c. National Minorities, d. Migrant Workers; e. Indigenous Peoples, f. Children; dan g. Women. 3 Namun RUU PKS hingga detik ini tak kunjung disahkan oleh pemerintah.Pemerintah. Pada kesempatan kali ini, penulis akan mengupas alasan mengenai pentingnya RUU PKS untuk segera disahkan sebagai bentuk cerminan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
2
I Hoesin, 2003, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak, Minoritas, Suku Terasing, Dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tahun 2003. hlm.1. 3Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, (The Hague: Netherlands ministry of foreign Affairs, 1994), hlm. 73.
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana penjaminan terhadap hak – hak perempuan baik di dalam hukum internasional maupun hukum nasional? 1.2.2 Bagaimana RUU PKS dapat menjamin perlindungan terhadap perempuan terutama dalam hal kekerasan seksual? 1.2.3 Bagaimana penegakan hak asasi manusia di Indonesia terutama hak – hak perempuan ditinjau dari penundaan pengesahaan RUU PKS?
1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1. Untuk mengetahui jaminan hukum terhadap hak – hak perempuan baik di dalam hukum internasional maupun hukum nasional. 1.3.2. Untuk mengetahui kelayakan RUU PKS dalam menjamin perlindungan terhadap perempuan terutama dalam aspek kekerasan seksual. 1.3.3. Untuk mengetahui penegakan hak asasi manusia di Indonesia terutama hak – hak perempuan ditinjau dari penundaan pengesahan RUU PKS.
II. PEMBAHASAN 2.1 Hak – Hak Perempuan dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Perempuan merupakan kaum yang kerap kali dianggap sebagai kelas dua, akibatnya tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai perlakuan yang memandang perempuan sebelah mata. Membahas mengenai isu gender memang tidak habisnya, bukan saja di kalangan internasional tetapi juga di Indonesia. Indonesia yang rata – rata menganut sistem patriarkhi mengakibat perempuan memiliki ruang gerak yang terbatas. Sebagai salah satu contoh kasus yaitu dalam Hukum Adat Bali, perempuan dahulu tidak mendapt hak mewaris tetapi sejak putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4766K/Pdt/1998 tertanggal 16 November 1999, yang amar putusannya menyatakan bahwa anak perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris.4 Mengenai hak perempuan sendiri telah dijamin dalam berbagai sumber hukum internasional. Hak perempuan mulai diperjuangkan sejak abad 18. Di tahun 1952 lahir Convention on The Political Rights of Women yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia ke dalam Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak – Hak Politik Kaum Wanita. 5 Di dalam konvensi tersebut lebih banyak membahas mengenai hal – hal yang berkaitan dengan hak di bidang politik. Kemudian di tahun 1955 dalam Konferensi Wanita di Beijing mengeluarkan “Beijing Platform for Action (BPFA)” yang mengkritisi dua belas area kritis yang dihadapi perempuan seperti hak – hak di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan lain – lain6 yang selanjutnya diratifikasi oleh Indonesia di tahun 1984. PBB sendiri di dalam salah satu Konferensi yang membahas tentang perempuan di Mexico City tahun 1979 telah menghasilkan Convention on The Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) sebagai bentuk perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki – laki.7Dalam konvensi yang dikeluarkan oleh PBB ini lebih menekankan pada pelarangan bentuk – bentuk diskriminasi yang dilakukan
4
Edo Hendrako, 2015, Hak Waris Anak Perempuan terhadap Harta Peninggalan (Studi Kasus Putusan MA RI No. 4766/Pdt/1998), Lex Privatum, Vol. III, hlm. 86. 5 Komariah Emong Supardjaja, 2006, Laporan Akhir Kompendium tentang Hak – Hak Perempuan, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, hlm. 18. 6 Ibid., hlm. 2 7 Ibid., hlm. 1
oleh perempuan.Indonesia telah meratifikasi CEDAW ke dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1984. Di Indonesia sendiri hak – hak perempuan telah dijamin di dalam Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dibahas di dalam tujuh buah pasal pada bagian kesembilan. Apabila kita melihat kepada peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi, di dalam UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat (1) disebutkan “Segala warga negara bersamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” arti dari bunyi pasal tersebut adalah kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan diberlakukan kepada seluruh warga negara Indonesia baik laki – laki maupun perempuan. Nilai tersebutlah yang menjadi dasar oleh perempuan dalam memperjuangkan hak – haknya di mata hukum dan pemerintahan. Melihat uraian di atas mengenai berbagai bentuk sumber hukum baik internasional maupun nasional telah menjadi pijakan dalam setiap aspek kehidupan bagi perempuan untuk memperjuangkan hak – haknya. Namun sebagai sebuah fakta, kasus – kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia masih terus bergulir. Masyarakat menilai bahwa hingga detik ini perempuan masih belum bisa secara serta merta terbebas dari perlakukan diskriminatif dan kekerasan, sehingga dicanangkan pembentukan undang – undang yang akan melindungi perempuan khususnya mengenai kekerasa seksual. Pembicaraan mengenai hal tersebut telah berlanjut hingga terbentuk suatu produk hukum berupa Rancangan Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Materi muatan di dalam RUU PKS lebih menekankan terhadap perlindungan korban kekerasan seksual. RUU PKS ini pun pembentukannya didasari oleh amanat yang telah dituangkan di dalam pembukaan UUD NRI 1945 alinea pertama bahwa “…segala bentuk penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan…”
2.2 Kelayakan RUU PKS Dalam Menjamin Perlindungan Terhadap Perempuan Terutama Dalam Aspek Kekerasan Seksual RUU PKS telah di bahas sedari lama. Dengan maraknya kasus kekerasan seksual yang diterima oleh kaum perempuan, tentu saja keberadaan RUU PKS sangat
ditunggu di masyarakat. RUU PKS juga dirasa dapat menjamin hak-hak dari para korban.8 Jika melihat dari isi RUU PKS itu sendiri, pada Pasal 2 mengatur tentang asas dasar dari pembentukan Undang-undang ini yaitu penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Selain itu,
terdapat pula desakan dari dunia
internasional oleh Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) PBB menyarankan Indonesia untuk membuat dan merancang peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang permasalahan ini. Secara substansi RUU PKS memiliki lima isu penting yang tidak lepas dari diskursus yang berkembang di masyarakat: 1. RUU Penghapus Kekerasan Seksual (PKS) mengisi kekosongan hukum terkait bentuk – bentuk kekerasan seksual yang selama ini tidak diakui. 2. RUU PKS memuat prosedur hukum termasuk sistem pembuktian yang sensitive dan memperhitungkan pengalaman korban. 3. RUU PKS mengatur penanganan hukum yang terpadu dan terintegrasi dengan semua layanan bagi korban. 4. RUU PKS mengakui dan mengedepankan hak – hak korban. 5. RUU PKS menekankan perubahan kultur masyarakat dalam memandang kekerasan
seksual
dengan
membangun
kesaaran
masyarakat
untuk
mencegahnya melalui pendidikan, kebudayaan sosial, ekonomi dan politik. RUU ini juga mengatur hal-hal yang tidak di atur didalam KUHP, sehingga keberadaan undang-undang ini dirasa dapat memberikan nilai tambah khususnya dalam penegakan tindak kekerasan seksual.
Sejatinya RUU PKS dapat mengisi
kekosongan norma tentang kekerasan seksual yang tidak diatur lebih jauh dalam KUHP. Dalam Pasal 1 angka 1 RUU PKS berbunyi : “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan 2 dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi 8
N. F. Rais, G. P. Manurung, & A. K. Wardani, 2019, Analisis Keberlakuan RKUHP dan RUU-PKS dalam Mengatur Tindak Kekerasan Seksual, Lex Scientia Law Review, Vol. 3 Bagian I, hlm. 56.
kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.� Sementara itu, isi dari RUU PKS ini telah selaras dengan hak-hak perempuan yang di sebutkan dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.� Sehingga terlihat bahwa RUU PKS sangat menjamin perempuan. RUU PKS dinilai sebagai suatu produk hukum yang komplit oleh masyarakat karena mengatur berbagai jenis kekerasan seksual seperti perbudakan seksual, eksploitasi seksual, serta pemaksaan perkawinan. Secara tidak langsung RUU PKS dapat dikatakan sebagai wujud nyata dalam penegakan hak asasi manusia khususnya perempuan, terlebih hak perempuan itu sendiri telah dijamin di dalam Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, hak perempuan adalah salah satu hakhak penting yang harus dilindungi.
2.3 Penundaan Pengesahan RUU PKS sebagai Cerminan Kurangnya Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Apabila kita melihat lebih jauh dampak yang timbul akibat kekerasan seksual bahwa seseorang yang mengalami sebuah tindak kekerasan seksual tak jarang akan berpotensi mengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan Depresi. PTSD merupakan sindrom kecemasan, lanilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. 9 Kemunculan RUU PKS menjadi sebuah titik terang bagi para korban yang mengalami kekerasan seksual. Namun pada faktanya, sikap pemerintah yang tidak kunjung mengesahkan RUU PKS menyisakan tanda tanya bagi para korban khususnya perempuanyang menuntut keadilan akan nasibnya.
9
M. A. Fu’ady, 2011, Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. Psikoislamika, Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam, Vol 8 No. 2, hlm. 194
Ketidak konsistenan pemerintah dalam hal melakukan jaminan perlindungan terhadap korban kekerasan terutama kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan mengambarkan kurangnya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Padahal Indonesia sendiri telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh PBB. Tak hanya sampai disitu Indonesia pun telah didesak oleh pihak Internasional yaitu Komite CEDAW Perempuan untuk mengeluarkan produk hukum yang dapat menghapus segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Apabila melihat ke dalam hukum positif Indonesia, mengenai kekerasan seksual sendiri sesungguhnya memang sudah diatur di dalam KUHP, namun hanyalah sebatas tindak pencabulan dan pemerkosaan. Padahal sebagaimana yang kita ketahui kekerasan seksual tidak hanya mencakup pencabulan dan pemerkosaan tetapi lebih jauh dikelompokan ke dalam beberapa bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang dibagi ke dalam 5 (lima) kategori 10: 1. Perlakuan salah (abuse) yang dapat mencederai fisik, mental psikis, dan seksual melalui pemukulan, pernyataan/ucapan, paksaan hubungan seksual dan sebagainya. 2. Tindak eksploitasi dilakukan untuk memperoleh keuntungan mated, ekonomi dan kepuasan sendiri seperti perdagangan anak, pelacuran, pengemis dan sebagainya. 3. Penelantaran dilakukan dalam bentuk pelalaian pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi dasar sehingga menyebabkan kemiskinan dan kemelaratan yang tiada henti. 4. Perbedaan perlakuan dengan memberikan perhatian dan kasih sayang yang berbeda terhadap anak, isteri dan orang tua dan sebagainya. 5. Pengabaian kondisi berbahaya dengan membiarkan anak dan perempuan di wilayah konflik, pengungsian, menggunakan zat kimia dan bahaya lainnya. Hal ini membuktikan adanya kekosongan norma yang terdapat dalam KUHP. Indonesia memang telah memiliki beberapa produk hukum seperti Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Namun, keduanya masih dirasa kurang cukup untuk melindungi 10
W. Ernaningsih, Perspektif Gender dalam Undang – Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga.
perempuan sebagai korban tindak kekerasan seksual, mengingat jumlah kasus kekerasan seksual kian meningkat. Padahal di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya Pasal 45 menyebutkan bahwa “Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia”. Dengan demikian karena hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia, maka hak asasi perempuan ini harus dilindungi, dihormati, dipertahankan
dan
tidak
boleh
diabaikan,
dikurangi
atau
dirampas
oleh
siapapun.Mengingat bunyi pasal tersebut dan melihat kepada sejumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi seharusnya lebih mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS sebagai wujud nyata pemerintah dalam melindungi perempuan.Sebagai suatu negara hukum sudah sepatutnya pemerintah menjunjung tinggi nilai – nilai hak asasi manusia.Penundaan pengesahan RUU PKS ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia belum secara tegas dalam hal menjamin perlindungan hak – hak asasi manusia.
III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari uraian panjang yang telah disampaikan di atas, bahwa terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil yaitu: 1. Hak – hak perempuan sebagai suatu hak asasi manusia telah dijamin secara pasti di dalam hukum internasional dan hukum positif Indonesia. Namun hal tersebut masih belum dapat menekan angka kasus kekerasan seksual yang sebagian besar korbannya adalah perempuan. 2. Kemunculan RUU PKS dinilai sebagai suatu produk hukum yang dapat dijadikan landasan hukum untuk meminimalisir kekerasan seksual, disamping itu pula dapat mengisi kekosongan norma di dalam KUHP terutama dalam hal menjamin perlindungan terhadap korbannya. RUU PKS sendiri merupakan suatu produk yang dapat menguntungkan bagi kaum perempuan untuk menjamin perlindungan hak – haknya dari tindak kekerasan seksual. 3. RUU PKS yang tidak segera disahkan oleh pemerintah yang pada intinya beralasan bahwa RUU PKS harus selaras dengan RKUHP mencerminkan
ketidak konsistenan pemerintah sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa penegakan hak asasi manusia di Indonesia masih kurang.
3.2 Saran Ada pun saran yang dapat penulis berikan adalah sebaiknya dalam hal penegakan hak asasi manusia pemerintah harus menaruh perhatian lebih terutama mengenai kekerasan seksual yang secara mengkhusus kekerasan seksual pada perempuan. Dengan melakukan pengesahan terhadap RUU PKS akan menjadi salah satu langkah nyata pemerintah dalam menegakan hak asasi manusia.
IV. DAFTAR PUSTAKA Undang – Undang Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Draf Rancangan Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Buku Romli Atmasasmita. 1995.
Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi.
Bandung: Mandar Maju. Jurnal Emong Supardjaja, Komariah. 2006. Laporan Akhir Kompendium tentang Hak – Hak Perempuan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM. Ernaningsih, W. Perspektif Gender dalam Undang – Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga. Hendrako, Edo. 2015. Hak Waris Anak Perempuan terhadap Harta Peninggalan (Studi Kasus Putusan MA RI No. 4766/Pdt/1998), Lex Privatum, Vol. III. Hoesin, I. 2003. Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak, Minoritas, Suku Terasing, Dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tahun 2003 Rais, N. F., G. P. Manurung, dan
A. K. Wardani. 2019. Analisis Keberlakuan
RKUHP dan RUU-PKS dalam Mengatur Tindak Kekerasan Seksual, Lex Scientia Law Review, Vol. 3 Bagian I Van Genugten J.M, Willem (ed). Human Rights Reference (The Hague: Netherlands ministry of foreign Affairs, 1994)
PENEGAKAN HUKUM PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL: KEMERDEKAAN BEREKSPRESI VERSUS HAK ATAS REPUTASI I Kadek Andi Pramana Putra Universitas Udayana I. LATAR BELAKANG Bagi sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, kebebasan berekspresi merupakan salah satu elemen terpenting. Sistem demokrasi tidak akan mampu bekerja tanpa adanya kebebasan dalam menyatakan pendapat, sikap, dan ekpresi. Menurut Toby Mendel, terdapat banyak alasan mengapa kebebasan berekspresi adalah hak yang penting. Pertama karena hal ini adalah dasar dari demokrasi. Kedua, kebebaan bereskpresi berperan dalam pemberantasan korupsi. Ketiga, kebebasan berekspresi mempromosikan akuntabilitas. Keempat, kebebasan berekspresi dalam masyarakat dipercaya merupakan cara terbaik menemukan kebenaran. 1 Internet sebagai salah satu alat teknologi sangat mungkin digunakan sebagai sarana menyuarakan pendapat dan berekspresi sekaligus media pertukaran informasi dan pengetahuan yang praktis. Berbagai fasilitas di dunia maya dapat dengan mudah diakses, mulai dari bertukar informasi melalui surat elektronik, jejaring media sosial, hingga youtuber yang kini semakin banyak diminati. Hal tersebut terlihat dalam grafik di bawah ini.
Berdasarkan laporan terbaru dari We Are Sosial sebagaimana dikutip dalam detik.com, 2 per Januari 2020, ditemukan fakta dari total populasi penduduk Indonesia yang berjumlah
1 Keterangan ahli disampaikan pada 23 Juli 2008 dalam perkara No.14/PPU-VI/2018 di Mahkamah Konstitusi. 2 Agus Tri Haranto, “Riset: Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia�, Detik.com, URL: https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-di-indonesia , diakses pada 19 Juli 2020
272,1 juta jiwa, sekitar 64% atau sekitar 175,4 juta jiwa telah menggunakan internet. Data juga menunjukkan bahwa sekitar 160 juta pengguna internet merupakan pengguna media sosial (medsos) Adapun medsos yang paling banyak digandrungi oleh pengguna internet Indonesia dari paling teratas adalah YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Line, FB Messenger. Namun, kemudahan dalam akses informasi tersebut sering menimbulkan berbagai hal yang dapat merugikan baik secara materiil maupun imateriil. Kemudahan bertukar infromasi dari berbagai media sosial acap kali menjadikan orang lupa bahwa media sosial merupakan ruang publik. Apapun yang diunggah melalui media sosial dapat dengan mudah tersebar dan diunduh oleh pengguna lainnya. Sehingga kebebasan berekpresi melalui media sosial yang tidak terkontrol dapat menimbulkan suatu perbuatan bersifat melawan hukum, yang menyerang berbagai kepentingan hukum orang,masyarakat, dan negara. Sehingga diperlukan pagar hukum dalam dunia siber Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan ini. Diantaranya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), hingga yang menjadi lex sprecialis yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disebut UU ITE. UU ITE dalam perkembangannya telah digunakan dalam banyak kasus yang berhubungan dengan kejahatan terhadap hak reputasi seseorang melalui media sosial dan/atau elektronik. Berdasarkan data SAFENet, 3 Pada 2018, dari sebanyak 276 kasus pidana terkait UU ITE yang tercatat di Mahkamah Agung, mayoritas adalah kasus pidana pencemaran nama baik sebanyak 45% (pasal 27 ayat 3), disusul oleh ujaran kebencian (pasal 28 ayat 2) sebanyak 22% dan melanggar kesusilaan sebanyak 14% (Pasal 27 ayat 1). Menarik untuk dicermati bahwa kasus pencemaran nama baik menduduki posisi teratas dalam kasus pidana yang terkait dengan hak atas reputasi di media sosial. Karena selama ini, delik pencemaran nama baik merupakan delik yang sangat menuai pro dan kontra di Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet adalah Badan Hukum Perkumpulan yang terdaftar dengan nama Pembela Kebebasan Asia Tenggara berkedudukan di Denpasar, Bali diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor : AHU-0000401.AH.01.07.Tahun 2019 berdasarkan Akta Notaris Nomor 4 Tanggal 11 Januari 2019. Fokus SAFEnet adalah kasus kriminalisasi terhadap pengguna internet karena ekspresinya di Internet setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 3
masyarakat. Beberapa pihak setuju dikarenakan delik ini mampu melindungi reputasi seseorang dari kejahatan melalui media sosial. Namun terdapat beberapa pihak menyatakan tidak setuju atas delik ini. Hal ini tidak terlepas dari beberapa hal seperti kekebasan berekspresi, masih kaburnya pengertian pencemaran nama baik sehingga cenderung menjadi pasal karet hingga sanksi yang sangat berat seakan-akan diperuntukkan untuk membungkam kritik. Lantas menarik untuk dikaji apakah selama ini norma hukum yang ada di Indonesia sudah sudah secara efektif dan efisien dalam menaungi dan melindungi hak atas reputasi seseorang dari delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media sosial sebagai bagian dari kemerdekaan berekspresi di Indonesia? Atas dasar itulah, penulis tertarik mengkajinya melalui sebuah legal review yang berjudul “Penegakan Hukum Pidana Pencemaran Nama baik melalui media sosial: Kemerdekaan Berekspresi versus Hak atas Reputasi�. II. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, berikut merupakan rumusan masalah yang akan dibahas : 1. Apakah landasan hukum pengaturan perbuatan pencemaran melalui media sosial di Indonesia? 2. Bagaimanakah urgensi penegakan hukum pidana terhadap perbuatan pencemaran nama baik melalui media sosial di Indonesia? III. ANALISIS 1. Landasan hukum pengaturan perbuatan pencemaran melalui media sosial di Indonesia Pencemaran nama baik dan/atau penghinaan melalui media sosial di Indonesia diatur oleh UU ITE dalam Pasal 27 ayat (3) yang memuat sebagai berikut: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik�. Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut adalah : Unsur Subjektif: 1. Kesalahan : dengan sengaja Unsur-Unsur Objektif: 2. Melawan Hukum : tanpa hak 3. Perbuatan :
o mendistrisbusikan ; dan/atau o mentransmisikan; dan/atau o membuat dapat diaksesnya 4. Objek o Informasi Elektronik; dan/atau o Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Pelanggaran atas ketentuan ini berdasarkan pasal 45 ayat (1) UU aquo diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Frasa “tanpa hak” dalam ketentuan ini mengisyaratkan adanya unsur melawan hukum formil. Menurut MvT, adanya sifat melawan hukum formil, menandakan bahwa ada orang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang dilarang UU namun orang itu berhak untuk melakukannya. Sehingga apabila dikaitkan dengan delik ini, maka seseorang yang melakukan delik pencemaran nama baik dan/atau penghinaan melalui media sosial tidak dipidana apabila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri4 Selanjutnya penjelasan pasal 27 ayat (3) mengatur bahwa ketentuan pasal ini mengacu ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUUVI/2008 mengenai konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang sekaligus memberikan penegasan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan. Putusan Mahkamah Konstitusi Butir [3.17.1] dalam pertimbangannya pada pokoknya menerangkan bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntutnya seseorang. Delik ini dapat dilaporkan kepada Penyidik Polri atau kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Informasi dan Transaksi Elektronik (“PPNS ITE”) Kementerian Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan juga pada penjelasan pasal 27 ayat (3), frasa “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” berarti bahwa tindak pidana ITE Pasal 27 ayat (3) ini merupakan bagian khusus (lex specialis) dari penghinaan (beleediging) Bab XVI Buku II KUHP. Tidak mungkin hakim dapat menerapkan tindak pidana ITE tersebut tanpa mempertimbangkan ketentuan hukum penghinaan dalam Bab XVI Buku II KUHP. Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, 2011, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik: Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transkasi Elektronik, Malang, BayuMedia Publishing, h.71 4
Pencemaran nama baik dan/atau penghinaan dalam sistem hukum di Indonesia tidak hanya diatur dalam perundang-undangan pidana saja. Ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik juga diatur dalam KUHPerdata, tepatnya dikelompokkan dalam Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab II tentang Perikatan yang dilahirkan demi Undang- Undang. Secara umum, Penghinaan
dalam
KUHPerdata
dianggap
dikelompokkan
dalam Perbuatan
Melawan Hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, sementara ketentuan Penghinaan secara khusus diatur dalam Pasal 1372 sampai dengan 1380 KUHPerdata. Berikut adalah rangkuman beberapa norma hukum yang mengatur mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Jenis Aturan
Ketentuan
Ancaman KUHP
Pasal 142
Penghinaan terhadap kepala negara sahabat
Penjara
5
Tahun
dan
denda Rp.4500 Pasal 142 a
Penghinaan terhadap bendera negara sahabat Penjara 4 tahun dan denda Rp.4500
Pasal 143
Penghinaan terhadap wakil negara asing
Penjara 5 tahun dan denda Rp.4500
Pasal 144
Penghinaan terhadap kepala negara sahabat Penjara 9 bulan dan denda dan wakil negara asing dalam bentuk selain Rp. 4500 lisan
Pasal 154 a
Penghinaan
terhadap
bendera
Indonesia Pasal 207
Pasal 310
Rp. 3000
Penghinaan terhadap penguasa atau badan Penjara 4 bulan dan denda umum
Pasal 208
negara Penjara 4 tahun dan denda
Rp. 4500
Penghinaan terhadap penguasa atau badan Penjara 4 bulan dan denda umum dalam bentuk selain lisan
Rp. 4500
Menista
Penjara 9 bulan dan denda RP. 4500, jika dalam bentuk selain lisan penjara 1 tahun 4 bulan dan denda Rp. 4500
Pasal 311
Fitnah
Penjara 4 tahun
Pasal 315
Penghinaan ringan
Penjara 4 bulan 2 minggu dan denda Rp. 4500
Pasal 316
Penghinaan
terhadap
pejabat
yang Pemberatan 1/3 dari delik
menjalankan tugas
asalnya
Pasal 317
Pengaduan fitnah
Penjara 4 tahun
Pasal 318
Persangkaan palsu
Penjara 4 tahun
Pasal 320
Penghinaan terhadap orang mati
Penjara 4 bulan 2 minggu dan denda Rp. 4500
Pasal 321
Penghinaan terhadap orang mati dalam Penjara 1 bulan 2 minggu bentuk selain lisan
dan denda Rp.4500
UU No. 31 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 36 ayat (5) Fitnah
Penjara 5 tahun dan denda
huruf a jo Pasal
Rp. 10.000.000.000
57 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, dan DPRD Pasa 84 ayat (1) Penghinaan terhadap calon dan/atau peserta Penjara min.6 bulan dan huruf c jo Pasal pemilu
max. 24 bulan dan denda
270
min.Rp. 6.000.000 dan max Rp. 24.000.000 UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 41 ayat (1) Penghinaan
terhadap
calon
dan/atau Penjara min. 6 bulan dan
huruf c jo pasal pasangan calon presiden/wakil presiden
max.24 bulan dan denda
214
min, Rp. 6.000.000 dan max Rp. 24.000.000 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 78 huruf b calon kepala daerah/wakil kepala daerah Penjara min. 3 bulan dan jo Pasal 116
dan/atau partai politik
max. 1 tahun 6 bulan dan denda min. Rp. 600.000 dan max. Rp. 6.000.000
UU No. 19 Tahun 2016 tentang informasi dan Transaksi Elktronik Pasal 27 ayat Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Penjara 6 tahun dan denda (3) jo Pasal 36
Rp. 1.000.000.000
jo Pasal 45 ayat (1) Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut tidak mendefinisikan
secara rinci
perihal bilamana suatu hal dikatakan mencemarkan nama baik seseorang atau badan hukum dalam. Hal ini karena pemaknaan pencemaran
memiliki
arti
yang relatif. Untuk
membuktikan secara lebih akurat kata atau kalimat dikatakan mencemarkan nama baik seseorang
atau
institusi,
dalam prakteknya aparat penegak hukum menggunakan ahli
bahasa atau ahli ilmu sosial lainnya yang berhubungan dengan substansi kata atau kalimat tersebut. UU ITE memuat ancaman yang paling berat dibandingkan dengan peraturan lainnya. Hal ini dikarenakan tindakan pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media sosial memiliki dampak negatif yang jauh lebih berat bagi korban dibandingkan dilakukan dalam bentuk lain. Pencemaran nama baik yang dilakukan melalu media sosial dapat bertahan sangat lama dan sangat susah dihilangkan jejaknya mengingat mudahnya akses terhadap konten tersebut dan materinya sudah diunduh oleh banyak orang atau telah tersimpan di dalam server. Namun perlu dilihat pengaruh sanksi delik ini terhadap animo masyarakat dalam menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi. Hal ini mengingat hukuman penjara di atas 6 tahun ini secara langsung mengategorikan bahwa tindakan pencemaran nama baik dan/atau penghinaan sebagai criminal berat (>5 tahun hukum) dan karenanya pelakunya dapat langsung ditahan. Selain itu juga terkait dengan belum jelasnya apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik atau penghinaan menyebabkan pengguna media sosial dituntut lebih berhati-hati dalam mekspresikan pendapatnya di media sosial 2. Urgensi Penegakan Hukum Pidana Terhadap Perbuatan Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial di Indonesia Perbuatan Pencemaran nama baik atau peghinaan melalui media sosial sangat erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi dan hak atas reputasi. Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia telah diatur secara khusus dalam Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F, Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945; Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM; Pasal 14, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 5 Undang-Undang HAM; Pasal 1 juncto Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pers; dan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005; Pasal 14, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Hal ini terlihat dalam beragam putusan pengadilan di Indonesia. Melalui beragam putusannya, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi RI mengakui peranan dari kemerdekaan bereskpresi, kemerdekaan berpendapat dan kemerdekaan pers dalam menjaga kedaulatan rakyat. MK dalam putusannya nomor 50/PPU-VI/2008 berpendapat bahwa salah satu esensi demokrasi adalah kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui segala jenis saluran yang tersedia. Hal yang sama juga berlaku bagi hak atas reputasi. Perlindungan kepada hak atas ini diatur melalui Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Demikian pula halnya dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 29 ayat (1). Dalam persprektif hukum internasional, hak atas reputasi sebagaimana juga hak atas kemerdekaan bereskpresi mendapatkan perlindungan dalam Deklarasi Universial HAM dan juga Pasal 17 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (diratifikasi oleh Indonesia melalu UU No.12 Tahun 2005). Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada pokoknya menegaskan bahwa pelaksanaan hak atas kemerdekaan bereskpresi mengandung tugas-tugas dan tanggung jawab khusus, dan oleh karenanya pembatasan sedimikian rupa terhadap hak ini diperbolehkan sepanjang berorientasipada kepentingan orang lain atau kepentingan masyarakat umum. Pembatasan yang diperkenankan dalam hukum internasional harus diuji dalam metode yang disebut dengan three part test. Pertama, pembatasan harus dilakukan hanya melalui undangundang. Kedua, pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah. Ketiga, pembatasan tersebut diperlukan dalam rangka perlindungan terhadap tujuan yang sah tersebut. Indonesia melalu sistem hukumnya telah melakukan pembatasan terhadap kemerdekaan berkspresi dan hak atas reputasi. Bentuk konkretnya adalah Kriminalisasi terhadap hak-hak tersebut sebagaimana dimuat dalam norma delik reputasi di atas yang mana merupakan bukti perlindungan negara terhadap hak atas reputasi. Namun, yang patut dikaji adalah apakah penggunaan hukum pidana selalu tepat dalam melindungi hak atas reputasi dari perbuatan pencemaran nama baik? Menarik dicermati bahwa negara seperti Australia dan Inggris cenderung mengatur pencemaran nama baik ke dalam ranah hukum perdata. Kedua negara tersebut mempunyai Undang-Undang 5dan
Pencemaran Nama Baik yaitu Australia dengan Defamation
Act
2005
Inggrs dengan Defamation Act 20136. Khususnya Australia, pemberian sanksi pidana
dalam tindak pencemaran nama baik di Australia dapat dikatakan sebagai ultimum
5 6
Lihat Defamation Act of Australia 2005 Lihat Defamation Act of United Kingdom 1996
remidium, yang mana dirasa tindakan tersebut dapat mengganggu atau membahayakan kepentingan dan kedamaian di masyarakat. Selain itu, berdasarkan data dari Article 19 bahwa beberapa negara seperti Argentina, Ghana, dan Sri Lanka telah menghapus delik pencemaran nama baik dari perundang-undangan pidananya.7 Selain itu, dilansir dari tempo.co, dalam tulisan berjudul World Trends in Freedom of Expression and Media Development yang diterbitkan UNESCO disebutkan tahun 2012, setidaknya 21 negara telah secara penuh melakukan dekriminalisasi pidana pencemaran nama baik. Selain itu, 14 negara telah melakukan dekriminalisasi terhadap pencemaran tertulis.8 Hal ini menurut hemat penulis sesuai dengan pendapat dari Toby Mendel bahwa (1) pengenaan sanksi pidana terhadap pencemaran nama baik pada saat ini sudah tidak relevan lagi dengan alasan pada awalnya (abad ke-13 dan 14) pencemaran nama baik bersifat fitnah, sedangkan saat ini tidak ada lagi pernyataan yang bersifat fitnah karena setiap negara melalui berbagai hukum telah secara efektif melindungi ketertiban umum. (2) Pencemaran nama baik tidak perlu ditangani secara ekstrim dengan pidana penjara melainkan cukup dengan hukum perdata9. Pendapat tersebut tidaklah berlebihan apabila melihat pemidanaan melalui peraturan perundang-undangan pidana terhadap delik reputasi melalui media sosial saat ini belum bisa sepenuhnya mencerminkan rasa keadilan dan terkesan terlalu mudah untuk diterapkan. Salah satu buktinya apabila melihat kasus Prita Mulyasari yang didakwa dengan UU ITE dan KUHP yang bias dan menjadi polemik di masyarakat. 10 Memang pada akhirnya MA mengabulkan Lihat dalam Article 19 Global Campaign for Free Expression, 2004, Briefing Note on International and Comparative Defamation Standards, london 8 Tempo.co, Pakar: 50 Negara Telah Menghapus Delik Pencemaran Nama Baik, Tempo.co, URL : https://nasional.tempo.co/read/713583/pakar-50-negara-telah-menghapus-delik-pencemaran-nama-baik, diakses pada tanggal 19 Juli 2020 9 Keterangan ahli pemohon, Toby Mendel, yang disampaikan pada 23 Juli 2008 dalam perkara No.12/PPUVI/2008 di Mahkamah Konstitusi 10 Berikut ini adalah kasus hukum terkait delik pencemaran nama baik dan/atau menghinaan yang dialami Prita Mulyasari : Waktu : Agustus 2008 – September 2012 Pekerjaan : Customer Care di Bank Sinar Mas di Jakarta (saat kasus terjadi) Media : Surat Pembaca dan e-mail, kemudian beredar ke mailing-list Substansi : Keluhan atas layanan publik Motivasi : Penyampaian keluhan terbuka Konten : “….. Saya sangan mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ked r G, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini …..” keterangan : sebagian isi e-mail Prita Pelapor : Dokter Hengky Gozal dan Dokter Grace Hilza dari RS Omni Internasional Tangerang 7
peninjauan kembali (PK) Prita sehingga menganulir putusan Pidana PN Tanggerang dan kasasi MA, serta membebaskan Prita karena terkait rasa keadilan yang diberikan sehingga dirinya dapat bebas dari jerat pidana melawan RS Omni Internasional. Namun tetap saja dikarenakan pasal yang dikenakan adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan ancaman pidana penjara diatas 5 tahun, maka Prita Mulyasari sempat ditahan selama 20 hari di Lapas Wanita Tanggerang. Nasib Prita selama 5 tahun juga
tidak jelas menunggu
putusan pengadilan. Padahal menurut penulis, dalam kasus ini, Prita hanyalah mengeluh, bukan meghina dan/atau mencemarkan nama baik pihak-pihak tertentu. Ini tentunya sangat merugikan bagi Prita Mulyasari mengingat hak atas kebebasannya direnggut sementara oleh karena delik pencemaran nama baik yang rumusannya saja masih multi tafsir. Penting untuk dicermati bahwa pemidanaan harus ditinjau dari perspektif Pancasila. Falsafah Indonesia adalah Pancasila yang menuntut keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, bangsa dan negara. Hukum Pidana harus berorientasi pada kepentingan individu dan kepentingan masyarakat termasuk korban kejahatan 11. Begitu pula sanksi pidana, ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan manusiawi, namun ia pula merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.12 IV. KESIMPULAN Kebebasan berekspresi merupakan elemen terpenting dalam demokrasi dan merupakan sarana terbaik dalam menemukan kebenaran. Salah satu sarana yang digunakan adalah melalui media sosial. Namun kebebasan berekpresi melalui media sosial yang tidak terkontrol dapat
Hasil : Pada 25 Juni 2009 Prita divonis bebas oleh PN Tangerang, kemudian pada 30 Juni 2011 Kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dikabulkan MA. Prita divonis 6 bulan penjara, tapi dengan masa percobaan selama 1 tahun. Artinya, Prita tidak perlu dipenjara, asalkan tidak mengulangi perbuatannya dalam waktu satu tahun. 17 September 2012 MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) Prita. MA menganulir putusan pidana PN Tangerang dan kasasi MA. Prita bebas 11 M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana¸Jakarta, Raja Grafindo Persada, h.70. 12 Siswanto Sunarsono, 2015, Filsafat Hukum Pidana : Konsep, Dimensi, dan Aplikasi, Ed.1 Cet.1, Rajawali Pers, Jakarta, h.103.
menimbulkan suatu kejahatan terhadap reputasi seperti pencemaran nama baik. Indonesia telah memiliki beberapa produk hukum yang mengatur perbuatan pencemaran nama baik dalam ranah hukum pidana maupun perdata. Namun yang selama ini sering digunakan adalah penegakan hukum pidana. Dalam perkembangannya, penegakan hukum pidana tersebut menuai pro kontra di masyarakat. Hal tersebut dikarenakan masalah keadilan, muatan yang masih multi tafsir, hingga sanksi pidana yang terlalu berat dan tidak tepat digunakan sehingga cenderung disalahgunakan sebagai sarana pembungkam kritik. V. SARAN Pengaturan tindak pencemaran nama baik melalui media sosial di Indonesia perlu dikaji kembali. Salah satu yang harus dipertimbangkan adalah pembentukan Undang-Undang Khusus yang mengatur mengenai pencemaran nama baik sebagaimana dilakukan oleh Australia dan Inggris. Hal ini mengingat bahwa pencemaran nama baik adalah perbuatan yang rawan untuk disalahgunakan untuk mengekang kebebasan berkspresi. Selain itu, pencemaran nama baik yang lebih mengarah pada permasalahan privat hendaknya diselesaikan melalui hukum perdata seperti permintaan maaf dan/atau penggantian kerugian materiil dan/atau immaterial.
DAFTAR PUSTAKA Buku Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, 2011, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik: Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transkasi Elektronik, BayuMedia Publishing, Malang. Sholehuddin, M., 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana¸Jakarta, Raja Grafindo Persada. Sunarsono, Siswanto, 2015, Filsafat Hukum Pidana : Konsep, Dimensi, dan Aplikasi, Ed.1 Cet.1, Rajawali Pers, Jakarta. Internet Agus Tri Haranto, “Riset: Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia”, Detik.com, URL: https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-diindonesia Tempo.co, Pakar: 50 Negara Telah Menghapus Delik Pencemaran Nama Baik, Tempo.co, URL : https://nasional.tempo.co/read/713583/pakar-50-negara-telah-menghapus-delikpencemaran-nama-baik Jurnal atau Penelitian Article 19 Global Campaign for Free Expression, 2004, Briefing Note on International and Comparative Defamation Standards, london Laporan harian Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet 2018 Nindya Dhisa Permata Tami dan Nyoman Serikat Putra Jaya, 2013, Studi Komparasi Pengaturan Pencemaran Nama Baik Menurut Hukum Pidana Dan Hukum Perdata Di Indonesia, Jurnal Law Reform, Universitas Diponegoro Lain-lain Keterangan ahli pemohon, Toby Mendel, yang disampaikan pada 23 Juli 2008 dalam perkara No.14/PPU-VI/2018 di Mahkamah Konstitusi. Keterangan ahli pemohon, Toby Mendel, yang disampaikan pada 23 Juli 2008 dalam perkara No.12/PPU-VI/2008 di Mahkamah Konstitusi.
KEBIJAKAN PEMBEBASAN NARAPIDANA DALAM PENCEGAHAN COVID-19 DI INDONESIA : PENEGAKAN HAK ASIMILASI ATAU SEBUAH POLITISASI ? Rahmawati Angelica Revi Septiana Universitas Udayana
I. LATAR BELAKANG Resolusi hidup merupakan hal yang wajar dimiliki bagi setiap manusia sebagai target dalam menjalani tahun yang baru agar kehidupan menjadi lebih baik daripada tahun sebelumnya. Namun sepertinya semesta sedang tidak bersahabat dengan kita, secara tiba-tiba kita dikejutkan dengan munculnya wabah yang menggemparkan masyarakat, COVID-19 begitulah dunia menyebutnya. Pada penghujung tahun 2019, Virus ini pertama kali muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Tepatnya tanggal 31 Desember 2019, China merupakan negara pertama yang melaporkan timbulnya kasus pneumonia misterius yang tidak diketahui penyebabnya. 1 Kemudian pandemi ini terus berkembang hingga menyebar luar ke wilayah di luar negara China sehingga pada tanggal 30 Januari 2020, World Health Organization (WHO) sebagai Badan Kesehatan Dunia menetapkan COVID-19 sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) atau Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia (KKMMD).2 Virus yang dapat ditularkan dari manusia ke manusia ini telah menyebar luas di berbagai negara di dunia. Sehingga pada 12 Maret 2020, WHO telah mengumumkan COVID-19 sebagai pandemi global. 3 Keberadaan virus COVID-19 ini tentu telah meresahkan berbagai negara di dunia, termasuk juga dengan negara Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menetapkan virus COVID-19 sebagai bencana nasional sejak tanggal 14 Maret 2020, yang diumumkan oleh Presiden melalui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
1Indonesia,
Perhimpunan Dokter Paru. "Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia." (2003). 2 Hal ini sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. 3 Susilo, Adityo, Cleopas Martin Rumende, Ceva Wicaksono Pitoyo, Widayat Djoko Santoso, Mira Yulianti, Herikurniawan Herikurniawan, Robert Sinto et al. "Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 7, no. 1 (2020): 45-67.
1
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.4 Sejak diumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia, peningkatan jumlah korban dari waktu ke waktu sangat pesat. Tercatat hingga tanggal 10 Mei 2020 total kasus positif COVID-19 yang telah dikonfirmasi pemerintah kini bertambah menjadi 14.032 kasus. Hal tersebut mengakibatkan Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan beberapa kebijakan terkait dengan penanganan COVID-19 di Indonesia. Hal tersebut tentunya bertujuan untuk memberikan jaminan terhadap masyarakat sehingga dapat menekan laju pertumbuhan kasus COVID-19 di Indonesia. Dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, Presiden tentunya dibantu oleh Menteri-Menteri negara.5 Hal tersebut telah diatur di dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Salah satu kebijakan Menteri terkait dengan adanya pandemi COVID-19 adalah pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19/PK/01/04/2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19. Implementasi kebijakan pemerintah mengenai pembebasan narapidana tersebut menuai pro dan kontra dalam masyarakat. Pada dasarnya latar belakang ditetapkannya kebijakan tersebut ialah atas dasar situasi di dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Indonesia telah mengalami kelebihan kapasitas, sehingga hal yang ditakutkan adalah para narapidana akan rentan tertular virus COVID-19 karena tidak dapat melakukan physical distancing sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah terkait dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Mengenai penuhnya kapasitas dalam Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan bukanlah hal yang baru. Di Indonesia terdapat 528 Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan dengan total kapasitas sebanyak 130.512 orang, Akan tetapi penghuni LP tersebut mencapai 269.846 orang. Sehingga Indonesia telah mengalami kelebihan kapasitas (overcrowded) hingga 107%. Anwar, Mohamad. "Asimilasi dan Peningkatan Kriminalitas Di Tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar Pandemi Corona." 'ADALAH 4, no. 1 (2020). 5 Indrati, Maria Farida. "Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya." Jakarta. Kanisius (1998). 4
2
Disisi lain adanya pembebasan narapidana tersebut mengakibatkan tingkat kriminalitas selama masa pandemi COVID-19 ini meningkat. Setidaknya telah tercatat 27 orang mantan narapidana yang kembali melakukan kejahatan usai dibebaskan melalui program asimilasi yang dikeluarkan oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.6 Selain itu, dengan adanya kebijakan pembebasan narapidana secara tidak langsung pemerintah telah menambah beban jumlah masyarakat yang harus melakukan physical distancing mengingat kurangnya kesadaran masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan selama pandemi COVID-19 ini. Kemudian muncul sebuah pertanyaan bahwa apakah benar kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini merupakan kebijakan yang tepat guna? Atas dasar itulah maka penulis tertarik untuk membuat tulisan yang berjudul “ Kebijakan Pembebasan Narapidana/Anak Dalam Pencegahan COVID-19 di Indonesia : Penegakan Hak Asimilasi atau Sebuah Politisasi? � II. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan berikut ini merupakan rumusan masalah yang akan dibahas : 1. Apakah dasar kebijakan Kemenkumham memberikan pembebasan kepada narapidana/anak dalam rangka pencegahan COVID-19 di Indonesia ? 2. Bagaimana urgensi penerapan kebijakan pembebasan narapidana/anak dalam rangka pencegahan COVID-19 di Indonesia ? III. HASIL ANALISIS 1. Dasar Kebijakan Kemenkumham Dalam Memberikan Pembebasan Kepada Narapidana/Anak Dalam Rangka Pencegahan COVID-19 di Indonesia Keputusan Menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundangundangan yang setingkat lebih rendah daripada Keputusan Presiden. Sehingga dalam menetapkan suatu kebijakan, Pemerintah melalui Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentu telah melakukan pemikiran yang matang.Sudah bukan hal
Dilihat melalui: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200421140903-12-495674/polrisebut-27-eks-napi-asimilasi-corona-bikin-kriminal-lagi, Diakses pada tanggal 10 Mei 2020. 6
3
yang asing lagi bahwa kondisi sel tahanan yang penuh sesak, sempit, dan sangat tidak layak. Dalam satu sel diisi puluhan orang dan posisinya berdekatan antara satu dengan yang lainnya. Pada saat mewabahnya pandemi COVID-19 di Indonesia, tentu telah menimbulkan ketakutan bagi para narapidana, karena berpeluang untuk tertular antar sesama penghuni sel. Sehingga pemerintah membuat kebijakan pembebasan narapidana pada saat pandemi COVID-19 melalui program asimilasi dan hak integrasi. Berdasarkan ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dijelaskan bahwa asimilasi adalah pembinaan secara ekstramural yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan berupa proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Dalam Ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19, dijelaskan bahwa : “Asimilasi adalah proses pembinaan Narapidana dan Anak yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dan Anak dalam kehidupan masyarakat.” Mengenai pembebasan narapidana tersebut tidak serta merta dibebaskan tanpa ada syarat yang mengikutinya. Berikut ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh narapidana/ anak agar dapat mengikuti program asimilasi dan hak integrasi sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19, diatur bahwa : 2.
“Narapidana yang dapat diberikan Asimilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat : 1. berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir; 2. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan 3. telah menjalani 1⁄2 (satu per dua) masa pidana.”
4
Kemudian hak integrasi adalah pemberian pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat bagi narapidana yang melakukan tindak pidana selain tindak pidana terorisme, narkotika dan prekurson narkotika psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi, atau warga negara asing. Hal tersebut juga telah diatur di dalam ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020, diatur bahwa : Pasal 9 “Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dapat diberikan kepada Narapidana yang telah memenuhi syarat: a. telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan; b. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana; c. telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan d. masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana.� Sedangkan kriteria mengenai pengeluaran narapidana dan anak melalui integrasi (Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat), dengan kriteria sebagai berikut : 1. Narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana. 2. Anak yang telah menjalani 1/2 masa pidana. 3. Narapidana dan anak yang tidak terkait dengan PP 99 tahun 2012, yang tidak menjalani subsider dan bukan warga negara asing. 4. Usulan dilakukan melalui sistem database pemasyarakatan. 5. Surat
keputusan
integrasi
diterbitkan
oleh
Direktur
Jenderal
Pemasyarakatan. Melihat syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Yasona Laoly terkait pembebasan napi merupakan hal yang secara tegas melarang pembebasan narapidana kasus korupsi sehingga isu-isu
5
adanya politisasi dalam kebijakan ini belum dapat dibuktikan secara nyata karena hingga saat ini belum terlihat kabar di media mengenai pembebasan narapidana kasus korupsi. Program asimilasi dan hak integrasi ini merupakan salah satu hal yang positif secara substansial karena bertujuan untuk melindungi hak-hak dari narapidana yang telah diatur di dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, diatur bahwa : Pasal 14 (1) “Narapidana berhak : a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang
tertentu lainnya; i.
mendapatkan pengurangan masa pidana(remisi);
j.
mendapatkan kesempatan berasimilasi mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat; l.
mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai perundang-undangan yang
berlaku. termasuk cuti dengan peraturan (2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak
Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.� Indonesia sebagai negara yang berlandaskan atas Pancasila serta mengakui eksistensi dati hak asasi manusia sudah sewajarnya untuk memikirkan keadaan dari narapidana, mengingat mereka telah dirampas hak kemerdekaannya sehingga tidak pantas apabila hak-hak yang tersisa dalam dirinya tidak dipertahankan. Walaupun program pembebasan narapidana melalui asimilasi dan hak integrasi ini belum
6
menunjukkan hasil yang ingin dicapai secara signifikan akan tetapi Pemerintah setidaknya telah mewujudkan hak-hak bagi narapidana yang seringkali terlupakan. Pada dasarnya narapidana bukan hanya obyek dalam sistem peradilan pidana melainkan juga sebagai subyek yang tidak berbeda dari manusia lain yang juga dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan sehingga dikenakan sanksi pidana. Oleh karena itu yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan para narapidana melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan merupakan salah satu upaya untuk menyadarkan narapidana atau Anak Pidana agar mereka dapat menyesali perbuatannya, diharapkan nantinya mereka dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai.
2.
Urgensi Penerapan Kebijakan Pembebasan Narapidana/Anak Dalam Rangka Pencegahan COVID-19 di Indonesia Pembinaan terhadap narapidana merupakan salah satu upaya terhadap
narapidana yang dikehendaki oleh sistem pemasyarakatan dalam usaha mencapai tujuan, yaitu pada saat para narapidana kembali ke masyarakat, maka mereka dapat berperilaku selayaknya anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi dirinya, masyarakat serta negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, “Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.� Kehebohan kebijakan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia marak terdengar di berbagai media di Indonesia. Melalui program pembebasan narapidana melalui asimilasi dan hak integrasi terkait upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19 di lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan lembaga pembinaan khusus anak (LPKA), maka ribuan narapidana, dan juga anak mendapatkan pembebasan. Program pembebasan narapidana berupa asimilasi dan
7
hak integrasi ini apabila ditinjau dari sudut hak asasi manusia merupakan salah satu langkah mulia pemerintah untuk memberikan jaminan pemenuhan hak bagi narapidana.Akan tetapi dalam mengkaji suatu fenomena sosial di masyarakat tidak dapat melihat dari satu sisi saja bukan? Apabila kita mengkaji kebijakan tersebut berdasarkan aspek kriminologi tentu akan menghasilkan pemahaman yang berbeda. Berdasarkan berita yang diperoleh melalui Kompas.com, diketahui bahwa tercatat hingga tanggal 21 April 2020 Sebanyak 27 narapidana yang mendapat asimilasi dan pembebasan bersyarat akibat wabah COVID-19 kembali melakukan kejahatan dari jumlah data napi yang dibebaskan sebesar 38.822 narapidana. Seperti yang telah beredar luas di media bahwa adanya kebijakan pembebasan narapidana ini meningkatkan kriminalitas di Indonesia. Kemudian timbul pemikiran masyarakat bahwa diselenggarakannya program tersebut justru berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Sehingga, pembebasan narapidana tersebut justru menjadi keresahan di tengah masyarakat, dimana sekarang ini masyarakat dipertontonkan sederet kasus kejahatan yang dilakukan kembali oleh beberapa narapidana yang baru saja diberikan kebebasaan melalui kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut justru berpotensi menimbulkan permasalahan baru karena saat para narapidana dibebaskan, mereka akan kesulitan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah situasi pandemi COVID-19, yang tentu saja hal tersebut berdampak terhadap aspek sosial, ekonomi, serta jaminan keamanan masyarakat. Melihat kondisi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan yang mengalami overcrowded tentu akan berdampak pada rendahnya pemenuhan hakhak narapidana. Hal tersebut juga akan menimbulkan dampak yang lain seperti sipir yang kewalahan dalam melaksanakan tugasnya karena beban kerja yang tidak sesuai dengan kapasitas dan cenderung melakukan kekerasan untuk memudahkan pengaturan narapidana. Selain itu overcrowded akan menyebabkan anggaran negara
untuk
pembiayaan
pengelolaan
rumah
tahanan
dan
Lembaga
pemasyarakatan membengkak. Penanganan overcrowded tidak bisa dilakukan hanya dengan memperluas bangunan saja karena rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan hanya sebatas hilir dari serangkaian proses penegakan hukum. Penanganan justru harus dimulai sejak hulu, minimal sejak sebuah tindak pidana
8
dalam proses penyidikan, karena sebagai sebuah sistem, tindakan yang dilakukan oleh salah satu subsistem akan berpengaruh terhadap subsistem yang lain. Melihat fenomena overcrowded yang terjadi di Indonesia, tentu membuat kita berpikir lebih jauh apakah pidana penjara ini efektif untuk dilaksanakan di Indonesia? Pada dasarnya efektivitas dari pidana penjara apabila dilihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat, maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. 7 Sehingga kriteria efektivitas terletak pada sejauh mana efek “pencegahan umum� (general prevention) dari pidana penjara dalam menanggulangi tingkat kriminalitas di masyarakat. Dalam hal ini tentu dapat kita ketahui bahwa adanya pidana penjara di Indonesia merupakan hal yang cukup membantu mengurangi kriminalitas, terlebih dalam masa pandemi COVID-19 ini. Segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangatasi pandemi COVID-19 merupakan bentuk perwujudan dari salah satu fungsi negara yakni mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang pada hakikatnya merupakan tujuan dari negara itu sendiri. Pada dasarnya terkait dengan pembebasan narapidana ini tidak hanya diberlakukan di Indonesia, negara-negara lain juga berupaya mengkaji dan memberlakukan pembebasan narapidana dengan adanya pandemi COVID-19. Salah satunya adalah negara Inggris, pemerintah Inggris menyatakan akan melakukan pembebasan terhadap para narapidana yang memiliki pelanggaran dengan resiko rendah serta narapidana yang memiliki masa tahanan selama atau kurang dari dua bulan. Kemudian para narapidana tersebut akan dipantau secara elektronik dan dapat dikembalikan ke dalam penjara jika menunjukkan hal-hal yang mengkhawatirkan. Di Indonesia pun demikian, apabila para narapidana mencoba untuk melanggar program asimilasi dan hak integrasi maka resiko yang siap diterima bagi para narapidana tersebut adalah adanya pencabutan hak asimilasi dan integrasi bagi mereka yang telah terbukti melakukan tindak pidana kembali, juga adanya penambahan kasus pidana yang baru ke dalam daftar kasus narapidana yang bersangkutan. Selain itu, mereka juga akan dimasukkan ke dalam straft cell atau sel
Barda, Nawawi Arief, and Bunga Rampai. "Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru)." Semarang: Prenada Media Group (2014). 7
9
pengasingan dan tidak diberikan hak remisi sampai waktu tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Diperlukan penanganan lebih berkaitan dengan pembebasan narapidana program asimilasi dan hak integrasi ini. Salah satu contohnya adalah terdapat di Lembaga Pemasyarakatan kelas 1 Tangerang, pengawasan secara intensif terus dilakukan dengan cara membentuk grup WhatsApp, agar komunikasi dengan para narapidana yang dibebaskan tetap terjaga. Kemudian Suprapto yang menjabat sebagai Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Provinsi Bali menjelaskan bahwa narapidana yang dibebaskan akan tetap mendapatkan pengawasan selama seminggu sekali, pengawasan yang dilakukan tersebut berupa video call atau SMS dan telepon, selain itu terdapat juga pengawasan langsung dari petugas, narapidana pun akan dicabut haknya dan dikembalikan ke dalam Lembaga pemasyarakatan apabila mereka mencoba untuk pergi keluar daerah. Pada dasarnya kebijakan yang diambil oleh Pemerintah lebih didasarkan pada Legal Policy yang bertujuan untuk mensejahterakan warga masyarakat. Upaya menyelamatkan warga masyarakat dari wabah pandemi COVID-19 dengan memberikan kebebasan bagi narapidana yang sudah mendekati waktu bebas adalah hal yang wajar, dalam teori politik hukum sebagaimana pendapat Sudarto, yang mana hal tersebut merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat tertentu. IV. KESIMPULAN Pandemi COVID-19 ini tentunya telah mengakibatkan dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat global. Selain berperang melawan virus, berbagai negara di dunia juga sedang berperang mempertahankan keadaan negaranya agar tidak mengalami kerugian di berbagai faktor. Kerugian tersebut menimbulkan efek domino yang mana kerugian satu akan berdampak pada faktor yang lain. Hal yang sedang marak dibicarakan adalah kebijakan pemerintah terkait dengan pembebasan narapidana melalui program asimilasi dan hak integrasi. Ditengah situasi ekonomi yang kian menurun, tentunya berdampak pula pada menigkatnya tingkat kriminalitas di Indonesia yang mana tercatat telah dilakukan oleh beberapa narapidana program asimilasi dan hak integrasi. Kebijakan tersebut memang menuai pro dan kontra, banyak masyarakat yang berpikir bahwa program ini
10
hanyalah sebuah politisasi untuk pembebasan para narapidana kasus korupsi. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat dibuktikan karena tidak ada data yang valid berkaitan dengan pembebasan para narapidana kasus korupsi.
V. SARAN Dengan adanya pandemi COVID-19 ini penulis berharap adanya kerjasama yang baik yang dilakukan oleh berbagai pihak. Pemerintah diharapkan dapat bertindak lebih cepat dan tanggap terhadap situasi yang kian memanas ini. Di sisi lain diperlukan pula peran masyarakat yang disiplin serta bahu membahu sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila sehingga meminimalisir adanya pertikaian di tengah pandemi. DAFTAR PUSTAKA Buku Barda, Nawawi Arief, and Bunga Rampai. "Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru)." Semarang: Prenada Media Group (2014). Indrati, Maria Farida. "Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya." Jakarta. Kanisius (1998). Jurnal Anwar, Mohamad. "Asimilasi dan Peningkatan Kriminalitas Di Tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar Pandemi Corona." 'ADALAH 4, no. 1 (2020). Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru. "Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia." (2003). Susilo, Adityo, Cleopas Martin Rumende, Ceva Wicaksono Pitoyo, Widayat Djoko Santoso, Mira Yulianti, Herikurniawan Herikurniawan, Robert Sinto et al. "Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 7, no. 1 (2020): 45-67. Internet https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200421140903-12-495674/polri-sebut27-eks-napi-asimilasi-corona-bikin-kriminal-lagi https://news.detik.com/kolom/d-4986280/pembebasan-narapidana-dankekhawatiran-masyarakat https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XI-10-II-P3DIMei-2019-222.pdf https://usd.ac.id/mahasiswa/bem/f1l3/Kajian%20Covid-19%203%20SPKS.pdf
11